bab ii tinjauan umum tentang akad al-qardh al...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD AL-QARDH AL-HASAN
A. Pengertian Akad Al-Qardh Al-Hasan
Berbicara masalah qardlul hasan itu sangat terkait dengan bahasan
akad qardl dalam kajian fiqh klasiknya, baik pengertian, landasan hukum
maupun syarat dan rukunnya, dan keduanya juga sama-sama masuk pada
performance akad utang-piutang / pnjam-meminjam dalam konsep
muamalahnya. Tapi ada satu hal yang membedakan diantara keduanya, yaitu
mengingat sumber dana dari adanya akad qardlul hasan adalah dari dana ZIS,
maka konskuensi logisnya tidak ada satu kewajiban yang mengikat dalam hal
pengembalian pinjaman harta, apabila terjadi kemadlaratan pada peminjam /
penghutang. Dan kalau dilihat dari susunan kata “Hasan” yang di sini
kedudukannya sebagai mudlof ilaih, maka dapat ditarik satu kesimpulan kalau
aqad qardl hasan itu merupakan akad mu’amalah yang sangat bernuansa sosial
dan non-profit.
Sedangkan istilah al-qardh secara lughawi (etimologi) berarti
(terputus). Harta yang dihutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh karena
ia terputus dari pemiliknya.1
Dan menurut istilah (terminologinya), al-qardh sesuai dengan
definisi yang berkembang di kalangan Fuqaha adalah sebagai berikut:
1 Sayyid Sabbiq, Fiqh As-Sunnah,Juz III, Darrul Fikr, Mesir, hlm. 182.
19
القرض هو ماتعطيه من مال مثلي لتتقاضاه او بعبارة آلخر ليرد اخرى هو
ال مثلي مثلهعقد مخصوص يرد على دفع م
“Al-qardh adalah akad penyerahan (pemilikan) harta al-misliyat kepada orang lain untuk ditagih pengembaliannya, atau dengan pengertian lain,” suatu akad yang bertujuan untuk menyerahkan harta misliyat kepada pihak lain untuk dikembalikan yang sejenis dengannya.”2
Sedangkan menurut Sayyid Sabbiq, bahwa al-Qardh adalah:
.المال الذي يعطيه المقرض للمقترض ليرد مثله اليه عند قدرته عليه
"Sesuatu/harta yang diberikan oleh orang yang menghutangi kepada penghutang dengan pengembalian yang sama pada saat penghutang sudah mampu mengembalikan”.3
Sedangkan al-Qardh al-Hasan secara terminologinya adalah:
Akad yang dikhususkan pada pinjaman harta yang terukur dan dapat
ditagih kembali serta merupakan akad saling bantu-membantu dan bukan
merupakan transaksi komersial, dalam arti si peminjam tidak dituntut
untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.4
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya akad al-Qardh
maupun al-Qardh al-Hasan merupakan bentuk mu’amalah yang bercorak
ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Maka sebenarnya al-Qardh/Qardhul Hasan disamping masuk pada term utang
2 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamiy Wa adillatuhu, Juz IV, hlm. 720. Ini adalah definisi yang disampaikan oleh Fuqaha Hanafiyah. Fuqaha Malakiyah mendefinisikan al-Qardh adalah “Penyerahan suatu harta kepada orang lain, yang tidak disertai iwadh (imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya. Menurut Fuqaha Syafi’iyah term al-Qardh mempunyai pengertian yang sama dalam term al-Salf, yakni “akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis dan sepadan. Baca Abdur Rahman al-Zajairy,Al-fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz II, hlm. 311-312.
3 Sayyod Sabbiq, Op.Cit, hlm. 182. 4 Karnaen Perwataatmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf,1992,hlm.33.
20
piutang, dalam literature fiqh klasik juga menyebutkan bahwa al-qardh
dikategorikan dalam akad tabarru’ atau tathawwui, yang sebenarnya dalam
bahasan fiqh muamalah kalau dilihat dari segi ada atau tidak adanya
kompensasi, maka akad dibagi menjadi dua bagian, yakni akad
tabarru’i/tathawwui dan akad tijarah/mu’awadah..5
Al-Qardh / Al-Qardh al-Hasan yang masuk pada term akad tabarru’i
(gratuitous contract) adalah karena segala macam perjanjian yang terjadi di
dalamnya menyangkut not-for profit transaction (transaksi nir-laba).
Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari
keuntungan komersil. Akad tabarru’i dilakukan dengan tujuan tolong
menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr
dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang
berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada
pihak lainnya. Imbalan akad ini adalah dari Allah Swt, bukan dari manusia.
Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta
kepada counter-part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost) yang
dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tersebut. Tapi tidak boleh
sedikitpun mengambil laba dari akad itu.6
Disamping ada satu hal yang membedakan antara Qardh dan
Qardhul Hasan, yaitu dari segi sumber dananya, sehingga konkuensinya
5 Ahmad asy-Syarbasyi, al-Mu’jam al-Iqtisad al-Islami (Beirut: Dar Alamil kutub,1987),
hlm. 163. 6 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:The International
of Islamic Thought (IIIT), 2003, hlm.68.
21
berbeda, sebagaimana tersebut di atas. Mahmud Syahrur dalam kitabnya juga
membedakan antara keduanya, yakni dari segi obyek pendayagunaannya.
Beliau menerangkan, bahwa dana Qardh didayagunakan untuk pembiayaan
yang bersifat produktif dan Qardhul Hasan untuk pembiayaan yang bersifat
konsumtif”.7
B. Landasan / Dasar Hukum Islam
Konsep akad qardh/qardhul hasan sangat sejalan dengan misi Islam
dalam perwujudan masyarakat yang kuat kehidupan ekonominya, karena
adanya toleransi antar sesama umat atau tolong-menolong antar sesama dalam
hal pemenuhan kebutuhan, sebagaimana tersebut di atas. Tentunya hal ini
sangat didukung dengan berbagai landasan sumber hukum Islam, diantaranya
al-Qur’an, hadits, ijma’ dan lainnya.
1. Landasan al-Qur’an
Dalam pemahaman Islam, al-Qur’an merupakan sumber hukum
tertinggi. Keberadannya pun tidak pernah usang menghadapi setiap
perubahan zaman. Hingga kini, Ia juga menjadi sandaran, rujukan hukum
dari setiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Al-qur’an secara
global berisi tentang ilmu pengetahuan secara umum, mulai dari konsep
umum tentang sosial, politik, budaya dan lain-lain. Disamping itu perintah
Allah juga terkonsep rapi di dalamnya. Tidak terkecuali pembahasan
7 Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an Qira’atun Mu’asharatun, (Beirut: Dar
Alamil kutub,1990), hlm. 469-470.
22
tentang utang-piutang atau al-Qardh, sebagaimana yang tercantum dalam
ayat al-Qur’an:
)١١: الحديد(من ذالذي يقرض اهللا قرضا حسنا فيضعفه له وله اجر آريم
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melimpahkan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. Al Hadid:11)8
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru
untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta
di jalan Allah.9 Selaras dengan meminjamkan kepada Allah maka kita
juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”. Sebagai
bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society).
2. Landasan Hadits
Islam menempatkan Al-Hadits sebagai dasar hukum kedua setelah
al-Qur’an. Ia juga menjadi penjelas atas ayat-ayat al-Qur’an yang
pembahasnnya masih bersifat global. Sehingga terlihat secara gambling
perintah untuk saling tolong menolong antar sesama, perlu kiranya penulis
mengambil beberapa hadits yang menjadi dasar hukum al-Qardh.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi saw. bersabda:
من نفس عن مسلم آربة من آرب الدنيا نفس اهللا عنه آربة من آرب يوم
واهللا في عون . القيامة ومن يسر على معسر يسر اهللا عليه في الدنيا واالخرة
) رواه مسلم وأبوداود والترمذى.(العبد مادام العبد في عون أخيه
8 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: PT. Kumudasmoro
Grafindo, hlm. 902. 9 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum,Jakarta:Tazkia
Institute, 1999, hlm. 186.
23
”Siapa yang memberikan keluangan terhadap orang miskin dari duka dan kabut dunia. Allah akan meluangkannya dari duka dan kabut hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan kesibukan seseorang, Allah akan memberikan kemudahan dunia dan akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.” (Riwayat Muslim, Abu Daud dan At Tirmidzi).10
Dan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi saw. bersabda:
مامن مسلم يقرض مسلما قرضامرتين أال آصدقة مرة
“Tidak ada seorang muslim yang menghutangi mualim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti shadaqah.” 11
Dari Anas Ibnu Malik, Rasulullah bersabda:
الها والقرض الصدقة بعشر أمث: رأيت ليلة أسري بي على باب الجنة مكتوبا
الن : مابال القرض أفضل من الصدقة ؟ قال, يا جبريل: فقلت . بثمانية عشر
والمستقرض اليستقرض اال من حاجة, السائل يسأل وعنده”Aku melihat pada waktu malam di-isra’akan, pada pintu surga
tertulis: Shadaqah dibalas 10 kali lipat dan qardh 18 kali. Aku bertanya: “wahai Jibril mengapa qardh lebih utama dari sahadaqah?’ Ia menjawab: “karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.” 12
3. Ijma’
Imam madzhab dan mujtahid mempunyai peranan yang besar
dalam memecahkan persoalan al-Qardh al-Hasan. Al-Ijma’, artinya
kesepakatan para mujtahid dalam menggali hukum-hukum agama sesudah
Rasulullah meninggal dunia dalam suatu masalah yang ada ketetapannya
10 Ibnu Sayyid Muhammad Syath Ad-Dimyathi, Hasyiyah I’anatuh ath-Thalibin, Bairut,
Libanon, 1993, hlm.59. 11 Hadits ini diriwayatkan oleh ibnu Majjah, dalam kitab al-ahkam, nomor Hadits 2421. 12 Hadits ini diriwayatkan oleh ibnu Majjah, dalam kitab al-ahkam, nomor Hadits 2422.
24
dalam kitab dan sunnah.13 Sedangkan Ijtihad yaitu pemikiran sahabat atau
ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk
menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian waris yang
dimaksud disini adalah ijtihad dalam penerapan hukum (tat biqi) bukan
untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada.14
Para Ulama telah menyepakati bahwa al-qardh/al-qardlul al-hasan
boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak
bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang
pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu,
pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini.
Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan
ummatnya.
C. Rukun Dan Syarat Al-Qardh Al-Hasan
Para Ulama Fiqh telah sepakat bahwa qardh maupun qardhul hasan,
merupakan suatu bentuk akad tamlik atau akad atas harta, seperti halnya jual
beli (bai’), sehingga mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, untuk
selanjutnya akad qardh itu dapat dikatakan sah menurut syara’. Oleh karena
akad qardh menyerupai akad jual beli (akad atas harta), jadi sedikit banyak
komponen rukun dan syarat al-qardh sama dengan rukun dan syarat yang ada
dalam jual beli (bai’).
13 Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996,
hlm.22. 14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,1998, hlm.22
25
Adapun rukun dan syarat al-qardh (perjannjian utang piutang)
adalah:
1. Adanya yang berpiutang/pemberi pinjaman (muqridh)
Dalam term ini yang disyaratkan adalah harus dari orang yang berhak
untuk bertasarruf (jaaizu at-tasarruf) dalam arti, mempunyai kecakapan
dalam bertindak hukum dan boleh (secara hukum) menggunakan harta,
juga berdasarkan iradah (kehendak bebas).15
2. Adanya orang yang berutang/peminjam (muqtaridh)
Syaratnya sama dengan ketentuan point 1.
3. Obyek / barang yang diutangkan / barang yang dipinjamkan (qardh)
Harta benda yang menjadi obyeknya harus mal-mutaqawwim (jelas dan
dapat memberikan manfaat kepada yang dipinjami). Mengenai jenis harta
benda yang dapat menjadi obyek utang-piutang terdapat perbedaan
pendapat di kalangan fuqaha Mazhab. Adapun perbedaan itu adalah:
a. Menurut fuqaha mazhab Hanafiyah akad qardh hanya berlaku pada
harta-benda al-misliyat, yakni harta benda yang banyak padanannya,
yang lazimnya dihitung melalui timbangan, takaran dan satuan.
15 Adapun maksud dari mempunyai kacakapan bertindak hukum dan boleh (secara
hukum) menggunakan harta adalah: (i) berakal, agar tidak terkicuh, orang gila atau bodoh tidak sah/boleh. (ii) tidak mubadzir (pemboros) , maksudnya bahwa para pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah transaksi/akad bukanlah manusia yang boros dan akhirnya dapat memubadzirkan barang. (iii) baligh (dewasa ) dalam hukum Islam. Selengkapnya dapat dibaca dalam Hukum Perjanjian Dalam Islam, Khairuman Pasaribu, hlm.35-37.
26
Sedangkan harta-benda al-qimiyyat tidak sah dijadikan obyek al-
qardh, seperti hasil seni, rumah, tanah, hewan dan lain-lain.16
b. Menurut fuqaha mazhab Malikiyyah, Syafi’iyah dan Hanabilah setiap
harta benda yang boleh diberlakukan atasnya akad salam boleh
diberlakukan atasnya akad qardh, baik berupa harta-benda al-misliyat,
seperti mas, perak dan beberapa makanan, maupun al-qimiyyat.
Pendapat ini didasarkan pada sunnah Rasulullah SAW. dimana beliau
pernah berhutang seekor bakr (unta berumur 2 tahun). Ini jelas bukan
takaran dan timbangan, dan karena barang yang dimiliki dengan akad
salam bisa dimiliki dengan bai’ dan bisa diketahui dengan sifat, maka
qardh hukumnya jawaz (boleh) seperti takaran dan timbangan. Adapun
barang-barang yang tidak bisa diakadi salam seperti mutiara, dan lain-
lain, maka tidak sah qardhnya dalam Qaul Ashoh. Karena qardh itu
menuntut ganti yang sama. 17
c. Atas dasar pendapat di atas, menurut Jumhurul Fuqaha’, setiap barang
yang dijual syah diakadi dengan qardh, kecuali bani adam dan tidak
syah menghutang beberapa kemanfaatan. Ini berbeda dengan pendapat
Ibnu Taimiyyah, seperti: mengajak orang berpanen supaya orang
tersebut mengajak orang lain agar berpanen sepertinya. Atau
16 Abdul al-Rahman al-Jazary, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, Maktabah
al-Tijariyah, al-Qubra,tt, hlm.340. 17 Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuhu,Juz IV, Dar al-Fikr, hlm. 723.
27
menyuruh orang lain bertempat tinggal ditempatnya agar orang
tersebut menempati tempat tinggal orang lain sebagai ganti.18
4. Adanya serah terima (ijab qabul)
Oleh karena qardh merupakan akad atas harta, seperti bai’ dan hibah
(seperti yang teruraikan di atas), maka teknis dalam akadnya harus dengan
ijab qabul, disamping itu juga al-qardh ini merupakan pemilikan yang
manusiawi.
Adapun maksud dari ijab qabul tersebut adalah adanya pernyataan
baik dari pihak yang mengutangkan/meminjamkan maupun dari pihak
yang berutang/meminjam.19 Dan teknis dalam ijab qabul tersebut,
bisa/boleh dengan menggunakan lafal qardh, salaf atau yang sepadan
dengannya,20 contohnya: “Aku milikkan harta ini kepadamu supaya lain
hari engkau mengembalikan gantinya kepadaku”. Tapi apabila berkata,
“Aku milikkan harta ini kepadamu tanpa menyebutkan kata gantinya,
otomatis menjadi hibah (pemberian Cuma-Cuma). Maka apabila dua
orang yang berakadan qardh berselisih, maka perkataan si penghutanglah
yang dipercaya/dimenangkan, karena harta tersebut jelas ada padanya, dan
si pemberi pinjaman tidak berhak meminta gantinya atas harta tersebut.
Dan satu syarat lagi yang berkaitan dengan hal di atas, bahwa akad
qardh tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di luar qardh itu sendiri
18 Wahbah al-Zuhaily, hlm.723. 19 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam
Islam,Jakarta:PT. Sinar Grafika,1996,hlm.137. 20 Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf,Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’I,Juz II,
Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hlm. 82.
28
yang menguntungkan pihak muqridh (pihak yang menghutangi). Misalnya
persyaratan memberikan keuntungan (manfaat) apapun bentuknya atau
tambahan, fuqaha sepakat yang demikian ini haram hukumnya.21
Jika keuntungan tersebut tidak dipersyaratkan dalam akad atau jika
hal itu telah menjadi urf (adat kebiasaan di masyarakat) menurut mazhab
Hanafiyah adalah boleh. Sedangkan fuqaha Malikiyah membedakan utang-
piutang yang bersumber dari jual beli dan utang-piutang ansih (al-qardh).
Dalam hal yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak
dipersyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang-piutang ansih (al-
qardh) penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak
dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, hukumnya
adalah haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi
kebiasaan di masyarakat baru boleh diterima.22
Penambahan perlunasan hutang yang diperjanjikan oleh muqtaridh
(pihak yang berhutang), menurut Syafi’iyyah pihak yang menghutangi makruh
menerimanya. Sedangkan menurut Hanabilah pihak yang menghutangi
dibolehkan menerimanya.23
21 Ghufron A. Mas’adi,Op.Cit., hlm. 173. 22 Abdur Rahman al-Jaziry, Op.Cit., hlm.343. 23 pandangan Fuqaha mengenai utang-piutang yang dikaitkan dengan suatu
keuntungan/manfaat selengkapnya dapat dibaca dalam Wahbah al-Zuhaily, Juz IV,hlm.725-727.
29
D. Beberapa Hukum Yang Berkaitan Dengan Akad
Al-Qardh Al-Hasan
Pertama, akad al-qardh al-hasan menetapkan peralihan pemilikan.
Misalnya apabila seseorang menghutangkan satu kilogram kepada orang lain,
maka barang tersebut terlepas dari pemilikan muqridh (orang yang
menghutangi), dan muqtaridh (orang yang berhutang) menjadi pemilik atas
barang tersebut sehingga ia bebas bertasarruf atasnya. Hal ini sebagaimana
berlaku pada akad jual-beli hibbah, hadiah.
Kedua, penyelesaian utang-piutang dilaksanakan di tempat akad
berlangsung. Sekalipun demikian, dapat juga dilaksanakan ditempat lain
sepanjang penyerahan tersebut tidak membutuhkan ongkos atau sepanjang
disepakati demikian.
Ketiga, pihak muqtaridh wajib melunasi hutang dengan barang
yang sejenis, jika obyek hutang adalah barang al-misliyyat atau dengan barang
yang sepadan (senilai). Jika obyek utang adalah barang al-qimiyyat, ia sama
sekali tidak wajib melunasi hutangnya dengan ‘ain (barang) yang
dihutanginya. Pada sisi lain pihak muqridh tidak berhak menuntut
pengembalian a’in yang dihutangkannya karena barang tersebut telah terlepas
dari pemiliknya.24
Keempat, jika dalam akad ditetapkan waktu atau tempo perlunasan
hutang, maka pihak muqridh tidak berhak menuntut perlunasan sebelum jatuh
tempo, sebagaimana firman Allah:
24 Wahbah al-Zuhaily, Juz IV, Op.Cit, hlm.723-724.
30
)٢٨٢:البقرة(اذا تدا ينتم بدين ألى أجل مسمى
“…apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan.” (Q.S. : 2 ayat 282).”
Dan berdalil pula kepada hadits yang diriwayatkan dari Amr bin
‘Auf Al-Muzani dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi saw, bersabda: 25
)رواه أبو داود وأحمد والترمذى والدار قطنى(المسلمون عند شروطهم
“orang-orang Islam itu berada pada syarat-syarat mereka” (riwayat Abu Daud, Ahmad, at-Tirmidzi dan Ad-Daru Quthni).”
Sedang apabila tidak ada kesepakatan waktu atau tempo
pengembaliannya, menurut fuqaha Malikiyyah perlunasan hutang berlaku
sesuai adat yang berkembang. Misalnya jika seeorang meminjam satu kwintal
padi tanpa dibatasi waktu pengembaliannya, sedangkan adat utang-piutang
padi dibayarkan setelah musim panen. Maka ketika panen tiba muqtaridh
wajib melunasinya. Jika sama sekali tidak berlaku adat tertentu, maka waktu
perlunasan hutang berlaku semenjak pihak muqtaridh telah selesai
memanfaatkan barang tersebut sesuai dengan tujuannya.26
Kelima, ketika waktu perlunasan hutang tiba, sedang pihak
muqtaridh belum mampu melunasi hutang, sangat dianjurkan oleh ajaran
Islam agar pihak muqridh berkenan memberi kesempatan dengan
memperpanjang waktu pelunasan, sekalipun demikian ia berhak menuntut
pelunasannya, sebagaimana firman Allah:
25 Sayyiod Sabiq, Fiqh Sunnah,, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, hlm.142. 26 Abdur Rahman al-Zajairiy, Juz II, hlm.315.
31
وان آان ذوعسرة فنظرة الى ميسرة وان تصدقوا خير لكم ان آنتم تعلمون
)٢٨٠البقرة(
”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah penangguhan waktu sampai ia mempunyai kelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S.: 2 ayat 280)”.27
Pada sisi lain ajaran Islam juga menganjurkan agar pihak muqtaridh
menyegerakan pelunasan hutang, karena bagaimanapun juga hutang adalah
sebuah kepercayaan dan sekaligus pertolongan, sehingga kebajikan ini
sepantasnya dibalas dengan kebajikan pula, yakni menyegerakan pelunasannya.
27 Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm.147.
32