bab ii tinjaun pustaka a. tinjauan umum tentang...

28
13 BAB II TINJAUN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Kekuasaan Kehakiman Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945. Menurut Philipus M. Hadjon dkk., kedua pasal tersebut mengandung tiga kaidh hukum, yaitu: 1. Bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh badan-badan kehakiman (peradilan) yang berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung; 2. Bahwa susunan dn kekuasaan kehakiman itu akn diatur lebih lanjut; 3. Bahwa syarat-syarat untuk menjadi hakim, demikian pula pemberhentiannya juga akan diatur lebih lanjut. 4 Dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 dikemukakan “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.” Dari penjelasan tersebut nyatalah bahwa kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Hal ini juga dicantumkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa: Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 4 Philipus M. Hadjon. 2011. Pengantar Ilmu Hukum administrasi Indonesia (Intoduction To The Indonesian Administrative Law) Cet. Ketujuh. Yogyakarta. Gajah Mada uniiversity Press. Hal.93.

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 13

    BAB II

    TINJAUN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum tentang Kekuasaan Kehakiman

    Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24

    dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945. Menurut Philipus M. Hadjon dkk.,

    kedua pasal tersebut mengandung tiga kaidh hukum, yaitu:

    1. Bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh badan-badan kehakiman (peradilan) yang berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung;

    2. Bahwa susunan dn kekuasaan kehakiman itu akn diatur lebih lanjut; 3. Bahwa syarat-syarat untuk menjadi hakim, demikian pula

    pemberhentiannya juga akan diatur lebih lanjut.4

    Dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945

    dikemukakan “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya

    terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu, harus

    diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.” Dari

    penjelasan tersebut nyatalah bahwa kekuasaan kehakiman dalam menjalankan

    tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Hal ini juga

    dicantumkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor Nomor 48 Tahun 2009

    tentang Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa:

    Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

    4Philipus M. Hadjon. 2011. Pengantar Ilmu Hukum administrasi Indonesia (Intoduction To The Indonesian Administrative Law) Cet. Ketujuh. Yogyakarta. Gajah Mada uniiversity Press. Hal.93.

  • 14

    Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa:

    Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakkan hukum atau pemberian sanksi adalah monopoli penguasa. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum (menghakimi sendiri), tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.5 Paulus Effendie Lotulung memaparkan:

    Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual konkret. Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara.6 Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa:

    Dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah.7

    5Sudikno Mertokusumo. 2008. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta. Liberty. Hal.23. 6Paulus Effendie Lotulung. 1999. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks Pembagian Kekuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani. Jakarta. BPHN Departemen Kehakiman. Hal.156-170. 7Sunaryati Hartono. 1982. Apakah The Rule of Law Itu. Bandung. Alumni. Hal. 45.

  • 15

    B. Tinjauan Umum tentang Hakim

    1. Pengertian Hakim

    Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang

    diatur dalam undang-undang. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung

    dan pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

    peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

    militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan hakim pada

    pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim

    merupakan pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-

    undang untuk mengadili, mengadili disini diartikan sebagai serangkaian

    tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara

    berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan

    dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.8

    Sedangakan menurut Pasal 1 ayat (8) KUHAP, hakim adalah pejabat

    peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk

    mengadili. Selain didalam KUHAP dijelaskan pula pengertian hakim dalam

    Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman yang berbunyi:

    Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan

    peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

    lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

    8Fence M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal.20.

  • 16

    peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada

    dalam lingkungan peradilan tersebut.

    2. Peranan Hakim Di Pengadilan

    Soerjono Soekanto menyatakan peranan mempunyai arti perbuatan

    seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang

    diberikan oleh masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat

    atau posisi seseorang dalam suau kelompok sosial atau kedudukan berarti

    juga tempat seseorang dalam suatu pola tertentu.9

    Peran yang melekat pada diri seseorang harus di bedakan dengan

    kedudukan dalam pergaulan kemasyarakatan. Peran lebih menunjuk pada

    fungsi atau tuugas penyesuaian diri sebagai suatu proses. Kedudukan

    seseorang dalam masyarakat (Social Status) Merupakan unsur statis yang

    menunjukan tempat makhluk hidup pada organisasi masyarakat.

    Peranan hakim dalam melaksanakan kekusaan kehakiman diperlukan

    untuk mengimplementasikan tugas yang diemban sebagaimana diatur dalam

    perundang-undangan. Peranan hakim memiliki keistimewaan dalam

    masyarakat, hal ini karena hakim diberikan kewenangan istimewa dalam

    peradilan yang tidak diberikan kepada jabatan manapun.

    Athur L. Corbin mengemukakan: A jugde who is ready to decide

    what is justice and for the public weal without any knowledge of history and

    precedent is an egoist and an ignoranmus; artinya seorang hakim yang siap

    memutus atas nama keadilan kesejahteraan umum tanpa memiliki

    9 Ibid. Hal.24.

  • 17

    pengetahuan tentang sejarah yurisprudensi adalah egois dan bersikap masa

    bodoh.10

    Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,

    mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

    Hakim dalam menyelesaikan perkara yag diajukan, wajib memperhatikan

    dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,

    sehingga putusannya sesuai dengan rasa kepastian hukum, keadilan dan

    kemanfaatan hukum.

    3. Tugas dan Tanggungjawab Hakim

    Kewajiban dan tanggung jawab hakim terutama bersumber dari

    Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No.4 Tahun 2004) di

    dalam Bab IV, Pasal 28-30 diatur hal-hal yang berkaitan dengan hakim dan

    kewajibannya, sedangkan Pasal 16 ayat (1) menyiratkan mengenai tanggung

    jawab hakim.

    Pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa hakim:

    ”tidak boleh menolak untuk memerika dan mengadili suatu perkara yang

    diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan

    wajib untuk memerikasa dan mengadili”. Dalam bagian penjelasannya

    disebutkan:

    Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum, pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan, andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai

    10Ibid. Hal.40.

  • 18

    seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.

    Dari penjelasan Pasal 16 ayat (1) di atas dapat disimpulkan bahwa

    tanggung jawab hakim bukan saja terhadap diri sendiri, melainkan yang

    utama ialah kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.

    Tugas dan kewajiban seorang hakim sudah di atur dalam Undang-

    undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terutama pada

    Pasal 2 yang berbunyi:

    “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya dalam pasal 5 ayat 2 berbunyi “Peradilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat mencapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.

    Dari penjelasan pasal-pasal tersebut bahwa tugas dari para hakim

    adalah sebagai berikut:

    1. Menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara

    yang diajuakan dipengadilan.

    2. Membantu para pencari keadilan dalam menyelesaikan setiap

    perkara yang diajukan kepengadilan.

    3. Menyelengarakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

    ringan.

    4. Mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

    terselengarakanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

    ringan.

  • 19

    Disamping mempunyai tugas, seorang hakim juga memikul beberapa

    kewajiban yang di atur dalam undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang

    Kekuasaan Kehakiman terutama dalam pasal 28 ayat 1 yang berbunyi

    sebagai berikut: “Hakim penegak hukum dan keadilan wajib menggali,

    mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam

    masyarakat”. Selanjutnya pada ayat 2 yang berbunyi: “Dalam pertimbangan

    berat ringanya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang

    baik dan jahat dari tuduhan”. Pada pasal 16 ayat 1 memuat ketentuan

    sebagai berikut: “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan

    mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak

    atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

    Dari pasal-pasal tersebut dapat diuraikan kewajiban dari seorang hakim

    adalah sebagai berikut:

    1. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang tumbuh didalam masyarakat. Tujuanya adalah agar setiap putusan yang diambil oleh seorang hakim dapat mencerminkan suatu keadilan yang nyata karna telah mempertimbangkan beberapa aspek hukum dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam memutus suatu perkara, hakim wajib mempertimbangkan sisi baik dan sisi buruk dari pihak terdakwa sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan yang objektif.

    2. Hakim wajib menerima setiap perkara yang diajukan kepengadilan. 3. Hakim wajib melakukan pemeriksaan dan mengadili setiap perkara

    yang dianggap kurang jelas kedudukanya secara hukum.11

    Dengan tugas dan kewajiban para hakim tersebut diharapkan keadilan

    yang sebenar-benarnya dengan setiap perkara yang memerlukan penenganan

    11Sanjaya Yasin. Pengertian Hakim Tugas, Fungsi dan Kedudukan Kewenangan, Hakim. http://www.sarjanaku.com, diakses tanggal 21 Juni 2017.

    http://www.sarjanaku.com,

  • 20

    secara hukum dan tercipta, sehingga hukum benar-benar bisa berfungsi

    sebagai pengatur dan pengayom masyarakat.

    Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai

    tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui

    tindakan secara bertahap yaitu:

    a. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit. Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit.

    b. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana. Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undangundangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit.

    c. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.12

    4. Tinjauan tentang Wewenang Hakim

    Dalam menyelenggarakan peradilan, hakim diberikan wewenang

    untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan.

    Ketentuan pasal 1 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan

    12Agustina Wati Nainggolan. 2009. Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan). Medan. Tesis Universitas Sumatera Utara. Hal.60.

  • 21

    kehakiman menyebutkan, “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung

    dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

    peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

    lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus

    yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Berdasarkan ketentuan

    tersebut, hakim adalah pelaku kekuasaan negara yang bebas dari intervensi

    dalam bentuk apapun untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan

    hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia

    yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara yang

    diajukan ke pengadilan pada Mahkamah Agung dan pada badan peradilan

    yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

    peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

    usaha negara, dan pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan

    peradilan tersebut.

    Dalam wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang

    diajukan ke pengadilan pada Mahkamah Agung dan peradilan yang berada

    dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

    agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara

    dan pada pengadilan khusus, hakim diwajibkan menggali, mengikuti dan

    memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

    masyarakat. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 48

    Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, “Hakim dan hakim konstitusi

  • 22

    wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

    keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

    Penjelasan dari pasal 5 ayat (1) tersebut menyatakan, “ketentuan ini

    dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan

    hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dari penjelasan tersebut, dapatlah

    dimengerti tujuan dibuatnya ketentuan pasal 5 ayat (1) tersebut, dimana agar

    supaya putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

    Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditetapkanlah dasar kewenangan

    hakim dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili, diwajibkan untuk

    menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

    yang hidup dalam masyarakat.

    Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa:

    Dasar kewenangan hakim dalam pelaksanaan dari penguraian panjang lebar diatas dalam sistem hukum formal di Indonesia tercantum dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 yang berbunyi, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Tidak dapat disangkal bahwa undang-undang merupakan hasil dari kebutuhan akan norma dalam kerangka pikiran menurut, waktu, tempat dan budaya tertentu. Ada undang-undang yang setiap saat siap diamendemen tetapi ada juga yang sangat rigid, sehingga untuk merevisi satu ketentuan pun butuh waktu yang lama karena akan menggangu filosofi keseluruhan undang-undang atau bahkan berbenturan dengan filosofi undang-undang lainnya.13

    Tidak dapat disangkal juga bahwa hakim bukanlah legislator tetapi

    hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law).

    Oleh sebab itu hakim dilarang untuk menolak mengadili perkara yang

    13Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Hal. 194.

  • 23

    diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Ketentuan

    tersebut tidak berarti bahwa hakim diwajibkan dan dilarang untuk menolak

    memeriksa dan memutus semua perkara yang diajukan ke pengadilan. Yang

    dilarang adalah dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.

    Pasal 17 ayat (3) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menyebutkan,

    “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat

    hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau

    hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan ketua, salah

    seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera.” Kemudian ayat (5)

    menyebutkan, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari

    persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak

    langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya

    sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”

    Penjelasan pasal 17 ayat (5) tersebut berbunyi, “Yang dimaksud

    dengan “kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk

    apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara

    tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan

    yang bersangkutan sebelumnya. Dari pasal 17 ayat (3) dan (5) serta

    penjelasannya, hakim diwajibkan untuk mengundurkan diri dari persidangan

    apabila terikat hubungan keluarga dan mempunyai kepentingan langsung

    atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.

  • 24

    5. Tinjauan Umum tentang Batasan-Batasan Hakim

    Batasan-batasan seorang hakim di sini ialah berupa hal-hal yang tidak

    boleh dilakukan oleh seorang hakim sebagai pihak yang berposisi sentral

    dalam pengambilan keputusan atas sebuah perkara di persidangan. Dalam

    Pedoman Perilaku Hakim yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada

    tahun 2006 disebutkan bebarapa batasan-batasan (larangan) yang tidak

    boleh dilakukan oleh hakim, diantaranya adalah sebagai berikut:

    1. Hakim tidak boleh memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi Hakim tersebut (fairness).

    2. Dalam melaksanakan tugas peradilan, Hakim tidak boleh, baik dengan perkataan, sikap, atau tindakan menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, membeda-bedakan atas dasar perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau orang-orang yang sedang berhubungan dengan pengadilan.

    3. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.

    4. Hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari: a. Advokat; b. Penuntut; c. Orang yang sedang diadili; d. Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili; atau Pihak

    yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap

  • 25

    bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

    5. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.

    6. Hakim dalam keadaan apapun tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempuyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun.

    7. Hakim tidak boleh memberikan keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak di maksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan hakim dalam perkara lain.

    8. Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik.

    9. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.

    10. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.

    11. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat.14

    C. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim

    Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan

    oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang

    dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk

    14Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pedoman Perilaku Hakim. https://www.mahkamahagung.go.id/fileyur/PEDOMANHAKIM.pdf, diakses tanggal 27 Mei 2017.

    https://www.mahkamahagung.go.id/fileyur/PEDOMANHAKIM.pdf,

  • 26

    tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari

    kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.15

    Berdasarkan pengertian di atas, penulis berpandangan bahwa putusan hakim

    ialah hasil akhir dari proses peradilan setelah dilakukan pemeriksaan perkara,

    pembuktian, dan penilaian melalui pertimbangan majelis hakim untuk

    menjatuhkan vonis tertentu atas sebuah perkara yang diacarakan dalam sidang

    pengadilan.

    Lilik Mulyadi menjelaskan dalam bukunya16, perihal putusan hakim atau

    putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk

    menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih

    jauh bahwasanya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh

    kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang statusnya dan sekaligus dapat

    mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Sedangkan

    di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan

    hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran

    hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni,

    dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang

    bersangkutan.

    1. Jenis Putusan Hakim dalam Acara Pidana

    Mengenai jenis putusan hakim dalam acara pidana, hal tersebut telah

    diatur dan diterangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    15Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Hal.52. 16Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Hal.119.

  • 27

    yang terdiri dari: 1) putusan yang bukan merupakan putusan akhir atau

    disebut juga dengan istilah putusan sela; 2) putusan akhir.

    a. Putusan yang bukan merupakan putusan akhir

    Bentuk putusan yang bukan merupakan putusan akhir dapat

    berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada

    ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal

    setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat

    hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan

    jaksa/penuntut umum.17 Putusan yang bukan putusan akhir antara lain

    sebagai berikut:

    1) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili

    Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat

    terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum

    membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat

    hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi

    (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa

    Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik

    secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat

    sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan

    bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156

    ayat (2) KUHAP).

    2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi

    17Ibid. Hal.125.

  • 28

    hukum

    Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila

    dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan

    tidak lengkap.

    3) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat

    diterima

    Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat

    diterima pada dasarnya termsuk kekurangcermatan penuntut

    umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena: 1) pengaduan

    yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada, 2)

    perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah

    diadili (nebis in idem), dan, 3) hak untuk penuntutan telah hilang

    karena daluwarsa (verjaring).

    b. Putusan Akhir

    Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah

    putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat

    materiil. Pada hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis

    hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan

    pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197,

    dan Pasal 199 KUHAP).18 Putusan akhir antara lain sebagai berikut:

    1) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala

    tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging)

    18Ibid, Hal.124.

  • 29

    Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan

    yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat

    bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,

    tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal

    191 ayat (2) KUHAP).

    2) Putusan bebas (vrijspraak)

    Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP

    yang berbunyi:

    Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.

    Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP

    dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang

    didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

    meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian

    hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti

    menurut ketentuan hukum acara pidana.

    Dengan demikian, putusan bebas dapat diartikan sebagai

    putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim atas

    dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti dalam

    persidangan berpendapat bahwa dakwaan yang didakwakan

    terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,

    maka terdakwa diputus bebas.

  • 30

    3) Putusan pemidanaan (veroordeling)

    Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan

    terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa

    terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

    yang didakwakan padanya.

    2. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil atas adanya hukum

    pidana yang bersifat materiil. Menurut Wirjono Projodikoro (Mantan Ketua

    Mahkamah Agung RI), “Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan

    adanya Hukum Pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-

    peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang

    berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus bertindak guna

    mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.”19 Hukum

    acara merupakan urat nadi kehidupan hukum materiil yang memberikan

    tuntunan atau pedoman dalam pelaksanaan hukum materiil sehingga dapat

    memeberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam

    rangka menegakan hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi

    eigenrichting, maka dari pada itu hukum acara tidaklah boleh disimpangi

    dalam penegakannya karena hukum acara berfungsi mengontrol/mengawasi

    aparat penegak hukum dalam mnegakkan hukum materiil.20 Di Indonesia,

    rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum formil dari

    19Wirjono Prodjodikoro.2003. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung. Refika Aditama. Hal. 13. 20H.A.S. Natabaya. 2008. Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia Jakarta. Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Hal. 9-10.

  • 31

    hukum pidana telah dikodifikasi dan diunifikasikan pada tahun 1981 yang

    kemudian diberi nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    (KUHAP). KUHAP tersusun atas 22 BAB dan berisi 285 Pasal.

    Upaya hukum dalam penegakan hukum pidana merupakan salah satu

    hal yang diatur dalam KUHAP. Mengenai Upaya hukum peninjauan

    kembali (PK)/ Herziening diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269

    KUHAP. Sebelum KUHAP diberlakukan di Indonesia pada tahun 1981,

    belum ada Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali

    putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun

    Mahkamah Agung telah mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1980 yang

    mengatur kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali

    putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik untuk perkara

    perdata maupun untuk perkara pidana. Setelah KUHAP berlaku di Indonesia

    pada tahun 1981, upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening

    dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 263-269

    KUHAP. Setelah KUHAP berlaku, PERMA No. 1 Tahun 1980 tidak juga

    direvisi hingga saat ini, padahal didalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11

    PERMA No. 1 Tahun 1980 terdapat hal mengenai pihak-pihak yang

    diperbolehkan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali

    (PK)/Herziening, dimana isi Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 PERMA No. 1

    Tahun 1980 bertentangan dengan isi Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam Pasal

    10 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 1980 dinyatakan bahwa permohonan

    peninjauan kembali harus diajukan oleh Jaksa Agung, terpidana atau pihak

  • 32

    yang berkepentingan. Sedangkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP jelas

    dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan

    kembali (PK)/Herziening adalah terpidana ataupun ahli warisnya.

    Pasal 263 ayat 1 KUHAP mengatur “terhadap putusan pengadilan

    yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau

    lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat

    mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.

    Berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, pihak-pihak yang dapat mengajukan

    upaya hukum peninjauan kembali (PK)/ Herziening adalah terpidana

    ataupun keluarga maupun ahli waris dari si terpidana. Namun, selain

    terpidana dan ahli warisnya, kuasa hukum terpidana diperbolehkan juga

    untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/ Herziening. Hal

    tersebut didasarkan secara konsisten pada angka 24 Lampiran keputusan

    Menteri Kehakiman No. M. 14-PW. 07. 03 tahun 1983, tanggal 10

    Desember 1983. Lampiran tersebut merupakan tambahan pedoman

    pelaksanaan KUHAP dimana dapat disimpulkan bahwa dengan adanya surat

    kuasa yang memerintahkan hak-hak dan kewajiban kuasa hukum atas

    terpidana maka kuasa hukum dapat melakukan hal-hal sebagaimana yang

    telah disepakati dalam suart kuasa antara kuasa hukum dengan terpidana.

    Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh

    terpidana atau ahli warisnya merupakan bentuk hak hukum yang dimiliki oleh

    terpidana untuk mengajukan pembelaan atas diri terpidana. Hal ini tentu wajar

    bila mengingat bahwa upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening

  • 33

    merupakan upaya hukum terakhir maka selayaknya hak atas pengajuan upaya

    hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening diberikan kepada terpidana atau

    ahli warisnya sebagai upaya yang dilakukan terpidana untuk membela dirinya.

    Pemberian hak pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening

    oleh terpidana atau ahli warisnya ini merupakan bagian dari penerapan asas

    praduga tak bersalah (presumption of innocence) terhadap diri terpidana.

    Sebagaimana yang disebutkan dalam butir 3c penjelasan umum KUHAP, yaitu

    : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau

    dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai

    adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh

    kekuatan hukum tetap”.

    Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap

    putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap namun bukan berarti

    pengajuan Peninjauan kembali oleh terpidana menyimpangi asas praduga

    tak bersalah. Karena walaupun telah ada putusan yang memperoleh

    kekuatan hukum yang tetap namun selama masih ada upaya hukum yang

    dapat dilakukan untuk membela dirinya maka selama itu pula seorang

    terpidana berhak atas asas praduga tak bersalah. Selain karena alasan

    menjunjung asas praduga tak bersalah, menurut Martiman Prodjokamidjojo

    dalam bukunya “komentar atas KUHAP”, adanya upaya hukum peninjauan

    kembali (PK)/ Herziening oleh terpidana merupakan jalan yang ditempuh

    guna menghindari terjadinya kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum,

  • 34

    karena hakim hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.21 Senada

    dengan pengajuan peninjauan kembali yang selayaknya diajukan oleh

    terpidana, Anton Sujata yang merupakan Ketua Komisi Ombudsman

    menyatakan bahwa sesuai Pasal 263 ayat (1), peninjauan kembali dapat

    diajukan oleh terpidanan atau ahli warisnya terhadap putusan pengadilan yang

    telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas

    dari segala tuntutan hukum. Sementara KUHAP tidak mengatur jaksa dapat

    mengajukan peninjauan kembali seperti terpidana.

    3. Penjelasan Mengenai Alasan Pokok Permohonan Pengajuan Peninjauan Kembali

    Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, peninjauan kembali

    merupakan upaya hukum yang terakhir yang dapat dilakukan dalam

    pemeriksaan perkara pidana. Upaya hukum peninjauan kembali

    (PK)/Herziening dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah

    memperoleh kekuatan hukum yang tetap terhadap semua putusan

    Pengadilan baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah

    Agung. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening tidak adapat

    diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

    (menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP). Biasanya peninjauan kembali

    diajukan setelah adanya putusan kasasi atas suatu perkara pidana.

    21R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor. Politeia. Hal. 222.

  • 35

    Ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan pengajuan

    upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dilakukan secara tertulis

    dengan alasan-alasan sebagai berikut :

    a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkaraitu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

    b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

    c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

    Sesuai dengan hal tersebut diatas, syarat formil permohonan peninjauan

    kembali adalah adanya surat permintaan pengajuan peninjauan kembali yang

    memuat alasan yang menjadi dasar permohonan peninjauan kembali. Menurut

    Yahya Harahap, alasan yang mendasari pengajuan peninjauan kembali telah

    diuraikan diatas. Namun pada dasarnya alasan pokok yang dapat menjadi dasar

    pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah22:

    a. Apabila terdapat keadaan baru atau novum. Keadaan baru yang dapat menjadi landasan permintaan adalaha keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas yang menimbulkan dugaan kuat sebagai berikut : 1) Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan

    dan dikemukakan pada waktu siding berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau

    2) Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu siding berlangsung dapat menjadi alasan dan factor untuk

    22M.Yahya Harahap. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Sinar Grafika. Hal.598.

  • 36

    menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umm tidak dapat diterima, atau

    3) Dapat dijadikan alasan dan factor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

    b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan yakni apabila: 1) Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, 2) Kemudian pernyaaan tentang terbuktinya hal atau keadaan

    itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara,

    3) Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.

    c. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan, hal ini tentu menunjukkan bahwa hakim hanyalah manusia biasa ciptaan Allah yang maha Besar, sehingga manalah mungkin hakim tidak pernah berbuat kesalahan maupun kekeliruan terkait dalam pengambilan putusan pada perkara-perkara yang ditanganinya.

    Alasan diperbolehkannya pengajuan upaya hukum peninjauan kembali

    (PK)/Herziening sebagaimana yang diatur dalm Pasal 263 ayat (2) KUHAP

    tersebut sejalan dengan alasan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali

    (PK)/Herziening menurut PERMA No. 1 Tahun 1980, berdasarkan Pasal 9

    ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 1980 alasan diperbolehkannya mahkamah

    Agung melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah

    memperoleh kekuatan hukum tetap adalah23:

    a. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sam lain bertentangan.

    b. Apabila terdapat suatu keadan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadan itu diketahui pada waktu siding masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum

    23Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali Yang Diajukan Oleh Jaksa Penuntut Umum, http://repository.usu.ac.id , diakses tanggal 28 Juni 2017.

    http://repository.usu.ac.id

  • 37

    atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

    Pasal 9 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 1980 dijelaskan bahwa atas

    dasar alasan yang sama Mahkamah agung dapat meninjau kembali suatu

    putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai

    terbukti akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti

    oleh suatu pemidanaan.

    D. Tinjauan Mengenai Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata

    1. Penjelasan tentang Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata

    Konteks tentang kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata adalah

    sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf c

    KUHAP. Ketentuan ini menjadi salah satu syarat untuk mengajukan

    permohonan peninjauan kembali. Penjelasan mengenai poin ini penulis

    khususkan agar di dalam pembahasan dapat mempermudah proses analisa

    objek penelitian yang dikaji terkait pengajuan permohonan PK dalam kasus

    Corby. Tujuan ini tentu membutuhkan tafsir yang jelas dan ilmiah mengenai

    maksud dari Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP tersebut.

    Takdir Rahmadi mengatakan, “di Mahkamah Agung belum terdapat

    kesepakatan untuk membedakan alasan PK yang didasarkan pada kekhilafan

    hakim dengan alasan PK yang didasarkan pada kekeliruan nyata, dimana

    bisa saja dengan alasan kesalahan penerapan hukum,

    tidak dipertimbangkannya salah satu bukti atau adanya pertimbangan yang

  • 38

    kurang kemudian diajukan sebagai bagian dari alasan kekhilafan hakim atau

    kekeliruan nyata”.24

    Nurul Elmiyah mengatakan, “di Mahkamah Agung tidak pernah

    dipakai kekeliruan yang nyata akan tetapi kebanyakan kekhilafan hakim,

    karena kekhilafan hakim berarti dia tidak melihat tapi kekeliruan berarti dia

    melihat namun pura-pura benar”.25

    Sebagaimana dikutip oleh Muhammad yasin, M. Yahya Harahap

    berpendapat bahwa “memasukkan sesuatu yang tidak memenuhi ketentuan

    hukum” termasuk dalam lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan yang

    nyata.26 Sementara itu, Adami Chazawi menyebutkan ada beberapa hal atau

    keadaan yang masuk lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata,

    yaitu sebagai berikut:

    1. Pertama, pertimbangan hukum putusan atau amarnya secara nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum.

    2. Kedua, amar putusan yang sama sekali tidak didukung pertimbangan hukum.

    3. Ketiga, putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta (feitelijke dwaling) maupun kesesatan hukumnya (dwaling omtrent het recht).

    4. Keempat, pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk undang-undang mengenai maksud dibentuknya norma tersebut.27

    Berdasarkan doktrin sebagaimana disebutkan di atas, kekhilafan

    hakim atau kekeliruan yang nyata cenderung dianggap sama dan dalam satu

    24Sudut Hukum, Upaya Hukum Peninjauan Kembali, http://www.suduthukum.com, diakses tanggal 25 Juni 2017. 25Ibid. 26Muhammad Yasin, Makna Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata, http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 27 Juni 2017. 27Ibid.

    http://www.suduthukum.com,http://www.hukumonline.com,

  • 39

    rangkaian. Hakim menganggap kekhilafan hakim atau kekeliruan yang

    nyata adalah dua alasan permohonan PK yang tidak identik atau berbeda

    penerapannya. Hakim agung Djafni Djamal, misalnya, mengatakan

    kekhilafan hakim itu lebih pada hukum materiil, sedangkan kekeliruan nyata

    lebih pada hukum acara.28

    Hal yang kemudian menjadi masalah khusus mengenai hal ini ialah

    dikarenakan di dalam KUHAP sendiri tidak memuat penjelasan yang

    konkrit mengenai hal tersebut. Penjelasan Pasal 67 huruf f tidak

    memberikan penjelasan lebih lanjut makna kedua frasa kekhilafan dan

    kekeliruan yang nyata sebgaimana yang terkandung dalam Pasal 263 ayat

    (2) huruf c KUHAP. Apakah maksudnya sama atau tidak, pembentuk

    undang-undang, hanya menyebut ‘cukup jelas’. Dengan menggunakan

    penafsiran otentik hanya diperoleh pengertian bahwa jika alasan PK atas

    dasar kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata hanya ditujukan terhadap

    putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.29

    Cara lain, menggunakan penafsiran gramatika, maka diperoleh

    kepastian alasan mengajukan PK itu bersifat alternatif karena ada kata

    ‘atau’. Dengan demikian frasa ‘kekhilafan hakim’ berarti yang khilaf adalah

    hakim. Hakim khilaf secara tidak sengaja dan cenderung tidak terlihat.

    Sebaliknya, ‘kekeliruan yang nyata’ berarti kesalahan atau kekeliruan itu

    telah nyata, terang, atau jelas terlihat.

    28Ibid. 29Ibid.

  • 40

    2. Beberapa Contoh Putusan Hakim MA dalam Permohonan PKyang Diajukan oleh Pemohon Dengan Berdasarkan AdanyaKekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata denganMenggunakan Legal Reasioning yang Berbeda

    Para pemohon PK juga menggunakan legal reasoning yang berbeda-

    beda ketika mendasarkan permohonannya atas dasar kekhilafan hakim atau

    kekeliruan yang nyata. Ada beberapa contoh Putusan Hakim dimana

    pemohon PK menggunakan legal reasoning yang berbeda atas dasar adanya

    kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sebagai berikut30:

    a. Pemohon yang menggunakan dasar itu secara bersamaan atausatu kesatuan dan berkaitan dengan adanya kekeliruan ataukekhilafan dalam penerapan hukum. Misalnya, putusan PK No.8 PK/Pdt/2014.

    b. Alasan itu dipakai secara bersamaan atau satu kesatuan danberkaitan dengan adanya kekeliruan dalam pertimbanganhukum. Misalnya, putusan MA No.41 PK/Pid/2014.

    c. Alasan tersebut dipakai bersamaan untuk merangkai faktapersidangan. Misalnya, putusan MA No. 715 Pk/Pid/2011.

    d. Dipakai dalam kasus kesalahan pengetikan atau penulisan dalamputusan. Misalnya, putusan MA No. 329 PK/Pid/2013.

    e. Menggunakan alasan-alasan lain dalam putusan hakim.Misalnya, putusan No. 156 PK/Pid.Sus/2012.

    30Ibid.