11. ii. tinjauan pustaka
DESCRIPTION
tinjauanTRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Testis
1. Anatomi dan fisiologi
Kedua testis terletak dalam skrotum dan menghasilkan spermatozoa dan
hormon, terutama testosteron. Permukaan masing-masing testis tertutup
oleh lamina visceralis tunika vaginalis, kecuali pada tempat perlekatan
epididimis dan funikulus spermatikus. Tunika vaginalis ialah sebuah
kantong peritoneal yang membungkus testis. Sedikit cairan dalam rongga
tunika vaginalis memisahkan lamina visceralis terhadap lamina parietalis
dan memungkinkan testis bergerak secara bebas dalam skrotum. Arteri
testikularis berasal dari pars abdominalis aorta, tepat kaudal arteri renalis.
Vena-vena meninggalkan testis dan berhubungan dengan pleksus
pampiniformis yang melepaskan vena testikularis dalam kanalis
inguinalis. Saraf autonom testis berasal dari pleksus testikularis sekeliling
arteri testikularis (Moore, 2002).
Testis terdiri atas 900 lilitan tubulus seminiferus, yang masing-masing
mempunyai panjang rata-rata lebih dari 5 meter. Gambar 3 menunjukkan
tiap lobulus testis mengandung beberapa tubuli seminiferi kontorti,
12
kemudian membentuk 20-30 saluran lurus (tubuli recti). Kumpulan tubuli
rekti dalam mediastinum disebut rete testis (corpus highmori). Dari
bagian kranial, rete testis berjalan menjadi 12-20 buah saluran yang
disebut vas/ductus efferentia. Vas efferentia menembus tunika albuginea
kemudian berkelok-kelok disebut sebagai lobuli epididimis yang
membentuk kaput epididimis. Epididimis mengarah ke dalam vas
deferens, yang membesar ke dalam ampula vas deferens. Vesikula
seminalis, yang masing-masing terletak di sebelah prostat, mengalir ke
dalam ujung ampula prostat, dan isi dari ampula dan vesikula seminalis
masuk ke dalam duktus ejakulatorius terus melalui korpus kelenjar prostat
dan masuk ke dalam uretra internus. Akhirnya, uretra merupakan rantai
penghubung terakhir dari testis ke dunia luar (Moore, 2002).
Gambar 3. Anatomi testis (Junquiera, 2007)
13
2. Histologi
a. Tubulus seminiferus
Setiap tubulus ini dilapisi oleh epitel berlapis majemuk. Tubulus
kontortus membentuk jalinan yang tempat masing-masing tubulus
berakhir buntu atau dapat bercabang. Pada ujung setiap lobulus,
lumennya menyempit dan berlanjut ke dalam ruas pendek yang
dikenal sebagai tubulus rektus, atau tubulus lurus, yang
menghubungkan tubulus seminiferus dengan labirin saluran-saluran
berlapis epitel yang berkesinambungan yaitu rete testis. Rete ini,
terdapat dalam jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan dengan
bagian kepala epididimis oleh 10-20 duktulus eferentes (Eroschenko,
2003).
Gambar 4 menunjukkan tubulus seminiferus terdiri atas suatu lapisan
jaringan ikat fibrosa, lamina basalis yang berkembang baik, dan suatu
epitel germinal kompleks atau seminiferus. Tunika propria fibrosa
yang membungkus tubulus seminiferus terdiri atas beberapa lapis
fibroblast. Lapisan paling dalam yang melekat pada lamina basalis
terdiri dari sel-sel mioid gepeng, yang memperlihatkan ciri otot polos.
Epitel tubulus seminiferus terdiri atas dua jenis sel yaitu sel sertoli
atau sel penyokong dan sel-sel yang merupakan garis turunan
spermatogenik (Junqueira, 2007).
14
Gambar 4. Gambaran histologi tubulus seminiferus testis (potongan transversa) (Mariano, 1996)
b. Sel-sel spermatogenik
Spermatogonium adalah sel primitif benih, yang terletak di samping
lamina basalis. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah
sekitar 12 µm dan intinya mengandung kromatin pucat. Pada keadaan
kematangan kelamin, sel ini mengalami sederetan mitosis lalu
terbentuklah sel induk atau spermatogonium tipe A, dan mereka
berdiferensiasi selama siklus mitotik yang progresif menjadi
spermatogonium tipe B. Spermatogonium tipe A adalah sel induk
untuk garis keturunan spermatogenik, sementara spermatogonium tipe
15
B merupakan sel progenitor yang berdiferensiasi menjadi spermatosit
primer (Junqueira, 2007).
Spermatosit primer adalah sel terbesar dalam garis turunan
spermatogenik ini dan ditandai adanya kromosom dalam tahap proses
penggelungan yang berbeda di dalam intinya. Spermatosit primer
memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA (Junqueira, 2007).
Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena
merupakan sel berumur pendek yang berada dalam fase interfase yang
sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan kedua.
Spermatosit sekunder memilki 23 kromosom (22+X atau 22+Y)
dengan pengurangan DNA per sel (dari 4N menjadi 2N). Pembelahan
spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Spermatid memiliki
ukuran yang kecil (garis tengahnya 7-8 µm), inti dengan daerah-
daerah kromatin padat dan lokasi jukstaluminal di dalam tubulus
seminiferus. Spermatid mengandung 23 kromosom. Karena tidak ada
fase S (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama
dan kedua dari spermatosit, maka jumlah DNA per sel dikurangi
setengahnya selama pembelahan kedua ini menghasilkan sel-sel
haploid (1N) (Junqueira, 2007).
16
c. Sel sertoli
Sel sertoli adalah sel piramid memanjang yang sebagian memeluk sel-
sel dari garis keturunan spermatogenik. Dasar sel sertoli melekat pada
lamina basalis, sedangkan ujung apeksnya sering meluas ke dalam
lumen tubulus seminiferus. Dengan mikroskop cahaya, bentuk sel
sertoli tidak jelas terlihat karena banyaknya juluran lateral yang
mengelilingi sel spermatogenik. Kajian dengan mikroskop elektron
mengungkapkan bahwa sel ini mengandung banyak retikulum
endoplasma halus, sedikit retikulum endoplasma kasar, sebuah
kompleks golgi yang berkembang baik, dan banyak mitokondria dan
lisosom. Inti yang memanjang yang sering berbentuk segitiga,
memiliki banyak lipatan dan sebuah anak inti yang mencolok,
memiliki sedikit heterokromatin. Fungsi utama sel sertoli adalah untuk
menunjang, melindungi, dan mengatur nutrisi spermatozoa. Selain itu,
sel sertoli juga berfungsi untuk fagositosis kelebihan sitoplasma
selama spermatogenesis dan sekresi sebuah protein pengikat androgen
serta inhibin (Junqueira, 2007).
17
Gambar 5. Sel-sel spermatogenik, sel spermatozoa, dan sel sertoli (Mariano, 1996)
d. Jaringan interstisial
Celah di antara tubulus seminiferus dalam testis diisi kumpulan
jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan limfe. Kapiler testis adalah
dari jenis bertingkap yang memungkinkan perpindahan antarmolekul
secara bebas seperti darah. Jaringan ikat terdiri atas berbagai jenis sel,
termasuk fibroblast, sel jaringan ikat pengembang, sel mast, dan
makrofag. Selama pubertas, muncul jenis sel tambahan yang
berbentuk bulat atau poligonal, memiliki inti di pusat dan sitoplasma
eosinofilik dengan banyak tetesan lipid. Sel tersebut adalah sel
interstisial atau sel leydig dari testis, yang memiliki ciri sel
pengsekresi steroid. Sel-sel ini menghasilkan hormon pria testosteron,
yang berfungsi bagi perkembangan ciri kelamin pria sekunder
(Junqueira, 2007).
18
3. Spermatogenesis dan spermiogenesis
Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama
kehidupan seksual aktif dari rangsangan oleh hormon gonadotropin
hipofisis anterior, dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut
sepanjang hidup (Guyton dan Hall, 2008). Adapun tahap-tahap
spermatogenesis seperti terlihat pada gambar 6 yaitu :
a. Spermatogonia primitif berkumpul tepat di tepi membran basal dari
epitel germinativum, disebut spermatogonia tipe A, membelah empat
kali untuk membentuk 16 sel yang sedikit lebih berdiferensiasi, yaitu
spermatogonia tipe B.
b. Spermatogonia bermigrasi ke arah sentral di antara sel-sel sertoli.
c. Untuk jangka waktu rata-rata 24 hari, setiap spermatogonium yang
melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel sertoli
dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar membentuk suatu
spermatosit primer yang besar. Pada akhir hari ke-24, setiap
spermatosit terbagi dua menjadi spermatosit sekunder. Pembagian ini
disebut sebagai pembagian meiosis pertama.
d. Pada tahap awal dari pembagian meiosis pertama ini, semua DNA di
dalam 46 kromosom bereplikasi. Dalam proses ini, masing-masing 46
kromosom menjadi dua kromatid yang tetap berikatan bersama
sentromer, kedua kromatid memiliki gen-gen duplikat dari kromosom
tersebut. Pada waktu ini, spermatosit pertama terbagi menjadi 2
spermatosit sekunder, yang setiap pasang kromosom berpisah sehingga
ke-23 kromosom, yang masing-masing memiliki 2 kromatid, pergi ke
19
salah satu spermatosit sekunder. Sementara 23 kromosom yang lain
pergi ke spermatosit sekunder yang lain.
e. Dalam 2 sampai 3 hari, pembagian meiosis kedua terjadi di mana
kedua kromatid dari setiap 23 kromosom berpisah pada sentromer,
membentuk dua pasang 23 kromosom, 1 pasang dibawa ke 1 spermatid
dan 1 pasang yang lain dibawa ke spermatid yang kedua. Manfaat dari
kedua pembagian meiosis ini adalah bahwa setiap spermatid yang
akhirnya dibentuk membawa hanya 23 kromosom, memiliki hanya
setengah dari gen-gen spermatogonium yang pertama. Oleh karena itu,
spermatozoa yang akhirnya membuahi ovum wanita akan
menyediakan setengah dari bahan genetik ke ovum yang dibuahi dan
ovum akan menyediakan ½ bagian berikutnya.
f. Selama beberapa minggu berikutnya setelah meiosis, setiap spermatid
diasuh dan dibentuk kembali secara fisik oleh sel sertoli
pembungkusnya, mengubah spermatid secara perlahan-lahan menjadi
satu spermatozoa (sebuah sperma) dengan menghilangkan beberapa
sitoplasmanya, mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid
untuk membentuk 1 kepala yang padat, dan mengumpulkan sisa
sitoplasma dan membrane sel pada salah satu ujung dari sel untuk
membentuk ekor (spermiogenesis).
g. Semua tahap pengubahan akhir dari spermatosit menjadi sperma
terjadi ketika spermatosit dan spermatid terbenam dalam sel-sel sertoli.
Sel-sel sertoli memelihara dan mengatur proses spermatogenesis.
20
Seluruh masa spermatogenesis, dari sel germinal sampai sperma,
membutuhkan waktu kira-kira 64 hari (Guyton dan Hall, 2008).
Gambar 6. Tahap-tahap spermatogenesis (Junqueira, 2007)
Kedua testis dari seorang manusia dewasa muda dapat membentuk kira-
kira 120 juta sperma setiap harinya. Sejumlah kecil sperma dapat disimpan
dalam epididimis, tetapi sebagian besar disimpan dalam vas deferens dan
ampula vas deferens. Sperma dapat tetap disimpan dan mempertahankan
kualitasnya dalam duktus genitalis paling sedikit selama 1 bulan (Guyton
dan Hall, 2008).
4. Hormon yang merangsang spermatogenesis
Hormon-hormon yang berperan dalam spermatogenesis (hormon steroid)
adalah sebagai berikut
21
a. Testosteron, disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium
testis. Hormon ini penting untuk pertumbuhan dan pembagian sel-sel
germinativum dalam membentuk sperma.
b. Hormon lutein (LH), disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior,
merangsang sel-sel Leydig untuk mensekresi testosteron.
c. Hormon perangsang folikel (FSH), juga disekresi oleh sel-sel kelenjar
hipofisis anterior, mempengaruhi sel-sel Sertoli untuk merangsang
adenilat siklase dan kemudian meningkatkan cAMP. FSH juga
meningkatkan sintesis dan sekresi protein pengikat androgen (ABP).
Protein ini bergabung dengan testosteron dan mengangkut hormon ini
ke lumen tubulus seminiferus. Di dalam tubulus seminiferus, androgen
berfungsi dalam mengontrol proses spermatogenesis pada pembelahan
miosis dan spermiogenesis (Junqueira, 2007).
d. Estrogen, dibentuk dari testosteron oleh sel-sel sertoli ketika sel sertoli
sedang dirangsang oleh hormon perangsang folikel, yang mungkin
juga penting untuk spermiogenesis.
e. Hormon pertumbuhan (seperti juga pada sebagian besar hormon yang
lain) diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme
testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan
awal spermatogonia sendiri. Bila tidak terdapat hormon pertumbuhan,
seperti pada dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang
atau tidak ada sama sekali (Guyton dan Hall, 2008).
22
Gambar 7. Regulasi hormon sistem reproduksi pria (Eilts, 2004)
B. Pengaruh Alkohol terhadap Testis
Pada sistem reproduksi, alkohol dapat mengubah keseimbangan hormon
reproduksi pada individu jantan dan betina. Pada individu jantan, alkohol
menyebabkan kerusakan jaringan testikuler dan kegagalan sintesis testosteron
dan produksi spermatozoa. Penelitian pada laki-laki yang diberi alkohol 220
ml setiap hari selama 4 minggu, akan terjadi penurunan jumlah testosteron
setelah 5 hari dari pemberian terakhir. Bila pemberian tersebut dilanjutkan
akan menyebabkan feminisasi pada laki-laki, seperti pembesaran kelenjar
susu (Nugroho, 2007). Penelitian lain menyebutkan bahwa alkohol (etanol)
dengan konsentrasi 10% dan 30% dapat menurunkan jumlah sel
23
spermatogonium, sel spermatosit primer dan sel leydig. Pada konsentrasi
yang lebih besar terdapat penurunan sel spermatogonium, sel spermatosit
primer dan sel leydig yang lebih banyak (Foa et al., 2006). Kemudian,
Syarifah (2007) membuktikan dalam penelitiannya dengan menggunakan
alkohol (etanol) dengan konsentrasi 15%, 30%, dan 45% bisa mengurangi
motilitas dari spermatozoa.
Kadar testosteron dapat menurun, tetapi banyak pria yang ketergantungan
alkohol mempunyai kadar testosteron dan estrogen normal (Fleming et al.,
2008). Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan
efek alkohol terhadap hipotalamus dan hipofisis yaitu dengan mengeluarkan
hipofisis anterior tikus. Peneliti menumbuhkannya secara invitro dengan ada
atau tidaknya alkohol. Hasilnya ternyata alkohol menurunkan kadar LH
(Luteinizing Hormone) bahkan dengan hipofisis yang sudah terisolasi
tersebut, setidaknya sebagian bertindak langsung ke hipofisis (Van et al.,
1983). Hal ini selaras dengan Emanuelle (1998) yang menyebutkan bahwa
atrofi testis mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu salah satunya
adalah efek alkohol pada LH dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang
merangsang pertumbuhan testis. Faktor lain yaitu karena efek alkohol yang
merusak testis, serta faktor lain, seperti malnutrisi, akibat pengobatan dengan
berbagai obat, dan penyalahgunaan obat-obatan selain alkohol (Emanuelle,
1998).
24
Laporan klinis lain berupa ginekomastia dan atrofi testis pada pecandu
alkohol dengan sirosis menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam
keseimbangan hormon steroid (Masters, 2007). Ginekomastia dan atrofi testis
juga ditemukan pada pecandu alkohol yang memiliki sedikit bukti gangguan
hati (Masters, 2007). Sejumlah penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa
penyalahgunaan alkohol pada pria dapat menyebabkan gangguan produksi
testosteron dan penyusutan atau atrofi testis (Adler, 1992). Atrofi testis
terutama disebabkan hilangnya sel-sel sperma dan penurunan diameter
tubulus seminiferus. Mekanisme yang terlibat dalam hal ini kompleks dan
kemungkinan melibatkan perubahan fungsi hipotalamus dan efek toksik
alkohol langsung pada sel leydig (Fleming et al., 2008). Produk metabolisme
alkohol yaitu acetaldehyde memiliki sifat toksik ke sel leydig daripada
alkohol itu sendiri (Van et al., 1983).
Penggunaan alkohol juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang
berperan dalam sintesis hormon kelamin jantan. Alkohol dehidrogenase yang
berada pada testis, dalam keadaan normal mampu mengubah retinol menjadi
retinal. Menurut Wright (1991), alkohol menyebabkan kegagalan sintesis
retinal di dalam testis. Kegagalan sintesis retinal ini akan menyebabkan
gangguan spermatogenesis karena retinal merupakan senyawa yang esensial
untuk berlangsungnya spermatogenesis. Pada akhirnya hal tersebut akan
menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007).
25
Gambar 8. Perbedaan gambaran testis normal (a) dan atrofi testis (b) (Robbins dan Cotran, 2004)
Gambar 8 menunjukkan bahwa pada testis normal (A) terjadi
spermatogenesis yang aktif di tubulus seminiferus. Pada atrofi testis (B)
hanya terlihat gambaran sel-sel sertoli dan tidak adanya proses
spermatogenesis pada tubulus. Membran basal menebal dan terjadi
peningkatan dari sel-sel leydig di jaringan interstisial (Robbins dan Cotran,
2004).
A
A
B
B
26
C. Jahe (Zingiber officinale)
1. Deskripsi
Tanaman jahe termasuk keluarga Zingiberaceae yaitu suatu tanaman
rumput-rumputan tegak dengan ketinggian 30-75 cm, berdaun sempit
memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15–23 cm, lebar lebih
kurang 2,5 cm, tersusun teratur dua baris berseling, berwarna hijau
bunganya kuning kehijauan dengan bibir bunga ungu gelap berbintik-
bintik putih kekuningan, dan kepala sarinya berwarna ungu. Akarnya yang
bercabang-cabang dan berbau harum, berwarna kuning atau jingga, dan
berserat (Paimin, 2008 dan Rukmana, 2000).
Klasifikasi tanaman rimpang jahe, yaitu divisi: Spermatophyta; subdivisi:
Angiospermae; kelas: Monocotyledonae; ordo: Musales; family:
Zingiberaceae; genus: Zingiber; spesies: officinale.
Menurut Anonim (2011), berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpang,
jahe dibedakan menjadi tiga jenis yaitu
a. Jahe putih/kuning besar (jahe gajah atau jahe badak)
Jahe ini ditandai dengan ukuran rimpangnya besar dan gemuk, warna
kuning muda atau kuning, berserat halus dan sedikit. Beraroma, tetapi
berasa kurang tajam. Dikonsumsi baik saat berumur muda maupun tua,
baik sebagai jahe segar maupun olahan. Pada umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan baku makanan dan minuman.
27
b. Jahe putih/kuning kecil (jahe sunti atau jahe emprit)
Jahe ini ditandai dengan ukuran rimpangnya termasuk katagori sedang,
dengan bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan
beraroma serta berasa tajam. Jahe ini selalu dipanen setelah umur tua.
Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari jahe gajah sehingga
rasanya lebih pedas. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan atau
diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya.
c. Jahe merah
Jahe ini ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna merah
jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa tajam (pedas). Dipanen
setelah tua dan memiliki minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil
sehingga jahe merah pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku
obat-obatan.
Gambar 9. Jenis-jenis jahe (Paimin, 2008 )
28
2. Kandungan kimia
a. Volatile oil (minyak menguap)
Biasa disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi aroma yang
khas pada jahe, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut
dalam air. Minyak atsiri merupakan salah satu dari dua komponen
utama minyak jahe. Jahe kering mengandung minyak atsiri 1-3%,
sedangkan jahe segar yang tidak dikuliti kandungan minyak atsiri lebih
banyak dari jahe kering. Bagian tepi dari umbi atau di bawah kulit
pada jaringan epidermis jahe mengandung lebih banyak minyak atsiri
daripada bagian tengah demikian pula dengan baunya. Kandungan
minyak atsiri juga ditentukan umur panen dan jenis jahe. Pada umur
panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi. Sedangkan pada
umur tua, kandungannya pun makin menyusut walau baunya semakin
menyengat.
b. Non-volatile oil (minyak tidak menguap)
Biasa disebut oleoresin salah satu senyawa kandungan jahe yang
sering diambil, dan komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Sifat
pedas tergantung dari umur panen, semakin tua umurnya semakin
terasa pedas dan pahit. Oleoresin merupakan minyak berwarna coklat
tua dan mengandung minyak atsiri 15-35% yang diekstraksi dari
bubuk jahe.
Kandungan oleoresin dapat menentukan jenis jahe. Jahe rasa pedasnya
tinggi, seperti jahe emprit, mengandung oleoresin yang tinggi dan jenis
29
jahe badak rasa pedas kurang karena kandungan oleoresin sedikit.
Jenis pelarut yang digunakan, pengulitan serta proses pengeringan
dengan sinar matahari atau dengan mesin memengaruhi terhadap
banyaknya oleoresin yang dihasilkan (WHO, 2003).
Tabel 1. Komponen kimia jahe (WHO, 2003)
Fraksi Komponen
Minyak Menguap
(-)-zingeberene, (+)-ar-curcumene, (-)-β-
sesquiphelandrene, β-bisaboline, -pinene,
bornyl acetat, borneol, camphene, -cymene,
cineol, cumene, β-elemene, farnesene, β-phelandrene, geraneol, limonene, linalool, myrcene, β-pinene, sabinene.
Minyak Tidak Menguap
Gingerol, shogaol, gingediol, gingediasetat, Gingerdion, Gingerenon.
Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman
jahe terutama golongan flavonoida, fenolik, terpenoida, dan minyak
atsiri. Senyawa fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin,
yang berpengaruh dalam sifat pedas jahe sedangkan senyawa
terpenoida adalah merupakan komponen-komponen tumbuhan yang
mempunyai bau, dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan
minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan biosintesa senyawa
terpenoida dan memiliki bau spesifik. Senyawa monoterpenoid banyak
dimanfaatkan sebagai antiseptik, ekspektoran, spasmolitik, sedatif, dan
bahan pemberi aroma makanan dan parfum (Kusumaningati, 2009).
30
3. Farmakokinetik
Pada manusia konjugat jahe mulai muncul 30 menit setelah pemberian
melalui oral, dan mencapai Tmax antara 45-120 menit, dengan t½
eliminasi 75–120 menit pada dosis dua gram. Pada uji ini tidak ada efek
samping dilaporkan setelah menggunakan 2 g ekstrak jahe (Zick et al.,
2008).
4. Mekanisme kerja
Menurut Kusumaningati (2009) kemampuan jahe sebagai antioksidan
alami tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total yang terkandung di
dalamnya. Gingerol dan shogaol telah diidentifikasi sebagai komponen
antioksidan fenolik jahe. Zakaria (2000) menjelaskan bahwa beberapa
senyawa turunan fenol dalam jahe yang mempunyai aktivitas antioksidan
tinggi diantaranya adalah
a. Gingerol
Gingerol komponen yang berpengaruh dalam sifat pedas jahe dan
merupakan komponen yang memiliki potensi antioksidan paling besar.
Gingerol labil terhadap perubahan suhu selama proses pengolahan dan
penyimpanan.
b. Shogaol
Shogaol merupakan senyawa pedas dalam jahe yang mempunyai
struktur mirip dengan zingerol, kandungan senyawa ini sedikit bila
dibandingkan dengan gingerol tetapi sifat pedasnya lebih kuat. Fenol
adalah senyawa yang mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu
31
atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol dapat menghambat oksidasi
lipid dengan menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas,
sebagai akibat senyawa tersebut mampu mengubah sifat radikal
menjadi nonradikal dan terjadi perubahan oksidasi radikal oleh
antioksidan (Widiyanti, 2009).
5. Khasiat
Sejak dahulu jahe dipergunakan sebagai bumbu dapur, bahan obat
tradisional, dan aneka keperluan lainnya. Ekstrak ethanol jahe dapat
melindungi lambung dari berbagai keadaan seperti karena obat-obatan,
alkohol, dan stress ulcer (Al-Yahya, 1989). Suekawa et al. (1984)
melakukan berbagai percobaan tentang efek farmakologi dari gingerol,
dari hasil percobaannya mendapatkan bahwa gingerol memiliki efek
analgesik yang sama dengan aminopyrin dan memiliki efek antitusif yang
lebih kuat dari dihydrocodeine phosphate. Jahe (Zingiber officinale) dapat
menghilangkan rasa sakit pada penderita rematik dan kelainan tulang
(Srivastva, 1992).
Hasil penelitian Kikuzaki dan Nakatani (1993) menyatakan bahwa
oleoresin jahe yang mengandung gingerol memiliki daya antioksidan
melebihi α tokoferol, sedangkan hasil penelitian Ahmed et al. (2000)
menyatakan bahwa jahe memiliki daya antioksidan yang sama dengan
vitamin C. Jahe memiliki rimpang yang kaya akan kandungan polifenol
ternyata dapat melindungi tubuh dari berbagai polutan yang ada di
32
lingkungan. Pemberian 10% jahe dalam makanan tikus putih dapat
menurunkan kadar SGOT dan SGPT serta bilirubin tikus putih tersebut
yang dinduksi dengan merkuri klorida (Vitalis et al., 2007). Hasil
penelitian Egwurugwu (2007), pemberian Zingiber officinale juga dapat
menurunkan kadar SGOT dan SGPT tikus putih yang diinduksi dengan
kadmium.
Jahe yang digunakan sebagai bumbu dapur ternyata juga dapat melindungi
tubuh dari berbagai bahan kimia, hal ini dapat dilihat bahwa jahe dapat
menurunkan kadar glukosa darah, kolesterol, dan triasilgliserol pada
mencit yang diinduksi streptozotosin (Al amin et al., 2006) dan juga
menurunkan kadar glukosa darah tikus putih yang diinduksi aloksan
(Olayaki et al., 2007). Rimpang jahe juga bersifat nefroprotektif terhadap
mencit yang diinduksi gentamisin. Gentamisin meningkatkan Reactive
Oxygen Species (ROS) dan jahe yang mengandung flavanoid dapat
menormalkan kadar serum kreatinin, urea, dan asam urat pada tikus
percobaan (Laksmi dan Sudhakar, 2010).
Zakaria et al. (2000) melakukan penelitian terhadap 24 mahasiswa
pesantren yang diberi minuman jahe selama 30 hari, memberikan hasil
bahwa minuman jahe dapat menurunkan kadar MDA plasma dan
meningkatkan kadar vitamin E plasma dibandingkan kelompok kontrol
yang tidak diberi minuman jahe, dari hasil ini menyatakan bahwa jahe
berperan sebagi antioksidan dalam proses peroksidasi lipid dimana dapat
33
diukur dari kadar MDA plasma. Ekstrak jahe ternyata dapat sebagai
radioproteksi dengan menurunkan kadar MDA plasma mencit yang
diradiasi oleh fast neutron (Nabil et al., 2009). Stoilova et al. (2007)
menyatakan bahwa ekstrak CO2 dari Zingiber officinale mengandung
poliphenol yang menunjukkan kapasitas tinggi sebagai chelator sehingga
dapat mencegah inisiasi radikal hidroksil yang diketahui sebagai pencetus
terjadinya peroksidasi lipid, dengan demikian ekstrak CO2 dari jahe dapat
digunakan sebagai antioksidan. Gugus hidroksi fenolik dehidrozingeron
mempunyai aktivitas antioksidan melalui penangkapan radikal hidroksi
(Nugroho et al., 2006). Penelitian Amin dan Hamza (2006) menyatakan
bahwa ekstrak etanol Zingiber officinale dengan dosis 1g/kg/hr dapat
mengurangi jumlah morfologi sperma tikus yang abnormal yang
disebabkan oleh ciplastin.