bahasa indonesia
TRANSCRIPT
1. Mengapa bahasa melayu yang dijadikan bahasa dasar pembentukkan bahasa Indonesia, beberapa alasan?
Jawab:
Telah banyak dimengerti dan dipergunakan selama berabad-abad dikawasan nusantara Bahasa melayu merupakan bahasa resmi kedua pada zaman Hindia Belanda sejak zaman
kerajaan sriwijaya Strukturnya sederhana dan mudah dipelajari Bahasa Melayu sederhana karena tidak mengenal tingkatan bahasa Suku-suku di Indonesia dengan sukarela menerima bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional.
Bahasa melayu telah menjadi bahasa penghubung dalam kehidupan sejak zaman sriwijaya
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha.
Bahasa melayu telah menjadi bahasa kebudaayaan, dimana menjadi bahasa di buku-buku pelajaran
Bahasa melayu menjadi bahasa resmi kerajaan
2. Dalam perkembangan Bahasa Indonesia bersifat terbuka. Apa artinya? Bahasa mana saja
yang memperkaya kosakata Bahasa Indonesia? Beri beberapa contoh!
Jawab:
Bahasa Indonesia merupakan sarana dalam berinteraksi, maka Bahasa Indonesia
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan saat ini. dapat dinyatakan bahwa dalam
interaksi sosial, bahasa Indonesia memiliki fungsi-fungsi tertentu (sebagai alat ekspresi diri,
komunikasi, integrasi, dan adaptasi serta kontrol sosial). Bahasa Indonesia bersifat terbuka
(transparan). Artinya, bahasa ini dapat beradaptasi dengan bahasa-bahasa lain dan mudah
menerima unsur-unsur bahasa asing, seperti unsur fonologi, morfologi, dan unsur semantik.
Selain itu Bahasa Indonesia merupakan suatu sarana komunikasi yang dinamis, dalam hal
ini yang dimaksud dinamis yakni bahwa bahasa tersebut selalu mengikuti kaidah atau aturan
yang tetap dan mantap namun terbuka untuk menerima perubahan yang bersistem.
Bahasa Indonesia dapat berkembang dengan pesat terutama di bidang kosakata, seperti
ipteks, politik, bisnis, dan lain-lain karena sifatnya yang terbuka tadi. Kata-kata dan istilah dari
bahasa Sanskerta, Cina, Jepang, Jawa, Sunda, Arab, Belanda, dan Inggris begitu mudahnya
terserap terserap kedalam Bahasa Indonesia. Masuknya unsur-unsur asing ini secara historis juga
sejalan dengan kontak budaya antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa pemberi pengaruh.
Mula-mula bahasa Sansekerta sejalan dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia sejak
sebelum bahasa Indonesia memunculkan identitas dirinya sebagai bahasa Indonesia, kemudian
bahasa Arab karena eratnya hubungan keagamaan dan perdagangan antara masyarakat timur
tengah dengan bangsa Indonesia, lalu bahasa Belanda sejalan dengan masuknya penjajahan
Belanda ke Indonesia, kemudian bahasa Inggris yang berjalan hingga sekarang, salah satu faktor
penyebabnya adalah semakin intensifnya hubungan ilmu pengetahuan dan teknologi antara
bangsa Indonesia dengan masyarakat pengguna bahasa Inggris. Unsur-unsur asing ini telah
menambah sejumlah besar kata ke dalam bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia
mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Dan sejalan dengan perkembangan itu
muncullah masalah-masalah kebahasaan, khususnya penyerapan kata-kata bahasa Inggris.
3. Bahasa Melayu berkembang menjadi Bahasa Indonesia melalui berbagai jalur. Jelaskan
apa sajakah jalur tersebut! Jelaskan peranan masing – masing jalur tersebut!
Jawab:
Jalur pedangangan
Jalur politik
Bahasa melayu menjadi bahasa resmi dikerajaan nusantara, selain itu , bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha.
4. Jelaskan peranan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 terhadap kedudukan dan
fungsi Bahasa Indonesia?
Jawab:
Perkembangan bahasa melayu yang telah menyebar hampir diseluruh wilayah nusantara
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu
para pemuda indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat
bahasa Melayu menjadi bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa
indonesia.
Dengan adanya rasa persatuan ini, para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928
mengadakan pertemuan yang membuahkan suatu sumpah yang salah satu isinya menetapan
bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia. Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan
bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan
majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Dalam Sumpah Pemuda terdapat
tiga butir keputusan yaitu sebagai berikut :
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu,tanah Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa
Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Untuk mempertegas Bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-
Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Bahasa negara disahkan yakni bahasa Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal
36).
Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjunjung bahasa persatuan, yaitu
bahasa Indonesia. Di samping sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan
sebagai bahasa Negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai : 1)
lambang jati diri bangsa; 2) lambang kebanggaan bangsa; 3) alat pemersatu; dan 4) alat
penghubung antar budaya dan antar daerah. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai : 1) bahasa resmi negara; 2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan; 3)
bahasa resmi dalam hubungan tingkat nasional; dan 4) bahasa resmi dalam pengembangan
kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Bagaimana peranan Bahasa Indonesia pada zaman pendudukan Jepang? Jelaskan usaha –
usaha pemerintahan pendudukan Jepang tersebut bgi perkembangan Bahasa Indonesia!
Jawab:
Setelah belanda menyerah tanpa syarat kepada jepang maka saat itu dimulailah
penjajahan jepang terhadap Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang bahasa Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup pesat akibat kebijakan Jepang pada masa itu, diantaranya
adalah :.....
a. Pelarangan penggunaan bahasa Belanda dari dunia perguruan tinggi maupun sekolah- sekolah,
maupun perkantoran dan dari pergaulan seharihari memberikan kesempatan yang baik bagi
pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia.
b. Pelarangan bagi orang Belanda memakai bahasanya sendiri. Yang melanggar dapat dituduh
membantu musuh (Belanda, Amerika Serikat dan Inggris). Seperti diketahui, pada masa
penjajahan Belanda, bahasa Belanda menjadi bahasa resmi di bidang pemerintahan. Larangan
pemakaian bahasa Belanda yang dilakukan oleh pemerintah Jepang sangat keras, sehingga boleh
dikatakan di semua toko, rumah makan, perusahaan, perkumpulan dan lain-lainnya papan nama
atau papan iklan yang Berbahasa Belanda diganti dengan yang berbahasa Indonesia atau
berbahasa Jepang.
c. Film atau gambar-gambar yang memakai bahasa Belanda dilarang beredar.
Sedangkan mengenai penggunaan bahasa Jepang boleh digunakan dimana saja baik di
sekolah-sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari, hal ini sangat berbeda dengan
pemerintahan Hindia Belanda, dimana bahasa Belanda hanya diberikan pada sekolah-sekolah
tertentu dan tidak semua orang Indonesia diizinkan memakai bahasa Belanda terhadap orang
Belanda. Bahkan pemerintah pendudukan Jepang melakukan langkah-langkah untuk pemakaian
bahasa
Jepang untuk menggantikan bahasa Belanda diantaranya :
a. Semua sekolah yang dibuka kembali oleh Jepang, diberi mata pelajaran bahasa Jepang.
b. Terdapat sekolah-sekolah khusus untuk pengajaran bahasa Jepang.
c. Pelajaran bahasa Jepang juga disiarkan melalui radio-radio pemerintah pendudukan Jepang.
d. Jepang juga menerbitkan Kana Jawa Shinbun, yang memakai bahasa Jepang dengan
mempergunakan huruf katakana. Disebutkan bahwa tujuan utama daripada surat kabar itu adalah
untuk menyebarluaskan bahasa Jepang dan meningkatkan pengetahuan membaca dan menulis
bagi rakyat Jawa.
e. Jepang mendatangkan beratus-ratus orang guru bahasa Jepang ke Asia Tenggara, termasuk ke
Indonesia, untuk mengajar ke Jepang. Sebaliknya orang Jepang mempelajari bahasa Indonesia
secukupnya untuk berkomunikasi langsung dengan orang Indonesia, dan dengan pengetahuan
bahasa yang minim itu, mereka dapat menjelajah sampai ke pelosok-pelosok Indonesia.
Bahasa Indonesia maju dengan amat pesat karena diharuskan dipakai di sekolah-sekolah,
perguruan tinggi dan dalam pergaulan sehari-hari. Perkembangan bahasa Indonesia ketika itu
boleh dikatakan dipaksakan, agar dalam waktu secepat-cepatnya menjadi alat komunikasi yang
dapat digunakan ke seluruh pelosok untuk semua bidang. Pemerintah pendudukan Jepang
bermaksud untuk mengerahkan seluruh tenaga bangsa Indonesia guna Perang Asia Timur Raya
sampai dari desa-desa yang jauh terpencil sekalipun, mereka merasa perlu menggunakan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia akhirnya meluas penggunaannya ke segala penjuru Nusantara,
sedangkan semakin banyak orang Indonesia mengalami suatu perasaan yang selama ini belum
dikenalnya dengan mendalam yaitu perasaan nasionalisme melalui penggunaan bahasa
Indonesia. Bertambah lama jalannya perang, bertambah banyak orang Indonesia memakai bahasa
Indonesia, maka bertambah kuat pulalah terasa hubungan antara sesamanya. Bahasa Indonesia
menjadi sarana komunikasi serta wahana integrasi bangsa Indonesia.
Akhirnya penguasa Jepang tak dapat lagi menahan pertumbuhan bahasa Indonesia.
Pemerintah pendudukan Jepang terpaksa mengabulkan keinginan bangsa Indonesia untuk
menyempurnakan bahasa demi pelaksanaan Sumpah Pemuda 1928. Maka pada tanggal 20
Oktober 1943, Kantor Pengajaran Jepang di Jawa, atas desakan dari beberapa tokoh Indonesia
mendirikan Komisi (Penyempurnaan) Bahasa Indonesia. Tugas dari komisi itu adalah
menentukan terminologi, yaitu istilah-istilah modern, serta menyusun suatu tata bahas normatif
dan menentukan kata-kata yang umum bagi bangsa Indonesia.
Masa pendudukan Jepang (1942-1945) Pada masa ini peran bahasa Indonesia semakin
penting karena pemerintah Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda yang dianggapnya
sebagai bahasa musuh Penguasa Jepang terpaksa mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi dalam administrasi pemerintahan dan bahasa pengantar di lembaga pendidikan, karena
bahasa Jepang sendiri belum banyak dimengerti oleh bangsa Indonesia. Untuk mengatasi
berbagai kesulitan, akhirnya Kantor Pengajaran Balatentara Jepang mendirikan Komisi Bahasa
Indonesia.
6. Jelaskan peranan Bahasa Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia!
Jawab:
7. Lembaga apa yag diserahi pemerintah untuk mengangani pembinaan dan pengembangan
Bahasa Indonesia? Sebutkan usaha – usaha lembaga tersebut!
Jawab:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, merupakan instansi pemerintah yang ditugaskan untuk menangani masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia. Sebagai badan yang telah lama menangani masalah kebahasaan dan kesastraan.
Usaha :
Kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan setiap tahun adalah upaya BPPB untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia, serta bertekad memelihara semangat dan meningkatkan peran serta masyarakat luas dalam menangani masalah bahasa dan sastra itu. Kegiatan yang dilaksanakan dalam acara Bulan Bahasa dan Sastra terdiri dari beberapa kegiatan. Ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang berkarya atau berekspresi, ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang peningkatan kualitas berbahasa Indonesia, dan ada kegiatan yang diadakan sebagai ajang perlombaan.
Kongres Bahasa Indonesia yang diselenggarakan lima tahun sekali ini adalah forum pertemuan pakar bahasa/sastra, budayawan, tokoh, pejabat negara, guru/dosen, mahasiswa, dan pencinta bahasa Indonesia. Bahkan, kini kongres ini melibatkan pakar berbagai bidang ilmu serta para penyelenggara pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing dari seluruh dunia. Oleh karena itu, forum akbar yang semula merupakan pertemuan nasional itu kini berkembang menjadi pertemuan internasional.
Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah, Oktober 1938. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, Sumatera Utara, 28 Oktober - 1 November 1954.
Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta, November 1978. Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta, 21 s.d. 26 November 1983. Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta, 27 Oktober s.d. 3 November 1988. Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta, 28 Oktober – 2 November 1993. Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta, 26-30 Oktober 1998. Kongres Bahasa Indonesia VIII, Jakarta, 14-17 Oktober 2003. Kongres Bahasa Indonesia IX, Jakarta, 28 Oktober-1 November 2008. Gerakan cinta bahasa Indonesia. Jambore Nasional Bahasa dan Sastra bertujuan:
- menumbuhkan rasa solidaritas generasi muda yang berorientasi terhadap lahirnya jiwa persatuan pada anak bangsa yang mampu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- menggali dan memformulasi kearifan lokal daerah menjadi karakter bangsa;- meningkatkan sikap positif para peserta terhadap bahasa nasional sebagai lambang
identitas bangsa Indonesia.
1. Tahun 1930
Usaha penelitian dalam bidang bahasa dan budaya telah dilakukan oleh para sarjana
Belanda, baik pemerintah maupun swasta. Pada tahun 1930-an pemerintah kolonial Belanda
sudah mulai mengadakan penelitian tentang kebudayaan yang ada di Indonesia. Penelitian itu
disalurkan melalui Lembaga Pendidikan Universiter, Kantoor voor Inlandsche Zaken, en
Oudheidkundige Dienst. Sementara itu, usaha swasta sejak tahun 1930 diwakili oleh Yayasan
Matthes, yang pada tahun 1955 namanya berubah menjadi Yayasan Sulawesi Selatan Tenggara
yang berkedudukan di Makassar (Ujung Pandang). Yayasan itu bertujuan mengadakan penelitian
bahasa dan kebudayaan daerah Makassar. Selain Yayasan Matthes, ada yayasan yang
mempunyai tujuan yang sama, yaitu Yayasan Kirtya Liefrinck van der Tuuk yang berkedudukan
di Singaraja, Bali, di bawah pimpinan Dr. R. Goris. Ketua yayasan itu akhirnya bekerja sama
dengan cabang lembaga yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
2. Tahun 1947 (Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek)
Dari masa ke masa, peristiwa bahasa dan kebudayaan Indonesia menarik perhatian para
sarjana. Pada tahun 1947 Fakultas Sastra dan Filsafat yang pada saat itu berada di bawah
naungan Departemen van Onderwijs, Kunsten en Wetenschappen (Kementerian Pengajaran,
Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan) meresmikan pembentukan suatu lembaga yang disebut
Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek (ITCO) yang bertujuan menampung kegiatan ilmiah
universitas, terutama dalam bidang bahasa dan kebudayaan.
Lembaga itu dipimpin oleh Prof. Dr. G.J. Held yang kemudian menjadi pemimpin umum.
ITCO mempunyai tiga bagian, yaitu (1) Bagian Ilmu Kebudayaan, (2) Bagian Ilmu Bahasa dan
Kesusastraan, dan (3) Bagian Leksikografi. Kegiatan yang dilakukan ITCO, selain penelitian
bahasa dan kebudayaan, ialah penyalinan kembali naskah yang ditulis di daun lontar yang
berasal dari Yayasan Kirtya Liefrinck van der Tuuk, naskah yang berasal dari Sono Budoyo,
Yogyakarta, dan naskah dari Yayasan Matthes, Makassar. Di samping itu, ITCO membuat film
tentang tulisan sastra daerah, seperti tulisan Aceh, Batak Simalungun, Melayu, Makassar, dan
Bugis. ITCO juga melakukan tukar-menukar film di Leiden, Pretoria, Kairo, dan New York.
Kegiatan lain yang dilakukan ITCO ialah berusaha menarik perhatian para sarjana luar negeri
untuk mengadakan penelitian ilmiah dan penerbitan tentang bahasa dan kebudayaan. Kegiatan
itulah sebenarnya yang mengawali kegiatan kebahasaan dan kesusastraan yang dilakukan oleh
lembaga bahasa yang tumbuh kemudian. Pada tahun 1952 ITCO digabung dengan Bagian
Penyelidikan Bahasa, Balai Bahasa Yogyakarta, menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya.
3. Tahun 1947 (Panitia Pekerja)
Pada tahun 1947 Mr. Soewandi selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
menugasi R.T. Amin Singgih Tjitrosomo untuk menyiapkan pembentukan suatu lembaga negara
yang menangani masalah pemeliharaan dan pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Namun, pembentukan tersebut belum dapat dilaksanakan karena pada saat itu para ahli dan
sarjana bahasa banyak yang mengungsi ke luar kota Jakarta. Persiapan yang telah dilakukan baru
sampai pada pembentukan Panitia Pekerja berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan Nomor 700/Bhg.A. tanggal 18 Juni 1974. Panitia Pekerja itu
merupakan satu unit yang dikepalai oleh Mr. St. Takdir Alisjahbana dengan R.T. Amin Singgih
Tjitrosomo sebagai sekretaris, dan dibantu oleh lima orang anggota, yaitu Adinegoro, W.J.S.
Porwadarminta, Ks. St. Pamuntjak, R. Satjadibrata, dan R.T. Amin Singgih Tjitrosomo.
4. Tahun 1948 (Balai Bahasa)
Ketika terjadi pendudukan tentara Belanda, Panitia Pekerja di Jakarta belum berhasil
membentuk suatu lembaga penelitian bahasa seperti yang diharapkan. Baru beberapa bulan
setelah Pemerintah Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Sekretaris Jenderal Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. Santoso, menugasi R.T. Amin Singgih Tjitrosomo
untuk menyiapkan pembentukan lembaga bahasa secara lengkap. Beberapa bulan setelah itu,
dibentuklah suatu lembaga otonom yang berada langsung di bawah Jawatan Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Lembaga tersebut bernama Balai Bahasa,
yang diresmikan pada bulan Maret 1948 di Yogyakarta atas dasar Surat Keputusan Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. Ali Sastroamidjojo, Nomor 1532/A tanggal 26
Februari 1948. Pemimpin umum Balai Bahasa mula-mula adalah P.F. Dahler alias Amin Dahlan,
kemudian R.T. Amin Singgih Tjitrosomo sebagai pejabat sementara. Karena P.F. Dahler
meninggal dunia, selanjutnya pemimpin umum dipegang oleh Prof. Dr. Prijana. Adapun
sekretaris Balai Bahasa adalah I.P. Simandjuntak. Balai Bahasa mempunyai empat seksi, yaitu
(1) Seksi Bahasa Indonesia, (2) Seksi Bahasa Jawa, (3) Seksi Bahasa sunda, dan (4) Seksi
Bahasa Madura. Tugas dan kegiatan Balai Bahasa ialah (1) meneliti bahasa Indonesia dan bahasa
daerah, baik lisan maupun tulis, baik yang masih hidup maupun yang sudah tidak digunakan lagi,
(2) memberi petunjuk dan pertimbangan tentang bahasa kepada masyarakat, dan (3) membina
bahasa. Pada saat itu Balai Bahasa sudah mempunyai kantor cabang yang berkedudukan di
Bukittinggi.
5. Tahun 1952 (Lembaga Bahasa dan Budaya)
Atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 1 Agustus 1952,
Balai Bahasa menjadi bagian Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Tugas Balai Bahasa itu
dilaksanakan oleh Lembaga Bahasa dan Budaya, yang merupakan gabungan dari Lembaga
Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan (ITCO) dan Bagian Penyelidikan Bahasa, Balai Bahasa,
dan Jawatan Kebudayaan. Pimpinan Lembaga Bahasa dan Budaya ialah Prof. Dr. Prijana yang
merangkap sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sejak tanggal 1 Mei 1957--
karena beliau diangkat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan--jabatan
pimpinan Lembaga dipegang oleh Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat yang juga merangkap
sebagai guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jabatan sekretaris umum dipegang oleh
Darsan Martadarsana dan pada tahun 1956 digantikan oleh Sjair. Pada tahun 1958 Sjair, karena
pensiun, diganti oleh Dra. Lukijati Gandasubrata. Lembaga Bahasa dan Budaya mempunyai
struktur oraganisasi yang lebih baik daripada Balai Bahasa. Lembaga Bahasa dan Budaya
mempunyai tujuh bagian dengan tiga cabang. Bagian tersebut ialah (1) Bagian Penyelidikan
Bahasa dan Penyusunan Tata Bahasa, (2) Bagian Lesksikografi, (3) Bagian Penyelidikan
Kebudayaan, (4) Bagian Komisi Istilah, (5) Bagian Penyelidikan Kesusastraan, (6) Bagian
Perpustakaan, dan (7) Bagian Terjemahan.
6. Tahun 1959 (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan)
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69626/B/S,
tanggal 1 Juni 1959, Lembaga Bahasa dan Budaya berganti nama menjadi Lembaga Bahasa dan
Kesusastraan. Sejak itu lembaga tersebut beserta cabangnya terlepas dari Fakultas Sastra
Universitas Indonesia dan langsung di bawah Departemen Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan. Bagian Bahasa, Jawatan Kebudayaan dilebur dan pegawainya masuk ke Lembaga
Bahasa dan Kesusastraan. Demikian pula, sejak bulan Juni 1964, Urusan Pengajaran Bahasa
Indonesia dan Daerah, Jawatan Pendidikan Umum, dimasukkan ke dalam lembaga itu.
Pimpinan pertama Lembaga Bahasa dan Kesusastraan adalah Prof. P.A. Hoesein
Djajadiningrat dan Sekretaris Umum Dra. Lukijati Gandasubrata. Pada tahun 1960 jabatan
pimpinan umum dipegang oleh sekretaris umum karena pimpinan umum meninggal dunia. Pada
tahun 1962 Dra. Lukijati Gandasubrata pindah ke Semarang. Pada tahun 1966, pimpinan
Lembaga Bahasa dan Kesusastraan itu digantikan oleh Dra. S.W. Rudjiati Muljadi. Lembaga
Bahasa dan Kesusastraan terdiri atas delapan urusan, yakni (1) Urusan Tata Bahasa, (2) Urusan
Peristilahan, (3) Urusan Kesusastraan Indonesia Modern, (4) Urusan Kesusastraan Indonesia
Lama, (5) Urusan Bahasa Daerah, (6) Urusan Perkamusan, (7) Urusan Dokumentasi, dan (8)
Urusan Terjemahan.
7. Tahun 1966 (Direktorat Bahasa dan Kesusastraan)
Berdasarkan Surat Keputusan Presidium Kabinet Nomor 75/V/Kep/i/1966, tanggal 3
November 1966 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan diubah namanya menjadi Direktorat Bahasa
dan Kesusastraan di bawah pimpinan Dra. S.W. Rudjiati Muljadi.
Direktorat Bahasa dan Kesusastraan mempunyai bagian sebagai berikut: (1) Dinas Bahasa
Indonesia, (b) Dinas Kesusastraan Indonesia, (c) Dinas Bahasa dan Kesusastraan Daerah, (d)
Dinas Bahasa dan Kesusastraan Asing, (e) Dinas Peristilahan dan Perkamusan, dan (f)
Sekretariat.
8. Tahun 1969 (Lembaga Bahasa Nasional)
Atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mashuri, S.H., Nomor
034/1969 Tahun 1969, mulai tanggal 24 Mei 1969 nama Direktorat Bahasa dan Kesusastraan
diganti menjadi Lembaga Bahasa Nasional. Secara struktural, lembaga itu berada di bawah
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dra. S.W. Rujiati
Mulyadi diangkat sebagai Kepala Lembaga Bahasa Nasional dengan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 035/1969. Namun, dari tanggal 1 Januari -- 31 Desember
1970 Kepala Lembaga Bahasa Nasional dijabat oleh Drs. Lukman Ali karena Dra. S.W. Rujiati
Mulyadi bertugas di luar negeri (Leiden).
Lembaga Bahasa Nasional mempunyai tugas (1) membina dan mengembangkan bahasa
Indonesia dan daerah dalam bidang tata bahasa, peristilahan, perkamusan, sastra, dialek,
terjemahan, dan kepustakaan; (2) mengadakan penelitian setempat, seminar, simposium, dan
musyawarah bersama-sama instansi lain dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, badan, dan organisasi masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri; (3)
memberikan bantuan, keterangan, pertimbangan, dan nasihat mengenai masalah bahasa dan
sastra Indonesia dan daerah kepada instansi di lingkungan departemen, badan, organisasi
masyarakat, atau perseorangan, baik di dalam maupun di luar negeri; (4) menyelenggarakan
penerbitan dan penyebaran hasil penelitian untuk kepentingan pendidikan, pengajaran, dan
kebudayaan pada khususnya, serta bangsa dan negara Indonesia pada umumnya; (5)
menyelenggarakan ketatausahaan selengkapnya; serta (6) memberi saran dan pertimbangan
kepada Direktur Jenderal Kebudayaan demi kesempurnaan tugas pokok.
Karena tugas pembinaan, penelitian, dan pengembangan bahasa dan sastra nasional semakin
luas, dengan Surat Keputusan Nomor 038/1970, tanggal 1 Mei 1970, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, memutuskan pembentukan kembali cabang Lembaga Bahasa Nasional, yaitu
Cabang I di Singaraja, Cabang II di Yogyakarta, dan Cabang III di Makassar.
9. Tahun 1974 (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa)
Dalam rangka reorganisasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, atas dasar Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 44 dan 45 Tahun 1974, Lembaga Bahasa Nasional diubah
namanya menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 079/O Tahun 1975, yang
diubah dan disempurnakan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
0222/O/ 1980, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditetapkan sebagai pelaksana tugas
di bidang penelitian dan pengembangan bahasa dan sastra yang berada langsung di bawah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dipimpin oleh seorang kepala yang dalam
melaksanakan tugas sehari-hari bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. Sejak
1975 secara berturut-turut kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dijabat oleh Prof.
Dr. Amran Halim (1975--1984), Prof. Dr. Anton M. Moeliono (1984--1989), Drs. Lukman Ali
(1989--1991), dan Dr. Hasan Alwi (1991--2000). Dalam menyelenggarakan tugas di bidang
penelitian dan pengembangan bahasa dan sastra, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
mempunyai fungsi sebagai (1) perumus kebijakan Menteri dan kebijakan teknis di bidang
penelitian dan pengembangan bahasa; (2) pelaksana penelitian dan pengembangan bahasa serta
pembina unit pelaksana teknis penelitian bahasa di daerah; (3) pelaksana urusan tata usaha pusat.
Susunan organisasi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, sebagai pelaksana tugas
di bidang penelitian dan pengembangan bahasa dan sastra adalah sebagai berikut: (1) Bagian
Tata Usaha, (2) Bidang Bahasa Indonesia dan Daerah, (3) Bidang Sastra Indonesia dan Daerah,
(4) Bidang Perkamusan dan Peristilahan, dan (5) Bidang Pengembangan Bahasa dan Sastra.
Dalam melaksanakan tugas itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa--hingga tahun
1999--hanya didukung oleh 3 unit pelaksana teknis (UPT), yaitu (1) Balai Bahasa Yogyakarta,
(2) Balai Bahasa Denpasar, dan (3) Balai Bahasa Ujungpandang.
Sejalan dengan semakin luas cakupan tugas Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 226/O/1999 tanggal
23 September 1999 dan Nomor 227/O/ 1999 tanggal 23 September 1999, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa mendapat tambahan empat belas UPT. Keempat belas UPT itu ialah (1)
Balai Bahasa Banda Aceh, (2) Balai Bahasa Medan, (3) Balai Bahasa Pekanbaru, (4) Balai
Bahasa Padang, (5) Balai Bahasa Palembang, (6) Balai Bahasa Bandung, (7) Balai Bahasa
Semarang, (8) Balai Bahasa Surabaya, (9) Balai Bahasa Banjarmasin, (10) Balai Bahasa
Jayapura, (11) Kantor Bahasa Pontianak, (12) Kantor Bahasa Palangkaraya, (13) Kantor Bahasa
Manado, dan (14) Kantor Bahasa Palu.
10. Tahun 2000 (Pusat Bahasa)
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 010/ MPN.A2/KP/2000
tanggal 25 Juli 2000, Dr. Hasan Alwi diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai
Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa karena telah memasuki masa purnabakti
dan diangkat sebagai Plh. Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sejak saat itu,
nama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menjadi Pusat Bahasa. Kemudian,
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11/MPN.A4/ KP/2001, Dr.
Dendy Sugono diangkat sebagai Kepala Pusat Bahasa.
Setelah Dr. Dendy Sugono pensiun 1 Juni 2009, jabatan Kepala Pusat Bahasa sementara
dijabat Agus Dharma, S.H., Ph.D. sebagai wakil sementara (Wks.) dan Dra. Yeyen Maryani,
M.Hum. sebagai koordinator intern (korin). Pada tanggal 16 September 2010 Prof. Drs. Endang
Aminuddin Aziz, M.A., Ph.D. diangkat sebagai Kepala Pusat Bahasa. Namun, tanggal 27
Desember 2010, Prof. Drs. Endang Aminuddin Aziz, M.A., Ph.D. mengundurkan diri dari
jabatannya.
11. Tahun 2010 (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)
Pada tahun 2009 Pemerintah dan DPR RI periode 2004 - 2009 mengesahkan Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Serta Lagu
Kebangsaan. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 dan Peraturan Presiden
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, Pusat Bahasa berganti
nama menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dibawah Kementerian Pendidikan
Nasional. Pusat Bahasa yang dulu secara organisasi berada di tingkat Eselon II kini setelah
menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjadi unit utama (Eselon I) di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan mengacu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Nomor
24 Tahun 2010, Agus Dharma, S.H., Ph.D. diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dengan Sekretaris Badan Bahasa, Dra. Yeyen
Maryani, M.Hum., Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Prof. Dr. Cece Sobarna, dan
Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan, Qudrat Wisnu Aji, S.E, M.Ed.
Pada tanggal 30 November 2011, Qudrat Wisnu Aji, S.E, M.Ed menjadi Kepala Biro
Umum, Sekretariat Jenderal, Kemdikbud, dan digantikan oleh Drs. Muhadjir, M.A. sebagai
Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan. Prof Dr. Cece Sobarna sebagai Kepala Pusat
Pengembangan dan Pelindungan digantikan oleh Dr. Sugiyono.
Karena Plt. Kepala Badan Bahasa pada bulan Desember 2011 memasuki masa purnabakti,
berdasarkan Surat Perintah Mendikbud Nomor 327/MPN.A4/KP/2011, Kepala Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dijabat oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
yang membidangi kebudayaan, Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch. Ph.D., sebagai Pelaksana
Tugas (Plt.) Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Sejak tanggal 16 April 2012, Prof. Dr. Mahsun, M.S. ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, berdasarkan Surat Perintah Mendikbud Nomor 139/MPN.A4/KP/2012.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mempunyai 1 Sekretariat Badan dengan 4
Kepala Bagian dan 12 Kepala SubBagian serta 2 Kepala Pusat dengan 6 Kepala Bidang dan 12
Kepala SubBidang. Di samping itu, Badan Bahasa memiliki 17 balai bahasa dan 13 kantor
bahasa.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjalin kerja sama dengan banyak pihak,
baik di dalam maupun di luar negeri. Kerja sama dalam negeri, antara lain, dilakukan dengan
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, perguruan tinggi, lembaga
pemerintah dan swasta, serta organisasi profesi. Sementara itu, dengan pihak luar negeri, kerja
sama itu dilakukan dengan perguruan-perguruan tinggi, lembaga-lembaga pengajaran bahasa
Indonesia, dan pusat-pusat kebudayaan asing. Pihak-pihak yang dimaksud adalah sebagai
berikut.