bab iv kebudayaan masyarakat melayu

74
BAB IV KEBUDAYAAN MASYARAKAT MELAYU Melayu merupakan sebutan untuk sejumlah kelompok sosial di beberapa negara Asia Tenggara, yang dalam beberapa aspek kebudayaannya, menunjukkan ciri-ciri persamaan. Di antara kelompok-kelompok sosial itu sampai sekarang ada yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai orang Melayu, misalnya orang Patani di Thailand Selatan; orang Kedah, orang Perak, orang Kelantan, orang Pahang, orang Selangor, dan orang Johor, yang semuanya berada di Semenanjung Melayu (Malaysia); dan sejumlah kelompok sosial di Indonesia. Arti atau pengertian “Melayu” adalah suatu ras yang punya salah satu ciri fisik yaitu berkulit sawo matang. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa ras Melayu merupakan hasil pencampuran antara ras Mongolia yang berkulit kuning, Dravisa yang berkulit hitam, dan Arian yang berkulit putih. Dalam pengertian ini, semua orang yang berkulit coklat (sawo matang) di seluruh nusantara digolongkan sebagai ras Melayu. Dengan demikian masyarakat Indonesia yang sebagian besar berkulit sawo matang termasuk kelompok ras Melayu. Mereka tersebar di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu sering terdengar sebutan-sebutan Melayu Aceh, Melayu Riau, Melayu Batak, Melayu Bugis, Melayu Dayak, Melayu Ambon, dan sebagainya. 1

Upload: hsell2

Post on 04-Jan-2016

425 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

BAB IV

KEBUDAYAAN MASYARAKAT MELAYU

Melayu merupakan sebutan untuk sejumlah kelompok sosial di beberapa

negara Asia Tenggara, yang dalam beberapa aspek kebudayaannya, menunjukkan

ciri-ciri persamaan. Di antara kelompok-kelompok sosial itu sampai sekarang ada

yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai orang Melayu, misalnya orang Patani di

Thailand Selatan; orang Kedah, orang Perak, orang Kelantan, orang Pahang, orang

Selangor, dan orang Johor, yang semuanya berada di Semenanjung Melayu

(Malaysia); dan sejumlah kelompok sosial di Indonesia.

Arti atau pengertian “Melayu” adalah suatu ras yang punya salah satu ciri

fisik yaitu berkulit sawo matang. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa ras Melayu

merupakan hasil pencampuran antara ras Mongolia yang berkulit kuning, Dravisa

yang berkulit hitam, dan Arian yang berkulit putih. Dalam pengertian ini, semua

orang yang berkulit coklat (sawo matang) di seluruh nusantara digolongkan sebagai

ras Melayu. Dengan demikian masyarakat Indonesia yang sebagian besar berkulit

sawo matang termasuk kelompok ras Melayu. Mereka tersebar di pulau-pulau

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu

sering terdengar sebutan-sebutan Melayu Aceh, Melayu Riau, Melayu Batak, Melayu

Bugis, Melayu Dayak, Melayu Ambon, dan sebagainya.

Melayu juga dapat diartikan sebagai sukubangsa. Oleh karena perkembangan

sejarah dan perubahan politik, konsentrasi ras Melayu terbesar berada di negara-

negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Filipina. Dalam

kesatuan bangsa di masing-masing negara, Melayu tidak dipandang sebagai ras tetapi

sebagai suku bangsa.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskrit buddayah, yang

merupakan kata jamak bagi perkataan buddhi, yang bermaksud budi pekerti atau akal

yang membincangkan hal-hal berkaitan budi dan akal manusia. Di dalam pengertian

yang luas pula bermaksud segala sesuatu yang dibawa atau dikerjakan oleh manusia,

berlawanan dengan "perkara semula jadi"' yang bukan diciptakan atau boleh diubah

1

Page 2: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

oleh manusia. Di dalam bahasa Inggeris, kebudayaan disebut sebagai culture, yang

berasal daripada perkataan latin colore yang bermaksud menanam atau mengerjakan.

Kebudayaan mempunyai hubungan erat dengan masyarakat. Menurut

Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, segala sesuatu yang terdapat di

dalam sesebuah masyarakat mempunyai hubungan atau boleh ditentukan oleh

kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu sendiri. Faham ini dikenal di kalangan ahli

antropologi (kajian manusia) sebagai fahaman determinisme (atau penentuan)

budaya. Herskovits seterusnya memandang budaya sebagai sesuatu yang

diperturunkan daripada satu generasi ke generasi seterusnya dan konsep ini disebut

sebagai organik lampau (atau ringkasnya superorganik).

Sementara itu, menurut Andreas Eppink pula, kebudayaan ialah keseluruhan

pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta struktur-struktur kemasyarakatan,

keagamaan selain penghasilan seni dan intelektual yang membentuk ciri-ciri khas

sesebuah masyarakat. Pengertian sebegini dipersetujui oleh Edward B. Taylor.

Beliau memandang budaya sebagai satu konsep menyeluruh yang rumit yang

mengandungi ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, tatasusila, undang-undang,

adat resam dan lain-lain kebolehan serta kebiasaan yang diperolehi oleh manusia

sebagai anggota masyarakat. Ahli antropologi dari alam Nusantara, iaitu Selo

Soemardjan dan Soelaiman Soemardi pula memegang kebudayaan sebagai alat

penghasilan karya seni, rasa dan penciptaan di dalam masyarakat.

Budaya Melayu sebagai salah satu kebudayaan khususnya di Indonesia telah

memberi sumbangan yang sangat luas bagi pembentukan karakter dan budaya

masyarakat Indonesia secara umum. Meskipun demikian, dalam perjalanan sejarah

panjang Indonesia, sumbangan budaya Melayu terasa dilupakan di tengah-tengah

arus pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa itu

Budaya Melayu mengalami peminggiran dan orang lebih terpesona pada budaya

global yang kosmopolitan. Pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi sistem

pemerintahan, yaitu dari sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem

pemerintahan desentralistik. Di era ini otonomi daerah merupakan solusi untuk

menyelesaikan ketegangan antara pusat dan daerah pada masa pemerintahan Orde

Baru. Reformasi politik ini juga memberikan peluang yang sangat luas kepada

2

Page 3: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Melayu untuk berkembang dan menemukan ruang untuk merajut kembali berbagai

budaya Melayu yang terserak di seluruh kepulauan di Indonesia.

Merajut kembali budaya Melayu yang terserak bukanlah hal yang mudah, hal

ini disebabkan oleh posisi budaya Melayu yang terpinggirkan dalam perjalanan

sejarah Indonesia, sehingga sumber daya Melayu menjadi relatif rendah dalam dunia

global. Orang-orang Melayu kurang mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam

memanfaatkan peluang-peluang yang disediakan oleh reformasi. Terbukanya

peluang untuk mengatur hidupnya sendiri tidak diimbangi oleh kemampuan untuk

memanfatkan peluang tersebut, namun justru menjadikan masyarakat Melayu

cenderung bersikap primordial (kedaerahan). Primordialisme ini sesungguhnya

merupakan respon negatif terhadap kosmopolitanisme karena tidak adanya

kemampuan orang Melayu untuk meletakkan dirinya dalam kancah global. Dalam

konteks Indonesia, hal ini tampak dari penggunaan isu putra daerah dalam setiap

suksesi kepemimpinan daerah. Berkembangnya sikap seperti ini, pada satu sisi dapat

dilihat sebagai munculnya kesadaran orang Melayu untuk mengurus dirinya sendiri,

tetapi pada sisi yang lain merupakan sikap yang bertentangan dengan karakter orang-

orang Melayu yang inklusif. Masyarakat Melayu, dengan primordialismenya, tampak

ragu untuk berhadapan dengan dunia global. Tentu saja jika hal ini berlarut-larut,

maka berat sekali jika harus merajut kemelayuan nusantara.

Potensi budaya melayu adalah merupakan bagian dari pada budaya nasional

yang mempunyai peranan penting dalam perjalanan bangsa Indonesia sebagai

pemberi identitas, salah satu unsur kebudayaannya yaitu bahasa melayu di jadikan

bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 1928). Kebudayaan Melayu yang selama

berabad-abad telah mengalami kontak dengan berbagai kebudayaan asing, baik yang

hanya mampir karena hubungan dagang maupun yang menetap di Indonesia. Karena

itu, kebudayaan Melayu juga memiliki kesanggupan yang besar dalam mengambil

alih unsur-unsur kebudayaan non-Melayu.

Kebudayaan Melayu yang diterima oleh semua golongan masyarakat tumbuh

dari sejarah perkembangan kebudayaan Melayu itu sendiri, yang selalu berkaitan

dengan tumbuh, berkembang, dan runtuhnya kerajaan-kerajaan Melayu, dengan

agama Islam, perdagangan internasional, serta penggunaan bahasa Melayu. Oleh

3

Page 4: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

karena itu simbol-simbol kebudayaan Melayu yang sampai sekarang diakui sebagai

identitas Melayu adalah bahasa Melayu, agama Islam, serta kepribadian yang terbuka

dan ramah. Beberapa bukti kebesaran kebudayaan melayu dapat di lihat ;

- Budi bahasa, yang menunjukkan sopan santun dan perasaan melayu

- Ramah tamah dan terbuka.

- Musyawarah mufakat sendi kehidupan sosial orang melayu ; Perkahwinan,

kematian, mendirikan rumah, membuka ladang dan lain sebagainya.

- Melawan jika terpaksa

- Mengutamakan pendidikan dan ilmu

- Mementingkan budaya malu dan bercakap tak kasar, berbaju menutupi aurat

menjauhkan pantang larangan dan dosa.

4.1 PERAN KEBUDAYAAN MELAYU

Tidak bisa dipungkiri pengaruh budaya asing kedalam masyarakat melayu, di

satu sisi mungkin dapat memperkaya khazanah budaya melayu, namun sisi lain

bertentangan dengan jati diri budaya melayu seperti agama yang dianut, oleh karena

itu kita harus kembali merenungkan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu-

pendahulu kita dalam mempertahankan dan melaksanakan budaya melayu di dalam

kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, sehingga kita tidak kuatir

kebudayaan kita akan tergerus oleh hal-hal yang negatif tersebut. Tepatnya kita tidak

perlu kuatir bila pendukung budaya senantiasa berbuat dan memelihara nilai-nilai

yang ada sebaik-baiknya. Dengan suatu istilah; “jika sesat di ujung jalan, kembalilah

ke pangkal jalan”, “Ingat akan tunjuk dengan ajal, ingat akan amanah dengan

petuah”, “Pandai menurut langkah yang lalu, pandai membaca jejak yang lampau”,

“Pandai mencontoh pada yang sudah, bijak membaca pada yang belum tiba”.

4.2 TRADISI DALAM KEBUDAYAAN MELAYU

Ada beberapa macam tradisi kebudayaan melayu :

4

Page 5: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

1. Tradisi Kelahiran

Kelahiran seorang anak telah dipandang oleh orang Melayu sebagai suatu

berkah daripada Allah SWT. Anak dipandang sebagai penyambung zuriat. Kelakuan

sang anak yang bernada jenaka akan menjadi pelipur hati sedangkan perangainya

yang menjunjung akhlak mulia akan menjadi penyejuk pandangan mata. Sebab itu

kelahiran anak amatlah diperhatikan. Ketika ibunya sedang mengandung banyak

kebaikan yang dianjurkan serta beberapa larangan yang harus dihindarkan. Ini

semuanya, agar anak yang lahir kelak, merupakan anak yang sehat rohani dan

jasmani. Dan lebih dari itu anak yang tahu berbakti kepada ibu-bapa, taat

menjalankan agama islam sehingga menjadi anak yang saleh, yang akan selalu

mendoakan kebajikan bagi ibu-bapanya, terlepas dari azab kubur dan siksa pada hari

kiamat.

Ibu yang hamil berpantnag mencela orang, sebab celaan itu dipercaya dapat

pula menimpa anak yang akan dilahirkannya. Dia harus tetap taat beribadah, menjga

tingkah laku dan perangainya, termasuk apa-apa yang dimakannya. Jika mengidam,

maka idamannya diusahakan dapat dipenuhi oleh suaminya atau kerabatnya.

Mengidam dipandang bukan hanya sebatas keninginan ibu yang sedang

mengandung, tetapi terlebih-lebih sebagai kiasan terhadap keinginan anak yang

dikandungnmya. Sebab itu keinginan itu sedapat mungkin dipenuhi agar perasaan

menjadi lega, sehingga jalan kehidupan menjadi lapang.

Manusia dipandang oleh orang Melayu berasal dari ciptaan Allah dan akan

kembali kepada-Nya. Karena itu, begitu anak manusia lahir maka hendaklah segera

diperkenalkan Tuhan itu kepadanya. Setelah anak itu selamat dilahirkan, lalu

baringkan di tempat tidur. Kemudian bisikkanlah suara azan pada telinga kanan dan

suara iqamah pada telinga sebelah kiri. Bacaan itu member kias, bahwa anak yang

lahir telah memulai pendengarannya dengan pendengaran yang baik yaitu nama

Allah dan panggilan menunaikan ibadah sembahyangg, sebagai syariat yang utama

dalam agama islam.

Upacara turun mandi dapat dilakukan setelah anak berumur seminggu. Anak

yang baru lahir ini ada yang menyebutnya bayi, tapi juga ada yang menyebutnya

upiang. Dalam upacara turun mandi ibu dan bayi dibawa ke sungai atau perigi. Di

situ ibu dan bayi dimandikan oleh bidan. Ada berbagai bahan dari peralatan yang

dipakai bidan dalam upacara itu. Diantarnya ada juga yang memandikan ayam

5

Page 6: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

setelah ibu dan bayi dimandikan. Ada pula yang menghanyutkan patung,

memasukkan lading ke dalam air, menanam keladi pada tepian dsb.

Upacara turun mandi di tepian kira-kira berlangsung satu jam. Setelah itu

anak diambil oleh bidan, lalu kembali ke rumah bersama dengan ibunya. Di rumah

anak ditidurkan di atas buaian. Sementara itu dihidangkan minuman dan makanan

kepada hadirin, sebagai tanda suka cita. Dalam hidangan ini sering dihidangkan

ketupat. Sesuai minum-makan itu dibacakan doa sebagai tanda bersyukur kepada

Allah serta untuk mendapatkan keselamatan selanjutnya.

2. Tradisi Nikah-Kawin

Nikah-kawin terjadi tentu saja berawal dari sentuhan pandang memandang.

Dalam hal ini besar kemungkinan bermula dari sentuhan pandangan antar lelaki

(anak bujang) dengan perempuan (anak gadis). Tapi juga bisa terjadi dari pandangan

ibu-bapa atau kaum kerabat yang berminat untuk mencarikan jodoh anaknya. Bila

seorang anak bujang memberitahukan gadiz pujaanya kepada ibu-bapanya maupun

kaum kerabat memandang ada seorang anak gadis yang patut menjadi jodoh

anaknya, maka pihak keluarga lelaki mulailah melakukan semacam kegiatan yang

bernama merisik.

3. Merisik

Salah satu keluarga atau seseorang diutus oleh pihak calon pengantin pria

untuk meneliti atau mencari informasi mengenai salah satu keluarga keluarga lain

yang mempunyai anak gadis. Tugas yang diamatkan adalah untuk mengetahui

apakah anak gadis tersebut dapat dilamar, atau belum mempunyai ikatan dengan orag

lain. Selain itu, utusan akan melakukan pembicaraan tentang kemungkinan pihak pria

untuk melamar. Utusan tersebut tentunya menanyakan berapa mas kawin/mahar dan

persyaratan apa saja yang diminta oleh keluarga wanita.

4. Meminang

Meminang dalam istilah Melayu sama dengan melamar. Acara ini

diselenggarakan pada hari yang telah disepakati bersama, setelah melalui penentuan

hari baik menurut perhitungan adat serta orangtua. Pihak keluarga calon pengantin

6

Page 7: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

pria yang dipimpin oleh keluarga terdekat akan melaksanakan lamaran secara resmi

kepada keluarga calon pengantin wanita. Biasanya acara meminang ini diungkapkan

dengan berbalas pantun. Secara tradisi, pihak keluarga pria membawa sejumlah tepak

sirih-paling sedikit 5 buah; terdiri dari tepak pembuka kata, tepak merisik, tepak

meminang, tepak ikat janji, tepak bertukar tanda dan beberapa tepak pengiring.

5. Berinai

Biasanya berlangsung pada suatu hari atau satu malam sebelum acara akad

nikah. Melalui serangkaian adat, calon pengantin wanita didudukan di atas

pelaminan. Rangkaian acara ber-inai diawali dengan acara tersendiri yakni khatam

Al-Qur’an yang dilaksanakan oleh keluarga-keluarga terdekat. Selanjutnya, calon

pengantin wanita akan melaksanakan upacara di-Tepung Tawari. Ritual Tepuk

Tepung Tawar adalah suatu upacara adat budaya Melayu peninggalan para raja

terdahulu. Pemberian ‘tepung tawar’ kepada calon mempelai biasanya diiringi

dengan doa dan harapan dipimpin oleh yang dituakan; dilakukan oleh orangtua,

sesepuh dan tokoh-tokoh adat yang dihormati. Selanjutnya, calon pengantin wanita

akan diberi daun inai yang telah ditumbuk halus pada kuku-kuku jari tangan dan

kakinya. Malam ber-inai lazim dimeriahkan dengan iringan bunyi-bunyian seperti

gendang dan nyanyian lagu-lagu Melayu lama, ataupun diadakan tari gambus.

6. Berandam

Upacara berandam lazim dilakukan setelah malam berinai yaitu keesokan

harinya. Tujuannya untuk menghapuskan/membersihkan sang calon pengantin dari

‘kotoran’ dunia sehingga hatinya menjadi putih dan suci. Berandam pada hakikatnya

adalah melakukan pencukuran bulu roma pada wajah dan tengkuk calon pengantin

wanita sekaligus juga membersihkan mukanya.

7. Menikah ( Akad Nikah )

Pada hari yang telah ditentukan, calon mempelai pria diantar oleh rombongan

keluarga menuju ke tempat kediaman calon pengantin wanita. Biasanya calon

mempelai pria berpakaian haji (memakai topi haji dan jubah). Kedatangan keluarga

mempelai pria sambil membawa mahar atau mas kawin, tepak sirih adat, barang

7

Page 8: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

hantaran atau seserahan yang telah disepakati sebelumnya. Selain itu, juga

menyertakan barang-barang pengiring lainnya seperti kue-kue dan buah-buahan.

Prosesi berikutnya adalah pelaksanaan akad nikah.

8. Bersanding

Upacara ini dilaksanakan setelah resmi akad nikah. Prosesi bersanding

merupakan acara resmi bagi kedua pengantin akan duduk di atas pelaminan yang

sudah dipersiapkan. Terlebih dahulu pengantin wanita didudukan di atas pelaminan,

dan menunggu kedatangan pengantin pria. Kehadiran pengantin pria diarak dengan

upacara penyambutan dan berbalas pantun.

Rangkaian prosesi bersanding yakni acara penyambutan pengantin pria,

Hampang Pintu, Hampang Kipas, dan Tepung Tawar. Kehadiran pengantin pria

beserta rombongan pengiring dalam jumlah cukup banyak, terdiri dari :

- Barisan Pulut Kuning beserta hulubalang pemegang tombak kuning.

- Wanita (Ibu) pembawa Tepak Sirih.

- Wanita (Ibu) pembawa beras kuning (Penabur).

- Pengantin pria berpakaian lengkap

- Dua orang pendamping mempelai pria, mengenakan pakaian adat Teluk

Belanga.

- Pemegang payung kuning.

- Orang tua mempelai pria.

- Saudara-saudara kandung pengantin pria.

- Kerabat atau sanak famili

Kedatangan rombongan disambut pencak silat dan Tarian Penyambutan. Di

pintu gerbang kediaman mempelai wanita, dilaksanakan ritual saling tukar Tepak

8

Page 9: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Sirih dari kedua pihak keluarga mempelai, sambil berbalas menaburkan beras

kuning. Selanjutnyua, dilakukan acara ‘Hempang Pintu’ (berbalas pantun) oleh

kedua juru bicara pengantin. Saat itu, pihak keluarga mempelai perempuan telah

menghempang kain sebagai ‘penghalang’ di depan pintu tempat upacara. selendang

baru akan dibuka setelah pihak mempelai pria terlebih dulu menyerahkan Uncang

(kantong pindit) kepada pihak pengantin wanita. Ritual ini disebut sebagai ‘Hempang

Pintu’. sesampainya di depan pelaminan, pihak mempelai pria kembali dihadang oleh

pihak mempelai wanita. selanjutnu dilaksanakan berbalas pantun, yang intinya pihak

pria meminta ijin bersanding dipelaminan bersama pengantin wanita. Setelah

menyerahkan uncang (kanong pindit) berisi uang, maka kain penghalang dibuka, dan

mempelai pria siap bersanding di pelaminan. Kedua mempelai duduk di pelaminan,

selanjutnya dilaksanakan upacara Tepung Tawar.

9. Tepuk Tepung Tawar

Ritual adat ini merupakan ungkapan rasa syukur dan pemberian doa harapan

kepada kedua mempelai, yang dilakukan oleh para sesepuh keluarga dan tokoh adat.

Dengan cara menepukan daun-daunan (antara lain daun setawar, sedingin, ganda

rusa, sirih, hati-hati, sijuang, dan setetusnya) yang diikat jadi satu dan telah dicelup

ke air harum serta beras kunyit sangrai, lalu ditepukan kepada kedua mempelai.

Kelengkapan pnabur ini biasanya menggunakan bahan seperti beras basuh, beras

putih, beras kunyit, ataupun beras kuning serta bunga rampai. Kesemua bahan ini

digunakan tentunya mengandung makna mulia. Sesuai tradisi, sesepuh seusai

nmelakukan tepuk tepung tawar akan mendapatkan bingkisan berupa ‘bunga telur’

yakni berupa bunga yang dibuat dari kertas diikatkan pada sebatang lidi yang telah

disertai telur diikat benang merah, sebagai ungkapan terimakasih dari pihak

pengantin. Namun sesuai perkembangan zaman, ungkapan terimakasih atau souvenir

tersebut kini diubah bentuk maupun jenisnya, disesuaikan dengan kemajuan zaman

maupun kondisi kelurga mempelai.

10. Makan Nasi Hadap - hadapan

Upacara ini dilakukan di depan pelaminan. Hidangan yang disajikan untuk

upacara ini dibuat dalam kemasan seindah mungkin. Yang boleh menyantap

9

Page 10: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

hidangan ini selain kedua mempelai adalah keluarga terdekat dan orang-orang yang

dihormati.

11. Menyembah Mertua

Upacara ini dilakukan apabila di siang harinya kedua mempelai telah

disandingkan di pelaminan, maka pada malam harinya dilanjutkan dengan acara

menyembah pada mertua. Pengantin laki-laki dan wanita dengan diiringi oleh

rombongan kerabat pengantin wanita berkunjung ke rumah orangtua pengantin laki-

laki denagn membawa beraneka hidangan tertentu.

12. Berdimbar ( Mandi Taman )

Seusai acara bersanding, keesokan harinya diadakan acara Mandi Berdimbar.

Biasanya dilaksanakan pada sore atau malam hari. Mandi Berdimbar ini

dilaksanakan di depan halaman rumah yang dipercantik dengan hiasan-hiasan

dekoratif khas Melayu. Ritual ‘memandikan’ kedua mempelai ini cukup meriah,

karena juga disertai acara saling menyemburkan air. Undangan yang hadir pun bisa

ikut basah, karena seusai menyirami pengantin kemudian para undangan biasanya

juga akan saling menyiram. Ritual tersebut kini sudah mulai jarang dilakukan.

4.3 UPACARA ADAT DAN PAKAIAN

Selain Upacara Perkawinan, ada beberapa upacara adat yang berkembang di

masyarakat Riau,yaitu:

Upacara Betobo, adalah kegiatan bergotong royong dalam mengerjakan

sawah, ladang, dansebagainya.

Upacara Menyemah Laut, adalah upacara untuk melestarikan laut dan isinya,

agar mendatangkan manfaat bagi manusia.

Upacara Menumbai, adalah upacara untuk mengambil madu lebah di pohon

Sialang.

Upacara Belian, adalah pengobatan tradisional.

Upacara Bedewo, adalah pengobatan tradisional yang sekaligus dapat

dipergunakan untuk mencari benda-benda yang hilang.

Upacara Menetau Tanah, adalah upacara membuka lahan untuk pertanian

atau mendirikan bangunan.10

Page 11: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

1. Tradisi Kematian

Sesuai dengan ajaran islam maka orang Melayu memandang kematian

sebagai perjalanan menuju hadirat ilahi. Dalam pandangan orang Melayu, sering

dibentangkan dalam berbagai karya sastra Melayu, akhirat adalah masa depan yang

hakiki.

Tanda kematian di perkampungan Melayu ada yang membunyikan tabuh, ada

pula naskus (ketuk kayu) bahkan juga dipaki gong. Mayat diselenggarakan sesuai

ajaran islam, mula-mula dimandikan, kemudian dikafani lalu disembahyangkan. jika

semua telah rampung, maka mayat dipersiapkan untuk berangkat menuju kubur.

2. Tradisi Pakaian Melayu

Ungkapan adat Melayu mengatakan : “adat memakai pada yang sesuai, adat

duduk pada yang elok, adat berdiri tahukan diri”. Ungkapan ini mengandung makana

yang dalam, yang intinya memberi petunjuk, bahwa setiap orang di tuntut untuk

meletakkan sesuatu pada tempatnya, berperilaku menurut alur dan tempatnya.

Di dalam hal ini berpakaian hendaknya mengacu kepada asas “sesuai” yakni

sesuai pakaiannya, sesuai yang memakainya, sesuai cara memakainya, sesuai tempat

memakainya, sesuai pula menurut ketentuan adat yang diberlakukan dalam hal ini

ihwal berpakaian.

Merujuk kepada ungkapan di atas menyebabkan orng-orang Melayu selalu

memilih pakaian yang sesuai dengan diri dan kedudukannya, berusaha memakai

pakaian dengan baik dan benar, dan berusaha agar tidak melanggar segala “pantang

larang” dalam berpakaian dan berusaha pula untuk menunjukkan perilaku terpuji

dalam kehidupan sehari-harinya.

Umumnya pakaian Melayu terdiri dari dua jenis : “Pakaian Harian” dan

“Pakaian Adat”. Pakaian Harian ialah pakaian yang lazim dipakai sehari-hari (dalam

kehidupan orang Melayu masa silam) atau pakaian yang tidak dipakai di dalam

upacara adat dan tradisi. Kelengkapan “Pakaian Harian” ialah : baju seluar (celana),

kopiah dan kain “kain samping” atau “sesampin” atau “kain samping” atau kain

sarung biasa.

3. Jenis dan Bentuk Pakaian Melayu

11

Page 12: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Dalam budaya Melayu terdapat tiga jenis pakaian untuk kaum lelaki. Berikut ini

ketiga jenis pakaian itu.

a. Baju Gunting Cina

“Baju gunting Cina” merupakan pakaian lelaki untuk dikenakan sehari-hari,

bersifat santai, atau pakaian biasa. Biasanya dipakai di rumah dan boleh dikenakan

untuk menerima tamu sehari-hari di rumah. Pakaian ini pun boleh dipakai waktu

bertamu ke rumah kerabat terdekat, juga dapat dikenakan untuk pertemuan yang tak

resmi. Biasanya baju ini juga dilengkapi dengan celana dan songkok.

b. Baju Cekak Musang

“Baju cekak musang” terdiri atas baju, celana, kain, dan songkok atau tanjak.

Bentuk baju hampir sama dengan “baju teluk belanga”, tetapi leher tak berkerah dan

berkancing hanya sebuah serta bagian depan dari leher baju berbelah ke bawah

sepanjang lebih kurang lima jari supaya mudah dimasukkan dari atas melalui kepala,

berlengan lebar, serta berkocek sebuah di bagian atas kiri dan dua buah di bagian

bawah kiri dan kanan.

c. Baju Teluk Belanga

Baju teluk belanga terdiri atas baju, kain sampan, dan penutup kepala. Bentuk

baju ialah leher berkerah dan berkancing (kancing tap (tep), kancing emas atau

permata, dan lain-lain bergantung kepada tingkat sosial dan kemampuan pemakai).

Jumlah kancing yang lazim empat buah yang melambangkan ‘sahabat Nabi

Muhammad saw.’ atau lima buah yang melambangkan ‘rukun Islam.’

Berikut ini adalah jenis pakaian melayu buat kaum perempuan, yaitu :

a. Baju Kurung

Kelengkapan baju kurung terdiri atas kain, baju, dan selendang. Panjang atau

kedalaman baju agak di atas lutut. Ada juga baju kurung untuk sehari-hari di rumah

yang kedalamannya sepinggang atau sedikit di bawah pinggang. Bentuk baju

berlengan panjang dan ukuran badan longgar, tak boleh ketat (tak boleh

menampakkan lekuk-lekuk tubuh pemakai). Bahannya bervariasi: polos, berbunga-

bunga, dan sebagainya, tetapi tak boleh tembus pandang.

b. Baju Kebaya Labuh

12

Page 13: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Baju kebaya labuh, kebaya panjang, belah labuh, atau belah dada terdiri atas

baju, kain, dan selendang. Panjang lengan baju kira-kira dua jari dari pergelang an

tangan sehingga gelang yang dikenakan kaum perempuan kelihatan. Lebar lengan

baju kira-kira tiga jari dari permukaan lengan. Kedalaman baju bervariasi dari

sampai batas betis atau sedikit keatas. Bentuk baju agak longgar, tetapi tak boleh

diraut (dikecilkan) di bagian yang dapat menunjukkan ukuran dan bentuk pinggang

serta gaya pinggul.

Berbicara berkaitan dengan kesenian melayu tidak hanya mengekpresikan

keindahan tetapi sebagai penyampaian pesan budaya. Ide-ide estetika dan pesan

budaya terwujud dalam seni tari, seni musik, seni tenun, seni ukir, seni lukis, seni

beladiri, seni theater dan permainan rakyat. Selain tradisi – tradisi, kesenian melayu

juga termasuk dalam budaya melayu :

- Tenun Songket Melayu

Tenunan songket adalah asli seni budaya melayu Indonesia. Dalam

sejarahnya, Songket merupakan perpaduan benang sutera Tionghoa dan dengan

benang emas dan perak dari India, yang mana kedua suku tersebut menjalin

perdagangan dengan suku Melayu dengan titik temu di pesisir pantai timur pulau

Sumatera dan umumnya mereka berlabuh di Pulau Bintan. Gabungan sutera tionghoa

dengan benang emas dan perak India lah yang dijadikan tenunan songket oleh suku

Melayu.

- Tari Zapin Melayu

Tari Zapin merupakan kesenian Melayu yang kental warna dan napas

lslamnya. Tari ini tersebar ke mana-mana. Ada yang mengatakan tari Zapin berasal

dari Arab. Menurut cerita, di Siak ada seorang Sultan keturunan Arab yang sangat

gemar dengan tari ini dan mengembangkannya sehingga tari ini memiliki status

kebangsawanan (Festival Kesenian Rakyat, 1979). Seorang pemuda yang pandai

menari Zapin akan bertambah martabatnya dalam mencari jodoh. Hal ini

menguntungkan bagi perkembangan tari Zapin di daerah. Di berbagai pusat

pendidikan Islam di pulau Jawa, tari Zapin dipelihara sebagai keperluan pendidikan

kepemudaan. Tari Zapin selanjutnya tersebar ke berbagai daerah seperti Kalimantan,

13

Page 14: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Lombok, dan daerah lainnya. Meskipun namanya mengalami perubahan, tetapi tari

ini sudah menjadi sarana hiburan umum, seperti tari Jepen di Kalimantan. Di Betawi

juga terdapat tari Zapin yang belum lama berkembang.

- Tari Serampang XII

Dipopulerkan sebagai bentuk tari pergaulan yang dilakukan berpasang-

pasangan, bertolak dari irama atau rentak. Demikian pula dikenal penamaan tari

atau bagian tarian yang disebut sebagai rentak Senandung, rentak Mak Inang,

rentak Lagu Dua, dan rentak Pulau Sari yang dibedakan atas penjenisan iramanya.

- Pencak Silat

Pencak silat atau silat (berkelahi dengan menggunakan teknik pertahanan

diri) ialah seni bela diri Asia yang berakar dari budaya Melayu. Seni bela diri ini

secara luas dikenal di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura tapi bisa pula

ditemukan dalam berbagai variasi di berbagai negara sesuai dengan penyebaran suku

Melayu, seperti di Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Berkat peranan para pelatih

asal Indonesia, saat ini Vietnam juga telah memiliki pesilat-pesilat yang tangguh.

Sementara sastra melayu juga terdiri dari sastra lisan, pantun dan sastra

tulisan Gurindam 12, puisi , hikayat dan sebagainya juga termasuk budaya melayu :

1. Gurindam

Gurindam adalah salah satu puisi Melayu lama. Gurindam dikatakan berasal

dari perkataan India dan dibaca dengan lagu tersendiri, dan berbeda jika

dibandingkan dengan lagu syair Melayu. Puisi gurindam mempunyai kata-kata

nasihat dan kebiasaannya mempunyai rima akhir yang sama. Biasanya dalam baris

pertama tersimpul fikiran yang berupa soalan. Dalam baris kedua pula termuat

jawaban atau ketegasan bagi baris pertama tadi. Tiap-tiap baris terpancar suatu

fikiran yang lengkap.

Perkataan gurindam itu berasal dari bahasa Sanskrit menerusi bahasa Tamil.

Artinya biasa difahamkan“rangkap yang telah menjadi bidalan” atausebutan biasa

14

Page 15: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

pada orang ramai, ataupun,“sesuatu pepatah berangkap yang disebutkan berpadanan

dengan tempatnya.

Gurindam yang terkenal adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji

seorang sastrawan Melayu. Disebut Gurindam Dua Belas karena terdiri atas dua

belas pasal. Inilah pasal pertama.

Barang siapa tidak memegang agama

Sekali-kali tidakkan boleh dibilangkan nama

Barang siapa mengenal yang empat

Ia itulah orang yang makrifat

Barang siapa mengenal Allah

Suruh dan tengah-Nya tiada ia menyalah

Barang siapa mengenal dunia

Takutlah ia barang yang terperdaya

Barang siapa mengenal akhirat

Tahulah ia dunia mudarat

Kurang fikir, kurang siasat

Tinta dirimu kalah tersesat

Fikir dahulu sebelum berkata

Supaya terlelah selang sengketa

Kalau mulut tajam dan kasar

Boleh ditimpa bahaya besar

Jika ilmu tiada sempurna

Tiada berapa dia berguna

2. Hikayat

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa yang berisikan tentang kisah,

cerita, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun

kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh

utama. Salah satu hikayat yang populer di Riau adalah Yong Dolah.

3. Karmina15

Page 16: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Karmina atau dikenal dengan nama pantun kilat adalah pantun yang terdiri

dari dua baris. Baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua adalah isi.

Memiliki pola sajak lurus (a-a). Biasanya digunakan untuk menyampaikan sindiran

ataupun ungkapan secara langsung.

4. Pantun

Pantun merupakan sejenis puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak a-b-a-b, a-b-

b-a, a-a-b-b. Dua baris pertama merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam

(flora dan fauna); dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari

pantun tersebut. 1 baris terdiri dari 4-5 kata, 8-12 suku kata.

Pantun berasal dari melayu

Contoh Pantun :

Kayu cendana diatas batu

Sudah diikat dibawa pulang

Adat dunia memang begitu

Benda yang buruk memang terbuang

4. Seloka

Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepetah maupun

perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya

ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair, terkadang dapat juga ditemui

seloka yang ditulis lebih dari empat baris.

5. Syair

Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan

irama sajak. Biasanya terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut

mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang

mengandung maksud). Syair berasal dari Arab.

6. Talibun

16

Page 17: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Talibun adalah sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran

dan isi, tetapi lebih dari 4 baris ( mulai dari 6 baris hingga 20 baris). Berirama abc-

abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan seterusnya.

Contoh Talibun :

Kalau anak pergi ke pekan

Yu beli belanak beli

Ikan panjang beli dahulu

Kalau anak pergi berjalan

Ibu cari sanakpun cari

Ciri dari gurindam adalah sebagai berikut:

1. merupakan puisi bebas atau tidak terikat

2. mempunyai 2 baris dalam 1 rangkap atau beberapa baris dalam serangkap

3. setiap baris dalam satu rangkap tidak boleh terpisahkan

4. jumlah perkataan sebaris tidak tetap

5. jumlah suku kata tidak tetap

6. rimanya pun tidak tetap

Meningkatnya sikap primordial di kalangan masyarakat Melayu pasca-

reformasi 1998, merupakan fenomena yang harus disikapi secara cerdas dan arif.

Sikap primordial merupakan penghalang orang-orang Melayu untuk berhubungan

dengan pihak-pihak lain. Padahal dalam era globalisasi seperti ini, tindakan

mengisolasi diri (eksklusif) merupakan sikap -- yang justru merugikan budaya

Melayu itu sendiri. Bukankah kejayaan budaya Melayu masa lalu tercapai oleh

masyarakat Melayu yang senantiasa terbuka terhadap kebudayaan-kebudayaan lain

di dunia. Di jaman dahulu, masyarakat dan budaya Melayu mampu bernegosiasi dan

bersinergi dengan budaya Hindu Budha dari India, Budaya Cina, dan kemudian

Budaya Timur Tengah yang membawa ajaran Islam yang diterima secara luas di

kalangan melayu karena sesuai dengan karakter inklusif masyarakat Melayu.

17

Page 18: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

4.4 KESENIAN MASYARAKAT MELAYU

4.4.1 SENI SASTRA

Dalam kesenian Seni Sastra yang paling banyak dijumpai di wilayah tanah

Melayu. Jenis keseniannya terdiri dari syair, koba (cerita mitos, legenda, dan cerita

rakyat), nyanyian, pantun, mantra dan ungkapan tradisional yang termasuk di

dalamnya pantang larangannya.

a. Syair, yang merupakan sastra Melayu yang dinyanyikan dengan irama tertentu.

Seperti di Riau dikenal irama Selendang Delima, surat kapal dan syair burung.

Dalam bersyair masyarakat Riau dilakukan untuk mengisi waktu luang terutama

saat-saat menjelang tidur. Masyarakat Rohil seperti juga masyarakat Melayu

Riau lainnya menyenangi bersyair karena ceritanya yang menarik dan

mengandung berbagai nasihat dan petuah serta irama dan gaya penceritaan yang

beragam. Pembacaan syair di dunia Melayu sebernarnya tidak asing lagi karena

selalu dilakukan dan sudah menjadi tradisi masyarakat Melayu. Menurut

seniman dan budayawan Riau S Berrein SR, pembacaan syair sering

dipertunjukkan atau bahkan diperlombakan dalam berbagai acara baik dalam

acara resmi maupun tidak resmi yang digelar oleh berbagai instansi pemerintah

maupun swasta. Tradisi Melayu tersebut selalu dianggap kurang menarik minat

generasi muda saat ini. Ada banyak factor yang menyebabkan tidak sukanya

masyarakat menikmati seni budaya tradisional. Padahal dengan bersyair

masyarakat akan mengenal tokoh-tokoh yang ada dalam untaian kata tersebut

melalui isi ceritanya orang akan mengenal sejarah bangsa.

b. Koba (cerita mitos, legenda, dan cerita rakyat), yang merupakan salah satu

bentuk sastra lisan yang paling disuka oleh masyarakat Riau. Hampir seluruh

masyarakat Riau pola penyampaiannya hampir sama dalam mengucapkan koba.

Koba ini merupakan cerita sejarah, adat istiadat yang disusun dalam bentuk yang

mencakupi bentuk-bentuk sastra lisan lainnya, seperti pantun, petatah atau

petitih dan ungkapan tradisional lainnya yang disampaikan secara bertutur.

Dalam masyarakat Rokan ada yang menyebutnya dengan koba dalung. Koba-

koba tersebut menyebar dengan varian berdasarkan teknik dan cara

penyampaiannya di berbagai wilayah Riau.

18

Page 19: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

c. Pantun, yang dikenal baik oleh mayarakat Melayu Riau. Ada pula pantun yang

sudah lama yang masih dipertahankan terutama dalam upacara adat istiadat. Ada

juga pantun yang diciptakan lebih kreatif yang dikemas dalam bentuk berbalas

pantun. Berbalas pantun biasanya dipertandingkan antara regu yang satu

melawan regu yang lainnya, dan biasanya juga berbalas pantun dilakukan dalam

upacara pernikahan dan upacara adat lainnya.

Kajian-kajian mengenai pantun, selain memperlihatkan cerminan akal budi,

pantun juga merupakan ekspresi daya kreativitas dan pemikiran-pemikiran orang-

orang Melayu. Pantun ini menjadi salah satu penyampaian dan pewarisan nilai dan

pengetahuan masyarakat Melayu kepada generasinya melalui pesan-pesan lisan.

Penekanan dalam pantun penting dan sentralnya daya ingat menjadi pertimbangan

utama di dalam tradisi pantun. Sebagian besar dalam penyampaian dan penyimpanan

ilmu pengetahuan dan kearifan itu tersimpan dalam bentuk lisan. Untuk menjamin

kelestarian tradisi lisan itu, maka disusun dan dibentuk secara indah dan molek baik

dalam isi maupun bentuknya.

Pantun juga merupakan medium orang Melayu yang menyampaikan ilmu

pengetahuan, sindiran, pengajaran, kiasan, rasa hati dan perasaan secara efektif.

Penyampaiannya dengan memilih kata-kata yang selaras dan rima yang menarik

yang bisa membawa makna dan pengertian yang amat dalam bagi mereka yang

mendengarnya. Selain pantun, tradisi masyarakat Melayu adalah bidal, pepatah,

gurindam, talibun, koba yang juga memiliki kekuatan dalam membentuk hukum-

hukum komunal yang menjadi acuan berperilaku komunitas Melayu dan termasuk

pula suku asli Melayu yaitu Talang Mamak, Sakai, Bonai, dan suku asli lainnya.

Bentuk-bentuk tradisi ekspresif inilah yang membentuk hukum adat seperti

konsepsi tentang tanah ulayat (wilayat), hutan larangan, hutan simpanan, pancung

alas yang termasuk konsepsi hutan kepungan sialang, tanah dan taman

perkarangan. Hutan tanah merupakan elemen utama bagi keberadaan Melayu dan

kebudayaannya. Tanpa hutan, kebudayaan Melayu tidak akan pernah ada dan

berkembang seperti sekarang ini. Tradisi yang meletakkan kearifan pada hutan

tanahlah yang membuat hukum-hukum adat Melayu yang selalu merujuk pada

ikhtiar dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

19

Page 20: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Petatah-petitih yang juga menjadi bagian tradisi dari ekspresif dalam

masyarakat Melayu yang membentuk hukum keseimbangan alam dan keseimbangan

hidup antara sesama manusia dalam komunitasnya. Seperti “Bulat air dek

pembetung, bulat kata dek mufakat”. Betung itu dimaksudkan adalah jenis buluh

(bambu) yang dikenal di alam Melayu sebagai buluh betung. Dalam konvensi sosial

di dalam komunitas Melayu sebagaimana yang tercermin dari petatah-petitih di atas,

bahwa air bisa menjadi besar dan memiliki faedah untuk pengairan bahkan untuk

tenaga penggilingan padi, gandum, tebu dan lainnya. Ketika dia disalurkan dengan

pembuluh yang baik yaitu yang terbuat dari buluh betung yang bagus dan kuat.

Buluh ini tersedia di dalam lingkungan hutan tanah, kebun, dan rimba di alam

Melayu. Dampak dari konvensi ini adalah manfaat dari mufakat di dalam

masyarakat. Bahwa dalam mufakat seiya-sekata, gotong royong, senasib

sepenanggungan yang menjadi kaidah utama untuk menyokong kekuatan hidup

bersama dalam komunitas Melayu.

Dampak dari interaksi ekologis yang membuat orang Melayu akan

memelihara lingkungan, agar bahan-bahan baku untuk memperkaya pengucapan

sekaligus memperkaya kiasan, senantiasa dan terawat di dalam lingkungan hidup

yang menjadi sangkar utama kebudayaan Melayu. Untuk menjaga keasrian, keaslian,

dan merawat segala jenis ekosistem alam, para dukun dan pawing Melayu telah

membentuk dan membangun jenis-jenis mitos yang hidup di kawasan tersebut. Hal-

hal yang tabu dilekatkan pada tempat-tempat tertentu sehingga menjadi tempat

keramat, yang juga menjadi bagian dari orang Melayu yang merawat lingkungan

hidup dalam mitologi.

Posisi dukun dalam masyarakat Melayu telah membentuk pola perilaku dan

konvensi ko.munitas yang menjaga keselarasan alam dan lingkungannya. Mereka

membutuhkan dukun untuk menjaga rasa aman dalam menghadapi medan kehidupan

seperti membuka lading, turun ke sungai dan aktifitas lainnya. Selain itu, dukun ini

juga digunakan sebagai ahli penyembuhan penyakit dalam masyarakat Melayu. Ada

juga pemangku adat yang mempunyai peranan dalam hubungan manusia dengan

alam. Peranan mereka sangat dominan dalam memainkan peranan sebagai pemegang

kendali kekuasaan.

20

Page 21: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Semua kasus dan sengketa yang terjadi dalam masyarakat Melayu, yang

berkaitan dengan hukum adat akan disidangkan oleh lembaga adat yang dipimpin

oleh batin, penghulu, monti dan hulubalang yang akan membuat keputusan perkara

tersebut. Keputusan ini bisa dalam bentuk berdamai, membayar denda, bersumpah

tidak akan melanggar dan bahkan diusir dari kampung halaman.

4.4.2 SENI TARI

1. Tari Persembahan

Tari persembahan ini salah satu jenis tari tradisi yang dipersembahkan untuk

menghormati tamu. Tari persembahan menggunakan musik irama makan sirih.

Tarian ini dilakukan oleh 8 orang perempuan atau 4 pasang. Tari persembahan ini

tidak hanya satu. Bagi suku masyarakat asli mempunyai tari persembahan atau tari

penghormatan yang tersendiri seperti tari silat perisai di Kampar, tari olang-olang di

suku Sakai. Tari persembahan ini semula bernama makan sirih yang kemudian

dibakukan oleh H.O.K Nizami Jamil menjadi tari persembahan pada tahun 1990an

menjadi tari persembahan Riau.

Tari ini diiringi oleh peralatan yang dibawa oleh penari yang berada di depan

adalah tepak sirih serta perangkat untuk makan sirih. Alat music yang digunakan

adalah gendang gebano (bebano), gambus dan akordion dan seorang penyanyi untuk

melantunkan lagu makan sirih tersebut.

2. Tari Zapin

Merupakan tari rakyat daerah Riau. Kata Zapin berasal dari Arab yang berarti

gerak kaki. Jadi tarian zapin adalah tarian yang banyak mempunyai gerakan kaki.

Zapin merupakan salah satu ng dipengaruhi oleh kebudayaan Islami, dengan kata

lain zapin juga merupakan tarian yang berasal dari Arab. Pada umumnya zapin

berkembang di daerah pesisir yang sesuai dengan asal mula perkembangan Islam.

Pada tarian yang berfungsi sosial kita dapat menghubungkan dengan aspek-

aspek lainnya dengan masyarakat seperti alam sekitar, nilai dan sikap, selera, system

kepercayaan dan lainnya. Pada masyarakat maju, tarian juga memiliki fungsi yang

21

Page 22: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat tradisional, sifat dan variasinya

berbeda dari masa ke masa dengan melihat perubahan dari masyarakat itu sendiri.

Sesuai dengan keyakinan merekayang percaya pada roh-roh serta kekuatan

ghaib lainnya seperti Animisme maka tarian itu bersifat sacral, sedangkan sifat dan

jenis dari tarian itu adalah tarian yang bersifat hiburan. Selain itu, tarian juga

berfungsi untuk mengobati masyarakat yang ditimpa musibah, tidak tertutup

kemungkinan untuk mengobati masyarakat yang dating dari daerah lainnya.

Kegunaan dari tarian itu antara lain; untuk pergaulan, untuk acara sunatan dan acara

perkawinan.

3. Tari Olang-Olang

Tari olang-olang ini berasal dari suku asli Sakai di Riau dan berkembang

dalam komunitas suku Sakai. Kisah dari tarian ini sudah ada dari masa yang lama

dan diolah sedemikian rupa dari oralitas yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat

tersebut. Sebagai kisah yang berwujud ke dalam bentuk yang disampaikan lewat

tradisi. Tari olang-olang memiliki fungsi sebagai tarian pujian roh-roh. Waktu akan

menarikan tarian ini, biasanya dipersiapkan penangkalan roh jahat agar tidak

mendapat gangguan sepeerti penari memakai jimat atau diiringi dengan dukun yang

ahli dalam menolak gangguan roh jahat.

4.4.3 SENI MUSIK

Alat musik bagi masyarakat Melayu, hanya terdapat dalam tradisi

meninabobokan anak atau dikenal dengan dodoi nakal dan nyanyian pada pembacaan

dan penyampaian koba. Nyanyian pujian baru muncul setelah Islam yang menjadi

bagian dari kehidupan masyarakat dan sebagian dari pendatang yang membawa

agama Nasrani. Agama ini dianut oleh pendatang seperti Cina yang tiadk membawa

jenis music tertentu dalam kehidupan mereka. Seni musik juga dapat dilihat dari

kegiatan musik jenis Kasidah, Barzanji, Zikir Bardah dan lainnya yang digunakan

untuk perayaan hari besar Islam. Namun juga digunakan oleh masyarakat ketiak

mengadakan gerakan sunah rasul atau uapacar perkawinan.

22

Page 23: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

4.4.4 SENI BINA

Bangunan tradisional yang disebut juga “seni bina” Melayu, terutama untuk

rumah kediaman, pada hakekatnya amat diutamakan dalam kehidupan orang Melayu.

Rumah bukan saja sebagai tempat tinggal, tetapi juga menjadi lambang

kesempurnaan hidup. Beberapa ungkapan tradisional Melayu menyebutkan rumah

sebagai “cahaya hidup di bumi, tempat beradat berketurunan, tempat berlabuh kaum

kerabat, tempat singgah dagang lalu, hutang orang tua kepada anaknya”. ltulah

sebabnya rumah dikatakan “mustahak”, dibangun dengan berbagai pertimbangan

yang cermat, dengan memperhatikan lambang-lambang yang merupakan refleksi

nilai budaya masyarakat pendukungnya. Hanya dengan cara demikian diyakini

bangunan akan benar-benar memberikan kesempurnaan lahir dan batin bagi

penghuni rumah dan bagi masyarakat sekitarnya.

Lambang-lambang yang berkaitan dengan bangunan tradisional Melayu

bukan saja terdapat pada bagian-bagian bangunan, tetapi juga dalam bentuk berbagai

upacara, bahan bangunan dan namanya, serta letak bangunan. Oleh karena perjalanan

masa, lambang-lambang tersebut tidak mudah dilacak lagi. Berbagai masalah

kebudayaan harus turut diperhitungkan, karena cukup banyak nilai-nilai tradisional

yang terkandung dalam suatu masyarakat telah terabaikan dan punah karena

pergeseran dan perubahan nilai budaya yang terus terjadi. Nilai budaya Melayu Riau

umumnya berpunca dari tiga aspek dominan, yaitu agama Islam, adat Melayu, dan

tradisi Melayu. Adat dan tradisi yang kian melonggar berangsur-angsur

menyebabkan nilai-nilai asli semakin kabur dan kehilangan warna.

Dalam seni bangunan tradisional, pergeseran dan perubahan sangat jelas

terlihat. Di seluruh Riau, bangunan tradisional semakin sedikit, sedangkan lambang-

lambang yang dikandungnya nyaris tidak lagi dikenal oleh masyarakat. Musyawarah,

upacara, dan kegotong-royongan dalam pelaksanaan pendirian bangunan sudah

sangat diabaikan. Tempat bangunan pun tidak lagi dikaitkan dengan kepercayaan

masyarakat. Bentuk dan ukuran rumah telah digantikan oleh gaya arsitektur masa

kini. Menurut tradisi, bahan bangunan harus dipilih dengan cara tertentu, namun kini

bahan bangunan tergantung dari pasaran. Begitu pula dengan ragam hias dan lain

sebagainya.

23

Page 24: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Di kampung-kampung masih banyak sisa-sisa bangunan tradisional, namun

pemilik atau orang tua-tua di sana tidak banyak lagi yang mengetahui makna

lambang-lambangnya. Kalaupun masih ada para tukang yang dapat membuat

bangunan berpola tradisional, mereka kurang mengetahui arti yang terkandung dalam

lambang-lambang tersebut. Masalah lain yang merupakan penghambat adalah

kurangnya bahan bacaan tentang arsitektur tradisional Melayu Riau. 

Tulisan ini hanya membahas tentang seni bangunan Melayu Riau dan bukan seni

bangunan Melayu seluruhnya karena sulitnya mendapatkan sumber tertulis yang

berkaitan dengan seni bangunan Melayu seluruhnya. Sumber informasi tulisan ini

sebagian besar berasal dari sastra lisan di pedalaman Riau, seperti Bilang Undang

dan Nyanyi Panjang yang masih kuat tertanam dalam ingatan masyarakat

pendukungnya.

4.4.5 SENI UKIR

Seni ukir di daerah-daerah ini terdapat kayu-kayu dan batu yaitu pada rumah,

peralatan rumah tangga dan makam-makam. Pada saat sekarang ini di rumah-rumah

tidak terlihat lagi ukiran-ukiran yang megah itu. Bagunan tua yang masih berbentuk

bangunan tua hanyalah sebagian dari rumah tempat tinggal yang sudah berusia tua.

Bentuk bangunan limas mempunyai pintu dan jendela yang tinggi dan diatasnya

dilengkapi kisi-kisi tegak, pakai kaca dan pada ventilasi diberi ukiran-ukiran. Pada

kiri kanan tangga rumah diberi pagar dan diukir, rumah-rumah tua beratap daun

nipah tetapi sudah diganti dengan seng.

Kearifan lokal dalam membangun rumah kediaman yang bertumpu pada

kaidah adat yang menekankan pentingnya keseimbangan dan tidak menghilangkan

tanah dengan segala dengan makhluk hidup di dalamnya yang menjadi pertimbangan

utama. Rumah panggung Melayu bukan hanya bertolak dari kesadaran tentang

serangan binatang buas, hewan melata, bencana banjir, gempa dan lain sebagainya.

Hal ini juga mempertimbangkan keselamatan makhluk-makhluk hidup yang berdiam

di dalam tanah. Elastisitas bangunan rumah panggung telah teruji secara ilmu

pengetahuan modern, terutama dalam ketahanan dalam goncangan gempa dan angin

putting beliung.

24

Page 25: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

4.5 BANGUNAN DAN SENI BANGUNAN

4.5.1 ARTI, FUNGSI DAN BENTUK BANGUNAN DALAM KEBUDAYAAN

MELAYU RIAU

Setiap bangsa dan sukubangsa tentu mengenal arti, fungsi, dan bentuk

bangunan tradisional dengan ciri khasnya, di samping nilai-nilai universal yang

dikandungnya. Demikian pula dengan orang Melayu. Bangunan tradisional Melayu

adalah suatu bangunan yang utuh, yang dapat dijadikan sebagai tempat kediaman

keluarga, tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan, dan tempat

berlindung siapa saja yang memerlukannya. Ini tergambar pada sebuah ungkapan

tradisional Riau yang berbunyi:

Yang bertiang dan bertangga

Beratap penampung hujan penyanggah panas

Berdinding penghambat angin dan tempias

Berselasar dan berpelantar

Beruang besar berbilik dalam

Berpenanggah dan bertepian

Tempat berhimpun sanak saudara

Tempat berunding cerdik pandai

Tempat bercakap alim ulama

Tempat beradat berketurunan

Yang berpintu berundak-undak

Bertingkap panjang berterawang

Berparan beranjung tinggi

Berselembayung bersayap layang

Berperabung kuda berlari

Berlarik jerajak luar

25

Page 26: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Bertebuk kisi-kisi dalam

Bidainya tingkat bertingkat

Kaki dan atap berombak-ombak

Berhalaman berdusun

Di situ berlabuh kaum kerabat

Di situ bertambat sanak famili

Di situ berhenti dagang lalu

Kandungan makna dan fungsi bangunan dalam kehidupan orang Melayu

sangat luas, sehingga menjadi kebanggaan dan memberikan kesempurnaan hidup.

Oleh karena itu bangunan hendaknya didirikan dengan tata-cara yang sesuai dengan

ketentuan adat, sehingga bangunan itu dapat disebut “rumah sebenar rumah”.

Bentuk bangunan tradisional Melayu biasanya ditentukan oleh bentuk

atapnya, seperti Atap Belah Bubung, Atap Limas, dan Atap Lontik. Rumah dengan

perabung lurus pada tengah puncak atap, dengan kedua bagian sisi atapnya curam ke

bawah seperti huruf V terbalik disebut Atap Belah Bubung, Bubung Melayu, atau

Rabung Melayu. Jika atapnya curam sekali disebut Lipat Pandan. Sebaliknya, jika

atapnya mendatar disebut Lipat Kajang. Jika pada bagian bawah atap ditambah atap

lain, disebut Atap Labu, Atap Layar, Atap Bersayap, atau Atap Bertinggam.

Keterangan mengenai hal ini dapat dijumpai dalam salah satu ungkapan tradisional

yang berbunyi:

Perabung lurus di tengah-tengah

Atap mencucur kiri kanan

Yang mengembang lipat kajang

Yang tegak berlipat pandan

Atap bertingkat Ampar Labu

Berempang leher Atap Bertinggam

26

Page 27: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Menguak ke samping Atap Bersayap

Tadahan angin Atap Layar

Jika perabung atap bangunan itu sejajar dengan jalan raja, orang Melayu

menyebutnya Rumah Perabung Panjang. Sebaliknya, jika tidak sejajar disebut

Rumah Perabung Melintang. Ungkapan tradisional menyebut bangunan ini secara

teliti.

Di mana letak Perabung Panjang

Pada labuh dan tambak panjang

Lurusnya bagai antan disusun

Selari bagai induk tangga

Kalau perabung bersilang tambak

Bertelingkai bagai ranting

Bagai tangga dengan induknya

ltu tandanya Perabung Melintang

Jika perabung bangunan itu melentik ke atas pada kedua ujungnya, disebut

Rumah Lontik, Rumah Pencalang, atau Rumah Lancang, karena bentuk hiasan pada

kaki dinding di depan dan di belakang seperti bentuk perahu. Ini dinyatakan dalam

ungkapan:

Lontik rumah pada perabung

Lontik sepadan ujung pangkal

Tempat hinggap sulo bayung

Tempat bertanggam tanduk buang

Jika atap Rumah Lontik ini bertingkat, disebut Rumah Gorai atau Gerai.

Rumah atap limas yang diberi tambahan di bagian muka dan belakang dengan atap

lain yang berbentuk limas disebut Limas Penuh, tetapi jika atap tambahan itu

berbentuk Belah Bubung, maka rumah itu disebut Limas Berabung Melayu.

Keterangan yang ada dalam ungkapan tradisional mengatakan:

Bersorong limas dengan limas

27

Page 28: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Padanan disebut limas penuh

Yang di muka ke selasar

Yang di belakang ke penanggah

Kalau berpatut limas dengan kajang

Berpandan dengan lipat pandan

Di situ tegak kunyit-kunyit

Yang di muka ke selasar

Yang di belakang ke penanggah

Bangunan di atas umumnya berbentuk persegi panjang dan jarang sekali

berbentuk bujur sangkar. Lagi pula bangunan itu dinyatakan sebagai “tinggi lucup

kepala, rendahnya seanjing duduk”, yang menggambarkan rumah panggung.

4.5.2 LAMBANG-LAMBANG DALAM BANGUNAN MELAYU RIAU

Kunci utama dalam mewujudkan bangunan dan lambang-lambangnya adalah

musyawarah. Oleh karena itu, langkah pertama sebelum mendirikan bangunan adalah

melakukan musyawarah, baik antarkeluarga maupun dengan melibatkan anggota

masyarakat lain. Musyawarah membicarakan tentang jenis bangunan yang akan

didirikan, kegunaannya, bahan yang diperlukan, lokasi bangunan, tukang yang akan

mengerjakan, dan waktu pekerjaan dimulai. Biasanya dalam musyawarah juga

dijelaskan tentang segala pantangan dan larangan, serta adat dan kebiasaan yang

harus dilakukan dengan tertib. Pengerjaannya ditekankan pada asas kegotong-

royongan yang disebut batobo, besolang, bepiari, atau betayan.

Seseorang yang mendirikan suatu bangunan tanpa mengadakan musyawarah

dapat dianggap sebagai orang yang “kurang adab” atau “tak tahu adat”. Orang tua-

tua akan merasa dilangkahi dan orang muda-muda merasa ditinggalkan. Bangunan

yang didirikan tanpa musyawarah akan menyebabkan pemiliknya mendapat umpatan

masyarakat, sedangkan bangunan itu sendiri dianggap gawal atau sewal, yaitu

mendatangkan sial, seperti ungkapan:

Rumah siap pahat berbunyi 28

Page 29: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Yang mati berbalik hidup

Terkena tangkap sesentak

Berseliu bulan berkalan

Bersilang tongkat dengan tugal

Lantai berjungkat tengah rumah

Kasau jantan menyundak kepala

Ke hilir terhelah-helah

Ke hulu terdudu-dudu

Sebuah bangunan yang ideal digambarkan dalam ungkapan berikut:

Mangkuk penuh pinggan berisi

Rumah siap pahat tidak berbunyi

Melenggang tidak berpepas

Menyundak tidak tertumbuk

Berarang tidak patah

Berotan tidak putus

Tak ada rumput nan menyungkat

Tak ada tanah nan bertingkah

Kilaunya sudah kemas

Tak berundang di balik tanah merah

Tak ada kayat di balik mati

Jadi, musyawarah dan kegotongroyongan menjadi dasar kehidupan

tradisional dan merupakan landasan dalam membuat sebuah bangunan. Hal ini jelas

sekali dalam ungkapan yang berbunyi:

Orang kaya menurut kayanya

Orang miskin dengan tulang uratnya

Kalau tak ada beban sepikulan

29

Page 30: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Sehelai rotan terbelit juga

Lambang-lambang yang berkenaan dengan bangunan tradisional Melayu

tergambar dengan baik dalam upacara, ukuran bangunan, bagian-bagian bangunan,

dan ragam hiasnya.

4.5.3 TATA UPACARA MENDIRIKAN BANGUNAN

Mendirikan bangunan secara tradisional memerlukan bermacam-macam

upacara agar harapan pemilik dan semua orang yang terlibat dalam pengerjaannya

terpenuhi. Selain itu, upacara juga ditujukan supaya mereka semua terhindar dari

malapetaka. Upacara yang umum dilakukan dalam pekerjaan ini adalah Beramu,

Mematikan Tanah, dan Menaiki Rumah.

a. Upacara Beramu

Upacara Beramu disebut juga Mendarahi Kayu, Meramu, atau Membahan.

Tujuannya agar orang-orang yang terlibat dalam pembuatan bangunan tidak

mendapat gangguan dari “penunggu hutan”, sebagaimana yang tergambar dalam

mantra yang dibacakan oleh Pawang, Dukun, atau Kemantan yang melakukan

upacara:

Assalamualaikum ibu ke bumi

Assalamualaikum bapa ke langit

Si Dogum namanya bumi

Si Coca namanya kayu

Induk Alim namanya tanaman

Menentukan salah dengan silih

Jangan diberi rusak

Jangan diberi binasa

Pada anak sidang manusia

Berkat aku mengambil kayu Tiang Tua

Berkat Lailahaillallah

30

Page 31: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Upacara ini disebut Mendarahi Kayu, karena Pawang yang memimpin

upacara ini lebih dulu menyiram kayu yang akan ditebang dengan darah ayam

sebelum ditepungtawari. Darah ayam yang disiram ke pangkal pohon itu

melambangkan bersebatinya darah manusia dengan darah semua makhluk dalam

hutan, sehingga mereka tidak akan mengganggu orang-orang tersebut. Lambang-

lambang yang terdapat dalam upacara ini mencerminkan sikap hidup orang Melayu

yang senantiasa menghormati orang lain serta selalu ingin menjalin persahabatan dan

persaudaraan dengan siapa saja di bumi ini.

b. Upacara Mematikan Tanah

Upacara Mematikan Tanah bertujuan untuk membersihkan tanah tempat

bangunan akan didirikan dari segala makhluk halus yang mendiaminya. Upacara

yang dilakukan secara besar-besaran ini disertai dengan penyembelihan seekor

kerbau. Jika diadakan secara sederhana, upacara itu disertai dengan penyembelihan

seekor kambing atau seekor ayam.

Peralatan yang dipakai dalam upacara ini mengandung lambang dengan arti

yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya Melayu, yaitu:

1. Kain Campo Tengkuluk Godang, yakni sejenis selendang yang terdiri dari 3,

5, atau 7 warna untuk diselimutkan pada Tiang Tua. Kain melambangkan ibu

rumah tangga yang akan mendiami rumah itu, sedangkan penyelimutan pada

tiang menggambarkan kasih sayangnya kepada suami, anak-anak, dan

keluarganya. Warna-warna kain pun mempunyai arti, yaitu merah sebagai

lambang persaudaraan, hitam untuk keberanian atau kedubalangan, hijau

untuk kesuburan atau bertunas, biru untuk kebahagiaan atau cayo langit,

putih untuk kesucian atau putih hati seperti kapas, dan kuning untuk

kekuasaan atau ono ajo;

2. Sirih setangkai yang melambangkan penghormatan kepada masyarakat yang

ikut membantu mendirikan bangunan tersebut;

3. Bibit kelapa dua jurai yang melambangkan hubungan berkeluarga dan

berketurunan;

4. Mayang pinang satu jurai yang melambangkan kecantikan dan keselarasan

hidup dalam rumah tangga;

31

Page 32: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

5. Payung, melambangkan tempat berlindung bagi siapa saja yang

memerlukannya;

6. Kain panji dan umbul-umbul sebagai lambang keragaman suku yang ada

dalam masyarakat yang telah turut membantu mendirikan bangunan tersebut;

7. Alat musik celempong, tetawak, dan gendang yang melambangkan

kegembiraan dan kebahagiaan;

8. Seperangkat peralatan tepung tawar yang terdiri dari daun Setawar yang

berarti obat segala bisa, daun Sedingin untuk mendinginkan kepala yang

panas, menyejukkan hati, dan berlapang dada, daun Ati-ati yang berarti bijak

berkata-kata dan baik tingkah-laku, daun Gandarusa untuk penangkal

malapetaka dari luar, bedak Limau untuk membersihkan jasmani dan rohani,

air Percung yang mengandung arti “memberi tidak diminta, melepas tidak

disentak” atau ikhlas dan rela berkorban, dan beras kunyit, beras basuh, dan

bertih yang mengandung arti keselamatan, kemakmuran, dan kesucian hati;

9. Bebara dan kemenyan sebagai tanda persahabatan dengan segala makhluk

serta ajakan dan pernyataan bahwa di tempat itu diadakan upacara;

10. Limau Purut, penyembuh segala penyakit, tangkal penolak bala;

11. Hewan sembelihan untuk semah atau sedekah kepada makhluk di sekitar

tempat itu;

12. Tahi besi dan besi berani sebagai lambang kekuatan, kebulatan hati, dan daya

pikat dalam pergaulan;

13. Lumpur laut atau lumpur tanah bekas perumahan keluarga tertua yang

melambangkan kelemah-lembutan, tidak kaku, dan kekal abadi;

14. Inggu untuk menolak makhluk halus yang jahat;

15. Daun Juang-juang, lambang hidup dan mati, serta sebagai penangkal sihir;

16. Tunam, yaitu semacam obor dari kulit kayu dan damar yang melambangkan

cahaya, seri atau rumah tangga yang terang benderang.

32

Page 33: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

c. Upacara Menaiki Rumah

Upacara Menaiki Rumah ditujukan sebagai ucapan terima kasih dari pemilik

rumah atau bangunan itu kepada orang-orang yang telah ikut membantu. Kadang-

kadang upacara ini diikuti kenduri atau makan bersama yang didahului doa selamat.

4.5.4 LETAK BANGUNAN

Tempat-tempat yang baik untuk mendirikan bangunan menurut tradisi

Melayu Riau adalah:

- pertama, tanah liat yang berwarna kuning dan hitam. Rumah di atas tanah ini

diyakini akan membuat penghuninya tidak diserang penyakit jerih, pitani, dan

sawan babi.

- Kedua, tanah yang datar. Rumah yang didirikan di sini dipercayai akan

membuat penghuni bangunan selalu tenang hidupnya dan disenangi dalam

pergaulan.

- Ketiga, tanah yang miring ke belakang. Rumah di sini dipercayai akan

membuat penghuninya tidak kekurangan rezeki.

- Keempat, tanah belukar. Rumah yang dibangun di sini dipercayai akan

membuat penghuni mendapat rezeki yang halal, bebas dari gangguan hantu

dan makhluk halus lain.

- Kelima, tanah yang dekat dengan sumber air. Menurut kepercayaan, rumah di

atas tanah ini akan membuat penghuninya mendapat rezeki melimpah.

Tempat yang tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk untuk mendirikan

bangunan menurut tradisi Melayu Riau antara lain adalah:

- pertama, tanah dusun atau kebun yang belum ada tanaman tua atau tanaman

keras. Menurut kepercayaan Melayu, penghuni bangunan di sini tidak akan

melarat hidupnya, tetapi rezekinya juga tidak melimpah.

- Kedua, tanah bercampur pasir. Orang Melayu percaya bahwa penghuni di sini

akan terhindar dari penyakit sampar.

33

Page 34: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

- Ketiga, tanah bekas perumahan lama. Rumah di lahan ini dipercaya akan

membuat penghuninya mendapat nasib seperti pemilik bangunan lama.

- Keempat, tanah terbuang atau terlantar. Menurut kepercayaan mereka

penghuni rumah di sini akan berhasil dalam hidup jika kesialan tanah tersebut

dibuang.

Tempat yang dipantangkan untuk mendirikan bangunan antara lain adalah:

- pertama, tanah gambut. Penghuni bangunan di atas tanah ini diyakini akan

menderita penyakit tulang.

- Kedua, tanah kuburan. Menurut kepercayaan orang Melayu penghuni di atas

lahan ini akan diganggu oleh hantu atau diserang berbagai penyakit.

- Ketiga, tanah bekas orang mati berdarah. Rumah di atas tanah semacam ini

dipercayai akan membuat penghuninya mendapat celaka dan diganggu oleh

hantu orang yang mati di situ.

- Keempat, tanah bekas orang yang mati karena penyakit sampar. Penghuni

bangunan di atas tanah ini dipercaya akan mendapat nasib yang sama.

- Kelima, tanah “tahi burung”, yaitu tanah berlekuk-lekuk. Menurut kepercayaan

orang Melayu penghuni rumah di atas tanah seperti ini akan mendapat

penyakit bubul.

- Keenam, tanah berbusut dan beranai-anai. Orang Melayu percaya bahwa

penghuni rumah di atas tanah ini akan melarat.

- Ketujuh, tanah wakaf. Penghuni rumah di atas tanah ini dipercayai akan

ditimpa kutukan, sebagaimana diungkapkan, 

- Delapan, “lidah tanah”, yaitu tanah yang berbusut panjang. Penghuni

bangunan di atas tanah ini diyakini tak akan tetap mendiami rumahnya.

34

Page 35: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

4.5.6 ARAH BANGUNAN

Setelah memilih tempat yang baik, untuk mendirikan bangunan juga harus

diperhatikan arah hadap bangunan. Oleh karena itu seni bangunan Melayu Riau

mempunyai beberapa patokan berkenaan dengan arah.

Pertama, menghadap ke Utara. Arah hadap utara dianggap baik sekali, karena

diyakini mendatangkan banyak rezeki, jarang ditimpa penyakit, dan selalu hidup

berkecukupan, seperti dinyatakan ungkapan lama,

Kalau rumah menghadap ke utara

Bagai menahan belat di kuala

Satu dipasang dua isinya

Dua dipasang empat mengena

Kedua, menghadap ke Timur. Arah ini juga dianggap baik sekali, karena dipercayai

akan membuat penghuni rumah mendapat rezeki melimpah, jauh dari segala macam

penyakit, seperti dinyatakan,

Kalau rumah menghadap ke timur

Bagai lukah di pintu air

Pagi direndam petang berisi

Petang direndam malam penuh

Bukan penuhnya oleh apa

Penuh emas dengan urai

Penuh gelak nan berderai

Ketiga, menghadap ke Barat. Arah hadap ini dianggap tidak baik, karena bisa

membuat penghuni bangunan selalu diserang penyakit panas dan tidak tenteram,

seperti diungkapkan,

Kalau rumah menghadap ke barat

Bagai lesung batu tidak beranak

Lada ada sambal tak lumat

Garam sebuku tak tergiling

35

Page 36: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Keempat, menghadap ke Selatan. Arah hadap ini dianggap kadang-kadang

mendatangkan kebaikan pada penghuni rumah, kadang-kadang tidak, seperti

diungkapkan,

Kalau rumah menghadap ke selatan

Bagai peluntang di tengah sungai

Tuah kail puntung mengena

Sial kail umpannya habis

4.5.7 MEMILIH BAHAN BANGUNAN

Sastra lisan yang berupa ungkapan tradisional Riau memberi petunjuk 

tentang bermacam-macam kayu yang tidak baik untuk dijadikan bahan bangunan,

misalnya kayu yang dililit akar. Kayu ini dikatakan dapat menyebabkan bangunan

sering dinaiki ular atau penghuninya mendapat kesulitan, seperti ungkapan,

Kalau kayu dililit akar

Tumbangnya tak jejak ke tanah

Ditebang menyangkut beliung

Dibawa pulang diikut susah

Kayu yang berlubang digirik kumbang atau kayu yang berlubang di

tengahnya juga dianggap tidak baik, seperti ungkapan,

Kalau kayu digirik kumbang

Dilintangkan ia patah

Ditegakkan ia rebah

Kalau kayu berlubang panjang

Empulurnya membawa miang

Tatalnya melenting mata

Patut dibuat kayu api

Kayu yang sedang berpucuk muda. Kayu ini dianggap dapat menyebabkan

penghuni bangunan sakit-sakitan dan sulit mendapat rezeki, seperti ungkapan,

Kalau kayu berbunga lebat

Buahnya mengunjung dahan

Pucuknya menjarum-jarum

36

Page 37: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Kalau panas ia pecah

kalau hujan ia lapuk

Terasnya tidak berurat

Empulur menggenang getah

Kayu yang batangnya berpilin. Kayu ini dianggap akan dapat menyebabkan

penghuni bangunan mendapat fitnah, seperti ungkapan, 

Batang kayu berpiuh pilin

Di hutan menyundak dahan

Di rumah menyundak atap

Yang lurus membengkokkan

Yang tegak merebahkan

Kayu tunggal, yaitu kayu yang jenisnya hanya ada sebatang di suatu tempat.

Menurut kepercayaan penghuni rumah yang dibuat dengan kayu ini akan bercerai

dengan keluarganya, sebagaimana diungkapkan,

Kayu tunggal penunggu rimba

Kalau ditebang menghabiskankan

Kalau ditutur mematikan

Kayu bekas tebangan orang. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini diyakini

akan membuat penghuninya cepat bercerai dengan keluarganya, seperti ungkapan,

Kalau ada bekas beliung

Tak boleh dikerat lagi

Di situ letak silang sengketa

Di situ pertemuan dihabisi

Kayu yang tidak langsung tumbang di tanah ketika ditebang. Bangunan yang

dibuat dari kayu ini menurut kepercayaan akan mendatangkan bahaya kematian bagi

penghuninya, seperti ungkapan,

Yang rebah tak mencecah tanah

Menyandar ke kayu lain

Memutus ranting meretas dahan

Matinya mati menganggang

Tergantung lapuk tertegak busuk 37

Page 38: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Kayu yang akarnya menjulur ke air. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini

dianggap akan dapat menyebabkan penghuninya mendapat sial, seperti ungkapan, 

Sebelah akar di tebing

Sebelah akar di air

Satu dipegang satu lepas

Satu dapat satu menghilang

Kayu bekas terbakar. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini dianggap akan

menyebabkan penghuninya menderita kemiskinan dan berbagai penyakit, seperti

ungkapan, 

Terpanggang kayu di tengah ladang

Terasnya menjadi gubal

Diketam tidak bertatal

Kulit dikubik berisi arang

Banir diseluk tak berurat tunggang

Dipesandar timpa-menimpa

Ditampung tak tertampung

Dikerat tak terkerat

Mematah pada beliung

Memecah hulu parang

4.5.8 UKURAN BANGUNAN

Ukuran bangunan juga dipercaya dapat menentukan baik tidaknya sebuah

rumah. Secara tradisional patokan untuk mengukur adalah ukuran bagian tubuh si

pemilik, seperti tinggi hasta, serta ukuran berdasarkan banyaknya kasau dan gelepar.

Tinggi bangunan yang paling baik adalah sepemikulan atau setinggi bahu karena ini

berarti beban hidup akan dapat dipikul sepenuhnya oleh si pemilik. Tentang hal ini

ungkapan lama menyebutkan:

Tinggi rumah sepemikulan

38

Page 39: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Terpikul bendul nan empat

Terpikul ladang bertumpuk

Tak bertingkat tungku di dapur

Tak tersingkap kain di pinggang

Jika tinggi bangunan itu sejunjungan, yaitu setinggi puncak kepala si pemilik,

hal itu juga berarti baik.

Tinggi rumah sejunjungan

Terjunjung adat dengan lembaga

Terjunjung harta dengan pusaka

Terjunjung pintak dengan bagi

Terjunjung ico dengan pakaian

Jika tinggi bangunan itu sepenjangkauan, itu juga berarti baik karena

dipercaya si pemilik akan dapat menjangkau segala keperluan rumah tangganya serta

mencapai cita-cita. 

Tinggi rumah sepenjangkauan

Tergapai kasau dengan alang

Teraih padi dalam petak

Tertutup baju di dada

Tercapai ucap dengan pinta

Jika tinggi bangunan itu sepenyangup, yaitu setinggi mulut, itu berarti tidak

baik, karena menurut kepercayaan si pemilik akan menjadi rakus, kikir, serta

bertengkar dengan tetangga di sekitar.

Tinggi rumah sepenyangup, 

langau lalat dimakannya,

berlapis kancing pintunya, 

duduknya di atas-atas,

cakap tengking-menengking, 

39

Page 40: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

tak lawan musuh dicari.

Jika tinggi bangunan itu selutut, berarti sangat tidak baik, karena si pemilik

dianggap tidak tahu adat serta akan berada dalam kemiskinan.

Kalau rumah tinggi selutut

Tak beradat pintu rumah

Tak beradat tangga rumah

Berbeliung tak berpoda

Berparang tidak berasah

Ke hulu pinta-meminta

Ke hilir kata-mengata

Untuk ukuran tinggi bangunan digunakan ukuran tinggi badan pria (suami),

sedang untuk ukuran besar bangunan diutamakan menggunakan ukuran tangan

wanita (istri). Untuk mengukur besar rumah yang tepat dipakai seutas tali. Hasta

pertama disebut ular berang yang berarti tidak baik, karena bangunan yang

ukurannya jatuh pada hasta pertama ini akan mengakibatkan sengketa. Hasta kedua

disebut meniti riak, juga berarti tidak baik, karena dipercaya akan membuat

penghuninya menjadi sombong. Hasta ketiga disebut riak meniti kumbang berteduh,

yang berarti baik sekali, karena dapat membuat penghuninya mendapat

ketenteraman, kebahagiaan, rezeki melimpah, serta menjadi tempat bernaung

keluarga dan masyarakat sekitarnya. Hasta keempat disebut habis hutang berganti

hutang yang berarti tidak baik, karena akan membuat penghuninya miskin akibat

berhutang. Hasta kelima disebut hutang lalu tidak terimbuh yang berarti tidak baik,

karena menurut kepercayaan penghuni bangunan seukuran itu akan bertambah

miskin bila mendiaminya.

Ada cara mengukur yang disebut bilang kasau yang juga diserahkan kepada

wanita (istri). Ukurannya disebut setulang, yakni sepanjang ujung siku hingga ke

ujung buku jari tergenggam. Tulang pertama disebut kasau yang berarti baik, karena

membawa kebahagiaan lahir dan batin. Tulang kedua disebut risau yang berarti akan

mendatangkan malapetaka. Tulang ketiga disebut rebe yang berarti selalu diancam

40

Page 41: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

oleh bahaya dan melarat. Tulang keempat disebut api yang berarti sering terjadi

perselisihan, pertengkaran, dan mungkin sekali rumah itu terbakar.

Cara mengukur bilang gelegar sama dengan kasau. Tulang pertama disebut

gelegar yang artinya baik sekali, karena ukuran ini membawa kesejahteraan dan

kebahagiaan. Tulang kedua disebut geligi, artinya tidak baik karena penghuni

bangunan akan selalu sakit, mendapat sial, dan susah. Tulang ketiga disebut ubur,

artinya tidak baik karena mendatangkan kesusahan dan kemelaratan. Tulang keempat

disebut bangkai, yang berarti sangat tidak baik karena membawa malapetaka dan

bahaya maut bagi penghuninya.

4.5.9 TIANG

Dalam bangunan tradisional Melayu terdapat beberapa macam tiang seperti

tiang seri, yaitu tiang yang terletak pada empat sudut bangunan induk. Sastra lisan di

Riau mengungkapkan tentang tiang seri seperti berikut, 

Tiang seri di empat sudut

Empat cahaya di langit

Empat cahaya di bumi

Empat seri ke muka

Tempat dinding bertemu kasih

Tempat belebat bergalang ujung

Kalau tegak tiang nan empat

Kalau hutang ke anak jantan

Empat hutang ke anak betina

Empat alim berkitabullah

Empat sahabat Rasulullah

Empat alam ditunggunya

Empat asal kejadiannya

Tiang Penghulu adalah tiang yang terletak di antara pintu muka dengan tiang

seri di sudut kanan muka bangunan. Dalam ungkapan dikatakan, 

Tegak rumah dek tiang seri

Kokoh rumah dek tiang penghulu

41

Page 42: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Tempat bersandar datuk-datuk

Tempat bertumpu alim ulama

Tiang penghulu bertiang panjang

Lurusnya bagai alif

Nan menahan beban rumah

Nan memikul berat atap

Nan menyangga dinding belebat

Tertegak tiang penghulu

Tegak adat selilupnya

Tiang Tua adalah tiang yang terletak pada deretan kedua sebelah kiri dan

kanan pintu tengah. Dalam ungkapan dikatakan,

Tiang tua sebelah kiri

Tempat kelapa dua jurai

Tiang tua sebelah kanan

Tempat selendang kain campo

Tiang tua di pintu tengah

Tempat bersandar bendul panjang

Tempat adat dipalangkan

Tempat langkah dihentikan

Tiang Tengah adalah tiang-tiang yang terdapat di sekeliling bangunan induk.

Dalam ungkapan dikatakan, 

Tiang tengah pemasak rumah

Terpasak kaki ke bumi

Terpasak kepala ke langit

Terpasak dengki dengan aniaya

Terpasak salah dengan silih

Tiang Bujang adalah tiang yang khusus dibuat di bagian tengah rumah.

Dalam ungkapan dikatakan, 

Tiang bujang di tengah rumah

Bertanduk rusa bersangkutan

Tempat membuat peluh busuk

42

Page 43: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Tempat mengusap-usap muka

Tempat menggaru-garu belakang

Tempat kenyang dilepaskan

Tiang dua belas adalah gabungan dari 4 buah tiang seri, 4 buah tiang tengah,

2 buah tiang tua, 1 buah tiang penghulu, dan 1 buah tiang bujang. Dalam ungkapan

dikatakan,

Tertegak rumah tiang dua belas

Dua belas cahaya naik

Dua belas cahaya turun

Dua belas tiang dikandungnya

Dua belas bulan ditunangnya

Selain tiang-tiang utama tersebut, juga terdapat tiang-tiang pembantu, yaitu

tiang tongkat, tiang sokong, dan tiang sulai atau tiang banga. Bentuk tiang-tiang

tersebut bulat atau bersegi. Tiang bulat dan bersegi mempunyai makna tertentu

seperti yang terungkap dalam khazanah sastra lisan.

4.5.10 TANGGA

Pada bangunan tradisional Melayu, tangga depan dikatakan mengandung

makna lambang-lambang. Ada dua jenis tangga.

- Pertama, tangga bulat, yakni tangga yang dibuat dari kayu bulat. Jenis ini

dikenal dengan tangga bertanggam.

- Kedua, tangga picak, yaitu tangga pipih yang terbuat dari papan tebal.

Susunan anak tangga, cara mengikat tali tangga, dan bagian-bagian induk

tangga mengandung makna tertentu sesuai tradisi seni bangunan Melayu

seperti yang diungkapkan dalam sastra lisan. Misalnya, pangkal kayu anak-

anak tangga harus diletakkan di sebelah kanan tangga.

Ikatan tangga harus dibuat secara khusus yang disebut lilit selari atau belit

bercengkam. Disebut seperti itu karena ikatan tali tidak boleh terputus-putus, mulai

dari anak tangga paling atas sampai ke anak tangga terbawah. Bagian yang disebut

leher tangga, yang tersangkut di atas bendul pintu, melambangkan kasih sayang ibu

kepada anaknya. Dalam ungkapan lama dikatakan,  43

Page 44: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Leher terpangguk pada bendul

Bagai memangku anak menyusu

Kasih menurut sepanjang jalan

Tak bersekat berhempang-hempang

Bagian yang disebut kepala tangga tersandar ke jenang pintu melambangkan

kepala rumah tangga yang senantiasa menjaga martabat keluarganya, seperti

ungkapan, 

Kepala bersandar ke jenang pintu

Memberi tahu orang di rumah

Memberi kabar orang di tanah

Entah orang salah duduk

Entah orang salah cakap

Jumlah anak tangga dalam bangunan tradisional Melayu dinyatakan dalam

ungkapan tradisional sebagai berikut,

Yang pertama memberi salam

Yang kedua pengisik debu

Yang ketiga pelepas penat

Yang keempat peninjau laman

Yang kelima pijakan adat

Yang keenam gantung rantungan

Anak tangga bersusun lima

Lima rukun di dalamnya

Anak tangga bersusun enam

Enam pula kandungannya

Yang sesuai menurut syara‘

Yang lulus menurut kitab

4.5.11 BENDUL DAN LAIN-LAIN

Bendul atau bendul pintu kadang-kadang disebut juga “batas adat”, karena

bendul merupakan batas tempat tamu lelaki dibenarkan masuk apabila di rumah

tersebut tidak ada lelaki. Sang tamu hanya dibenarkan duduk di bendul pintu muka

44

Page 45: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

dengan sebelah kaki berjuntai di anak tangga. Dalam rumah yang tidak berbilik

permanen, bendul dijadikan sekat atau batas yang biasanya ditutup dengan tabir.

Dalam ungkapan dikatakan,

Rumah ada adatnya

Selilup bendul tepi

Selingkup bendul tengah

Kalau rumah tak berjantan

Sebelah kaki di bendul

Sebelah tinggal di anak tangga

Kalau dihimbau naik ke rumah

Masuk terpalang bendul tengah

Itu tandanya rumah beradat

Berbendul sekat menyekat

Bagai durian beruang-ruang

Bagai buluh ruas-beruas

Selain bendul, gelegar, pintu, jendela, kasau, alang, dinding, bilik, anjungan,

lubang angin, bidai, atap, dan ruangan juga dinyatakan dalam ungkapan tradisional

yang termasuk dalam sastra lisan, yang masih diingat para penduduk di beberapa

pelosok Riau.

4.5.12 RAGAM HIAS DALAM SENI BANGUNAN MELAYU RIAU

Hiasan yang terdapat dalam seni bangunan Melayu Riau bermacam-macam.

Misalnya, sepanjang kaki dinding di bagian depan dan belakang rumah lontik diberi

ukiran yang disebut gando ari. Motif ukiran mengambil bentuk daun, bunga,

kuntum, dan akar-akaran yang menggambarkan kekayaan flora sebagai pernyataan

dekatnya hubungan manusia dengan alam. Juga terdapat motif-motif hewan dan alam

sekitar.

Motif-motif dari seluruh daerah Riau dapat disebut secara garis besar seperti

misalnya Kaluk Pakis, Bunga Hutan, Bunga Kundur, Tampuk Manggis, Pucuk

Rebung, dan lain-lain yang berasal dari alam flora, dan Itik Pulang Petang, Semut

45

Page 46: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

Beriring, Siku Keluang, dari alam fauna, dan motif lainnya dari alam seperti Bulan

Sabit, Bintang-bintang, Awan Larat, dan lain sebagainya.

Hiasan-hiasan itu dibuat di dinding-dinding bangunan, di daun pintu, di kisi-

kisi jendela, di tangga, dan di bagian atap. Hiasan pada bagian atap biasanya dibuat

pada cucuran atap atau pada perabung. Di antara hiasan yang dibuat pada perabung

atap adalah selembayung. Selembayung disebut juga Sulo Bayung atau Tanduk

Buang, yaitu hiasan yang terletak bersilangan di kedua ujung perabung bangunan

Belah Bubung dan Rumah Lontik. Di bagian bawahnya kadang-kadang juga diberi

hiasan tambahan seperti tombak terhunus yang bersambung dengan kedua ujung

perabung.

Selembayung yang diletakkan di bagian paling tinggi suatu bangunan

mengandung lambang yang sangat tinggi artinya. ltulah sebabnya selembayung

disebut juga Tajuk Rumah atau mahkota suatu bangunan yang dipercaya dapat

membangkitkan seri atau cahaya bangunan itu. Selain itu, Selembayung disebut juga

Pekasih Rumah. Selembayung sebagai Pasak Atap merupakan lambang keserasian

hidup yang “tahu diri”. Selembayung juga disebut Tangga Dewa yang dipercaya

sebagai tempat turun dewa, mambang, akuan, soko, dan roh orang sakti.

Selembayung juga dinamakan Rumah Beradat, karena bangunan yang

berselembayung merupakan tanda kediaman orang berbangsa atau kediaman orang

patut-patut/terhormat. Selembayung yang berbentuk seperti bulan sabit disebut juga

Tuan Rumah, yang dipercaya akan mendatangkan tuah kepada pemilik bangunan.

Selembayung yang dilengkapi dengan tombak-tombak melambangkan penjaga, agar

rumah atau bangunan tenteram, juga menggambarkan kewibawaan dan keperkasaan

pemiliknya.

Motif ukiran selembayung terdiri dari daun-daunan dan bunga yang

melambangkan perwujudan kasih sayang, tahu adat, tahu diri, berlanjutnya

keturunan, dan serasi dalam rumah tangga. Hiasan yang terdapat pada keempat sudut

cucuran atap bentuknya mirip dengan selembayung dan disebut sayap layang-layang

atau sayap layangan. Hiasan dipakai sebagai padanan untuk setiap bangunan yang

berselembayung. Hiasan sayap layang-layang yang diletakkan pada keempat sudut

cucuran atap itu diungkapkan sebagai empat penjuru hakekat. Hiasan ini juga

46

Page 47: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

digambarkan sebagai lambang kebebasan sesuai dengan namanya, sebagaimana

dikatakan dalam ungkapan :

Nan bernama sayap layangan

Nan membumbung ke langit tinggi

Menengok alam sekelilingnya

Ditebang tidak tertebang

Ditebas jua jadinya

Dihempang tidak terhempang

Dihepas jua jadinya

Tapi walaupun dihepas

Diberi bertali panjang

Hendak menyimpang tali digenjur

47

Page 48: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

KESIMPULAN

Dalam masyarakat Melayu mencakup segala aspek kehidupan, kepercayaan,

hubungan sosial, perundingan dan alam perilaku. Secara etimologis adat berasal dari

bahasa Arab yang bermakna kebiasaan. Adat berpuncak dari pemahaman manusia

atas kenyataan dan bersifat alamiah yang menlingkunginya sehari-hari. Berdasarkan

pada pemahaman maka muncul istilah ungkapan-ungkapan seperti adat api

membakar atau adat air basah. Dengan istilah di atas, maka fungsi adat dalam

kehidupan Melayu yang merupakan prinsip dasar yang diperlukan untuk mengatur

kehidupan demi menuju pada sebuah kerukunan kehidupan. Dengan mengatur

kehidupan komunitas serta memenuhi tuntutan hidup, kommnitas dan masyarakat

akan mengadakan berbagai institusi baik hukum, sosial ekonomi dan sistem nilai.

Dengan demikian setiap anggota masyarakat atau komunitas mematuhi segala bentuk

aturan bersama yang selanjutnya kita kenal sebagai konvensi yang berawal dari

sIstem nilai yang diatur dalam adat.

Masyarakat Melayu mengatur hidup mereka dengan adat demi memperoleh

keteraturan, kerukunan dan kesejahteraan bersama di dalam masayarakat. Dengan

demikian mereka membentuk hukum adat yang meliputi berbagai yang berkaitan

dengan persoalan adat, adat beraja, adat bernegeri dan adat memerintah, adat

menghukum dan lainnya.

Kearifan lokal yang dipersepsikan sebagai kearifan tradisi akan bermuara

pada keahlian lokal. Hal itu bersumber dari ketersediaan segala bentuk plasma

nutfah, di dalam sebuah ruang ekologi, bisa disebut hutan, kawasan aquatika yang

terjadi sebagai hasil interaksi anatara masyarakat dengan lingkungannya.

Dalam masyarakat tradisional Melayu, rumah memiliki arti yang penting,

bukan saja sebagai tempat tinggal di mana seseorang atau satu keluarga melakukan

kegiatan hariannya, tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup. Maka dari itu,

pembangunan rumah selalu dilakukan dengan hati-hati, dengan memperhatikan

segala unsur unsur-unsur  perlambangan yang merupakan refleksi nilai budaya.

Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka sebuah rumah diyakini akan

48

Page 49: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

menjadi suatu ruang yang membawa kebahagiaan lahir dan batin bagi penghuni

rumah dan masyarakat sekitarnya

Kondisi yang terjadi di pengaruhi oleh perubahan zaman yang memang tidak

dapat dielakkan lagi. Kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi telah

mempengaruhi perkembangan kebudayaan, termasuk kebudayaan Melayu.

Akibatnya, rumah Melayu tradisional kemudian semakin  ditinggalkan, sebagai

gantinya, kemudian tumbuh berkembang rumah Melayu modern yang menggunakan

arsitektur dan bahan bangunan yang berbeda.

Meskipun demikian, perubahan model arsitektur dan bahan bangunan dalam

rumah Melayu modern, tidak sampai mengubah makna dan nilai simbolik yang

terkandung dalam rumah Melayu tradisional. Dengan demikian, adat dan nilai tetap

dijunjung, walau zaman telah berubah. Hal yang paling mendasar adalah tentang

makna lambang-lambang yang terdapat dalam seni bangunan tradisional Melayu.

Tentu masih banyak lagi lambang-lambang yang belum dapat di tafsirkan

atau termakan oleh zaman. Keragaman warna budaya daerah Riau khususnya

memungkinkan adanya perbedaan penafsiran atas lambang-lambang suatu wilayah

dengan wilayah lainnya. Hal ini memerlukan telaah yang lebih tajam dan mendalam

lagi.

49

Page 50: BAB IV Kebudayaan Masyarakat Melayu

DAFTAR PUSTAKA

Harun Mat Piah. 1993. “Tamadun Melayu Sebagai Asas Kebudayaan Kebangsaan: Suatu Tinjauan dan Justifikasi”, dalam Tamadun Melayu, Jilid II. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Nasution, farisal. 2007. Budaya Melayu. Medan. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Utara

Suwandi, M.S. 2008. Dari Melayu ke Indonesia dalam Peranan Kebudayaan Melayu dan Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Blejar

UU. Hamidy, Jagad Melayu dalam Lintas Budaya di Riau, Bilik Kreatif Press, Pekanbaru, 2005.

Yusuf, Yusmar. 2009. Studi Melayu. Pekanbaru: Wedatama Widya Sastra

Media Cetak :

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik, Sosialiasi Budaya Melayu Riau.

Pontianak-Kompas.com. Toni Heriyanto, Sekretaris Daerah Kota Pontianak Kalimantan Barat.

Internet :

http://archive.kaskus.us/thread/1058183/0/asal-usul-melayu yang diakses pada tanggal 12 Juli 2010

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/kebudayaan-melayu-sosiologi-politik/ yang diakses pada tanggal 12 Juli 2010

http://www.serambinews.com/news/view/28064/bangsa-melayu-diserukan-terus-bersatu yang diakses pada tanggal 12 Juli 2010

http://www.MelayuOnline.com

http://www.MajelisMelayu.com

http:www.BalaiPustakaMelayu.com

http ://www.melayuonline.com. Di akses pada 10 Oktober 2010 :- Bangunan Tradisional Melayu dan Nilai Budaya Melayu, oleh : Dr (HC).

Tenas Effendy.- Bangunan Melayu – Ensiklopedi Melayu.- Rumah Melayu: Memangku Adat, Menjemput Zaman oleh Mahyudin Al

Mudra.

50