bab iv · 2019. 6. 27. · kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain...

75
100 BAB IV KONSTRUKSI KONSTITUSIONAL PENGADILAN ADAT DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG Bab IV ini menjelaskan konstruksi konstitusional pengadilan adat di bawah Mahkamah Agung yang meliputi sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, pengakuan pengadilan berdasarkan hukum internasional, hubungan antara Pengadilan Adat dan pengadilan di bawah Mahkamah Agung, kedudukan secara konstitusional terhadap eksistensi pengadilan adat A. Sejarah Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia 1. Kekuasaan Kehakiman pada Masa UUD NRI Tahun 1945 Pertama (18 Agustus 1945-27 Desember 1949) Kekuasaan kehakiman pada masa UUD NRI Tahun 1945 periode pertama, yakni dari tanggal 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. Kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang didalam BAB IX

Upload: others

Post on 31-Jan-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 100

    BAB IV

    KONSTRUKSI KONSTITUSIONAL PENGADILAN ADAT

    DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG

    Bab IV ini menjelaskan konstruksi konstitusional

    pengadilan adat di bawah Mahkamah Agung yang meliputi

    sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, pengakuan

    pengadilan berdasarkan hukum internasional, hubungan antara

    Pengadilan Adat dan pengadilan di bawah Mahkamah Agung,

    kedudukan secara konstitusional terhadap eksistensi pengadilan

    adat

    A. Sejarah Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

    1. Kekuasaan Kehakiman pada Masa UUD NRI

    Tahun 1945 Pertama (18 Agustus 1945-27

    Desember 1949)

    Kekuasaan kehakiman pada masa UUD NRI

    Tahun 1945 periode pertama, yakni dari tanggal 18

    Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. Kekuasaan

    kehakiman sebagaimana tertuang didalam BAB IX

  • 101

    tentang kekuasaan kehakiman, Pasal 24 ayat (1) berbunyi

    kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

    Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-

    undang. Ayat (2) berbunyi “Susunan dan kekuasaan

    badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-

    undang”. Pasal 25 berbunyi syarat-syarat untuk menjadi

    dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dalam

    dengan undang-undang.1

    Susunan kekuasaan pada masa periode Undang-

    Undang 1945 pertama, masih banyak mewarisi susunan

    kekuasaan kolonial Belanda. Sejarah kekuasaan

    kehakiman pada masa kolonial Belanda,2 dibedakan

    seperti lingkungan peradilan umum, yang dibeda-bedakan

    kedalam lingkungan dan susunan badan peradilan

    menurut golongan penduduk seperti landraad untuk

    penduduk asli, atau menurut tata pemerintahan asli seperti

    pengadilan swapraja untuk daerah-daerah swapraja dan

    1 Lihat UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan

    Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agusutus 1945. 2 Bagir Manan, Organisasi Peradilan di Indonesia, FH Universitas

    Airlangga, Surabaya, 1998, h. 7.

  • 102

    peradilan adat.3 Untuk golongan penduduk Eropa atau

    yang dipersamakan atau yang tunduk pada ketentuan

    hukum untuk golongan Eropa diadakan badan peradilan

    tersendiri yakni Raad Van Justitie yang sekaligus sebagai

    badan peradilan banding atas putusan Landraad.

    Susunan badan peradilan yang beraneka ragam

    dipadang sebagai salah satu bentuk politik hukum

    kolonial yang diskriminatif dengan maksud merendahkan

    martabat rakyat Indonesia atau penduduk asli (pribumi) di

    daerah Hindia-Belanda. Logika hukum yang tidak dapat

    dibenarkan atau diterima yang menadji peradilan Raad

    Van Justitie, yang merupakan peradilan adat tingkat

    pertama bagi golongan Eropa dan dipersamakan, menjadi

    peradilan banding bagi Landraad, yang merupakan tingkat

    peradilan tingkat pertama dalam golongan pribumi atau

    Indonesia asli.

    Dalam rangka memabgnun kesatuan hukum

    nasional yang menjamin persamaan didepan hukum harus

    3 Ibid .

  • 103

    dibentuk satu kesatuan susunan peradilan yang berlaku

    bagi seluruh bangsa, rakyat dan siapa saja yang berada di

    wilayah Republik Indonesia. Selain penyusunan kembali

    susunan badan peradilan yang diperlukan dalam rangka

    menata birokrasi peradilan atau administrasi peradilan

    yang harus disusun sederhana, terpadu agar dapat berjalan

    secara efektif dan efisien.

    Salah satu usaha dalam menyeragamkan dan

    mengatur sistem peradilan Indonesia seperti terurai di

    atas, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.19 Tahun

    1948. Undang-Undang tersebut mengatur tentang susunan

    kekuasaan badan-badan kehakiman serta juga kekuasaan

    kejaksaan, pengaturan kekuasaan kejaksaan masih terlihat

    rancu dengan dimasukkannya ke dalam lingkup

    kekuasaan kehakiman padahal jelas didalam UUD NRI

    Tahun 1945 tidak menyebutkan nama lembaga yang

    namanya kejaksaan pada BAB IX tentang kekuasaan

    kehakiman. Memang ahli-ahli hukum yang menafsirkan

  • 104

    bahwa badan-badan hukum yang dimaksudkan dalam

    Pasal tersebut diantaranya termasuk kejaksaan.

    Usaha lain dalam menyeragamkan badan-badan

    peradilan di Indonesia dengan cara menghapus badan-

    badan peradilan yang tidak sesuai lagi dengan alam

    kemerdekaan Indonesia telah dimulai oleh Pemerintah

    Republik Indonesia Yogyakarta pada tahun 1947, dengan

    mengeluarkan Undang-Undang No 23 Tahun 1947

    tentang penghapusan Pengadilan Raja di Jawa dan

    Sumatra.4

    2. Kekuasaan Kehakiman pada Masa Konstitusi RIS

    (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

    Kekuasaan kehakiman pada masa konsistusi RIS

    didasarkan pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

    Konstitusi Republik Indoensia Serikat tersebut sesuai

    dengan namanya adalah konstitusi untuk Negara-negara

    serikat Indonesia.

    4 K. Wanjtik Saleh, Kehakiman…, Op.cit. h. 108.

  • 105

    Bagian-bagian Negara federal dalam konteks

    kekuasaan kehakiman adalah penting karena dimana letak

    dan kedudukan kekuasaan lembaga-lemabaga yang

    menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut. Di dalam

    Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 salah

    satu kewenangan kekuasaan kehakiman dalam hal ini

    Mahkamah Agung sebagaimana dimuat dalam Pasal 67

    yang menyatakan : “perselisihan-perselisihan antara

    daerah-daerah Swapraja bersangkutan peraturan-peraturan

    sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 65 dan tentang

    menjalankannya, diputuskan oleh Mahkamah Agung

    Indonesia baik pada tingkat pertama dan jentang tertinggi

    juga ataupun pada tingkat apel.5

    Dalam Pasal tersebut kekuasaan kehakiman dalam

    hal ini kekuasaan Mahkamah Agung sebagai salah satu

    pelaksana kekuasaan kehakiman disamping mahkamah

    konstitusi. Sudah dimulai diberikan tugas dan fungsi

    sbegai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman Negara

    5 Lihat Pasal 67 Konstitusi RIS dan dibandingkan dengan Pasal 31

    Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.

  • 106

    akan tetapi dalam pelaksanaannya sulit untuk ditelusuri

    apakah mahkamah agung sudah menjalankan fungsi dan

    tugas tersebut, sebagai penguji peraturan perundang-

    undangan dibawah undang-undang.

    Kekuasaan kehakiman didalam Konstitusi RIS,

    diatur dalam Bab III, di dalam Pasal 113 dinyatakan,

    “maka adalah suatu Mahkamah Agung Indonesia yang

    susunan dan kekuasaannya diatur dengan undang-undang

    federal.” Dapat dipahami bahwa lembaga tertinggi

    pemegang kekuasaan kehakiman hanya diatur dengan

    undang-undang federal yang sifatnya terkotak-kotak,

    sehingga tidak menggambarkan kesatuan payung hukum

    dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga

    tidak berlaku juga di seluruh wilayah Negara Republik

    Indonesia, padahal sudah merupakan kepastian dan

    keharusan bahwa sistem peradilan dalam suatu negara

    tidak hanya berlaku dalam wilayah tertentu saja akan

    tetapi berlaku bagi seluruh wilayah Negara.

  • 107

    Pada masa konsitusi RIS ada hal yang menarik

    dimana Mahkamah Agung menjadi pengadilan tingkat

    pertama dan terakhir. Pengadilan ini bersifat final, tidak

    dimungkinkan ada upaya hukum kembali. Peradilan

    semacam ini terdapat pada negara-negara yang

    menjalankan asas oportunitas. Konstitusi RIS juga

    memberikan tugas dan wewenang kepada Mahkamah

    Agung sebagai pengawas teringgi terhadap peradilan-

    peradilan yang berada dibawahnya, karena Mahkamah

    Agung sebagai penguasa tertinggi kekuasaan kehakiman.

    Konstitusi RIS juga mengatur tentang kekuasaan

    Pemerintah Negara yang berhubungan langsung dengan

    kekuasaan kehakiman. Pasal 160 Ayat (1) berbunyi

    Presiden mempunyai hak memberi ampun dan hukuman-

    hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman.

    Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari

    Mahkamah Agung, sekedar dengan undang-undang

    federal tidak ditunjuk pengadilan lain untuk member

    nasihat.

  • 108

    Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa

    Konstitusi RIS juga telah menganut check and balances

    sebagaimana ketentuan-ketentuan yang dikehendaki di

    dalam Negara hukum. Karena meskipun ada pembagian

    kekuasaan diantara pelaksana kekuasaan Negara secara

    tradisional yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan

    yudikatif yang pada akhirnya teori keseimbangan memang

    diperlukan.6

    Secara umum, Konstitusi RIS telah merumuskan

    kekuasaan kehakiman di dalam sistem ketatanegaraan

    Indonesia. Konstitusi sebagaimana aturan main bernegara

    dan bertujuan membatasi dominasi suatu kekuasaan

    terhadap kekuasaan lainnya, walaupun masih sengaja

    dibuat banyak celah untuk tetap melemahkan baik secara

    langsung atau tidak langusng terhadap kekuasaan

    kehakiman, seperti dalam pengangkatan Ketua dan Wakil

    Ketua Mahkamah Agung oleh Presiden. Namun demikian

    6 Munir Fuady, Teori…, Op.cit. h. 23.

  • 109

    telah diletakkan dalam sendi-sendi bernegara, sebagi

    sendi Negara hukum.7

    3. Kekuasaan Kehakiman Pada Masa UUDS 1950 (17

    Agustus 1950-5 Juli 1959)

    Undang-Undang Dasar Sementara Republik

    Indonesia Tahun 1950, adalah perubahan atas konstitusi

    sementara RIS dengan dasar perubahan Undang-Undang

    No. 7 Tahun 1950. Salah satu pertimbangan yang menjadi

    dasar disahkannya Undang-Undang Dasar 1950

    disahkannya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun

    1950 adalah rakyat di daerah-daerah bagian di seluruh

    Indonesia menhendakai bentuk susunan Negara Republik

    Indonesia.8

    Kekuasaan kehakiman di dalam Undang-Undang

    Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950, diatur

    di dalam dua Bab, yakni pada Bab II tentang Alat-Alat

    Perlengkapan Negara pada bagian III yang mengatur

    7 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Amandemen Konstitusi, Kencana , Jakarta,

    2012, h. 110. 8 Disahakan Oleh Presiden Sukarno di Jakarta 15 Agustus 1950.

  • 110

    tentang Mahkamah Agung, sedangkan pada Bab III

    tentang Tugas Alat-Alat Perlengkapan Negara pada

    bagian III yang mengatur tentang Pengadilan.

    Melihat pengaturan tentang kekuasaan kehakiman

    secara umum tersebut, maka di dalam Undang-Undang

    Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 terdapat

    pengelompokkan yang terpisah antara Mahkamah Agung

    dengan Pengadilan. Mahkamah Agung dikelompokkan di

    dalam Alat-Alat Perlengkapan Negara, sedangkan

    pengadilan dimasukkan di dalam kelompok tugas alat-alat

    perlengkapan Negara.

    Jika dibandingkan dengan UUD NRI Tahun 1945

    setelah amandamen, maka kekuasaan Mahkamah Agung

    dan badan-badan peradilan dibawahnya dimasukkan

    dalam satu kelompok, yakni pada BAB IX tentang

    kekuasaan kehakiman. Tidak terpisah-pisah sebagaimana

  • 111

    diatur didalam Undang-Undag Dasar Sementara Republik

    Indoneisa Tahun 1950.9

    Sebagai wujud pelaksanaan kekuasaan kehakiman,

    maka tugas pengadilan dibawah Mahkamah Agung, telah

    diatur didalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun

    1950 secara yakin mengatur tugas dan wewenang

    pengadilan dan bahkan sampai kepada hukum acara

    persidangan.

    Kekuasaan kehakiman, di dalam Undang-Undang

    Dasar Sementara Negara Tahun 1950 tersebut, masih

    berada di bawah kekuasaan pemerintah dengan

    perpanjangan tangannya melalui Menteri Kehakiman.

    Saluran ini melemahkan kehendak Pasal 103 dengan

    menentukan adanya pelarangan bagi kekuasaan lain untuk

    mencampuri kekuasaan kehakiman dalam hal ini

    pengadilan.

    9 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Amandemen Konstitusi, Kencana,

    Jakarta, 2012, h. 111.

  • 112

    4. Kekuasaan Kehakiman Pada Masa UUD NRI

    Tahun 1945 Ke Dua (5 Juli 1959- Sekarang)

    a. Sebelum Perubahan (5 Juli 1959 - 19 Oktober

    1999)

    Sejarah penting periode ini adalah diawali oleh

    situasi politik, pada sidang konstituante yang saling

    tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal

    menghasilkan Undang-Undang Dasar baru, maka pada

    tanggal 5 Juli 1949 Presiden Sukarno mengeluarkan

    Dekrtir Presiden yang salah satu isinya

    memberlakukan kembali UUD NRI Tahun 1945

    sebagai undang-undang dasar menggantikan Undang-

    Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang masih

    berlaku pada saat itu.

    Kekuasaan kehakiman pada masa berlakunya

    UUD NRI Tahun 1945 kedua ini didasarkan kepada

    Undang-Undang No 19 Tahun 1964 tentang

    Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,

    dicatat dalam Lembaran Negara Tahun 1964 dengan

  • 113

    ditanda tangani oleh Dr Subandrio sebagai Pejabat

    Presiden Republik Indonesia dan Mohd. Ichsan

    sebagai Sekretaris Negara.

    Ketika Orde Lama kekuasaan berpusat pada

    Presiden maka situasi politik dan keamanan dalam

    Negara masih labil. Pengalaman bernegara yang baru

    dimulai, sehingga walaupun departemen diletakkan

    sejajar dengan Mahkamah Agung akan tetapi,

    hambatan tidak ada ahli hukum yang

    mempersoalkannya, karena sistem pemerintah yang

    represif dan tetang kemerdekaan kekuasaan

    kehakiman sendiri diatur di dalam penjelasan UUD

    NRI Tahun 1945.

    Pelaksanaan kekuasaan kehakiman pada masa

    periode demokrasi terpimpin dikeluarkannya Dekrit

    Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan antara lain

    kembali ke UUD NRI Tahun 1945. Pada masa

    Demokrasi terpimpin (1959-1965) kepentingan-

    kepentingan politik rezim sangat mempengaruhi dan

  • 114

    mewarnai pengaturan mengenai kedudukan dan fungsi

    kekuasaan kehakiman. Pada periode ini pemerintah

    tampil dengan peran hegemonic sehingga kekuasaan

    kehakiman sangat rentan terhadap intervensi

    kekuasaan pemerintah. Kuatnya pengaruh sistem

    politik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman

    tampak jelas pada peraturan perundang-undangan

    yang dikeluarkan pada masa ini.

    Komitmen untuk menegakkan Pancasila dan

    UUD NRI Tahun 1945 diperkukuh dan demokratisasi

    ditawarkan sebagai babak baru dalam kehidupan

    bernegara. Sejauh ini menyangkut independensi

    kekuasaan kehakiman, gugatan-gugatan atas eksistensi

    Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-

    Undang No. 13 Tahun 1965 diteriakkan dengan

    gencar. Maka Undang-Undang No. 19 Tahun 1964

    diperbaiki dengan keseluruhannya Undang-Undang

    No. 14 Tahunn 1970 tentang Ketentuan Ketentuan

    Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pencabutan kedua

  • 115

    Undang-Undang ini dilakukan untuk merespon

    tuntutan berbagai golongan dalam masyarakat

    mengenai tegaknya Negara hukum dalam rangka

    pemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD NRI

    Tahun 1945.

    Selanjutnya guna mengemban amanat UUD

    NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 14 Tahun

    1970, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah

    mengeluarkan ketetapan No. III/MPR/1978 di dalam

    Pasal 11 Ayat (1) menyebutkan Mahkota Agung

    adalah badan yang melaksanakan kekuasaan

    kehakiman yang dalam melaksanakan tugasnya

    terlepas dari pengaruh kekuasaan kehakiman.

    Akan tetapi jika dilihat dan dipahami Undang-

    Undang No. 14 Tahun 1970 pada dasarnya tetap

    mengukuhkan kenyataan dualisme kekuasaan

    kehakiman rezim politik demokrasi terpimpin karena

    pada satu sisi tetap memberikan kepada Pemerintah

    (Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan

  • 116

    Departemen Hankam) untuk mengurus masalah-

    masalah administrasi, keorganisasian dan keuangan,

    dipihak lain memberikan kepada Mahkamah Agung

    kewenangan mengurus masalah-masalah tehnis

    yuridis. Dualisme semacam ini membawa konsekuensi

    bahwa hakim sebagai pegawai departemen kehakiman

    merupakan aparatur pemerintah yang mempunyai

    kewajiban dan tanggung jawab untuk mensukseskan

    program pemerintah. Sehingga hakim menjadi pejabat

    eksekutif.

    b. Setelah Perubahan (19 Oktober 1999-

    Sekarang)

    Pada perubahan pertama UUD NRI Tahun

    1945 disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 tidak

    ada perubahan tetang pengaturan kekuasaan

    kehakiman. Terjadi perubahan susunan, fungsi, dan

    wewenang kekuasaan kehakiman pada amandemen

    ketiga yang disahkan oleh Majelis Permusyawaratan

    Rakyat pada tanggal 9 November 2001.

  • 117

    Seperti diketahui, UUD NRI Tahun 1945 telah

    mengalami empat kali perubahan, yaitu perubahan

    pertama pada tahun 1999, perubahan kedua tahun

    2000, perubahan ketiga tahun 2001, dan perubahan

    keempat tahun 2002. Dalam empat kali perubahan-

    perubahan itu, materi UUD NRI Tahun 1945 yang asli

    telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan

    perubahan materi yang dapat dikatakan sangat

    mendasar. Secara substantif, perubahannya yang telah

    terjadi atas UUD NRI Tahun 1945 telah menjadikan

    konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru

    sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD

    NRI Tahun 1945.

    Kekuasaan kehakiman berubah secara

    mendasar baik susunan lembaga, kedudukan dan

    kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Bab IX

    UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen.

    Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang

    merdeka bebas dari segala campur tangan dengan

  • 118

    kekuasaan lainnya. Serta di dalam bab ini juga muncul

    lembaga kekuasaan kehakiman yang baru, yaitu

    Mahkamah Konsitusi dan Komisi Yudisial.

    B. Pengakuan Internasional Pengadilan Adat di

    Indoensia

    Dalam perspektif internasional, dimensi ini juga

    sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Declaration on The Rights

    of Indigenous People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa

    tentang Hak-Hak Masyarakat Sipil), yang disahkan pada

    tanggal 7 September 2007 menentukan bahwa:

    “Masyarakat adat berhak untuk

    mempertahankan dan memperkukuh lembaga-

    lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan

    budaya mereka, sementara tetap

    mempertahankan hak mereka untuk

    mengambil bagian sepenuhnya kalau mereka

    juga memilih, dalam kehidupan politik,

    ekonomi, sosial dan budaya dari Negara”.

    Berikutnya, dalam Pasal 34 ditentukan pula,

    “masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan

    dan memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian

    dan tradisi, prosedur, praktek mereka yang berbeda, dan

  • 119

    dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka atau adat,

    sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia

    internasional”. Akan tetapi, walaupun demikian konsep ideal

    pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri ini bukan

    berarti tidak mempunyai kelemahan, kendala dan

    menimbulkan pertanyaan serta implikasi yang berkorelasi

    dengan dasar hukum dan kewenangan pelaksanaan Peradilan

    Adat, prinsip atau asas Peradilan Adat, fungsionaris Peradilan

    Adat, proses atau mekanisme Peradilan Adat dan akhirnya

    administrasi untuk Peradilan Adat.

    Dikaji dari perspektif normatif, empiris dan teoretis

    maka eksistensi institusi peradilan adat menimbulkan

    pertanyaan dan beberapa keraguan. Lebih lanjut dimensi

    demikian dielaborasi sebagaimana tercermin dalam

    pandangan Siclair Dinnen berikut ini, yaitu:10

    1. Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan

    adat dipegang oleh mereka yang sudah tua, dimana

    10

    Sinclair Dinnen, Interfaces Between Formal and Informal Justice

    System To Strengthen Access to Justice By Disadvantaged System, Makalah

    disampaikan dalam Practice In Action Workshop UNDP Asia-Pasific Rights

    and Justice Initiative, Ahungala Sri Langka, 19-21 November 2003, h. 2-4.

  • 120

    kerangka berfikir dari mereka kerap kali tidak melihat

    kepada perkembangan kondisi yang ada pada

    masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini

    mempengaruhi putusan yang dibuat seperti

    mendiskriminasi perempuan dan anak-anak

    (khususnya dalam masyarakat patrilineal)

    2. Dugaan bahwa dalam peradilan adat pun budaya

    nepotisme dan korupsi rentan terjadi

    3. Kekuatan memaksa dari putusan peradilan adat kerap

    kali diragukan

    4. Prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat

    yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga

    dampak dari putusan yang dihasilkan pun sangat

    berbeda (dalam hal ini penulis tidak melihat apakah

    dampak yang dimaksud merupakan dampak positif

    ataupun negatif).

    5. Bahwa institusi peradilan adat hanya akan efektif dan

    mengikat dalam masyarakat tradisional yang

  • 121

    homogeen akan tetapi akan sangat berbeda jika

    diterapkan dalam lingkup urban-area.

    Terlepas, dari adanya kelemahan, kendala, pertanyaan

    dan kelebihan dimensi konteks di atas maka pemilihan atau

    pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri hakekatnya

    merupakan suatu pilihan terhadap bagaimana dinamika politik

    hukum kedepan terhadap eksistensi mengenai cara

    memandang Peradilan Adat di satu sisi dengan hukum formal

    di sisi lainnya

    C. Hubungan Antara Pengadilan Adat dan Pengadilan di

    Bawah Mahkamah Agung

    1. Kedudukan Secara Konstitusional Terhadap

    Eksistensi Pengadilan Adat

    Kedudukan secara konstitusional terhadap

    eksistensi Pengadilan Adat, idealnya kemudian

    ditindaklanjuti dengan political will yang kuat, untuk

    merumuskan posisi Pengadilan Adat dalam sistem

    peradilan nasional. Kekurangjelasan posisi Pengadilan

  • 122

    Adat dalam sistem peradilan nasional, mengindikasikan

    bahwa Pengadilan adat belum menjadi prioritas. Di luar

    hak-hak tradisonal yang dijamin dalam konstitusi,

    pengadilan adat pada dasarnya merupakan opsi bagi

    peradilan formal, ketika peradilan formal tidak mampu

    memberikan akses keadilan subtansial. Kaitan yang erat

    antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu

    ternyata bahasa hukum yang baik tidak lain adalah hukum

    yang mencerminkan nilai-nilai yang ada di dalam

    masyarakat.11

    Dengan demikian, UUD NRI Tahun 1945 (hasil

    amandemen) telah memberikan (membuka) ruang, untuk

    diperankan kembali peradilan adat yang pernah ada.

    Dengan keberadaan peradilan adat, masyarakat tidak

    asing lagi, karena keberadaannya tidak terlepas dari

    proses perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri.

    John Ball dalam buku Rikardo Simarmata

    menjelaskan, sebelum masuk ke dalam usulan opsi-opsi

    11

    Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti,

    Bandung, 1990, h.58.

  • 123

    mengenai kedudukan peradilan adat dalam sistem

    peradilan nasonal, ada baiknya menoleh masa lalu

    peradilan adat di Nusantara. Lewat kebijakan membiarkan

    golongan penduduk Hindia-Belanda diatur dengan hukum

    yang berbeda, hukum adat dan peradilan-peradilan adat

    diakui. Hukum adat diakui dan dipakai dalam penanganan

    kasus di pengadilan negara seperti Landraad.12

    Hakim

    pada peradilan Landraad merupakan hakim negara namun

    menggunakan hukum adat dengan bantuan fungsionaris

    adat yang diundang resmi dalam persidangan. Formula

    dalam penempatan posisi peradilan adat dalam rangka

    menindaklanjuti dasar konstitusional tersebut, hendaknya

    mengadopsi yang pernah diberlakukan zaman belanda.

    Pengakuan secara konstitusional peradilan adat,

    sebagai peradilan yang sejajar kedudukannya dalam

    system peradilan nasional, secara mendasar adalah

    pengakuan terhadap harkat dan martabat bangsa

    12

    Rikardo simarmata, Merumuskan Peradilan Adat Dalam sistem

    Peradilan Nasional Disampaikan pada seminar „Merumuskan Kedudukan

    Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan NasionaDiselenggarakan bersama oleh

    Perkumpulan HUMA dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1

    Oktober 2013, h. 7.

  • 124

    Indonesia, karena peradilan adat merupakan produk

    budaya masyarakat yang bersangkutan. Hal ini, sejalan

    dengan yang diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 (hasil

    amandemen) Pasal 28I ayat 3 “ Identitas budaya dan hak

    masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

    perkembangan zaman dan peradaban”, landasan

    konstitusional tersebut, merupakan wujud pengakuan

    terhadap hak-hak tradisonal, yang mempertegas

    kedudukan peradilan adat, yang sejajar dengan peradilan-

    peradilan lain dalam sistem peradilan nasional.

    Hadirnya Pasal 24 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945,

    “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan

    kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”,

    Pasal tersebut lebih mempertegas, untuk diakuinya

    peradilan adat secara formal dalam undang-undang.

    Menurut I Ketut Sundantra, dalam makalahnya secara

    teoritis, dengan dicantumkannya Pasal 18B ayat (2) dan

    Pasal 28I ayat (3) dalam UUD NRI Tahun 1945 maka

    pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak

  • 125

    tradisional kesatuan masyarakat hukum adat semestinya

    diderivasi dalam peraturan perundang-undangan di bawah

    Undang-undang Dasar, yaitu pada level undang-undang.

    Sesuai dengan teori hirarki norma, Undang-Undang tidak

    boleh mengatur hal yang bertentangan dengan jiwa atau

    prinsip yang dianut dalam Undang-undang Dasar. Dengan

    diakuinya hak-hak tradisional kesatuan masyarakat

    hukum adat (termasuk kekuasaan mengadili) dalam UUD

    NRI Tahun 1945, semestinya eksistensi peradilan adat

    juga mendapat pengakuan dalam undang-undang.

    ”Pengakuan” yang dimaksudkan di sini adalah

    pengesahan formal terhadap suatu entitas (dalam hal ini

    peradilan adat) yang mempunyai status khusus.13

    Politik hukum kekuasaan kehakiman,

    meniscayakan untuk diperkuat agar kedudukan peradilan

    adat, memiliki kesejajaran dengan peradilan lain dalam

    sistem peradilan nasional. Keberadaan peradilan adat,

    13

    I Ketut Sundantra, Dinamika Pengakuan Peradilan Adat Dalam

    Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, (Makalah Tugas S3 Program Doktor

    Fakultas Hukum Unair), 2013, h.1-2.

  • 126

    lebih memberikan ekspektasi masyarakat untuk

    mendapatkan keadilan subtantif, karena peradilan adat,

    keberadaanya berproses dari dinamika masyarakat itu

    sendiri.

    2. Pengadilan Adat Sebagai Pengadilan di Bawah

    Mahkamah Agung

    Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter

    masing-masing yang unik. Karakter ini terbentuk

    berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya

    masyarakatnya. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter

    dan kualitas tersendiri yang secara intristik tidak bersifat

    superior satu sama lain.

    Hal yang sama terjadi di pembentukan sistem

    hukum yang memiliki kaitan erat dengan budaya

    masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Von Savigny

    sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat.

    Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act

    of a legislator), tetapi dapat dibuat dan ditemukan di

    dalam jiwa masyarakat. Hukum secara hipotesis dapat

  • 127

    dikatan berasala dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat

    dari suatu aktifitas hukum (juristic activity)14

    .

    Akar ketatanegaran suatu negara dengan demikian

    dapat dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. Karakteristik

    dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar

    kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal ini

    dapat terlihat dari komponen dasar yang termasuk dalam

    konstitusi yaitu tentang tujuan dan cita-cita bersama. Oleh

    karenanya konstitusi selalu dibuat dan berlaku disetiap

    negara tertentu.15

    Konstitusi negara berisikan tujuan dan cita-cita

    bersama yang mengakui dan menjamin Hak Asasi

    Manusia baik bersifat individu maupun bersifat kolektif.

    Jeremmy Bentham mengatakan kepastian yang

    ditimbulkan oleh hukum bagi individu dan masyarakat

    adalah tujuan utama dari hukum. Lebih lanjut Bentham

    merumuskan bahwa tujuan utama dari hukum adalah

    14

    Moh. Kosnoe dalam Siti Sundari, Hukum Adat Dalam Alam

    Kemerdekaan Nasional Dan Segalanya Dalam Persiapan Era Globalisasi,

    Ubhara Press, Surabaya, 1996, h. 5. 15

    Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara

    Pasca Amandemen, Mimbar Hukum Jurnal UGM, 2010, h. 452.

  • 128

    menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada

    setiap orang.16

    Terkait dengan hal ini tugas hukum adalah

    menengahi, mengatasi, menyelesaikan setiap sengketa

    atau permasalahan-permasalahan hukum yang ada di

    masyarakat.

    Dalam pengertian normatif kepastian hukum

    memerlukan suatu perangkat peraturan perundang-

    undangan dan lembaga yang menangani masalah-masalah

    hukum. Sehubungan dengan mendorong ketersediannya

    perangkat hukum yang memadai, prinsip-prinsip dasar

    terbntuknya perlindungan hukum terhadap masyarakat

    sangatlah penting mengingat hukum harus memberikan

    perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.

    Tetapi di samping kepastian hukum, untuk dapat

    tercapainya keadilan tetap juga diperlukan adanya

    kesebandingan atau kesetaraan hukum, yang pada

    dasarnya juga telah terkandung dalam peraturan hukum

    16

    Jeremmy Bentham, Introduction to the principle of morals and

    legislation,1983 dalam Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam

    Konstitusi Negara Pasca Amandemen, Mimbar Hukum Jurnal UGM, 2010, h.

    453.

  • 129

    yang bersangkutan dan dalam hal ini juga harus mampu

    diwujudkan oleh Peradilan Umum. Anasir kepastian

    hukum yang bersangkutan secara sama bagi semua orang,

    tanpa terkecuali, sedangkan anasir kesebandingan atau

    kesetaraan hukum pada hakikatnya merupakan anasir

    yang mewarnai keadaan berlakunya hukum itu bagi tiap-

    tiap pihak yang bersangkutan, sebanding atau setara

    dengan kasus/keadaan perkara mereka masing-masing.17

    Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan ialah

    tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu

    banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah

    memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan

    memberi apa yang menjadi haknya.

    Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno

    yang menggemukakan pendapatnya mengenai pengertian

    keadilan ialah keadaan antar manusia yang diperlakukan

    dengan sama, yang sesuai dengan hak serta kewajibannya

    masing-masing.

    17

    A. Ridwan Halim, Pokok-pokok Peradilan Umum di Indonesia

    dalam Tanya Jawab, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, h. 41-42.

  • 130

    Terkait dengan konteks kepastian hukum dan

    keadilan yang bersumber dari Konstitusi dapat menjamin

    kedudukan pengadilan adat di lingkungan masyarakat

    hukum adat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan

    adat. Mengkaji Pengadilan Adat sebagai pengadilan di

    bawah Mahkmah Agung maka penulis mencoba melihat

    peluang dari sudut dimana adanya pengakuan negara

    terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat di dalam

    konstitusi sehingga perlu didorong untuk lembaga

    pengadilan adat yang berada di lingkungan adat memiliki

    keputusan bersifat final sehingga tidak ada proses hukum

    berulang.

    Pada hakekatnya, pembentukan Peradilan Adat

    bersifat mandiri ini bersifat ingin lebih mendudukan

    posisi hukum adat, institusi adat dan fungsionaris hukum

    adat secara sosiologis, filosofis, teoretis dan normatif

    sejajar (selevel) dengan sistem hukum nasional. Tepatnya,

    kearifan lokal hukum adat sejajar dengan hukum formal in

    caqu masuk dalam lembaga kekuasaan kehakiman.

  • 131

    Prakteknya, kearifan lokal hukum adat dalam perkara

    pidana banyak dilakukan di luar sistem peradilan pidana

    yang diselesaikan lembaga pengadilan adat.

    Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 secara

    eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

    masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

    Terkait dengan itu, penelitian ini hendak mengkaji tentang

    eksistensi pengadilan adat di Indonesia secara

    konsitusional. Persoalan yang muncul terkait dengan

    eksistensi ini adalah pengakuan negara terhadap

    pengadilan adat dan hubungannya dengan pengadilan

    negara, dalam hal ini pengadilan di bawah Mahkamah

    Agung.

    Pengakuan negara terhadap pengadilan adat

    berdasarkan konstitusi ini penting sehubungan dengan

    keberlangsungan masyarakat adat dan hukum adat sebagai

    penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak

    masyarakat adat. Pengakuan pengadilan adat berdasarkan

    konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 B UUUD NRI Tahun

  • 132

    1945, hendak memberikan penekanan bahwa pengakuan

    terhadap hak-hak masyarakat adat tidak cukup apabila

    tanpa disertai pengakuan atas keberadaan pengadilan adat.

    Terkait dengan penjelasan diatas maka diperlukan

    Pengadilan adat yang didorong sejajar dengan Pengadilan

    Tingkat I yakni Peradilan Umum langsung dibawah

    Mahkamah Agung sehingga keputusan-keputusan perkara

    adat bersifat final sehingga tidak ada proses hukum

    berulang. Seperti kita ketahui bersama bahwa Pengadilan

    Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah

    Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi

    rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum

    meliputi:

    1. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota

    provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah

    provinsi.

    2. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota

    kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi

    wilayah kabupaten/kota. Pengadilan khusus

  • 133

    lainnya spesialisasi, misalnya: Pengadilan

    Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Tindak

    Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Ekonomi,

    Pengadilan Pajak, Pengadilan Lalu Lintas Jalan

    dan Pengadilan anak.

    Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan

    tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa

    kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah

    hukumnya. Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk

    berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum

    meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas

    Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua

    PT), Hakim Tinggi, Panitera, Sekretaris dan Staf.

    Terkait dengan penjelasan di atas Penulis

    berdasarkan Pasal 18 B UUD NRI Tahun 1945

    mengkontruksikan konstitusi bahwa adanya Pengadilan

    Adat adalah hak masyarakat hukum adat untuk memiliki

    lembaga atau institusi adat yang paham terkait aturan-

    aturan hukum adat dalam menyelesaikan permasalahan-

  • 134

    permasalahan adat di lingkungan masyarakat hukum adat,

    maka Pengadilan Adat harus berada sejajar dengan

    Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung layaknya

    Pengadilan Tinggi yang merupakan Pengadilan Tingkat I

    di lingkungan Peradilan Umum sehingga keputusan-

    keputusan dari Pengadilan Adat bersifat final sehingga

    tidak ada proses hukum berulang sehubungan dengan

    permasalahan-permasalahan adat.

    Dengan demikian maka terlihat bahwa ada

    jaminan dan perlindungan yang dilakukan oleh Negara

    terkait Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak atas

    keberadaan Pengadilan Adat yang dapat menyelesaikan

    persoalan-persoalan adat dibawah Mahkamah Agung.

  • 135

    D. Konstruksi Konstitusional Pengadilan Adat

    1. Mendudukkan Pengadilan Adat ke Dalam

    Kekuasaan Kehakiman Indonesia

    1.1 Kekuasaan Kehakiman Indonesia.

    Kekuasaan kehakiman (judicial power)

    adalah salah satu cabang dari kekuasaan

    pemerintah dalam arti luas sebagai representasi

    Negara. Secara konstitusional eksistensi

    kekuasaan kehakiman tersebut harus di tetapkan

    dalam konstitusi. Hal yang sama berlaku dalam

    konsteks kekuasaan kehakiman di Indonesia.

    Secara konstitusional kekuasaan kehakiman

    Indonesia di jamin dalam Pasal 24 UUD NRI

    Tahun 1945. Untuk itu, dalam membahas isu

    mengenai mendudukkan Pengadilan Adat dalam

    kekuasaan kehakiman Indonesia, maka yang harus

    dibahas terlebih dahulu adalah kedudukan

    konstititusional kekuasaan kehakiman Indonesia.

  • 136

    Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945,

    yakni ketentuan Pasal 24 Ayat (1) berbunyi:

    Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan

    yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

    guna menegakkan hukum dan keadilan.

    Terkait dengan asas atau prinsip kekuasaan

    kehakiman yang merdeka dalam menjalankan

    fungsinya penyelengaaran peradilan dimana

    terdapat asas atau prinsip kekuasaan kehakiman

    yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas

    dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik

    langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan

    lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-

    pihak lain di luar peradilan. Sehingga Hakim

    dalam memutus perkara hanya demi kadilan

    berdasarkan hukum dan hati nurani.

    Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo

    Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa

    adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat.

    Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang

  • 137

    tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen

    pengadilan adalah menyangkut faktor adanya

    pengadilan yang merdeka.18

    Sehubungan dengan Pasal 1 Undang-

    Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang

    Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan

    mengenai ruang lingkup „merdeka‟, yaitu bahwa

    kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara

    yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

    guna menegakkan hukum dan keadilan

    berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya

    negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan

    dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat

    tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk

    menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

    Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan

    rasa keadilan rakyat Indonesia.

    18

    Artidjo Alcostar, Membangun Peradilan Berarti Membangun

    Peradaban Bangsa. Majalah Varia Peradilan XX No. 38. Jakarta h 44

  • 138

    Ketentuan Pasal ini mau menjelaskan

    tentang The principle of judicial independence

    yang adalah prinsip terkait dengan kekuasaan

    kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka,

    berarti bebas dan lepas dari campur tangan

    pemerintah atau badan negara yang lain atau dari

    pihak manapun yang akan mempengaruhi

    penyelenggaraan tugas serta kewenangannya. Jika

    frase kata independen atau kemandirian dilekatkan

    dengan kekuasaan Kehakiman, maka yang

    dimaksudkan adalah suatu kondisi yang

    menunjukan suatu kehendak yang bebas terhadap

    lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka,

    dimana makna merdeka adalah berdiri sendiri;

    bebas dari penghambatan; penjajahan dan

    sebagainya, tidak terkena tuntutan; leluasa; tidak

    terikat; tidak tergantung pada pihak tertentu atau

    freedom of independency judiciary yang tidak

    terbatas dalam organ struktural dan fungsional

  • 139

    didalam kekuasaan kehakiman yang merdeka atau

    independen yang bersifat universal.

    Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD

    NRI Tahun 1945 yang berbunyi :

    Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

    Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

    berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

    umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

    peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

    negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

    Klausula Pasal 24 Ayat (2) ini

    menggunakan asas atau prinsip kekuasaan

    kehakiman satu atap (one roof system). Munculnya

    ide one roof system menurut Montesquieu untuk

    mencegah munculnya kekuasaan atau

    pemerintahan yang sewenang-wenang.

    Montesquieu berpendapat setiap percampuran di

    satu tangan antara legislatif, eksekutif, dan

    yudisial dipastikan akan menimbulkan kekuasaan

  • 140

    atau pemerintahan yang sewenang-wenang19

    .

    Untuk mencegah kesewenang-wenangan, badan

    (alat kelengkapan) organisasi negara harus

    dipisahkan satu sama lain. Yang satu independen

    terhadap yang lain. Implikasi yuridis pembentukan

    “Kekuasaan kehakiman satu atap” adalah adanya

    borders (tapalbatas) terhadap wewenang cabang

    kekuasaan, oleh karena itu, hanya organ-organ

    kekuasaan kehakiman sajalah yang berhak

    melakukan tindakan-tindakan untuk menegakkan

    hukum dan keadilan. Terkait dengan penjelasan

    diatas maka Pasal 24 Ayat (2) mau mengatakan

    walaupun dalam satu atap kekuasaan kehakiman

    namun dalam melaksanakan fungsi dan tugas dan

    wewenang dan tujuan memiliki kewenangan yang

    berbeda antara Mahkamah Agung dan Mahkamah

    konstitusi.

    19

    Bagir Manan, 2007, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu

    Pencarian), Mahkamah Agung RI, Jakarta. h, 120-121

  • 141

    Pasal 24 Ayat (2) mau menjelaskan

    penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman terkait

    dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

    tentang Mahkamah Agung yang telah diubah

    pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 5

    Tahun 2004 dan kedua kali dengan Undang-

    Undang Nomor 3 Tahun 2009. Adapun Peran

    Mahkamah Agung dapat kita temukan dalam Pasal

    2 Undang – Undang No. 14 Tahun 1985 yang

    berbunyi:

    “Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara

    Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang

    dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari

    pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh

    lain.”

    Di dalam penjelasan umum Undang-Undang

    Tahun 2009 dikatakan bahwa MA adalah

    pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan

    peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena

    itu, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap

    badan peradilan dalam lingkungan peradilan

  • 142

    umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

    peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata

    usaha negara.

    Sedangkan Mahkamah Konstitusi yang

    pengaturannya dapat kita temui dalam Undang-

    Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

    Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

    dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

    Peran Mahkamah Konstitusi dapat kita temukan

    dalam Pasal 1 UU 8/2011 yang berbunyi:

    “Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku

    kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud

    dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945.”

    Berdirinya Mahkamah Konstitusi

    merupakan bagian dari lembaga kekuasaan

    kehakiman, Mahkamah Konstitusi sebagai tribunal

    secara terpisah dari Mahkamah Agung yang

    mengemban tugas khusus merupakan konsepsi

    yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara

  • 143

    kebangsaan modern (modern state) yang pada

    dasarnya menguji keserasian norma hukum yang

    lebih rendah dengan norma hukum yang lebih

    tinggi. Mahkamah Konstitusi dibentuk atas dasar

    asumsi adanya supremasi konstitusi, dimana

    Mahkamah Konstitusi memiliki tugas utama

    sebagai pengawal konstitusi, yaitu menjaga agar

    tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan

    konstitusi dalam penyelenggaraan negara. Asumsi

    berpandangan bahwa “konstitusi adalah hukum

    tertinggi yang mendasari atau melandasi kegiatan

    negara serta sebagai parameter untuk mencegah

    negara bertindak secara tidak konstitusional” 20

    .

    Perbedaan Mahkamah Agung dengan

    Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dalam tabel

    berikut ini.

    20

    A. Fickar Hadjar Ed. Al, Pokok-Pokok Pikiran Dan Rancangan

    Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN Dan Kemitraan, Jakarta,

    2003. h, 5

  • 144

    Perbedaan Mahkamah Agung Mahkamah

    Konstitusi

    Kewenangan

    Menurut UUD

    NRI Tahun 1945

    1.mengadili pada

    tingkat kasasi

    2.menguji

    peraturan

    perundang-

    undangan di

    bawah undang-

    undang

    terhadap

    undang-

    undang

    3.mempunyai

    kewenangan

    lain yang

    diberikan

    undang-

    undang

    (Pasal 24A ayat

    [1] UUD NRI

    Tahun 1945)

    1. mengadili pada

    tingkat pertama

    dan terakhir

    yang

    putusannya

    bersifat final

    untuk menguji

    undang-undang

    terhadap

    Undang-

    Undang Dasar

    2. memutus

    sengketa

    kewenangan

    lembaga negara

    yang

    kewenangannya

    diberikan oleh

    UUD

    3. memutus

    pembubaran

    partai politik

    4. memutus

    perselisihan

    tentang hasil

    pemilihan

    umum

    (Pasal 24C ayat [1]

    UUD NRI Tahun

    1945)

  • 145

    Sementara Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun

    1945 berbunyi :

    Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan

    dengan kekuasaan kehakiman

    Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

    tentang Kekuasaan Kehakiman mesikipun didalam

    bab kekuasaan kehakiman mengatru badan-badan

    lain tetapi itu bukan kekuasaan kehakiman.

    Berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun

    1945 dan Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU No. 48

    Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

    berbunyi :

    (1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan

    di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat

    badan- badan lain yang fungsinya berkaitan

    dengan kekuasan kehakiman.

    (2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan

    kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    meliputi:

    a. penyelidikan dan penyidikan;

    b. penuntutan;

    c. pelaksanaan putusan;

    d. pemberian jasa hukum; dan

    e. penyelesaian sengketa di luar pengadilan

  • 146

    Pasal ini ingin menyatakan yang dimaksud

    dengan badan-badan lain antara lain kepolisian,

    kejaksaan, advokat, dan lembaga serta lembaga-

    lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan

    secara langsung maupun tidak langsung bahwa

    Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan

    Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun

    2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menutup

    kemungkinan peluang pengadilan-pengadilan lain

    dibentuk. Namun dalam Pasal 38 Ayat (1)

    Undang-Undang 48 Tahun 2009 didalam bab

    kekuasaan kehakiman mengatur badan-badan lain

    tetapi itu bukan kekuasaan kehakiman.

    Berbeda dengan keadaan di Amerika

    Serikat dimana The Contitution of The United

    State Article III Section 1 :

    The judicial Power of the United States, shall be

    vested in one supreme Court, and in such inferior

  • 147

    Courts as the Congress may from time to time

    ordain and establish.

    Konstitusi Amerika Serikat ini mau

    menerangkan bahwa Kongres dapat membentuk

    Pengadilan dibawah Mahkamah Agung dari waktu

    ke waktu dimana Kongres dapat membentuk

    dengan menggunakan Undang-Undang.

    Ketentuan tersebut menyangkut makna

    dasar konstitusional batas-batas pengadilan

    dibawah Mahkamah Agung oleh Kongres

    Amerikan Serikat itu artinya pembentukan badan

    peradilan atau pengadilan harus dilakukan oleh

    Undang-Undang. Ini mau menyatakan bahwa

    Amerika Serikat dengan demikian lebih terbuka

    terhadap fenomena-fenomena hukum terkait yang

    menuntut Pengadilan-Pengadilan baru sesuai

    kebutuhan dari waktu ke waktu.

    Terkait dengan Pembentukan Badan

    Pengadilan baru seperti pengadilan khusus maka

  • 148

    Pasal 8 Undang- Undang No. 49 tahun 2009

    Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang

    Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 2

    Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang

    berbunyi : di lingkungan peradilan umum dapat

    dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan

    menggunakan Undang-Undang.

    Pasal 8 yang dimaksud dengan "diadakan

    pengkhususan" ialah adanya diferensiasi atau

    spesialisasi di lingkungan peradilan umum,

    misalnya pengadilan lalu lintas jalan, pengadilan

    anak, pengadilan ekonomi, sedangkan yang

    dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-

    undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum

    acaranya.

    UUD NRI Tahun 1945 mensyaratkan

    bahwa pembentukan semua badan peradilan, in

    casu pengadilan khusus, harus diatur dengan

  • 149

    undang-undang (bij de wet geregeld). Pasal 24A

    Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi,

    “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum

    acara Mahkamah Agung serta badan peradilan

    dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Hal

    dimaksud bermakna bahwasanya hal susunan,

    kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara badan-

    badan peradilan dalam lingkungan peradilan

    umum, in casu pengadilan khusus, harus diatur

    pula dengan undang-undang (bij de wet geregeld).

    Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48

    Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

    berbunyi, ”Semua peradilan di seluruh wilayah

    negara Republik Indonesia adalah peradilan

    negara dan ditetapkan dengan undang-undang”.

    Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

    tentang Peradilan Umum, yang berisikan “Di

    lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan

  • 150

    pengkhususan yang diatur dengan Undang-

    undang”.

    Berdasarkan pertimbangan di atas, maka

    hal pembentukan Pengadilan Adat dibawah

    Mahkamah Agung selaku pengadilan khusus

    dalam lingkungan Peradilan Umum, harus diatur

    berdasarkan Undang-Undang. Asas legalitas atau

    kepastian hukum ini tersirat dan tersurat didalam

    Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 dalam

    menjelaskan perihal kekuasaan kehakiman

    didalam konstitusi negara Republik Indonesia,

    asas yang sebenarnya terkait erat dengan ajaran

    legisme yang memandang peraturan tertulis

    (undang-undang) sebagai satu-satunya sumber

    hukum. Adapun tujuan yang dikehendaki asas ini

    adalah tercapainya kepastian hukum yang dapat

    dimengerti oleh setiap orang dan menjamin

    kepentingan setiap orang untuk mendapatkan

  • 151

    jaminan dalam memperoleh keadilan yang diatur

    dalam undang-undang.

    1.2 Pengadilan Adat Dalam Kekuasaan

    Kehakiman Indonesia.

    Secara hukum berdasarkan konstitusi dan

    Undang-Undang dapat dibentuk suatu Pengadilan

    Adat didalam sistem kekuasaan Indonesia untuk

    menyelesaikan pemasalahan-permasalahan hukum

    adat yang berada dilingkungan masyarakat adat.

    Pembentukan suatu pengadilan khusus bukan

    sesuatu yang dilarang oleh Undang-undang. Akan

    tetapi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

    menentukan, pengadilan khusus hanya dapat

    dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan.

    Kebutuhan hukum di lingkungan

    pengadilan Negara seperti pengadilan-pengadilan

    khusus contohnya pengadilan tindak pindana

    korupsi, pengadilan niaga, pengadilan HAM yang

    dibentuk sesuai kebutuhan kekhususannya dan

  • 152

    badan lain yang memang sudah ada jauh sebelum

    Negara ini berdiri yakni Pengadilan Adat.

    Penjelasan terkait Pasal 24 di atas juga memiliki

    hubungan dengan Pasal 27 Undang-Undang No.

    48 Tahun 2009 bahwa : Pengadilan khusus hanya

    dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

    peradilan yang berada di bawah Mahkamah

    Agung.

    Maka secara langsung atau tidak langsung

    dapat menjelaskan bahwa peluang pengadilan

    khusus dapat dibentuk didalam lingkungan

    peradilan umum dibawah Mahkamah Agung. Hal

    ini juga menjelaskan bahwa ada pengakuan atau

    jaminan dari Negara terkait berdirinya pengadilan-

    pengadilan khusus seperti pengadilan niaga,

    pengadilan hubungan industrial, pengadilan tindak

    pidana korupsi, dan Pengadilan Adat sesuai

    kebutuhan hukum.

  • 153

    Pembentukan suatu pengadilan khusus

    bukan sesuatu yang dilarang oleh Undang-undang.

    Akan tetapi Undang-Undang Kekuasaan

    Kehakiman menentukan, pengadilan khusus hanya

    dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

    peradilan. Dalam sistem peradilan di Indonesia

    ditentukan adanya empat lingkungan peradilan,

    yaitu Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan

    Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer

    dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

    Empat lingkungan peradilan ini bersifat limitatif,

    artinya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

    tidak membuka kemungkinan adanya penambahan

    lingkungan peradilan lain.

    Dengan demikian, Pengadilan Pajak harus

    dikhususkan atau dikategorikan sebagai

    Pengadilan Khusus di bawah salah satu dari empat

    lingkungan Peradilan Peradilan yang ada.

    Misalnya terkait dengan permasalahan hukum

  • 154

    perpajakan berdasarkan karakteristik dan sifat dari

    sengketa perpajakan, memiliki sesamaan dengan

    senketa tata usaha negara, dengan demikian

    kedudukan Pengadilan Pajak lebih tepat untuk

    ditempatkan pada lingkungan Peradilan Tata

    Usaha Negara.

    UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa

    Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan

    ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting

    negara hukum adalah adanya jaminan

    penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

    merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya

    untuk menyelenggarakan peradilan guna

    menegakkan hukum dan keadilan.

    Dalam konteks tersebut, maka ketentuan

    Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi

    Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan

    dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

    undang- undang.

  • 155

    Mengenai adanya kekuasaan kehakiman menjadi

    relevan. Salah satu konsekuensi Pasal 24 Ayat (3)

    adalah munculnya berbagai lembaga peradilan,

    diantaranya adalah Lembaga Pengadilan Adat.

    Keberadaan lembaga Pengadilan Adat sangat

    penting apabila dikaitkan dengan konsep negara

    hukum, yang menghendaki adanya penegakan

    hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang

    ditegakkan disini adalah hukum adat yang terkait

    dengan penegakan aturan-aturan adat di

    lingkungan masyarakat adat.

    Dengan hadirnya Pasal 24 Ayat (3) UUD

    NRI Tahun ini lebih mempertegas untuk diakuinya

    Pengadilan Adat secara formal dalam undang-

    undang karena sifatnya terbuka. Adanya sifat

    terbuka didalam Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI

    Tahun 1945 ini juga memberikan peluang untuk

    membentuk lembaga pengadilan lain yang bersifat

    khusus dibawah lingkungan peradilan umum,

  • 156

    peradilan tata usaha Negara, peradilan agama,

    ataupun peradilan militer.

    Sehubungan dengan adanya kekuasaan

    untuk mengadili suatu perkara seperti Pengadilan

    Adat diakui secara formal dengan cara mendorong

    Pengadilan Adat menjadi pengadilan khusus

    dalam lingkungan peradilan umum, sehingga

    Pengadilan Adat diakui kedudukannya pada

    tingkat Pengadilan Negeri.

    Pengadilan Adat yang memiliki kekhususan

    tersendiri karena merupakan warisan budaya dari

    nenek moyang dan memiliki ciri khas tersendiri

    dilihat dari struktur pengorganisasian atau

    lembaganya yang biasa dipimpin oleh hakim adat

    yang adalah mereka yang mempunyai garis

    keturunan menjadi pimpinan adat, adanya aturan-

    aturan hukum adat yang mengatur kehidupan

    masyarakat hukum adat terkait larangan-larangan

    yang tidak boleh dilakukan serta hukuman apa

  • 157

    yang diberikan kepada anggota masyarakat hukum

    adat. Ini sangat berbeda dengan Pengadilan Negeri

    karna sifat, bentuk dan sistem yang berlaku di

    Pengadilan Adat masih sangat tradisional.

    Pengadilan Adat dapat dibentuk dan tidak

    bertentangan dengan Pasal 24 UUD NRI Tahun

    1945, dikarenakan Pasal 24 Ayat (3)

    memperbolehkan badan-badan lain dalam hal ini

    termasuk Pengadilan Adat dapat dikontruksikan

    berada didalam kekuasaan kehakiman di

    Indonesia. Pengadilan Adat di dalam kekuasaan

    kehakiman sudah sepatutunya didorong atau

    diperbolehkan berada dibawa Peradilan Umum

    sebagai bagian dari penghormatan dan pengakuan

    terhadap masyarakat hukum adat berdasarkan

    Pasal 18 b UUD NRI Tahun 1945. Sehubungan

    dengan penjelelasan di atas Pemerintah juga perlu

    untuk membuat Undang-Undang Pengadilan Adat

  • 158

    seperti beberapa Pengadilan Khusus yang telah

    terbentuk.

    Terkait dengan putusan Pengadilan Adat

    yang dianggap tidak memuaskan hati korban yang

    merupakan anggota masyarakat hukum adat ,dan

    mereka melaporkan kembali ke kepolisian dan

    hinngga proses ke Pengadilan Negeri atau

    melakukan gugatan di pengadilan negeri maka

    putusan hukuman dan denda yang telah dilakukan

    oleh pelaku akan berpotensi untuk terjadi proses

    hukum untuk kedua kalinya atau proses hukum

    berulang di Pengadilan Negeri sehingga sangat

    merugikan pelaku.

    Dengan demikian untuk menghindari

    proses hukum berulang maka perlu diakuinya

    kedudukan Pengadilan Adat untuk didorong satu

    kamar di Pengadilan Negeri dalam lingkup

    Peradilan Umum mengingat ada peluang

    berdasarkan konstitusi yakni Pasal 24 Ayat (3 )

  • 159

    UUD NRI Tahun 1945 dan penjelasan terkait

    Pasal 24 diatas juga memiliki hubungan dengan

    Pasal 27 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

    bahwa :

    Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk

    dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada

    di bawah Mahkamah Agung .

    2. Yuridiksi Pengadilan Adat

    Pengadilan adat memiliki basis konstitusional.

    Oleh karena itu pembentukan pengadilan adat di bawah

    Mahkamah Agung tidak bertentangan dengan hukum

    yaitu Konstitusi dan Undang-Undang. Namun demikian

    masih ada persoalan lain yang perlu di diskusikan yaitu

    mengenai yuridiksi pengadilan adat tersebut. Hal ini

    supaya pembentukan Pengadilan Adat yang telah memliki

    basis konstitusional tetap dilakukan berdasarkan hukum

    yaitu kontitusi dan Undang-Undang.

    2.1 Pengadilan Adat Ditingkat Pengadilan Negeri

    Pembentukan Pengadilan Adat berada dibawah

    Mahkamah Agung menjadi lembaga atau institusi yang

  • 160

    dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan atau

    perkara adat. Terkait dengan pembentukan Pengadilan

    Adat tersebut, maka upaya hukum dalam menyelesaikan

    permasalahan-permasalahan adat didorong berada pada

    Judex Factie Tingkat I yakni Pengadilan Negeri.

    Proses mendudukkan Pengadilan Adat berada

    ditingkat Pengadilan Negeri dapat dijustifikasi secara

    analogi dengan melihat bagaimana proses atau cara

    mendudukkan mediasi dapat berada ditingkat Pengadilan

    Negeri. Mediasi dan Pengadilan Adat memiliki esensi

    yang sama yakni mengurangi beban kewenangan hakim

    dalam menyelesaikan perkara. Dalam Mediasi peran

    hakim diambil oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk

    menyelesaikan perkara sesuai dengan kesepakatan

    bersama. Sementara hal yang sama juga terjadi pada

    Pengadilan Adat ditingkat Pengadilan Negeri dengan

    mengurangi beban hakim Pengadilan Negeri dikarenakan

    penyelesaian permasalahan-permasalahan atau perkara

    adat dialihkan menjadi kewenangan hakim adat.

  • 161

    Sehubungan dengan penjelasan diatas maka alasan

    Pengadilan Adat didorong berada ditingkat Pengadilan

    Negeri dikarenakan hanya Pengadilan Adat sebagai

    institusi atau lembaga adat yang dapat menyelesaikan

    permasalahan-permasalahan hukum adat dilingkungan

    masyarakat hukum adat.

    2.2 Yurisdiksi Ratione Loci Pengadilan Adat

    Persoalan yang dihadapi dalam pembentukan

    Pengadilan Adat yakni Pertama adalah persoalan

    Juridiction Ratione Loci, dimana terlihat dari Pengadilan

    Negara pada tingkat paling rendah memiliki strukur

    formal yang setara dengan Kabupaten / Kota yaitu

    Pengadilan Negeri, namun itu belum tentu sama dengan

    wilayah berlakunya hukum adat.

    Yurisdiksi ini adalah Yurisdiksi terkait dengan

    lingkungan atau wilayah untuk mengadili. Yurisdiksi ini

    juga menjelaskan wilayah kewenangan Pengadilan dalam

    menyelesaikan perkara berdasarkan wilayah atau tempat

  • 162

    perkara itu berlangsung atau dapat diasumsikan sebagai

    yuridiksi yang terkait dengan wilayah kerja atau wilayah

    kewenangan mengadili.

    Masyarakat hukum adat adalah kelompok-

    kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan

    mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik

    yang berwujud maupun tidak berwujud. Susunan dan

    bentuk seluruh anggota persekutuan masyarakat tersebut

    terikat atas faktor yang bersifat teritorial dan genealogis.

    Secara teoritis pembentukan masyarakat hukum adat

    disebabkan adanya faktor ikatan yang mengikat masing-

    masing anggota masyarakat hukum adat tersebut. Faktor

    ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara

    teoritis adalah faktor genealogis (keturunan) dan faktor

    teritorial (wilayah).21

    Hal ini menyebabkan berlakunya

    territorial wilayah hukum adat juga berlaku pada wilayah

    teritorial Pengadilan Adat.

    21

    Hilman Hadikusuma, Op.Cit. h,105.

  • 163

    Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang

    merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya

    terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis.

    Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum

    di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan

    masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang

    territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang

    anggota –anggota masyarakatnya terikat pada suatu

    daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi

    sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani

    sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.22

    Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang

    bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat

    yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu

    garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara

    tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian

    adat23

    22

    Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia

    (Bandung: CV Mandar Maju, 2003), h, 108 23

    Ibid. h, 109.

  • 164

    Pengadilan adat sehubungan dengan yuridiksi ini

    dapat di jelaskan berdasarkan wilayah terjadinya

    permasalahan-permasalahan adat yang berlaku di

    lingkungan masyarakat hukum adat. Hukum adat

    bergantung pada wilayah hukum dari masyarakat hukum

    adat karena menganut asas relativisme dimana masing-

    masing masyarakat hukum adat memiliki hukum adat

    masing-masing. Juridiksi Pengadilan Adat berada di

    dalam wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang

    berbeda atau tidak sebangun persis dengan wilayah

    teritorial Pemerintah, dengan kata lain wilayah berlakunya

    hukum adat tidak sama dengan wilayah administrasi

    Pemerintahan.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

    Pengadilan Adat boleh jadi akan memiliki yuridiksi yang

    lebih luas daripada Pengadilan Negeri setempat, karena

    memiliki susunan masyarakat adat yang teritorinya belum

    tentu sama dengan susunan pemerintahan kita yang paling

    bawah yaitu Kabupaten/Kota. Sehubungan dengan itu

  • 165

    dapat ditentukan bentuk Pengadilan Adat yang paling

    tepat adalah berdasarkan teritorial mengingat luasnya

    wilayah hukum adat sehingga Pengadilan Adat tersebut

    bisa berada di Ibu Kota Propinsi atau Kota/ Kabupaten

    yang ditentukan. Namun bisa juga misalnya dengan cara

    menentukan Pengadilan Adat berada didalam salah satu

    Kota/Kabupaten yang telah ditentukan dengan

    membawahi beberapa Kabupaten yang didalamnya

    dimungkinkan terdapat beberapa kesatuan masyarakat

    adat untuk mengadili permasalahan-permasalahan hukum

    adat tersebut.

    Maka dalam hal ini diperlukan peraturan yang

    mengatur kedudukan, susunan dan yuridiksi kewenangan

    Pengadilan Adat yang berlaku di wilayah teritorial

    Pemerintahan paling rendah Kabupaten/Kota, atau

    ditentukan pada berada di Pengadilan Negeri tertentu

    mengingat wilayah berlakunya hukum adat bisa lebih

    luas dari wilayah hukum Pengadilan Negeri.

  • 166

    2.3 Yurisdiksi Ratione Materie Pengadilan Adat

    Yurisdiksi ini adalah Yuridiksi yang berkaitan

    dengan pokok perkara dalam hal ini pokok perkara yang

    lazim adalah perkara pidana atau perkara perdata.

    Sehubungan dengan yuridiksi mengenai pokok perkara

    dalam pembentukan Pengadilan Adat maka persoalan

    yang timbul adalah persoalan kompetensi dimana

    Pengadilan Negeri memiliki kompetensi Absolut yakni

    perkara pidana dan perdata. Perkara pidana adalah perkara

    yang memiliki sifat yakni Negara dengan alat

    perlengkapan atau hubungan antar Negara dengan warga

    Negara. Sedangkan perkara perdata mengatur hubungan

    orang yang satu dengan orang yang lain dengan

    menitikberatkan pada kepentingan perorangan.

    Berdasarkan sifat atau karakter dari perkara pidana yang

    bersifat nasional dan perdata bersifat kepentingan orang

    perorang atau pihak-pihak bersengketa, dengan demikian

    maka perkara perdata yang dapat diselesaikan dengan cara

    mediasi sebelum masuk ke persidangan.

  • 167

    Sehubungan dengan penjelasan diatas maka

    kompetesi absolut dari Pengadilan adat adalah

    menyelesaikan perkara-perkara perdata ini dikarenakan

    Pengadilan adat secara prinsip tidak boleh mengadili

    perkara hukum yang bersifat nasional seperti perkara

    hukum pidana yang bersumber dari KUHP. Hukum

    pidana berlaku berdasarkan yuridiksi teritorial yang

    mempunyai jangkauan keberlakuan secara nasional dan

    berlaku sama bagi setiap individu yang melakukan

    pelanggaran hukum khususnya hukum pidana. Sehingga

    jika diperhadapkan dengan hukum adat memang ada

    persoalan yang perlu dipikirkan secara mendalam karena

    berkaitan dengan yurisdiksi pokok perkara. Alasan hukum

    pidana bersifat nasional ini menjawab Pengadilan adat

    tidak dapat memproses perkara sehubungan dengan

    perkara pidana kecuali hukum pidana tersebut dijadikan

    delik pidana adat dengan menetapkanya dengan peraturan

    daerah sehingga ada sanksi-sanksi yang berlaku.

  • 168

    2.4 Upaya Hukum Atas Putusan Pengadilan Adat

    Mendudukan Pengadilan Adat berada di

    Pengadilan Tingkat I memiliki point penting, sehubungan

    dengan penyelesaian permasalahan atau perkara hukum

    adat terkait putusan-putusan Pengadilan Adat yang

    memiliki upaya hukum selanjutnya apabila para pihak

    tidak menerima putusan-putusan tersebut.

    Putusan yang dikeluarkan Pengadilan tidak selalu

    memuaskan para pihak yang berperkara termasuk

    kemungkinannya dengan putusan Pengadilan Adat,

    sehingga para pihak yang tidak menerima dapat

    mengajukan upaya hukum banding pada Pengadilan di

    tingkat Banding yakni di Pengadilan Tinggi. Alasan hasil

    putusan Pengadilan Adat diajukan ke Pengadilan Tinggi

    mengingat semua perkara yang telah diputuskan oleh

    Pengadilan Adat tidak boleh diuji kembali pada tingkat

    yang sama mengingat Pengadilan Adat berada satu tingkat

    dengan Pengadilan Negeri pada Pengadilan Tingkat I.

    Apabila diuji kembali pada Pengadilan Negeri maka hal

  • 169

    ini akan bertentangan dengan asas peradilan sederhana,

    cepat dan biaya ringan yang terdapat pada Pasal 4 (2)

    Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman.

    Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan

    merupakan asas yang tidak kalah pentingnya dengan asas-

    asas lain yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-

    Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman. Menurut Sudikno Mertokusumo pengertian

    asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, yaitu:

    Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha

    mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat

    tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya

    ringan

    Penjelasan Pasal 4 ayat (2) ada pada Undang-Undang No

    4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

    berbunyi

    Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi

    harapan para pencari keadilan.

  • 170

    Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan

    dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang

    efisien dan efektif.

    Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya

    perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.

    Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian

    perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari

    kebenaran dan keadilan

    Pengadilan membantu para pencari keadilan dan

    berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

    dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan

    biaya ringan. Di bawah ini secara singkat diuraikan satu

    persatu mengenai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan

    sebagai berikut24

    :

    a. Asas sederhana Sederhana secara umum dapat

    diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak kompleks

    atau tidak terlalu sulit, asass sederhana artinya

    caranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak

    berbelit, yang penting disini ialah agar para pihak

    dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan

    24

    A. Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Dan Solusi Terhadap

    Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia), Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta,

    2001, h, 64

  • 171

    pasti (tidak berubah-ubah) dan penyelesaiannya

    dilakukan dengan jelas, terbuka runtut dan pasti,

    dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi

    kepentingan para pihak yang menghendaki acara

    yang secara sederhana. Menurut hemat penulis

    dikatakan sederhana bahwa sesuatu yang dapat

    diselesaikan dengan cara sederhana tidak boleh

    sengaja untuk dipersulit agar memperpanjang proses

    peradilan yang kemudian akan merugikan salah satu

    pihak ataupun kedua belah pihak dengan cara

    mengulur-ulur proses persidangan.

    b. Asas Cepat secara harfiah dapat dimaknai sebagai

    sesuatu yang singkat tidak membutuhkan waktu

    yang lama atau diartikan sebagai sesuatu yang

    dilakukan segera yang menjadikan tempo sebagai

    acuannya. Asas cepat dalam proses peradilan disini

    artinya penyelesaian perakara memakan waktu tidak

    terlalu lama, hal ini dapat dilihat dari Surat Edaran

    Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1992 yang

  • 172

    memberikan batasan waktu paling lama 6 bulan

    sejak perkara itu didaftarkan di kepaniteraan, kecuali

    jika memang menurut ketentuan hukum tidak

    mungkin diselesaikan dalam waktu enam bulan.

    Namun demikian, penyelesaian yang cepat ini

    senantiasa harus berjalan di atas aturan hukum yang

    benar, adil dan teliti. Asas cepat ini pada dasarnya

    tidak menghendaki agar proses perkara di

    pengadilan dilakukan secara cepat tanpa

    memperhatikan kebutuhan terhadap penyelesaian

    suatu perkara apakah dengan diselesaikan dengan

    cepat membuat putusan yang dikeluarkan oleh

    hakim kurang pertimbangan.

    c. Asas Biaya Ringan Dalam asas ini penekanannya

    adalah mengenai biaya-biaya perkara yang akan

    dikeluarkan oleh kedua belah pihak terhadap perkara

    yang sedang dijalaninya seperti biaya-biaya yang

    dikeluarkan seperti biaya administrasi, biaya

    perkara, biaya pemanggilan saksi, biaya materai dan

  • 173

    biaya lainnya yang berkaitan dengan proses

    peradilan. Segala pembayaran di pengadilan harus

    jelas kegunaannya dan diberi tanda terima uang.

    Pengadilan harus mempertanggung jawabkan uang

    tersebut kepada yang bersangkutan dengan

    mencatatkannya dalam jurnal keuangan perkara

    sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya

    sewaktu-waktu.

    Sudikno Mertokusomo juga menjelaskan bahwa

    Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan terdapat

    dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

    2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mau mengatakan

    hukum acara harus jelas, mudah difahami dan tidak

    berbelit-belit, dan cukup one stop service (penyelesaian

    sengketa cukup diselesaikan melalui satu lembaga

    peradilan). Semakin sedikit dan sederhana formalitas-

    formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam

    beracara di muka pengadilan, semakin baik. Terlalu

  • 174

    banyak formalitas yang sukar dipahami, sehinggga

    memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang

    menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan

    keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka

    pengadilan.25

    Dengan melihat penjelasan para Sarjana diatas

    maka latar belakang didorongnya Pengadilan Adat berada

    di Pengadilan Tingkat I telah memenuhi asas peradilan

    sederahana, cepat biaya ringan, dimana asas hukum acara

    yang digunakan jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-

    belit. Sehingga masyarakat adat sebagai pihak yang

    berperkara dapat merasakan keadilan dalam menjalankan

    upaya hukum di Pengadilan adat yang berada pada

    Pengadilan Tingkat I.

    25

    Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty

    Yogyakarta.2003.h 56