bab iii khilafah menurut pemikiran hasan al-banna · dalam prespektif sunni merujuk pada negara...
TRANSCRIPT
80
BAB III
KHILAFAH MENURUT PEMIKIRAN
HASAN AL-BANNA
Era setelah wafatnya Muhammad SAW, khilafah menjadi isu krusial dan
tema sentral dalam perpolitikan Islam. Sedemikian krusialnya isu tersebut
membuat para sabahat menunda pemakaman Muhammad SAW untuk berkumpul
di bani Tsaqifah. Mereka bermusyawarah untuk memilih khalifah (pengganti)
Muhammad SAW. Hingga era sekarang setelah runtuhnya Khilafah Turki
Utsmani tahun 1918 M, khilafah masih menjadi tema sentral bagi kalangan tokoh
Islam. Salah satu tokoh tersebut adalah Hasan Al-Banna yang berusaha
membangkitkan kembali Islam dengan berupaya menegakkan Khilafah
Islamiyyah melalui gerakannya Ikhwanul Muslimin.
Maka dalam bab ini, akan dibahas mengenai konsep-konsep khilafah
secara umum, kemudian khilafah menurut pemikiran Hasan Al-Banna dan strategi
yang digunakannya dalam upaya memperjuangkan eksistensi Khilafah
Islamiyyah. Sebelum dijelaskan mengenai konsep khilafah secara umum, akan
dijelaskan sedikit mengenai dasar politik Islam atau dasar pembentukan negara
Islam.
Harun Nasution mengemukakan pendapat bahwa Al-Qur‟an sebagai
pedoman Islam tidak mengandung segala-galanya. Yang tidak dijelaskan dalam
Al-Qur‟an menurutnya adalah sistem pemerintahan atau bentuk negara. Begitu
pula dengan Hugson mengatakan hal yang senada ia mengatakan bahwa Al-
Qur‟an tidak menetapkan sistem sosial tertentu. Hal ini diserahkan kepada
Muhammad SAW tersendiri untuk mengambil kebijakan. Meskipun Al-Qur‟an
tidak menyebutkan dengan tegas tentang pembentukan pemerintahan, tetapi
81
dikehidupan nyata Muhammad SAW mempunyai pemerintahan dan sekaligus
menjadi Kepala Negara di samping menjadi seorang Nabi dan Rasul (Sukardja,
1995: 102).
Pemerintahan Muhammad SAW dimulai dengan adanya Piagam Madinah.
Piagam atau perjanjian itu disebut oleh Nabi dengan istilah shahi>fat (lembaran
tertulis) dan kita>b (Pulungan, 1994: 87). Piagam Madinah dapat disebut undang-
undang atau konstitusi karena menurut Marmaduke Pickhtal, naskah itu
mencerminkan perhatian Muhammad sebagai seorang pemimpin untuk
menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai the constitution of the state
(undang-undang negara). Di dalamnya terdapat ketetapan mengenai dasar-dasar
negara Islam yang bekerja untuk mengatur satu umat dan membentuk suatu
masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan (1994: 110).
Menurut Hugson Konstitusi Madinah yang menentukan posisi berbagai
elemen di Madinah ketika Muhammad berada di sana, adalah karya Nabi
Muhammad SAW, bukan bagian dari Al-Qur‟an (Sukardja,1995: 103). Senada
dengan Hugson, kata Gibb, undang-undang legislatif Islam yang pertama itu telah
meletakkan dasar-dasar sosio-politik untuk mempersatukan penduduk Madinah,
dan ia merupakan hasil dari inisiatif Nabi, bukan dari wahyu (Pulungan, 1994:
110). Sehingga dapat dikatakan bahwa Piagam Madinah merupakan Hadits Nabi
Muhammad karena segala perkataan, perbuatan, dan persetujuan Muhammad
SAW adalah hadits darinya. Hadits Rasul merupakan dasar pedoman umat Islam
setelah Al-Qur‟an. Maka jika dilihat dari sifat isinya mengenai tatanan kehidupan
politik, Piagam Madinah adalah hadits siya>sah (politik) yang menjadi dasar bagi
umat Islam untuk mendirikan negara Islam (Sukardja,1995: 175).
82
Pada dasarnya, Harun Nasution dan Hugson memberikan pernyatan bahwa
Al-Qur‟an tidak memberikan dasar hukum negara Islam karena mereka hanya
mengkaji secara eksplisit. Akan tetapi secara implisit dalam Al-Qur‟an terdapat
pembahasan mengenai dasar negara Islam seperti yang disebutkan pada surat A‟n-
Nisa‟ ayat 59, Al-Anbiya‟ ayat 92, Al-Mu‟minun ayat 52, Al-Imran ayat 28, 103
dan 105. Sehingga Piagam Madinah dijadikan dasar hukum yang realistis dalam
mendirikan negara Islam.
A. Khilafah Secara Umum
Pengertian khilafah secara bahasa berarti mengganti atau suksesi, yang
berasal dari bahasa arab khalafa-yakhlufu-khalafan wa
khilafah (Munawwir, 1997: 361). Kata khilafah dalam struktur gramatika bahasa
Arab merupakan bentuk gramatika verbal yang mensyaratkan adanya subjek atau
pelaku aktif yang disebut khalifah. Kata khali>fah merupakan ism fa>’il
(subjek) dari kata kerja yang sama yaitu khalafa yang bermakna orang yang
menggantikan atau orang yang menepati posisi sebagai pengganti. Oleh karena itu
tidak ada suatu khilafah tanpa adanya seorang khalifah.
Menurut Ganai secara literal, khilafah berarti penggantian terhadap
pendahulu, baik bersifat individual maupun kelompok. Sedangkan secara teknis,
khilafah adalah lembaga pemerintahan Islam yang berdasarkan pada Al-Qur‟an
dan Sunnah. Khilafah merupakan medium untuk menegakkan din (agama) dan
memajukan syariah (Sudrajat, 2009: 3).
Pengertian khilafah dalam semboyan politik Islam Sunni, merujuk pada
wewenang seseorang yang berfungsi sebagai pengganti Nabi dalam kapasitasnya
83
sebagai pemimpin masyarakat, namun bukan dalam fungsi kenabiannya. Kata
imam juga pernah digunakan dengan arti yang serupa kecuali Syiah. Kata imamah
dalam prespektif Sunni merujuk pada negara Islam dalam arti yang umum dan
dianggap mencerminkan masa pemerintahan Nabi yang sesudahnya (Jidan, 1994:
9).
Ibnu Khaldun (2012: 336) dalam karyanya Mukaddimah memberikan
penjelasan tentang pengertian khilafah. Ia menjelaskan bahwa karakter kekuasaan
cenderung memerintah masyarakatnya berdasarkan tujuan dan berdasarkan
keinginan naluriah mereka. Adapun kekuasaan politik cenderung memerintah
masyarakatnya berdasarkan akalnya. Sedangkan kekuasaan dari suatu
kekhilafahan memerintah masyarakatnya berdasarkan syariat Islam, baik dalam
urusan akhirat maupun kepentingan agama. Karena menurutnya apa yang
datangnya dari Allah SWT jauh lebih baik dari pada jangkauan akal manusia.
Kekhalifahan ini pada hakikatnya merupakan pengganti atau wakil Allah yang
menjaga agama dan kehidupan dunia.
Al-Mawardi (2000: 14) juga menjelaskan bahwa Allah SWT telah
menggariskan dalam umat manusia harus ada pemimpin yang menjadi pengganti
dan pelanjut fungsi kenabian menjaga terselengaranya ajaran agama, kendali
politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat Islam, dan menyatukan umat
dalam kepemimpinan tunggal. Ia telah mendefinisikan bahwa khilafah adalah
dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal dari
terwujudnya kemaslahatan umat sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman
sejahtera.
84
Khilafah dalam pandangan ahli fiqih adalah kepemimpinan umum dalam
urusan agama dan dunia sebagai pengganti Muhammmad SAW. Khilafah juga
diartikan sebagai pengganti Rasulullah dalam menegakkan agama dan menjaga
eksistensi agama (Hawwa, 2002: 64). Pada dasarnya khilafah tidak hanya terfokus
pada kekuasaan saja, tetapi memang harus memeperhatikan syariat Islam di
dalamnya.
Menurut ijma‟ para ulama, umat Islam tidak dibenarkan wujud tanpa
Imam. Kemudian Imamah yang disepakati umat Islam ini disebut khilafah. Sistem
khilafah bersifat unik berbeda dengan sistem pemerintahan manapun. Yang
menjadikan berbeda pada sistem khilafah ini adalah karena berasal dari Allah
untuk para Rasul (2002:47).
Sa‟id Hawwa (2002: 48) menjelaskah bahwa imamah yang dimaksud
merupakan khilafah nubuwwah. Artinya hakikat sistem khilafah ialah mewakili
kenabian, sedangkan Rasul sendiri merupakan Khalifatullah. Karena khalifah
berfungsi sebagai pewaris kenabian dan menegakkan hukum-hukumnya. Dengan
demikian tugas Rasulullah adalah menunjukkan manusia kepada kekuasaan Allah.
Sedangkan tugas para khalifah-nya adalah melanjutkan gerak Rasulullah dalam
mengajarkan manusia tentang dua warisan Rasul; Al-Qur‟an dan Sunnah.
Ringkasnya khilafah sebagai sistem pemerintah yang mewakili Rasulullah SAW
dalam menegakkan syariat Allah. Pengertian imamah menurut Sa‟id Hawwa ini
merupakan prespeksif golongan Sunni.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara umum khilafah merupakan
pengganti Nabi Muhammad setelah ia wafat dalam beberapa hal, pertama;
sebagai penerus kepemimpinan umat Islam baik dalam hal dunia maupun agama
85
sehingga harus dibentuk sebuah pemerintahan. Kedua; untuk menjaga eksistensi
hukum Islam sebagai pedoman hidup. Ketiga; menjaga persatuan dan
kemaslahatan umat manusia. Seorang pengganti itu hanya meneruskan tugas Nabi
Muhammad bukan meneruskan kenabian atau kerasulannya, karena Muhammad
SAW merupakan nabi dan rasul terakhir.
Terdapat beberapa unsur yang menyertai kekhilafahan seseorang. Unsur-
unsur tersebut adalah orang yang diberi kekuasaan atau mandat, wilayah
kekuasaan, dan hubungan antara khalifah dengan wilayah beserta hubungan
khalifah dengan pemberi kekuasaan yakni Allah. Kekhalifahan seseorang dengan
demikian dapat dinilai dari sejauhmana seorang khalifah memperhatikan
hubungan-hubungan tersebut. Ketika seorang khalifah mempraktikkan semua
tindakan-tindakannya itu, maka yang demikian itu dinamakan khalifah. Dalam
konteks politik yang lebih populer, kata khilafah dapat diartikan dengan
pemerintahan. Jadi, kalau ada istilah Khilafah Islamiyyah, itu berarti
pemerintahan Islam atau lebih tepatnya pemerintahan yang ditegakkan
berdasarkan syariat Islam.
Beberapa pemikir Muslim mengatakan bahwa bentuk pemerintahan Islam
dapat berupa kerajaan maupun republik. Hal tersebut terlihat dari praktek bentuk
pemerintahan Islam secara historis. Bentuk pemerintahan pada masa sepeninggal
nabi yaitu pada masa Khulafa>u’r-ra>syidi>n, barangkali sepadan dengan bentuk
pemerintahan republik dalam konsep politik modern. Kemudian masa
pemerintahan Ummayah, Abbasiyah, hingga Turki Ustmani bercorak kerajaan
atau monarki (Sudrajat, 2009: 4).
86
Suatu pemerintahan dapat disebut sebagai Khilafah Islamiyyah harus
memenuhi beberapa prinsip dan kriteria. Prinsip utama yang harus dipegang
adalah bahwa seluruh kekuasaan di bumi ini ada pada Allah SWT. Prinsip yang
kedua adalah hukum Islam ditetapkan oleh Allah untuk membimbing manusia
dalam menjalakan fungsi khilafah-nya di bumi. Berdasarkan kedua prinsip
tersebut, suatu negara yang diatur menurut syariat Islam maka secara teknis
disebut Khilafah Islamiyyah.Qamaruddin Khan menyebut negara yang demikian
dengan sebutan negara agama (religious state) (2009: 6)
Gelar-gelar simbolik utama yang digelarkan pada orang yang melakukan
tugas kekhalifahan tesebut yaitu; gelar imam, khalifah, dan amirul mu‟minin.
Kata imam berarti “pemimpin” seperti ketua atau yang lainnya, baik yang
membawa petunjuk ataupun yang menyesatkan (As-Salus, 1997: 15). Sering kali
kata imam dihubungkan dengan shalat, sehingga mendapatkan suatu makna
konotasi yang spesifik. Kemudian meluas mencakup kepemimpinan dalam
melaksanakan kewajiban agama (red: Islam). Seperti halnya Rais (2001: 77)
mengutip pengertian imam menurut Ar-Razi yang telah mendefinisikan bahwa
imam merupakan “semua orang yang diteladani secara agama”, sehingga
kepemimpinan dalam hal ini bersifat khusus seperti halnya sebutan imam Bukhari
sebagai teladan hadist, imam Ghazali sebagai teladan tauhid, dan lainnya. Adapun
kepemimpinan kubra atau umum lingkupnya mencakup semua aspek tersebut baik
agama maupun dunia, maka yang seperti itu merupakan kepemimpinan imam,
yaitu imam sebagai pemimpin umat dan superior yang menjalankan pemerintahan
diatas pilar syariat Islam. Hal yang seperti itulah yang dinamakan Imamah „Uzma
yang berarti kepemimpinan kubra atau umum adapun orang yang memipin disebut
87
Imam A‟zham (Hawwa, 2002; 63). Sementara imam shalat dinamakan keimaman
syugra atau bersifat khusus.
Selanjutnya tentang gelar khalifah, awal penyebutan gelar ini ketika
terpilihnya Abu Bakar sebagai pengganti Muhammad SAW dalam baiat Ats-
Tsaqifah. Abu Bakar menyebut jabatan ini sebagai Khalifah Rasulullah, dan ia
menolak isitilah Khalifah Allah. Meskipun sebagian orang menyebutnya dengan
Khalifah Allah dengan argumen bahwa Muhammad SAW bertugas menegakan
perintah Allah dan Abu Bakar juga bertugas sama. Akan tetapi bukan berarti Abu
Bakar meneruskan kenabian Muhammad SAW, sehingga ia menolaknya dan
jumhur ulama melarang menggunakan istilah Khalifah Allah (Hawwa, 2002: 64.
Khaldun, 2012: 339. Rais, 2001: 78).
Sedangkan gelar amirul mu‟minin untuk pertama kalinya diberikan kepada
Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua. Istilah amirul mu‟minin merupakan ciri
khas yang diciptakan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada masa
tersebut kepala negara disebut amirul mu‟minin. Sehingga Umar bin Khattab juga
mendapat julukan tersebut, akan tetapi fungsinya tidak berubah sama seperti Abu
Bakar sebagai seorang khalifah (Hawwa, 2002: 65). Jika dilihat dari sisi historis,
pada saat itu mereka menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir,
yaitu bentuk fai‟il (subjek) dari imarah. Sa‟ad bin Abi Waqqash pun mendapat
gelar sebagai amirul mu‟minin karena ia sebagai pemimpin tentara Islam
dalamsuatu perperangan. Hal tersebut bertepatan masanya ketika sebagian sahabat
memanggil Umar bin Khattab dengan sebutan amirul mu‟minin, lantas orang-
orang menganggapnya baik dan benar. Kronologi detailnya, ada seorang kurir
yang membawa berita kemenangan kemudian masuk Madinah dan menanyakan
88
keberadaan khalifah Umar bin Khhattab, “Mana Amirul Mukminin?” dan
didengar oleh para sahabat. Mereka merespon dengan baik dan menganggapnya
benar, dan mengatakan, “Demi Allah kamu tepat sekali menyebut namanya,
sesungguhnya dia benar-benar Amirul Mukminin”. Semenjak itu mereka
memanggil Umar bin Khattab dengan gelar tersebut dan gelar tesebut menyebar
luas dikalangan masyarakat serta diwarisi oleh khalifah-khalifah setelahnya (Rais,
2001: 82).
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat dijadikan jalan untuk
mengetahui muatan sinonim keimamahan dan kekhilafahan. Karena, para ulama
banyak yang menyinonimkan kata khilafah dengan imamah. Dari ketiga gelar
itulah yang diberikan kepada kepala pemerintahan Islam. Semuanya menunjuk
pada orang yang sama dan mengindikasikan pada makna yang sama pula, serta
menunjukkan pada orang yang duduk dijabatan yang sama. Oleh karena itu
penulisan sekarang boleh menggunakan istilah “Khilafah, Imamah Uzmma ,dan
Imaratul Mukminin tiga kata yang menunjukkan satu makna (2001: 82).
Meskipun, pada prakteknya istilah ini digunakan oleh dua sekte atau kelompok
Islam yang bersebrangan, yaitu Sunni dan Syiah. Konsep pemahaman tentang
khilafah menurut Sunni dan imamah menurut Syiah pun berbeda pula.
Istilah Imamah muncul dan dikenal dikalangan luas disebabkan oleh kaum
Syiahlah yang pertama kali mengkaji tentang ilmu ini, mereka pula yang
merumuskannya dan memilih istilah ini. Syiah mengkhususkan Ali bin Abi Thalib
dengan gelar imam dengan alasan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak
memimpin shalat dari pada Abu Bakar. Rais menukil pendapat At-Taftazani
bahwa Syiah beropini bahwa keimamah itu lebih spesifik dari pada khilafah.
89
Makna imam bagi mereka hanya berlaku untuk orang yang mempunyai hak legal
yang padaan dengan istilah de jure dalam konteks undang-undang modern.
Adapun khalifah menunjuk pada pemangku jabatan sebenarnya dan bisa saja
orang yang bukan berhak dengan istilah kekiniannya adalah de facto. Jika
seseorang yang tidak mempunyai hak tetapi menjabat khalifah tidak dapat
bergelar imam. Namun, jika seorang khalifah yang menjabat pada realitasnya
mempunyai hak, khalifah tersebut sederajat dengan imam. Oleh karena itu Syiah
menamakan pemimpin yang tidak mereka akui dengan khalifah (2001: 83).
Pengertian Imamah menurut Syiah sendiri sangat berbeda dengan
pengertian Imamah dalam prespektif Sunni seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Kaum Syiah berpendapat bahwa Imamah tidak hanya merupakan
suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan tuhan, suatu kepercayaan yang
dianggap sebagai penegas keimanan. Aspek kemutlakan konsep tersebut
didasarkan pada asumsi bahwa syariat takkan berjalan tanpa adanya kekuasaan
mutlak yang berfungsi menafsirkan pengertian yang benar dan murni pada syariat.
Orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagi pelindung dan penafsir
hukum Tuhan hanyalah perantara supra-manusia yang diberi pentunjuk oleh Allah
yang menciptakan hukum tersebut. Jadi kaum Syiah dalam teori imamahnya
mejelaskan ketetuan imam itu dipilih oleh Allah SWT, dan bukan dipilih oleh
umat. Perilaku Allah disebut dengan lutf yang berarti rahmat, sedangkan urutan-
urutan imam itu disebut imamah. Berdasarkan penafsirannnya terhadap perilaku
tuhan tersebut, Syiah mengklaim bahwa Muhammad SAW, atas perintah Allah
menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam yang pertama, kemudian Ali
menunjuk penerusnya imam yang keduabelas (Jidan, 1994: 8).
90
1. Hukum Menegakkan Khilafah Islamiyyah
Terdapat beberapa pandangan dari para ahli mengenai tingkatan hukum
dalam penegakkan Khilafah Islamiyyah, diantaranya terdapat madzhab al-wujub,
madzhab al-jawwaz, dan mazhab syi‟ah.
Barometer yang menjadi batasan makna wajib dan jaiz adalah istilah
dalam fiqh. Para ulama fiqh memandang bahwa perbuatan manusia akan jatuh
pada tingkatan wajib, sunnah, mubah/ jaiz, makruh, dan haram. Pada hakikatnya
perbedaan itu perbedaan seputar tanggung jawab hukum ataupun moral umat
Islam dalam hal yang berhubungan dengan ditegakkannya Khilafah Islamiyyah
(Rais, 2001: 93). Jadi bukan pemahaman yang mengira pendapat hukum jaiznya
khilafah merupakan hal yang tidak penting bahkan tidak harus sama sekali. Dalam
pendangan mereka pada dasarnya khilafah tidak dibutuhkan baik secara praktis
maupun operasional.
a. Madzhab Al-Wujub
Golongan ini memandang bahwa hukum menegakkan Khilafah
Islamiyyah adalah wajib. Eksistensi pemerintahan sangat penting sehingga
menegakkan hukum (red: Islam) adalah suatu kewajiban bagi masyarakat
dalam komunitasnya. Mayoritas umat Islam meyakini bahwa menegakkan
kekhilafan yang legal dan benar merupakan salah satu kewajiban agama yang
fundamental, bahkan menjadi kewajiban termulia yang menjadi landasan
pelaksanaan seluruh kewajiban agama.
Mengenai kewajiban pengangkatan khalifah Al-Mawardi (2000: 15)
menjelaskan bahwa hukumnya wajib. Akan tetapi dasar kewajiban itu masih
diperselisihkan, berdasarkan rasio atau syariah. Sebagian ulama berpendapat
91
hal itu wajib berdasarkan rasio karena rasio manusia mempunyai
kecenderungan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada seorang pemimpin
yang dapat menghalangi terjadinya kezaliman dan menuntaskan berbagai
perselisihan dan permusuhan. Seandainya tidak ada pemimpin dan
pemerintahan, manusia akan hidup dalam ketidakteraturan tanpa hukum.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hal itu wajib berdasarkan
syariat, bukan rasio, karena kepala negara menjalankan tugas-tugas agama
yang bisa saja rasio tidak dapat menjangkaunya.
Keharusan untuk menegakkan kekhilafahan merupakan pendapat semua
pengikut Ahlus Sunnah, begitu juga kelompok minoritas seperti Murji‟ah,
Mu‟tazilah serta Khawarij. Pendapat ini dianggap mewakili Islam dan tidak
ada yang menyimpang dari pendapat utama tersebut. Bahkan pendapat Syi‟ah
secara umum pun termasuk dalam kategori mewajibkannya, tetapi mereka
memiliki makna khusus dalam memaknai wajibnya (Rais, 2001: 91, 2001:
124).
Al-Mawardi (2000: 16) dan para ulama pada umumnya menjelaskan
bahwa hukum menegakan khilafah adalah fardhu khifayah, seperti berjihad
dan mencari ilmu pengetahuan. Hal ini berarti tidak semua muslim wajib
untuk berupaya menegakkan kekhilafahan, cukup diwakili oleh beberapa
Muslim untuk menggugurkan kewajiban tersebut. Tetapi jika belum ada yang
menegakkannya maka seluruh Muslim berkewajiban menegakkannya sampai
persoalan khilafah ini ditegaskan oleh ahlinya (2001: 92). Sebagian lainnya
berpendapat, orang yang terkena dosa karena belum terbentuknya khilafah
terdapat dua golongan. Pertama, para Ahlu Ar-Ra‟yi (semacam badan
92
pemilihan pemimpin) sampai mereka mampu memilih khilafah. Kedua,
orang-orang yang memenuhi persyaratan dan kriteria sebagai khilafah
sehingga salah satu dari mereka dipilih menjadi khilafah. Kemudian Sa‟id
Hawwa menganalisis bahwa dosa atas belum terwujudnya khilafah dipikul
oleh seluruh umat Muslim, karena hal tersebut perintah Allah maka sudah
menjadi kewajiban bagi mereka untuk menegakkannya (Hawwa, 2002: 65).
b. Madzhab Al-Jawwaz
Golongan ini mengatakan bahwa khilafah adalah jaiz “boleh” bukan
wajib, berarti hukumnya adalah seperti hukum segala sesuatu atau perbuatan
yang mubah, yang tidak ada nash qath‟i dari syar‟i yang mewajibkannya,
dan manusia diberi hak memilih untuk melakukan atau meninggalkannya.
Jika ditinggalkan tidak akan mengakibatkan tanggung jawab yang signifikan,
baik individu maupun kelompok tidak akan berdosa jika meninggalkannya.
Akan tetapi, individu maupun kelompok dituntut untuk mengkaji
permasalahannya sesuai kondisi dan kebutuhan dari segi ilmiah. Karena
merealisasikan perbuatan itu bisa menjadi keharusan yang harus diperhatikan.
Namun, terjadi kelailaian dalam perealisasian, akan terjadi dharar
(kekacauan) tanpa harus disertai tanggung jawab secara hukum maupun etika.
Contoh konkret perbuatan mubah yang menjadi kewajiban adalah makan dan
minum yang menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Maka hal tersebut
menunjukan bahwa hal yang bersifat jaiz dalam agama bukan berarti tidak
penting atau tidak harus direalisasikan (Rais, 2001: 93).
Golongan yang berpendapat penegakan khilafah bersifat jaiz adalah
mereka golongan minoritas yaitu, Mahkamah Ula> dan An-Najda>t yang
93
merupakan sekte Khawarij. Mahkamah Ula> adalah perintis Khawarij ketika
mereka memisahkan diri dari Khalifah Ali bin Abi Thalib, sedangkan An-
Najda>t adalah pengikut Najdah yaitu Athiyah bin Amir Al-Hanafi. Selain itu
juga terdapat golongan minoritas dari Mu‟tazilah yang dipelopori oleh Abu
Bakar Al-Ashamm, Hisyam bin Amr Al-Fu>thi berserta muridnya Ubad Bin
Sulaiman (2001: 104).
Abu Bakar Al-Ashamm berasumsi bahwa jika manusia tidak saling
menganiaya maka tidak memerlukan seorang imam. Sedangkan Hisyam bin
Amr Al-Fu>thi berpendapat jika umat bersatu di atas kebenaran maka pada
saat itu membutuhkan imam, adapun ketika umat berbuat keji dan membunuh
imam maka tidak wajib mengadakan imam. Artinya Hisyam bin Amr Al-
Fu>thi membolehkan khilafah pada saat kondisi kacau dan perselisihan,
sedangkan dalam kondisi aman dan kedamaian maka wajib berdirinya
Khilafah karena adanya manusia yang bersatu padanya. Berbeda halnya
dengan Ubad Bin Sulaiman, ia mengatakan bahwa tidak boleh ada imam
setelah Ali binAbi Thalib ia beralasan bahwa umat telah sepakat pada masa
Khulafa>u’r-ra>syidi>n diperbolehkan adanya imam namun setelah kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib umat Islam berselisih, apakah boleh ada imam maupun
tidak.
Golongan An-Najda>t mengatakan imamah tidak wajib dalam agama,
jika umat dalam kondisi aman tidak memerlukan imam, manusia tidak perlu
menfardhukan imamah, namun wajib bagi mereka untuk menyebarkan
kebenaran. Namun, jika mereka membutuhkan pemimpin yang menjaga
perbatasan wilayah Islam dan mempersatukan umat, mereka membuat
94
kedudukan pemimpin tersebut lebih tinggi di atas mereka dengan syarat
dalam muamalahnya pemimpin itu harus adil dan bijaksana (2001: 105).
Pemahaman madzhab ini mendapat tanggapan dari Ibnu Khaldun, ia
menjelaskan bahwa mereka berpendapat seperti itu karena mereka berupaya
untuk melepaskan diri dari kekuasaan, dan karakternya yang cenderung
merebut, menguasai, dan menginginkan kenikmataan duniawi. Pendapat
madzhab ini tidak lebih sekedar hipotesis, yang dalam praktek dan realitanya
identik dengan kemustahilan, karena setiap individu tidak akan mungkin
sama dalam menegakan keadilan dan merealisasikan hukum Islam. Maka
pada akhirnya jelaslah bahwa terjadinya perbedaan madzhab merupakan
perbedaan yang sifatnya teoritis, sehingga dapat dikatakan pada dasarnya
seluruh madzhab Islam bersepakat untuk wajib merealisasikan Khilafah
Islamiyyah (Khaldun, 2012: 340. Rais, 2001: 125).
c. Madzhab Syiah
Syiah juga berpendapat tentang wajibnya imamah. Namun, mereka
memiliki pemahaman sendiri terhadap konotasi wajib, yaitu mereka
memandang wajibnya imamah ini bukan untuk umat melainkan imamah
wajib bagi Allah. Rais (2001: 115) menjelaskan pemahaman tersebut
merupakan pecahan teori yang bersumber dari teori Muktakzilah. Itu terjadi
karena mereka berpendapat bahwa fi‟lu as-shalah (melakukan yang baik)
wajib bagi Allah, serta berbuat adil dan memelihara hikmah wajib bagi-Nya.
Hal tersebut merupakan ide filosofi yang kembali pada prinsip merekayang
berpegang pada hukum aqli, dan bahwa akal lah yang dapat mengetahui baik
dan buruk, serta kebaikan dan keburukan. Hukum aqli ini selamanya bersifat
95
umum dan tidak akan melepas objek cakupannya, sekalipun objek tersebut
adalah perbuatan Allah SWT, maka wajib tidak terpisah dari hukum Allah.
Ketika banyak dari kalangan Syiah memeluk mazhab Muktazilah, pada saat
itu juga banyak kalangan Muktazilah menjadi orang Syiah. Perkembangan
tersebut telah terjadi sejak abad ke-3 karena adanya pembataian Khilafah
Abbasiyah terhadap mereka, atau karena mereka memberontak terhadap
khilafah. Dengan demikian telah terjadi perkawinan antara kedua mazhab
tersebut, dan Syiah telah menyadur pemahaman Mu‟tazilah. Mereka bertahan
dengan menggunakan mantiq mereka sendiri yang mereka jadikan sebagai
dalil bagi madzhab mereka (2001: 116).
Kelompok Syiah bahkan berpendapat dan berkeyakinan bahwa hukum
keimamahan bukan hanya wajib, bahkan merupakan salah satu fondasi
keimanan, fondasi syariat, dan sendi agama. Mereka berpendapat imamah
merupakan unsur terpenting dalam beragama Islam, sebagaimana beriman
kepada Allah, Rasul-Nya dan kitab-Nya. Hal tersebut dapat disimpulkan
dalam aqidah Syi‟ah, imamah termasuk dalam rukun iman dalam agama
Islam (2001: 126).
Terlepas dari berbagai perbedaan madzhab tersebut, pada dasarnya
manusia diberi amanah oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk memilih seorang
pemimpin untuk mereka. Maka demi menjaga kepentingan syariah dan umat
Islam, seharusnya masalah khilafah ini harus benar-benar diperhatikan oleh umat
Islam sendiri. Karena pemimpin non-muslim tidak akan pernah bisa menjamin
keberlangsungan hukum Islam itu sendiri.
96
2. Kriteria Khalifah
Tidak semua orang layak untuk menjadi seorang imam atau khalifah.
Karena hal tersebut merupakan jabatan dengan amanah yang sangat besar.
Seorang khilafah harus memiliki syarat dan kriteria tertentu yang dianggap
mampu mengemban tugas sebagai pemimpin.
Said Hawwa (2002: 71) menjelaskan khalifah harus memiliki syarat dan
kriteria-kriteria tertentu yaitu; pertama, harus beragama Islam karena tugas
utamanya menegakan syariat Islam sehingga tidak pantas jika diserahkan pada
non Muslim. Kedua, laki-laki karena kodrat seorang wanita berbeda dengan laki-
laki. Ketiga, seorang khalifah harus sudah akil dan baligh. Keempat, seorang
khalifah harus berilmu terutama pengetahuan tentang keislaman. Kelima, seorang
khalifah harus bersifat adil karena khalifah merupakan kedudukan yang tinggi
sehingga memerlukan sifat keadilan dalam menghadapi berbagai perkara-perkara
umat. Keenam, cukup mampu karena seorang imam haruslah mampu memimpin
manusia dan menggerakannya serta mampu mengendalikan managemen dan
politik. Ketujuh, seorang khalifah tidak boleh cacat mental, serta indera seperti
buta, tuli, dan lainnya sebagainya. Kedelapan, jumhur ulama mensyaratkan
seorang imam harus berasal dari orang Quraisy namun syarat ini masih
diperselisihkan oleh para ulama.
Ibnu Khaldun (2012: 342) juga menetukan kriteria-kriteria seseorang yang
dapat menduduki jabatan khalifah. Pertama, berilmu pengetahuan sebab khalifah
bertanggung jawab menerapkan hukum-hukum Islam, menurut Ibnu Khaldun
orang yang berilmu sudah mencapai tingkatan mujtahid. Kedua, memiliki sifat
adil. Ketiga, berkompetensi untuk mengemban amanah sebagai khalifah.
97
Keempat, sehat jasmani dan rohani. Keempat syarat tersebut berpengaruh pada
pengambilan keputusan dan pelaksaan tugas serta kewajiban. Kelima, memiliki
garis keturunan dari suku Quraisy.
Adapun menurut Al-Mawardi (2000: 17), orang yang berhak dicalonkan
sebagai kepala negara harus memenuhi tujuh syarat. Pertama, keseimbangan (al-
„adalah) yang memenuhi semua kriteria. Kedua, memiliki ilmu pengetahuan yang
memadai untuk ijtihad untuk berbagai kejadian yang ada dan untuk mebuat
kebijakan hukum. Ketiga, memiliki panca indera yang lengkap dan sehat, baik
dari penglihatan, pendengan, lidah dan sebagainya, sehingga inderanya dapat
merespon dengan benar dan tepat. Keempat, tidak ada kekurangan anggota
tubuhnya yang menghalangi untuk bergerak. Kelima, visi pemikirannya baik agar
dapat mewujudkan kemaslahatan rakyat. Keenam, mempunyai keberanian yang
memadai untuk melindungi rakyat dan memerangi musuh. Ketujuh, berasal dari
keturunan Quraisy.
Berbeda dengan ketiga tokoh teserbut, Hasan Al-Banna hanya
memberikan penjelasan kriteria khalifah secara umum tanpa menyebutkan nasab
Quraisy di dalamnya. Kriteria-kriteria tersebut adalah pertama, seorang khalifah
harus beragama Islam seperti perkatannya bahwa pemerintahan Islam adalah
pemerintahan yang anggotanya terdiri dari kaum muslim. Kedua, tidak melakukan
maksiat secara terang-terangan. Ketiga, konsisten menerapkan hukum serta ajaran
Islam. Keempat, mempunyai rasa tanggung jawab, rasa kasih sayang terhadap
rakyat dan adil. Kelima, tidak tamak terhadap kekayaan negara (Al-Banna, 2013:
304).
98
Kriteria dan syarat calon khalifah harus keturunan Quraisy masih
diperdebatkan oleh para ahli. Jumhur ulama mendasarkan syarat Quraisy ini
kepada kesepakatan para sahabat. Abu Bakar pada peristiwa Tsaqifah
mengemukakan alasan bahwa imam-imam itu dari kaum Quraisy kepada
golongan Anshar yang ingin membaiat Sa‟ad bin Ubaidah, maka adilah kalau
mereka menuntut imamah. Ketika itu orang-orang Anshor berkata “Dari kami ada
Amir dan dari kalian ada Amir”. Tetapi akhirnya mereka menerima dengan rela
ucapan Abu Bakar, “Kami Amir dan kalian wazir-wazirnya” (Hawwa, 2002: 76).
Namun, ketika kaum superioritas kaum Quraisy mulai melemah akibat
kemewahan hidup dan segala kenikmatannya membuat mereka tidak mampu
memegang kendali dan tugas kekhilafahan. Sehingga menjadi pertimbangan oleh
para ulama hingga mereka berpendapat bahwa memiliki garis keturunan Quraisy
tidak termasuk kriteria lagi (Khaldun, 2012: 344).
Berbeda dengan jumhur ulama, golongan Khawarij dan Mu‟tazilah tidak
mensyaratkan seorang imam harus Quraisy. Orang yang berhak memangku
jabatan khalifah ini adalah orang yang mampu menegakkan hukum Islam, tidak
peduli apakah seorang Arab maupun bukan Arab (Hawwa, 2002: 77).
Ibnu Khaldun memberikan penjelasan mengenai hikmah dengan
disyaratkannya sorang khalifah harus bernasab Quraisy, yaitu agar khalifah yang
diangkat berusaha menjaga kesatuan umat dan kesatuan pendapat umat agar
terhindar dari perselisihan dan tetap menaati khalifah. Hal tersebut disebabkan
karena suku Quraisy merupakan suku yang terhormat dengan jumlah anggota
yang memiliki anggota dan fanatisme yang banyak, dengan begitu seluruh suku
99
bangsa Arab mengakui kemuliaan, kewibawaan, dan menyegani khalifah. Dengan
demikian mudahlah tercapai suatu kesatuan dan persatuan (Khaldun, 2012: 346).
Berdasarkan pemikiran Ibnu Khaldun tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa pencantuman kaum Quraisy sebagai syarat kekhalifahan, karena dipandang
sebagai kaum terkuat dan termayoritas. Haknya mendapat jabatan kekhalifahan
akan hilang dengan hilangnya keotoritasan dan kemayoritasannya. Sehingga
Sai‟id Hawwa (2002: 78) menafsirkan syarat Quraisy itu sebagai kaum terkuat
dan mayoritas. Ia juga menjelaskan pendapat mayoritas ulama yang menetukan
Quraisy sebagai syarat kekhalifahan memperbolehkan mengangkat khalifah yang
bukan nasab Quraisy dengan alasan darurat.
Jika dilihat dari sisi historis, seorang khalifah harus bernasab Quraisy
karena pada saat itu suku Quraisy merupakan suku terkuat dan terhormat di
kalangan bangsa Arab. Namun, untuk saat ini mungkin seorang khalifah tidak
diwajibkan harus memiliki nasab Quraisy karena umat Islam pada saat ini sudah
mendunia dan keagungan suku Quraisy hanya berlaku untuk kalangan bangsa
Arab sendiri saat itu.
3. Pemilihan dan Pengangkatan Khalifah
Khalifah dipilih oleh kaum Muslimin. Seorang khalifah atau imam tidak
boleh memaksa kaum Muslimin untuk memilihnya menjadi seorang khalifah.
Jabatan ini harus atas dasar kerelaan kaum Muslimin dengan pemilihan langsung
maupun perwakilan. Sebab, kerelaan dalam masalah ini adalah Hak seluruh kaum
Muslim.
Memilih imam bagi kaum Muslim merupakan urusan yang paling utama.
Oleh karena itu jika pengangkatan imam tanpa menyertakan pendapat umat Islam
100
dipandang tidak sah. Selain itu, seseorang tidak boleh mencalonkan diri untuk
menduduki jabatan tersebut. Sehingga, dalam pemerintahan Islam umat Muslim
lah yang memilih dan mencalonkan seseorang yang mereka hendaki untuk
dijadikan imam. Sistem ini berlaku pada pemilihan empat khalifah yaitu
Khulafa>u’r-ra>syidi>n (Hawwa, 2002:49).
Jika seorang khalifah dipilih dan kemudian dibaiat, berarti seluruh kaum
Muslimin menyetujui kekhalifahannya. Jabatan ini akan terus disandang seumur
hidup, kecuali jika tidak mampu menjalankan tugas-tugas kekhilafahannya atau
menyeleweng dari aturan Islam. Setiap pembangkang dan pemeberontak terhadap
kekhilafahan yang sah maka dipandang sebagai perbuatan yang sesat dan fasik.
Pemberontak disebut dengan istilah bughat atau khawarij. Selain itu seorang
pemimpin boleh meminta kepada rakyat untuk membatalkan baiat jika ia
menghendaki dan melihat ketidaksukaan seseorang terhadap pengangkatan
dirinya, atau jika ia ingin mendapat kepastian kepercayaan seseorang, atau ingin
mengundurkan diri (2002: 52).
Al-Mawardi (2000: 19) menjelaskan bahwa sahnya pengangkatan kepala
khalifah melalui dua cara yaitu dengan dipilih oleh kalangan Ahlu Al-Hilli wa
Aqdi (instituisi yang bertugas memilih calon khilafah) dan dengan penyerahan
mandat dari khalifah sebelumnya. Selain itu Said Hawwa (2002: 78)
menambahkan, pengangkatan resmi menuju pengangkatan khalifah selain melalui
pemilihan Ahlu Al-Hilli wa Aqdi juga harus disertai dengan kesediaan calon
khalifah untuk menduduki jabatan tersebut.
Mengenai pengangkatan kepala negara, Al-Mawardi (2000: 23)
menyatakan tidak boleh mengangkat dua pemimpin dalam satu negara Islam. Jika
101
dua kepala negara diangkat dari satu negara Islam maka kepemimpinan keduanya
tidak sah. Jabatan kepala negara tersebut menurutnya akan jatuh kepada orang
yang paling dahulu dibaiat. Akan tetapi jika akad keduanya terjadi dalam waktu
yang bersamaan akad tersebut batal dan harus dilakukan akad baru.
Dalam pemilihan khalifah terdapat tiga tahap yang harus dilalui,
diantaranya adalah:
a. Tahap pencalonan khalifah
Berhubungan dengan tahap pencalonan khalifah yang baru, khalifah
terdahulu atau salah satu dari Ahlu Ar-Ra‟yi atau sering disebut Ahlu Al-Hilli
wa Aqdi oleh Al-Mawardi mencalonkan khilafah yang layak mengemban
amanah sebagai seorang khilafah atau pemilihan umum umat dan aspirasi
umat (Rais, 2001: 128,176). Seperti halnya para sahabat yang berkumpul
pada hari Tsaqifah, pencalonam Abu Bakar kepada Umar bin Khattab dan
Abu Ubaidah. Kemudian pencalonan Umar bin Khattab kepada Abu Bakar,
setelah keduanya menolak dicanlonkan oleh Abu Bakar. Demikian pula
pencalonan Umar oleh Abu Bakar sebagai gantinya ketika ia menjelang wafat
dan pencalonan enam orang setelah Umar bin Khattab ditikam (Hawwa,
2002: 90).
b. Tahap pemilihan dan penerimaan calon khilafah
Pada tahab ini, Majelis Syura memainkan peranan penting untuk
menentukan pilihan umat tentang orang yang dipandang paling tepat untuk
diterima sebagai khalifah. jika calon yang diajukan lebih dari satu maka
anggota Majelis Syura memilih seseorang saja dari mereka. Namun, jika
hanya ada satu calon khalifah maka tugas Majelis Syura membuat keputusan
102
persetujuan atau penolakan. Misalkan, pemilihan Abdurrahman bin Auf
kepada Ustman bin Affan yang disusul dengan persetujuan seluruh umat
Islam (2002: 91).
Sepatutnya anggota Majelis Syura tidak memilih seseorang yang
menuntut jabatan khalifah atau yang berambisi untuk menjadi pemimpin.
Karena berambisi dalam suatu jabatan dalam Islam merupakan sesuatu yang
tidak disukai. Karena orang yang menginginkan jabatan hanya untuk
dijadikan kebanggaan yang akan menimbulkan kerusakan. Maka dari itu
lebih baik jika orang yang mempunyai ambisi terhadap jabatan khalifah,
permohonan atas jabatan tersebut harus ditolak. Sebab, pada hakikatnya orang
seperti itu lemah dan tidak akan mampu mengamban kewajiban dalam
amanahnya (2002: 93).
c. Tahap pembaiatan
Tahap ini merupakan realisasi dan pembuktian dari tahap sebelumnya.
Pada tahap pembaiatan harus beriringan setelah tahab pemilihan dan
penerimaan calon khalifah. Baiat merupakan tradisi Islam yang dicontohkan
langsung oleh Muhammad Rasulullah. Baiat pertama kali yang dilakukan
oleh kaum Islam adalah baiat aqobah, ketika itu sekitar 70 orang Anshor
berbaiat kepada Muhammad SAW di Mekah (2002: 93).
Ibnu Taimiyah mendiskripsikan pengertian Baiat adalah ikrar atau
sumpah setia yang mempertalikan pemimipin dan masyarakat. Ia menjelaskan
baiat indentik dengan sebuah perjanjian. Sebagaimana layaknya sebuah
perjanjian maka melibatkan kedua belah pihak, disatu sisi pihak pemimpin
dan masyarakat, disisi lain tidak hanya para ulama yang berperan peting
103
dalam proses konsultasi sebelum baiat, akan tetapi semua pihak yang
berpengetahuan, berbakat, berpengaruh, dan mempunyai kekuasaan juga turut
terlibat dalam proses itu (Jidan, 1994: 82).
Jika baiat sudah berlangsung seolah-olah seseorang atau masyarakat
mengadakan kontrak dengan pemimpinnya dengan menyerahkan semua
urusannya beserta urusan umat kepadanya. Tanpa ada keinginan sedikitpun
untuk merebut kekusaan tersebut dan senantiasa taat terhadap semua perintah
pemimimpin baik yang disenangi maupun yang menyusahkan. Ibnu Khaldun
menyerupakan aktivitas baiat dengan aktivitas jual beli, ia berkata, “Dahulu,
jika mereka membaiat seseorang pemimpin dan mengadakan perjanjian
kepadanya, mereka meletakan tangan-tangan mereka (berjabat tangan) yang
memperkuat ikrar tersebut. Maka ikrar ini dinamakan bai‟ah bentuk infinitif
dari ba‟a dan bai‟ah dapat diartikan sebagai jabat tangan (Khaldun, 2012:
372. Rais, 2001: 168).
Arti penting dalam baiat khalifah adalah akan mematuhi hukum Islam,
menegakkan kebenaran dan keadilan dari pihak pemimpin. Akan mematuhi
ketentuan yang yang bait dari Majelis Syura. Pembaiatan akan sempurna jika
dilakukan oleh seluruh mayoritas anggota Majelis Syura yang mewakili restu
seluruh umat manusia. Jika pembaiatan telah dilakukan secara sempurna
maka khilafah telah berdiri secara resmi. Setelah terjadi pembaiatan bagi
pemipin wajib menegakan syariat Islam, sedangkan para anggota Majelis
Syura dan seluruh umat harus mematuhi pemimpin dan berkomitmen atas
baiat yang mereka lakukan.
104
Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang
menunjukan bahwa restu masyarakat yang terungkap dalam baiat menjadi
dasar dalam keabsahan pemerintahan Islam. Karena baiat merupakan hal
yang urgen, maka pelaksaannya harus menjamin kebebasan berpendapat dan
kemungkinan adanya pihak oposisi. Ia juga mengaitkan keabsahan
pemerintah dengan faktor kekuasaan tanpa mengabaikan tujuan-tujuan
pemerintahan. Menurutnya negara maupun khilafah tidak dibentuk oleh pada
ulama, namun ditegakkan oleh kerjasama masyarakat karena kekuasaan
politik tidak dapat tegak tanpa didukung kekuatan fisik. Jadi meskipun
dianggap penting isi baiat tidak cukup untuk mendukung tegaknya lembaga
khilafah, hanya saja baiat sebagai dasar bagi keabsahan penggunaan kekuatan
fisik (Jidan, 1994: 84).
Pemilihan dan pengangkatan khalifah ini nampaknya secara umum mirip
seperti pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi Barat. Akan tetapi, jika
dikaji secara mendalam keduanya berbeda. Karena dalam sistem demokrasi
seseorang yang ambisi pada jabatan diperbolehkan untuk mengajukan diri sebagai
calon pemimpin akan tetapi hal tersebut tidak dilarang dalam hukum Islam.
Seseorang calon khalifah dilarang untuk meminta atau ambisi terhadap jabatan
karena serorang calon khalifah harus dipilih oleh Ahlu Al-Hilli wa Aqdi ataupun
ditunjuk oleh khalifah sebelumnya. Selain itu, dalam demokrasi biasanya kandidat
pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, adapun dalam pengangkatan khalifah
dipilih oleh anggota Majelis Syura yang mewakili umat.
105
B. Khilafah dalam Pandangan Hasan Al-Banna
Hasan Al-Banna merupakan tokoh reformis muslim fenomenal pada abad
ke 20 M. Ia sebenarnya bukanlah seorang pemikir yang menghasilkan gagasan-
gagasan keislamannya melalui konsep teoritis, akan tetapi ia
mengimplementasikan pemikirannya dalam bentuk tindakan dan gerakan.
Gerakannya, Ikhwanul Muslimin telah sukses mendunia sebagai bentuk
presentasi dari hasil pemikirannya. Pandangan Hasan Al-Banna mengenai Islam
yang holistik dan universal, menjadikan Islam sebagai ideologi dalam prinsip
hidupnya dan ideologi dalam gerakannya Ikhwanul Muslimin.
Memang, di era sekarang ini Hasan Al-Banna tidak begitu dikenal sebagai
tokoh Islam yang selalu memproklamirkan sistem khilafah dalam dakwahnya
sepertinya halnya Taqiyyudin An-Nabhani yang sangat dikenal sebagai tokoh
pelopor khilafah melalui gerakannya Hizbut Tahrir. Akan tetapi jika ditinjau dari
sisi historis, Hasan Al-Banna melalui gerakannya Ikhwanul Muslimin lah yang
telah mengawali dan merintis konsep kekhilafahan setelah runtuhnya Khilafah
Turki Utsmani pada tahun 1918 M.
Pemikiran Hasan Al-Banna mengenai Khilafah Islamiyyah, tertulis dalam
risalahnya Mu’tamar Kha>mis pada bab Minhajul Ikhwanul Muslimim dengan
judul Ikhwanul Muslimin wa Khilafah. Dalam risalah tersebut Hasan Al-Banna
mengunggkapkan sikap Ikhwanul Muslimin terhadap khilafah dan hal-hal yang
berkaitan. Ia berkata:
106
Wa baya>nu dzalika anna Al-Ikhwa>na ya’taqidu>na anna Al-Khilafata ramzul-wahdatil-Islamiyyah, wa mazhharul-irtiba>thi baina umamil-Islam. Wa innaha> sya’iratun islamiyyatun yajibu ‘alal-muslimi>na’t-tafakkuru fi> amriha> wal-ihtima>mu bisya„niha>. Wa Al-Khali>fatu mana>thun katsi>run minal-achka>mi fi> di>ni’l-La>hi, wa lihadza> qaddama’s-shachabatu ridhwa>na’l-La>hi ‘alaihim A’n-nazhara fi> sya„niha> ‘alal-nazhari fi> tajhi>zi’n-Nabiyyi wa dafnihi, chatta> faraghu> ila> tilkal-muhimmati wa ithma„annu> ila> inja>ziha>.
“Sebagai penjelasan Ikhwanul Muslimin berkeyakinan bahwa khilafah
adalah lambang kesatuan Islam dan bukti adanya keterikatan antar
bangsa muslim. Ia merupakan identitas Islam yang wajib dipikirkan dan
diperhatikan oleh kaum muslimin. Khalifah adalah tempat rujukan bagi
pemberlakuan sebagian besar hukum agama Allah. Oleh karena itu, para
sahabat lebih mendahulukan penangannnya dari pada mengurus dan
memakamkan jenazah Nabi SAW sampai mereka benar-benar
menyelesaikan tugas tersebut (memilih khalifah)”(Al-Banna, 2013: 259).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui khilafah dalam pandangan
Hasan Al-Banna merupakan simbol persatuan umat Islam antar bangsa dan
negara-negara Islam di berbagai belahan bumi. Sehingga, khilafah wajib
dipikirkan dan dikembalikan oleh umat Islam seluruh dunia, dengan tegaknya
Khilafah Islamiyyah di muka, maka secara otomatis hukum Islam dapat terlaksana
secara maksimal. Akan tetapi, dalam upaya menegakkan khilafah tersebut
memerlukan perjuangan yang panjang dan persiapan yang matang.
Hasan Al-Banna menegaskan, khilafah menjadi tumpuan hukum-hukum
Islam. Ia mengikuti mayoritas ulama bahwa menunjuk atau memilih seorang
imam merupakan kewajiban dan menerangkan hukum keimamahan atau
kekhilafahan tidak memberi ruang bagi keraguan bahwa diantara kewajiban kaum
muslimin adalah memperhatikan dengan berfikir serius dalam urusan khilafah
sejak dikaburkannya tentang kewajiban Khilafah Islamiyyah (Ishaq, 2012: 84).
107
Berdasarkan hal itu, Ikhwanul Muslimin menjadikan penting pemikiran
tentang khilafah dan bekerja keras untuk mengembalikan eksistensinya pada
posisi puncak. Sehingga, upaya untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah
oleh Ikhwanul Muslimin menjadi agenda utama dalam gerakannya. Mereka
meyakini telah melakukan berbagai persiapan yang banyak dan menyeluruh.
Langkah-langkah awal, menurut Hasan Al-Banna yang harus ditempuh
dalam mengembalikan eksistensi khilafah harus didahului oleh: Pertama, harus
ada kerja sama yang sempurna antara bangsa-bangsa muslim dalam bidang
wawasan, sosial, dan ekonomi masyarakat. Setelah itu, membentuk persekutuan
dan koalisi, serta menyelenggarakan berbagai pertemuan. Seperti halnya
pertemuan yang membahas masalah palestina di London yang mengundang
berbagai utusan kerajaan-kerajaan Islam untuk menyerukan kembali hak-hak
bangsa Arab di Palestina. Terakhir, membentuk persekutuan bangsa-bangsa
Muslim yang akan membentuk kondisi yang solid. Jika hal ini dapat diwujudkan
secara sempurna maka akan dihasilkan sebuah kesepakatan untuk menunjuk
seorang imam untuk mengemban amanah dalam sistem Khilafah Islamiyyah (Al-
Banna, 2013: 261. Ishaq, 2012: 85).
Hasan Al-Banna berpendapat, sebelum terbentuknya Khilafah Islamiyyah
harus didahului dengan berdirinya pemerintahan Islam di negara-negara kaum
Muslim. Ketika semua umat memilih pemerintahan Islami untuk mengatur
mereka dengan syariat Islam, kemudian terjadi ikatan kuat antara pemerintah, dan
mematangkan negeri Islam Internasional. Hasan Al-Banna menyebutnya dengan
istilah al-kiya>nu’d-dauli> lil „ummatil-isla>miyyati yang
berarti ‚eksistensi negara untuk seluruh umat”.
108
Seperti yang tercantum dalam rukun amal pada riasalah A’t-ta’li >m.
Dimulai dari perbaikan pribadi, pembentukan keluarga muslim, membentuk
masyarakat muslim, membebaskan negeri dari kekuasaan asing, memperbaiki
pemerintah dengan menjadi pemerintahan Islam, kemudian mengembalikan
eksistensi negara bagi seluruh umat dengan membebaskan negerinya dan
keagungannya, mendekatkan wawasannya dan menghimpun suaranya, sehingga
semua itu mampu mengembalikan khilafah yang hilang dan persatuan dalam
bingkaian Khilafah Islamiyyah (Ishaq, 2012: 84).
Pesan singkat Hasan Al-Banna dalam ‚Risalah Ikhwan di Bawah Bendera
Al-Qur’an‛ menegaskan keinginan terbentuknya ‚Pribadi Muslim, Rumah
Tangga Muslim, Masyarakat Muslim, Pemerintahan Muslim‛. Dengan
terbentuknya pemerintahan Islam dapat menghimpun kaum muslimin dan
mengembalikan tanah air atas kedudukan asing, sehingga dunia menjadi aman
dan damai sebagai wujud presentasi Islam sebagai rahmat seluruh alam (2012:
8\6). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode yang digunakan
Hasan Al-Banna dalam upaya menegakkan khilafah dengan menggunakan metode
Ishla>h yang berarti perbaikan atau reformasi. Ide perbaikan ini disandarkan pada
kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan semangat Islam karena Ikhwanul Muslimin
berpendapat bahwa satu-satunya jalan dalam mengadakan perbaikan adalah
kembali ke ajaran Islam dan menerapkannya secara konsekuen (Al-Banna, 2006:
406). Karena Hasan Al-Banna selalu menegaskan untuk mencapai tujuannya,
Ikhwanul Muslimin menentang cara revolusi dan kekerasan (Al-Banna, 2013:
235).
109
Abdul Mukti telah menganalisis pemikiran Hasan Al-Banna mengenai
sifat khilafah, ia mengatakan bahwa menurut Hasan Al-Banna khilafah bersifat
universal itu, dalam arti perserikatan antar negera Islam, dengan argumennya
bahwa tidak mungkin dapat menyatukan seluruh umat Islam di dunia dalam satu
kekhilafahan, dikarenakan perbedaan kultur, latar belakang wilayah, dan negara-
negara resmi yang telah merdeka. Sehingga konsep khilafah dalam pemikiran
Hasan Al-Banna, dikenal dengan istilah khilafah kolektif. Konsep khilafah
kolektif tersebut mewajibkan negara Islam satu dengan lainnya membentuk
kerjasama antar negara dalam rangka menciptakan Khilafah Islamiyyah yang
resmi dan bersifat Universal (Abdul Mukti, 2009: 92). Jika umat sudah berada di
bawah kekuasaan Khilafah Islammiyyah, maka Hasan Al-Banna mewajibkan
umat Islam harus bersatu di bawah kepemimpinan seorang khalifah atau imam
yaitu kepala negara negeri-negeri Islam dan mengharamkan khalifah tandingan
jika sudah ada Khilafah Islamiyyah yang sah (Ishaq, 2012: 86).
Dengan adanya konsep khilafah kolektif ini, menunjukan bahwa Hasan
Al-Banna juga memperhatikan konsep nasionalisme dan kekuasaan setiap negara-
negara Islam. Namun pandangan nasionalisme Hasan Al-Banna berbeda dengan
pandangan sekuler. Jika nasionalisme yang dimaksud adalah cinta tanah air,
membebaskan tanah air, dan memperkuat masyarakat menurut Hasan Al-Banna
sudah tertanam dalam fitrah manusia (Al-Banna, 2013: 31). Memang salah satu
faktor runtuhnya Khilafah Turki Ustmani merupakan paham nasionalisme yang
dipropagandakan Barat. Akan tetapi Hasan Al-Banna sendiri menolak
nasionalisme sekuler Barat tersebut.
110
Nasionalisme sekuler menurut Hasan Al-Banna adalah rasa cinta tanah air
yang dibatasi oleh batas-batas geografis dan teritorial negara. Seluruh perhatian
kaum nasionalis sekuler hanya tertuju pada kemerdekaan negaranya saja tanpa
memperhatiakan bangsa lain. Adapun nasionalisme yang benar menurut
pandangan Hasan Al-Banna adalah akidah (keyakinan) menjadi batas
nasionalismenya, baginya setiap jengkal tanah yang dihuni muslim juga
merupakan tanah air mereka. Dan tujuan nasionalisme bagi Hasan Al-Banna
adalah untuk mengemban amanah dengan membimbing manusia ke jalan Islam
dan mengibarkan bendera Islam di seluruh Penjuru dunia. Secara aplikatif jika ada
sebuah bangsa muslim ingin memperkuat kuat tanah airnya dengan cara
merugikan bangsa muslim lainnya, maka Hasan Al-Banna tidak membenarkan
rasa nasionalisme yang semacam itu (2013: 36).
Hasan Al-Banna telah menjelaskan dalam risalahnya Muktamar Khamis
bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan thariqat Sunniyah, sehingga pemahaman
Hasan Al-Banna mengenai khilafah tidak jauh berbeda pemahaman mazhab Sunni
(Al-Banna, 2013: 193). Seperti halnya golongan Sunni yang mewajibkan (madhab
al-wujub) penegakkan Khilafah Islamiyyah, Hasan Al-Banna juga berpendapat
bahwa hukum menegakkan Khilafah Islamiyyah merupakan kewajiban bahkan
menjadi agenda utama dalam gerakan dakwahnya, Ikhwanul Muslimin. Seperti
perkataannya dalam risalahnya: ,
Anna min wa>jibil-muslimi>na an yahtammu> bi’t-tafki>ri fi> amri khila>fatihim, yang
memiliki arti “di antara kewajiban kaum muslimin adalah serius memikirkan
masalah khilafah” (Al-Banna, 2013: 260).
111
Mengenai bentuk pemerintahan, Hasan Al-Banna fleksibel dan tidak kaku,
karena baginya tidak terlalu penting mengenai bentuk dan jenis pemerintahan
yang diambil, selama sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam sistem
pemerintahan Islam (Al-Banna, 2013: 260). Namun, harapannya adalah
menerapkan khilafah seperti saat masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafa>u’r-
ra>syidi>n.
Hal ini diperjelas lagi oleh Yusuf Qaradhawi sebagai tokoh Ikhwanul
Muslimin era sekarang, ia menegasakan “Khilafah Islamiyyah yang didirikan
pada zaman ini bisa dibentuk dari beberapa negara yang menerapkan syariah
Islam sesuai dengan kehendak penguasa dan rakyat negara-negara itu. Bentuknya
bisa federasi atau konfederasi. Tidak harus seperti khilafah zaman dulu.” Yusuf
Qaradhawi juga menyebutkan adanya negara besar seperti Cina yang jumlah
penduduknya mencapai 1.5 miliar jiwa. Sedangkan jumlah umat Islam seluruh
dunia mencapai 1.7 miliar. Oleh karena itu, umat Islam sebenarnya bisa
membentuk semacam union. Tapi hal itu menuntut adanya para pemimpin yang
adil, bisa melihat permasalahan dengan realistis, dan bekerja sama dengan
rakyatnya. Mereka itulah orang-orang yang bisa membangun uni negara Islam
tersebut (dakwatuna.com/31/05/2016).
Hasan Al-Banna sendiri juga telah memperhatikan tentang nasionalisme
dan kekuasaan negara-negara Islam dan provinsi juga diakui berdiri sendiri
olehnya sebagai khilafah kolektif. Konsep dari khilafah kolektif tersebut akan
bekerjasama membentuk Khilafah Islamiyyah sehingga bentuk kekhilafahan
dalam konsep Hasan Al-Banna adalah gabungan dari berbagai negeri-negeri Islam
seperti persatuan atau perserikatan bangsa-bangsa muslim (Anshori, 2008: 36).
112
Tindakan nyata yang dilakukan oleh Hasan Al-Banna demi menegakkan Khilafah
Islamiyyah, ia membentuk tim formatur pada tahun 1941 M, untuk merumuskan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang pertama bagi Ikhwanul
Muslimin untuk menopang cita-cita Hasan Al-Banna menuju tegaknya khilafah.
Namun, sangat disayangkan Hasan Al-Banna sudah wafat pada tahun 1949 M,
sebelum merealisasikan cita-citanya tersebut (2008: 17).
Berdasarkan berbagai penjelasan yang dipaparkan sebelumnya, dapat
diketahui bagaimana habitus dalam diri Hasan Al-Banna yang mendasari doxa
(ideologi) dalam kehidupannya. Habitus (skema persepsi dan tindakan) seseorang
terbentuk melalui lingkungan dan perjalan waktu yang ditempuh sehingga
memepengaruhi matrik dari persepsi, apresiasi dan juga tindakan atau perilaku.
Lingkungan terdekat Hasan Al-Banna sangat mempengaruhi habitusnya. Kondisi
lingkungan yang terbentuk dalam keluarga Hasan Al-Banna adalah lingkungan
yang religius, tertutama pengaruh didikan dari ayahnya yang menekankan nila-
nilai Islam ditambah lagi pendidikan formal dari Madrasah Dinniyah hingga
kuliah di Darul-‘Ulum membentuk struktur kognitif dalam diri Hasan Al-Banna
sebagai bekalnya dalam memahami Islam secara subjektif.
Dogama-dogma Islam telah menjadi habitus dalam diri seorang Hasan Al-
Banna. Sehingga, persepsi yang terbentuk dalam diri Hasan Al-Banna akan
cenderung memandang bahwa syariat Islam merupakan hukum yang paling
sempurna dan menjadi solusi bagi kemaslahatan manusia di bumi ini, karena
hukum tersebut bukan berasal dari manusia melainkan dari tuhan Allah SWT.
Pandangannya tidak akan terlepas dari agama dan selalu mengait-ngaitkan
113
peristiwa apapun yang terjadi dengan agama. Begitu pula, apresiasi Hasan Al-
Banna tidak akan terlepas dari habitus yang ada, saat menghadapi masalah dalam
hidupnya, ia akan menjadikan Islam sebagai solusinya, ia akan senantiasa
berikhtiar dan bertawakal kepada Allah SWT jika berada pada batas kemampuan
manusia. Tindakan yang dilakukan Hasan Al-Banna pun akan selalu
diindikatorkan pada aturan agama (red: Islam). Ia akan selalu mempertimbangkan
perbuatan yang dilakukanya, apakah sesuai dengan aturan agama atau bahkan
melanggar agamanya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, pemahaman holistik tentang Islam terbentuk
dalam diri Hasan Al-Banna, ia tidak memberikan perbedaan antara urusan dunia
dan agama, ia menganggap bahwa islam itu menyeluruh. Keuniversalan Islam
tersebut menjadi doxa (ideolog) Hasan Al-Banna karena ia telah menerimanya
begitu saja menjadi kebenaran umum tanpa dipertanyakan lagi. Melalui habitus
(sekama persepsi dan tindakan) tersebut, menyarankan dalam benak Hasan Al-
Banna untuk memikirkan tentang konsep Khilafah sebagai representasi
keuniversalan Islam dan menggerakkan dalam dirinya untuk melakukan tindakan
sebagai upaya tegaknya Khilafah Islamiyyah.
1. Tahapan Ikhwanul Muslimin dalam Penegakan Khilafah
Upaya awal Hasan Al-Banna dalam menegakkan khilafah melalui ishla>h
(perbaikan). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam rukun baiat pada
bagian “Al-„Amal”, Hasan Al-Banna menetapkan tugas kepada anggota Ikhwanul
Muslimin untuk melakukan ishla>h, sehingga cita-cita menegakkan Khilafah
Islamiyyah dapat terealisasi. Adapun tahapan-tahapan amal yang harus dilakukan
114
oleh anggota Ikhwanu Muslimin dalam rangka melakukan ishla>h diantaranya
adalah:
a. Ishla>h A’n-Nafs
Tahapan pertama yang harus dilakukan anggota Ikhwanul Muslimin
adalah ishla>h a’n-nafs, yaitu dimulai dari meperbaiki diri pribadi sehingga
akan menjadi kuat fisiknya, berakhlak mulia, sopan, beraqidah lurus, dan
beribadah sesuai ajaran Nabi Muhammad. Juga selalu melakukan mujahadah
terhadap dirinya sendiri, selalu memperhatikan waktunya, teratur urusannya,
dan bermanfaat bagi orang lain.
b. Ishlah Al-Bait Al-Muslim
Tahapan yang kedua meningkat berawal dari pribadi kemudian
membentuk keluarga muslim. Upaya membentuk keluarga muslim yaitu
dengan mengkondisikan keluarga agar menghargai setiap pemikiran
(Ikhwanul Muslimin), memelihara etika Islam dalam setiap aktivitas
kehidupan rumah tangga, baik dalam memilih istri dan memposisikan istri
sesuai hak dan kewajibannya, baik dalam mendidik anak-anak serta
membimbing mereka dengan dasar-dasar Islam. Rumah tangga muslim harus
beranggotakan orang-orang yang berpegang teguh kepada penampilan Islami.
Seperti seorang wanita muslimah, hendaknya berpakaian rapi yang menutup
auratnya.
c. Ishla>h Al-Mujtama’
Tahap selanjutnya adalah membimbing masyarakat dengan menyerukan
kepada kebaikan dan memerangi berbagai perilaku maksiat dan
kemungkaran. Selalu menumbuhkan karakteristik Islam ditengah-tengah
115
masyarakat umum dan menumbuhkan akhlak-akhlak mulia sebagai bentuk
presentasi dari agama Islam. Berusaha memmbentuk akal pikiran, hati, dan
perilaku masyarakat yang Islami. Saling menasehati satu sama lain dengan
menegakkan amar ma‟ruf nahi mungkar. Dan yang paling penting adalah
membangun silahturahmi antar masyarakat.
d. Tahrir Al-Wathan
Kondisi Mesir saat Hasan Al-Banna melakukan dakwah di sana, berada
pada kekuasaan kolonial Inggris. Sehingga ia berpendapat bahwa tahapan
yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan memerdekakan tanah air.
Setiap anggota harus berusaha membebaskan tanah airnya dari penguasa
asing nonmuslim, baik melakukan perlawanan secara politik, ekonomi
maupun mental. Sehingga negara Muslim bisa mendapatkan kembali
kedaulatannya baik dalam bidak politik, ekonomi, serta sosial budaya.
Sebagai anggota yang berideologikan ajaran Islam harus menolak pemikiran-
pemikiran yang bertentangan dengannya, seperti kapitalisme, komunisme,
dan lain-lain.
e. Ishla>h Al-Chuku>mah
Tahap selanjutnya adalah membenahi pemerintahan agar hukum-hukum
Islam dapat berlaku didalamnya. Dengan begitu pemerintahan dapat
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pelayan umat dan bekerja untuk
kemaslahatan masyarakat. Jadi perbaikan pemerintahan yang di ingikan oleh
Hasan Al-Banna adalah menjadikan pemerintahan menjadi Pemerintahan
Islam. Ia berpendapat bahwa pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang
anggota-anggotanya terdiri dari kaum muslimin dengan menerapkan hukum
116
Islam dan melarang segala laranganya. Hasan Al-Bana juga membolehkan
memimilih atau meminta bantuan nonmuslim apabila dalam keadaan yang
darurat dan tidak menempati pada jabatan-jabatan yang utama. Menurutnya
nonmuslim juga berhak menunaikan hak dan kesepakatan politik dan
sederajat dengan kaum muslim kecuali pada kepemimpinan puncak.
Mengenai bentuk pemerintahan Hasan Al-Banna tidak terlalu kaku
dalam menetapkan pemerintahan Islam harus berbentuk seperti. Baginya
tidak terlalu penting mengenai bentuk dan jenis pemerintahan yang diambil,
selama sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam sistem pemerintahan Islam.
f. Iqa>mah Al-Khila>fah Al-‘A>mmah
Tahap selanjutnya adalah menegakan khilafah dalam jangkauan
internasional. Berkaitan dengan hal ini, Hasan Al-Banna berpendapat bahwa
semua negara Islam harus terbebas dari cengkraman asing. Dengan wilayah
yang bebas dari Asing maka memungkinkan untuk mendirikan Negara Islam
(Daulah Islam). Ia berkata: “Dalam rangka mengembalikan eksistensi
kenegaraan, bagi umat Islam harus memerdekakan negeri-negerinya,
menghidupkan kembali kejayaannya, dan menyatukan kata-katanya sehingga
itu semua dapat mengembalikan khilafah yang telah hilang dan persatuan
yang diidam-idamkan.” Menurut Hasan Al-Banna semua itu merupakan
kewajiban yang telah diabaikan oleh umat pada saat itu.
g. Ustadziyatul ‘Alam
Ustadziyatul ‘Alam memiliki pengertian penegakan kepemimpinan
dunia sebagai kepeloporan internasional. Tahap terakhir ini merupakan ciri
khas dari gerakan Ikhwanul Muslimin. Banyak gerakan Islam dalam konsep
117
gerakannya, berhenti pada tahap pendirian khilafah. Berbeda dengan gerakan
lainnya, pada gerakan Ikhwanul Muslimin setelah pendirian Khilafah
berupaya untuk menjadikan peradaban Islam sebagai pusat peradaban dunia
dengan cara menyebarkan dakwah Islam keseluruh penjuru dunia. Sehingga
Islam dapat dimenangkan atas segala agama dan dapat membimbing manusia
sedunia dan negara-negara diluar pemerintahan Islam untuk menjalankan
amar ma‟ruf nahi mungkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran)
(Al-Banna, 2013: 302-306).
2. Strategi Hasan Al-Banna Menuju Khilafah Islamiyyah
Strategi yang telah dilakukan hasan Al-Banna dalam mencapai Khilafah
Islamiyyah terdapat dualisme orientasi dalam fatwa-fatwanya. Pada satu sisi ia
mengambil langkah damai seperti pada perjuangannya melalui institusi-institusi
yang memberikan pelayanan masyarakat. Tetapi pada sisi lain, juga mengambil
langkah-langkah militeristik, seperti pembentukan pasukan khusus bersenjata dan
dinas rahasia (Anshori, 2008: 28).
a. Strategi Melalui Perdamaian
Strategi yang digunakan Hasan Al-Banna dalam mencapai terbentuknya
Khilafah Islamiyyah adalah dengan memberikan komando dakwah kepada
anggota Ikhwanul Muslimin, yang terdiri dari empat tahapan yaitu;
Pertama, al-da’wah al-‘a>mmah yang berarti dakwah secara umum.
Tujuannya adalah mendidik umat, mengajak kepada kebaikan, meluruskan
tradisi yang rusak, meluruskan cara berfikir, menebarkan semangat jihad dan
berakhlaq mulia, serta melarang pada kemungkaran. Adapun cara
penyampaian al-da’wah al-‘a>mmah diantaranya melalui kajian, diskusi,
118
pamflet. Selain itu juga memilih anggota Ikhwanul Muslimin yang
memenuhi kriteria untuk mengemban tugas jihad dan persatuan dengan
kelompok-kelompok cabang dalam berbagai bidang. Dan al-da’wah al-
‘a>mmah juga dapat disampaikan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan
sosial seperti membangun masjid, sekolahan, dan fasilitas umum lainya
(2008: 31).
Dalam dakwah ini, Ikhwanul Muslimin menegaskan menjauhi partai
politik, tidak berniat menyaingi partai politik, dan tidak mempunyai
hubungan dengan para politisinya. Pelaksanaan pada dakwah ini berlangsung
selama sepuluh tahun yaitu dari tahun 1928 M sampai dengan 1938 M.
selama periode tersebut Ikhwanul Muslimin memiliki kantor pusat dan
kantor perwakilan di setiap tempat. Mempunyai corong dakwah dalam
berbagai bahasa sehingga misi dakwah menyebar dengan cepat. Lebih dari
300 lembaga cabang dari Ikhwanul Muslimin siap bekerja sama
menyebarkan agenda dan konsep organisasi yang dapat ditransmisikan
secara cepat. Hal demikian menjadikan gerakan Ikhwanul Muslimin
berkembang sabgat cepat dalam waktu yang relatif singkat.
Kedua, al-dakwah al-kha>shssah (dakwah secara khusus), tujuannya
adalah menyampaikan misi dakwah organisasi kepada para pejabat,
pemimpin negara, panglima, menteri, birokrat, anggota parlemen, dan para
tokoh partai politik. Dalam dakwah ini, Ikhwanul Muslimin mengajak mereka
kembali kepada jalan Islam dengan metode dakwah Ikhwanul Muslimin,
mengenalkan progam-progam Ikhwanul Muslimin, dan meminta untuk
menjalankan hukum Islam di Mesir. Jika pemerintahan Mesir mau
119
menerapkan syariat Islam setelah mendapatkan dakwah dari Ikhwanul
Muslimin, maka Ikhwanul Muslimin akan menjadi pendukung utama
pemerintahan. Akan tetapi jika pemerintah Mesir menggunakan sistem
sekuler, maka Ikhwanul Muslimin akan menjadi oposisi utama pemerintahan
(2008: 33).
Cara penyampaian dalam al-dakwah al-kha>shshah adalah dengan
menyebarkan misi dakwah organisasi dan perbaikan sosial kemasyarakatan,
melakukan kaderisasi dengan mendidik agar loyal pada konsep Ikhwanul
Muslimin, mengupayakan sistem bermasyarakat dan bernegara secara Islam,
dan berperan aktif dalam masyarakat, lembaga-lemabaga negara, parlemen
dan sebagainya. Tujuan berperan aktif dalam lembaga negara adalah
memberikan gambaran terhadap sistem-sistem yang berlaku kemudian
mengkomparasikannya dengan sistem Islam. Setelah itu merekomendasikan
kepada pemerintahan untuk melakukan perbaikan terhadap sistem-sistem
yang berjalan agar sesuai dengan Islam. Pelaksanaan dakwah ini dimulai
sejak tahun 1938 M sampai 1947/ 1948 M. Bagi gerakan Ikhwanul Muslimin
masa ini dimulai dengan penentuan para pengurus organisasi secara lengkap
dengan kesatuan kepengurusan yang bernama Lajnah Al-Arba’in atau komisi
empat puluh (2008: 34).
Ketiga,iqa>mah a’d-daulah yang berarti pendirian negara Islam. Dalam
hal ini Ikhwanul Muslimin berupaya untuk memperbaiki sistem pemerintahan
yang berdiri tanpa harus melakukan pemberontakan, perlawanan, dan kudeta
terhadap pemimpinnnya. Namun, Hasan Al-Banna sendiri belum sempat
120
menyelesaikan tugasnya dalam mendirikan negara Islam karena ia telah wafat
dalam tragedi penembakan pada 12 Februari 1949 M (2008: 35).
Keempat,Iqa>mah al-khila>fah al-isla>miyyah al-‘a>mmah yang berarti
pendirian Khilafah Islamiyyah secara global. Berkaitan dengan hal ini, Hasan
Al-Banna hanya memberikan penjelasan mengenai teori khilafah karena
sebelum pelaksanaan ia telah wafat terlebih dahulu. Teorinya menjelaskan
bahwa apabila berdiri pemerintahan-pemerintahan Islam, maka secara
otomatis bangsa-bangsa Islam akan saling kerja sama membantu dalam
berbagai bidang seperti sosial budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Bangsa-bangsa muslim tersebut akan membentuk persyarikatan atau koalisi
yang diawali dengan koferensi-koferensi internasional negara-negara Islam.
Maka, berawal dari koferensi tersebut akan terbentuk sebuah “Perserikatan
Umat Islam Dunia” seperti halnya PBB (Peserikatan Bangsa-Bangsa) pada
era sekarang. Apabila telah terbentuk perserikatan muslim tersebut maka
akan terjadi kesepakatan untuk memilih seorang khalifah atau pemimpin yang
akan menjadi penengah, simbol pemersatu, dan otoritas kekhilafahan tertinggi
(2008: 36)
b. Strategi Secara Militeristik
Selain menggunakan strategi secara damai, Hasan Al-Banna juga
mengambil langkah-langkan militeristik. Akan tetapi bukan berarti melalui
militeristik, Hasan Al-Banna menggunakan cara-cara kekerasan dan revolusi
dalam upayanya menegakkan Khilafah Islammiyah.
Pada tahun 1940 Hasan Al-Banna membentuk satuan khusus pasukan
rahasia yang dinamakan Nidzam Khas (pasukan khusus). Yang terdiri dari
121
kader Ikhwanul Muslimin yang memiliki kriteria khusus seperti berbadan
kuat, sanggup menjaga rahasia dan lain sebagainya. Tujuan didirikannya
pasukan ini adalah melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga
pasukan ini mengambil sikap total anti Barat dan anti kolonial (Syamakh,
2011: 72). Hasan Al-Banna berpendapat bahwa untuk menghadapi penjajah
dalam upaya memerdekakan negara Mesir, sama sekali tidak dapat dilakukan
dengan perundingan melaikan denga jihad dan cara-cara lain yang legal
(Anshori, 2008: 39).
Hasan Al-Banna menyadari bahwa masalah yang dihadapi palestina
adalah konspirasi internasional yang didalamnya terdapat berbagai pihak.
Semua itu membutuhkan kekuatan untuk membebaskan bumi Palestina.
Sehingga ia mengirimkan Nidzam Khas untuk membantu perjuangan
palestina pada tahun 1947 M (2008: 38).
Berdasarkan penjelasan tersebut pembentukan Nidzam Khas ini
ditujukan kepada para penjajah untuk melakukan pembebasan negeri Mesir
saat itu. Sehingga ketika suatu bangsa merdeka dari tekanan penjajah maka
iqa>mah a’d-daulah dapat direalisasikan dan upaya menuju tegaknya khilafah
semakin nyata. Karena Hasan Al-Banna selalu menegaskan untuk mencapai
tujuannya, Ikhwanul Muslimin menentang cara revolusi dan kekerasan.
Tentunya hal tersebut menunjukan Ikhwanul Muslimin tidak akan melakukan
tindakan kekerasan terhadap pemerintahan yang resmi. Ikhwanul Muslimin
hanya melakukannya dengan cara-cara Isla>h atau perbaikan (Al-Banna, 2013:
235).
122
Seperti yang sudah dijelaskan tujuan Hasan Al-Banna mendirikan
Nidzam Khas adalah untuk melaksanakan tugas khusus untuk berperang
melawan Inggris dan Zionisme. Untuk itu ketika pasukan khusus ini mulai
terjadi penyimpangan yang dilakukan pemimpinnya, Hasan Al-Banna telah
membubarkannya. Hingga penerusnya setelah ia wafat, Hasan Hudaibi juga
menyempurnakan pembubaran Nidzam Khas ini (Syamakh, 2011: 74)
Sebelumnya, telah diuraikan mengenai habitus yang terbentuk dalam diri
Hasan Al-Banna. Habitus adalah skema persepsi dan tindakan seseorang
terbentuk melalui lingkungan dan pengalaman. Habitus sangat berkaitan erat
dalam posisi sosial tertentu dalam sebuah field (arena perjuangan), dalam
pengertian Bourdieu sebuah arena sosial di mana orang bermanuver dan berjuang
dalam mengejar sumber daya yang didambakan. Habitus dalam diri Hasan Al-
Banna, mendorongnya untuk berjuang (melalui Ikhwanul Muslimin) merebutkan
posisi sosial tertentu dan demi memperoleh akses yang dekat dengan hirearki
kekuasaan. Arena-arena perjuangan Ikhwanul Muslimin, diantaranya yaitu; arena
berbasis instittusi (seperti kampus) dan komunitas dalam masyarakat umum
melalui al-da’wah al-‘a>mmah, dan lembaga pemerintahan (birokrasi) melalui al-
dakwah al-kha>shssah dan Nidzam Khas.
Dalam field ini, terdapat berbagai habitus sehingga habitus-habitus
tersebut saling bertemu dan saling bertarung untuk mendapatkan pengaruh dan
mendominasi. Proses interaksi dengan pihak luar (habitus lain) menyebabkan
terbentuknya jaringan relasi posisi objektif dalam diri Hasan Al-Banna. Sebagai
ilustrasinya; Hasan Al-Banna yang lahir dari keluarga Islam fanatik, awalnya
memiliki habitus bahwa ia seorang yang fundamentalis, dengan kemudian ia
123
belajar sampai tingkat universitas yang terdiri dari masyarakat yang multikultur,
belajar memahami perbedaan saat bersinggungan dengan habitus-habitus lain.
Maka hal tersebut akan meningkatkan pola pikir Hasan Al-Banna, seperti halnya
dalam konsep khilafah kolektif, ia tidak hanya memperhatikan sisi agama saja
tetapi ia juga memperhatikan aspek kultural dalam setiap bangsa sehingga ia
mengusulkan konsep tersebut dalam pandangannya mengenai Khilafah
Islammiyyah. Selain itu Hasan Al-Banna juga tidak terlalu kaku dalam
menentukan bentuk kekhilafahan, karena baginya tidak terlalu penting mengenai
bentuk dan jenis pemerintahan yang diambil, selama sesuai dengan kaidah-kaidah
umum dalam sistem pemerintahan Islam.
3. Sarana-sarana Menuju Khilafah Islamiyyah
Jika kita berbicara tentang Ikhwanul Muslimin, berarti kita juga akan
membahas tentang tarbiyah. Hasan Al-Banna bersama Ikhwanul Muslimin
mencanangkan idealisme yang demikian tinggi untuk mengembalikan kejayaan
Islam dan menegakkan khilafah. Tetapi untuk menuju kesana menurutnya hanya
bermodal pada kualitas personal terutama pemuda. Sehingga jalan satu-satunya
adalah mentarbiyah (mendidik) mereka. Akhirnya tarbiyah menjadi jargon utama
dan “trade mark” bagi jamaah Ikhwanul Muslimin (Anis Matta dalam Mahmud,
2011: 6).
Adapun, pengertian Tarbiyah Islamiyyah adalah proses penyiapan manusia
yang shalih, agar tercapai suatu keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan, dan
tindakannya secara keseluruhan (2011: 25). Pada dasarnya Tarbiyah Islamiyyah
ini ingin membentuk kualitas pribadi, keluarga, dan masyarakat yang unggul
dalam rangka ishla>h pada tahap awal.
124
Diantara salah satu tujuan Tarbiyah Islamiyyah ini adalah tegaknya
khilafah di bumi ini (2011: 27). Sehingga sarana-saran dalam tarbiyah Ikhwanul
Muslimin berperan penting dalam menuju kembalinya kekhilafahan Islam secara
khusus dan kembalinya kejayaan Islam di muka bumi secara umum. Sarana-
sarana tersebut adalah:
a. Usrah
Usrah secara bahasa berarti keluarga. Adapun secara umum
pemahaman Ikhwanul Muslimin mengenai usrah adalah pondasi pertama
dalam bangunan gerakan dan perkumpulan kader yang jumlahnya sedikit.
Usrah juga sebagai landasan bagi pembentukan kepribadian anggota dan
perangkat paling penting untuk mentarbiyah kader secara integral (2011:
123). Usrah juga dapat dikatakan sebagai wadah perlindungan yang kokoh
bagai kader Ikhwanul Muslimin. Dalam konteks keanggotaan, sistem usrah
seperti keluarga dan kerabatnya. Terlebih lagi, usrah dijadikan wadah untuk
saling mengenal, memahami, dan saling menanggung. Selain itu usrah juga
membebankan beberapa kewajiban finansial karena setiap usrah memiliki kas
yang diisi dengan iuran para anggotanya dan dibelanjakan untuk kepentingan
usrah, Ikhwanul Muslimin, dan umat (2011: 126)
b. Katibah
Katibah merupakan sebuah agenda bersama yang diadakan oleh
perkumpulan dari beberapa usrah. Katibah secara bahasa bermakna pasukan.
Katibah menurut Ikhwanul Muslimin memiliki pengertian yang bersifat
gerakan, karena dengan katibah tersebut anggota-anggota Ikhwanul Muslimin
berlatih hidup bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Dalam agenda
125
katibah ini bertumpu pada tarbiyah rohani, penyucian jiwa, melawan hawa
nafsu dan melawan berbagai godaan. Kegiatan yang dilakukan dalam katibah
ini semacam bermuhasabah diri, beristigfar, dan berbagai training (2011:
250).
c. Richlah
Richlah merupakan perangkat tarbiyah yang bersifat kolektif
sebagaimana katibah. Apabila usrah dan katibah merupakan perangkat
tarbiyah yang fokus pada hal ruhani, maka richlah adalah perangkat tarbiyah
yang lebih memperhatikan kepada aspek fisik. Richlah menurut Ikhwanul
Muslimin sangat penting untuk menciptakan iklim sosial antar kader yang
dipandu oleh nilai-nilai Islam dan kedisiplinan secara fisik (2011: 280).
d. Mukhayam
Hasan Al-Banna melihat bahwa jihad harus dimunculkan dalam bentuk
yang kongkret, yakni menyiapkan para pemuda di kelompok kepanduan. Saat
itu di Mesir tidak mengizinkan pembentukan kelompok militer, kecuali
sekedar grub yang aktivitasnya berdekatan dengan itu, yakni kepanduan.
Kepanduan itu pun harus menginduk kepada kepanduan nasional Mesir.
Sehingga, Imam Muasis mencari argumentasi agar kelompok ikhwan dapat
bergabung dengan kepanduan nasional tersebut. Sejak saat itu Ikhwanul
Muslimin memiliki grup kepanduan yang berafiliasi kepada kepanduan
nasional. Ikhwanul Muslimin berpandangan kritis terhadap kepanduan
nasional tersebut, mereka berusaha mengubah hal-hal yang dipandang
bertentangan dengan Islam (2011: 298). Jadi, mukhayan ini merupakan
126
perangkat tarbiyah yang berupa pelatihan kader melalui pendekatan seperti
militer.
e. Daurah
Dinamakan daurah oleh Ikhwanul Muslimin karena perangkat tarbiyah
ini merupakan aktivitas belaka, yakni dilaksanakan pada setiap waktu tertentu
secara rutin. Daurah merupakan aktivitas yang mengumpulkan sejumlah
ikhwan yang relatif banyak di suatu tempat untuk mendengarkan ceramah,
kajian, penelitian, dan pelatihan tentang suatu masalah dengan mengangkat
tema tertentu yang dirasa penting saat itu. Daurah merupakan perangkat
tarbiyah yang sering dipergunakan oleh Ikhwanul Muslimin dengan maksud
meningkatkan kadar wawasan dan pelatihan pada diri anggota Ikhwanul
Muslimin baik secara individu maupun pemimpin, untuk kepentingan
aktivitas gerakan dan dakwah (2011: 323).
f. Nadwah
Nadwah berarti suatu majelis di mana banyak orang yang diundang
untuk berkumpul disekelilingnya, nadwah juga berarti sekumpulan orang
untuk melakukan kajian atau musyawarah untuk suatu urusan. Ikhwanul
Muslimin mengenal nadwah dengan istilah kekinian yaitu, berarti sebuah
pertemuan yang menghimpun sejumlah pakar spesialis untuk mengkaji suatu
tema ilmiah, dimana setiap mereka memberikan pendapatnya dengan
argumentasi dan bukti-bukti. Dalam nadwah tersebut Ikhwanul Muslimin
mengundang para ulama, pakar, spesialis untuk membahas persoalan tertentu
baik dari dalam gerakan atau orang luar yang tidak memiliki hubungan
dengan Ikhwanul Muslimin. Yang dilontarkan dalam nadwah untuk dikaji
127
adalah persoalan yang memiliki urgensi khusus bagi kaum muslimin atau
bagi aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin (2011: 336).
g. Muktamar
Muktamar secara bahasa adalah tempat untuk bermusyawarah atau
suatu forum untuk bermusyawarah mengkaji suatu persoalan. Muktamar
merupakan perangkat tarbiyah pada Ikhwanul Musllimin yang biasanya
membahas misi-misi kedepan dalam mencapai cita-cita. Muktamar dilakukan
Ikhwanul Muslimin secara periodik, di masa kepemimpinan Hasan Al-Banna
muktamar sudah dilakukan enam kali pertemuan (2011: 351).
Tarbiyah ini diprogramkan untuk setiap anggota Ikhwanul Muslimin.
Kader-kader Ikhwanul Muslimin tentu pada awalnya sesorang yang memiliki
habitus (skema persepsi dan tindakan) yang berbeda dengan Hasan Al-Banna.
jadi mereka adalah orang-orang yang terpengaruhi oleh habitus tokoh-tokoh
sebelumnya (senior) dalam sebuah arena perjuangan (field). Seperti teorinya
Bourdieu terdapat semacam aturan dalam setiap field yang disebut sebagai
kekerasan simbolik (symbolic violence), di mana kekerasan tersebut bersifat
sangat halus sehingga tidak disadari. Sehingga, menurut hemat penulis perangkat-
perangkat tarbiyah Ikhwanul Muslimin dari usrah hingga muktamar merupakan
contoh dari symbolic violence, karena secara halus Ikhwanul Muslimin (red:
Hasan Al-Banna dan pelopor Ikhwan lainnya) memaksa kader-kadernya untuk
menerima rumusan atau konsep pemikiran mereka dan para kader tersebut
dibentuk sesuai dengan progam-progam pemikirannya. Pemikiran maupun
program yang diterima begitu saja ini juga merupakan bentuk konkret dari doxa.