bab ii tinjauan umum tentang pelaksanaan …repository.uir.ac.id/686/2/bab2.pdfperjanjian kredit...

28
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT MODAL KERJA PT. BANK CIMB NIAGA TBK A. Tinjauan Umum Tentang Pelaksanaan Pemberian Kredit Kata kredit berasal dari bahasa latin yaitu “credere”, yang artinya percaya. Oleh karena itu, dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit oleh bank pada seseorang atau badan usaha adalah kepercayaan. Menurut Pasal 1 butir (11) UU No.10 Tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit. Ketegasan Pemerintah dalam upaya penyaluran dana kredit kepada masyarakat didalam usaha perbankan dituangkan dalam aturan terbaru Peraturan Bank Indonesia Nomor. 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Tekhnis dalam

Upload: tranquynh

Post on 02-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN

KREDIT MODAL KERJA PT. BANK CIMB NIAGA TBK

A. Tinjauan Umum Tentang Pelaksanaan Pemberian Kredit

Kata kredit berasal dari bahasa latin yaitu “credere”, yang artinya percaya. Oleh

karena itu, dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit oleh bank pada seseorang atau

badan usaha adalah kepercayaan. Menurut Pasal 1 butir (11) UU No.10 Tahun 1998, kredit

adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia

adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam

menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,

tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga

menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam

kredit.

Ketegasan Pemerintah dalam upaya penyaluran dana kredit kepada masyarakat

didalam usaha perbankan dituangkan dalam aturan terbaru Peraturan Bank Indonesia Nomor.

17/12/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor.14/22/PBI/2012

tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Tekhnis dalam

Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.1 Upaya Pemerintah melalui Bank

Indonesia membuktikan akan kepedulian terhadap perkembangan usaha bagi kalangan

UMKM sehingga kebutuhan modal untuk usaha dapat terpenuhi. Kebutuhan modal yang

terpenuhi akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan turut mengembangkan

pemerataan ekonomi di masyarakat.

Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa

resiko.Resiko yang umum terjadi adalah resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan.

Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang

dipinjamkan kepada debitur bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu

sehingga resiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang

sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.

Mengingat dalam pelaksanaan pemberian kredit oleh bank mengandung resiko,

sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang

sehat.Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang

diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.Untuk

memperoleh keyakinan tersebut, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap

watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur (5C).Apabila unsur-unsur

yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur maka jaminan cukup

hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan.

Jaminan pokok yang dimaksud dalam pemberian kredit tersebut adalah jaminan yang

berupa sesuatu atau benda yang berkaitan langsung dengan kredit yang dimohon.Sesuatu

yang dimaksud disini adalah proyek atau prospek usaha yang dibiayai dengan kredit yang

1Peraturan Bank Indonesia Nomor. 17/12/PBI/2015

dimohon, sementara yang dimaksud benda disini adalah sesuatu yang dibiayai atau dibeli

dengan kredit yang dimohon.Jenis tambahan yang dimaksud adalah jaminan yang tidak

bersangkutan langsung dengan kredit yang dimohon.Jaminan ini berupa jaminan kebendaan

yang objeknya adalah benda milik debitur maupun perorangan, yaitu kesanggupan pihak

ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur.

Kita mengenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktik di masyarakat, yaitu:

1. Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly), yaitu jaminan seorang pihak

ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur.

Termasuk dalam golongan ini antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin

bahwa utang orang lain pasti dibayar;

2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid), yaitu

jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur

dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban

debitur. Termasuk golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap

kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil harta benda debitur,

meliputi: previlege (hak istimewa), gadai dan hipotek.

Praktik jaminan yang sering digunakan pada Perbankan Indonesia, adalah jaminan

kebendaan yang meliputi:

1. Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk

mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162

KUHP);

2. Credietverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit (KB)

tanggal 6 Juli Tahun 1908 No. 50 (Stbl 1908 No. 542);

3. Fidusia, (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara

kepercayaan.

Lembaga Jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang

yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan.

Dengan berlakukan Undang-Undang Hak Tanggungan tahun 1996, maka Hipotek yang diatur

KUH Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai

jaminan utang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk

mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui

lembaga Jaminan Hak Tanggungan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan, yaitu untuk selanjutnya disebut UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan

atas tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak

Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT sebagai berikut: “Hak

Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan

satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan

yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”

Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan semua perjanjian baik

yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu

tunduk pada peraturan-peraturan umum. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian kredit

merupakan perjanjian yang tiak dikenal didalm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

namun perjanjian kredit juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang terdapat

didalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berakhirnya atau hapusnya

perjanjian terdapat pada Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa

berakhirnya perjanjian disebabkan oleh peristiwa-peristiwa sebagai berikut:2

a. Pembayaran

Pembayaran adalah kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi perjanjian

yang telah diadakan.Adanya pembayaran oleh seorang debitur atau pihak yang berhutang

berarti debitur telah melakukan prestasi sesuai perjanjian.Melalui pembayaran yang

dilakukan debitur maka perjanjian kredit atau utang menjadi lunas atau berakhir.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Prestasi debitur dengan melakukan pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan

dapat mengakhiri atau menghapus perjanjian. Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus

dilakukan apabila kreditur menolak pembayaran.

c. Pembaruan utang/novasi

Novasi adalah suatu perjanjian baru yang menghapus perjanjian lama dan pada saat

yang sama memunculkan perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama.

d. Kompensasi atau perjumpaan utang

Kompensasi atau perjumpaan utang adalah suatu cara untuk mengakhiri perjanjian

dengan cara memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang antara kreditur dan

debitur, yaitu dengan percampuran utang dan pembebasan utang.

2M Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.52-58

e. Pembatalan perjanjian

Suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang

dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak bisa dihapus, apabila

salah satu pihak membatalkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif.

f. Kadaluwarsa

Menurut pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka segala tuntutan

hukum baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perorangan terhapus karena

kadaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh (30) tahun, sedangkan yang menunjuk adanya

kadaluwarsa itu tidak berdasarkan atas suatu hak.

Berakhirnya perjanjian tidak diatur secara tersendiri didalam Undang-Undang, tetapi

hal itu dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tersebut.

Berakhirnya suatu perjanjian tersebut disebabkan oleh:3

1) Ditentukan terlebih dahulu oleh para pihak, misalnya dengan menetapkan batas waktu

tertentu, maka jika sampai pada batas waktu yang ditentukan mengakibatkan

perjanjian berakhir;

2) Undang-Undang yang menetapkan batas waktunya suatu perjanjian;

3) Karena terjadinya peristiwa tertentu selama perjanjian dilaksanakan;

4) Salah satu pihak meninggal dunia;

5) Adanya pernyataan untuk mengakhiri perjanjian yang diadakan oleh salah satu pihak

atau pernyataan tersebut sama-sama adanya kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian;

6) Putusan hakim yang mengakhiri perjanjian yang dilaksanakan;

3Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2004, hal.43

7) Telah tercapainya tujuan dari perjanjian yang diadakan oleh para pihak.

B. Tinjauan Umum Tentang Aspek Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit pada hakikatnya sama halnya dengan perjanjian secara umum yang

diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu Perjanjian Pinjam

Meminjam yang diatur dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sampai

dengan Pasal 1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pinjam meminjam ialah

persetujuan dengan mana yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah

tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat pihak yang

belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang

sama pula (Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Salah satu pihak

menyerahkan kepada pihak lain sejumlah uang atau barang-barang yang diganti, dengan janji

dari pihak lain yang itu untuk kemudian hari mengembalikan kepada pihak pertama sejumlah

uang yang sama atau barang yang sama jenis dan nilainya.

Perjanjian pinjam meminjam adalah adalah suatu perjanjian konsensuil dan riil

artinya apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian maka

tidak berarti bahwa perjanjian pinjam meminjam itu telah terjadi, melainkan diikuti adanya

perjanjian baru untuk mengadakan perjanjian pinjam meminjam.Apabila uang telah

diserahkan kepada peminjam, lahirlah perjanjian pinjam meminjam dalam pengertian

Undang-Undang menurut Bab XIII Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.4Pada asasnya peminjam uang adalah persetujuan yang berbentuk bebas, namun

demikian terdapat juga pengecualian khusus mengenai besarnya suku bunga yang

diperjanjikan ini harus dinyatakan secara tertulis (Pasal 1767 ayat 2 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata).

4Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Alumni, Bandung, 1983, hal.24

Perjanjian kredit yang dibuat mengikat para pihak mengenai hak dan kewajiban

masing-masing yang harus dipenuhi, dimana debitur sebagai penerima pinjaman mempunyai

hak untuk mendapat fasilitas kredit sejumlah uang yang telah disepakati dan untuk

menggunakannya sesuai dengan tujuan kredit sedangkan bank sebagai pemberi pinjaman

mempunyai hak untuk memperoleh pembayaran kembali uang yang dipinjamkannya beserta

bunga, administrasi, provisi dan sebagainya. Disamping itu para pihak juga mempunyai

kewajiban yaitu bank berkewajiban menyediakan kredit sesuai dengan tujuan kredit dan tidak

dapat diminta kembali untuk melunasi pinjaman sebelum jatuh tempo kredit sesuai

perjanjian, namun demikian bank berhak menyimpanginya dalam hal penerimaan kredit tidak

memenuhi syarat-syarat perjanjian sedangkan debitur berkewajiban untuk mengembalikan

pinjaman dan memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian termasuk

menyerahkan jaminan kredit.

Dari uraian diatas mengenai Perjanjian Kredit merupakan kesepakatan antara bank

selaku pemberi pinjaman uang (kreditur) dengan debitur selaku penerima pinjaman yang

mengatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh kreditur dan debitur dan

juga sebagai dasar dibuatkan akad Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sebagai

jaminan kredit hak atas tanah untuk pelunasan pinjaman debitur sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-

Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Perjanjian Jaminan Hak Tanggungan tidak berdiri

sendiri melainkan adanya karena adanya perjanjian kredit.

Dalam hal adanya perubahan mengenai hal yang telah disepakati dalam perjanjian

terdahulu sebagaimana disebut perjanjian kredit, seperti perubahan jangka waktu, jaminan

kredit maka dengan perubahan tersebut dibuatlah addendum (perubahan) Perjanjian Kredit

tersebut.Dengan demikian Perjanjian Kredit yang merupakan perjanjian pokok tersebut

dilakukan perubahan (addendum) khusus mengenai hal-hal yang dirubah tersebut.

Ada beberapa asas yang penting dalam perjanjian yaitu :

1. Asas Konsensualisme

Asas yang dikenal dengan asas terjadinya perjanjian.Konsensualisme berasal dari kata

Latin consensus yang berarti sepakat.Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian

atau perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya

kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai

hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.5

Perjanjian itu pada umumnya tidak dibuat secara formal tetapi konsensual. Jadi

perjanjian sudah ada dan memiliki akibat hukum apabila sudah ada kata sepakat tentang hal-

hal yang pokok dalam perjanjian tersebut, untuk itu tidak diperlukan formalitas tertentu

kecuali apabila tegas-tegas ditentukan, bahwa untuk beberapa macam perjanjian harus

dituangkan dalam formalitas tertentu, misalnya pemberian kuasa memasang hak tanggungan,

harus dilakukan dengan akta Notaris. Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis

dan lain sebagainya.

Asas konsensualisme ini terdapat didalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang berbunyi untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya;

Sepakat adalah kehendak dua pihak atau persesuaian kehendak, dimana kehendak

pihak yang satu saling tergantung dengan kehendak pihak yang lain. Persesuaian kehendak

tersebut ditujukan kepada pihak lain untuk saling terikat dan ditujukan pada akibat hukum

yang dikehendaki. Akibat persesuaian kehendak tersebut terjadilah kesepakatan dan

hubungan hukum yang dikehendaki.Kehendak dari para pihak yang sampai pada suatu

5Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 15

kesepakatan tersebut haruslah kehendak yang bebas tanpa suatu paksaan dari salah satu

pihak.Paksaan bisa berupa ancaman baik fisik maupun kejiwaan seseorang sehingga ada

pihak yang tertekan.Hal-hal yang demikian tidaklah diperkenankan sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

Setiap orang yang membuat perjanjian harus bertanggungjawab atau menyadari akibat

dari perjanjian yang dibuatnya.Untuk itu dalam membuat perjanjian disyaratkan para pihak

cakap dalam membuat perjanjian.Pada dasarnya setiap manusia adalah subjek hukum, maka

setiap manusia memiliki hak keperdataan termasuk dalam membuat perjanjian.Untuk itu

semua orang dianggap cakap membuat perjanjian, kecuali Undang-Undang menentukan

seseorang tidak cakap (onbekwaam).Ketidakcakapan ditujukan bagi mereka yang menurut

Undang-Undang tidak dapat mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya,

sehingga Undang-Undang memberikan perlindungan bagi mereka terhadap diri mereka

sendiri.

Kategori orang yang tidak cakap yaitu:

a. Anak belum dewasa

b. Orang dibawah pengampunan.

Orang yang cakap adalah orang yang telah dewasa dan tidak dibawah

pengampunan.Dewasa menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan

mereka yang berumur 21 tahun atau telah kawin.Hal ini mengenai onbekwaam ada

onbevoegd atau ketidakwenangan, yaitu larangan Undang-Undang terhadap orang tertentu

untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

3) Suatu hal tertentu;

Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) sebagai syarat ketiga syarat sah perjanjian

adalah pokok atau objek penelitian, yaitu prestasi yang harus ditentukan paling tidak jenisnya

seperti Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa objek perjanjian menjadi

penting dalam memberi kepastian pada saat dilaksanakan, agar tidak menimbulkan masalah

bagi para pihak karena ketidakjelasan objeknya.

4) Suatu sebab yang halal

Syarat sahnya perjanjian selanjutnya adalah sebab yang halal (geoorloofde

oorzak).Sebab (oorzak) tidak ada kaitannya dengan penyebab orang membuat perjanjian, atau

sebab terjadinya perjanjian, tetapi „sebab‟ yang dimaksud adalah kausa yang menurut

yurisprudensi sebagai isi atau maksud dari perjanjian.

Dengan demikian sebab (oorzak)beda dengan sebab orang membuat perjanjian

(motief) atau alasan. „Sebab‟ memiliki arti penting berkaitan dengan kekuatan perjanjian,

sebagaimana Pasal 1335 ditentukan, bahwa perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau sebab

yang palsu atau sebab yang dilarang adalah tidak mempunyai kekuatan. Perjanjian yang tidak

memiliki kekuatan dapat juga dianggap tidak sah.Mengenai sebab yang terlarang adalah

apabila dilarang oleh Undang-Undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban

umum (Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Bertalian dengan uraian syarat sah perjanjian tersebut dikelompokkan kedalam dua

kelompok, yaitu:

a. Syarat subjektif, yang dimaksud adalah subjek dari perjanjian atau pihak-pihak dalam

perjanjian. Syarat ini terdiri dari kata sepakat mereka yang mengikat diri dan

kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Tidak dipenuhinya syarat subjektif, maka

akibatnya perjanjian dapat dibatalkan namun perjanjian tersebut tetap ada

(vernietigbaar). Untuk pembatalan suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat

objektif harus meminta kepada hakim agar memberikan keputusan yang membatalkan

perjanjian tersebut. Yang dapat meminta pembatalan dalam hal ketidakcakapan adalah

wali, pengampu dan dua orang yang bersangkutan (belum dewasa) setelah ia menjadi

dewasa. Permintaan pembatalan perjanjian menurut Pasal 1454 adalah dengan

tenggang waktu 5 (lima) tahun jika tidak dibatasi oleh Undang-Undang secara khusus.

b. Syarat objektif, yang dimaksud adalah objek dari perjanjian yang harus ada dan halal

atau tidak dilarang. Perjanjian yang tidak ada sebab atau tidak adanya objek

perjanjian, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Demikian pula bila objek

perjanjian tersebut tidak halal atau dilarang, maka akibatnya perjanjian tersebut batal

demi hukum. Akibat dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat yaitu batal

demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini dikenal sebagai asas pembuatan perjanjian atau kekuatan mengikat

perjanjian.Kebebasan dimaksud dalam hal bentuk maupun isi perjanjian, sehingga orang

bebas membuat perjanjian baik perjanjian bernama yang telah diatur oleh Undang-Undang

maupun perjanjian tidak bernama sebagai hal yang baru yang belum diatur dalam Undang-

Undang. Asas hukum itu bersifat dinamis, berkembang mengikuti kaedah hukumnya,

sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat sehingga

terpengaruh waktu dan tempat. Asas kebebasan berkontrak pada mulanya adanya cerminan

dari paham individualisme dimana setiap orang bebas memperoleh apa yang dikehendakinya.

Kebebasan individu adalah mutlak, namun perkembangannya tidak mencerminkan keadilan

karena pihak yang kuat menentukan pihak yang lemah.Untuk melindungi yang lemah, maka

kebebasan berkontrak tidak diartikan secara mutlak tetapi diberi arti relatif yang dikaitkan

dengan kepentingan umum.

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Maksud asas ini adalah perjanjian yang dibuat secara sah, akan mengikat para pihak

yang membuatnya sebagai Undang-Undang. Para pihak terikat perjanjian layaknya terikat

dengan Undang-Undang. Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang

menyebutkan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang

bagi mereka yang membuatnya.” Kata „semua‟ dalam huruf pertama Pasal 1338 ayat (1)

mengandung makna:

a. Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian;

b. Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa yang dikehendakinya;

c. Setiap orang bebas untuk menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya;

d. Setiap orang bebas untuk menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya;

e. Setiap orang bebas untuk menentukan ketentuan hukum yang akan berlaku bagi

perjanjian yang dibuatnya.

Perjanjian yang dibuat hanya berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian

sebagai Undang-Undang. Asas ini ditujukan untuk mencapai kepastian hukum dalam

membuat perjanjian, yaitu dengan berlakunya perjanjian sebagai Undang-Undang bagi para

pihak yang membuat, maka akan dipatuhi dan perjanjian tersebut mempunyai kepastian.

Untuk mengubah atau menarik perjanjian yang telah dibuat tidak dapat dilakukan oleh salah

satu pihak saja.Tetapi harus dilakukan berdasarkan dengan sepakat kedua belah pihak,

sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pada dasarnya perjanjian mengikat para pihak yang membuat perjanjian, untuk itu

perjanjian yang membawa kerugian atau manfaat bagi pihak ketiga dilarang.Namun dalam

Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memberikan suatu pengecualian yaitu

tentang janji untuk pihak ketiga.

4. Asas Itikad Baik (goeder trouw)

Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik (goeder trouw), sesuai yang

dikehendaki dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Yang

dimaksud dengan itikad baik tersebut adalah perjanjian harus dilaksanakan menurut (ukuran)

secara pantas dan kepatutan.Dalam pelaksanaan perjanjian suatu itikad baik dapat diketahui,

namun itikad lebih condong pada niat yang sulit untuk dibuktikan pada saat dibuatnya suatu

perjanjian. Karena sulit untuk membuktikan adanya itikad baik pada saat dibuat perjanjian

dan baru diketahui pada saat pelaksanaan, maka pembuat Undang-Undang memberikan jalan

keluar dengan melindungi hak yang diperoleh dengan itikad baik, sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 1341 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian “suatu hubungan hukum

kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu

pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk

menunaikan prestasi.6Menurut CH Gatot Wardoyo dalam tulisannya berjudul “Sekitar

Klausula-Klausula Perjanjian Kredit Bank”, bahwa perjanjian kredit mempunyai beberapa

fungsi, yaitu:7

a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit

merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang

mengikutinya;

b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan

kewajiban diantara debitur dan kreditur;

c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat monitoring kredit.

6M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal.6

7Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal.228

Setiap pemberian kredit harus dituangkan kedalam Perjanjian Kredit secara tertulis.

Bentuk dan formatnya diserahkan oleh Bank Indonesia kepada masing-masing bank untuk

menetapkannya, namun sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal berikut:

a) Judul

Dunia perbankan masih belum terdapat kesepakatan tentang judul atau penamaan

perjanjian kredit bank ini.

b) Komparisi

Komparisi menjelaskan secara rinci tentang identitas, dasar hukum, dan kedudukan

subjek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian kredit bank akan dianggap

sah bila ditandatangani oleh subjek hukum yang berwenang untuk melakukan

perbuatan hukum yang demikian itu.

c) Substansi

Sebuah perjanjian kredit bank berisikan klausula-klausula yang merupakan ketentuan

dan syarat pemberian kredit seperti maksimal kredit, suku bunga dan denda, jangka

waktu kredit, cara pembayaran kembali dan sebagainya.

Prestasi selalu diukur dengan nilai sejumlah uang karena itu pihak yang berkewajiban

membayar sejumlah uang itu berkedudukan sebagai debitur, sedangkan pihak yang berhak

menerima sejumlah uang itu berkedudukan sebagai kreditur.8Berarti dalam hal hubungan

pinjam meminjam, pihak yang meminjam disebut dengan debitur, sedangkan pihak yang

memberikan pinjaman disebut dengan kreditur.Secara khusus belum ada peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian kredit, sekalipun dalam Undang-

Undang Nomor 10 tahun 1988 tentang Perbankan. Namun istilah perjanjian kredit ditemukan

dalam Instruksi Presiden Nomor: 15/EK/10/1966 tanggal 3 Oktober 1966 Nomor 1 angka 5

yang menyebutkan bahwa “dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk

8Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal.8

tanpa adanya Perjanjian Kredit (Akad Perjanjian Kredit) yang jelas antara nasabah atau antara

Bank Sentral dengan bank-bank lain.”

Didalam perkreditan antara si Pemberi kredit dengan si Penerima kredit terkandung

adanya kepercayaan, dengan demikian seseorang yang memperoleh kredit pada dasarnya

memperoleh kepercayaan. Pemberian kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang,

barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) yang terjadi pada waktu mendatang atau suatu

waktu tertentu di masa yang akan datang. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan, memberi pengertian yang dimaksud dengan kredit adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dari ketentuan tersebut adanya “kewajiban untuk mengembalikan pinjaman”, dalam

arti kata yang lebih luas adanya suatu kewajiban untuk memenuhi perikatan, dengan adanya

kewajiban ini jelas bahwa kredit hanya diberikan kepada pihak-pihak yang dipercaya mampu

dapat mengembalikan kreditnya dibelakang hari, pemenuhan kewajiban mengembalikan

pinjaman itu sama artinya dengan kemampuan memenuhi prestasi suatu perikatan.

Dari uraian tersebut diatas terdapat beberapa unsur didalam pemberian kredit yaitu:

a. Kepercayaan

Kredit yang diberikan pihak bank yaitu bank mempunyai keyakinan terhadap prestasi

(uang, jasa, atau barang) yang diberikan kepada debitur akan diselesaikan atau dilunasi

kreditnya tersebut dengan jangka waktu sesuai yang diperjanjikan.

b. Jangka waktu

Jangka waktu disini yaitu batasan waktu kredit antara pemberi kredit dengan

penerima kredit yang disepakati bersama terlebih dahulu dan untuk pelunasannya dalam

jangka waktu tertentu.

c. Resiko

Kemungkinan terjadinya resiko dalam jangka waktu yang disepakati antara pemberi

kredit dengan penerima kredit dalam pelunasannya tersebut, maka guna mencegah terjadinya

resiko tersebut (berupa wanprestasi), maka diadakan perjanjian kredit dimana masa tenggang

adalah masa yang abstrak dan adanya resiko yang timbul bagi pemberi kredit karena uang

atau jasa barang yang berupa prestasi telah lepas atau diberikan kepada orang lain.

d. Prestasi

Adanya objek perjanjian dapat berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat

tercapainya kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara bank dengan

nasabah/debitur, berupa bunga atau imbalan.

Dalam pemberian kredit diperlukan suatu alat bukti yang dituangkan dalam perjanjian

berupa surat dalam bentuk alat bukti tertulis yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda

bacaan yang dimaksud untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan

sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi 2 (dua) yaitu surat yang

merupakan akta dan surat-surat yang bukan akta. Sedangkan akta dibagi menjadi akta otentik

dan akta dibawah tangan.9 Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan yang

memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat dengan sengaja

9Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009, hal.17

untuk pembuktian. Perjanjian kredit dapat dibuat baik dalam bentuk akta dibawah tangan atau

akta otentik, hal ini tidak satu ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan bentuk

perjanjian kredit dalam bentuk salah satu akta tersebut.

Akta dibawah tangan diatur dalam ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yaitu akta yang dibuat oleh para pihak dan ditandatangani sendiri oleh para

pihak tanpa ikut sertanya pejabat umum dan akta perjanjian ini memiliki kekuatan hukum

pembuktian, apabila diakui oleh pihak-pihak yang menandatangani dalam akta perjanjian

tersebut, agar akta tersebut tidak mudah dibantah maka diperlukan pelegalisasian oleh pejabat

umum yaitu Notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta

otentik.

Sedangkan akta otentik diatur dalam ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yaitu akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang-Undang dan dibuat oleh

dan/atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu (Notaris) ditempat akta tersebut

dibuatnya. Akta perjanjian ini memiliki kekuatan hukum pembuktian yang sempurna karena

ditandatangani langsung oleh pejabat pembuat akta yaitu Notaris dan akta ini dianggap sah

dan benar tanpa perlu membuktikan keabsahannya dari tanda tangan pihak lain.

Perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dengan debitur, mempunyai sifat-sifat

yang umum antara lain merupakan:

a. Perjanjian pendahuluan

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan sebelum uang/objek dari

perjanjian diserahkan terlebih dahulu harus ada persesuaian kehendak antara kredit dan

debitur yang disepakati dalam perjanjian kredit.

b. Perjanjian bernama

Perjanjian yang dibuat sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.Jika perjanjian ada diatur dalam peraturan perundang-undangan disebut dengan

perjanjian bernama, demikian sebaliknya.

c. Perjanjian standar

Perjanjian yang dibuat dimana bentuk dan isinya tersebut telah ditetapkan terlebih

dahulu, sehingga pihak debitur dalam perjanjian hanya diminta untuk menyetujui apa-apa

saja yang tercantum dalam perjanjian kredit.

Perjanjian kredit mempunyai fungsi sebagai perjanjian pokok, yang akan

dipergunakan alat bukti mengenai batasan hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur dan

sebagai alat monitoring kredit. Perjanjian kredit dapat dibuat di luar negeri dan pihak-pihak

yang melakukan perjanjian dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum atau

badan hukum asing, sepanjang kredit digunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah

Republik Indonesia.

C. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya,

sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang.Selain itu perlindungan

juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang

lebih lemah.

Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang

Perlindungan Konsumen atau UUPK), yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup memadai.Kalimat yang menyatakan

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk

meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk

kepentingan perlindungan konsumen.10

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain

adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi

tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkan sikap pelaku usaha yang jujur dan

bertanggungjawab.11

Tujuan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi

dalam tiga bagian utama, yaitu:12

a. Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa

kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya (Pasal 3 huruf c).

b. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur-unsur kepastian

hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi itu (Pasal 3

huruf d).

c. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan konsumen sehingga

tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab (Pasal 3 huruf e).

Pada hakekatnya, perlindungan konsumen menyiratkan keberpihakan kepada

kepentingan-kepentingan (hukum) konsumen. Adapun kepentingan konsumen menurut

10

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal.1 11

Adrian Sutedi, Tanggungjawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hal.9 12

Ibid, hal.9

resolusi perserikatan bangsa-bangsa nomor 39/284 tentang Guidelines for Customer

Protection, sebagai berikut:

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan

mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.

d. Pendidikan konsumen.

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang

relevan dan memberikan kesempatan pada organisasi tersebut untuk menyuarakan

pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan

mereka.

Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi salah satunya

yaitu perlindungan hukum.Adanya benturan kepentingan didalam masyarakat harus dapat

diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam masyarakat.Adanya perlindungan hukum

bagi seluruh rakyat Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), oleh karena itu maka setiap produk yang dihasilkan

oleh Legislatif harus mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat.

Terdapat beberapa pendapat para sarjana mengenai perlindungan hukum, antara lain:

a. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi

kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan sesuatu kekuasaan kepadanya

untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.13

13

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hal.121

b. Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi

masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan

aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga

memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.

c. Menurut Philipus M Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai tindakan

melindungi atau memberikan pertolongan kepada subjek hukum dengan perangkat-

perangkat hukum. Bila melihat pengertian perlindungan hukum diatas, maka dapat

diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum yaitu; subjek yang melindungi, objek

yang akan dilindungi alat, instrumen maupun upaya yang akan digunakan untuk

tercapainya perlindungan tersebut.14

Dari beberapa pengertian dari perlindungan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa

perlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk melindungi kepentingan individu atas

kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak untuk menikmati martabatnya, dengan

memberikan kewenangan padanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan

konsumen adalah: Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima)

asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:15

14

Philipus M Hadjon,dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 2011, hal.10 15

Penjelasan Pasal 2, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan bahwa segala upaya dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-

besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara

maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk

memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen,

serta negara menjamin kepastian hukum.

Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian

pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan

nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah

bangsa negara Republik Indonesia.16

Kelima asas yang disebutkan dalam Pasal tersebut, bila

diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas, yaitu:

a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanaan dan keselamatan

konsumen

b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

c. Asas kepastian hukum.

16

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.,Cit, hal.26

Asas-asas hukum perlindungan konsumen yang dikelompokkan kedalam 3 (tiga)

kelompok diatas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan dan kepastian hukum.Dalam hukum

ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan

asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian

hukum yang disejajarkan dengan asas efisien karena menurut Himawan bahwa: “hukum yang

berwibawa adalah hukum yang efisien, dibawah naungan mana seseorang dapat

melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa

penyimpangan”.17

Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi

diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari

eksen negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut

hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian

hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen

sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha

produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan

konsumen.

17

Ibid, hal.33

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan

nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan

konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan

pembangunan dibidang hukum perlindungan konsumen.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila

dikelompokkan kedalam 3 tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk

mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e. Sementara tujuan untuk

memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, huruf d, dan huruf f.

Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan

huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat dilihat

dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang harus dikualifikasi

sebagai tujuan ganda.

D. Tinjauan Umum Tentang PT Bank CIMB Niaga Tbk

Perusahaan perbankan yang didirikan menurut hukum Indonesia, PT. Bank CIMB

Niaga Tbk berkedudukan di Jakarta Selatan, Jalan Jendral Sudirman Kaveling 58, yang

didirikan sejak tanggal 26 September 1955 dan sejak berdirinya Bank CIMB Niaga telah

mengalami 4 (empat) kali penggabungan usaha yaitu:

1. Tanggal 22 Oktober 1973 dengan PT. Bank Agung;

2. Tanngal 30 November 1978 dengan PT. Bank Tabungan Bandung;

3. Tanggal 17 Oktober 1983 dengan PT. Bank Amerta; dan

4. Tanggal 1 November 2008 dengan PT. Bank Lippo.

Bank CIMB Niaga cabang Pekanbaru, ruang lingkup kegiatan usaha meliputi kegiatan

usaha dibidang Perbankan sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku serta

melakukan kegiatan Perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah. Berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 249544/U.M.II tanggal 11

November 1955, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor: 7/116/Kep/Dir/UD

tanggal 22 November 1974 dan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor:

6/71/KEP.GBI/2004 tanggal 16 September 2004, Bank CIMB Niaga Tbk sebagai Bank

Umum, Bank Devisa dan Bank yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Dalam

kegiatan perbankan, prinsip syariah ini baru mulai pada tanggal 27 September 2004.

Bank CIMB Niaga sampai dengan tahun 2012 telah membuka 155 kantor cabang, 597

kantor cabang pembantu, 24 kantor pembayaran dan 561 kantor layanan syariah. Sedangkan

dalam wilayah Kota Pekanbaru Bank CIMB Niaga terdapat 1 kantor cabang, 2 kantor cabang

pembantu dan 1 kantor layanan syariah. Sebagai Bank Umum salah satu kegiatan dalam

menjalankan usahanya adalah memberikan pinjaman kepada nasabahnya.

Bank CIMB Niaga cabang Pekanbaru dalam kegiatan usaha menghimpun dana dari

masyarakat yang berasal dari dana tabungan, rekening giro maupun deposito nasabah dan

dalam jangka waktu tertentu akan diambil/ditarik kembali oleh nasabah serta menyalurkan

kembali dana masyarakat kepada masyarakat dalam bentuk pemberian fasilitas kredit atau

pinjaman sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku serta melakuka kegiatan

perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah.

Fasilitas pinjaman yang diberikan oleh Bank CIMB Niaga ada 2 jenis :

1. Fasilitas Pinjaman Langsung yaitu pinjaman yang diberikan kepada nasabah,

dimana bank menanggung resiko secara langsung saat fasilitas diberikan (ada aliran

dananya). Atas transaksi tersebut terdapat dana yang keluar dan mempengaruhi

neraca.

Misalnya: pemberian kredit dengan tujuan untuk tambahan modal kerja, untuk

investasi, untuk penggunaan khusus, jenis fasilitas pinjaman dapat berupa Pinjaman

Rekening Koran, Pinjaman Transaksi Khusus, Pinjaman Investasi dan lainnya.

2. Fasilitas Pinjaman Tidak Langsung yaitu pinjaman yang diberikan kepada nasabah,

dimana bank tidak menanggung resiko secara langsung. Tidak ada aliran dana yang

keluar secara langsung mempengaruhi neraca, hanya dicatat sebagai contingent

Account/rekening administratif (off balance sheet transaction).

Misalnya: jenis fasilitas Pinjaman Bank Garansi, Dealer Lines, dan Letter of Credit.

Dalam menjalankan kegiatan usahanya tersebut Bank CIMB Niaga senantiasa

melindungi dan memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat dalam mengelola dana

tersebut baik menghimpun dana masyarakat maupun menyalurkan dana tersebut kepada

masyarakat. Untuk lebih menjamin dalam pengembalian dana masyarakat yang disalurkan

dalam bentuk kredit atau pinjaman tersebut, maka Bank CIMB Niaga meminta adanya suatu

jaminan yang diberikan oleh calon debitur.

Pemberian jaminan dimaksud guna menjamin kepastian pembayaran kembali

pinjaman yang akan diberikan kreditur, sehingga kreditur akan mendapat perlindungan

hukum atas jaminan hak-haknya untuk memperoleh kembali pembayaran pinjamannya dalam

jangka waktu tertentu dari debitur. Dalam hal kredit untuk modal kerja dan investasi, bank

meminta sebagai jaminan utama kepada debitur adalah tanah atau tanah dan bangunan

sedangkan jaminan lainnya berupa mesin-mesin dan barang dagangan sebagai jaminan

tambahan.

Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau yang tingkat pertumbuhan

ekonominya berkembang cukup pesat. Hal ini dapat diketahui dengan tumbuhnya kantor-

kantor perbankan yang berkantor pusat di Jakarta membuka kantor-kantor cabang di

Pekanbaru dan oleh karenanya salah satu bank umum swasta yaitu PT. Bank CIMB Niaga

Tbk berkantor pusat di Jakarta Selatan, Jalan Jendral Sudirman Kaveling 58 mempunyai

kantor cabang yang salah satunya berada di kota Pekanbaru.