bab iv relevansi kitab ayub dengan pendampingan...
TRANSCRIPT
54
BAB IV
RELEVANSI KITAB AYUB DENGAN PENDAMPINGAN PASTORAL
KEDUKAAN
Pengertian kedukaan.
Setiap manusia pernah mengalami kehilangan. Kehilangan dapat terjadi
mulai dari yang dianggap remeh dan sederhana, misal kehilangan uang receh
sampai kehilangan yang sangat menyesakkan.
Kehilangan dapat berupa berujud banyak, mulai dari dari hal-hal kecil
sampai hal yang menyangkut kehidupan. Kehilangan dapat berupa sakit, baik
yang ringan maupun yang tak tersembuhkan, yang menyebabkan kehilangan
kesehatan. Kehilangan dapat berupa kematian dari orang-orang di sekitar kita dan
orang-orang terdekat. Kehilangan dapat melanda seluruh aspek kehidupan
manusia.
Kehilangan menimbulkan kedukaan. Kamus webster’s ninth New
Collegiate Dictionary, kata grief (kedukaan) berarti a deep and poignant distress
caused by or as if by bereavement, kedukaan adalah penderitaan batin yang sangat
dalam karena peristiwa kehilangan. Kedukaan adalah reaksi terhadap suatu
kehilangan.
Baker Encyclopedia of Psychology, memberi definisi bahwa kedukaan
(grief) adalah the cognitive anda emotional process of working throught a
significant loss, kedukaan adalah proses kognitif (pikiran, logika) dan emotif
55
(perasaan) dalam menghadapi kehilangan sesuatu yang berharga. Totok
Wiryosaputra (2003) menambahkan bahwa bukan hanya kognitif dan emotif,
tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia (fisik, mental: kognitif dan
mental, spiritual dan sosial).
Robert E. Neale dalam Loneliness: Depression, Grief, and Alienation,
mengutip pendapat Maris tentang kedukaan. Kedukaan adalah akibat dari suatu
kehilangan dan merupakan proses peralihan dari situasi terkejut dan
ketidakmampuan melupakan masa lalu menuju situasi sedih yang sangat dalam
atas peristiwa kehilangan itu, kemudian berusaha memanfaatkan apa yang
berharga pada masa lalu sebagai dasar pola hubungan yang baruyang berguna.
Maris menggambarkan kedukaan sebagai suatu proses peralihan dari tahap
terkejut, tidak dapat menerima kenyataan dan merasakan kesedihan yang sangat
dalam sampai mencapai keseimbangan yang baru: bertumbuh.
Granger Westberg (1971) menyebut kedukaan sebagai nafas. Kedukaan
seperti gerakan simultan dalam bernafas, ada nafas ringan, ada nafas berat.
Demikian juga dengan kedukaan, ada kedukaan ringan dan ada kedukaan berat.
David A. Tomb (1981) menyebutkan kedukaan sebagai sebuah reaksi normal
terhadap peristiwa kehilangan atas sesuatu yang berharga. Ia mengartikan
kedukaan kecil sebagai kedukaan normal dan kedukaan besar sebagai kedukaan
abnormal atau kedukaan yang tidak terpecahkan.
Kedukaan merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri
ketika sedang mengalami peristiwa kehilangan. Kedukaan bukan hanya
56
merupakan tanggapan seseorang secara kognitif dan emotif terhadap kehilangan,
tetapi juga merupakan tanggapan secara holistik terhadap kehilangan atas sesuatu
yang dianggap bernilai, berharga atau penting. Tanggapan secara holistik berarti
menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia: fisik, mental, spiritual dan sosial.
Kedukaan merupakan tanggapan holistik karena seseorang mengerahkan seluruh
aspek keberadaannya sebagai satu kesatuan yang utuh untuk menghadapi sebuah
peristiwa kehilangan yang terjadi.1
Kedukaan adalah fakta universal. Kedukaan adalah fakta dalam kehidupan
manusia dalam semua kurun waktu, budaya, ras, maupun agama. Kedukaan
adalah proses normal dalam kehidupan manusia. Orang yang berduka akan
melewati proses kedukaan (normal grief) dengan wajar pada kurun waktu
tertentu.2 Proses kedukaan dapat dikatakan selesai apabila orang yang berduka
sudah dapat mengingat dan menceriterakan dengan jelas peristiwa kehilangan
tanpa perasaan sedih atau dalam penderitaan batin dan dapat menyesuaikan diri
lagi dengan kehidupan barunya secara normal. Orang yang telah menyelesaikan
kedukaaannya berarti telah mengalami pengalaman kedukaan secara penuh dan
utuh.3
Kedukaan bisa menjadi kedukaan yang tidak normal ( pathological grief)
apabila orang yang berduka tidak mampu mengelola kedukaannya, sehingga
hidupnya terganggu. Gangguan itu dapat berupa perubahan perilaku, tindakan
1 Totok S. Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif Mengelola Perasaan Duka
(Yogyakarta: Kanisius, 2023), 24-25.
2 Totok S. Wiryasaputra memberikan ancar-ancar waktu sekitar 1 tahun,ibid, sedangkan
Yakub B. Susabda memberikan batas waktu paling lama 3 tahun (Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling,jilid 2 (Malang: Gandum Mas, 2008).
3 Ibid.
57
yang berbeda sesudah dan sebelum peristiwa kehilangan. Biasanya gejala-gejala
kedukaan patogenik muncul secara berkepanjangan. Kedukaan patogenik
menunjuk pada kedukaan normal yang berubah menjadi kedukaan yang tidak
terselesaikan (unresolved grief). Kedukaan patogenik adalah kedukaan yang
menjerat sehingga orang tidak dapat melepaskan dari keterikatan emosinya
dengan yang hilang.4
C.M. Parker menyebutkan ada empat fase yang umumnya dialami oleh
setiap orang yang berduka:5
1. Fase numbness. Fase yang berupa pengalaman shock atas berita kehilangan,
diikuti dengan masa di mana realita kehilangan itu belum dapat menyentuh
dan menggerakkan emosi. Pada fase ini rasio dan emosi belum bekerja
secara harmonis, salah satu bentuknya adalah penduka berusaha menangis
tetapi air mata belum dapat keluar. Fase ini biasanya terjadi pada
kehilangan secara mendadak.
2. Fase Yearning. Fase di mana penduka mencoba mengatasi realita
kehilangan. Hal ini bisa diekspresikan dalam bentuk penyangkalan diri
(denial), tawar menawar (bargaining), menutup diri (isolation).
3. Fase disorganization dan despair. Pada fase ini penduka mulai menyadari
realita yang tidak dapat diubah dan tidak ada lagi tuntutan untuk
membatalkan realita tersebut.
4. Fase reorganization. Fase penyesuaian dengan kondisi yang baru
4 Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling,jilid 2, buku Pegangan untuk Pemimpin Gereja
(Malang: Gandum Mas, 2008), 100.
5 Ibid.
58
Faktor –faktor yang memengaruhi kedalaman kedukaan.kedalaman
kedukaan dipengaruhi: pertama, obyek yang hilang: kasat mata (maujud) dan
tidak kasat mata (mujarad). Semakin bernilai obyek yang hilang semakin dalam
kedukaan yang ditimbulkan dan kehilangan yang tidak kasat mata lebih mendalam
daripada yang kasat mata. Kedua, cara kehilangan: biasa atau tragis. Kehilangan
secara tragis menimbulkan kedukaan yang lebih dalam dibandingkan kehilangan
secara biasa. Ketiga, jangka waktu kehilangan: sementara atau selamanya.
Kehilangan untuk waktu selamanya menimbulkan kedukaan yang lebih dalam
dibandingkan kehilangan untuk sementara. Keempat, lapisan kedukaan: tunggal
atau bertumpuk. Kedukaan yang disebabkan karena kehilangan secara bertumpuk,
lebih dalam dibandingkan yang tunggal. Kelima, nilai obyek yang hilang: rendah
atau tinggi. Semakin tinggi nilai obyek yang hilang menimbulkan kedukaan yang
lebih dalam dibanding yang rendah.6
Orang yang mengalami kedukaan membutuhkan pendampingan.
Pendamping yang dibutuhkan adalah orang yang mampu mengerti, mampu
mendengar, dan memperhatikan (caring) dibanding dengan nasehat-nasehat
verbal. Pendamping akan mampu mendampingi orang yang berduka (terdamping)
apabila mampu:7
1. Mendorong terdamping untuk mengekspresikan dengan perasaan dan
pikirannya atas kehilangan yang dialami. Mampu mengerti apa yang
6 Totok S. Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif Mengelola Perasaan Duka
(Yogyakarta: Kanisius, 2023), 27.
7 Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling, buku Pegangan untuk Pemimpin Gereja (Malang:
Gandum Mas, 2008), 104-105.
59
dirasakan dan dipikirkan terdamping akan menjadi modal bagi terdamping
untuk berani menghadapi realita.
2. Terdamping dapat merasakan bahwa pendamping menyertai dan siap
membantu. Kehadiran pendamping dengan maksud siap membantu pada
saat dibutuhkan.
3. Pendamping mampu menempatkan diri sebagai pendengar dan teman
bicara. terdamping dalam kedukaannya ingin mengungkapkan pikiran dan
perasaannya berkaitan dengan peristiwa yang dialaminya. Diperlukan
pendamping yang mau dan mampu mendengar tanpa interupsi dan tanpa
keinginan untuk cepat-cepat memberi jawab, resep dan nasehat, teguran-
teguran.
Pengertian dan fungsi pendampingan pastoral.
Kata pendampingan umumnya dikaitkan dengan kata care yang artinya
asuhan, perawatan, penjagaan, perhatian penuh. Istilah pastoral berasal dari
bahasa Latin pastor, yang berarti gembala. Jika kata ini dikaitkan dengan pelaku
atau seseorang yang bersifat pastoral artinya seseorang yang mempunyai sifat
gembala, yang bersedia merawat, menjaga, memelihara, melindungi dan
menolong orang lain. Pendampingan pastoral mempunyai arti sebuah proses
yang dilakukan oleh seseorang yang bersedia untuk memberikan perhatian,
perawatan, pemeliharaan, perlindungan kepada seseorang yang membutuhkan.
Bagi umat Kristen, Tuhan Yesus menjadi acuan dan ukuran dalam
melakukan tindakan pastoral. Beberapa kali Tuhan Yesus diperkenalkan sebagai
sebagai gembala yang baik (Yohanes 10). Makna gembala yang baik adalah
60
seseorang yang lemah lembut, yang bersedia menjadi penolong, pemelihara
manusia, sekaligus pada waktu yang sama memberikan kebebasan kepada
manusia yang ditolongnya untuk mengambil sikap dan mengambil keputusan
sendiri. Tuhan Yesus memandang manusia yang ditolong dan didampingi-Nya
sebagai pribadi yang utuh.8
Aart Van Beek memberikan pengertian pendampingan pastoral adalah
suatu kegiatan kemitraan, bahu membahu, menemani, berbagai dengan tujuan
untuk saling menumbuhkan dan mengutuhkan yang bersifat pastoral.
Pendampingan pastoral merupakan bentuk pertolongan kepada sesama yang utuh
mencakup jasmani, mental, sosial dan spiritual (Aart Van Beek, 2007).
William A. Clebsch memberi pengertian pendampingan pastoral (pastoral
care) sebagai tindakan pelayanan pertolongan yang dilakukan orang Kristen yang
memiliki kemampuan, yang bertujuan untuk menyembuhkan (healing),
mendukung (sustaining), mengarahkan (guiding) dan memulihkan (reconsciling)
orang yang memiliki masalah yang ultima (ultimate meaning).
Penyembuhan adalah fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi
beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan
dan menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Setiap
orang yang mengalami penderitaan tidak dapat menerima apa yang terjadi
terutama perubahan dari fungsi hidupnya. Luka batin, kerusakan tubuh
seringkali tidak memampukan seseorang menerima keadaannya dengan baik,
8 Aart Van Beek, Konseling Pastoral, Sebuah Buku Pegangan bagi Para Penolong di
Indonesia (Semarang: Penerbit Satyawacana, 1987), 6-7.
61
mereka merasa tidak berguna dengan keadaan yang dialami. Fungsi
penyembuhan menyakinkan kembali bahwa masih ada pengharapan baru
didalam kerusakan tubuhnya atau luka batinnya.
Penopangan berarti, menolong orang lain yang “terluka” untuk bertahan
dan melewati suatu keadaan yang didalamnya pemulihan kepada kondisi semula
atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinannya.
Penopangan dilakukan supaya orang yang mengalami penderitaan berat tidak
mudah kehilangan keyakinannya terutama kepada Tuhan. Seseorang yang sudah
tua dan mengalami penyakit menahun seringkali menghadapi situasi yang
demikian. Oleh karena itu bagi yang menderita dan orang-orang terdekat
ditopang supaya mampu mempertahankan semangat hidupnya, agar tetap
bertahan dalam pengharapannya.
Pembimbingan, berarti membantu orang-orang yang kebingungan untuk
menentukan pilihan-pilihan yang pasti diantara berbagai pikiran dan tindakan
alternatif, jika pilihan-pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi
keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang. Seseorang yang mengalami
penderitaan baik kehilangan anggota tubuhnya, kehilangan keluarganya,
kehilangan harta bendanya seringkali mengalami situasi sulit untuk menentukan
apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kebanyakan seseorang yang kehilangan
tidak siap menerima perubahan yang terjadi akibatnya mereka menjadi
kehilangan arah. Fungsi pembimbingan memampukan mereka yang kehilangan
agar dapat menentukan pilihan yang paling baik untuk kelanjutan hidupnya.
62
Pendamaian, berupaya membangun ulang relasi manusia dengan
sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah,
pendamaian menggunakan dua bentuk yaitu pengampunan dan disiplin,
tentunya dengan didahului oleh pengakuan. Pendamaian berfungsi menuntun
mereka kembali untuk menemukan arti kediriannya diantara relasi dengan
manusia lain dan dengan Tuhan. Supaya mereka kembali berfungsi sebagaimana
manusia pada umumnya.
Howard Clinebell menambahkan satu fungsi pendampingan pastoral
yaitu: pemeliharaan atau pengasuhan (nurturing). Pengasuhan bertujuan untuk
memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan
Allah kepada mereka, di sepanjang kehidupan manusia.
Di sisi lain, menurut Totok S. Wiryasaputra di dalam bukunya Ready to
Care, Pendampingan dan Konseling Psikologi, manusia dapat dipahami
sebagai mahluk holistik dan mahkluk perjumpaan.
Manusia sebagai mahkluk holistik adalah manusia dalam kondisi
seutuhnya yang meliputi aspek fisik, mental, spiritual dan sosial. Pengertian
manusia yang sehat berarti manusia memiliki kondisi sehat secara utuh,
sejahtera dalam aspek fisik, mental, spiritual dan sosial. Aspek fisik berkaitan
dengan bagian yang nampak (badan, wadhag, Jawa) dari hidup manusia. Aspek
ini terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar dirinya.
Dengan aspek fisik ini manusia dapat dilihat, diraba, disentuh, dan diukur.
Kedua, aspek mental. Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi, dan
63
kepribadian manusia. Aspek mental ini juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa,
motivasi, dan integrasi diri manusia. Selanjutnya, aspek mental mengacu pada
hubungan seseorang dengan bagian dalam dari dirinya (batin, jiwa). Se-
sungguhnya, aspek ini tidak tampak, sehingga tidak dapat diraba, disentuh, dan
diukur. Aspek mental memampukan manusia berhubungan dengan diri sendiri
dan lingkungannya secara utuh, memberadakan, membuat jarak (distansi),
membedakan diri, dan bahkan dengan diri sendiri. Aspek spiritual. Dalam hal
ini, aspek spiritual berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara
khusus dapat berhubungan dengan sang Pencipta sejati, Allah. Aspek ini
mengacu pada hubungan manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar
jangkauannya. Aspek ini juga tidak tampak. Inilah aspek vertikal dari kehidupan
manusia. Dalam hal ini manusia bergaul dengan sesuatu yang agung, yang
berada di luar dirinya, dan mengatasi kehidupannya. Aspek ini memungkinkan
manusia berhubungan dengan dunia lain, yang transenden. Aspek sosial. Aspek
ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin berdiri sendiri.
Dia tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Manusia harus dilihat dalam
hubungannya dengan pihak luar secara horizontal, yakni dunia sekelilingnya. la
harus berada bersama dengan sesuatu atau seseorang lain. la selalu hidup dalam
sebuah interelasi dan interaksi yang berkesinambungan. Seluruh aspek hidup
manusia saling berkaitan dan mempengaruhi secara sistemik dan sinergik
membentuk eksistensi manusia sebagai keutuhan yang bertumbuh mencapai
64
kepenuhannya. Kita dapat membedakan satu aspek dari aspek yang lain, namun
pada dasarnya kita tidak dapat memisahkannya.9
Manusia juga merupakan makhluk perjumpaan, artinya keberadaannya
adalah bersama dengan sesuatu atau seseorang yang lain. Hakikat keberadaan
manusia adalah selalu berhadapan dengan yang lain. Manusia bertumbuh dalam
proses menjumpai dan dijumpai.10
Pendampingan merupakan bentuk langsung
dari hakekat manusia sebagai makhluk perjumpaan.
Ketrampilan dalam Pendampingan Pastoral.
Pendampingan pastoral sebagai tindakan membutuhkan ketrampilan.
Ketrampilan merupakan kemampuan pendamping dalam proses
pendampingannya. Ketrampilan dasar yang harus dimiliki pendamping adalah:11
1. Hadir. Pendamping hadir baik secara fisik maupun psikologis. Secara
fisik, melalui penampilannya pendamping meyakinkan terdamping,
bahwa ia “ada dengan” (being with) terdamping secara total.
Pendamping siap bersama terdamping dengan konsentrasi penuh. Secara
psikologis, pendamping mampu mendengarkan terdamping dengan
penuh perhatian dan konsentrasi. Pendamping mampu mendengarkan
yang tersurat (lisan) maupun tersirat (non lisan) dari terdamping yang
didampinginya.
9 Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care (Yogyakarta: Galangpress, 2006), 39-40.
10
Ibid, 47.
11 Mesach Krisetya, Tahap-tahap Konseling Pastoral Jangka Panjang, dalam Aart Van
Beek, Konseling Pastoral, Sebuah Pegangan bagi Para Penolong di Indonesia (Semarang: Penerbit Satyawacana, 1987), 33-37.
65
2. Empati. Secara etimologis kata empati berasal dari bahasa Yunani, em
dan pathete yang berarti di dalam dan merasakan. Empati berarti turut
merasakan dan memasuki serta memahami dunia terdamping
sebagaimana adanya dalam rangka menolong terdamping untuk
memecahkan masalahnya sendiri. Dengan empati, pendamping mampu
melihat dunia terdamping dari perspektif dan kerangka terdamping
(discriminate) dan mampu mengkomunikasikan bahwa pendamping
telah menangkap perasaan dan tingkah laku serta pengalaman
terdamping (communicate).
3. Ketrampilan – ketrampilan lain, antara lain :
- Penghargaan: pendamping menghargai terdamping, menerima
dan ada untuk menolong dan melayani.
- Keaslian: kesediaan untuk menolong adalah asli, bukan kepura-
puraan.
- Konfrontasi : pendamping menantang hal-hal yang tidak jelas
bagi terdamping, dengan tujuan menolongnya mengembangkan
pengertian yang membawa kepada tingkah laku yang konstruktif.
Kedukaan Sebagai Bagian dari Krisis Hidup Manusia.
Krisis dipahami sebagai suatu situasi, di mana manusia ada dalam
persimpangan jalan untuk mengambil keputusan atau tindakan. Krisis terjadi
ketika manusia mengalami goncangan batin yang melewati ambang batas
66
mekanisme pertahanan psikologisnya, sehingga dapat mengganggu kondisi
batin seorang, yang menyebabkan tidak dapat berfungsi normal.12
Krisis terutama berkaitan dengan aspek mental. Aspek mental terdiri dari
perasaan (afeksi), pikiran (kognisi) dorongan (motivasi) dan kepribadian. Secara
holistik aspek mental juga berkaitan dengan aspek fisik, spiritual dan sosial.
Pada umumnya krisis berkaitan dengan penderitaan, keprihatinan,
gangguan, konflik, ketidaknyamanan batin dan kesedihan yang dialami oleh
seseorang. Secara konkrit krisis berkaitan dengan kehilangan, kedukaan, sakit
berkepanjangan, kegagalan hidup baik dalam relasi dengan sesama (pacar,
keluarga, masyarakat) maupun karena pekerjaan.
Ada tiga kategori kritis. Pertama, krisis perkembangan (developmental
crisis). Krisis ini berkaitan dengan tahap perkembangan hidup manusia, dari
lahir, bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, pernikahan, tengah baya, matang,
lanjut usia dan meninggal. Kedua, krisis situasional (situasional/accidental
crisis), krisis yang tejadi karena adanya yang dianggap kecelakaan (accident),
misalnya sakit, kehilangan jabatan, perceraian, tidak lulus ujian, kematian pada
usia muda. Ketiga, krisis eksistensial (existensial crisis). Krisis eksistensial
berkaitan dengan konflik dan tekanan batin yang disebabkan kehilangan harga
diri, tidak mendapat kesempatan dalam pengambilan keputusan, perendahan
nilai-nilai kemanusiaan.13
12 Ibid.
13
Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care (Yogyakarta: Galangpress, 2006), 77.
67
Kedukaan merupakan bagian dari krisis hidup manusia. Kedukaan dapat
dipahami penderitaan batin yang sangat dalam karena suatu peristiwa
kehilangan.14
Menurut Totok S. Wiryasaputra kedukaan mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia (aspek holistik). Aspek itu adalah: aspek fisik, mental
(kognitif dan emotif), spiritual dan sosial.
Kedukaan merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri
ketika kita sedang menghadapi peristiwa kehilangan. Sebenarnya, kedukaan
bukan hanya merupakan tanggapan seseorang secara kognitif dan emotif
terhadap kehilangan, tetapi juga merupakan tanggapan seseorang secara holistik
terhadap kehilangan atas sesuatu yang dianggap bernilai, berharga, atau penting.
Tanggapan secara holistik berarti menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia
(fisik, mental, spiritual, dan sosial). Kedukaan merupakan tanggapan holistik
karena seseorang mengerahkan seluruh aspek keberadaannya sebagai satu
kesatuan yang utuh untuk menghadapi sebuah peristiwa kehilangan yang terjadi.
Dr. Elisabeth Kubler-Ross, menyimpulkan bahwa orang yang berduka
mengalami lima fase kedukaaa (stages of grief). Fase-fase itu adalah: Pertama,
Penolakan dan isolasi (Denial and Isolation). Fase ini adalah fase di mana
orang yang berduka menolak atas peristiwa yang terjadi padanya dan karena
penolakan itu kemudian menutup diri. Kedua, marah (anger) merupakan fase di
mana orang yang berduka merasa bahwa keterkejutan, ketidakpercayaan dan
isolasi yang dilakukan tidak berpengaruh apa-apa. Meskipun secara rasional
14 Definisi asli dari kamusWebster’s Ninth New Collegiate Dictionary: “a deep and
poingnant distress caused by or as if by bereavement, dikutip dari Totok S. Wiryasaputra dalam bukunya Mengapa Berduka, Kreatif Mengelola perasaan Duka (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 24.
68
penderita dapat menerima tetapi secara emosional, perasaan hatinya
memberontak, kecewa dan menimbulkan kemarahan. Rasa marah dapat
ditujukan pada diri sendiri, pada orang-orang terdekat, pada orang lain bahkan
kepada Tuhan. Ekspresi kemarahan dapat dimunculkan dengan nyata, atau
dalam bentuk kemarahan yang tersembunyi. Ketiga Tawar menawar
(bargaining). Pada fase ini orang yang berduka mulai mengadakan tawar
menawar . "kalau boleh ...", merupakan ungkapan yang dilontarkan .
Tahap tawar menawar dapat diarahkan kepada siapa saja baik perorangan,
lembaga bahkan kepada Tuhan. Tahap tawar menawar ini biasanya tidak
bertahan lama. Keempat, depresi (depression), fase depresi adalah fase di mana
orang yang berduka merasa sangat tertekan secara psikologis. Secara psikologis,
gejala-gejala depresi antara lain, diam, tidak mau beraktivitas, tidak ada
semangat hidup, tidak ada napsu makan, tidak dapat berpikir jernih, merasa
sendirian, dan sebagainya. Kelima, penerimaan (acceptance). Tahap ini dapat
disebut pasrah atau berserah. Pasrah dalam tahap ini adalah pasrah yang
positif. Orang yang berduka dapat menerima keadaannya, ia siap menjemput
masa depan.15
Relevansi Kitab Ayub dengan Pendampingan Pastoral Kedukaan.
Kitab Ayub adalah sebuah kitab kebijaksanaan dengan tema utama tentang
penderitaan. Tokoh Ayub dalam kitab Ayub adalah seseorang yang hidupnya
benar yang mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Penderitaan yang dialami
15 Catatan: Fase-fase tersebut di atas tidak selalu nampak Jelas, kadang fase-
fase itu bisa melompat-melompat,atau kembali ke fase sebelumnya.
69
Ayub merupakan penderitaan karena kehilangan semua yang menjadi miliknya
dan yang sangat berarti baginya.16
Dalam pengertian kedukaan, penderitaan yang
dirasakan dan dialami karena kehilangan yang dianggap berharga dan berarti
dimengerti sebagai kedukaan. Tokoh Ayub dalam kitab Ayub adalah tokoh yang
mengalami kedukaan.
Relevansi kitab Ayub dengan pendampingan pastoral kedukaan :
1. Kitab Ayub sebuah kitab kebijaksanaan tentang penderitaan. penderitaan
adalah suatu fakta universal. Penderitaan terjadi pada setiap manusia
dalam berbagai jaman, ras, agama, jenis kelamin. Apa yang dialami tokoh
Ayub bisa juga dialami oleh setiap manusia pada level yang berbeda-beda.
2. Tokoh Ayub adalah kita. Tokoh Ayub dalam kitab Ayub bukanlah figur
historis.17
Karena bukan figur historis, pengalaman penderitaan Ayub
adalah pengalaman penderitaan kita sebagai manusia. Setiap manusia
dapat menjadi Ayub ketika mengalami penderitaan.
3. Penderitaan yang dialami Ayub menimbulkan kedukaan. Penderitaan
Ayub adalah penderitaan karena kehilangan hal-hal yang sangat berarti
dan berharga. Kedukaan adalah penderitaan batin yang sangat dalam
karena peristiwa kehilangan. Kedukaan merupakan reaksi terhadap suatu
16
Dalam kitab Ayub 1:13-2:13, digambarkan bentuk kehilangan yang dialami Ayub berupa: harta-benda, anggota keluarga (anak-anak), kesehatan, keberadaan dan identitas sosialnya.
17 Dalam ceritera-ceritera rakyat di daerah Mesopotamia, Timur Tengah, babel, ada
ceritera tentang Ayub yang digambarkan sebagai sheik yang kaya-raya yang hidupnya benar, yang mengalami penderitaan. Tokoh dalam ceritera rakyat itu dipakai oleh pengarang Kitab Ayub untuk menggambarkan penderitaan, mempermudah pengertian pembacanya dan sebagai legitimasi pemahaman pengarang tentang penderitaan.
70
kehilangan. Dengan demikian Ayub yang mengalami penderitaan adalah
juga Ayub yang mengalami kedukaan.
4. Kedukaan Ayub juga dapat terjadi pada setiap manusia, sama seperti
penderitaan, kedukaan adalah fakta universal.
5. Ayub yang berduka membutuhkan pendampingan. Kedukaan yang
dialami adalah kedukaan penuh, karena kedukaan itu menyentuh seluruh
aspek kehidupannya. Ayub kehilangan harta-benda (fisik-ekonomi),
kehilangan anak-anak karena kematian (mental), kehilangan penghargaan
dari istri, masyarakat (sosial) dan kehilangan dengan goyahnya keyakinan
akan kebaikan Allah (spiritual). Kedukaan Ayub adalah kedukaan yang
mendalam, ia kehilangan segala-galanya dan bahkan semua terjadi secara
beruntun. Ayub mengalami krisis dalam hidupnya. krisis yang terjadi
menyebabkan Ayub mengalami depresi.18
Dalam situasi tersebut di atas,
dibutuhkan pertolongan dari pihak lain. Pertolongan itu berujud
pendampingan.
6. Dalam perspektif pendampingan, ada dua bentuk pendampingan yang ada
dalam kitab Ayub:
1. Pendampingan yang dilakukan ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad
dan Zopar). Pada awalnya tindakan yang dilakukan teman-teman
Ayub menunjukkan ketrampilan pada awal pendampingan yaitu
“hadir” (Ayub 2:11). Teman-teman Ayub hadir secara fisik, tetapi
tidak hadir secara psikologis yang nampak dalam
18 Ayub 3 dapat dilihat sebagai ungkapan dalam situasi depresi yang dialami tokoh
Ayub.
71
ketidakmampuan untuk “mendengar” keluhan dan pergumulan
dibalik kondisi Ayub. Para teman Ayub tidak memiliki
ketrampilan empati, yang mereka miliki hanyalah simpati,19
seperti yang nampak dalam Ayub 2:12-13:
”Ketika mereka memandang dari jauh, mereka tidak
mengenalnya lagi.lalu menangislah mereka dengan suara
nyaring. Mereka mengoyak jubahnya dan menaburkan debu di
kepala terhadap langit. Lalu mereka duduk bersama-sama dia
selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan
sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat
berat penderitaannya”. Kegagalan berempati menyebabkan
teman-teman Ayub tidak dapat memahami yang dirasakan Ayub.
Mereka menjadi subyektif melihat persoalan yang dialami Ayub
dan mendasarkan persoalan yang dialami Ayub tersebut dengan
perspektif pemahaman mereka. Teman-teman Ayub melakukan
kesalahan dalam pendampingan yaitu, dalam perspektif mereka
tentang penderitaan, mereka menuduh, mendakwa, bahkan
menghakimi Ayub dengan vonis: penderitaan Ayub karena dosa
yang dilakukan. Pendampingan yang dilakukan teman-teman
Ayub merupakan gambaran pendampingan yang gagal dalam
perspektif pendampingan pastoral. Pemulihan kedukaan tidak
19 Simpati diartikan larut dan menjadi bagian dari hal-hal yang dialami orang lain,
sehingga tertarik amat kuat dalam situasi yang dialami, yang menyebabkan tidak dapat berlaku obyektif.
72
terjadi bahkan kedukaan menjadi semakin mendalam, karena
tuduhan dan dakwaan yang merusak integritas.
2. Pendampingan yang dilakukan Allah sendiri. Allah mendampingi
dalam ujud : “hadir”, kehadiran-Nya bukan dalam ujud fisik saja
tetapi juga psikologis, melalui ungkapan sabda:”Apakah engkau
memperhatikan hambaku Ayub...”(Ayub 2: 3a). Kehadiran Allah
juga nampak dalam ungkapan ciptaan-ciptaan-Nya (Ayub 38-39).
Allah juga menunjukkan empati kepada Ayub. Menurut penulis
ungkapan sabda:”... ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun
engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk
mencelakakannya tanpa alasan” (Ayub 2: 3c) dan “Maka
berfirmanlah TUHAN kepada iblis:”Nah, ia dalam kuasamu;
hanya sayangkan nyawanya” (Ayub 2:6), menunjukkan empati
Allah. Allah turut merasakan dan memasuki serta memahami
dunia Ayub. Ketrampilan lain yang ditunjukan oleh Allah adalah
“menghargai”. Penghargaan Allah ditunjukkan dengan
kesediaan-Nya untuk berbicara dengan Ayub (Ayub 38-39). Allah
juga menampakkan ketrampilan „menantang‟. Allah menantang
Ayub untuk melihat keberadaanya yang sesungguhnya (Ayub 40-
41). Dengan ketrampilan yang ditampilkan dalam pendampingan-
Nya, Ayub dapat melihat dirinya dengan lebih baik dan mampu
mengambil keputusan untuk masa depannya. “Oleh sebab itu aku
mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam
73
debu dan abu” (Ayub 42:6). Pendampingan yang dilakukan Allah
berhasil memulihkan kedukaan Ayub dan ia bersiap
menyongsong masa depan: “Lalu TUHAN memulihkan keadaan
Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan
TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala
kepunyaannya dahulu” (Ayub 42:10).
7. Melalui kitab Ayub bukan saja menolong kita untuk memahami makna
penderitaan tetapi juga dapat belajar untuk dapat melakukan
pendampingan pastoral bagi sesama yang berduka karena penderitaan
yang dialami.