bab ii tinjaun pustaka a. tinjauan umum tentang...
TRANSCRIPT
-
13
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Kekuasaan Kehakiman
Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24
dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945. Menurut Philipus M. Hadjon dkk.,
kedua pasal tersebut mengandung tiga kaidh hukum, yaitu:
1. Bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh badan-badan kehakiman (peradilan) yang berpuncak pada sebuah Mahkamah Agung;
2. Bahwa susunan dn kekuasaan kehakiman itu akn diatur lebih lanjut; 3. Bahwa syarat-syarat untuk menjadi hakim, demikian pula
pemberhentiannya juga akan diatur lebih lanjut.4
Dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945
dikemukakan “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu, harus
diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.” Dari
penjelasan tersebut nyatalah bahwa kekuasaan kehakiman dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Hal ini juga
dicantumkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa:
Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
4Philipus M. Hadjon. 2011. Pengantar Ilmu Hukum administrasi Indonesia (Intoduction To The Indonesian Administrative Law) Cet. Ketujuh. Yogyakarta. Gajah Mada uniiversity Press. Hal.93.
-
14
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa:
Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakkan hukum atau pemberian sanksi adalah monopoli penguasa. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum (menghakimi sendiri), tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.5 Paulus Effendie Lotulung memaparkan:
Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual konkret. Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara.6 Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa:
Dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah.7
5Sudikno Mertokusumo. 2008. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta. Liberty. Hal.23. 6Paulus Effendie Lotulung. 1999. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks Pembagian Kekuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani. Jakarta. BPHN Departemen Kehakiman. Hal.156-170. 7Sunaryati Hartono. 1982. Apakah The Rule of Law Itu. Bandung. Alumni. Hal. 45.
-
15
B. Tinjauan Umum tentang Hakim
1. Pengertian Hakim
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam undang-undang. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung
dan pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan hakim pada
pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim
merupakan pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili, mengadili disini diartikan sebagai serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan
dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.8
Sedangakan menurut Pasal 1 ayat (8) KUHAP, hakim adalah pejabat
peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk
mengadili. Selain didalam KUHAP dijelaskan pula pengertian hakim dalam
Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi:
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
8Fence M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal.20.
-
16
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan tersebut.
2. Peranan Hakim Di Pengadilan
Soerjono Soekanto menyatakan peranan mempunyai arti perbuatan
seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang
diberikan oleh masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat
atau posisi seseorang dalam suau kelompok sosial atau kedudukan berarti
juga tempat seseorang dalam suatu pola tertentu.9
Peran yang melekat pada diri seseorang harus di bedakan dengan
kedudukan dalam pergaulan kemasyarakatan. Peran lebih menunjuk pada
fungsi atau tuugas penyesuaian diri sebagai suatu proses. Kedudukan
seseorang dalam masyarakat (Social Status) Merupakan unsur statis yang
menunjukan tempat makhluk hidup pada organisasi masyarakat.
Peranan hakim dalam melaksanakan kekusaan kehakiman diperlukan
untuk mengimplementasikan tugas yang diemban sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan. Peranan hakim memiliki keistimewaan dalam
masyarakat, hal ini karena hakim diberikan kewenangan istimewa dalam
peradilan yang tidak diberikan kepada jabatan manapun.
Athur L. Corbin mengemukakan: A jugde who is ready to decide
what is justice and for the public weal without any knowledge of history and
precedent is an egoist and an ignoranmus; artinya seorang hakim yang siap
memutus atas nama keadilan kesejahteraan umum tanpa memiliki
9 Ibid. Hal.24.
-
17
pengetahuan tentang sejarah yurisprudensi adalah egois dan bersikap masa
bodoh.10
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Hakim dalam menyelesaikan perkara yag diajukan, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
sehingga putusannya sesuai dengan rasa kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan hukum.
3. Tugas dan Tanggungjawab Hakim
Kewajiban dan tanggung jawab hakim terutama bersumber dari
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No.4 Tahun 2004) di
dalam Bab IV, Pasal 28-30 diatur hal-hal yang berkaitan dengan hakim dan
kewajibannya, sedangkan Pasal 16 ayat (1) menyiratkan mengenai tanggung
jawab hakim.
Pasal 16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa hakim:
”tidak boleh menolak untuk memerika dan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memerikasa dan mengadili”. Dalam bagian penjelasannya
disebutkan:
Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum, pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan, andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai
10Ibid. Hal.40.
-
18
seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari penjelasan Pasal 16 ayat (1) di atas dapat disimpulkan bahwa
tanggung jawab hakim bukan saja terhadap diri sendiri, melainkan yang
utama ialah kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.
Tugas dan kewajiban seorang hakim sudah di atur dalam Undang-
undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terutama pada
Pasal 2 yang berbunyi:
“Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya dalam pasal 5 ayat 2 berbunyi “Peradilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat mencapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Dari penjelasan pasal-pasal tersebut bahwa tugas dari para hakim
adalah sebagai berikut:
1. Menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara
yang diajuakan dipengadilan.
2. Membantu para pencari keadilan dalam menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepengadilan.
3. Menyelengarakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.
4. Mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
terselengarakanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.
-
19
Disamping mempunyai tugas, seorang hakim juga memikul beberapa
kewajiban yang di atur dalam undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman terutama dalam pasal 28 ayat 1 yang berbunyi
sebagai berikut: “Hakim penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam
masyarakat”. Selanjutnya pada ayat 2 yang berbunyi: “Dalam pertimbangan
berat ringanya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang
baik dan jahat dari tuduhan”. Pada pasal 16 ayat 1 memuat ketentuan
sebagai berikut: “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dari pasal-pasal tersebut dapat diuraikan kewajiban dari seorang hakim
adalah sebagai berikut:
1. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang tumbuh didalam masyarakat. Tujuanya adalah agar setiap putusan yang diambil oleh seorang hakim dapat mencerminkan suatu keadilan yang nyata karna telah mempertimbangkan beberapa aspek hukum dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam memutus suatu perkara, hakim wajib mempertimbangkan sisi baik dan sisi buruk dari pihak terdakwa sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan yang objektif.
2. Hakim wajib menerima setiap perkara yang diajukan kepengadilan. 3. Hakim wajib melakukan pemeriksaan dan mengadili setiap perkara
yang dianggap kurang jelas kedudukanya secara hukum.11
Dengan tugas dan kewajiban para hakim tersebut diharapkan keadilan
yang sebenar-benarnya dengan setiap perkara yang memerlukan penenganan
11Sanjaya Yasin. Pengertian Hakim Tugas, Fungsi dan Kedudukan Kewenangan, Hakim. http://www.sarjanaku.com, diakses tanggal 21 Juni 2017.
http://www.sarjanaku.com,
-
20
secara hukum dan tercipta, sehingga hukum benar-benar bisa berfungsi
sebagai pengatur dan pengayom masyarakat.
Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai
tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui
tindakan secara bertahap yaitu:
a. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit. Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit.
b. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana. Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undangundangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit.
c. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.12
4. Tinjauan tentang Wewenang Hakim
Dalam menyelenggarakan peradilan, hakim diberikan wewenang
untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan.
Ketentuan pasal 1 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
12Agustina Wati Nainggolan. 2009. Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan). Medan. Tesis Universitas Sumatera Utara. Hal.60.
-
21
kehakiman menyebutkan, “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung
dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Berdasarkan ketentuan
tersebut, hakim adalah pelaku kekuasaan negara yang bebas dari intervensi
dalam bentuk apapun untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia
yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan ke pengadilan pada Mahkamah Agung dan pada badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan tersebut.
Dalam wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan ke pengadilan pada Mahkamah Agung dan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara
dan pada pengadilan khusus, hakim diwajibkan menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, “Hakim dan hakim konstitusi
-
22
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Penjelasan dari pasal 5 ayat (1) tersebut menyatakan, “ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dari penjelasan tersebut, dapatlah
dimengerti tujuan dibuatnya ketentuan pasal 5 ayat (1) tersebut, dimana agar
supaya putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditetapkanlah dasar kewenangan
hakim dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili, diwajibkan untuk
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa:
Dasar kewenangan hakim dalam pelaksanaan dari penguraian panjang lebar diatas dalam sistem hukum formal di Indonesia tercantum dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 yang berbunyi, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Tidak dapat disangkal bahwa undang-undang merupakan hasil dari kebutuhan akan norma dalam kerangka pikiran menurut, waktu, tempat dan budaya tertentu. Ada undang-undang yang setiap saat siap diamendemen tetapi ada juga yang sangat rigid, sehingga untuk merevisi satu ketentuan pun butuh waktu yang lama karena akan menggangu filosofi keseluruhan undang-undang atau bahkan berbenturan dengan filosofi undang-undang lainnya.13
Tidak dapat disangkal juga bahwa hakim bukanlah legislator tetapi
hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law).
Oleh sebab itu hakim dilarang untuk menolak mengadili perkara yang
13Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Hal. 194.
-
23
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Ketentuan
tersebut tidak berarti bahwa hakim diwajibkan dan dilarang untuk menolak
memeriksa dan memutus semua perkara yang diajukan ke pengadilan. Yang
dilarang adalah dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
Pasal 17 ayat (3) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 menyebutkan,
“Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan ketua, salah
seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera.” Kemudian ayat (5)
menyebutkan, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya
sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”
Penjelasan pasal 17 ayat (5) tersebut berbunyi, “Yang dimaksud
dengan “kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk
apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara
tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan
yang bersangkutan sebelumnya. Dari pasal 17 ayat (3) dan (5) serta
penjelasannya, hakim diwajibkan untuk mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga dan mempunyai kepentingan langsung
atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
-
24
5. Tinjauan Umum tentang Batasan-Batasan Hakim
Batasan-batasan seorang hakim di sini ialah berupa hal-hal yang tidak
boleh dilakukan oleh seorang hakim sebagai pihak yang berposisi sentral
dalam pengambilan keputusan atas sebuah perkara di persidangan. Dalam
Pedoman Perilaku Hakim yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada
tahun 2006 disebutkan bebarapa batasan-batasan (larangan) yang tidak
boleh dilakukan oleh hakim, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Hakim tidak boleh memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi Hakim tersebut (fairness).
2. Dalam melaksanakan tugas peradilan, Hakim tidak boleh, baik dengan perkataan, sikap, atau tindakan menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, membeda-bedakan atas dasar perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau orang-orang yang sedang berhubungan dengan pengadilan.
3. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.
4. Hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari: a. Advokat; b. Penuntut; c. Orang yang sedang diadili; d. Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili; atau Pihak
yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap
-
25
bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
5. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.
6. Hakim dalam keadaan apapun tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempuyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun.
7. Hakim tidak boleh memberikan keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak di maksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan hakim dalam perkara lain.
8. Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik.
9. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.
10. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.
11. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat.14
C. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan
oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk
14Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pedoman Perilaku Hakim. https://www.mahkamahagung.go.id/fileyur/PEDOMANHAKIM.pdf, diakses tanggal 27 Mei 2017.
https://www.mahkamahagung.go.id/fileyur/PEDOMANHAKIM.pdf,
-
26
tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari
kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.15
Berdasarkan pengertian di atas, penulis berpandangan bahwa putusan hakim
ialah hasil akhir dari proses peradilan setelah dilakukan pemeriksaan perkara,
pembuktian, dan penilaian melalui pertimbangan majelis hakim untuk
menjatuhkan vonis tertentu atas sebuah perkara yang diacarakan dalam sidang
pengadilan.
Lilik Mulyadi menjelaskan dalam bukunya16, perihal putusan hakim atau
putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk
menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih
jauh bahwasanya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh
kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang statusnya dan sekaligus dapat
mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Sedangkan
di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan
hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran
hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni,
dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang
bersangkutan.
1. Jenis Putusan Hakim dalam Acara Pidana
Mengenai jenis putusan hakim dalam acara pidana, hal tersebut telah
diatur dan diterangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
15Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Hal.52. 16Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Hal.119.
-
27
yang terdiri dari: 1) putusan yang bukan merupakan putusan akhir atau
disebut juga dengan istilah putusan sela; 2) putusan akhir.
a. Putusan yang bukan merupakan putusan akhir
Bentuk putusan yang bukan merupakan putusan akhir dapat
berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada
ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal
setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat
hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan
jaksa/penuntut umum.17 Putusan yang bukan putusan akhir antara lain
sebagai berikut:
1) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat
terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum
membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat
hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi
(tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa
Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik
secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat
sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan
bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156
ayat (2) KUHAP).
2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi
17Ibid. Hal.125.
-
28
hukum
Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila
dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan
tidak lengkap.
3) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima pada dasarnya termsuk kekurangcermatan penuntut
umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena: 1) pengaduan
yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada, 2)
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah
diadili (nebis in idem), dan, 3) hak untuk penuntutan telah hilang
karena daluwarsa (verjaring).
b. Putusan Akhir
Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah
putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat
materiil. Pada hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis
hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan
pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197,
dan Pasal 199 KUHAP).18 Putusan akhir antara lain sebagai berikut:
1) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala
tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging)
18Ibid, Hal.124.
-
29
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan
yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal
191 ayat (2) KUHAP).
2) Putusan bebas (vrijspraak)
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi:
Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian
hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti
menurut ketentuan hukum acara pidana.
Dengan demikian, putusan bebas dapat diartikan sebagai
putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim atas
dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti dalam
persidangan berpendapat bahwa dakwaan yang didakwakan
terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas.
-
30
3) Putusan pemidanaan (veroordeling)
Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan
terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
yang didakwakan padanya.
2. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil atas adanya hukum
pidana yang bersifat materiil. Menurut Wirjono Projodikoro (Mantan Ketua
Mahkamah Agung RI), “Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan
adanya Hukum Pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-
peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang
berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus bertindak guna
mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.”19 Hukum
acara merupakan urat nadi kehidupan hukum materiil yang memberikan
tuntunan atau pedoman dalam pelaksanaan hukum materiil sehingga dapat
memeberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam
rangka menegakan hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi
eigenrichting, maka dari pada itu hukum acara tidaklah boleh disimpangi
dalam penegakannya karena hukum acara berfungsi mengontrol/mengawasi
aparat penegak hukum dalam mnegakkan hukum materiil.20 Di Indonesia,
rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum formil dari
19Wirjono Prodjodikoro.2003. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung. Refika Aditama. Hal. 13. 20H.A.S. Natabaya. 2008. Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia Jakarta. Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Hal. 9-10.
-
31
hukum pidana telah dikodifikasi dan diunifikasikan pada tahun 1981 yang
kemudian diberi nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). KUHAP tersusun atas 22 BAB dan berisi 285 Pasal.
Upaya hukum dalam penegakan hukum pidana merupakan salah satu
hal yang diatur dalam KUHAP. Mengenai Upaya hukum peninjauan
kembali (PK)/ Herziening diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269
KUHAP. Sebelum KUHAP diberlakukan di Indonesia pada tahun 1981,
belum ada Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun
Mahkamah Agung telah mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1980 yang
mengatur kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik untuk perkara
perdata maupun untuk perkara pidana. Setelah KUHAP berlaku di Indonesia
pada tahun 1981, upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening
dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 263-269
KUHAP. Setelah KUHAP berlaku, PERMA No. 1 Tahun 1980 tidak juga
direvisi hingga saat ini, padahal didalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11
PERMA No. 1 Tahun 1980 terdapat hal mengenai pihak-pihak yang
diperbolehkan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali
(PK)/Herziening, dimana isi Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 PERMA No. 1
Tahun 1980 bertentangan dengan isi Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam Pasal
10 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 1980 dinyatakan bahwa permohonan
peninjauan kembali harus diajukan oleh Jaksa Agung, terpidana atau pihak
-
32
yang berkepentingan. Sedangkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP jelas
dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali (PK)/Herziening adalah terpidana ataupun ahli warisnya.
Pasal 263 ayat 1 KUHAP mengatur “terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.
Berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, pihak-pihak yang dapat mengajukan
upaya hukum peninjauan kembali (PK)/ Herziening adalah terpidana
ataupun keluarga maupun ahli waris dari si terpidana. Namun, selain
terpidana dan ahli warisnya, kuasa hukum terpidana diperbolehkan juga
untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/ Herziening. Hal
tersebut didasarkan secara konsisten pada angka 24 Lampiran keputusan
Menteri Kehakiman No. M. 14-PW. 07. 03 tahun 1983, tanggal 10
Desember 1983. Lampiran tersebut merupakan tambahan pedoman
pelaksanaan KUHAP dimana dapat disimpulkan bahwa dengan adanya surat
kuasa yang memerintahkan hak-hak dan kewajiban kuasa hukum atas
terpidana maka kuasa hukum dapat melakukan hal-hal sebagaimana yang
telah disepakati dalam suart kuasa antara kuasa hukum dengan terpidana.
Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening oleh
terpidana atau ahli warisnya merupakan bentuk hak hukum yang dimiliki oleh
terpidana untuk mengajukan pembelaan atas diri terpidana. Hal ini tentu wajar
bila mengingat bahwa upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening
-
33
merupakan upaya hukum terakhir maka selayaknya hak atas pengajuan upaya
hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening diberikan kepada terpidana atau
ahli warisnya sebagai upaya yang dilakukan terpidana untuk membela dirinya.
Pemberian hak pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening
oleh terpidana atau ahli warisnya ini merupakan bagian dari penerapan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) terhadap diri terpidana.
Sebagaimana yang disebutkan dalam butir 3c penjelasan umum KUHAP, yaitu
: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau
dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap”.
Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap namun bukan berarti
pengajuan Peninjauan kembali oleh terpidana menyimpangi asas praduga
tak bersalah. Karena walaupun telah ada putusan yang memperoleh
kekuatan hukum yang tetap namun selama masih ada upaya hukum yang
dapat dilakukan untuk membela dirinya maka selama itu pula seorang
terpidana berhak atas asas praduga tak bersalah. Selain karena alasan
menjunjung asas praduga tak bersalah, menurut Martiman Prodjokamidjojo
dalam bukunya “komentar atas KUHAP”, adanya upaya hukum peninjauan
kembali (PK)/ Herziening oleh terpidana merupakan jalan yang ditempuh
guna menghindari terjadinya kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum,
-
34
karena hakim hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.21 Senada
dengan pengajuan peninjauan kembali yang selayaknya diajukan oleh
terpidana, Anton Sujata yang merupakan Ketua Komisi Ombudsman
menyatakan bahwa sesuai Pasal 263 ayat (1), peninjauan kembali dapat
diajukan oleh terpidanan atau ahli warisnya terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum. Sementara KUHAP tidak mengatur jaksa dapat
mengajukan peninjauan kembali seperti terpidana.
3. Penjelasan Mengenai Alasan Pokok Permohonan Pengajuan Peninjauan Kembali
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, peninjauan kembali
merupakan upaya hukum yang terakhir yang dapat dilakukan dalam
pemeriksaan perkara pidana. Upaya hukum peninjauan kembali
(PK)/Herziening dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap terhadap semua putusan
Pengadilan baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah
Agung. Upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening tidak adapat
diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
(menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP). Biasanya peninjauan kembali
diajukan setelah adanya putusan kasasi atas suatu perkara pidana.
21R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor. Politeia. Hal. 222.
-
35
Ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan pengajuan
upaya hukum peninjauan kembali (PK)/Herziening dilakukan secara tertulis
dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkaraitu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Sesuai dengan hal tersebut diatas, syarat formil permohonan peninjauan
kembali adalah adanya surat permintaan pengajuan peninjauan kembali yang
memuat alasan yang menjadi dasar permohonan peninjauan kembali. Menurut
Yahya Harahap, alasan yang mendasari pengajuan peninjauan kembali telah
diuraikan diatas. Namun pada dasarnya alasan pokok yang dapat menjadi dasar
pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah22:
a. Apabila terdapat keadaan baru atau novum. Keadaan baru yang dapat menjadi landasan permintaan adalaha keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas yang menimbulkan dugaan kuat sebagai berikut : 1) Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan
dan dikemukakan pada waktu siding berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau
2) Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu siding berlangsung dapat menjadi alasan dan factor untuk
22M.Yahya Harahap. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Sinar Grafika. Hal.598.
-
36
menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umm tidak dapat diterima, atau
3) Dapat dijadikan alasan dan factor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan yakni apabila: 1) Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, 2) Kemudian pernyaaan tentang terbuktinya hal atau keadaan
itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara,
3) Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.
c. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan, hal ini tentu menunjukkan bahwa hakim hanyalah manusia biasa ciptaan Allah yang maha Besar, sehingga manalah mungkin hakim tidak pernah berbuat kesalahan maupun kekeliruan terkait dalam pengambilan putusan pada perkara-perkara yang ditanganinya.
Alasan diperbolehkannya pengajuan upaya hukum peninjauan kembali
(PK)/Herziening sebagaimana yang diatur dalm Pasal 263 ayat (2) KUHAP
tersebut sejalan dengan alasan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali
(PK)/Herziening menurut PERMA No. 1 Tahun 1980, berdasarkan Pasal 9
ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 1980 alasan diperbolehkannya mahkamah
Agung melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap adalah23:
a. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sam lain bertentangan.
b. Apabila terdapat suatu keadan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadan itu diketahui pada waktu siding masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum
23Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali Yang Diajukan Oleh Jaksa Penuntut Umum, http://repository.usu.ac.id , diakses tanggal 28 Juni 2017.
http://repository.usu.ac.id
-
37
atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.
Pasal 9 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 1980 dijelaskan bahwa atas
dasar alasan yang sama Mahkamah agung dapat meninjau kembali suatu
putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai
terbukti akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti
oleh suatu pemidanaan.
D. Tinjauan Mengenai Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata
1. Penjelasan tentang Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata
Konteks tentang kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata adalah
sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf c
KUHAP. Ketentuan ini menjadi salah satu syarat untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali. Penjelasan mengenai poin ini penulis
khususkan agar di dalam pembahasan dapat mempermudah proses analisa
objek penelitian yang dikaji terkait pengajuan permohonan PK dalam kasus
Corby. Tujuan ini tentu membutuhkan tafsir yang jelas dan ilmiah mengenai
maksud dari Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP tersebut.
Takdir Rahmadi mengatakan, “di Mahkamah Agung belum terdapat
kesepakatan untuk membedakan alasan PK yang didasarkan pada kekhilafan
hakim dengan alasan PK yang didasarkan pada kekeliruan nyata, dimana
bisa saja dengan alasan kesalahan penerapan hukum,
tidak dipertimbangkannya salah satu bukti atau adanya pertimbangan yang
-
38
kurang kemudian diajukan sebagai bagian dari alasan kekhilafan hakim atau
kekeliruan nyata”.24
Nurul Elmiyah mengatakan, “di Mahkamah Agung tidak pernah
dipakai kekeliruan yang nyata akan tetapi kebanyakan kekhilafan hakim,
karena kekhilafan hakim berarti dia tidak melihat tapi kekeliruan berarti dia
melihat namun pura-pura benar”.25
Sebagaimana dikutip oleh Muhammad yasin, M. Yahya Harahap
berpendapat bahwa “memasukkan sesuatu yang tidak memenuhi ketentuan
hukum” termasuk dalam lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan yang
nyata.26 Sementara itu, Adami Chazawi menyebutkan ada beberapa hal atau
keadaan yang masuk lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata,
yaitu sebagai berikut:
1. Pertama, pertimbangan hukum putusan atau amarnya secara nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum.
2. Kedua, amar putusan yang sama sekali tidak didukung pertimbangan hukum.
3. Ketiga, putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta (feitelijke dwaling) maupun kesesatan hukumnya (dwaling omtrent het recht).
4. Keempat, pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk undang-undang mengenai maksud dibentuknya norma tersebut.27
Berdasarkan doktrin sebagaimana disebutkan di atas, kekhilafan
hakim atau kekeliruan yang nyata cenderung dianggap sama dan dalam satu
24Sudut Hukum, Upaya Hukum Peninjauan Kembali, http://www.suduthukum.com, diakses tanggal 25 Juni 2017. 25Ibid. 26Muhammad Yasin, Makna Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata, http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 27 Juni 2017. 27Ibid.
http://www.suduthukum.com,http://www.hukumonline.com,
-
39
rangkaian. Hakim menganggap kekhilafan hakim atau kekeliruan yang
nyata adalah dua alasan permohonan PK yang tidak identik atau berbeda
penerapannya. Hakim agung Djafni Djamal, misalnya, mengatakan
kekhilafan hakim itu lebih pada hukum materiil, sedangkan kekeliruan nyata
lebih pada hukum acara.28
Hal yang kemudian menjadi masalah khusus mengenai hal ini ialah
dikarenakan di dalam KUHAP sendiri tidak memuat penjelasan yang
konkrit mengenai hal tersebut. Penjelasan Pasal 67 huruf f tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut makna kedua frasa kekhilafan dan
kekeliruan yang nyata sebgaimana yang terkandung dalam Pasal 263 ayat
(2) huruf c KUHAP. Apakah maksudnya sama atau tidak, pembentuk
undang-undang, hanya menyebut ‘cukup jelas’. Dengan menggunakan
penafsiran otentik hanya diperoleh pengertian bahwa jika alasan PK atas
dasar kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata hanya ditujukan terhadap
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.29
Cara lain, menggunakan penafsiran gramatika, maka diperoleh
kepastian alasan mengajukan PK itu bersifat alternatif karena ada kata
‘atau’. Dengan demikian frasa ‘kekhilafan hakim’ berarti yang khilaf adalah
hakim. Hakim khilaf secara tidak sengaja dan cenderung tidak terlihat.
Sebaliknya, ‘kekeliruan yang nyata’ berarti kesalahan atau kekeliruan itu
telah nyata, terang, atau jelas terlihat.
28Ibid. 29Ibid.
-
40
2. Beberapa Contoh Putusan Hakim MA dalam Permohonan PKyang Diajukan oleh Pemohon Dengan Berdasarkan AdanyaKekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata denganMenggunakan Legal Reasioning yang Berbeda
Para pemohon PK juga menggunakan legal reasoning yang berbeda-
beda ketika mendasarkan permohonannya atas dasar kekhilafan hakim atau
kekeliruan yang nyata. Ada beberapa contoh Putusan Hakim dimana
pemohon PK menggunakan legal reasoning yang berbeda atas dasar adanya
kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sebagai berikut30:
a. Pemohon yang menggunakan dasar itu secara bersamaan atausatu kesatuan dan berkaitan dengan adanya kekeliruan ataukekhilafan dalam penerapan hukum. Misalnya, putusan PK No.8 PK/Pdt/2014.
b. Alasan itu dipakai secara bersamaan atau satu kesatuan danberkaitan dengan adanya kekeliruan dalam pertimbanganhukum. Misalnya, putusan MA No.41 PK/Pid/2014.
c. Alasan tersebut dipakai bersamaan untuk merangkai faktapersidangan. Misalnya, putusan MA No. 715 Pk/Pid/2011.
d. Dipakai dalam kasus kesalahan pengetikan atau penulisan dalamputusan. Misalnya, putusan MA No. 329 PK/Pid/2013.
e. Menggunakan alasan-alasan lain dalam putusan hakim.Misalnya, putusan No. 156 PK/Pid.Sus/2012.
30Ibid.