bab ii tinjauan pustaka_ b11hpr

Upload: ahmad-abdul-hafiidh

Post on 05-Jul-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    1/9

    5

    TINJAUAN PUSTAKA

    Klasifikasi Tanaman Siwak

    Klasifikasi tanaman Salvadora persica di dalam Tjitrosoepomo (1998)

    adalah

    Divisio : Embryophyta

    Sub Divisio : Spermatophyta

    Class : Dicotyledons

    Sub Class : Eudicotiledons

    Ordo : BrassicalesFamily : Salvadoraceae

    Genus : Salvadora 

    Spesies : S. persica Linn

    Karakteristik S. persica  dan Habitatnya

    Menurut Sher et al.  (2010), S. persica  adalah tumbuhan halofit yang

    selalu berdaun hijau yang bisa hidup dilingkungan yang ekstrim, mulai dari

    lingkungan yang sangat kering sampai dengan lingkungan yang berkadar garam

    tanah yang sangat tinggi. Tumbuhan ini berupa semak belukar seperti ditunjukkan

    Gambar 1 dengan tinggi maksimum tujuh meter.

    Gambar 1 Kawanan unta yang sedang memakan daun S. persica. Sumber: et al. (2010).

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    2/9

    6

    Dalam Sher et al.  (2010) dijelaskan bahwa batang utama S. persica 

    diselimuti oleh cabang-cabang yang sangat lebat. Pertumbuhan tanaman ini

    menuju ke segala arah, sampai cabang-cabangnya menyentuh tanah.  Daunnya

     berbentuk oblongelliptik (seperti telur) sampai bulat dengan ukuran 3x7 cm,

     berwarna hijau gelap, agak tebal, bagian apeksnya meruncing sampai membulat,

    mengecil tajam, bagian basis umumnya menyempit, terdapat batas daun yang

     jelas, petiol (tulang daun) memiliki panjang sampai 10 mm, dan tersusun

     berlawanan berpasangan. Bunga berwarna kehijauan sampai kekuningan, sangat

    kecil, mudah lepas dari batang dan terdapat mulai dari bagian aksial sampai ujung

     panikel (batang dengan cabang bunga yang banyak) sepanjang 10 cm. Buah

     berbentuk bola, berdaging, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna merah muda

    sampai ungu dan semi transparan ketika sudah matang. Gambar 2 menunjukkan

     bentuk batang, daun, bunga dan buah bisa S. persica.

    Gambar 2 Bentuk batang, daun, bunga dan buah S. persica.Sumber: Wikipedia (2010).

    Persebaran S. persica  kebanyakan terdapat di gurun, lapangan luas, tepi

    sungai dan padang rumput. S. persica bisa bertahan pada lingkungan yang sangat

    kering (curah hujan kurang dari 200 mm) dan sangat tahan terhadap garam dan

     bisa ditemukan di daerah pantai. Rentang ketinggian daerah pertumbuhan

     beragam mulai dari 0-1800 meter di atas permukaan laut (mdpl). S. persica  juga

     bisa tumbuh di tanah liat, tanah hitam dan pasir (Sher et al. 2010).

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    3/9

    7

    Kandungan Bahan Bioaktif S. persica  

    S. persica mengandung glikosida, sterol, terpenoid, flavonoid, tanin,

    alkaloid, natrium klorida, kalium klorida, sulfat, nitrat, tiosianat, salvadorin,

    saponin, tanin, vitamin C, silika, resin, sianogenik atau lignan glikosida, oleat,

    linoleat, asam stearat, benzil-isotiosianat, trimetilamina,   -sitosterol, asam m-

    anisik, kandungan mineral yang tinggi 27,6%, sulfur, fluorida yang berlimpah,

    garam yang mengandung klorin (Al-Sadhan dan Almas 1999; Darout et al . 2000;

    Ahmed et al. 2008; Al-Bayati dan Sulaiman 2008).

    Aktivitas Farmakologik S. persica

    S. persica  memiliki kemampuan sebagai antibakteri, anticendawan,

    antiplasmodium, antiplak, antiperiopati, antikaries, antiradang, diuretika, antimag,

    antihelmin, pembersih gigi, antirematik, mengobati batuk dan asma, laksatifa,

    memperbaiki mukosa lambung yang rusak, meningkatkan kadar kolesterol yang

    rendah dalam plasma (Alali dan Al-Lafi 2002; Al-Sabawi et al. 2007; Al-Bayati

    dan Sulaiman 2008).

    Shibl et al.  (1985) telah melakukan penelitian tentang efek antimikroba

    ekstrak kayu siwak secara in vitro  dengan menggunakan beberapa pelarut

    ekstraksi, yaitu eter petroleum, kloroform dan metanol terhadap bakteri Gram

    negatif dan positif serta cendawan. Hasil yang diperoleh menunjukkan semua

     jenis ekstraksi tidak berpengaruh. Namun, minyak volatil dari batang dan daun

    menunjukkan hasil yang meyakinkan sebagai antimikroba terhadap semua

    mikroba yang diuji.

    Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Saadabi (2006) yang melaporkan

     bahwa ekstraksi yang menggunakan pelarut kloroform dan air menunjukkanaktivitas penghambatan yang moderat dan ekstrak metanol menunjukkan

     penghambatan yang kuat. Selain itu, Al-Bayati dan Sulaiman (2008) juga

    melaporkan bahwa ekstraksi yang menggunakan pelarut air dan metanol

    mempunyai aktivitas anticendawan yang sama. Hal tersebut mungkin disebabkan

    oleh perbedaan galur  Candida sp, area isolasi, dan perbedaan metode pengujian.

    Ekstrak etanol kayu siwak pada kadar 200 mg/ml menunjukkan efek

    anticendawan terhadap C. albicans dan pada kadar 100 mg/ml menunjukkan efek

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    4/9

    8

    yang lebih rendah. Sedangkan, kadar 50 mg/ml sama sekali tidak memiliki efek

    anticendawan terhadap C. albicans (Abo Al-Samh dan Al-Bagieh 1996).

    Klasifikasi Khamir C. albi cans

    Klasifikasi C. albicans di dalam Yarrow dan Meyer (1987) adalah

    Kingdom : Fungi

    Phylum : Ascomycota

    Subphylum : Saccharomycotina

    Class : Saccharomycetes

    Order : Saccharomycetales

    Family : Saccharomycetaceae

    Genus : Candida 

    Species : C. albicans 

    Morfologi dan Morfogenesis C. albi cans

    C. albicans  adalah khamir diploid dan tidak ditemukan bentuk

    teleomorfnya (fase seksual) (Kavanagh 2005). C. albicans  berukuran 4-10 µm

    (Calderone 2002). Habitat alami C. albicans adalah di daerah mukokutaneus dan

    alat kelamin baik pada manusia maupun hewan (Quinn 1994). Morfologinya

    dicirikan dengan bentuk dimorfik (memiliki dua bentuk yang berbeda pada satu

    individu) yang merupakan salah satu parameter dalam mendiagnosa infeksi yang

    diakibatkan oleh khamir ini. Bentuk khamir C. albicans  bersifat komensal pada

    inang, sedangkan bentuk kapangnya ditemukan pada saat terjadi infeksi.

    Blastospora (sel khamir) berbentuk bulat sampai oval dan selnya terpisah

    satu sama lain. Selain blastospora, C. albicans  juga bisa membentuk hifa sejatidan pseudohifa. Hifa sejati adalah sel yang panjang dan berkutub dengan sisi yang

     pararel tanpa ada batas yang jelas. Pseudohifa adalah sel khamir berbentuk

    elipsoida yang tetap menempel satu sama lain dan dibatasi oleh septa. Gambar 3

    menunjukkan bentuk blastospora, hifa sejati dan pseudohifa. Perbedaan antara

    hifa sejati dan pseudohifa adalah hifa sejati terbentuk dari blastospora dan cabang

    dari hifa sejati.Adapun pseudohifa terbentuk dari blastospora atau pertunasan dari

    hifa dimana sel baru tersebut tetap menempel pada sel induknya dan tetap

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    5/9

    9

    memanjang (Calderone 2002). Bentuk psudohifa dan hifa menjadi penciri untuk

    mengidentifikasi Candida sp.  dan juga berguna untuk diagnosis kandidiasis

    (Heitman 2006).

    Gambar 3 Morfogenesis C. albicans. Sumber: Berman dan Sudbery (2002).

    Perubahan bentuk C. albicans dari khamir ke kapang bisa terjadi karena

     pengaruh berbagai macam faktor lingkungan, antara lain perubahan dari

    komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2  yang

    tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu. Suhu dan pH yang optimal bagi

     blatospora C. albicans berubah menjadi hifa adalah 35oC dan 6,5-7,0. Jika suhu

    lingkungan lebih rendah dari 35oC dan pH cenderung asam, maka C. albicans

    hanya akan membentuk blastospora baru (Calderone 2002). Menurut penelitian

    Berman dan Sudbery (2002) C.  albicans  yang cacat dalam kemampuannya

     berkecambah lebih tidak virulen, sedangkan bentuk hifa yang besar sulit dibunuh

    oleh sel fagosit dibandingkan blastospora.

    Heitman (2006) juga menyatakan bahwa C. albicans  bisa membentuk

    khlamidospora. Khlamidospora adalah bentuk pertahanan yang dibentuk pada

    kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, contoh khlamidospora seperti

    ditunjukkan Gambar 4. Khlamidospora memiliki diameter 8-12 µm (Calderone

    2002).

    Blastospora

     

    Pseudohifa

     

    Hifa sejati

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    6/9

    10

    Gambar 4 Khlamidospora C. albicans.Sumber: Quinn (1994).

    Penyakit yang Disebabkan oleh C. albicans  

    Menurut Quinn (1994), C. albicans bisa menyebabkan beberapa penyakit

     pada manusia dan hewan seperti terpapar pada Tabel 1 di bawah ini.

    Tabel 1 Penyakit yang disebabkan oleh C. albicans pada berbagai spesies.

    Inang Penyakit

    Ayam, kalkun, merpati, dan burunglainnya

    Murai di mulut, oesofagus, dantembolok, bisa sangat mematikan pada

     burungAnak kuda Ulserasi pada abdomen

    Kuda jantan dan betina dewasa Infeksi alat kelamin

    Anak sapi Kandidiasis pneumonia, enterika dan

    sistemik

    Sapi betina Mastitis dari derajat ringan sampaisedang

    Anak kucing dan anak anjing Mikotik stomatitis

    Anak kucing EnteritisAnjing betina Infeksi saluran kelamin

    Anjing jantan Infeksi sistemik pada otot, tulang, kulitKucing Piotoraks

    Primata dan mamalia air Kandidiasis mukokutaneus

    Manusia   Stomatitis mikotik pada bayi

      Infeksi kuku

      Infeksi saluran kelamin, kulit,

     paru-paru dan oragan lainnya

    Senyawa Anticendawan yang Berasal dari Tumbuhan

    Tumbuhan telah menjadi sumber senyawa bioaktif yang sangat beragam,

     baik dalam bentuk bahan mentah maupun senyawa yang sudah dimurnikan untuk

    mengobati berbagai penyakit. Beberapa senyawa bioaktif yang telah dikenali

    terpapar di bawah ini

    Blastospora

     

    Khlamidospora

     

    Pseudohifa

     

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    7/9

    11

    Fenol

    Lokasi dan beberapa gugus hidroksil pada fenol berhubungan dengan

    kemampuan tumbuhan menghasilkan zat toksik terhadap mikroorganisme,

    termasuk penghambatan enzim oleh senyawa teroksidasi yang berasal dari gugus

    sulfhidril atau interaksi nonspesifik dengan protein. Senyawa yang termasuk ke

    dalam kelompok ini adalah tanin dan asam salisilat (Schultes 1978).

    Flavonoid

    Flavon adalah struktur fenolik yang mengandung satu gugus karbon dan

    tambahan gugus 3-hidroksil yang membentuk flavonol. Diantara senyawa

    flavonoida yang telah dilaporkan memiliki efek anticendawan adalah

    amentoflavon (Lewis dan Elvin-Lewis 1995); eumatenoid-3, eupomatenoid-5

    (Schultes 1978); conocarpan (Ferreira et al.  2006); orientin (Dharmaratne et al. 

    2005); 2-hydroxy maackiain (Jung et al.  2006). Turunan flavonoida seperti

    scandenone, tiliroside, quercetin-3,7-O-α-L-dirhamnoside dan kaempferol-3,7-O-

    α-L-dirhamnoside juga dilaporkan memiliki aktivitas anticendawan terhadap C.

    albicans dan pada kadar 1,0 µg/ml sama potensialnya dengan ketokonazol

    (Ozçelik et al. 2006).

    Saponin

    Dalam Arif et al. (2009) Saponin adalah metabolit sekunder yang terdapat

     pada berbagai macam spesies tumbuhan. Saponin disimpan dalam sel tumbuhan

    sebagai prekursor inaktif, tetapi dengan segera bisa diubah menjadi antibiotika

    yang aktif secara biologik oleh enzim sebagai bentuk reaksi terhadap serangan

     patogen. Saponin adalah senyawa terglikosilasi yang tersebar pada kingdomtumbuhan dan dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni triterpenoid, steroid, dan

    steroidal glikoalkaloida. Mekanisme saponin sebagai anticendawan dilakukan

    dengan cara mengganggu kekompakan membran dari sel cendawan. Spirostanol

    (steroidal saponin) yang diisolasi dari akar Smilax medica bersama dengan 3-o- β -

    D-glucopyranoside (Cowan 1999); disporoside A (Sautour et al.  2005); dua

    senyawa steroidal saponin yang diisolasi dari Smilax aspera  subspesies

    mauritanica, memperlihatkan aktivitas melawan C. albicans, C. galbrata dan C.

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    8/9

    12

    tropicalis (Belhouchet et al.  2008). Delapan saponin dari Tribulus terrestris

    dilaporkan terdapat dua senyawa yang menunjukkan aktivitas yang bagus

    melawan galur Candida yang tahan terhadap flukonazola (Zhang et al.  2005).

    Tiga spirostanol saponin tersusun dari sansevierin A, sansevistatin 1, sansevistatin

    2 dan tiga steroidal saponin yang diisolasi dari Sansevieria ehrenbergii  sangat

    khusus memperlihatkan aktivitas melawan C. albicans  dan Cryptococcus

    neoformans (Du et al. 2003).

    Alkaloid

    Dalam Arif et al. (2009) Alkaloida adalah senyawa heterosiklik nitrogen.

    Contoh senyawa alkaloida yang pertama kali digunakan dalam dunia medis adalah

    morfin yang diisolasi dari  Papaver somniferum. Baru-baru ini Alkaloida yang

    diisolasi dari  Datura metel   yaitu 2-(3,4-dimetil-2,5-dihidro-1H-pirrol-2-yl)-1-

    metiletilpentanoat menunjukkan secara in vitro efektif terhadap genus Aspergillus 

    dan Candida  (Dabur et al. 2005). 6,8-didec-(1Z)-enyl-5,7-dimethyl-2,3-dihydro-

    1H-indolizinum dari  Aniba panurensis menunjukkan aktivitas terhadap galur C.

    albicans yang tahan terhadap anticendawan (Klausmeyer et al. 2004). Bromo-8-n-

    heksilberberin, turunan dari berberin, dilaporkan menjadi 32 kali lebih aktif

    melawan C. albicans  dibanding dengan berberin (Iwasa et al.  1998). Senyawa

    Alkaloida lain yang juga menunjukkan aktivitas terhadap C. albicans  adalah

    Cinnamodial dan cinnamosmolide dari Pleodendron costaricense (Treyvaud et al.

    2006), 3-Metoksisampangin dari Cleistopholis patens (Liu et al. 1990).

    Terpenoid dan minyak asiri

    Dalam Arif et al.  (2009) minyak asiri adalah metabolit sekunder yangdiperkaya pada senyawa yang berdasarkan pada struktur isoprena. Terpena secara

    umum memiliki formula kimia C10H16, kemudian menjadi diterpena, triterpena,

    tetraerpena (C20,C30,C40). Begitu juga dengan hemiterpena (C5). Mekanisme

    anticendawan dari terpena belum sepenuhnya dimengerti. Ada pendapat bahwa

    aktivitas anticendawan disebabkan oleh terganggunya membran dinding sel oleh

    kandungan lipofiliknya. Hal ini dikarenakan penambahan zat hidrofilik berupa

    kaurene diterpenioda dengan gugus metil, mengurangi aktivitas antcendawan

  • 8/16/2019 BAB II Tinjauan Pustaka_ B11hpr

    9/9

    13

    terpena secara drastis. Beberapa senyawa terpena dan terpenoida telah dilaporkan

    mempunyai aktivitas anticendawan (Kumbhar dan Dewang 2001).

    Pada tahun 1977 telah dilaporkan bahwa 60% dari turunan minyak asiri

    mampu menghambat pertumbuhan cendawan dan 30% menghambat pertumbuhan

     bakteri (Chaurasia dan Vyas 1977). Beberapa contoh minyak esensial yang telah

    dilaporkan memiliki aktivitas anticendawan terhadap C. albicans adalah 8,17-

    epoxylabd-12-ene-15,16-dial (Haraguchi et al.  1996), sesquiterpena lakton dari

    tanaman Ajania fruticulosa (Meng et al. 2001).