11. ii. tinjauan pustaka

34
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Testis 1. Anatomi dan fisiologi Kedua testis terletak dalam skrotum dan menghasilkan spermatozoa dan hormon, terutama testosteron. Permukaan masing-masing testis tertutup oleh lamina visceralis tunika vaginalis, kecuali pada tempat perlekatan epididimis dan funikulus spermatikus. Tunika vaginalis ialah sebuah kantong peritoneal yang membungkus testis. Sedikit cairan dalam rongga tunika vaginalis memisahkan lamina visceralis terhadap lamina parietalis dan memungkinkan testis bergerak secara bebas dalam skrotum. Arteri testikularis berasal dari pars abdominalis aorta, tepat kaudal

Upload: fajar-al-habibi

Post on 22-Jun-2015

37 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tinjauan

TRANSCRIPT

Page 1: 11. II. Tinjauan Pustaka

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Testis

1. Anatomi dan fisiologi

Kedua testis terletak dalam skrotum dan menghasilkan spermatozoa dan

hormon, terutama testosteron. Permukaan masing-masing testis tertutup

oleh lamina visceralis tunika vaginalis, kecuali pada tempat perlekatan

epididimis dan funikulus spermatikus. Tunika vaginalis ialah sebuah

kantong peritoneal yang membungkus testis. Sedikit cairan dalam rongga

tunika vaginalis memisahkan lamina visceralis terhadap lamina parietalis

dan memungkinkan testis bergerak secara bebas dalam skrotum. Arteri

testikularis berasal dari pars abdominalis aorta, tepat kaudal arteri renalis.

Vena-vena meninggalkan testis dan berhubungan dengan pleksus

pampiniformis yang melepaskan vena testikularis dalam kanalis

inguinalis. Saraf autonom testis berasal dari pleksus testikularis sekeliling

arteri testikularis (Moore, 2002).

Testis terdiri atas 900 lilitan tubulus seminiferus, yang masing-masing

mempunyai panjang rata-rata lebih dari 5 meter. Gambar 3 menunjukkan

tiap lobulus testis mengandung beberapa tubuli seminiferi kontorti,

Page 2: 11. II. Tinjauan Pustaka

12

kemudian membentuk 20-30 saluran lurus (tubuli recti). Kumpulan tubuli

rekti dalam mediastinum disebut rete testis (corpus highmori). Dari

bagian kranial, rete testis berjalan menjadi 12-20 buah saluran yang

disebut vas/ductus efferentia. Vas efferentia menembus tunika albuginea

kemudian berkelok-kelok disebut sebagai lobuli epididimis yang

membentuk kaput epididimis. Epididimis mengarah ke dalam vas

deferens, yang membesar ke dalam ampula vas deferens. Vesikula

seminalis, yang masing-masing terletak di sebelah prostat, mengalir ke

dalam ujung ampula prostat, dan isi dari ampula dan vesikula seminalis

masuk ke dalam duktus ejakulatorius terus melalui korpus kelenjar prostat

dan masuk ke dalam uretra internus. Akhirnya, uretra merupakan rantai

penghubung terakhir dari testis ke dunia luar (Moore, 2002).

Gambar 3. Anatomi testis (Junquiera, 2007)

Page 3: 11. II. Tinjauan Pustaka

13

2. Histologi

a. Tubulus seminiferus

Setiap tubulus ini dilapisi oleh epitel berlapis majemuk. Tubulus

kontortus membentuk jalinan yang tempat masing-masing tubulus

berakhir buntu atau dapat bercabang. Pada ujung setiap lobulus,

lumennya menyempit dan berlanjut ke dalam ruas pendek yang

dikenal sebagai tubulus rektus, atau tubulus lurus, yang

menghubungkan tubulus seminiferus dengan labirin saluran-saluran

berlapis epitel yang berkesinambungan yaitu rete testis. Rete ini,

terdapat dalam jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan dengan

bagian kepala epididimis oleh 10-20 duktulus eferentes (Eroschenko,

2003).

Gambar 4 menunjukkan tubulus seminiferus terdiri atas suatu lapisan

jaringan ikat fibrosa, lamina basalis yang berkembang baik, dan suatu

epitel germinal kompleks atau seminiferus. Tunika propria fibrosa

yang membungkus tubulus seminiferus terdiri atas beberapa lapis

fibroblast. Lapisan paling dalam yang melekat pada lamina basalis

terdiri dari sel-sel mioid gepeng, yang memperlihatkan ciri otot polos.

Epitel tubulus seminiferus terdiri atas dua jenis sel yaitu sel sertoli

atau sel penyokong dan sel-sel yang merupakan garis turunan

spermatogenik (Junqueira, 2007).

Page 4: 11. II. Tinjauan Pustaka

14

Gambar 4. Gambaran histologi tubulus seminiferus testis (potongan transversa) (Mariano, 1996)

b. Sel-sel spermatogenik

Spermatogonium adalah sel primitif benih, yang terletak di samping

lamina basalis. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah

sekitar 12 µm dan intinya mengandung kromatin pucat. Pada keadaan

kematangan kelamin, sel ini mengalami sederetan mitosis lalu

terbentuklah sel induk atau spermatogonium tipe A, dan mereka

berdiferensiasi selama siklus mitotik yang progresif menjadi

spermatogonium tipe B. Spermatogonium tipe A adalah sel induk

untuk garis keturunan spermatogenik, sementara spermatogonium tipe

Page 5: 11. II. Tinjauan Pustaka

15

B merupakan sel progenitor yang berdiferensiasi menjadi spermatosit

primer (Junqueira, 2007).

Spermatosit primer adalah sel terbesar dalam garis turunan

spermatogenik ini dan ditandai adanya kromosom dalam tahap proses

penggelungan yang berbeda di dalam intinya. Spermatosit primer

memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA (Junqueira, 2007).

Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena

merupakan sel berumur pendek yang berada dalam fase interfase yang

sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan kedua.

Spermatosit sekunder memilki 23 kromosom (22+X atau 22+Y)

dengan pengurangan DNA per sel (dari 4N menjadi 2N). Pembelahan

spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Spermatid memiliki

ukuran yang kecil (garis tengahnya 7-8 µm), inti dengan daerah-

daerah kromatin padat dan lokasi jukstaluminal di dalam tubulus

seminiferus. Spermatid mengandung 23 kromosom. Karena tidak ada

fase S (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama

dan kedua dari spermatosit, maka jumlah DNA per sel dikurangi

setengahnya selama pembelahan kedua ini menghasilkan sel-sel

haploid (1N) (Junqueira, 2007).

Page 6: 11. II. Tinjauan Pustaka

16

c. Sel sertoli

Sel sertoli adalah sel piramid memanjang yang sebagian memeluk sel-

sel dari garis keturunan spermatogenik. Dasar sel sertoli melekat pada

lamina basalis, sedangkan ujung apeksnya sering meluas ke dalam

lumen tubulus seminiferus. Dengan mikroskop cahaya, bentuk sel

sertoli tidak jelas terlihat karena banyaknya juluran lateral yang

mengelilingi sel spermatogenik. Kajian dengan mikroskop elektron

mengungkapkan bahwa sel ini mengandung banyak retikulum

endoplasma halus, sedikit retikulum endoplasma kasar, sebuah

kompleks golgi yang berkembang baik, dan banyak mitokondria dan

lisosom. Inti yang memanjang yang sering berbentuk segitiga,

memiliki banyak lipatan dan sebuah anak inti yang mencolok,

memiliki sedikit heterokromatin. Fungsi utama sel sertoli adalah untuk

menunjang, melindungi, dan mengatur nutrisi spermatozoa. Selain itu,

sel sertoli juga berfungsi untuk fagositosis kelebihan sitoplasma

selama spermatogenesis dan sekresi sebuah protein pengikat androgen

serta inhibin (Junqueira, 2007).

Page 7: 11. II. Tinjauan Pustaka

17

Gambar 5. Sel-sel spermatogenik, sel spermatozoa, dan sel sertoli (Mariano, 1996)

d. Jaringan interstisial

Celah di antara tubulus seminiferus dalam testis diisi kumpulan

jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan limfe. Kapiler testis adalah

dari jenis bertingkap yang memungkinkan perpindahan antarmolekul

secara bebas seperti darah. Jaringan ikat terdiri atas berbagai jenis sel,

termasuk fibroblast, sel jaringan ikat pengembang, sel mast, dan

makrofag. Selama pubertas, muncul jenis sel tambahan yang

berbentuk bulat atau poligonal, memiliki inti di pusat dan sitoplasma

eosinofilik dengan banyak tetesan lipid. Sel tersebut adalah sel

interstisial atau sel leydig dari testis, yang memiliki ciri sel

pengsekresi steroid. Sel-sel ini menghasilkan hormon pria testosteron,

yang berfungsi bagi perkembangan ciri kelamin pria sekunder

(Junqueira, 2007).

Page 8: 11. II. Tinjauan Pustaka

18

3. Spermatogenesis dan spermiogenesis

Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama

kehidupan seksual aktif dari rangsangan oleh hormon gonadotropin

hipofisis anterior, dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut

sepanjang hidup (Guyton dan Hall, 2008). Adapun tahap-tahap

spermatogenesis seperti terlihat pada gambar 6 yaitu :

a. Spermatogonia primitif berkumpul tepat di tepi membran basal dari

epitel germinativum, disebut spermatogonia tipe A, membelah empat

kali untuk membentuk 16 sel yang sedikit lebih berdiferensiasi, yaitu

spermatogonia tipe B.

b. Spermatogonia bermigrasi ke arah sentral di antara sel-sel sertoli.

c. Untuk jangka waktu rata-rata 24 hari, setiap spermatogonium yang

melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel sertoli

dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar membentuk suatu

spermatosit primer yang besar. Pada akhir hari ke-24, setiap

spermatosit terbagi dua menjadi spermatosit sekunder. Pembagian ini

disebut sebagai pembagian meiosis pertama.

d. Pada tahap awal dari pembagian meiosis pertama ini, semua DNA di

dalam 46 kromosom bereplikasi. Dalam proses ini, masing-masing 46

kromosom menjadi dua kromatid yang tetap berikatan bersama

sentromer, kedua kromatid memiliki gen-gen duplikat dari kromosom

tersebut. Pada waktu ini, spermatosit pertama terbagi menjadi 2

spermatosit sekunder, yang setiap pasang kromosom berpisah sehingga

ke-23 kromosom, yang masing-masing memiliki 2 kromatid, pergi ke

Page 9: 11. II. Tinjauan Pustaka

19

salah satu spermatosit sekunder. Sementara 23 kromosom yang lain

pergi ke spermatosit sekunder yang lain.

e. Dalam 2 sampai 3 hari, pembagian meiosis kedua terjadi di mana

kedua kromatid dari setiap 23 kromosom berpisah pada sentromer,

membentuk dua pasang 23 kromosom, 1 pasang dibawa ke 1 spermatid

dan 1 pasang yang lain dibawa ke spermatid yang kedua. Manfaat dari

kedua pembagian meiosis ini adalah bahwa setiap spermatid yang

akhirnya dibentuk membawa hanya 23 kromosom, memiliki hanya

setengah dari gen-gen spermatogonium yang pertama. Oleh karena itu,

spermatozoa yang akhirnya membuahi ovum wanita akan

menyediakan setengah dari bahan genetik ke ovum yang dibuahi dan

ovum akan menyediakan ½ bagian berikutnya.

f. Selama beberapa minggu berikutnya setelah meiosis, setiap spermatid

diasuh dan dibentuk kembali secara fisik oleh sel sertoli

pembungkusnya, mengubah spermatid secara perlahan-lahan menjadi

satu spermatozoa (sebuah sperma) dengan menghilangkan beberapa

sitoplasmanya, mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid

untuk membentuk 1 kepala yang padat, dan mengumpulkan sisa

sitoplasma dan membrane sel pada salah satu ujung dari sel untuk

membentuk ekor (spermiogenesis).

g. Semua tahap pengubahan akhir dari spermatosit menjadi sperma

terjadi ketika spermatosit dan spermatid terbenam dalam sel-sel sertoli.

Sel-sel sertoli memelihara dan mengatur proses spermatogenesis.

Page 10: 11. II. Tinjauan Pustaka

20

Seluruh masa spermatogenesis, dari sel germinal sampai sperma,

membutuhkan waktu kira-kira 64 hari (Guyton dan Hall, 2008).

Gambar 6. Tahap-tahap spermatogenesis (Junqueira, 2007)

Kedua testis dari seorang manusia dewasa muda dapat membentuk kira-

kira 120 juta sperma setiap harinya. Sejumlah kecil sperma dapat disimpan

dalam epididimis, tetapi sebagian besar disimpan dalam vas deferens dan

ampula vas deferens. Sperma dapat tetap disimpan dan mempertahankan

kualitasnya dalam duktus genitalis paling sedikit selama 1 bulan (Guyton

dan Hall, 2008).

4. Hormon yang merangsang spermatogenesis

Hormon-hormon yang berperan dalam spermatogenesis (hormon steroid)

adalah sebagai berikut

Page 11: 11. II. Tinjauan Pustaka

21

a. Testosteron, disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium

testis. Hormon ini penting untuk pertumbuhan dan pembagian sel-sel

germinativum dalam membentuk sperma.

b. Hormon lutein (LH), disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior,

merangsang sel-sel Leydig untuk mensekresi testosteron.

c. Hormon perangsang folikel (FSH), juga disekresi oleh sel-sel kelenjar

hipofisis anterior, mempengaruhi sel-sel Sertoli untuk merangsang

adenilat siklase dan kemudian meningkatkan cAMP. FSH juga

meningkatkan sintesis dan sekresi protein pengikat androgen (ABP).

Protein ini bergabung dengan testosteron dan mengangkut hormon ini

ke lumen tubulus seminiferus. Di dalam tubulus seminiferus, androgen

berfungsi dalam mengontrol proses spermatogenesis pada pembelahan

miosis dan spermiogenesis (Junqueira, 2007).

d. Estrogen, dibentuk dari testosteron oleh sel-sel sertoli ketika sel sertoli

sedang dirangsang oleh hormon perangsang folikel, yang mungkin

juga penting untuk spermiogenesis.

e. Hormon pertumbuhan (seperti juga pada sebagian besar hormon yang

lain) diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme

testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan

awal spermatogonia sendiri. Bila tidak terdapat hormon pertumbuhan,

seperti pada dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang

atau tidak ada sama sekali (Guyton dan Hall, 2008).

Page 12: 11. II. Tinjauan Pustaka

22

Gambar 7. Regulasi hormon sistem reproduksi pria (Eilts, 2004)

B. Pengaruh Alkohol terhadap Testis

Pada sistem reproduksi, alkohol dapat mengubah keseimbangan hormon

reproduksi pada individu jantan dan betina. Pada individu jantan, alkohol

menyebabkan kerusakan jaringan testikuler dan kegagalan sintesis testosteron

dan produksi spermatozoa. Penelitian pada laki-laki yang diberi alkohol 220

ml setiap hari selama 4 minggu, akan terjadi penurunan jumlah testosteron

setelah 5 hari dari pemberian terakhir. Bila pemberian tersebut dilanjutkan

akan menyebabkan feminisasi pada laki-laki, seperti pembesaran kelenjar

susu (Nugroho, 2007). Penelitian lain menyebutkan bahwa alkohol (etanol)

dengan konsentrasi 10% dan 30% dapat menurunkan jumlah sel

Page 13: 11. II. Tinjauan Pustaka

23

spermatogonium, sel spermatosit primer dan sel leydig. Pada konsentrasi

yang lebih besar terdapat penurunan sel spermatogonium, sel spermatosit

primer dan sel leydig yang lebih banyak (Foa et al., 2006). Kemudian,

Syarifah (2007) membuktikan dalam penelitiannya dengan menggunakan

alkohol (etanol) dengan konsentrasi 15%, 30%, dan 45% bisa mengurangi

motilitas dari spermatozoa.

Kadar testosteron dapat menurun, tetapi banyak pria yang ketergantungan

alkohol mempunyai kadar testosteron dan estrogen normal (Fleming et al.,

2008). Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan

efek alkohol terhadap hipotalamus dan hipofisis yaitu dengan mengeluarkan

hipofisis anterior tikus. Peneliti menumbuhkannya secara invitro dengan ada

atau tidaknya alkohol. Hasilnya ternyata alkohol menurunkan kadar LH

(Luteinizing Hormone) bahkan dengan hipofisis yang sudah terisolasi

tersebut, setidaknya sebagian bertindak langsung ke hipofisis (Van et al.,

1983). Hal ini selaras dengan Emanuelle (1998) yang menyebutkan bahwa

atrofi testis mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu salah satunya

adalah efek alkohol pada LH dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang

merangsang pertumbuhan testis. Faktor lain yaitu karena efek alkohol yang

merusak testis, serta faktor lain, seperti malnutrisi, akibat pengobatan dengan

berbagai obat, dan penyalahgunaan obat-obatan selain alkohol (Emanuelle,

1998).

Page 14: 11. II. Tinjauan Pustaka

24

Laporan klinis lain berupa ginekomastia dan atrofi testis pada pecandu

alkohol dengan sirosis menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam

keseimbangan hormon steroid (Masters, 2007). Ginekomastia dan atrofi testis

juga ditemukan pada pecandu alkohol yang memiliki sedikit bukti gangguan

hati (Masters, 2007). Sejumlah penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa

penyalahgunaan alkohol pada pria dapat menyebabkan gangguan produksi

testosteron dan penyusutan atau atrofi testis (Adler, 1992). Atrofi testis

terutama disebabkan hilangnya sel-sel sperma dan penurunan diameter

tubulus seminiferus. Mekanisme yang terlibat dalam hal ini kompleks dan

kemungkinan melibatkan perubahan fungsi hipotalamus dan efek toksik

alkohol langsung pada sel leydig (Fleming et al., 2008). Produk metabolisme

alkohol yaitu acetaldehyde memiliki sifat toksik ke sel leydig daripada

alkohol itu sendiri (Van et al., 1983).

Penggunaan alkohol juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang

berperan dalam sintesis hormon kelamin jantan. Alkohol dehidrogenase yang

berada pada testis, dalam keadaan normal mampu mengubah retinol menjadi

retinal. Menurut Wright (1991), alkohol menyebabkan kegagalan sintesis

retinal di dalam testis. Kegagalan sintesis retinal ini akan menyebabkan

gangguan spermatogenesis karena retinal merupakan senyawa yang esensial

untuk berlangsungnya spermatogenesis. Pada akhirnya hal tersebut akan

menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007).

Page 15: 11. II. Tinjauan Pustaka

25

Gambar 8. Perbedaan gambaran testis normal (a) dan atrofi testis (b) (Robbins dan Cotran, 2004)

Gambar 8 menunjukkan bahwa pada testis normal (A) terjadi

spermatogenesis yang aktif di tubulus seminiferus. Pada atrofi testis (B)

hanya terlihat gambaran sel-sel sertoli dan tidak adanya proses

spermatogenesis pada tubulus. Membran basal menebal dan terjadi

peningkatan dari sel-sel leydig di jaringan interstisial (Robbins dan Cotran,

2004).

A

A

B

B

Page 16: 11. II. Tinjauan Pustaka

26

C. Jahe (Zingiber officinale)

1. Deskripsi

Tanaman jahe termasuk keluarga Zingiberaceae yaitu suatu tanaman

rumput-rumputan tegak dengan ketinggian 30-75 cm, berdaun sempit

memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15–23 cm, lebar lebih

kurang 2,5 cm, tersusun teratur dua baris berseling, berwarna hijau

bunganya kuning kehijauan dengan bibir bunga ungu gelap berbintik-

bintik putih kekuningan, dan kepala sarinya berwarna ungu. Akarnya yang

bercabang-cabang dan berbau harum, berwarna kuning atau jingga, dan

berserat (Paimin, 2008 dan Rukmana, 2000).

Klasifikasi tanaman rimpang jahe, yaitu divisi: Spermatophyta; subdivisi:

Angiospermae; kelas: Monocotyledonae; ordo: Musales; family:

Zingiberaceae; genus: Zingiber; spesies: officinale.

Menurut Anonim (2011), berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpang,

jahe dibedakan menjadi tiga jenis yaitu

a. Jahe putih/kuning besar (jahe gajah atau jahe badak)

Jahe ini ditandai dengan ukuran rimpangnya besar dan gemuk, warna

kuning muda atau kuning, berserat halus dan sedikit. Beraroma, tetapi

berasa kurang tajam. Dikonsumsi baik saat berumur muda maupun tua,

baik sebagai jahe segar maupun olahan. Pada umumnya dimanfaatkan

sebagai bahan baku makanan dan minuman.

Page 17: 11. II. Tinjauan Pustaka

27

b. Jahe putih/kuning kecil (jahe sunti atau jahe emprit)

Jahe ini ditandai dengan ukuran rimpangnya termasuk katagori sedang,

dengan bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan

beraroma serta berasa tajam. Jahe ini selalu dipanen setelah umur tua.

Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari jahe gajah sehingga

rasanya lebih pedas. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan atau

diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya.

c. Jahe merah

Jahe ini ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna merah

jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa tajam (pedas). Dipanen

setelah tua dan memiliki minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil

sehingga jahe merah pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku

obat-obatan.

Gambar 9. Jenis-jenis jahe (Paimin, 2008 )

Page 18: 11. II. Tinjauan Pustaka

28

2. Kandungan kimia

a. Volatile oil (minyak menguap)

Biasa disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi aroma yang

khas pada jahe, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut

dalam air. Minyak atsiri merupakan salah satu dari dua komponen

utama minyak jahe. Jahe kering mengandung minyak atsiri 1-3%,

sedangkan jahe segar yang tidak dikuliti kandungan minyak atsiri lebih

banyak dari jahe kering. Bagian tepi dari umbi atau di bawah kulit

pada jaringan epidermis jahe mengandung lebih banyak minyak atsiri

daripada bagian tengah demikian pula dengan baunya. Kandungan

minyak atsiri juga ditentukan umur panen dan jenis jahe. Pada umur

panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi. Sedangkan pada

umur tua, kandungannya pun makin menyusut walau baunya semakin

menyengat.

b. Non-volatile oil (minyak tidak menguap)

Biasa disebut oleoresin salah satu senyawa kandungan jahe yang

sering diambil, dan komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Sifat

pedas tergantung dari umur panen, semakin tua umurnya semakin

terasa pedas dan pahit. Oleoresin merupakan minyak berwarna coklat

tua dan mengandung minyak atsiri 15-35% yang diekstraksi dari

bubuk jahe.

Kandungan oleoresin dapat menentukan jenis jahe. Jahe rasa pedasnya

tinggi, seperti jahe emprit, mengandung oleoresin yang tinggi dan jenis

Page 19: 11. II. Tinjauan Pustaka

29

jahe badak rasa pedas kurang karena kandungan oleoresin sedikit.

Jenis pelarut yang digunakan, pengulitan serta proses pengeringan

dengan sinar matahari atau dengan mesin memengaruhi terhadap

banyaknya oleoresin yang dihasilkan (WHO, 2003).

Tabel 1. Komponen kimia jahe (WHO, 2003)

Fraksi Komponen

Minyak Menguap

(-)-zingeberene, (+)-ar-curcumene, (-)-β-

sesquiphelandrene, β-bisaboline, -pinene,

bornyl acetat, borneol, camphene, -cymene,

cineol, cumene, β-elemene, farnesene, β-phelandrene, geraneol, limonene, linalool, myrcene, β-pinene, sabinene.

Minyak Tidak Menguap

Gingerol, shogaol, gingediol, gingediasetat, Gingerdion, Gingerenon.

Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman

jahe terutama golongan flavonoida, fenolik, terpenoida, dan minyak

atsiri. Senyawa fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin,

yang berpengaruh dalam sifat pedas jahe sedangkan senyawa

terpenoida adalah merupakan komponen-komponen tumbuhan yang

mempunyai bau, dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan

minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan biosintesa senyawa

terpenoida dan memiliki bau spesifik. Senyawa monoterpenoid banyak

dimanfaatkan sebagai antiseptik, ekspektoran, spasmolitik, sedatif, dan

bahan pemberi aroma makanan dan parfum (Kusumaningati, 2009).

Page 20: 11. II. Tinjauan Pustaka

30

3. Farmakokinetik

Pada manusia konjugat jahe mulai muncul 30 menit setelah pemberian

melalui oral, dan mencapai Tmax antara 45-120 menit, dengan t½

eliminasi 75–120 menit pada dosis dua gram. Pada uji ini tidak ada efek

samping dilaporkan setelah menggunakan 2 g ekstrak jahe (Zick et al.,

2008).

4. Mekanisme kerja

Menurut Kusumaningati (2009) kemampuan jahe sebagai antioksidan

alami tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total yang terkandung di

dalamnya. Gingerol dan shogaol telah diidentifikasi sebagai komponen

antioksidan fenolik jahe. Zakaria (2000) menjelaskan bahwa beberapa

senyawa turunan fenol dalam jahe yang mempunyai aktivitas antioksidan

tinggi diantaranya adalah

a. Gingerol

Gingerol komponen yang berpengaruh dalam sifat pedas jahe dan

merupakan komponen yang memiliki potensi antioksidan paling besar.

Gingerol labil terhadap perubahan suhu selama proses pengolahan dan

penyimpanan.

b. Shogaol

Shogaol merupakan senyawa pedas dalam jahe yang mempunyai

struktur mirip dengan zingerol, kandungan senyawa ini sedikit bila

dibandingkan dengan gingerol tetapi sifat pedasnya lebih kuat. Fenol

adalah senyawa yang mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu

Page 21: 11. II. Tinjauan Pustaka

31

atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol dapat menghambat oksidasi

lipid dengan menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas,

sebagai akibat senyawa tersebut mampu mengubah sifat radikal

menjadi nonradikal dan terjadi perubahan oksidasi radikal oleh

antioksidan (Widiyanti, 2009).

5. Khasiat

Sejak dahulu jahe dipergunakan sebagai bumbu dapur, bahan obat

tradisional, dan aneka keperluan lainnya. Ekstrak ethanol jahe dapat

melindungi lambung dari berbagai keadaan seperti karena obat-obatan,

alkohol, dan stress ulcer (Al-Yahya, 1989). Suekawa et al. (1984)

melakukan berbagai percobaan tentang efek farmakologi dari gingerol,

dari hasil percobaannya mendapatkan bahwa gingerol memiliki efek

analgesik yang sama dengan aminopyrin dan memiliki efek antitusif yang

lebih kuat dari dihydrocodeine phosphate. Jahe (Zingiber officinale) dapat

menghilangkan rasa sakit pada penderita rematik dan kelainan tulang

(Srivastva, 1992).

Hasil penelitian Kikuzaki dan Nakatani (1993) menyatakan bahwa

oleoresin jahe yang mengandung gingerol memiliki daya antioksidan

melebihi α tokoferol, sedangkan hasil penelitian Ahmed et al. (2000)

menyatakan bahwa jahe memiliki daya antioksidan yang sama dengan

vitamin C. Jahe memiliki rimpang yang kaya akan kandungan polifenol

ternyata dapat melindungi tubuh dari berbagai polutan yang ada di

Page 22: 11. II. Tinjauan Pustaka

32

lingkungan. Pemberian 10% jahe dalam makanan tikus putih dapat

menurunkan kadar SGOT dan SGPT serta bilirubin tikus putih tersebut

yang dinduksi dengan merkuri klorida (Vitalis et al., 2007). Hasil

penelitian Egwurugwu (2007), pemberian Zingiber officinale juga dapat

menurunkan kadar SGOT dan SGPT tikus putih yang diinduksi dengan

kadmium.

Jahe yang digunakan sebagai bumbu dapur ternyata juga dapat melindungi

tubuh dari berbagai bahan kimia, hal ini dapat dilihat bahwa jahe dapat

menurunkan kadar glukosa darah, kolesterol, dan triasilgliserol pada

mencit yang diinduksi streptozotosin (Al amin et al., 2006) dan juga

menurunkan kadar glukosa darah tikus putih yang diinduksi aloksan

(Olayaki et al., 2007). Rimpang jahe juga bersifat nefroprotektif terhadap

mencit yang diinduksi gentamisin. Gentamisin meningkatkan Reactive

Oxygen Species (ROS) dan jahe yang mengandung flavanoid dapat

menormalkan kadar serum kreatinin, urea, dan asam urat pada tikus

percobaan (Laksmi dan Sudhakar, 2010).

Zakaria et al. (2000) melakukan penelitian terhadap 24 mahasiswa

pesantren yang diberi minuman jahe selama 30 hari, memberikan hasil

bahwa minuman jahe dapat menurunkan kadar MDA plasma dan

meningkatkan kadar vitamin E plasma dibandingkan kelompok kontrol

yang tidak diberi minuman jahe, dari hasil ini menyatakan bahwa jahe

berperan sebagi antioksidan dalam proses peroksidasi lipid dimana dapat

Page 23: 11. II. Tinjauan Pustaka

33

diukur dari kadar MDA plasma. Ekstrak jahe ternyata dapat sebagai

radioproteksi dengan menurunkan kadar MDA plasma mencit yang

diradiasi oleh fast neutron (Nabil et al., 2009). Stoilova et al. (2007)

menyatakan bahwa ekstrak CO2 dari Zingiber officinale mengandung

poliphenol yang menunjukkan kapasitas tinggi sebagai chelator sehingga

dapat mencegah inisiasi radikal hidroksil yang diketahui sebagai pencetus

terjadinya peroksidasi lipid, dengan demikian ekstrak CO2 dari jahe dapat

digunakan sebagai antioksidan. Gugus hidroksi fenolik dehidrozingeron

mempunyai aktivitas antioksidan melalui penangkapan radikal hidroksi

(Nugroho et al., 2006). Penelitian Amin dan Hamza (2006) menyatakan

bahwa ekstrak etanol Zingiber officinale dengan dosis 1g/kg/hr dapat

mengurangi jumlah morfologi sperma tikus yang abnormal yang

disebabkan oleh ciplastin.