aplikasi hermeneutika double movement fazlur...

148
APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAHAMAN AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : Siti Robikah NIM 21514015 JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2018

Upload: others

Post on 31-Dec-2019

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT

FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAHAMAN AHLI

KITAB DALAM AL-QUR’AN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Siti Robikah

NIM 21514015

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2018

ii

iii

iv

v

MOTTO

ل هافولك ول وم وا وجهةه ٱليرت ٱستبق م تبك

ون وا يأ ينماتك

ا جيع ٱلل أ

ءلقديرٱللإن ش ك ١٤٨لع

148. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.

Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti

Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu. (Al Baqarah[2]: 148).

“ Rethinking the Past, Reshaping the Future”

Mun’im Sirry

vi

PERSEMBAHAN

Untuk Ayahanda,

Untuk Sang Motivator,

Untuk Keluargaku tercinta,

Untuk para Sahabat, Teman dan Seluruh Pembaca

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini

berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987.

A. Konsonan Tunggal

Huruf

Arab Nama Huruf Latin Nama

Alif اtidak

dilambangkan tidak dilambangkan

ba’ B be ب

ta’ T te ت

ṡa ṡ es (dengan titik di atas) ث

Jim J je ج

ḥa’ ḥ حha (dengan titik di

bawah(

kha’ Kh ka dan ha خ

Dal D de د

Żal Ż zet (dengan titik di atas) ذ

viii

ra’ R er ر

Zal Z zet ز

Sin S es س

Syin Sy es dan ye ش

ṣad ṣ صes (dengan titik di

bawah)

ḍad ḍ ضde (dengan titik di

bawah)

ṭa’ ṭ te (dengan titik di bawah) ط

ẓa’ ẓ ظzet (dengan titik di

bawah)

ain ‘ koma terbalik (di atas)‘ ع

Gain G ge غ

fa’ F ef ف

Qaf Q qi ق

Kaf K ka ك

Lam L el ل

ix

Mim M em م

Nun N en ن

Wawu W we و

ha’ H ha ه

Hamzah ` apostrof ء

ya’ Y ye ي

B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap

Ditulis Muta’addidah متعددة

Ditulis ‘iddah عدة

C. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h

a. Bila dimatikan ditulis h

Ditulis Ḥikmah حكمة

Ditulis Jizyah جزية

(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa

Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya)

b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.

x

`Ditulis Karâmah al-auliyā كرمة االولياء

c. Bila Ta’ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah ditulis t.

Ditulis Zakat al-fiṭrah زكاة الفطرة

D. Vokal Pendek

___ Fatḥah Ditulis A

___ Kasrah Ditulis I

___ Ḍammah Ditulis U

E. Vokal Panjang

Fatḥah bertemu Alif

جاهليةDitulis

Ā

Jahiliyyah

Fatḥah bertemu Alif Layyinah

Ditulis تنسىĀ

Tansa

Kasrah bertemu ya’ mati

كرميDitulis

Ī

Karīm

Ḍammah bertemu wawu mati

فروضDitulis

Ū

Furūḍ

xi

F. Vokal Rangkap

Fatḥah bertemu Ya’ Mati

Ditulis بينكمAi

Bainakum

Fatḥah bertemu Wawu Mati

قولDitulis

Au

Qaul

G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

Ditulis A`antum أأنتم

Ditulis U’iddat أعدت

Ditulis La’in syakartum لئن شكرمت

H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah ditulis

dengan menggunkan “al”

Ditulis Al-Qur`ān القران

Ditulis Al-Qiyās القياس

`Ditulis Al-Samā السماء

Ditulis Al-Syams الشمس

xii

I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau

pengucapannya

Ditulis Żawi al-furūḍ ذوى الفروض

Ditulis Ahl al-sunnah اهل السنة

xiii

ABSTRAK

Robikah, Siti. 2018. Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman terhadap

Pemahaman Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag.

Kata Kunci: double movement, ahli kitab, Fazlur Rahman

Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori hermeneutika double

movement Fazlur Rahman dalam memahami term ahli kitab dalam al-Qur’an. Ahli kitab

pada masa sekarang ini sering menjadi perdebatan dari berbagai pemikir Muslim. Hal ini

dikarenakan adanya Surah yang menyatakan kebolehan menikahi ahli kitab (QS Al

Maidah:5). Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif

berbasis pada kajian pustaka berupa kajian tematik dengan menggunakan teori tokoh

tafsir era kontemporer, Fazlur Rahman. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah (1),

bagaimana hermeneutika double movement Fazlur Rahman?, (2) bagaimana aplikasi

hermeneutika double movement Fazlur Rahman dalam pemahaman ahli kitab dalam al-

Qur’an? dan (3) bagaimana relevansi aplikasi hermeneutika double movement Fazlur

Rahman terhadap pemahaman term ahli kitab dalam konteks Indonesia? Untuk menjawab

hal tersebut maka penulis menggunakan teori hermeneutika Gadamer yang berakhir pada

teori aplikasinya. Hermeneutika Fazlur Rahman menurut beberapa peneliti mempunyai

kemiripan dengan Gadamer.

Dalam pengaplikasikan teori Rahman harus melihat tiga komponen utama

yaitu situasi sekarang kembali ke situasi masa pewahyuan dan dikembalikan ke masa

sekarang sebagai sebuah jawaban. Berdasarkan penelitian ini, menghasilkan tiga

komponen penting yang harus ada dalam hermeneutika double movement Fazlur

Rahman. Pertama, ahli kitab masa sekarang (sebagai sebuah problem), kedua ahli kitab

pra Islam dan ahli kitab masa pewahyuan. Dari ketiga komponen tersebut akan

dikembalikan pada masa sekarang sebagai sebuah jawaban. Problem yang ada mengenai

ahli kitab masa sekarang adalah pertanyaan mengenai masih adakah ahli kitab pada masa

ini? setelah ditarik ke masa pewahyuan dimana terbagi dalam tiga komponen yang telah

disebutkan.

Maka hasil akhir dari ahli kitab masa sekarang masih ada karena secara

realitasnya Yahudi dan Nasrani tidak mengalami perubahan dalam hal teologis

(keimanan). Nasrani masih tetap menuhankan Yesus dan Yahudi tetap pada

kepercayaannya bahwa Uzair adalah anak Tuhan (at-Taubah:30). Menurut teori Rahman

legal spesifik dari ahli kitab adalah masih adanya ahli kitab pada masa sekarang dan ideal

moral (nilai yang dapat diambil) dari keragaman agama adalah adanya fastabiqul khoirat

dan menemukan kalimatun sawa dalam semua agama. Yang pada akhirnya dapat

membentuk masyarakat damai dan harmonisasi umat beragama tercapai. Setelah

ditemukan adanya ideal moral tersebut maka relevansi aplikasi hermeneutika double

movement dalam memahami term ahli kitab yaitu memperbolehkannya pernikahan beda

agama dengan catatan dapat menerapkan kedua prinsip dengan komprehensif. Berlomba-

lomba dalam kebaikan dan menemukan persatuan dalam kehidupan berumah tangga.

xiv

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikna skripsi ini yang berjudul “Aplikasi Hermeneutika

Double Movement Fazlur Rahman terhadap Pemahaman Ahli Kitab Dalam Al-Qur’an”

Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang

telah menerangi dunia dari zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang dengan

kesempurnaan agama islam.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Agama (S.Ag) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Keberhasilan

penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan semua pihak yang

terkait. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Salatiga.

2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan

Humaniora (FUADAH) beserta jajarannya yang selalu memberikan dukungannya.

3. Ibunda Tri Wahyu Hidayati, M. Ag Selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

IAIN Salatiga yang tidak lelahnya mengingatkan untuk selalu bersemangat dalam

belajar dan selalu memberikan dukungan agar segera menyelesaikan tugas akhir ini.

xv

4. Ayahanda Dr. Adang Kuswaya, M.Ag selaku Dosen Pembimbing dan motivator

terbaik yang telah membimbing, memberikan nasihat, arahan, serta masukan-

masukan yang sangat membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini.

5. Seluruh dosen dan petugas admin Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di IAIN

Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah dan penelitian berlangsung

terkhusus untuk Bapak Farid Hasan, S.Thi, M.hum, yang telah memberikan

bimbingan dalam penulisan proposal dan selalu mengingatkan agar segera

menyelesaikan tugas akhir dengan maksimal. Bu Ika, Pak Mujib dan Pak Tafin yang

selalu memberikan pelayanan terbaiknya.

6. Bapak Munawari dan Ibu Asiyah yang telah mencurahkan pengorbanan, kasih

sayang dan do’a restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis. Begitu juga

Abah Wafir Rahman dan Umi Lathifah yang selalu memberikan wejangannya agar

dapat memaksimalkan diri untuk mengaji dan kuliah.

7. Mbak Ula dan Mas Surur yang selalu memberikan dukungan agar segera

melanjutkan sekolah ke tingkat selanjutnya dan selalu direpotkan untuk translete

kebahasaannya. Ummul dan Ulil yang menyimpankan berjuta do’a untuk kesuksesan

penulis.

8. Motivator terbaik mas mk Ridwan yang tak pernah lelah memberikan pelajaran

berharga untuk tetap selalu belajar, membaca dan menulis dari mulai titik nol hingga

sekarang apa yang telah dicapai oleh penulis. Terima kasih pula untuk mbak

Khairunnisa, Tio famor, Sifa Arif, Putri SKA, Puput dan Eka SKA yang selalu

memberikan api penyemangat untuk tetap berkarya.

xvi

9. Keluarga besar IAT spesial untuk IAT 2014, Samsil, Day, Latep, Abrir, Fisa, Say,

Mpok, Mbak Nopita, Dek Wahyu, Nisa, Nenok, Yusta, Ucu, Layla, Aditya yang

melaju terus pantang mundur demi kesuksesan kita semua. Keluarga Mahasantri

Denok, Rima, Mba Cho, Mba Am dan Mba Ana yang selalu memberikan tambahan

asupan gizi setiap hari. Sahabat posko 101 pak ketua Ucil, Imam, Igun, Mamah,

Karin, Yulia, Uyun inces, Bu Es, Santi yang telah memberikan banyak hadiah cerita

dan tawanya. Teruntuk my twins Inay Hasanah yang selalu memberikan cerita beda

tiap harinya.

10. Teman-teman pesantrenku PPHQ Al Manshur yang selalu memberikan kesan indah

kebersamaan teruntuk Ri_ul, Yaya, Ustadzah Midah, Foajri, Bu Kunul, Nyai Mas

dan seluruh jajarannya. Terima kasih telah mau direpotkan, selalu menjadi pendengar

setia saat bercerita bersama di pesantren. Dan untuk kalian anak-anak PPRT yang

selalu mengajarkan kedewasaan dan kesabaran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan

saran yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat

bagi para Pembaca dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Salatiga, 15 Maret 2018

Penulis

xvii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................... ii

NOTA PEMBIMBING ................................................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi

TRANSLITERASI ARAB-LATIN .............................................................. vii

ABSTRAK ...................................................................................................... xiii

KATA PENGANTAR .................................................................................... xiv

DAFTAR ISI ................................................................................................... xvii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................... 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7

D. Manfaat Penelitian ............................................................... 7

E. Kajian Pustaka ...................................................................... 8

F. Dasar Pemikiran ................................................................... 14

G. Metodologi Penelitian ......................................................... 18

H. Sistematika Penulisan .......................................................... 20

BAB II : HERMENEUTIKA AL QUR’AN FAZLUR RAHMAN

A. Hermeneutika Barat ............................................................. 19

xviii

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika .............. 19

2. Model- model Hermeneutika ......................................... 23

B. Hermeneutika Barat dan Tafsir al-Qur’an ........................... 31

1. Teori kesadaran sejarah dan teori pra pemahaman ........ 32

2. Teori Fusion of Horizons dan Dirasat ma hawla

al-Nashsh ........................................................................ 33

3. Teori Aplikasi dan Interpretasi Ma’na cum Maghza ..... 33

C. Teori Double Movement Fazlur Rahman ............................. 43

1. Setting Historis Rahman dan Teorinya ......................... 43

2. Contoh aplikasi Double Movement ............................... 56

BAB III : PEMAHAMAN AHLI KITAB DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

A. Terminologi Ahli Kitab ........................................................ 60

B. Pergeseran Makna Ahli Kitab ............................................. 62

C. Apresiasi al-Qur’an Terhadap Ahli Kitab ........................... 72

BAB IV : APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT

FAZLUR RAHMAN TERHADAP PEMAKNAAN AHLI KITAB

A. Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman Terhadap

Pemaknaan Ahli Kitab ......................................................... 86

1. Ahli Kitab Masa Sekarang ............................................ 86

2. Ahli Kitab Masa Pra-Islam ............................................ 92

3. Ahli Kitab Masa Pewahyuan ......................................... 97

a. Masa Pewahyuan di Mekah .................................... 97

xix

b. Masa Pewahyuan di Madinah ................................. 101

4. Ahli Kitab Masa Sekarang Sebagai Jawaban ................ 111

B. Skema Double Movement dalam Memahami ahli kitab ..... 113

C. Relevansi Aplikasi Double Movement Terhadap Pemaknaan

Ahli Kitab Dalam Konteks Indonesia ................................. 113

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 114

B. Saran .................................................................................... 117

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 119

CURICULUM VITAE ................................................................................... 124

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Shahih li Kulli zaman wa makan” adalah salah satu tujuan terpenting atas

al-Qur’an sebagai petunjuk umat Islam. Al-Qur’an tidak akan mampu memberi

petunjuk kepada umat Islam jika umat Islam sendiri tidak tergerak untuk

mengungkap rahasia ayat-ayat al-Qur’an. Salah satu hal yang perlu diperhatikan

dalam mengungkapkan rahasia ayat al-Qur’an adalah dengan melakukan

penafsiran. Tafsir telah ada sejak Nabi Muhammad yang kemudian dilanjutkan

pada masa Sahabat sampai pada masa kontemporer saat ini. Pendekatan yang

digunakan para Mufasir dari masa klasik hingga kontemporer semakin beragam.

Belakangan ini, ada sejumlah pemikir muslim kontemporer yang ingin

memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan atau bahkan pengganti Ilmu

al-Qur’an dan tafsir.1

Hermeneutika dimunculkan sebagai salah satu metode penafsiran

dikarenakan anggapan bahwa metode terdahulu tidak mempunyai variabel

kontekstualisasi. Metodologi tafsir yang dikembangkan ulama masa lalu,

diasumsikan terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik,

terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas. Paradigma tafsir klasik

dianggap memaksakan prinsip-prinsip universal al-Qur’an dalam konteks

apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya pemahaman yang muncul cenderung

1 Lihat Abdul Muqtasim-Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana

Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002).

2

tekstualis-literalis. Dengan demikian menurut pandangan ini, dekontruksi

sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran al-Qur’an adalah suatu

keniscayaan.2

Kemunculan hermeneutika sebagai metode penafsiran al-Qur’an tidak

berjalan secara mulus. Kontroversi hermeneutika semakin marak ketika banyak

dari mufasir kontemporer memunculkan metode hermeneutika sebagai metode

baru untuk menafsirkan al-Qur’an. Sebagai contoh Hassan Hanafi menjelaskan

bahwa hermeneutika bukan sekedar teori penafsiran dan pemahaman, namun ia

adalah ilmu yang menerangkan proses penerimaan wahyu sejak perkataan

sampai pada tingkat kenyataan, serta meggambarkan pemikiran Tuhan kepada

manusia. Untuk dapat memahami teks sangat diperlukan kritik kesejarahan,

guna menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci. Hassan Hanafi menilai

bahwa belum tentu semua teks bebas dari ketidakaslian dan tidak mengalami

distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Mengetahui keaslian teks akan

mempermudah proses penafsiran dan menghasilkan pemahaman yang tepat.3

Berbeda dengan pernyataan Hassan Hanafi di atas, sebagian kalangan

yang menolak adanya hermenutika sebagai metode tafsir mengatakan bahwa

hermeneutika berasal dari Barat dan digunakan pada awalnya untuk mengkritisi

kitab suci Bibel. Adian Husaini sebagai salah satu dari golongan tersebut,

mengatakan terdapat tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan

2 Sudarto Muwafiq, “Hermeneutika Al Quran: Kritik Atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid”,

Akademika, (Vol.9, No.1, Juni 2015), hlm. 3 Reflita, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir(menimbang Penggunaan

Hermeneutika dalam Penafsiran Al Quran), Jurnal Ushuluddin, (Vol.24, No.2, Juli-Desember

2016), hlm. 139

3

dalam tafsir al-Qur’an. Pertama, hermeneutika menghendaki sikap yang kritis

dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa

lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun

budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan. Kedua, hermeneutika

cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia) dan mengabaikan

hal-hal yang sifatnya transenden (illahiyyah). Ketiga, aliran hermeneutika sangat

plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada

gilirannnya menjadi repot untuk diterapkan.4Hal tersebut tidak menjadi hal yang

perlu diperdebatkan karena jika dilihat pada masing-masing golongan

mempunyai landasan atas apa yang diungkapkannya.

Pada masa kontemporer ini, bisa dilihat bahwa problematika yang

dihadapi oleh umat Islam semakin beragam dan memang harus ada pembaharuan

metode penafsiran yang memperhatikan konteks kehidupan di masa sekarang.

Maka dari itu, meskipun terdapat pro dan kontra atas hermeneutika tidaklah

menjadi kekeliruan ketika umat Islam menggunakan metode tersebut untuk

menafsirkan al-Qur’an. Salah satu tokoh yang telah menerapkan hermeneutika

sebagai metode tafsir al-Qur’an yaitu Fazlur Rahman. Salah satu tokoh

pembaharu dalam Islam kelahiran Pakistan, menawarkan satu metode tafsir

dalam memahami teks al-Qur’an yang dinamai dengan double movement theory,

dimana gerakan pertama merupakan penjabaran dari tiga pendekatan penafsiran

al-Qur’an yaitu pendekatan historis, kontekstual dan sosiologis. Sedang gerakan

4 Reflita, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir(menimbang Penggunaan

Hermeneutika dalam Penafsiran Al Quran)”, hlm. 142

4

kedua merupakan upaya merumuskan prinsip, nilai, dan tujuan al-Qur’an yang

telah disistematisasikan melalui gerakan pertama terhadap situasi atau kasus

aktual saat ini.5 Dalam hal ini penulis mencoba mengaplikasikan hermeneutika

Fazlur Rahman (selanjutnya akan ditulis Rahman) untuk memahami term ahli

kitab dalam al-Qur’an yang berimplikasi pada problem pernikahan beda agama.

Pernikahan beda agama menjadi sebuah problem yang masih

diperbincangkan sampai saat ini. Dapat dilihat dalam Fatwa Majelis Ulama

Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/ MUI/8/2005 memutuskan bahwa pernikahan

beda agama antara laki-laki muslim dengan ahli kitab menurut qaul mu’tamad

adalah tidak sah (haram).6 Hal ini juga dijelaskan dalam al-Qur’an Q.S. Al

Baqarah:221,

221. dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu

menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

5 Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin

Kewarisan Islam Klasik”, Al Manahij:Jurnal Kajian Hukum Islam, (Vol.VII, No.2, Juli 2013),

hlm.196 6 Majelis Ulama Indonesia dalam Musywarah Nasional MUI VII pada tanggal 19-22 Jumadil

Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M

5

musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang

Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya

mereka mengambil pelajaran.

Ayat tersebut menjelaskan secara tekstual jika tidak diperbolehkannya

orang Islam (laki-laki) menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka

beriman. Berbeda dengan ayat diatas, jika melihat dalam QS Al Maidah:5

menjelaskan bahwa adanya kebolehan menikahi ahli kitab bagi orang Islam.

5. pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)

orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal

(pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga

kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang

menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu,

bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,

tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)

Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.

Dari kedua ayat tersebut menjadi penyebab adanya perbedaan pendapat

dari kalangan para Ulama. Yang menjadi sorotan utama pada kedua ayat tersebut

6

adalah membedakan antara wanita musyrik (yang dilarang untuk dinikahi) dan

Ahli kitab (yang boleh dinikahi). Maka dari itu menjadi kegelisahan penulis

untuk mencari masih adakah ahli kitab yang dimaksudkan dalam ayat tersebut

dengan mencoba mengaplikasikan hermeneutika Fazlur Rahman dalam

memecahkan problematika nikah beda agama di kalangan umat Islam.

Ada beberapa alasan akademik penulis memilih riset dengan tema

hermeneutika oleh tokoh Fazlur Rahman dan diaplikasikan untuk memahami

term Ahli kitab bukan yang lain. Pertama, Rahman adalah salah satu garda

depan pencetus hermeneutika yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an.

Kedua, Hermeneutika Rahman menarik untuk diteliti dikarenakan konsep yang

dicetuskan sistematis dan mudah dipahami. Ketiga, pemahaman atas term Ahli

kitab masih penting untuk diperjelas karena menimbulkan banyaknya perbedaan

pendapat di kalangan umat. Maka dari itu penulis ingin menerapkan

hermeneutika Rahman untuk memahami term Ahli kitab yang implikasinya pada

problem pernikahan beda agama.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep hermeneutika Fazlur Rahman?

2. Bagaimana Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman

terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam al-Qur’an?

3. Bagaimana Relevansi Aplikasi Hermeneutika Double Movement Fazlur

Rahman terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam Konteks Indonesia?

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Untuk mengetahui konsep hermeneutika Fazlur Rahman.

2. Untuk mengetahui Aplikasi Hermeneutika Fazlur Rahman terhadap

pemahaman term ahli kitab dalam al-Qur’an.

3. Untuk Mengetahui Relevansi Aplikasi Hermeneutika Double Movement

Fazlur Rahman terhadap pemahaman term Ahli kitab dalam Konteks

Indonesia.

D. Manfaat dan Kontribusi

Sebuah karya akademik harus memiliki manfaat dan kontribusi dalam

pengembangan keilmuan Islam, dalam konteks ini adalah studi al-Qur’an.

Secara umum penelitian ini bermanfaat untuk mencari pengertian yang jelas

tentang term ahli kitab dalam al-Qur’an dengan metode hermeneutika Fazlur

Rahman. Secara terperinci manfaat dan kontribusi penelitian ini, sebagai berikut:

1. Memperluas kajian seputar metodologi penafsiran al-Qur’an sebagai

salah satu sarana untuk menjawab problematika di era kontemporer ini

salah satunya dengan metode hermeneutika.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memperbarui mindset umat Muslim

mengenai term-term al-Qur’an yang masih menimbulkan kontroversi

di antara pendapat para Ulama’.

3. Memberikan wawasan tentang double movement theory yang

diaplikasikan pada term ahli kitab dalam al-Qur’an dan menemukan

pesan al-Qur’an secara kontekstual.

8

E. Kajian Pustaka

Disertasi yang telah dibukukan karya Ahmad Syukri pada tahun 2007

dengan judul “Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pemikiran

Fazlur Rahman” menjelaskan bahwa: pertama, metode tafsir Rahman muncul

disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an, metode klasik

dan modern tidak lagi kondusif bagi kehidupan umat Islam dewasa ini. Para

pakar modern belum mampu menawarkan metode tafsir yang sistematis dan

setia pada ajaran al-Qur’an dalam menghadapi persoalan kontemporer. Maka

dari itu, menurut Rahman perlunya rancangan sebuah metode tafsir yang dapat

berlaku adil terhadap tuntunan intelektual dan integritas moral yang mengacu

pada kritik sejarah dalam pengertian yang lebih luas. Metode yang diusulkannya

berbeda dengan para mufasir sebelumnya, dimana ia mengusulkan pendekatan

sejarah dan hermeneutika yang diserap dari sumber klasik dan modern Islam

serta Barat kontemporer.

Kedua, proses perumusan metode ini berlangsung tidak kurang dari 12

tahun. Gagasan pertama dengan nama metode penafsiran sisitematis, kemudian

disempurnakan dengan dua gerakan pemikiran hukum, yaitu pemikiran dengan

berangka dari yang khusus kepada yang umum, kemudian dari umum ke khusus.

Akhirnya, metode ini hadir dalam bentuknya yang final dengan nama gerakan

ganda. Ketiga, gerakan ganda didefinisikan sebagai sebuah metode yang

bertolak dari situasi sekarang menuju masa al-Qur’an diturunkan lalu kembali

pada masa sekarang. Keberadaan metode Rahman merupakan kontribusi yang

sangat berarti dalam sejarah perkembangan al-Qur’an metode tafsir

9

kontemporer. Metode Rahman menjadikan asbab al-nuzul dan konteks historis-

sosiologis masyarakat di mana al-Qur’an diturunkan sebagai pertimbangan

dalam menggali prinsip-prinsip umum dan mengajukan model penafsiran yang

memperlihatkan keterkaitan aspek teologi, etika, dan hukum yang merupakan

manifestasi syariat Islam.7

“Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin

Kewarisan Islam Klasik” artikel yang ditulis oleh Labib Muttaqin dalam jurnal

Al Manahij Vol. VII, No.2, Juli 2013 berisi tentang tawaran Rahman terhadap

suatu metode penggalian hukum agar prinsip-prinsip umum dan semangat teks

al-Qur’an tetap tertanam dalam suatu hukum. Metode yang dikembangkan oleh

Rahman mengupayakan agar al-Qur’an tidak hanya dipahami sebagai doktrin

normatif semata, tetapi juga harus dikembangkan menjadi konsepsi operatif,

sehingga tetap adanya kesinambungan dan relevansi dari suatu teks al-Qur’an

dengan realitas sosial yang terus berlangsung. Berkembangnya suatu peradaban

dan tatanan sosial adalah sebuah keniscayaan. Hal ini juga berlaku pada

eksistensi dan peran perempuan pada saat ini baik dalam ranah publik maupun

domestik. Realitas inilah yang kemudian dijadikan indikator bagi Rahman dalam

menafsirkan kembali teks-teks kewarisan yang ada dalam al-Qur’an. Dalam re-

interpretasinya, Rahman menggunakan teori double movement dengan

pendekatan historis-kontekstual yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa

7 Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Quran Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur

Rahman, (Jakarta: badan Litbang dan Diklat Departemen Agama,2007), hlm.x-xi

10

ketentuan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan yang tadinya

dipahami 2:1 menjadi 1:1. 8

Dr. Sa’dullah Assa’idi dalam bukunya “Pemahaman Tematik Al-Qur’an

menurut Fazlur Rahman” yang diterbitkan oleh Pustaka pelajar pada November

2013 memusatkan pembahasannya pada telaah metodologis atas Major Themes

of the Qur’an karya Fazlur Rahman. Metodologi yang dimaksud merupakan

suatu analisis dan pengaturan yang sistemik mengenai prinsip dan proses

rasional serta eksperimental, dan mengarah pada penyelidikan ilmiah.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif

yang berlandaskan pada filsafat rasionalisme. Langkah yang ditempuh selalu

dimulai dengan berfikir menggunakan rasio, karena yang menjadi objek

penelitian itu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun di atas

kemampuan argumentasi secara logis.

Studi tentang pemikiran tafsir atas Major Themes of the Qur’an karya

Fazlur Rahman mempunyai muatan kontributif terhadap bidang keilmuan

sumber ajaran Islam, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) terutama ilmu

tafsir al-Qur’an. Paradigma Rahman tentang pandangan al-Qur’an yang kohesif

mengenai alam semesta dan kehidupan memberikan perluasan misi “tafsir”,

bukan sekedar berarti menjelaskan ayat al-Qur’an, akan tetapi justru

menafsirkannya dalam arti memberikan petunjuk. Studi tafsir al-Qur’an

menggunakan paradigma Rahman dapat memberikan kontribusi dalam

8 Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur rahman Terhadap Doktrin

Kewarisan Islam Klasik”, Al Manahij, (Vol.VII, No.2, 2013), hlm.195- 206

11

pengembangan ilmu-ilmu Islam. Jadi, buku ini merupakan book review karya

Fazlur Rahman Major Themes of the Qur’an.

Tulisan Mawardi “Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman (Teori

Double Movement” dalam buku Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis yang

diterbitkan oleh eLSAQ Press pada tahun 2010 berisi tentang teori double

movement terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari arti khusus (partikular) ke

umum (general). Artinya sebelum seorang mufasir mengambil kesimpulan

hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara

tekstual dalam suatu ayat dengan meniliti alasan hukumnya, baik yang disebut

eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang

berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan

saat al-Quran diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang

mufasir. Setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin

disampaikan oleh al-Qur’an. Adapun mengenai ayat-ayat teologis-metafisis,

Rahman menawarkan sebuah pendekatan sintesis logis, yaitu pendekatan dengan

mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang akan dibahas dan

yang berhubungan tidak selalu berbicara tentang tema yang sama.9

Artikel jurnal Al-Dzikra dengan judul “Konsep Ahlul al-kitab dalam Al-

Qur’an Menurut Penafsiran Muhammed Arkoun dan nurcholish Madjid” yang

ditulis oleh Andi Eka Putra Dosen Fakultas ushuluddin IAIN Raden Intan

Lampung diterbitkan pada Vol.X,No.1, Januari-Juni tahun 2016 ini menjelaskan

9 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:eLSAQ Press, 2010),hlm. 59-

82

12

tentang konsep ahli kitab dalam perspektif Arkoun dan Nurcholish Madjid.

Keduanya melihat komunitas Ahli kitab tidak hanya pada agama Yahudi dan

Nasrani saja akan tetapi bagi mereka yang menganut kitab suci berdasarkan

keyakinan mereka masing-masing. Dalam hal ini Cak Nur dan Arkoun

menawarkan model penafsiran baru dengan memasukkan pertimbangan relasi

antar umat beragama yang semakin inklusif dan dialogis. Perbedaannya jika Cak

Nur tetap menggunakan kata ahli kitab akan tetapi Arkoun mengubahnya

menjadi masyarakat kitab. Implikasi dari tafsiran Cak Nur dan Arkoun mengenai

ahli kitab dalam al-Qur’an memberikan wawasan baru seputar hubungan antar

umat beragama. Keduanya menawarkan konsep yang bermuara pada rethinking

Islam, memikirkan kembali Islam dalam menerima keberadaan agama lain.

Konsep Ahli kitab dalam al-Qur’an pada prinsipnya mengajak umat beragama

untuk saling menyapa, berdialog dan hidup dalam kedamaian dan ketentraman

bersama.10

Waryono Abdul Ghafur menuliskan dalam bukunya yang berjudul

“Persaudaraan Agama-Agama, Millah Ibrahim dalam Tafsir Al Mizan”

diterbitkan oleh mizan pada November 2016 juga menjelaskan perihal ahli kitab

dalam tafsir Al Mizan. Dia membagi Ahli kitab menjadi dua bagian yaitu ahli

kitab yang mukmin dan Ahli kitab yang kafir. Dalam buku ini pembahasan ahli

kitab hanya secara singkat dengan mencari ayat yang berhubungan dengan ahli

10 Andi Eka Putra,”Konsep Ahlil al-Kitab dalam Al Quran Menurut Penafsiran Muhammed

Arkoun dan Nurcholish Madjid”, Al-Dzikra, (Vol.X, No.1,2016),hlm. 43-65

13

kitab kemudian menafsirkannya dengan menggunakan tafsir Al Mizan karya

Thabathaba’i.11

Artikel Ali Masrur dengan judul “Ahli kitab Dalam Al-Qur’an (Model

Penafsiran Fazlur Rahman)”. Dalam tulisannya, Masrur menjelaskan

keselamatan ahli kitab dalam perspektif Fazlur Rahman, yang pada akhir

tulisannya tersebut, Masrur memberikan kritikan terhadap pemikiran Fazlur

Rahman. Menurutnya, dalam menafsirkan ayat mengenai keselamatan ahli kitab

Rahman lebih menekankan pada esensi dan substansi ajaran Islam. Masrur juga

menyimpulkan dari pemikiran Rahman mengenai ahli kitab bahwa ahli kitab

tidak hanya terbatas pada Yahudi dan Nasrani akan tetapi semua agama yang

mempunyai seorang utusan pembawa berita.

Dengan adanya pencarian penelitian ataupun artikel sebelumnya, maka

didapati bahwa penelitian ini mempunyai kesamaan pada pembahasan teori

double movement Fazlur Rahman dengan mengkonsentrasikan pembahasan

yang berbeda-beda. Ahmad Syukri dan Mawardi mengkonsentrasikan

pembahasan secara mendalam pada metodologi teori double movement Fazlur

Rahman. Dalam tulisannya, Labib Muttaqin menjelaskan aplikasi double

movement pada problem kewarisan Islam. Kemudian, Dr. Sa’dullah yang

membahas tentang metode yang digunakan Fazlur Rahman dalam bukunya

Major Themes of the Quran. Artikel yang membahas tentang ahli kitab seperti

Andi Eka dan Waryono akan tetapi memiliki perbedaan pada penggunaan

11 Waryono Abdul Ghofur, Persaudaraan Agama-Agama;Millah Ibrahim dalam Tafsir Al

Mizan, (Bandung:PT. Mizan Pustaka,2016),hlm.191-120

14

metodenya. Penelitian Ali Masrur yang berfokus pada ahli kitab dengan metode

penafsiran Fazlur Rahman sebenarnya mempunyai kesamaan yang signifikan,

akan tetapi tulisan ini mengfokuskan pada aplikasi gerakan ganda Fazlur

Rahman yang akan menghasilkan sebuah pembahasan mengenai ahli kitab masa

sekarang, ahli kitab pra-Islam dan ahli kitab masa pewahyuan. Ketiga aspek ini

merupakan tahapan-tahapan dalam teori double movement Fazlur Rahman, yang

mana hal tersebut tidak tersentuh dalam artikel Ali Masrur. Meskipun telah

banyak yang membahas mengenai double movement dan ahli kitab akan tetapi

tidak ada kesamaan dengan tulisan ini.

F. Dasar Pemikiran

Dalam penelitian ilmiah, kerangka teori sangat diperlukan untuk

membantu memecahkan dan mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti

sebagai acuan dalam melakukan analisis pada konteks masalah yang hendak

dicarikan jawabannya. Sehingga dalam penelitian aplikasi double movement

theory Fazlur Rahman ini menggunakan teori application Hans Goerge Gadamer

sebagai teori inti.

1. Teori “Penerapan/Aplikasi” Gadamer (Anwendung, application)

Awalnya tradisi hermeneutik dibedakan menjadi problem atau seluk

beluk pemahaman (understanding, substilitas intelegendi), dan problem

penafsiran (interpretation, substilitas explicandi.) Baru kemudian dalam

tradisi pietisme ditambah elemen ketiga yaitu problem penerapan

15

(application, substilitas applicandi).12Dengan menekankan elemen ketiga

itu, yang belum masuk dalam konsep hermeneutik Schleiermacher

maupun Dilthey, Gadamer ingin menekankan bahwa penafsiran bukan

suatu elemen tambahan yang bisa kadang-kadang saja dilakukan setelah

pemahaman dilakukan.13

Penggabungan batin pemahaman dan penafsiran –seperti dalam

hermeneutika Schleiermacher dan Post-Romantik ditegaskan bahwa

adanya satu kesatuan dalam dua elemen-- menyebabkan unsur ketiga

dalam masalah hermeneutik, penerapan, sepenuhnya menjadi terputus dari

hubungan apapun dengan hermeneutika. Di dalam perjalanan refleksi kita

harus melihat bahwa pemahaman selalu melibatkan sesuatu seperti

penerapan terhadap teks untuk dipahami oleh situasi penafsir sekarang.

Jadi, penerapan merupakan bagian dari satu proses terpadu dalam

hermeneutika dan sebagai bagian integral dari tindakan hermeneutika

sebagaimana pemahaman dan penafsiran.14

Dalam sejarahnya, tugas hermeneutika adalah untuk menyesuaikan

makna sebuah teks dengan situasi konkret dimana ia bicara. Sebagai

seorang penafsir kitab suci, mereka tidak hanya bertugas memproduksi

kembali apa yang dikatakan oleh penerjemah akan tetapi mengungkapkan

apa yang niscaya baginya dalam mempertimbangkan situasi yang real saat

12 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,2004), hlm.370 13 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery

dan Damanhuri Muhammed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005). Hlm.187 14 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, hlm.370

16

ini. Hubungan yang orisinil dari bentuk-bentuk hermeneutika ini

tergantung pada pengakuan terhadap aplikasi sebagai sebuah unsur

integral dari semua pemahaman. Di dalam hermeneutika teologis dan

hukum terdapat ketegangan antara teks yang dituliskan –dari hukum atau

penyataan—di satu sisi, di sisi lain, pengertian dicapai oleh penerapannya

di dalam peristiwa penafsiran khusus, baik dalam pertimbangan maupun

ajaran. Hukum di sini tidak dipahami secara historis akan tetapi secara

konkret dianggap sahih melalui penafsiran. Dengan cara yang sama,

sebuah pernyataan religius tidak dipahami semata-mata sebagai dokumen

historis, akan tetapi dipahami dengan cara bagaimana ia menunjukkan

pengaruh penyelamatannya. Ini meliputi fakta bahwa teks, apakah hukum

ataupun kitab suci, jika dipahami dengan tepat, yakni menurut apa yang

dibuat klaim pada setiap peristiwa, di dalam setiap situasi khusus, cara

baru dan berbeda maka hal tersebut yang disebut dengan aplikasi.15

Pokok dari pemahaman, sebagaimana yang terjadi dalam ilmu-ilmu

kemanusiaan, secara esensial bersifat historis, yakni sebuah teks dipahami

dengan cara yang berbeda di setiap waktu. Struktur historitas di dalam

pemahaman mensugestikan pentingnya sebuah faktor yang telah lama

diabaikan dalam hermeneutika, aplikasi, fungsi interpretasi dalam

hubungannya dengan makna teks terhadap situasi kekinian.16

15 Hans Gorge Gadamer, Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah, hlm.371 16 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery

dan Damanhuri Muhammed, hlm.221

17

2. Fusion of Horizons Gadamer dan Double Movement Theory Rahman

Menurut Gadamer dalam menafsirkan, seorang penafsir harus selalu

berusaha merehabilitasi pra pemahamannya. Hal ini berkaitan dengan teori

“penggabungan atau asimilasi horison”, dalam arti bahwa proses penafsiran

seseorang harus sadar bahwa dalam proses penafsiran seseorang harus sadar

bahwa ada horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison di dalam

teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Soerang pambaca

teks memulainya dengan cakrawala hermeneutika, namun dia juga

memperhatikan bahwa teks juga mempunyai horison sendiri yang mungkin

berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca.17

Horison teks atau disebut dengan weltanschauung (pandangan

dunia) hanya dapat diketahui dengan melakukan apa yang disebut al-Khulli

dengan dirāsāt mā fî n-nashsh (studi atas apa yang ada di dalam teks) dan

dirāsāt mā hawla n-nashsh (studi atas sesuatu yang melingkupi teks). Studi

apa yang ada di dalam teks dilakukan antara lain dengan menganalisis aspek

kebahasaan teks, sedangkan studi atas sesuatu yang melingkupi teks berupa

analisis terhadap aspek historis yang melingkupinya, seperti aspek historis

mikro (asbaab an-nuzul) dan aspek historis makro yakni kondisi bangsa

Arab saat al-Qur’an diturunkan. Setelah seorang penafsir melakukan

analisis-analisis di atas, maka dia akan mendapatkan Weltanschauung atau

horison teks secara baik.18

17 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran (Edisi Revisi dan

Perluasan), (Yogyakarta:Baitul Hikmah Press, 2017), hlm.81 18 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran (Edisi Revisi dan

Perluasan), hlm.87

18

Pemikiran Gadamer fusion of horizons dianggap menginspirasi

Rahman dalam pemikiran double movement theorynya, meskipun secara

tegas Rahman menampik jika ia terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer,

bahkan mengklaim bahwa pemikirannya sama sekali berbeda dengan

pemikiran Gadamer.19 Dari keduanya mempunyai kemiripan ketika

membahas dua horison yang perlu diperhatikan ketika akan menafsirkan

sebuah teks. Dalam teori double movementnya, Rahman juga mengatakan

bahwa dibutuhkannya dua gerakan yang saling berkaitan dan tidak dapat

dipisahkan demi mendapatkan pesan yang sebenarnya (pokok) akan

disampaikan oleh teks (al-Qur’an).

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menitik

beratkan pada telaah kepustakaan( library research) dengan analisis

deskriptif. Penulis mengumpulkan tulisan atau buku yang bersangkutan

kemudian mengaplikasikan pemikiran tokoh tersebut untuk menjawab

sebuah problem yang menjadi latar belakang adanya penelitian.

2. Kebutuhan dan Sumber data

Penulisan ini merupakan penulisan kepustakaan, karenanya data

yang digunakan adalah buku-buku atau tulisan yang disusun oleh Fazlur

Rahman. Selain itu penulis juga melakukan pengumpulan data dengan

19 Mu’amar Zayn Qadafy, Buku Pintar Sababun Nuzul Dari Mikro Hingga Makro,

(Yogyakarta: IN AzNa Books,2015), hlm.124

19

jalan mempelajari literatur dari buku-buku lain yang mendukung

pendalaman analisis.

Secara garis besar sumber data terbagi mejadi dua yaitu

a). Sumber pilihan (Primer)

Sumber data primer dalam penelitian ini meliputi karya-karya Fazlur

Rahman yang dipakai bahan analisis, seperti:

1. Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran,(Chicago: The

University of Chicago,2009)

2. Fazlur Rahman, Islam, (Chicago :The University of

Chicago,1979)

3. Fazlur Rahman, Revival and reform in Islam, Terj. Aam

Fahmia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000).

4. Fazlur Rahman, Metode dan Altertif Neomodernisme Islam,

Penyunting Taufik Adnan Amal, (Bandung: Mizan,1989).

5. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an

Intelectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago

Press,1982).

b). Sumber Tambahan ( Sekunder)

Data sekunder merupakan pendukung karya yang ditulis oleh para

tokoh yang berkaian dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian

ini yakni yang membahas tentang Fazlur Rahman dan ahli kitab:

20

1. Waryono Abdul Ghofur, Persaudaraan Agama-

Agama;Millah Ibrahim dalam Tafsir Al Mizan,

(Bandung:PT. Mizan Pustaka,2016).

2. Abd A’la, Dari Neomodernisme Ke Islam Liberal, (Jakarta:

Dian Rakyat,2009).

3. Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer

dalam Pemikiran Fazlur Rahman, (Badan Litbang dan

Diklat Depag RI, 2007).

4. Sa’dullah Assa’idi, Pemahaman Tematik al-Qur’an

Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,2013).

5. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas:

Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlurrahman, (Bandung:

Mizan, 1996).

3. Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan studi pustaka

yaitu dengan mencari literatur baik berupa buku atau jurnal yang berkaitan

dengan penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Pada penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab. Yang mana setiap bab saling

berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan laporan penelitian ini bertujuan

agar pembahasan dalam laporan penelitian ini tersusun secara sistematis supaya

lebih mudah untuk dipahami. Sistematikanya antara lain:

21

Bab pertama Pendahuluan; berisi hal-hal yang berkaitan dengan penelitian

ini yang menguraikan pemikiran latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian sebagai

cara metodologis dalam penulisan dan sistematika penulisan. Bab pertama

merupakan gambaran awal tentang penulisan laporan penelitian ini.

Bab kedua Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman. Bab ini meliputi

pengertian, macam-macam dan hubungan hermeneutika umum dengan

penafsiran al-Qur’an yang kemudian dilanjutkan pembahasan pada

hermeneutika double movement Fazlur Rahman dan beberapa contoh penerapan

metode hermeneutika tersebut.

Bab ketiga Pemahaman terma ahli kitab dari berbagai perspektif. Dalam

bab ini dijelaskan beberapa pengertian ahli kitab baik secara kebahasaan maupun

secara luas. Pengertian ahli kitab juga diperluas dengan adanya pendapat-

pendapat dari para tokoh Muslim. Bab ini akan menghasilkan pengertian yang

luas mengenai terma ahli kitab.

Bab keempat Aplikasi Hermenutika Double Movement Fazlur Rahman

Terhadap Pemaknaan Ahli kitab. Pada bab ini, akan diketahui bagaimana

penggunaan teori double movement Fazlur Rahman dalam memahami terma ahli

kitab dan relevansinya dalam konteks Indonesia.

Bab kelima penutup yang berisi simpulan seluruh rangkaian yang telah

dikemukanan dan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada. Bab ini juga

berisi saran-saran yang bisa direkomendasikan dan menunjukan hasil akhir dari

penelitian yang telah dilakukan.

22

BAB II

HERMENEUTIKA AL QUR’AN FAZLUR RAHMAN

A. Hermeneutika Barat

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika

Secara etimologis, kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani,

yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan”. Kata hermeios dan kata

kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata bensa hermenia diasosiasikan

pada Dewa Hermes. Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi

transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang

dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.20 Pada suatu ketika Hermes

dihadapkan dengan sebuah masalah bagaimana menyampaikan pesan Zeus

yang menggunakan “bahasa langit” kepada manusia yang menggunakan

“bahasa bumi”. Akhirnya, dengan kebijaksanaannya, Hermes menafsirkan

bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia dalam bentuk teks suci.21

Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas

menunjukkan adanya tiga unsur yang menjadi variabel utama pada kegiatan

manusia dalam memahami. Pertama, adanya tanda, pesan atau teks yang

menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan

pesan yang dibawa oleh Hermes. Kedua, adanya perantara atau penafsir

yaitu Hermes dan ketiga, penyampaian pesan oleh seorang perantara agar

dapat dipahami dan sampai kepada yang menerima. Beberapa kajian

20 Richard E Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery

dan Damanhuri Muhammed, hlm.15 21 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka

Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:Belukar,2004), hlm.135

23

menyebutkan bahwa hermeneutika adalah proses mengubah sesuatu atau

situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti.22

Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman Hermeneutik

dan bahasa Inggris hermeneutics. Sebagai sebuah istilah, kata tersebut

didefinisikan secara beragam dan bertingkat. Hermeneutika adalah seni

praktis, yakni techne yang digunakan dalam hal-hal seperti berceramah,

menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan menjelaskan teks-teks,

dan sebagai dasar dari semua ini (ia merupakan) seni memahami, sebuah

seni yang secara khusus dibutuhkan ketika makna sesuatu (teks) itu tidak

jelas.23

Dengan makna ini pulalah F. Schleiermacher mengartikan istilah

tersebut dengan seni memahami secara benar bahasa orang lain, khususnya

bahasa tulis (the art of understanding rightly another man’s language,

particularly his written language). Selain sebagai seni, hermeneutika pada

masa modern, menurut Gadamer diartikan sebagai art of exegesis (seni

menafsirkan), melainkan lebih dari itu sebagai disiplin yang membahas

aspek-aspek metodis yang secara teoritis dapat menjustifikasi aktivitas

penafsiran. Definisi hermeneutika sebagai gabungan antara aktivis dan

metode penafsiran ini juga didapati pada definisi yang dikemukakan oleh

Franz-Peter Burkard yaitu “seni menafsirkan teks dan dalam arti yang lebih

luas hermeneutika adalah refleksi teoritis tentang metode-metode dan

22Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial,

(Yogyakarta:Kalimedia,2015), hlm.5 23Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, (Yogyakarta:

Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 5-6

24

syarat-syarat pemahaman. Definisi tersebut dengan jelas memasukkan

aktivitas penafsiran dan metodenya ke dalam istilah hermeneutika.24

Hermeneutika berbicara tentang pemahaman bukan untuk

menciptakan kembali hal yang dibaca. Hermeneutika bukan hanya

mengeluarkan kembali sesuatu yang sudah tersimpan lama akan tetapi

sebagai sebuah seni yang bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman.

Menurut Schleiermacher terdapat dua masalah universal dalam

hermeneutika yaitu penjumpaan dengan sesuatu yang asing dan

kemungkinan salah paham manakala harus memahami lewat kata-kata.25

Maka dengan adanya hermeneutika, pemahaman atas sebuah teks

diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dan dapat dicapai makna objektif-

orisinil.26

Problem dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran

teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh

karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian

banyak lagi kompleks yang terjalin sekitar watak dasar teks dan

hubungannya al-turats di satu sisi, serta hubungan teks dengan

pengarangnya di sisi lain. Yang terpenting di antara sekian banyak persoalan

di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan

mufasir dengan teks. Konsentrasi atas hubungan mufasir dengan teks

24 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, hlm. 6 25 W. Poespoprodje, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 24 26 Siti Robikah, “Contextual Interpretations of the Quran: Telaah Hermeneutika Inklusif Nasr

Hamid Abu Zayd”, Proceeding The 2nd BUAF 17-20 Juli 2017, (Banjarmasin:UIN Antasari).

25

merupakan titik pangkal dan persoalan serius bagi hermeneutik.27 Jika

dilihat dalam berbagai pembahasan, interpretasi dan pemahaman –dimana

pemahaman adalah hal yang menjadi tujuan hermeneutika—erat terjalin.

Setiap masalah interpretasi adalah masalah pemahaman, dengan alasan

bahwa pemahaman dicapai melalui interpretasi.

Memahami teks melalui interpretasi menurut hermeneutika tidak bisa

lepas dari konteks sejarah dimana teks itu muncul, kepada siapa teks itu

berdialog, mengapa teks itu dibuat dan seterusnya, yang pasti tidak lepas

dari ruang yang mengintarinya. Teks adalah produk kebudayaan yang

mengintarinya sehingga harus dipahami secara kritik historis. Menurut

Schleiermacher, karya sastra atau seni merupakan manifestasi pribadi

sehingga membaca teks adalah suatu dialogia dengan pengarang atau

seniman. Teks bukanlah objek mati, bukan sekedar benda yang merentang

dalam ruang dan waktu (res extensa).28

2. Model-Model Hermeneutika

Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga

bentuk atau model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan

tokoh-tokoh klasik, khususnya F. Schleimacher, W. Dilthey, dan Emilio

Betti. Menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana

yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang ada di dalam teks adalah

ungkapan jiwa pengarangya, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran

27Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, terj. Muhammad

Mansur, (Jakarta: ICIP, 2004), hlm. 3 28 W. Poespoprodje, Hermeneutika, hlm. 19

26

atasnya tidak didasarkan pada kesimpulan pembaca melainkan diturunkan

dan bersifat instruktif.29 Untuk dapat mencapai tingkatan itu, menurut

Schleiermacher, ada dua cara yang dapat ditempuh, dengan bahasanya yang

mengungkapkan hal-hal baru atau lewat karakteristik bahasanya yang

ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang

teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi yaitu

pertama, sisi linguistik yang merujuk pada bahasa yang memungkinkan

proses memahami menjadi mungkin dan kedua, sisi psikologis yang isi

pikiran si pengarang yang termenifestasi pada gaya bahasa yang digunakan.

Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang mana pembaca

mengkontruksikannya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan

pengalamannya.30

Untuk memahami maksud pengarang –dengan gaya bahasa yang

berbeda- maka tidak ada jalan lain bagi mufasir kecuali harus keluar dari

tradisinya sendiri untuk kemudian masuk ke dalam tradisi dimana si penulis

teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir

pada zaman itu. Dengan masuk ke dalam dunia pengarang, memahami dan

menghayati budaya yang melingkupinya, mufasir akan mendapatkan makna

objektif sebagaimana yang dimaksud si pengarang.31

29 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London: Roudege & Kegars Paul,1980),

hlm.29 30 Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, terj. Muhammad

Mansur, hlm.11 31 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta:Gramedia, 1981), hlm.230

27

Scheleimacher juga telah mempelopori tokoh-tokoh setelahnya,

terutama Dilthey dan Gadamer. Dilthey memulai pembahasannya dalam

wilayah yang mana Schelemacher berhenti, yakni pembahasan tentang

penafsiran dan pemahaman yang benar dalam bidang ilmu-ilmu humaniora.

Usaha Dilthey terfokus pada pemisahan antara disiplin ilmu alam, sejarah

dan humaniora. Dilthey menolak metode kalangan positivisme yang

mengatakan bahwa penyelamatan satu-satunya bagi ketertinggalan ilmu

humaniora dan ilmu-ilmu alam adalah dengan menerapkan metode

eksperimental ilmu-ilmu eksakta dalam ilmu-ilmu humaniora, sebagai

upaya untuk mencapai aturan umum yang pasti dan untuk menghindari

subjektivitas dan kedangkalan ilmu humaniora.32

Dilthey berusaha membangun ilmu sosial dengan landasan metode

yang berbeda dengan ilmu alam. Menurutnya, perbedaan diantara keduanya

terletak pada persoalan materinya, materi ilmu sosial (akal manusia) bukan

merupakan bentukan di luar dirinya sebagaimana materi ilmu alam adalah

derivasi dari alam.

Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh

modern Hans Georg Gadamer dan Jacques Derida. Menurut model ini,

hermeneutika bukan sebuah usaha untuk menemukan makna objektif yang

dimaksud penulis melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu

sendiri.33 Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan

32 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan kekuasaan, terj. Dede Iswadi,

(Bandung:RqiS), hlm.47 33 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, hlm.230

28

pada ide awal penulis. Inilah yang membedakan antara hermeneutika

subjektif dan objektif. Dalam pandangan subjektif, teks bersifat terbuka dan

dapat diinterpretasikan oleh siapapun, ia telah berdiri sendiri dan tidak lagi

berkaitan dengan penulis. Karena itu, teks tidak harus dipahami berdasarkan

ide penulis melainkan berdasarkan materi yang ada dalam teks itu sendiri.

seseorang menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini

(vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht), dan apa yang diperoleh kemudian

(vorgriff).34 Menurut pendapat Gadamer, ketiga unsur tersebut, yang disebut

dengan lingkaran hermeneutika, didiskusikan oleh Heidegger bukan sebagai

usaha pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan untuk memberikan

deskripsi cara pencapaian pemahaman melalui interpretasi. Heidegger

menjelaskan bahwa jika ingin memahami sesuatu, maka seseorang haruslah

membawa latar belakang tradisi yang telah ia miliki sebelumnya. Unsur

pertama dalam lingkaran hermeneutika disebut dengan vorhabe (fore-have).

Selanjutnya dalam menafsirkan, orang itu dibimbing oleh cara pandang

tertentu. Maka dari itu dalam melakukan proses pemahaman ia selalu

didasari oleh apa yang telah dilihat sebelumnya yang disebut pada unsur

kedua dengan vorsicht (fore-sight). Unsur selanjutnya yaitu Vorgiff (fore-

conception) yang menjadi syarat pemahaman adalah konsep-konsep yang

memberi kerangka awal. Ketiga unsur tersebut menjadi syarat pemahaman

dalam lingkaran hermeneutik yang bertitik tolak dari konsep ontologis

Heidegger yang lebih mendasar pada being there dari Dasein yang terikat

34 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, hlm.232

29

temporalitasnya. Menurut penjelasan Gadamer bahwa lingkaran

hermeneutika mengandung kapasitas primordial pemahaman manusia yang

positif karena adanya pra-pengertian.35

Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh

Muslim kontemporer yaitu Hassan Hanafi dan Farid Esack. Pada model ini

hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi akan tetapi lebih pada

aksi.36 Hassan Hanafi biasanya dianggap sebagai filosof dibandingkan

dengan hermeneutikus, namun disertasinya merupakan sebuah pengkajian

hermeneutik Islam yang sangat komprehensif dan sangat disayangkan jika

diabaikan begitu saja. Dia juga menulis beberapa artikel yang berisi tentang

hermeneutika al-Qur’an dan juga karya eksegetis meskipun dalam

pengertian tradisionalnya bukan merupakan kitab tafsir. Menurutnya,

hermeneutika bukan hanya sebuah seni interpretasi dan teori pemahaman,

namun juga merupakan ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu dari

tingkat kata ke tingkat realitas, dari logos ke praksis. Dia mengusulkan

sebuah hermeneutika al-Qur’an yang spesifik (juz’i), tematik, temporal dan

realistik, dia juga lebih menekankan makna dan tujuan ketimbang kata-kata

dan huruf. Hermeneutika al-Qur’an haruslah berdasarkan atas pengalaman

hidup, dimulai dengan kajian atas problem-problem manusia. Teori

hermeneutikanya terutama didasarkan atas pengertian asbaab an nuzul

dalam pengertian realitas selalu mendahului wahyu. Interpretasi haruslah

35 Agus Darmaji, “Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer”,

Refleksi, (Vol.13,No.4,2013),hlm.473 36 Hassan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus,

(Yogyakarta:Prisma,2003), hlm.109

30

mengambil titik berangkatnya dari realitas, dalam problem-problem di mana

manusia mendapatkan dirinya, kemudian kembali kepada wahyu (al-

Qur’an) untuk mendapatkan sebuah jawaban teoritis. Jawaban teoritis ini

haruslah kemudian diterapkan dalam praksis. Interpretasi selalu berakhir

dalam praksis.37

Farid Esack, seorang intelektual Muslim Afrika Selatan dan aktivis

hak asasi manusia, mengusulkan sebuah hermeneutika al-Qur’an tentang

plularisme religius untuk pembebasan. Yang didasarkan atas konteks dan

pengalaman hidup di Afrika Selatan, yang pernah dibentuk oleh politik

aparteid, ketidakadilan dan penindasan. Dia lebih menekankan

hermeneutika penerimaan yang biasanya didiskusikan dalam konteks

fungsionalisme. Yang sentral dalam hermeneutika adalah pertanyaan

mengenai bagaimana teks al-Qur’an diterima oleh masyarakat Muslim

Afrika Selatan. Demikian pula koteks spesifik di mana teks al-

Qur’anditerima dan dialami, dan bukannya konteks universal, adalah titik

dimana interpretasi apapun dimulai. Dalam hal ini masyarakatlah yang

berhak menginterpreatsi wahyu Allah bukanlah Ulama.38

Dengan demikian, terdapat tiga model hermeneutika. Pertama,

hermeneutika objektif yang berusaha memahami makna asal dengan cara

mengajak kembali ke masa lalu; Kedua, hermeneutika subjektif yang

memahami makna dalam konteks kekinian dengan menepikan masa lalu;

37 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, (Jakarta:TERAJU, 2003),

hlm.40 38 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, hlm.41

31

Ketiga, hermeneutika pembebasan yang memahami makna asal dalam

konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan yang terpenting

pemahaman tersebut tidak sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-

benar mampu menggerakan sebuah aksi dan perubahan sosial.39

B. Hermeneutika Barat dan Tafsir al-Qur’an

Mengenal hermeneutika Barat bermula dari hermeneutika yang

dikenalkan oleh Schleiermacher—yang kemudian dikenal sebagai bapak

hermeneutika—kemudian dilanjutkan oleh para tokoh setelahnya. Dhitley,

Gadamer dan Jorge Gracia sebagai deretan nama yang berada setelah

Schleiermacher. Pada era kontemporer ini, banyak tokoh intelektual Islam

yang mengadopsi pemikiran hermeneutika Barat untuk memahami kitab

suci al-Qur’an. Salah satunya pemikiran Fazlur Rahman yang banyak

mengadopsi pemikiran Gadamer, meskipun Fazlur Rahman tidak

mengakuinya secara keseluruhan. Jika dilihat secara spesifik maka terlihat

dari teori kedua tokoh—fusion of horizon dan double movement-- tersebut

terdapat keterkaitan di antara keduanya.

Kesesuaian hermeneutika Gadamer dan penafsiran al-Qur’an terlihat

pada setiap teori yang dia kemukakan.

39 Muhammad Aji Nugroho, “Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi; Merefleksikan Teks

pada Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian”, Millati, (Vol.1, No,2, Desember 2016), hlm. 192-

193

32

1. Teori kesadaran sejarah dan teori pra pemahaman dalam menafsirkan

al-Qur’an

Inti dari teori pra pemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus

berhati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkan sesuai

kehendaknya semata-mata hanya terpengaruh pada pengetahuan awal. Teori

ini sangat jelas adanya keterkaitan dengan ilmu tafsir al-Qur’an. Dalam

hadis Nabi dijelaskan bahwa “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an

dengan ra’y-nya, maka bersiaplah untuk menempati nereka.” Kata ra’y

dalam hadis tersebut diartikan sebagai “akal”, sebab kata akal mengandung

arti berfikir secara positif, sebagaimana telah tertera dalam surah al-

Qur’an.40 Kata ra’y diatas lebih tepatnya diartikan dengan “dugaan” atau

pra pemahaman yang tidak atau belum diuji ketepatannya. Seperti dalam

istilah Gadamer yaitu ‘vorverstaendnis’.41Dalam hadis lain dikatakan

bahwa man fassara l-Qur’ana bi ghairi ‘ilm (siapapun yang menafsirkan al-

Qur’an tanpa ilmu pengetahuan). Dengan demikian penafsiran yang

dilarang oleh Nabi adalah penafsiran yang tidak didasarkan pada ilmu

pengetahuan yang dibutuhkan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an saat

penafsiran dan hanya didasarkan pada ‘subyektivitas’ penafsir semata.42

40 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

Perluasan, hlm. 84 41 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

Perluasan, , hlm. 84 42 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

Perluasan, hlm.84

33

2. Teori Fusion of Horizons dan Dirāsāt mā hawla al-Nashsh

Dengan teori fusion of horizons, Gadamer mengatakan bahwa dalam

proses penafsiran terdapat dua horison yang harus diperhatikan dan

diasimilasi, yakni horison teks dan horison penafsir. Horison teks, atau bisa

saja disebut dengan weltanschauung (pandangan dunia) teks hanya bisa

diketahui dengan melakukan apa yang disebut dengan dirāsāt mā fi n-

nashsh dan dirāsāt mā hawla n-nashsh oleh Amin Al khulli. Studi atas apa

yang terdapat di dalam teks dilakukan, antara lain dengan menganalisis

aspek kebahasaan teks, sedangkan studi atas sesuatu yang melingkupi teks

berupa analisis terhadap aspek historis yang melingkupinya seperti aspek

historis mikro (asbaab an nuzul) dan aspek historis makro yaitu kondisi

bangsa Arab saat al-Qur’an diturunkan. Setelah seseorang melakukan

analisis-analisis di atas, dia akan mendapatkan weltanschauung atau horison

teks secara baik. Horison ini pada gilirannya akan digabungkan dengan

horison penafsir dalam bentuk reaktualisasi penafsiran.43

3. Teori Aplikasi dan Interpretasi Ma’na-cum-maghza

Teori aplikasi yang dikemukakan Gadamer menegaskan bahwa

setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah

teks pada saat teks tersebut muncul, dia kemudian melakukan

pengembangan penafsiran atau reaktualisasi (reinterpretasi) dengan tetap

memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah

43 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-

Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam buku Upaya Integrasi

Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga

Penelitian UIN SUKA, 2011), hlm. 38

34

teks. Dengan teori ini diharapkan bahwa pesan teks tersebut dapat

diaplikasikan pada saat penafsiran.44

Teori ini dapat diterapkan dalam praktik penafsiran al-Qur’an yang

bisa disebut dengan “interpretasi ma’na-cum-maghza”. Interpretasi yang

dimaksud di sini adalah satu bentuk interpretasi yang memperhatikan baik

makna asal dari teks yang diinterpretasikan maupun makna terdalam

darinya. Gadamer menyebutnya dengan sinn (arti) dan makna yang berarti

atau mendalam. Interpretasi ini dilakukan dengan cara memperhatikan

konteks tekstual dengan analisis bahasa sebagai basisnya dan konteks

sejarah di mana teks itu muncul dengan analisis historis sebagai

instrumennya.45

Gadamer memusatkan perhatiannya pada problem pemahaman yang

dianggapnya sebagai problem eksistensial. Ia memulainya dengan

pembahasan historis kritik bagi hermeneutik sejak masa Scheleimacher

sampai masa Dilthey. Ia berpendapat bahwa Scheleimacher meletakkan

kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang menyelamatkan kita dari buruknya

pemahaman. Pemahaman buruk yang sering dilakukan ketika usia teks

tersebut sudah tua. Akhirnya bahasanya menjadi samar dan rancu.

Titik berangkat dalam pandangan Gadamer bukanlah membahas apa yang

harus dilakukan atau dihindari dari praktek pemahaman, tetapi yang lebih

44 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

Perluasan, hlm. 85 45 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Edisi Revisi dan

Perluasan, hlm.85, lihat tulisan Sahiron Syamsuddin dalam buku buku Upaya Integrasi

Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 40

35

penting adalah membahas apa yang sebenarnya terjadi dalam pemahaman

ini, tanpa melihat niat atau maksud kita.46

Gadamer memulai dari persoalan filosofis sebagaimana Heidegger

tentang hubungan pemahaman dengan pengalaman yang universal yang

melampaui bingkai metode dalam pengertian ilmiah. Ia mementingkan

pembahasan mengenai pengalaman sejati yang melampui bingkai metode

ilmiah yang sistematis. Dan yang termanifestasikan dalam filsafat, sejarah

dan seni. Hermeneutika Gadamer tidak berusaha mambahas metode ilmu

humaniora. Tetapi berusaha memahami ilmu-ilmu humaniora tanpa

metodenya. Dan untuk memahami relasinya dengan pengalaman kita yang

menyeluruh di alam semesta. Menurut Gadamer, sesungguhnya Dilthey

telah melakukan kesalahan fatal yang yang sesungguhnya dia sensiri

mencoba untuk menghindarinya. Praktek pemahaman dalam ilmu

humaniora dan ilmu eksakta merupakan praktek yang melampaui wilayah

metode. Karena pada akhirnya metode tidak menghasilkan apa-apa selain

objek yang dibahas atau tidak menjawab kecuali atas persoalan-persoalan

yang dilontarkan. Metode apapun yang memberikan jawabannya secara

implisit, dan tidak menyampaikan pada suatu yang baru. Kalau begitu

hermeneutik Gadamer melampaui wilayah metodologis dalam menganalisis

praktek pemahaman itu sendiri.47

46 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,

(Bandung: RqiS, 2003), hlm.65 47 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,

hlm.66

36

Dari titik tolak pemikiran ini, Gadamer mulai menganalisis konsep

kebenaran dalam seni, sejarah dan filsafat. Seni, dalam pandangannya tidak

hanya bertujuan pada kesenangan estetis yang dalam filsafat estetika

umumnya terfokus pada bentuk. Sedangkan menurut pengalaman kita,

dalam menerima aktifitas seni, kesadaran kita normal tidak terpisah dari diri

kita. Dengan kesadaran seperti itulah kita memasuki lingkaran kesadaran

estetis. Selanjutnya dengan dua bentuk kesadaran estetis dengan kesadaran

non estetis menurut Gadamer terletak pada pandangan bahwa kesadaran

subjektif merupakan dasar segala pengetahuan dalam filsafat Barat. Di sisi

lain, terdapat perbedaan antara wilayah pengetahuan seni dan non seni,

seperti sejarah dan filsafat. Seni tidak lahir hanya untuk menjadi objek

penilaian dengan menolak atau menerimanya semata-mata berdasarkan

kesadaran estetis subjektif.48

Kesadaran estetis—menurut Gadamer—berada pada tempat kedua

bila dibandingkan dengan hakikat yang muncul dari aktivitas seni hanya atas

dasar kesadaran estetis saja, maka kita akan merasa asing terhadap hakikat

aktivitas seni itu. Hal itu disebabkan karena menafikkan hakekat yang

tersembunyi dalam aktivitas ini. Gadamer berpendapat sama dengan

kalangan sosialis yang berpendapat bahwa seni terkait dengan manusia dan

bahwa seni merupakan pemikiran yang paling orisinil. Tetapi Gadamer

memahami hal tersebut sebagai objek yang berbeda dari anggapan kalangan

48 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,

hlm. 66

37

sosialis sendiri. Ia menganggap bahwa di dalam bingkai formalistis seni

estetis pada suatu hakikat. Yaitu makna yang merupakan pesan seni itu

sendiri. Ia juga berusaha menolak pendapat kaum estetis yang berpendapat

bahwa seni tidak memiliki tujuan apapun kecuali mewujudkan kesenangan

estetis. Ia menegaskan bahwa seni mengutarakan secara implisit satu jenis

kebenaran yang tidak didapatkan dari sumber lain.49

Untuk memperjelas metode interpretasi Gadamer dalam penafsiran al-

Qur’an, akan lebih mudah jika diberikan contoh. Salah satu contoh

penafsiran dengan metode Gadamer tentang kepemimpinan publik dilihat

dari segi jenis kelamin. Ayat-ayat yang dipandang dan sering dijadikan

landasan oleh para ulama klasik dan sarjana muslim dalam perdebatan

tentang kesetaraan jender dalam bidang kepemimpinan.50 Allah berfirman;

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang

lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian

dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat

kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena

Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan

nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat

tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,

maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.

Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”51

Ayat yang termasuk dari ayat-ayat Madaniyah ini sering digunakan

oleh para ulama yang berpendapat bahwa seorang wanita tidak boleh

49 Nasr Hamid Abu zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi dkk,

hlm.67 50 Sahiron Syamsuddin dalam buku Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an

dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 47 51 QS 4:34

38

menjadi pemimpin publik. Mereka mengatakan bahwa seorang wanita tidak

boleh menjadi pemimpin publik. Mereka mengatakan bahwa ar-rijalu

qawwamuna ‘ala n-nisa’i menunjukkan bahwa kaum lelaki adalah

pemimpin bagi kaum wanita. Meskipun demikian, kalau kita

memperhatikan konteks tekstual ayat tersebut, maka kita akan mendapati

bahwa ayat tersebut tidak terkait dengan kepemimpinan dalam ranah publik,

melainkan dalam ranah keluarga.52 Hal ini dapat dilihat dari asbaab an-

nuzul ayat tersebut. Ibnu katsir, menyebutkan satu riwayat dari ‘Ali ibn

Thalib bahwa suatu ketika Nabi Muhammad saw didatangi oleh seorang

wanita yang mengadukan kepadanya bahwa dia dipukul oleh suaminya.

Terhadap pengaduan ini, rasulullah merespon: “al-qishash” (balas dia

dengan pukulan lagi) atau, dalam riwayat lain, “laysa lahu dzalika” (dia

suami tidak berhak / boleh melakukan hal itu). setelah itu, turunlah ayat

tersebut. Beliau mengatakan: Saya menghendaki sesuatu, namun Allah

menghendaki yang lain” (yakni bolehnya memukul istri dalam batas

tertentu).53Seandainya riwayat ini memang benar, maka dapat kita katakan

bahwa ayat tersebut terkait dengan kepemimpinan lelaki dalam keluarga

secara historis (dengan memperhatikan sistem masyarakat Arab Madinah

52 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan pengembangan Ulum al-

Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam buku Upaya Integrassi

Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm. 48 53 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-

Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.49

39

waku itu) memang berkarakteristik pratriarkal dan tentunya riwayat ini

sangat multi-interpretable (dapat ditafsirkan secara beragam).54

Para Ulama yang mendasarkan ayat tersebut untuk mengatakan lelaki

juga pemimpin dalam ranah publik tampaknya mengambil keumuman lafal

tersebut, sehingga mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’anpun memberikan

runtutan agar kepemimpinan publik juga dipegang oleh laki-laki,

sebagaimana pemimpin keluarga. Dalam hal ini, yang berpandangan seperti

itu berpegang pada prinsip al-‘ibrah bi-‘umum al-lafzh la bi khushush as-

sabab (keumuman lafal bukan kekhususan sebab turunnya). Pemahaman

semacam ini kiranya cukup problemik karena tidak memperhatikan konteks

ayat baik tekstual maupun historis. Kemudian ayat QS 2:228;

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)

tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan

Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika

mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai

hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf.

Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada

isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Melihat ayat tersebut secara tekstual maka dapat disimpulkan bahwa

ayat tersebut berkenaan dengan masalah perceraian, bukan masalah

kepemimpinan publik. Penafsiran ini digaris bawahi oleh mufasir awal yaitu

al-Thabari mengatakan bahwa penggalan tersebut berarti pemberian maaf

oleh suami kepada istrinya yang melalaikan sebagian kewajiban-

54 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulum al-

Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.48

40

kewajibannya, melupakan kesalahan istri dan menunaikan kewajibannya

kepada istrinya.55

Terkait dengan ayat tersebut banyak mufasir yang menafsirkan ayat

tersebut dengan bias jender. Tafsir bias jender yang dimaksud adalah tafsir

yang memiliki tendensi diskriminatif terhadap sekelompok manusia atas

jenis kelamin. Tafsir semacam ini biasanya dipengaruhi oleh pra

pemahaman (pre understanding)56 yang membentuk horison seseorang. Pra

pemahaman dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan dan sistem

masyarakat, ilmu pengetahuan, subjektivitas serta kecenderungan penafsir.

Hal ini yang dapat mempengaruhi mufasir. Mufasir yang hidup di

masyarakat pratiarkal maka akan terpengaruh dalam penafsirannya dengan

sistem patriarkal pula. Adanya pra pemahaman adalah suatu keharusan,

karena tanpa adanya pra pemahaman, seseorang tidak akan mampu

memahami teks yang ditafsirkan. Yang menjadi problem adalah jika pra-

pemahaman tidak terkontrol dan akhirnya akan memaksakan agar teks yang

sedang ditafsirkan itu “berbicara” kepada penafsir, padahal tugas utama

penafsir adalah membiarkan teks berbicara dengan sendirinya bukan

memaksa sesuai dengan kehendak penafsir. Dengan kata lain, tugas penafsir

adalah mencari tahu dan memaparkan apa yang benar-benar dimaksud oleh

teks (objective meaning, al ma’na al-ashli). Dengan demikian bukan berarti

55 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan pengembangan Ulum al-

Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”, hlm.49 56 Hans-Gorge Gadamer, Hermeneutika Klasik dan Filosofis, terj. Syafa’atun Almirzanah,

dalam Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN

SUKA,2011), hlm. 153

41

penafsir hanya berhenti di situ saja akan tetapi setelah mendapatkan dan

menyampaikan makna yang dimaksud teks, penafsir berhak melakukan

“reinterpretasi” dan “reaktualisasi” terhadap makna teks sesuai dengan

situasi dan kondisi dimana penafsiran tersebut dilakukan.57 Beberapa

penafsir memang menafsirkan ayat QS 4: 34 dipandang bias jender,

diantaranya Ibn Katsir, al-Thabari dan Fakhruddin Ar Razi.

Beranjak dari ayat tersebut yang mana banyak diantara penafsir abad

pertengahan menyatakan ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin

dalam ranah publik, ayat QS 27: 29-35 berisi tentang kepemimpinan ratu

Balqis. Meskipun ayat-ayat tersebut berisi tentang kepemimpinan ratu

Balqis, namun sebagian ulama memahaminya secara implisit dan simbolik

sebagai justifikasi Qur’ani seorang perempuan memimpin Negeri, seperti

yang dilakukan oleh Ratu Balqis. Dalam al-Qur’an sama sekali tidak

mencela kepemimpinan Ratu Balqis, sebaliknya al-Qur’an justru

memaparkan betapa baiknya dan tepatnya keputusan dan kebijakan Ratu

Balqis sebagai pemimpin Negeri Saba’. Hal ini menunjukkan bahwa

seorang perempuan juga bisa memimpin suatu negeri dengan baik. Respon

interpretatif ini disebut dengan interpretasi ma’na-cum-maghza. Adapun

terkait dengan ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Ratu Balqis

adalah seorang Ratu yang mempunyai karakteristik demokrasi,

57 Lebih detail lihat Hans Gorge Gadamer, Wahrheit and Method, hlm. 398

42

mengutamakan ketentraman rakyat, menyukai diplomasi dan perdamaian,

cerdas dan berhati-hati.58

Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat secara detail bagaimana gerak

hermeneutika jika digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an. Hal ini tidak

terlihat bahwa hermeneutika bertolak belakang dengan penafsiran yang

telah ada sebelumnya. Hermeneutika terkesan kurang tepat digunakan

dalam menafsirkan al-Qur’an dikarenakan adanya ketidakharmonisan

antara para pemikir Islam dengan keilmuan Barat. Akan tetapi, hal ini tidak

menjadi problem besar bagi para intelektual Muslim yang mampu

menggunakan hermeneutika sebagai metode dalam memahami kitab suci al-

Qur’an.

Gagasan untuk menjadikan al-Qur’an universalitas dan fleksibelitas,

tidak dapat berhasil jika al-Qur’an tidak dipahami secara atomistik,

melainkan sebagai kesatupaduan yang berjalin berkelindan sehingga

menghasilkan weltanschauung yang pasti. Pemahaman seperti inilah yang

tidak didapatkan dari penafsiran klasik, mereka hanya bermain dengan kata-

kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-tekstual.

Menurut Fazlur Rahman fenomena semacam ini dikarenakan ketidaktepatan

dan ketidaksempurnaan alat-alat yang disebabkan kegersangan metode

penafsiran. Untuk mengatisipasi persoalan tersebut, Fazlur Rahman

58 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-Georg gadamer dan pengembangan Ulum al-

Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam buku Upaya Integrasi

Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), hlm.57

43

menawarkan suatu metode pembaharuan dalam penafsiran al-Qur’an yaitu

hermeneutika Double movement.

C. Teori Double movement Fazlur Rahman

1. Setting Historis Rahman dan Teorinya

Sebelum menjelaskan teori double movement Fazlur Rahman,

mengenal sosok intelektual Fazlur Rahman adalah hal paling penting,

dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam siapa sosok

Fazlur Rahman tersebut. Fazlur Rahman merupakan sosok intelektual

Muslim yang dapat dikatakan sebagai salah seorang pemikir modernis-

kontemporer Islam yang paling serius dan produktif. Ia dilahirkan pada

21 September 1919 M di Hazara, Pakistan.59 Rahman dibesarkan oleh

sebuah keluarga Muslim yang taat, yang mempraktekkan ajaran

fundamental Islam seperti shalat, puasa dan sebagainya. Dengan latar

belakang keislaman yang kental maka tidak heran jika Rahman telah

menghafalkan al-Qur’an pada usia 10 tahun. Ayah Rahman, Maulana

Syahab al-Din adalah orang yang berjasa dalam menanamkan dan

membentuk kepribadian Rahman. Tidak seperti Ulama pada zamannya

yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni

keimanan dan moral, Maulana Syahab meyakini bahwa Islam harus

menghadapi realitas kehidupan modern, tidak saja sebagai tantangan

tetapi merupakan kesempatan. Keyakinan inilah yang kelak

59 Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur

Rahman, (Badan Litbang dan Diklat Depag RI,2007), hlm. 25

44

dipraktikkan ayahnya pada diri Rahman sampai akhir hayatnya. Tidak

hanya seorah Ayah, Rahman juga mengakui bahwa Ibunya sangat

berperan dalam menanamkan nilai kejujuran, kasih sayang dan nilai-

nilai kebenaran. Ketika usia empat belas tahun ia mulai belajar filsafat,

bahasa Arab, teologi, hadis dan tafsir. Intelektualitasnya semakin teguh

dengan penguasaan berbagai bahasa. 60

Selain mendapatkan pendidikan dari keluarganya, Rahman

secara formal mengenyam pendidikan menengah di Seminari Deoband

India, tempat ayahnya mengabdikan diri. Selanjutnya ia melanjutkan

kuliah di jurusan ketimuran Universitas Punjab Lahore bidang kajian

sastra Arab hingga meraih gelar sarjana dan kemudian melanjutkan

untuk mendapatkan gelar masternya dan tamat pada tahun 1942. Empat

tahun kemudian ia melanjutkan studinya di Oxford University Inggris.

Dipilihnya Inggris sebagai tempat belajar karena ia menginginkan studi

Islam yang kritis, yang ia tidak dapatkan di Pakistan maupun India.

Pada tahun 1951 ia berhasil mencapai gelar Ph.D-nya di bidang Filsafat

Islam. Disertasinya tentang Filsafat Ibnu Sina. Lepas dari Oxford ia

memilih tetap tinggal di Barat dan mengajar filsafat di Durham

University antara tahun 1950-1958. Kemudian ia meninggalkan

Durham dan menetapkan bekerja sebagai assosiate profesor di Institute

of Islamic Studies Mc.Gill University Kanada sampai tahun 1961.61

60 Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur

Rahman, hlm. 25-26 61 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum

Fazlurrahman, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 79-84

45

Pada saat yang sama, Jenderal Ayyub Khan, Presiden Pakistan,

mencari seorang intelektual muslim yang berwawasan modern untuk

mengepalai Institut Riset Islam yang telah dibangunnya. Institut ini

disediakan untuk mendukung proyek modernisasinya. Sebagai anak

bangsa, Rahman dipilih menjadi direkturnya, juga menjadi profesor

tamu di institut tersebut antara tahun 1962-1968. Di samping itu, ia

menjadi anggota Advisory Council of Islamic Ideology pemerintah

Pakistan. Karena masuk dalam dua lembaga inilah, ia terlibat aktif dan

intens dalam usaha-usaha untuk menafsirkan kembali Islam dalam

rangka menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa

kini. Ia banyak menawarkan ide-ide baru yang tidak biasa dicetuskan

oleh ulama- ulama Pakistan. Karena ide-ide pembaruan yang

dikemukakannya ini selalu mendapat tantangan keras dari ulama

konservatif Pakistan maka akhirnya ia pamit dan undur diri dari

Pakistan dan kembali lagi menikmati udara intelektual di Barat.

Setibanya di Barat, ia menjadi profesor pada University of California,

Los Angeles, pada musim semi tahun 1969. Sedangkan musim

gugurnya, ia pergi ke University of Chicago sebagai profesor bidang

pemikiran Islam. Kemudian pada tahun 1986 ia mendapat anugerah

sebagai Harold H. Swift Distinguised Profesor di University of

46

Chicago. Ia menyandang gelar ini sampai ia meninggal dunia pada 26

Juli 1988 akibat serangan jantung kronis.62

Kegagalan memahami al-Qur’an sebagai suatu keterpaduan

yang berjalin berkelindan dan menghasilkan weltanschauung yang

pasti, telah mengakibatkan bencana besar dalam lapangan pemikiran

teologi. Memang para filosof dan para sufi, memahami al-Qur’an

sebagai satu kesatuan, akan tetapi kesatuan ini mereka dapatkan dari

luar bukannya diperoleh dari kajian atas al-Qur’an sendiri. Sistem-

sistem dan orientasi pemikiran tertentu diadopsi dari sumber luar (yang

tidak jarang bertentangan dengan al-Qur’an), yang disesuaikan dengan

mental Islam, namun struktur gagasan dasarnya tidak diambil dari al-

Qur’an itu sendiri.63 Hal ini yang menjadi kegelisahan tersendiri dari

pemikiran Rahman.

Rahman mengungkapkan bahwa perlu diadakannya

pembaharuan metode penafsiran yang menyeluruh agar al-Qur’an tidak

dipahami secara parsial atau terpotong-potong. Hal inilah yang menjadi

latar belakang lahirnya teori double movement. Hermeneutika double

movement merupakan salah satu terapan teori hermeneutika dalam

penafsiran al-Qur’an. Rahman sebagai pencetus hermeneutik tersebut

mengharapkan adanya pembaharuan dalam penafsiran al-Qur’an.

62 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum

Fazlurrahman, hlm. 111 63 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka,2005,

cet. III), hlm. 3-4

47

Rahman memberikan kritikan bagi para mufasir klasik dengan

mengatakan:

The classical and medieval commentators of the Quran have

treated the Quran verse by verse, although sometimes they

give cross-reference tho other verses of the Quran while

commenting upon a verse, this has not been done

systematically. The Quran commentaries therefore do not

yield an effective ‘weltanschauung’ that is cohesive and

meaningful for life as a whole.

Artinya, para penafsir klasik dan pertengahan menafsirkan al-

Qur’an ayat demi ayat. Walaupun kadang-kadang mufasir

menghubungkan pembahasan dengan ayat lain, namun dilakukan bukan

secara sistematis. Akibatnya, tafsiran al-Qur’an tidak

menghasilkan‘weltanschauung’ yang efektif, kohesif dan bermakna

bagi kehidupan dalam segala aspek.64

Dari keterangan tersebut, dapat dilihat bahwa keinginan

Rahman memperbarui metode interpretasi al-Qur’an untuk menemukan

‘weltanschauung’ sebagai kandungan pokok al-Qur’an yang perlu

ditemukan untuk menjawab problem masa ini. Pemahaman seperti ini

tidak didapatkan dalam penafsiran klasik. Mereka terlalu asyik dengan

kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-

tekstual. Rahman menyebutkan fenomena ini dikarenakan adanya

ketidaksesuaian penggunaan alat-alat untuk interpretasi. Untuk

64 Syamrudin, “Hermeneutika Fazlur Rahman”, Miqot, (Vol.XXXV, No.2, Juli-Desember

2011), hlm. 279

48

mengantisipasi hal tersebut maka Rahman menawarkan metode yang

logis, kritis dan komprehesif yaitu double movement (gerakan ganda).

The process of interpretation proposed here consist of a

double movement, from the present situation to Qur’anic

times, then back to the present. The Qur’an is the divine

response, throught the prophet’s mind, to the moral social

situation of the prophet’s Arabia, particularly to the problems

of the commercial Meccan Society of his day.65

Artinya proses penafsiran yang diusulkan di sini terdiri dari

gerakan ganda, dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan

kembali lagi ke masa kini. Al-Qur’an adalah respon Illahi, melalui

ingatan Nabi, kepada situasi moral sosial Arab pada masa Nabi,

khususnya pada masalah-masalah masyarakat dagang Mekah pada

masanya.66 Dari pemaparan Rahman tersebut dapat disimpulkan bahwa

gerakan ganda (double movement) dilahirkan dari pemikiran Rahman

sendiri baik dari nama maupun metode penafsirannya.

Hermeneutika double movement yang dilahirkan oleh

pemikiran Fazlur Rahman ini, memberikan pemahaman yang sistematis

dan kontekstualis, sehingga menghasilkan penafsiran yang tidak

atomistik67, literalis dan tekstualis, melainkan penafsiran yang mampu

menjawab masalah kekinian. Dalam hal ini yang dimaksud dengan

65 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition

(Chicago and London: University Press, 1982), hlm.5 66 Fazlur Rahman, islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad, hlm.6 67 Lihat pada Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalis

Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.23

49

gerakan ganda adalah dimulai dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an

diturunkan dan kembali ke masa kini.68

Menurut Rahman, mengetahui konteks historis ketika al-

Qur’an diturunkan sangat penting meskipun pada masa keduanya

sebenarnya tidak mempunyai kesamaan sedikitpun. Artinya

signifikansi pemahaman setting-sosial Arab pada masa al-Qur’an

diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara al-Qur’an

dengan realitas, baik dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan),

tahrim (melarang keberadaannya) dan taghiyyur (menrima dan

merekonstruksi tradisi).69

Adapun mekanisme hermeneutika double movement dalam

menginterpretasi al-Qur’an sebagai berikut:

Gerakan pertama, bertolak dari situasi kontemporer menuju ke

era al- Qur’an diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu dipahami arti

dan makna dari suatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau

problem historis di mana pernyataan al-Qur’an tersebut hadir sebagai

jawabannya. Dengan kata lain, memahami al-Qur’an sebagai suatu

totalitas di samping sebagai ajaran-ajaran spesifik yang merupakan

respon terhadap situasi-situasi spesifik. Kemudian, respon-respon yang

spesifik ini digeneralisir dan dinyatakan sebagai pernyataan-

68 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition

(Chicago and London: University Press, 1982), hlm.6 69 Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas,

(Yogyakarta:ar-Ruzz Media,2008), hlm.116-117

50

pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral umum yang dapat

“disaring” dari ayat-ayat spesifik yang berkaitan dengan latar belakang

sosio historis dan rasio legis yang sering diungkapkan. Selama proses

ini, perhatian harus diberikan pada arah ajaran al-Qur’an sebagai suatu

totalitas sehingga setiap arti atau makna tertentu yang dipahami, setiap

hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan atau sasaran yang

diformulasikan akan berkaitan dengan lainnya. Singkatnya, dalam

gerakan pertama ini, kajian diawali dari hal-hal yang spesifik dalam al-

Qur’an, kemudian menggali dan mensistematisir prinsip-prinsip umum,

nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya.70

Gerakan kedua, dari masa al-Qur’an di turunkan (setelah

menemukan prinsip-prinsip umum) kembali lagi ke masa sekarang.

Dalam pengertian bahwa ajaran-ajaran (prinsip) yang bersifat umum

tersebut harus ditubuhkan dalam konteks sosio historis konkret

sekarang. Untuk itu perlu dikaji secara cermat situasi sekarang dan

dianalisa unsur-unsurnya sehingga situasi tersebut dapat dinilai dan

diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru

demi mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an secara baru pula.71

70 Rifki Ahda Sumantri, “Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman Metode Tafsir Double

Movement,” Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, ( Vol.7, No.1, Januari-Juni 2013), hlm.7,

lihat juga dalam Fazlur Rahman, islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung:

Pustaka,2005, cet. III), hlm. 7, Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an

Intelectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), hlm.6 71 Rifki Ahda Sumantri, “Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman Metode Tafsir Double

Movement,” hlm. 8

51

Gerakan pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam al-

Qur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-

nilai dan tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari

pandangan umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan

direalisasi sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus

ditubuhkan dalam konteks sosio historis yang konkrit pada masa

sekarang. Dalam hal ini membutuhkan kajian yang cermat atas situasi

sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga

dapat menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh

yang diperlukan dan menentukan prioritas baru untuk bisa

mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an seacara baru pula. Jika

seseorang mampu mengaplikasikan double movement dengan berhasil

maka perintah-perintah al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif

kembali. Tugas yang pertama adalah para ahli sejarah dan dalam

pelaksanaan tugas kedua yaitu instrumentalitas dan para saintis sosial

jelas mutlak diperlukan.72

Dengan demikian metode yang diintrodusir oleh Rahman

adalah metode berfikir yang secara reflektif, mondar-mandir diantara

deduksi dan induksi secara timbal balik. Metodologi semacam ini tentu

saja akan membawa implikasi bahwa hukum Allah dalam pengertian

72 Fazlur Rahman, islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad, hlm.8 atau lihat juga dalam

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual Tradition, (Chicago: The

University of Chicago Press, 1984), hlm. 7

52

seperti yang dipahami manusia tidak ada yang abadi. Yang abadi

hanyalah prinsip moral.73

Jika dicermati teori Rahman tampaknya ingin

mendialektikakan text, author dan reader. Disini, Rahman tidak

memaksakan teks berbicara sesuai dengan keinginan author, akan tetapi

membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk mengajak berbicara, Rahman

menelaah historitas teks. Historitas yang dimaksud tidak berhenti pada

asbaab an nuzul melainkan lebih luas yaitu setting-sosial masyarakat

Arab dimana Al-Qur’an turun (qira’ah al tarikhiyyah). Tujuan

menelaah historis teks disini yaitu untuk mencari nilai-nilai universal –

ideal moral- yang tidak berubah dan berlaku sepanjang masa. 74

Dalam hal ini Rahman membedakan antara ideal moral dan

legal spesifik. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan

al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik ketentuan hukum yang diterapkan

secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan daripada legal

spesifik. Sebab, ideal moral lebih universal dibandingkan legal spesifik

yang lebih partikular. Proses pengaplikasian ideal moral, sebagai

author, Rahman juga mempertimbangkan reader yang dilingkup oleh

berbagai peraturan dan latar belakang. Seperti pengaplikasian potong

tangan, disini Rahman turut mempertimbangkan nilai-nilai

73 Sahiron Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm.72 74 Sahiron Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm.72

53

kemanusiaan agar tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, jadi

reader disini adalah hak asasi manusia.75

Jika dicermati, teori double movement yang diusulkan Rahman

merupakan perpaduan antara tradisionalis Muslim dengan

hermeneutika Barat. Pengaruh atau kesamaan tradisionalis Muslim

terhadap teori Rahman terlihat pada gerakan yang pertama. Pada

langkah tersebut, Rahman menyebutkan “dalam memahami suatu

pernyataan, terlebih dahulu memperhatikan konteks mikro dan makro

ketika al-Qur’an diturunkan”. Ide tentang konteks mikro dan makro

sebenarnya telah digagas oleh Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam

karnyanya “Fauzul al-Kabir fi Ushul al-Tafsir”. Dalam karyanya, al-

Dahlawi menyebutkan kedua konteks tersebut dengan asbaab an Nuzul

ak-khassah dan asbaab an Nuzul al-‘ammah. Di samping itu,

kesamaannya adalah pernyataan al-Dahlawi bahwa al-Qur’an turun

merespon kehidupan masyarakat Arab dengan mendidik jiwa manusia

dan memberantas kepercayaan yang keliru dan perbuatan jahat

lainnya.76 Senada dengan pernyataan tersebut, Rahman juga

mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan respon Illahi melalui ingatan

dan pikiran Nabi Muhammad, kepada situasi moral-masyarakat dagang

Mekah dari segi kepercayaan dan kehidupan sosial.77

75 Sahiron Syamsuddin, ed., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, hlm.72-73 76 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 75 77 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm.6

54

Sebelum al-Dahlawi, teori ini juga pernah dikemukakan oleh

Syatibi, tokoh ushul fiqh yang terkenal dengan “maqasid al-syariah”.

Berhubungan dengan masalah konteks, Syatibi mengatakan untuk

mengetahui al-Qur’an perlu memahami situasi dan kondisi dimana al-

Qur’an itu diturunkan. Disamping itu, Syatibi juga mengatakan bahwa

“untuk memahami teks bahasa Arab yang mana al-Qur’an diturunkan

maka diperlukan pengetahuan mengenai sejumlah keadaan, keadaan

bahasa, keadaan mukhatib dan keadaan mukhatabnya dan memahami

ini diperlukan pula pengetahuan tentang konteks-konteks di luarnya

yang lebih luas.78

Dari sini terlihat adanya kesamaan kedua. Menurut Rahman,

untuk mengkaji al-Qur’an kajian situasi masyarakat, agama , adat

istiadat, lembaga-lembaga bahkan kehidupan bangsa Arab secara

menyeluruh ketika al-Qur’an diturunkan sangatlah penting. Dari sini

terlihat bahwa keduanya berpendapat bahwa setting-sosial masyarakat

Arab sangat diperlukan. Sisi lain yang menyamakan pemikiran Syatibi

dengan Rahman yaitu petunjuk-petunjuk umum atau hukum universal

bersifat pasti, sementara khusus bersifat tidak mungkin dan

kondisional, karena itu petunjuk umum dan universal harus

didahulukan. Pernyataan Syatibi mempunyai kesamaan dengan

78 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 76

55

Rahman yaitu pada konsep ideal moral. Bagi Rahman, ideal moral

bersifat universal dan al-Qur’an dipandang elastis dan fleksibel.79

Selain kedua tokoh tersebut, teori double movement juga

dipengaruhi oleh hermeneutika Hans-Gorge Gadamer, sebab dalam

teori Gadamer, subjektivitas adalah pra pemahaman

(wirkungsgeschichte) yang ada pada diri pembaca teks. Artinya ketika

seseorang membaca teks terlebih dahulu maka akan dipengaruhi oleh

pra pemahaman dan ini harus ada pada seseorang agar mampu

mendialogkan teks, sebab tanpa adanya pra pemahaman tidak akan

mampu teks dengan baik. Ini menunjukkan bahwa pembaca

mempunyai horison tersendiri dan, begitu juga sebuah teks yang

mempunyai horison tersendiri. Untuk mendapatkan pesan-pesan teks

secara objektif maka pembaca harus membatasi horisonnya sendiri dan

lebih mengutamakan teks dengan mengkaji di mana teks tersebut

muncul. Dari sinilah pertemuan antara subjektifitas dengan objektifitas,

dimana horison teks lebih diutamakan. Pentingnya mengetahui horison

teks dikarenakan berbedanya kondisi sosial teks dengan pembaca.

Setelah proses pemahaman, sekarang masuk ke dalam proses

pengaplikasian. Menurut Gadamer setelah proses pemahaman penafsir

dituntut untuk penerapan. Dalam mengaplikasikan penafsiran perlu

diperhatikan bahwa yang diaplikasi bukanlah makna-makna literal teks,

79 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 77

56

melainkan meaningful sense (makna yang berarti) atau pesan yang lebih

berarti daripada sekedar literal.80

Dalam teori double movement, pra pemahaman adalah sosial

yang melingkupi penafsir, seperti yang disebut pada langkah pertama

“masa sekarang”. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan pesan teks

secara objektif, penafsir dituntut untuk meninggalkan pra pemahaman

dengan mengutamakan horison teks dengan menyelami historisitas di

mana munculnya teks. Di sini Rahman juga memandang bahwa teks

mempunyai konteks tersendiri, maka untuk menafsirkan dan

memahami teks diperlukan kajian setting-sosial di mana teks tersebut

muncul. Dalam tahap aplikasi Rahman juga tidak menggunakan makna

literal teks tapi ideal moral dari teks tersebut.81

2. Contoh Aplikasi Teori Double movement

Dalam artikel Rahman berjudul “Interpreting the Quran”,

Rahman memberikan beberapa contoh penggunaan teori double

movement dalam aspek hukum. Bagaimana ideal moral yang

sebenarnya ingin disampaikan al-Qur’an bagi manusia. Pertama dalam

masalah poligami dalam surat an-Nisa ayat 2, al-Qur’an mengeluh

banyaknya pengampu anak yatim yang menyalahgunakan kekayaan

anak-anak yatim serta memakannya secara batil. Dalam surat yang

sama ayat 126, al-Qur’an menyatakan bahwa pengampu lebih baik

80 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 78 81 Kurdi,dkk, Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis, hlm. 78-79

57

mengawini gadis-gadis yatim ketika mereka dewasa daripada

mengembalikan kekayaan tersebut. Jadi dalam ayat 3, Surah an-Nisa,

al-Qur’an mengatakan bahwa jika para pengampu tidak dapat berlaku

adil terhadap kekayaan gadis-gadis yatim maka mereka boleh

mengawini gadis-gadis yatim hingga empat orang asalkan mereka

mampu berlaku adil dengan semua istri-istrinya. Tetapi jika mereka

tidak mampu berlaku adil di antara istri-istriya maka kawini seorang

saja dari gadis-gadis yatim itu, karena hal ini merupakan yang terdekat

kepada titik di mana engkau tidak akan melakukan kesalahan.82

Dalam ayat 127, surat an-Nisa, al-Qur’an menyatakan secara

gamblang bahwa mustahil untuk berlaku adil di antara istri-istri.

Problem pernikahan ini tampak bertentangan. Ada izin untuk menikah

hingga empat orang tanpa perlakuan adil dengan anak-anak yatim,

adanya kewajiban untuk melaksanakan keadilan dan adanya suatu

deklarasi yang secara kategoris bahwa keadilan tidak mungkin

dilaksanakan. Untuk suatu hal, adalah pasti bahwa keseluruhan masalah

tersebut dibicarakan dalam konteks wanita yatim dan tidak

diperbincangkan dalam terma mutlak. Para fuqaha menafsirkan klausa

yang megizinkan poligami sebagai klausa yang memiliki kekuatan

hukum, sebab ia bersifat konkrit dan spesifik. Klausa yang menuntut

keadilan mereka anggap sebagai rekomendasi bagi nurani sang suami

82 Fazlur rahman, Metode dan Alternatif neomodernisme Islam, Penyunting: Taufik Adnan

Amal, (Bandung: Mizan, 1989), hlm.63

58

bahwa ia harus berlaku adil tetapi tidak memiliki kekuatan hukum tentu

saja, selalu terbuka kemungkian bagi kaum muslimah untuk menuntut

dan mendapatkan cerai atas dasar penganiyaan, penyia-nyiaan dan

perlakuan tidak adil dari suaminya. Dalam kasus poligami ini klausa

berlaku adil harus mendapat perhatian dan ditetapkan memiliki

kepentingan yang lebih mendasar ketimbang dengan klausa spesifik

yang mengizinkan poligami.83

Dalam memahami poligami ini, dengan menggunakan teori

double movement Fazlur Rahman, gerakan pertama dimulai dari masa

sekarang ke masa pewahyuan. Sebuah kegelisahan yang muncul pada

saat sekarang dalam pandangan Rahman yaitu masih banyaknya

problem paligami yang muncul di kalangan masyarakat. Dari situasi

tersebut kemudian dikembalikan ke masa pewahyuan dimana

kebolehan poligami dikarenakan tidak adanya keadilan atas kekayaan

gadis-gadis yatim (an-Nisa:2). Hal ini menganjurkan bagi pengampu

anak yatim menikahi gadis yatim tersebut dengan bilangan yang

diperbolehkan adalah empat gadis yatim (an-Nisa: 3) dengan syarat

berlaku adil pada semua istrinya. Namun ayat selanjutnya (an-Nisa:

127) menjelaskan bahwa bersikap adil kepada istri-istrinya adalah

mustahil. Maka dari itu jawaban spesifik dari problem poligami adalah

ketidakbolehan poligami dikarenakan sikap keadilan kepada seluruh

83 Fazlur rahman, Metode dan Alternatif neomodernisme Islam, Penyunting: Taufik Adnan

Amal, hlm.63

59

istri adalah mustahil. Ideal moral dari larangan poligami adalah

penegakan keadilan bagi Muslimah.

60

BAB III

PEMAHAMAN AHLI KITAB DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

A. Terminologi Ahli Kitab

Terma Ahli Kitab berasal dari dua kata yaitu ahli dan kitab. Kata ahli

secara literal mengandung pengertian ramah, senang atau suka. Kata ahli

telah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang mempunyai dua pengertian,

yaitu: 1). Orang yang mahir (sangat paham dengan suatu ilmu) dan ke 2).

Kaum, keluarga atau sanak saudara maupun orang yang berada dalam satu

golongan.84 Selain itu dapat juga digunakan untuk menunjukkan kepada

sesuatu yang mempunyai hubungan sangat dekat, seperti kata ahl ar-rajul

yaitu orang yang menghimpun mereka, baik dari hubungan nasab maupun

agama atau hal yang setara dengannya, seperti komunitas atau profesi.85

Kata ahli dapat pula diartikan sebagai keluarga yang masih mempunyai

hubungan nasab, seperti ahl al-bait yang digunakan dalam penyebutan bagi

mereka yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga Ali bin Abi

Thalib dan Siti Fatimah.

Dalam al-Qur’an kata ahli digunakan dengan beberapa variasi.

Disebutkan sebanyak 125 kali.86 Dalam QS al-Ahzab(33): 33, kata ahli

menunjuk pada suatu kelompok tertentu dengan kata ahl al-bait yang

84 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993),

hlm.11 85 Ar-Raghib al-Asfihani, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t),

hlm.25 86 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim,

(Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988M), hlm. 121-123.

61

ditunjukkan untuk kelurga Nabi Muhammad. Kata ahli menunjukkan arti

suatu penduduk seperti dalam QS Al Qashash (28): 45 dan dapat juga

dimaknai sebagai suatu kelompok yang menganut paham dan ajaran

tertentu, dijelaskan dalam QS Al Baqarah (2):105. Dalam hal ini, kata ahli

mempunyai banyak makna yang dapat disimpulkan dengan arti kelompok

atau keluarga.

Kata kitab terdiri dari tiga huruf yaitu kaf, ta’ dan ba’ yang menunjuk

pada arti kata yaitu rangkaian atau kumpulan87 dapat juga diartikan

pengumpulan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk memperoleh manfaat

atau untuk membentuk sebuah tema yang sempurna. Oleh karenanya firman

Allah yang diturunkan kepada para rasul disebut dengan Kitabullah atau al-

Kitab, karena terdiri dari rangkaian lafadz. Syahrur mendefinisikan kata

kitab merujuk pada pengertian kumpulan berbagai tema yang diwahyukan

kepada Muhammad, oleh karenanya surah al-Fatihah disebut “Fatihat al-

kitab”.88 Dari pemaparan kata ahli dan kitab maka dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dari kata ahli kitab yaitu komunitas atau kelompok pemeluk

agama yang memiliki kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi dan

Rasul-Nya secara umum.

Secara bahasa ahli kitab adalah orang yang mempunyai kitab.

Artinya orang yang mengikuti kitab suci yang diturunkan kepada salah

seornag Nabi. Secara singkat, ahli kitab bisa diartikan orang yang

87 Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughoh, (Dar Fikr,t.t), hlm.158 88 Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer,

(Yogyakarta: Kalimedia,2015), hlm.69

62

mempercayai salah satu Nabi dan percaya dengan kitab suci baik Yahudi

maupun Nasrani. Dalam al-Qur’an, kata ahli kitab kerap kali ditujukan

kepada Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya pemaknaan ahli kitab mengalami

pergeseran yang sangat signifikan dimana banyak intelektual Muslim yang

berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebenarnya yang menjadi kontroversi

dari pemahaman ahli kitab bukanlah definisi umumnya akan tetapi lebih

kepada cakupan kelompok atau golongan apa saja yang dapat dimasukkan

ke dalam kelompok ahli kitab. Perbedaan pendapat tersebut tidak lain

dikarenakan adanya pemahaman yang berbeda dari banyaknya ayat yang

menjelaskan mengenai ahli kitab itu sendiri.

B. Pergeseran makna Ahli Kitab

Pemaknaan ahli kitab mengalami pergeseran dari yang signifikan

dari para pemikir Muslim masa klasik (Salaf) dan kontemporer (Kholaf).89

Pada awal perkembangan Islam, terma ahli kitab digunakan untuk

menunjukkan kaum yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, kelompok

diluar itu tidak disebut sebagai ahli kitab. Kemudian pada masa tabi’in,

sebutan untuk ahli kitab sudah mulai mengalami perkembangan

pemaknaan. Imam Syafi’i (W. 204 H) dalam kitabnya al-Umm, menjelaskan

riwayat yang disebutkan, bahwa Atha’ (tabi’in) berkata: “Orang kristen

Arab bukan termasuk ahli kitab. Kaum yang disebut ahli kitab adalah kaum

Israel, yakni orang-orang yang diturunkan kepada meraka kitab Taurat dan

89 Pemetaan pemaknaan ahli kitab dalam tulisan ini berdasarkan pada runtutan dari Ulama

Salaf ke Ulama Kholaf, yang mengalami pergeseran makna secara signifikan. Akan tetapi secara

garis besar banyak diantaranya mengakui ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani

63

Injil”. Adapun orang selain Bani Israel yang memeluk agama Yahudi dan

Nasrani tidak termasuk golongan ahli kitab. Dengan demikian Imam Syafi’i

memahami ahli kitab sebagai komunitas etnis, bukan sebagai komunitas

agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa.90 Menurut Abu Hanifah

dan ulama Hanafiah menyatakan bahwa yang disebut ahli kitab adalah

siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi atau kitab suci yang pernah

diturunkan Allah SWT, tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani. Dengan

demikian, jika ada yang percaya kepada suhuf Ibrahim atau kitab zabur,

maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahli kitab.91 Bagi imam

ath-Thabari92, ahli kitab adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari

keturunan manapun dan siapapun mereka, baik keturunan Israel maupun

bukan dari bangsa Israel.93

Ibn Hazm94 mendefinisikan ahli kitab dengan sekumpulan manusia

yang mempunyai kitab yang diturunkan kepada Nabi tertentu sebagai

sumber panutan mereka. Ibnu Hazm merumuskan definisi ini berdasar pada

beberapa fakta, yaitu pertama, Ibnu Hazm bermadzhab Zahiri yaitu aliran

pemikiran yang memahami sesuatu berasas pada makna literal. Ungkapan

90 Nasrullah, “Ahli Kitab Dalam Perdebatan: kajian Survei Beberapa Literatur Tafsir Al-

Qur’an”, Jurnal Syahadah, (Vol.III, No.2, Oktober 2015),hlm. 70 91 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan,1994), hlm. 367 92 Nama lengkapnya Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid At

Thabari, ada pula yang mengatakan Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin

Ghalib At Thabari. dilahirkan pada tahun 224 H dan wafat pada tahun 310 H. 93 Nasrullah, “Ahli Kitab Dalam Perdebatan: kajian Survei Beberapa Literatur Tafsir Al-

Qur’an”, hlm. 71, lihat pada Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, (Beirut, Dar

al-kutub al-‘ilmiyyah, 1992), hlm.321 94 Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Khalaf bin

Ma’dan bin Sufyan bin Yazid. Lahir pada tahun 384 H bertepatan dengan tanggal 8 November 994

M di Cordova dan wafat pada bulan Sya’ban tanggal 28 tahun 456 H. Ketika berusia 72 tahun.

64

ahli kitab menurutnya, merupakan kalimat yang terdiri dari dua kata yaitu

ahli dan kitab (mudhaf dan mudhaf ilaih) yang disandarkan satu sama lain

dalam pemberian makna. Kata kitab disandarkan pada kata ahl memberikan

makna yang tidak terpisah diantara keduanya. Kedua, golongan Yahudi dan

Nasrani yang mana mereka mempercayai kitab yang diturunkan kepada

Nabi mereka. Ketiga, kelompok majusi sebagai ahli kitab didasari adanya

kewujudan kitab yang dipegangi oleh kelompok majusi disamping

kepercayaannya pada keNabian Zaradasht. Kesimpulan dari ketiga faktor

ahli kitab menurut Ibn Hazm yaitu golongan Yahudi, Nasrani dan majusi.95

Berbeda dengan Ibn Hazm, al-Shahrastani96 memberikan definisi

ahli kitab sebagai kelompok yang telah keluar dari agama yang hanif dan

syariat Islam. Mereka ialah kumpulan yang mempunyai syariat, hukum-

hukum, hudud dan ulama. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan dua ciri

utama ahli kitab yaitu kelompok yang mempunyai syariat, hukum-hukum,

ulama dan agama mereka yang telah keluar daripada agama yang lurus.97

Al-Shahrastani juga memasukkan golongan yang hanya menerima

suhuf sebagai bagian dari ahli kitab. Dia membagi ahli kitab menjadi dua

kategori yaitu pertama, golongan yang mempunyai kitab sebenarnya yaitu

95 Mohd Faizal Abdul Khir, “Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-Shahrastani”,

Jurnal Usuluddin, (Januari 2011), hlm. 21 96 Nama Lengkapnya Muḥammad bin ‘Abd al-Karīm bin Aḥmad bin Abī al-Qāsim bin Abī

Bakar.seorang tabi’in, satu dari tujuh fuqaha Madinah selain Said ibn al-Musayyab, Urwah ibn az-

Zubair, Abu Bakar ibn Abdurrahman al-Makhzuumi, Khaarijah ibn Zaid, Sulaiman ibn Yasaar,

dan Ubaidullah ibn Abdillah ibn Utbah. Beliau yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling

tajam kecerdasan otaknya, dan paling bagus sifat wara’nya. . Lahir tahun 459 H dan Wafat pada

tahun 548 H. 97 Mohd Faizal Abdul Khir, “Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-Shahrastani”,

hlm.22

65

Yahudi dan Nasrani dan kedua, golongan yang mempunyai kitab yang

mempunyai kemiripan dengan kitab asli yaitu Majusi dan Manawi.

Perbedaan antara keduanya, menurut Shahrastani yaitu kitab yang hakiki

seperti Taurat dan Injil manakala mirip kitab yaitu suhuf Ibrahim. Golongan

yang mempunyai kitab sebenarnya, mereka masih mempunyai kitab hingga

sekarang sedangkan mirip kitab, telah diangkat kembali ke langit.98

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, Ibn Hazm dan Shahrastani terletak

pada klasifikasi ahli kitab yang mana Shahrastani membagi ahli kitab

menjadi dua yaitu ahli kitab hakiki dan mirip kitab yang tidak disentuh oleh

Ibn Hazm. Menurut Ibn Hazm, Majusi merupakan bagian dari ahli kitab

sedangkan Shahrastani memasukkan Majusi pada golongan mirip ahli kitab.

Kesamaan pendapat diantara keduanya yaitu menyatakan bahwa Yahudi

dan Nasrani merupakan ahli kitab yang hakiki.

Menurut Thabathaba’i99 menyimpulkan bahwa orang-orang yang

diberi kitab sebelum al-Qur’an jumlahnya banyak, akan tetapi sebagian

besarnya merujuk pada Yahudi dan Nasrani. Yang biasanya disamakan

dengannya yaitu Majusi dan Shabi’in, dua kelompok minoritas yang tidak

dominan dalam mewarnai dakwah Nabi. Yahudi dan Nasrani disebut

sebagai ahli kitab dikarenakan mereka merupakan kelompok masyarakat

yang berinteraksi secara aktif dengan Nabi. Dalam interaksi itulah dua

98 Mohd Faizal Abdul Khir, “Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-Shahrastani”,

hlm.23 99 lahir pada akhir 1321 H. tepatnya pada 29 Dzulhijjah 1321 H. atau bertepatan dengan

1903 M di Desa Shadegan, Provinsi Tibriz atau Tabriz (provinsi yang pernah dijadikan sebagai ibu

kota pada masa Dinasti Safawi) dan wafat pada meninggal dunia di Aban pada tanggal 18

Muharram 1412 H/ 1981 M.

66

kelompok tersebut, baik sendiri maupun bersamaan dideskripsikan dalam

al-Qur’an.100

Menurut Thabathaba’i, Majusi dan Shabi’in disamakan dengan

Yahudi dan Nasrani sehingga termasuk golongan ahli kitab dikarenakan

mereka memiliki Nabi yaitu Zoroaster dan kitab suci Avastha, meskipun

mereka mengakui bahwa sejarah hidup dan kemunculan agama ini sangatlah

tidak jelas. Kitab mereka hilang ketika Iskandar zulkarnain menguasai Iran,

tetapi kemudian diperbarui pada masa kekuasaan Dinasti

Sasan.101Thabathaba’i juga menjelaskan bahwa sebenarnya Majusi

memiliki Nabi yang kemudian Nabi tersebut mereka bunuh dan mereka juga

mempunyai kitab sebanyak 12.000 jilid yang akhirnya mereka bakar.

Penganut Majusi mempunyai banyak sekte akan tetapi pada prinsipnya

mereka hanya mempercayai adanya dua penguasa dan pengatur alam raya,

pengatur kebaikan dan kejahatan yakni Tuhan cahaya yang bernama Yazdan

dan Tuhan gelap yang bernama Ahriman. Mereka mensucikan para malaikat

dan berusaha mendekatkan diri kepadanya tanpa membuat berhala seperti

apa yang dilakukan oleh para penyembah berhala. Mereka juga mensucikan

unsur-unsur perantara, khususnya api, dan mereka mempunyai rumah-

rumah api di pusat-pusat agama mereka, seperti di Iran, Cina dan India.102

Shabi’in menurut Thabathaba’i yaitu mereka yang mengagungkan

api, binatang-binatang dan unsur-unsurnya. Shabi’in disebut juga kelompok

100 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Mu’assasah al-

‘A’alamy lil Mathbu’at, 1991), Vol.XVI, hlm.142 101 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. XIV, hlm.359 102 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. XIV, hlm.359

67

Haraniyah dan menurut salah satu pendapat mengatakan bahwa kaum

Shabi’in adalah Hadan Ibn Terah yang berarti saudara Ibrahim. Mengutip

pendapat al-Ma’sudi, Thabathaba’i menyatakan bahwa Shabi’in adalah

kelompok penyembah binatang yang dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa

mereka adalah kelompok yang Tuhannya dihancurkan oleh Ibrahim. Akan

tetapi dalam uraian lain dikatakan bahwa Shabi’in adalah qaum

mutawassithun baina al-yahudiyyah wa al-majusiyyah (kaum yang

memiliki keyakinan dan praktik keagamaan antara Yahudi dan Majusi),

mereka memiliki kitab suci yang dinisbahkan kepada Yahya dan Zakaria.103

Dari pendapat yang telah dipaparkan oleh Thabathaba’i, meskipun

tidak menjelaskan secara eksplisit akan tetapi dapat dilihat bahwa

menurutnya ahli kitab adalah kelompok atau golongan yang mana di dalam

golongan tersebut diperintahkan seorang Nabi yang membawa wahyu dari

Tuhan. Maka dari itu, Thabthaba’i memasukkan Shabi’in ke dalam

kelompok ahli kitab. Meskipun Thabathaba’i telah menjelaskan

pendapatnya, beberapa kemungkinan yang muncul ketika dilihat dari

konteks ayat dan sejarah, maka yang lazim disebut sebagai ahli kitab adalah

Yahudi dan Nasrani. Kedua agama inilah yang menamakan dirinya sebagai

ahli kitab dan menamakan selainnya sebagai ummiyyin (masyarakat tak

berkitab).104 Yahudi dan Nasrani berasal dari satu sumber yaitu keluarga

103 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. XIV, hlm.359 104 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. III, hlm.300

68

Israel yang kepada mereka diutuslah Musa dan Isa, meskipun pada akhirnya

dakwah Isa menyebar kepada selain Bani Israel.

Yahudi dan Nasrani jelas memiliki persambungan akidah dengan

kaum Muslim. Bahkan Allah menegaskan bahwa al-Qur’an datang untuk

memberikan pembenaran terhadap sebagian dari ajaran Taurat dan Injil

serta mengoreksi sebagian lainnya. Dalam koreksi al-Qur’an, transgresi

terburuk kaum Yahudi yaitu penyimpangan dari ajaran agama mereka,

membunuh Nabi mereka dan menyimpang dari ajaran agama yang lurus

(monoteisme). Sedangkan kesalahan terburuk kaum Nasrani yaitu konsep

mereka tentang trinitas dan penuhanan Yesus Kristus.105

Diskursus ahli kitab tidak hanya berhenti pada ulama salaf seperti

apa yang telah dijelaskan. Namun hal ini berlanjut pada pemaham ahli kitab

ulama kholaf (modern-kontemporer). Dalam tafsir Al Manar menjelaskan

ahli kitab tidak hanya terbatas pada dua kelompok tersebut, akan tetapi

mencakup semua pemeluk agama yang kitab sucinya dianggap berasal dari

Tuhan yaitu mencakup Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Sinto.106

Mohammad Arkoun salah satu intelektual Muslim kontemporer

yang mendefinisikan ahli kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani yang juga

masuk dalam lingkup pergaulan Nabi Muhhammad selama di Mekkah dan

Madinah. Dalam al-Qur’an orang-orang itu disebut sebagai pemilik wahyu

awal, orang-orang beriman yang juga dicintai Tuhan sebagaimana kaum

105 W. Mountgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh

University Press,1970), hlm.157-158 106 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Ma’rifah,t.t), hlm.188-

190

69

Muslim, yang telah menerima wahyu. Namun dalam al-Qur’an

mendefinisikan hal yang berbeda mengenai ahli kitab. Orang Yahudi dan

Nasrani memusuhi Nabi dan menolak klaimnya bahwa beliau adalah

seorang Nabi dan mereka menolak menerima al-Qur’an sebagai wahyu

tertinggi dari kata-kata Tuhan. Ketegangan sosial dan politik, ditambah

dengan kompetisi simbolis yang menarik, terjadi di Madinah antara ahli

kitab dan komunitas baru orang-orang yang beriman.107

Beberapa pemikir Indonesia yang mendefinisikan ahli kitab sebagai

contoh Nuruddin Ar-Raniri108 dan M. Quraish Shihab, meskipun masih ada

beberapa pemikir Muslim yang juga mendefinisikan ahli kitab akan tetapi

dalam hal ini penulis hanya menjelaskan kedua tokoh tersebut. Nuruddin

Ar-Raniri menyebutkan bahwa ahli kitab hanya terdapat tiga golongan

utama yaitu Barahimah, Yahudi dan Nasrani. Barahimah merupakan

golongan keturunan dan umat Nabi Ibrahim yang menyembah berhala.

Sebagian mereka pada masa itu menetap di benua Gujarat. Ar-Raniri

mengatakan bahwa kelompok ini sesat dikarenakan kepercayaan mereka

dalam menyembah. Hal tersebut menyimpang dari milah Ibrahim yang

mana Nabi Ibrahim sendiri memeluk agama yang lurus. Kelompok Yahudi

yang diklasifikasikan oleh Ar-Raniri menjadi dua yaitu Uzayriyyah dan

Samariyyah. Nama ini diputuskan berdasarkan objek yang mereka sembah.

Uzayriyyah dinisbatkan kepada Nabi Uzayr yang diyakini sebagai seorang

107 Mohammad Arkoun, “Pemikiran tentang Wahyu Dari Ahli Kitab sampai Masyarakat

Kitab”, Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, (no.2, Vol.IV, 1993), hlm.47 108 Nama lengkapnya Nuruddin Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji ibn Muhammad Hamid al-

Quraishi al- Shafi‘i al-Asy‘ary Al-’Aydarusi ar-Raniri.

70

anak Allah dan Samariyyah merupakan sebutan bagi para penyembah

lembu. Kelompok Nasrani yang diklasifikasikan oleh Ar-Raniri menjadi

tiga kelompok yaitu Malkaniyyah, Nasturiyyah dan Marya’qubiyyah. Nama

ketiga kelompok ini diambil berdasarkan nama ketiga pemimpin mereka

yaitu Malkan, Nastur dan Mar ya’qub. Ada pula yang mengungkapkan

bahwa klasifikasi tersebut di dasarkan pada tempat tinggal mereka yaitu

Malkaniyyah di Kota Mesir, Nasturiyyah menunjukkan kota Irak dan Mar

Ya’qubiyyah menunjuk pada kota Syam.109

Sedangkan Quraish Shihab mempunyai klasifikasi tersendiri

mengenai ahli kitab. Dalam bukunya wawasan al-Qur’an110, dia

menjelaskan bahwa ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani dimanapun dan

siapapun mereka baik keturunan bani Israel maupun tidak, mereka

tergolong ahli kitab. Di dasarkan pada QS 6:156,

“(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan:

"Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum

kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka

baca”.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Al Kitab hanya diturunkan

kepada dua golongan saja. Maka dari itu Quraish Shihab berpendapat tidak

ada golongan kecuali Yahudi dan Nasrani yang termasuk ahli kitab.111

Definisi cakupan ahli kitab memang berbeda-beda dari satu tokoh

dengan tokoh yang lain. Beberapa diantaranya mengatakan bahwa hanya

109 Ar-Raniri, Tibyan fi Ma ‘ rifat al - Adyan (Banda Aceh: PeNa, 2010), hlm. 58. 110 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Bandung: Mizan,1994), hlm. 367 111 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

hlm. 368

71

Yahudi dan Nasrani yang masuk dalam golongan ahli kitab, akan tetapi ada

pula yang menyatakan bahwa mereka yang mempunyai kitab dan

diperintahkan atasnya utusan maka dapat dimasukkan ke dalam golongan

ahli kitab. Dalam hal ini, cakupan kelompok yang termasuk ahli kitab secara

garis besarnya tetap ditujukan kepada kelompok agama Yahudi dan

Nasrani. Perbedaan ini menjadi penyempurna kajian keislaman karena

sebenarnya mereka – pemikir Muslim—merujuk pada satu kitab suci yaitu

al-Qur’an.

Terlepas dari penilaian ahli kitab, Islam sangat menekankan kepada

para pengikutnya untuk mengembangkan common platform, yang dalam

bahasa al-Qur’an disebut sebagai kalimatun sawa,112 dengan penganut

agama lain. kalimatun sawa seharusnya dibangun atas dasar keimanan yang

benar yaitu tauhid (keesaan Tuhan). Tanpa adanya dasar keimanan maka

pengembangan kalimatun sawa tidak akan terlaksana dan terwujud. Dari

dasar keimanan tersebut akan dapat dikembangkan dengan adanya titik-titik

temu yang nantinya akan mendukung terciptanya kehidupan yang toleran,

saling menghormati dan saling mempercayai. Pengembangan kalimatun

sawa teah dimulai sejak masa Nabi Muhammad ketika berhijrah ke Madinah

dengan adanya tuntutan untuk menciptakan kehidupan beragama yang

harmonis. Secara historis, Islam bertemu dengan Yahudi dan Nasrani sejak

diangkat sebagai Rasul. Bahkan menurut pendapat Waardenburg, Islam

112 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama, (Bandung: Mizan, 2016), hlm.191

72

juga bertemu dengan Zoroaster dan Shabi’ah. Pada masa itu Yahudi

mempunyai posisi kuat di Yasri dan Khaibar sedangkan Nasrani

mempunyai pengaruh penting di Najran. Oleh karena itu komunitas-

komunitas tersebut masing-masing telah berusaha mengajak masyarakat

Mekah untuk mengikuti agama mereka. Maka dari itu, sebelum Islam

muncul, sedikit banyak masyarakat Mekah telah mengenal ide-ide

keagamaan dan tradisi yang hidup di kalangan ahli kitab.113

Berhadapan dengan kalimatun sawa yang dapat juga disebut sebagai

syahadat universal bagi siapapun yang mengaku ahli waris millah Ibrahim,

sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, dinyatakan bahwa ahli kitab

terbagi menjadi tiga sikap yaitu beriman, Syirik dan Kafi, atau secara umum

terbagi menjadi dua yaitu mukmin dan kafir.

C. Apresiasi al-Qur’an Terhadap Ahli Kitab

Di dalam al-Qur’an, setidaknya terdapat 31 ayat yang dengan jelas

menggunakan sebutan ahli kitab. Dari 31 ayat tersebut, 27 ayat memandang

ahli kitab secara kritis, sementara yang 4 ayat sisanya memandang ahli kitab

ini secara apresiatif dan simpatik. Ayat-ayat yang memandang ahli kitab

secara kritis terdapat pada QS 2:105, 109; QS 3:65,59,70,71,72,75,98,99;

QS 4: 153,159,17; QS 5:15, 19,59,65,68,77; QS 29:46, QS 33:26; QS 57:29;

QS 59:2,11; QS 98: 1,6. Sedangkan empat ayat sisanya memandang ahli

kitab secara positif dan apresiatif hanya terdapat dalam satu surat saja yakni

113 Nafis Irkhami, Keselamatan Bagi Ahlul Kitab? Menelusuri Pemahaman Al Maraghi,

(Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2006), hlm.48

73

Surat Ali Imran, ayat 64, 110, 113, dan 199. Dari uraian tersebut, logis jika

mayoritas pemikir Muslim menyatakan bahwa ahli kitab adalah Yahudi dan

Nasrani. Meskipun beberapa pemikir Muslim memasukkan Majusi dan

Shabi’in sebagai ahli kitab.114 Hal ini tidak menjadi problem jika hanya

Yahudi dan Nasrani yang dimasukkan ke dalam kelompok ahli kitab

dikarenakan secara historis, kontak antara Nabi Muhammad dengan umat

Yahudi dan Nasrani lebih intensif dibandingkan dengan komunitas agama

lain.

Jika disusun secara nuzuli115, ayat-ayat ahli kitab dalam tersebut

mempunyai makna tersendiri. Salah satu ayat ahli kitab yang termasuk

dalam Surah Makiyyah menurut Noldeke yaitu QS 29: 46;

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan

dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara

mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang

diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan

Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri"

Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa keharusan untuk berbuat

baik dengan ahli kitab yang berada di Mekah agar Islam menjadi agama

yang menyebarkan kebaikan. Surah Al-‘Ankabut merupakan salah satu

Surah yang diperselisihkan masa turunnya. Mayoritas ulama berpendapat

bahwa semua ayatnya turun sebelum hijrah ke Madinah, atau dengan kata

114 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, (Malang: UIN Maliki-

Press,2012,cet.II), hlm.12

115 QS 2:105, 109; QS 98: 1,6. QS 3:65,59,70,71,72,75,98,99; QS 57:29; QS 4: 153,159,171;

QS 59:2,11; QS 33:26;. QS 5:15, 19,59,65,68,77; dan QS 29:46 Makiyyah ketiga. Lihat lebih

jelasnya pada Theodor Noldeke, Tarikh Qur’an, terj. Farid Yarisy Syafali, (New York: Dar Nasyr,

2000), hlm. XXXVI

74

lain Surah ini Makiyyah.116 Kemudian dilanjutkan pada periode Madinah

yang diawali dari Surah Al Baqarah (2).

QS 2: 105, ayat ini mengingatkan kaum muslimin agar jangan

mempercayai persahabatan pada sebagian ahli kitab.117 Hal ini dilandaskan

dengan munasabah ayat sebelumnya yang menjelaskan adanya kejahatan

dan keburukan orang-orang Yahudi yang hidup pada masa turunnya al-

Qur’an, maka dari itu ayat tersebut menyatakan ketidakbolehan seorang

Muslim percaya pada ahli kitab. Dalam ayat QS 2: 109, ayat ini menyatakan

banyak di antara ahli kitab, bukan semuanya bukan pula kebanyakan,

sebagaimana diterjemahkan oleh beberapa penerjemah. Kenyataan sejarah

pada masa turunnya al-Qur’an, membuktikan bahwa banyak di antara ahli

kitab, yakni orang-orang Yahudi yang bertenpat tinggal di Madinah tidak

bersimpati dengan kaum Muslimin. Sangat sedikit di antara mereka yang

percaya kepada Nabi Muhammad jika dibandingkan dengan yang antipati.

Keinginan ini diwujudkan dengan berbagai cara, misalnya dengan

mengecam dan mengejek kekalahan orang Muslim ketika perang Uhud.

Keinginan ahli kitab mengembalikan orang Muslim kepada kekafiran

hanyalah angan-angan kosong, karena kepercayaan atas Islam telah

tertanam dalam hati mereka.118

QS 98:1,6, ayat ini menjelaskan sebelum kedatangan Nabi

Muhammad saw, orang-orang Yahudi yang bermukim di Madinah sering

116 M. Quraish Shihab, Tafzir Al Misbah, Vol. 10, hlm. 3 117 M. Quraish Shihab, Tafzir Al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol.1), hlm. 344 118 M. Quraish Shihab, Tafzir Al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol.1), hlm. 351-352

75

bermohon kepada Allah: “Wahai Tuhan! Menangkanlah kami atas musuh-

musuh kami, demi Nabi yang kami nantikan datang, kami akan menyambut

dan mempercayai dan kami akan mengalahkan kalian (2):98. Dalam

perjanjian lama Kitab Ulangan 18:18, dinyatakan bahwa Tuhan berfirman:

“Seorang Nabi akan Ku bangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka

seperti engkau ini. aku akan mernaruh firman-Ku dalam mulutnya dan ia

akan mengatakan kepada mereka segala yang Ku perintahkan kepadanya.”

Demikian juga dalam perjanjian Baru (Yohanes 14:16) ditemukan juga

pertanyaan berikut dari Isa yaitu “Aku akan meminta kepada Bapa dan Dia

akan memberikan kepadaku seorang penolong yang lain supaya ia

menyertai kamu selama-lamanya. Menurut pernyataan ini maka Yahudi dan

Nasrani selalu mengatakan bahwa “kami baru akan meninggalkan tuntunan

agama yang selama ini kami percayai jika Nabi yang dijanjikan ini datang

mengajari kami”. Masyarakat umat manusia sebelum diutusnya Nabi

Muhammad berada dalam kegelapan. Musyrik Mekah yang mengaku

pengikut Nabi Ibrahim, menyembah berhala yang justru diperangi Nabi

Ibrahim. Orang Yahudi yang mengaku mengikuti Nabi Musa juga

mengalami hal yang sama. Nilai-nilai spiritual mereka abaikan, sambil

membenarkan diri dan menganiaya selain kelompoknya. Begitu pula

Nasrani yang mengikuti Nabi Isa telah tenggelam dalam pengkultusan Nabi

agung hingga menjadikannya anak Tuhan. Allah kemudian mengutus Nabi

yang membawa ajaran, meluruskan kesesatan dan kekeliruan umat manusia.

Akan tetapi sayangnya sebagian mereka menerimanya dan sebagian lainnya

76

berlarut bahkan meningkat kesesatannya justru telah datangnya bukti yang

nyata.119

QS 3: 64, ayat ini sebagai salah satu ayat yang menilai ahli kitab

secara positif. Dalam tafsir al- Mizan karya Thaba’thaba’i kata As-sawa’

adalah sebuah masdar, meskipun pada lazimnya digunakan sebagai kata

sifat untuk menunjukkan sesuatu yang kedua sisinya sama. Yang lazim

antara kami dan kamu mengakui, menghargai dan mengamalkannya.

Dikatakan bahwa “kata yang lazim” merujuk kepada apa yang al-Qur’an,

Taurat dan Injil yang pada umumnya serukan dengan satu suara dan itu

adalah Tauhid. Jika propoorsisi, ide atau indikasi ini benar maka, maka kata-

kata berikutnya “bahwa kita tidak akan menyembah kecuali Allah...” akan

berfungsi sebagai penjelasan yang akurat tentang kata yang lazim antara

Muslim dan ahli kitab, itu mengajak ahli kitab untuk meninggalkan

interpretasi sendiri mengenai keesaan Tuhan. Sebagai contoh interpretasi

mengenai kepemilikan seorang putra, pemujaan akan pendeta-pendeta

mereka dan uskup-uskup mereka.120 Hal ini menjelaskan bahwa antara ahli

kitab dan Muslim haruslah menjadi satu kesatuan yang mempercayai

keesaan Tuhan, yang pada intinya ahli kitab dan Muslim mempunyai Tuhan

yang satu. Inilah apa yang dikatakan oleh ayat ini bahwa kita tidak akan

menyembah dan beribadah kepada apa dan siapapun kecuali kepada Allah.

119 M. Quraish Shihab, Tafzir Al Misbah, Vol. 15, hlm. 520 120 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. VI, hlm.137

77

Hal ini senada dengan kutipan Allah pada ucapan Yusuf dalam QS Yusuf :

39-40,

Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang

bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa

(39) Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)

nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah

tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan

itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak

menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan

manusia tidak mengetahui"(40). Juga dalam firman Allah QS At Taubah:

31. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka

sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih

putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang

Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah

dari apa yang mereka persekutukan.121

Dari ayat-ayat tersebut memberikan penguatan pada penjelasan

bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah dan perintah menyembah tidak dimulai

ketika masa Nabi Muhammad atau masa kedatangan Islam.

QS 3: 65, ahli kitab berdebat di antara mereka sendiri tentang

Ibrahim as. Argumen yang mana keinginan kedua kelompok

memperlihatkan kebenarannya. Kaum Yahudi ingin mengatakan: Ibrahim

adalah dalam kebenaran yang mendapatkan sedemikian banyak pujian dari

Allah, adalah dari kami, sebuah klaim yang kiranya disanggah oleh kaum

Nasrani dengan perkataan: Ibrahim adalah dalam kebenaran, sedangkan

kebenaran itu telah terejawentahkan melalui kedatangan Isa. Argumen ini

kemudian berubah menjadi kebekuan dan kefanatikan dan kebekuan.

Yahudi kemudian mengklaim bahwa Ibrahim adalah seorang Yahudi,

sedangkan orang-orang nasrani juga mengklaim demikian bahwa Ibrahim

121 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. VI, hlm.140

78

adalah seorang Nasrani. Namun demikian fakta yang termasyhur

memperlihatkan bahwa Yudaisme dan Kristianitas datang setelah

pewahyuan Taurat dan Injil, dan kitab-kitab ini diturunkan jauh setelah Nabi

Ibrahim as. Mana mungkin Ibrahim beragama Yahudi ataupun Nasrani,

yang dapat dikatakan sebenanrya Ibrahim adalah hamba yang patuh kepada

Allah, tulus mengikuti kebenaran dan jauh dari kesesatan.122

Dari ayat-ayat ahli kitab dalam surah Ali Imran dapat disimpulkan

bahwa golongan ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani meskipun dalam

sebuah hadis menempatkan kaum Zoroastian sebagai ahli kitab (dalam arti

bahwa mereka mempunyai kitab khusus mereka sendiri dan memiliki salah

satu kitab yang disebutkan oleh al-Qur’an. Tetapi dalam hal ini, al-Qur’an

tidak merujuk kepada mereka dan juga tidak menyebut kitab mereka.

Avastha yang mereka miliki tidak disebutkan dalam al-Qur’an sama sekali

dan mereka tidak mengakui kitab lain. Maka dari itu ketika al-Qur’an

menyebutkan ahli kitab maka yang dimaksudkan olehnya adalah kaum

Yahudi dan Nasrani.123

Surah selanjutnya yaitu Surah An-Nisa’ ayat 153 yang menjelaskan

perihal ahli kitab yang menginginkan diturunkannya kitab suci yang serupa

dengan kitab yang diturunkan kepada Musa. Seperti apa yang dijelaskan

dari asbaab an Nuzulnya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin

122 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. VI, hlm.146, lihat

juga Aksin Wijaya, Sejarah KeNabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah,

(Bandung, Mizan, 2016), hlm.434 123 Muhammad Husein Thabathaba’i, Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. VI, hlm.251

79

Ka’ab Al Qurazhi bahwasanya ia berkata, “beberapa orang dari agama

Yahudi datang menemui Rasulallah dan berkata “Sesungguhnya Musa

diutus kepada kami dengan membawa lembaran-lembaran dari Allah. Maka

datangkanlah lembaran seperti itu agar kami mempercayaimu.” Maka Allah

menurunkan firman-Nya. Hal ini memperlihatkan adanya keinginan ahli

kitab untuk mempercayai kenabian Muhammad dengan adanya penurunan

lembaran yang sama dengan Nabi Musa. Ayat 171, Allah masih

memberikan larangan secara tegas kepada ahli kitab agar mereka tidak

mempercayai adanya Tuhan yang tiga (Trinitas) dan percaya bahwa Isa

hanyalah utusan Allah. Kemudian pada ayat terakhir QS 5: 19 dijelaskan

bahwa Allah telah mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan isi Al Kitab

yang telah mereka sembunyikan kebenarannya.124

Dalam beberapa ayat mengenai ahli kitab yang telah tersusun secara

nuzuli tersebut, maka kemudian penulis memetakan fase-fase ahli kitab di

Mekah dan Madinah. Menurut Surah yang diturunkan di Mekah, jika ada

sebuah perdebatan di antara Muslim dan ahli kitab maka ajaklah mereka

untuk berdebat dengan cara yang paling baik. Hal ini bertujuan untuk

memperkenalkan Islam dengan cara yang halus agar dapat diterima di

semua kalangan masyarakat. Berbeda dengan Surah yang diturunkan di

Madinah yang mana apa yang disampaikan Allah melalui ayat-ayatNya

lebih mempertegas agar berhati-hati terhadapa ahli ktab dan di Madinah

juga, Allah menjelaskan perihal penyimpangan-penyimpangan yang

124 Lihat QS. 5: 15 dan 19

80

dilakukan oleh umat Yahudi maupun Nasrani. Berbeda dengan hal tersebut,

beberapa ayat yang dianggap memberikan apresiasi dan simpati terhadap

ahli kitab yaitu Surah Ali Imran. Salah satunya ayat 113:

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang

berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di

malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang) (113). Mereka

beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada

yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada

(mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang

saleh (114) Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali

mereka tidak dihalangi (menenerima pahala)nya; dan Allah Maha

Mengetahui orang-orang yang bertakwa (115).

Dari ayat tersebut memberikan keterangan bahwa ahli kitab tidaklah

monolitik. Terdapat dua varian tentang ahli kitab yakni ahli kitab yang

konsisten dan ahli kitab yang tidak konsisten. Ahli kitab sebagaimana

dijelaskan dalam QS Ali Imran ayat 113 memang bermacam-macam salah

satunya kelompok yang qa’imah adalah kelompok yang konsisten dalam

iman dan ketaatan. Dalam ayat selanjutnya Allah memberikan beberapa

predikat penting terkait kelompok ahli kitab yang konsisten yaitu iman,

amar ma’ruf nahi mungkar, bersegera dalam melakukan kebaikan dan

memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang saleh yaitu ahli shirat

al-mustaqim, dan kelompok para Nabi, orang-orang yang jujur dan para

Syuhada’. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS Al Fatihah: (6-7) dan QS

An-Nisa’: 69.125

125 Waryono Abdul ghafur, Persaudaraan Agama-Agama, hlm.191

81

Contoh sikap konsisten didapatkan pada Abdullah bin salam126.

Tokoh karamistik dan rahib Yahudi ini langsung menyatakan keimanannya

kepada Muhammad tatkala ia mengetahui Nabi yang dijanjikan hijrah dan

tiba di Madinah. Sikap Abdullah tersebut merupakan komitmen

keimanannya terhadap Taurat yang memberitakan kehadiran dan

menyebutkan nama Nabi akhir zaman. Di kalangan Nasrani, sikap serupa

didapatkan pada seorang Negus. Raja Ethiopia yang shalih ini sebelum

sempat mengintrogasi rombongan hijrah kaum Muslimin yang dipimpin

oleh Ja’far bin Abi Thalib. Setelah dikethuinya common platform antara

Islam dan Nasrani sebagai agama wahyu, ia pun menerima dan melindungi

kaum muslimin dan bahkan menurut Ibnu Katsir, Abdullah Ibn Salam

akhirnya masuk Islam.127

Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang konsisten menjalankan Injil

dan Taurat sebagaimana yang diturunkan kepada Musa dan Isa maka ia akan

mendapat anugerah Allah yang banyak. Hal ini pararel dengan pernyataan

QS Al-A’raf [7]: 96, bahwa:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,

pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan

bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa

mereka disebabkan perbuatannya.”

Ahli kitab yang seperti itulah, menurut Thabathaba’i ketika

menjelaskan QS al-Maidah [5]: 66, yang akan muncul sebagai ummatan

126 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, (Malang: UIN Maliki-

Press,2012,cet.II), hlm.14, hlm.191, lihat juga pada Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm. 207,

lihat Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama, hlm.191 127 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, hlm.14.

82

muqtashidah, yakni umat yang adil dalam persoalan agama dan pasrah

kepada perintah Allah. Sebaliknya jika kedua kelompok tersebut dan kitab-

kitab lain yang pernah ada, maka mereka dianggap tidak berpegang kepada

sesuatu yang semestinya mereka pegangi dalam menegakkan agama

Allah.128

Tampak kontras secara diametral contoh di atas dengan kelompok

kedua yaitu kelompok ahli kitab yang tidak konsisten. Ketika figur Abdullah

ibn Salam beriman dan masuk Islam, kalangan Yahudi menjadi lebih sengit

dalam melancarkan permusuhannya terhadap Nabi dan para pengikutnya.

Permusuhan yang sangat sengit, menurut Muhammad Husein Haekal,

disebabkan kedengkian Yahudi terhadap Nabi yang bukan berasal dari

golongan mereka. Nabi terakhir itu semula diperkirakan dari bangsa Israel,

namun ternyata berasal dari bangsa Arab yang telah lama menjadi seteru

mereka. Di antara pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi

adalah mengkorupsi kitab suci, menyimpang dari ajaran tauhid yang lurus

dan sebenarnya.129 Dalam QS 2:75, QS 4:46, QS 5:13 dan QS 5:41, keempat

ayat ini menjelaskan bahwa adanya pemalsuan kitab yang dilakukan oleh

Yahudi. Kata “yuharrifuna” dalam keempat ayat di atas menurut beberapa

mufasir klasik Jamal al-Din al-Qasimi, Ibn Katsir dan Ibn Jarir al-Tabari

menjelaskan bahwa maka kata “yuharrifuna” adalah menafsirkan (kalam

Ilahi) berbeda dengan makna yang sebenarnya. Sementara At-Tabari

128 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama, hlm.192 129 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, hlm.14

83

menjelaskan makna “yuharrifunahu” dengan mereka menukar makna dan

penafsirannya, dan mengubahnya. Setelah menjelaskan mengenai makna

kata yuharrifunahu yang mempunyai perbedaan di antara para mufasir,

sebenarnya tidak secara kesuluruhan diubah oleh tangan-tangan kelompok

Yahudi.130 Pembahasan ini masih mengalami perdebatan sampai saat ini.

Ayat penyembunyian pertama yang muncul dalam al-Qur’an adalah

QS 2:42 “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang

bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu

mengetahui.” Ayat ini diulang dengan redaksi yang hampir sama dalam QS

2:71. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa yang pertama di tunjukkan

kepada Bani Israel sementara yang kedua kepada ahli kitab. Ketika

menafsirkan hal ini Rasyid Rida menjelaskan bahwa kitab suci ahli kitab

berisi tentang munculnya Nabi-Nabi palsu di antara mereka yang mampu

memperlihatkan tindakan-tindakan ajaib dan janji Tuhan ke tengah mereka

seorang Nabi dari keturunan Ismail. Tetapi, Para Pendeta dan pemimpin

mereka menyangkal kenabian Muhammad dengan angkuh untuk

menyesatkan orang lain bahwa Muhammad termasuk salah satu Nabi

palsu.131

Penyembunyian kebenaran Islam yang dilakukan oleh kaum ahli

kitab juga banyak dikaji oleh pemikir Muslim. Sebenarnya, seluruh kitab

suci terdahulu telah menjelaskan akan datangnya utusan Tuhan yang dalam

130 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2013), hlm. 172 131 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.206

84

Injil Yohane terdapat ayat “Paraclete” yang dipahami oleh orang Kristen

sebagai Ruh Kudus. Ibn Ishaq berpendapat bahwa Paraclete ditafsirkan

sebagai al-Muhanahhamana yang dalam bahasa Suryani berarti

‘Muhammad”, dan kata tersebut dalam bahasa Yunani adalah al-Baraqlitis

(Paraclete). Dalam QS 61:6, al-Qur’an menyatakan bahwa Isa memberikan

kabar baik kepada pengikutnya tentang Nabi yang akan datang setelahnya,

yang bernama Ahmad. Banyak kalangan Muslim percaya bahwa Ahmad

adalah Muhammad dan beberapa di antara mereka mengaitkannya dengan

Paraclete.132

Rasyid Rida mendiskusikan panjang lebar mengenai karakteristik

penyembunyian ahli kitab tentang kabar kedatangan Muhammad. Ia

memulai tafsirnya dengan penafsiran ahli kitab yang keliru dari kata

“Paraclete” (al-faraqlit). Dalam menjelaskan hal ini Rida bersandar pada

pemikiran Abduh yang memandang ayat ini sebagai argumentasi terhadap

orang-orang kafir secara umum dan orang Yahudi secara khusus, terkait

dengan penolakan mereka pada keNabian Muhammad. Tuhan mensifati

mereka sebagai telah “menyembunyikan apa yang telah diwahyukan

mengenai Muhammad” karena mereka menyatakan bahwa Nabi

sebelumnya tidak menjelaskan kedatangan Muhammad dari kalangan

bangsa Arab, anak cucu Ismail, dan tidak ada ayat dalam kitab suci mereka

yang menyebutkan agama dan kitab sucinya.133 Penyembunyian ahli kitab

132 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.203 133 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.210

85

dengan cara menghilangkan deskripsi tentang Muhammad dan

karakteristiknya dari kitab suci mereka.134

Rida menarik kesimpulan bahwa “ ayat tentang penyembunyian

kabar Muhammad memiliki aplikasi yang bersifat umum dalam arti bahwa

siapapun yang menyembunyikan ayat-ayat Tuhan dan petunjuknya dari

orang banyak, maka ia layak mendapat laknat Tuhan.”135

Maka dari itu kesalahan terbesar ahli kitab menurut al-Qur’an yaitu

adanya penyembunyian kabar berita kedatangan Muhammad dari kitab

mereka masing-masing dan bagi Nasrani adanya kepercayaan akan trinitas

dan menuhankan Yesus. Begitu pula Yahudi yang menyimpang dari ajaran

yang lurus.

134 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.210 135 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.211

86

BAB IV

APLIKASI HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLUR

RAHMAN TERHADAP PEMAKNAAN AHLI KITAB

A. Aplikasi Hermenutika Double Movement Dalam Tafsir al-Qur’an

Dalam mengaplikasikan hermeneutika Fazlur Rahman yang telah

dijelaskan dalam bab sebelumnya, terdapat tiga komponen yang harus diketahui.

Pertama, problematika kontemporer (sekarang). Kedua, historisitas problem

sebelum pewahyuan dan ketiga, respon Qur’ani dari ayat-ayat al-Qur’an sebagai

jawaban atas problem yang terjadi. Setelah mengetahui hal tersebut, dengan

menggunakan teori double movement Fazlur Rahman—teori ini penulis gunakan

hanya sebagai alat atau metode-- dalam memahami term ahli kitab maka penulis

memetakan konsep ahli kitab dalam tiga periode yaitu ahli kitab masa sekarang,

masa Pra-Islam dan masa pewahyuan.

1. Ahli Kitab Masa Sekarang

Pada era kontemporer ini masih banyak pertanyaan yang

muncul tentang ahli kitab. Apakah ahli kitab yang didefinisikan oleh

al-Qur’an masih ada di era sekarang. Dalam menjawab persoalan ini

memang perlu adanya penelitian yang intensif dengan mereka ahli

kitab. Akan tetapi beberapa pendapat dalam menjawab persoalan ini

yaitu pertama136, suatu kelompok berpendapat masih ada dan

menunjuk pada kelompok agama Kristen modern sebagai contohnya.

136 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, hlm.19

87

Pendapat ini banyak mengalami perubahan dan terutama berpendapat

bahwa Yesus adalah Tuhan. Sebuah dogma yang secara ditolak oleh

al-Qur’an, sehingga menjadi kontradiksi yang cukup jelas. Kedua,

kelompok ini berpendapat bahwa ahli kitab sebagaimana didefinisikan

oleh al-Qur’an sudahlah musnah, sudah tidak ada lagi. Namun

demikian, pendapat kedua ini tampaknya juga lebih sulit diterima. Hal

ini dikarenakan jika satu saja terdapat ahli kitab yang sama dengan

definisi al-Qur’an maka hal itu sudah memberikan kesimpulan bahwa

pendapat tersebut tidak tepat.137 Seperti apa yang telah dijelaskan,

bahwa ahli kitab menurut al-Qur’an mempunyai karakteristik yang

berbeda-beda. Sebagian mereka mengimani kenabian Muhammad,

mengimani al-Qur’an dan kitab suci mereka masing-masing akan

tetapi sebagian yang lain ingkar dengan Muhammad dan memerangi

Islam.

Berbicara tentang kitab suci ahli kitab baik Yahudi dan

Nasrani, telah dijelaskan pula bahwa dari kitab keduanya telah

mengalami perubahan yang mana para pemikir Muslim berpendapat

berbeda-beda. Menarik ketika pertanyaan apakah Taurat – orang Islam

sering merujuk pada suci Yahudi dengan kata “Tawrah” (Taurat)

seperti yang disebut dalam al-Qur’an. Jelaslah bahwa ketika

menggunakan kata Taurat yang dimaksudkan adalah kitab suci Ibrani

itu, bukan bagiannya saja—sekarang yang dimiliki oleh orang Yahudi

137 Umi Sumbulah, Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis, hlm.19

88

masih bisa dipertanggungjawabkan validitasnya?138 Untuk menjawab

pertanyaan ini, seorang mufasir Suriah, Qasimi merujuk pada pendapat

Ibnu Taymiyah dan Ibn Qayyim. Yang pertama berpendapat bahwa

seluruh isi Taurat telah diubah dan Taurat yang ada sekarang tidaklah

sakral sama sekali dan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang

diubah bukan isinya akan tetapi penafsirannya. Sementara teksnya

masih bisa dipertanggung jawabkan. Ibn Taymiyah berpendapat

bahwa beberapa orang Islam berargumen bahwa saat ini tidak ada teks

al kitab yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya. Di sisi lain,

beberapa orang Islam yang percaya bahwa perubahan teks Alkitab

tidak mungkin karena al-Qur’an menegaskan bahwa “Bawalah Taurat,

lalu bacalah jika kamu orang-orang yang benar.”(QS 3:39).139

Sebenarnya perubahan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani terletak

pada berita tentang datangnya Muhammad sebagai Nabi (utusan Allah)

terakhir. Hal ini dijelaskan dalam QS Shaf (61) ayat : 6140;

Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani

Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,

membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar

gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang

sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala

rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang

nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata".

Umat Nasrani pada masa sekarang ini, mereka masih

mempercayai trinitas yang mana sebenarnya al-Qur’an telah

138 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.174 139 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.175 140 Dalam pembagian Surah al-Qur’an menurut Noldeke, Surah Shaf termasuk Surah

Madaniyyah.

89

mengkritik hal tersebut, akan tetapi umat Nasrani tetap percaya

pada kepercayaan mereka yang mana telah mereka dapatkan

melalui proses yang begitu lama.

Konsep Trinitas yang dipercayai oleh umat Nasrani juga

menjadi problem tersendiri. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa

ayat yang menurut beberapa penafsir menolak adanya konsep

Trinitas Nasrani.

Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam

agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali

yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu,

adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya

yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh

dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-

Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga",

berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu.

Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari

mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah

kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.141

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:

"Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-

kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak

berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang

kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.142 Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera

Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah

aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab:

"Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang

bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka

tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku

tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya

Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".143

141 QS 4:171 142 QS 5:73 143 QS 5:116

90

Sejumlah ulama Muslim polemis sering mengutip ayat di

atas untuk menentang doktrin Trinitas, tetapi beberapa sarjana

mempertanyakan kevalidan penafsiran ini. Montgomery Watt

misalnya, mengatakan bahwa penolakan al-Qur’an terhadap

“Tuhan adalah satu dari yang tiga” (QS 5:73) biasanya dijadikan

dalil untuk menolak Trinitas, tetapi yang mengejutkan adalah

doktrin triteisme juga ditolak oleh kristen ortodoks. Geoffrey

Parrinder juga mengatakan bahwa yang ditolak dalam al-Qur’an

adalah doktrin heterik, dan orang kristen ortodoks sepakat atas hal

tersebut. Sarjana lain mengatakan bahwa hal ini mungkin adanya

kesalahpahaman tentang makna doktrin Trinitas karena dikaburkan

oleh Triteisme. Seperti yang dikemukakan oleh Chawkat Moucarry,

“apa yang sebenarnya dibantah oleh al-Qur’an adalah kesalahan

konsepsi tentang Trinitas”. 144 Yang dimaksud al-Qur’an itu bukan

Trinitas sebagaimana yang dipahami kaum Nasrani, tetapi

Triteisme monophysite tertentu yakni penganut keyakinan bahwa

Tuhan benar-benar tiga dengan meyakini bahwa Jesus adalah benar-

benar Tuhan (yang qadim dan azali). Yang pertama, yakni trinitas,

tetap merupakan tauhid, yakni tiga dalam satu (unitas), (yakni yang

dua adalah semacam tajalli-Nya, jika mengikuti pandangan ‘irfan).

Dalam konteks ini menarik untuk dicatat bahwa Hujjatul Islam

Imam al-Ghazali menyatakan ketika umat Kristen menyebut Allah

144 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.297-298

91

sebagai tsalitsu tsalatsah (salah satu dari yang tiga), pernyataan ini

tidaklah dipahami bahwa Allah itu tiga. Sebaliknya, Allah itu Esa

namun tiga itu ditinjau dari sifatnya. Dalam kata-kata mereka

sendiri, kutip al-Ghazali, “Allah itu Esa secara jauhar dan tiga

secara oknum”. “oknum dipahami sebagai sifat. Dengan kata lain

meskipun al-Ghazali menolak doktrin ini, beliau tetap adil untuk

mengakuinya megandung satu jenis monoteisme tertentu.145

Mungkin juga orang Kristen mempunyai konsepsi yang berbeda

tentang Trinitas daripada yang kita pahami saat ini, jadi itu sama

sekali bukan kesalahpahaman. Perlu diingat pula bahwa Kristen

juga fleksibel dan telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke

waktu dan kekokohannya yang terus menguat pada universalitas

dogmatik.146 Maka dari itu untuk menyimpulkan masih ada atau

tidakkah ahli kitab pada zaman sekarang ini, memunculkan dua

analisa jawaban yang berbeda. Kemungkinan pertama yaitu masih

ada jika ahli kitab tersebut mempercayai kitab sucinya—meski

diperdebatkan perubahannya—dan mempercayai bahwa seluruh

agama yang ada berasal dari Tuhan dan Nasrani tidak mempercayai

Tuhan adalah tiga melainkan hanya satu “Esa”.

145 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia, (Bandung: Mizan, 2017), 206-207 146 Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.297-298

92

2. Ahli Kitab Masa Pra-Islam

Situasi keagamaan di Arabia sebelum Islam, menarik minat

banyak penulis Barat. Peneliti berfokus pada kemunculan Islam,

situasi-situasi tersebut memiliki signifikansi guna “menjelaskan”

fenomena kelahiran Islam. Ketertarikan mereka adalah pada apa

yang disebut sebagai “sumber-sumber dari al-Qur’an”. Namun

terdapat perbedaan opini di kalangan sarjana Barat tentang apakah

terdapat kelompok Yahudi dan Nasrani di dalam dan di sekitar kota

Mekah dan jika demikian, sejuah mana dan bagaimana konsekuensi

keagamaannya.147

Rahman mengkritik para peneliti Barat bahwa mereka

hanya sibuk meneliti berbagai hal mengenai al-Qur’an dengan

dokumen-dokumen keagamaan dan tradisi-tradisi Yahudi Kristen,

yang hampir tidak menyinggung sedikitpun tentang keberadaan

pemikiran Yahudi-Nasrani di kalangan penduduk Arab Mekah

sebelum masa Islam. Opini ini secara tajam terbagi menjadi dua

kubu. Pertama, diwakili oleh Richard Bell, menyatakan bahwa

sumber historis utama dari ajaran al-Qur’an adalah Kristen

(Nasrani) sedangkan kubu kedua diwakili oleh Torrey, menekankan

bahwa ajaran Yahudi adalah sumber historis utama al-Qur’an.

Montgomery Watt berpendapat bahwa pemikiran Yahudi-Nasrani

147 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.219

93

secara umum telah ada di lingkungan Arabia, khusunya di Mekah

dan tradisi Yahudi-Kristen.148

Ada berbagai perbedaan mengenai apakah di Mekah pernah

ada sejumlah besar populasi Yahudi atau Kristen. Bell dan Watt

berpendapat bahwa tidak ada populasi “Ahli Kitab” di sana dalam

jumlah cukup besar. Torrey menyebut ada “koloni besar” Yahudi

tanpa menunjukkan bukti spesifik. Problem utama dengan opini

Torrey adalah bahwa kita tahu dengan baik apa terjadi pada

komunitas Yahudi di madinah dan Khaibar, tetapi tidak ada satu

ayatpun yang menjelaskan dalam al-Qur’an maupun literatur

historis umat Islam yang pernah menyebut keberadaan komunitas

besar Yahudi di Mekah. Pandangan yang berseberangan bahwa

hampir tidak ada komunitas Yahudi atau Kristen di Mekah. Di sini

perlu dikembangkan pandangan alternatif yang bisa menengahi

kedua kubu ini. Solusi memuaskan atas masalah ini juga akan

menggambarkan secara lebih jelas mengenai perjalanan Islam di

Mekah vis a vis “ahli kitab” dan kaum Musyrik Mekkah, yang

secara krusial mengubah beberapa pandangan sarjana Barat

mengenai perkembangan apa saja yang mencirikan karakteristik

ayat-ayat Madaniyah dan Makkiyah dan akan memberikan

penjelasan mengenai istilah-istilah kunci tertentu dalam al-

148 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, hlm. 220

94

Qur’an.149 Menurut al-Shahrastani, ia membedakan ahli kitab dan

Umiyyun. Perbedaan diantara keduanya jika Umiyyun adalah orang

tidak mengetahui kitabnya. Jika Yahudi dan Nasrani adalah ahli

kitab yang berada di Madinah sedangkan Umiyyun bertempat di

Mekah.150 Berdasarkan penjelasan tersebut maka Shahrastani

menyetujui akan adanya ahli kitab yang hidup di Mekah. Ahli kitab

bersumber dari bani Israil sedangkan Umiyyun bersumber dari

Qobail, Bani Ismail.151

Al-Qur’an menjelaskan tentang kaum Yahudi yang ada

pada masa pra-kenabian Muhammad adalah tentang asal-usulnya

dan sikap mereka terhadap nabi Musa, Isa dan Maryam. Kaum

Yahudi berasal dari keturunan Nabi Ibrahim dari anak cucunya yang

bernama Ya’qub bin Ishak. Ishak adalah anak Ibrahim. Israil adalah

nama kedua dari Ya’qub, ayahnya Yusuf. Mereka sebagai

pendatang Mesir setelah Nabi Yusuf tinggal di Mesir. Sebagai

pendatang, sepeninggal Yusuf mereka berhadapan dengan Fir’aun.

Mereka yang masih beragama Tauhid bercengkrama dibawah

tekanan manusia yang mengaku Tuhan. Allah mengutus Nabi Musa

untuk menyelamatkan mereka dari cengkeraman Fir’aun.152

149 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, hlm. 220 150 Al-Shahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, hlm.247 151 Al-Shahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, hlm.247 152 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm.421

95

Nabi Musa membawa mereka keluar dari Mesir

menghindari kejaran tentang Fir’aun melalui lautan yang dibelah.

Begitu selamat dari kejaran Fir’aun, mereka justru menentang dan

menolak mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Musa ketika

Musa sedang menghadap Tuhan selama kurang lebih 40 hari.153

Rahman membuat catatan penting dalam permasalahan ini,

bahwa sebelum Islam, telah ada kontak antara orang-orang Arab

dan Ahli Kitab, khususnya Umat Yahudi –mungkin kontak berskala

besar dan sistematis yang berlangsung lama, sehingga penduduk

Mekah bisa menyatakan bahwa mereka dan nenek moyang mereka

telah diberitahu tentang hari Akhir, dan al-Qur’an menyampaikan

kepada penduduk Mekah bahwa mereka pernah diajar oleh kitab

Musa apa yang mereka dan nenek moyang mereka tidak

mengetahuinya.154

Sebenarnya dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa

kelompok yang hidup sebelum kedatangan Isam di Mekah adalah

kaum Pagan. Meskipun seperti apa yang telah dijelaskan bahwa

adanya Yahudi dan Nasrani meskipun dalam skala kecil. Penolakan

dakwah Nabi sejak periode Mekah bukan oleh Yahudi dan Nasrani

akan tetapi dari kaum Pagan. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Patricia Crone telah dengan sukses memperlihatkan bahwa

153 Lihat QS (2): 40, 83, 211 dan QS (3): 93 154 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, hlm. 220

96

orang-orang pagan tidak kurang monoteisnya dibanding mereka

yang mengimani Tuhannya al-Qur’an.155 Akan tetapi dalam

pembahasan ini difokuskan pada ahli kitab yang hidup pra-Islam di

Mekah sebagai tempat pertama yang dijadikan lahan dakwah oleh

Nabi Muhammad.

Sebelum masuknya dakwah Muhammad masuk Mekah,

dinyatakan bahwa masyarakat Mekah menginginkan adanya agama

baru yang bercorak Yahudi-Kristen (QS 37: 168-170). Situasi ini

sebagian merupakan penetrasi pemikiran Yahudi-Kristen terhadap

ingkungan Arab. Al-Qur’an mengakui adanya benih-benih religius

di beberapa kalangan individu kelompok yang tercerahkan.

Meskipun hanya sedikit bukti historis yang menyatakan adanya

populasi Yahudi-Kristen di Mekah, dapat dipastikan bahwa

sejumlah individu telah sampai pada gagasan monoteisme dan

beberapa diantaranya penganut Kristen.156 Namun apa yang sering

ditonjolkan oleh al-Qur’an yaitu adanya messianisme, sebuah hasrat

untuk kehadiran seorang Nabi Arab yang baru (35:42). Dinyatakan

juga dalam al-Qur’an bahwa orang Mekah tidak ingin

“mendapatkan petunjuk yang lebih baik” daripada dua umat

terdahulu, Nasrani dan Yahudi (6: 157-158, 28:47-49, 28: 47-49).

Karena bagian-bagian tersebut muncul dalam pelbagai konteks

155 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.247, lihat lebih jelasnya pada Patricia Crome,

“The Religion of the Qur’anic Pagans: God and the Lesser Deities,” Arabica 57 (2010), hlm. 151-

200 156 Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.198

97

berbeda selama perbincangan yang panjang dan sengit antara orang

Mekah dan Nabi Muhammad SAW, sungguh sulit untuk secara utuh

menilai pendirian mereka menyangkut isu tersebut selama periode

sesaat sebelum datangnya misi Nabi Muhammad. Sebab,

sebagaimana disindir oleh al-Qur’an bahwa mereka mengatakan

hal-hal tertentu demi menimbulkan kontroversi saja.157

3. Ahli Kitab Masa Pewahyuan

a. Masa Pewahyuan di Mekah

Dakwah Nabi memicu pertentangan sengit warga Mekah,

terutama kaum Oligarki yang menguasai kehidupan kota ini. mereka

tidak hanya khawatir bahwa Muhammad akan mengancam agama

leluhur mereka yang tak lain adalah politeisme itu, tetapi juga

mengkhawatirkan struktur masyarakat mereka beserta kepentingan

dagangnya, yang kian terancam dengan ajaran Nabi yang

mengutamakan keadilan sosial dan belakangan menjurus pada

pelarangan riba dan penekanan zakat. Segala macam tuduhan

dilontarkan kepada Nabi. Semakin hari permusuhan semakin gencar

dan kemarahan menjadi cemoohan, cemoohan menjadi serapah.

Permusuhan semakin panas disertai dengan penganiayaan tanpa

belas kasihan.158

157 Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.198 158 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.9

98

Seiring dengan perjuangan yang bergulir, ajaran Nabi perlahan

semakin terumuskan dengan memperjelas asumsi metafisiknya,

yakni teologi dasarnya, menggunakan strategi argumentasi dan

dengan mempertegas kewajiban-kewajiban para pemeluknya, baik

terhadap pemeluk maupun penantang. Riwayat batiniah Nabi

selanjutnya berada di antara dua sisi, yaitu kekecewaan terhadap

sikap orang Mekah yang di luar kendalinya dan dorongan kuat untuk

menunaikan tugasnya, karena sebagian doktrin al-Qur’an sendiri

mengatakan bahwa sebatas menyampaikan risalah saja, lalu merasa

kecewa dan tidak mengupayakannya, adalah termasuk spiritual yang

mentah.159

Al-Qur’an juga menggambarkan sikap kaum ahli kitab

terhadap kenabian Muhammad periode Mekah. Sikap sangat

apresiatif dan tidak ada tanda-tanda kekerasan baik dari ahli kitab

kepada Muhammad dan umat Islam maupun al-Qur’an sendiri

terhadap mereka, terutama periode awal Mekah. Sikap ini mucul

lantaran adanya kesamaan antara al-Qur’an dan kitab suci mereka,

dan kesamaan itu mendorong mereka untuk mempercayai kebenaran

risalah kanabian Muhammad dan kitab suci al-Qur’an (al-

Muddatstsir: 31)160

159 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, hlm.12 160 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 382

99

Kesamaannya meliputi beberapa hal, misalnya al-Qur’an

memperkuat kitab suci samawi ahli kitab, sembari menjelaskan

adanya kesamaan dengan prinsip-prinsip dasar dan orientasi

ajarannya. Penegasan adanya kesesuaian, kecocokan dan kesatuan

sumber antara kitab suci al-Qur’an dengan kitab suci ahli kitab

disuarakan oleh al-Qur’an sejak periode awal sampai periode akhir

dakwah kenabian Muhammad.161

Kepercayaan ahli kitab Mekah terhadap kitab suci al-Qur’an

menjadi bukti adanya kesatuan pesan dan orientasi antara al-Qur’an

dengan kitab-kitab samawi pertama, pengakuan ahli kitab tersebut

sekaligus menjadi pukulan telak bagi orang-orang kafir Mekah yang

menolak kenabian Muhammad. Hal ini seolah-olah menunjukkan

kepada orang-orang kafir dan musyrik bahwa penentangan dan

penolakan mereka terhadap dakwah kenabian Muhammad tidak ada

artinya sama sekali selama kaum ahli kitab yang mempunyai kitab

samawi mengakui kebenaran dakwah kenabian Muhammad.

Pengakuan ahli kitab lebih bernilai daripada pengakuan mereka. Al-

Qur’an juga menginformasikan adanya ahli kitab yang terpengaruh

oleh hasutan orang-orang musyrik, fanatisme berlebihan terhadap

agamanya dan ada yang mementingkan materi. Mereka pada

umumnya menggunakan cara berdialog kendati ada yang berlagak

161 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 385

100

sombong, terkadang melakukan tuduhan palsu, bahkan zalim

terhadap Nabi Muhammad dan umat Islam. Karena itu, al-Qur’an

mengajari tata cara berkomunikasi dengan mereka.162 Cara itu sesuai

dengan pengakuan yang diberikan al-Qur’an terhadap mereka, juga

dengan gaya ungkapan al-Qur’an fase Mekah, yakni berdialog

dengan baik. Penegasan cara berkomunikasi yang baik ini bernilai

penting terutama setelah umat Islam hijrah ke Madinah, dimana

kaum Yahudi yang menjadi sasaran dakwah mereka menjadi kaum

mayoritas di sana.163

Di dalam al-Qur’an Makiyyah tidak ada rincian tentang

penyimpangan dan pebedaan-perbedaan keyakinan kaum ahli kitab

Makkah. Penyimpangan Yahudi yang dibicarakan al-Qur’an adalah

sikap mereka di masa lalu pada zaman Nabi Musa dan sesudahnya,

penyimpangan mereka yang menyembah waktu, kesewenangan

mereka terhadap perintah Allah dan para nabi dan rendahnya akhlak

sosial mereka. Hanya saja karena kaum Yahudi di Mekah sangat

sedikit jumlahnya, mereka tidak mengambil bentuk permusuhan

dengan kaum Nasrani, Nabi Muhammad dan umat Islam. Selain

karena jumlahnya yang sedikit, juga karena secara subtansi ada

kesamaan dan kecocokan antara mereka dan dakwah Islam.164

162 QS. Al-Ankabut: 46-47 163 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 387

164 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 385

101

Nabi menginginkan risalahnya dapat ditegakkan sepenuhnya

dan memang begitulah dia bisa menjadi risalah yang sejati, karena

itu wajar jika Nabi tidak melewatkan kesempatan yang tersedia demi

melewatkan kesempatan yang tersedia demi mewujudkan

rencananya. Musuh-musuhnya, menyadari bahwa keprihatinan Nabi

terhadap kemanusiaan dan menawarinya kesempatan menarik

dengan imbalan konsesi Nabi, tetapi al-Qur’an terus

memperingatkan agar tidak melakukan kompromi apapun dan

mempertegas perbedaan antara kompromi dan strategi.165

Di Mekah Nabi berhasil mengumpulkan segelintir pengikut

setia, namun jelas setelah tiga belas tahun penyiaran dan perjuangan

tanpa henti, upayanya menemui kebuntuan dan tampaknya kecil

sekali peluang untuk memenangkan para penenteng yang keras

kepala. Pada titik inilah orang Madinah menjalin hubungan dengan

Nabi dan memohonnya untuk pindah dan menjadi pemimpin di sana.

Seandainya di Mekah misi Nabi berjalan dengan baik maka Nabi

tidak ingin meninggalkan Mekah, karena menguasai kota yang

merupakan pusat keagamaan adalah sasaran utamanya.

b. Masa Pewahyuan di Madinah

Keprihatinan dan perhatian Nabi terhadap kaum Yahudi dan

Nasrani di Madinah pada hakikatnya sama dengan keprihatinan dan

165 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, hlm. 13

102

perhatian Nabi kepada kaum Pagan Arab di Mekah,166 sebagaimana

dalam ayat QS 5: 68;

“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang

beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran

Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu

(Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan

dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka

janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang

kafir itu.”

Kaum Yahudi yang hidup pada era kenabian Muhammad

berasal dari Israil. Mereka sebagai pendatang yang kemudian

menetap di Yasrib dan menjadi penguasa di sana, sehingga mereka

disebut Yahudi Israil al-Musta’ribab.167 Kaum Yahudi Madinah

terbagi menjadi dua kelompok utama.: pertama, kaum Yahudi yang

besar, yakni Bani Qainuqa', Bani Nazhir dan Bani Quraizhah.

Mereka merupakan keturunan Bani Israil. Mereka menguasai

kekayaan pertanian dan perdagangan di Madinah. Kedua, kaum

Yahudi yang kecil, yakni suku Auz dan Khazraj. Mereka merupakan

keturunan Arab Qahthaniyah. Sebagai pendatang belakangan, kaum

Yahudi dari suku Auz dan Khazraj menjadi warga kelas dua. Mereka

tidak mempunyai kuasa dan lahan ekonomi yang jelas, sehingga

mereka menjadi pekerja bagi kaum Yahudi Bani Israil. Sering terjadi

konflik antara mereka, baik pra maupun era kehadiran Nabi

166 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, hlm. 12 167 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 422.

103

Muhammad ke sana. Konflik terjadi baik antara kelompok besar

dengan kelompok kecil, antara kelompok yang berasal dari Bani

Israil sendiri, maupun antara kelompok kecil yang sama-sama dari

Arab.168

Kaum Yahudi menjadikan Yasrib (Madinah) dan daerah

sekitarnya sebagai daerah tempat migrasi dan tempat tinggal mereka

Karena jumlahnya yang banyak, mereka mempunyai kekuasaan

penuh di Kota Yasrib yang kaya dengan pertaniannya, pabrik dan

perdagangan. Juga karena mereka mempunyai posisi tertentu dalam

bidang agama dan ilmu pengetahuan sebagai konsekuensi logis

adanya ikatan sebagai penganut agama samawi dan mempunyai

hubungan erat dengan para Nabi. Di sana, mereka menjadi guru,

mursyid referensi, bahkan hakim dalam setiap persoalan yang

muncul. Karena itu, posisinya semakin kuat, terhormat dan semakin

berpengaruh. Mereka menikmati posisi sentral itu. Mereka juga

sering berhubungan dengan masyarakat tetangganya, seperti orang-

orang Arab. Dengan mereka inilah, Nabi Muhammad mengadakan

perjanjian untuk sama-sama menjaga Madinah dari serangan yang

datang dari luar, menjaga kebebasan menjalankan tradisi masing-

masing, harta-harta mereka, tempat sesembahan mereka, hak dan

168 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 422.

104

kewajiban mereka, termasuk hak beragama, yang dalam sejarah

dikenal dengan Piagam Madinah (Mitsaq Madinah).169

Dengan posisi mereka yang sentral di Madinah, dan dengan

keyakinan yang tinggi bahwa agamanya merupakan agama yang

benar dan akan memberi petunjuk manusia ke jalan yang benar,

mereka mengharapkan Nabi Muhammad tidak melakukan dakwah

ke dalam lingkungan mereka, apalagi berangan-angan

mengharapkan mereka masuk Islam. Sebaliknya, mereka

mengharapkan Nabi Muhammad dan umat Islam masuk ke dalam

agama mereka agar bisa masuk surga. Tidak hanya sebatas itu,

mereka juga memusuhi Nabi Muhammad dan umat Islam. Sikap

permusuhan kaum Yahudi tentu saja membawa implikasi negatif

terhadap dakwah kenabian Muhammad, dan di sisi lain, membawa

angin segar bagi kelompok lain yang memusuhi Nabi Muhammad

dan umat Islam, terutama orang-orang munafik 'dan orang-orang

musyrik Mekah. Di sinilah, al-Qur'an menggambarkan sepak terjang

kaum Yahudi di Madinah.170

Perhatian al-Qur'an terhadap kaum Yahudi di Madinah begitu

besar, dan tersebar di berbagai ayat dan surah, terutama surah al-

Baqarah, Ali Imran, an-Nisa' dan al-Maidah. Selain karena

169 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 422-425. 170 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 425.

105

banyaknya masyarakat Yahudi di Madinah, perhatian besar al-

Qur'an tidak lepas dari sikap mereka yang memusuhi Nabi

Muhammad dan umat Islam sejak awal kedatangannya ke Madinah.

Mereka lalu yang pertama kali bekerja sama dengan orang-orang

munafik dalam mengacak-acak Nabi Muhammad dan umat Islam.

Bahkan al-Qur’an menyindir mereka agar tidak menjadi orang yang

pertama kali kafir kepada Nabi Muhammad dan al-Qur'an karena

Allah telah memberikan nikmat kepada mereka dan mereka juga

telah mengadakan perjanjian dengan Allah, apalagi al-Qur'an

mengambil posisi membenarkan kitab suci mereka.171

Darwazah hanya mengkaji beberapa sisi saja dari sekian

banyak sisi yang bisa dikaji dari al-Qur'an tentang sepak terjang

kaum Yahudi: pertama, sikap mereka terhadap dakwah kenabian

Muhammad; kedua, sikap mereka yang bersifat argumentatif; ketiga,

sikap mereka yang suka memfitnah (merekayasa) umat Islam, dan

persekongkolan mereka dengan orang-orang munafik dan musyrik;

keempat, peristiwa menakut-nakuti (pengusiran) kaum Yahudi,

faktor-faktor dan hasilnya; kelima, pengecualian-pengecualian al-

Qur'an terkait dengan orang-orang mukmin yang adil (moderat) dan

signifikansinya.172

171 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 425-426. 172 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 426-427.

106

Pertama, sikap mereka terhadap dakwah kenabian

Muhammad. Beberapa ayat al-Qur'an mengisahkan betapa kaum

Yahudi menentang dakwah kenabian Muhammad, kendati al-Qur'an

sudah berkali-kali memberi peringatan dan mengingatkan akan

nikmat Allah yang diberikan kepada para pendahulu mereka, serta

bencana yang ditimpakan akibat pembangkangan mereka terhadap

Allah dan para nabi-Nya (2 : 47-53, 58-59). 173

Pelajaran yang bisa dipetik dari ayat-ayat al-Qur’an di atas,

menurut Darwazah: pertama, al-Qur’an terkadang menggunakan

gaya ungkapan yang berbentuk serangan dan kecaman terhadap

kaum Yahudi, terkadang menggunakan gaya ungkapan berbentuk

kisah. Tidak hanya di dalam al-Qur'an Makkiyyah, gaya ungkapan

seperti ini juga muncul di dalam al-Qur'an Madaniyyah. Kedua,

serangan dahsyat al-Quran yang terdapat di dalam ayat-ayat di atas

berhubungan dengan kesatuan tabiat dan akhlak mereka dalam setiap

generasi. Keturunan mereka mewarisi pendahulunya. Ketiga,

gambaran tentang sifat-sifat mereka yang suka menentang. Keempat,

al-Qur'an menjadi bukti meyakinkan betapa sikap mereka yang

menentang dakwah kenabian Muhammad dimulai sejak periode

awal di Madinah. Kelima, ketika berbicara tentang perkataan-

perkataan, sikap-sikap dan perilaku kaum Yahudi, maupun tentang

173 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 427.

107

hubungan antara anak-anak dan bapak-bapak mereka, Sikap mereka

secara umum adalah menentang dakwah kenabian Muhammad,

kecuali beberapa gelintir saja.174

Gaya ungkapan al-Qur'an yang bersifat mengecam itu

sebenarnya bukan fenomena umum yang digunakan untuk semua

ungkapan al-Qur'an terhadap kaum Yahudi. Gaya ungkapan yang

bernada mengecam itu tidak lain sebagai respons terhadap sikap

keras mereka terhadap dakwah kenabian Muhammad dan umat

Islam. Sebagaimana di Mekah, di Madinah juga terdapat ungkapan-

ungkapan al-Qur’an tentang mereka yang bersifat moderat,

argumentatif dan tidak ada nuansa kecaman. Bahkan Nabi

Muhammad secara khusus memberi maaf terhadap mereka.175

Kedua, sikap mereka yang bersifat argumentatif. Di antara

argumentasi mereka adalah klaim bahwa merekalah kelompok yang

mendapat petunjuk dari Tuhan. Mereka meyakini bahwa petunjuk

Tuhan itu hanya ada di dalam agama Yahudi. Mereka juga

mengklaim, agamanya sebagai agama yang paling baik dan benar,

karena agamanya sebagai pelanjut dari agama lbrahim. Mereka

mengklaim Ibrahim adalah bapak mereka dan sekaligus bapak para

nabi, bahwa anak-anaknya berjalan di atas agamanya, sedangkan

174 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 427. 175 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 431-432.

108

agama para nabi dan anak-anak mereka adalah Yahudi. Mereka

mengklaim bahwa kaum Yahudi berada dalam petunjuk berkaitan

dengan keyakinan mereka “Uzair adalah Anak Allah”. Begitu juga

kaum Nasrani mengklaim sebagai keturunan sekaligus pelanjut

agama Ibrahim. Mereka juga mengklaim bahwa Nabi Isa adalah

manusia yang berdimensi ilahi sebagai anak Allah, mereka

mensyariatkan ibadah dan keyakinan rububiyah-nya dengan Allah.

Mereka juga menjadikan para rahibnya, malaikat dan para nabi

sebagai Tuhan, atau paling tidak meminta syafaat kepada mereka

(QS At-taubah:30).176

Al-Qur'an menyanggah klaim mereka mengenai Ibrahim dan

agamanya. Nabi Ibrahim itu hidup pada masa sebelum turunnya

kitab Taurat yang dibawa Nabi Musa, sementara Yahudi muncul

bersamaan dengan hadirnya kitab Taurat. Karena itu, tidak masuk

akal mengklaim Ibrahim sebagai penganut agama Yahudi. Bahwa

posisi Ibrahim sebagai bapak kaum Yahudi tidak dengan sendirinya

mereka mesti menjadikan mereka beragama dengan agama Ibrahim.

AI-Qur’an menegaskan bahwa Ibrahim bukanlah orang musyrik,

bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani, melainkan penganut

agama yang hanif dan Muslim. Agama yang dibawa Nabi

Muhammad inilah yang disebut agama Islam, yang mengajarkan

176 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 432-433.

109

agar kita beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad, kepada Nabi Ibrahim, Ismail dan seterusnya (Ali

Imron: 79-80).177

Kaum Yahudi juga menolak kenabian Muhammad. Penolakan

mereka didasarkan pada fakta bahwa Muhammad, Nabi agung umat

Islam ini, berasal dari bangsa Arab, sementara mereka mengklaim

mendapatkan keistimewaan dari Allah bahwa Nabi harus berasal

dari Bani Israil, tidak dari yang lain. Al-Qur'an menyanggah klaim

tersebut, sembari menegaskan kebenaran kenabian Muhammad yang

berasal dari Arab yang ummi dan menjadi penerus agama nenek

moyangnya, yakni Nabi Ibrahim. Al-Qur’an juga mengecam sikap

mereka yang sebenarnya mengetahui kebenaran tentang kenabian

Muhammad, tetapi menyembunyikannya. Sangat menarik ketika al-

Qur’an menggambarkan mereka seperti keledai yang membawa

kitab Taurat, Yang tidak mengetahui manfaatnya(Al-Baqarah: 105-

109).178

Al-Qur'an juga menampilkan penolakan mereka yang bersifat

argumentarif seputar perubahan arah Kiblat. Kiblat merupakan arah

salat yang bersifat ketentuan dari agama, bukan pilihan bebas

seseorang yang sedang shalat. Kiblat orang-orang Arab pra-

177 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 434-435. 178 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 435-436.

110

kenabian Muhammad adalah Ka'bah. Ka’bah merupakan tempat suci

yang menjadi tujuan berziarah, bertawaf, berhaji dan berumrah dan

bershalat orang-orang Arab karena ia merupakan rumah Allah.

Berhala-berhala yang menjadi tuhan sesembahan mereka berada di

sekitar Ka’bah. Sebagai agama baru yang lahir dari Mekah, tempat

Ka'bah berada, Islam juga berkiblat ke Ka’bah yang berada di dalam

Masjid al-Haram, Kota Mekah. Ketika masih di Mekah, Muhammad

melaksanakan salat menghadap Ka'bah (Al-Baqarah: 142-152).179

Kaum Nasrani ada juga yang menolak dan menentang Nabi

Muhammad. Ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung kaum Nasrani

Madinah lebih banyak dan jelas dibanding dengan Mekah. Al-

Qur’an Makiyah menyebut kaum Nasrani lebih dapat menerima

dakwah Nabi dan bergabung dengannya. Sedangkan dalam al-

Qur’an Madaniyyah, terdapat banyak ayat yang berbicara tentang

kaum Nasrani, akidah mereka termasuk perbedaan di antara mereka.

Al-Qur’an menceritakan penyimpangan yang dilakukan oleh kaum

Nasrani yang hidup di zaman Nabi Muhammad terhadap janji dan

wasiat Allah sehingga terjadi permusuhan dan perselisihan diantara

mereka (al-Maidah:14). Karena itu Allah memerintah agar mereka

berjalan sesuai dengan kitab sucinya, Injil (al-Maidah: 46-47). Al-

Qur’an juga mengkritik kaum Nasrani yang meyakini keilahian Isa

179 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 436-437.

111

al-Masih dengan menyebut mereka sebagai orang kafir (Al-

Maidah:17). Masih dalam kerangka keyakinan mereka (at-Taubah:

30-31) berbicara tentang akidah mereka bahwa Isa adalah anak Allah

sekaligus sebagai Tuhan. Tentu saja yang dimaksud adalah kaum

Nasrani zaman Nabi bukan yang lain dan yang meyakini keilahian

Isa, bukan yang lain. kaum Nasrani yang mengatakan keilahian Isa

al-Masih adalah kafir dan karena itu diharapkan kembali ke jalan

yang benar yakni ajaran kitab suci yang dibawa Nabi Muhammad.180

4. Ahli Kitab Masa Sekarang (Sebagai Jawaban)

Setelah pemaparan di atas, ahli kitab pada zaman sekarang

yang mana diketahui bahwa ahli kitab masih ada. Secara

historisnya, umat Yahudi dan Nasrani yang tergolong ahli kitab

masih stagnan dengan kepercayaan mereka. Ahli kitab yang

diketahui mulai dari masa pra-Islam sampai masa pewahyuan tidak

mempunyai perbedaan dalam hal teologis. Nasrani mempercayai

Yesus sebagai Tuhannya dan Yahudi mempercayai Uzair sebagai

anak Tuhan. Meskipun telah mendapatkan kritikan melalui al-

Qur’an bahwa mereka yang mempercayai Isa sebagai Tuhan

mereka maka dianggap kafir dan begitu juga dengan Yahudi (QS

at-Taubah: 30).

180 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat

Darwazah, hlm. 455

112

“ Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah"

dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah".

Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka

meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati

Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling.”

Hal ini tidak mempengaruhi pemaknaan ahli kitab pada

masa sekarang karena pada hakikatnya keadaan ahli kitab sebelum

dan sesudah pewahyuan mempunyai karakter sama. Dalam

pandangan Islam revisionis mengatakan bahwa semua agama

mempunyai dua varian yaitu secara teologis dan historis, begitu

juga dengan ahli kitab yang mana dapat terbagi dalam teologis dan

historis. Maksud dari teologis yaitu apa yang mereka yakini dalam

sebuah keimanan sedangkan historis adalah apa yang melekat pada

diri mereka hingga saat ini. Menurutnya, jika agama non Islam

mereka lebih bersifat teologis karena mempunyai kepercayaan akan

Tuhannya.181 Yahudi dan Nasrani secara teologis tetap termasuk

ahli kitab karena mempunyai keimanan akan Tuhan mereka dan

mempercayai kitab yang dibawa oleh utusan mereka masing-

masing

181 Keterangan ini didapatkan dari Mun’im Sirry pada Public Lecture Islam Revisionis

tanggal 22 Maret 2018

113

B. Skema Double Movement dalam Memahami ahli kitab

C. Relevansi Aplikasi Double Movement Terhadap Pemaknaan Ahli Kitab

Dalam Konteks Indonesia

Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi rasa toleransi antar

umat beragama. Bermacam-macam agama hidup di Indonesia, meskipun

mayoritas penduduknya beragama Islam tidak memungkiri agama lain

untuk tetap berkembang dan bernafas bebas di Indonesia. Namun toleransi

beragama yang ada di Indonesia belumlah sampai pada kebebasan menikahi

mereka yang berada di luar agamanya (pernikahan beda agama). Banyak

fatwa yang dimunculkan dalam kajiannya mengenai pernikahan beda

agama. Sebenarnya dalam al-Qur’an telah dijelaskan dalam QS Al Maidah:

5 menyatakan bahwa kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita-wanita

114

yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab

sebelum kamu (ahli kitab). Meskipun al-Qur’an telah menjelaskan hal

tersebut akan tetapi masih menjadi permasalahan yang belum menemukan

titik temunya.

Yayasan wakaf Paramadina—sebuah yayasan yang didirikan oleh

Nurcholis Madjid dkk—berijtihad mengenai masalah pernikahan beda

agama. Dalam pandangan Paramadina, setiap muslim baik laki-laki maupun

perempuan semestinya diberikan kebebasan untuk menikah dengan non-

muslim, apapun agamanya dan aliran kepercayaan yang dianutnya. Ijtihad

ini didasarkan pada dua asumsi yaitu pertama, hanya musyrik Arab yang

haram dinikahi, sementara hampir bisa dipastikan jika kepercayaan itu

sudah tidak ada. Kedua, seluruh agama dan aliran kepercayaan yang ada

saat ini merupakan agama samawi dan penganutnya disebut ahli kitab.

Ijtihad ini lebih tertuju pada pertimbangan muamalah, yakni terciptanya

kerukunan antar umat beragama.182 Apa yang telah diusulkan oleh Yayasan

Wakaf Paramadina tersebut, sejalan dengan apa yang telah ditemukan oleh

penulis dalam memahami makna ahli kitab dengan mengaplikasikan teori

hermeneutika double movement Fazlur Rahman.

Dengan mengaplikasikan teori hermeneutika double movement,

penulis menemukan bahwa penganut semua agama secara teologis

mempunyai keyakinan (keimanan) yang tidak berubah. Melalui penelurusan

182 Iffah Muzammil, “ Telaah Gagasan Paramadina Tentang Pernikahan Beda Agama” ,

Islamica, (Vol.10, No.2, Maret 2016), hlm. 417

115

secara historis, Yahudi meyakini bahwa Uzair adalah anak Tuhan dan

Nasrani berkeyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan mereka sudah sejak awal

pra-Islam. Sebelum Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai Nabi

terakhir, Yahudi dan Nasrani telah mengakui kebenaran atas keimanannya

tersebut. Mereka tetap mempertahankan atau tidak merubah keimanannya

meskipun telah dikirimkan seorang utusan oleh Allah—Muhammad—yang

menyempurnakan ajaran kitab-kitab sebelumnya. Dalam al-Qur’an jika

ditelusur melalui ayat-ayat ahli kitab memang secara spesifik hanya

menjelaskan agama Yahudi dan Nasrani. Menurut Nurcholish Madjid hal

tersebut dikarenakan pada zaman Nabi Muhammad berdakwah tidak ada

agama lain yang berskala besar kecuali Yahudi dan Nasrani, maka akan

menjadi hal yang kurang wajar ketika nama-nama agama lain dimunculkan

dalam al-Qur’an.

Jika konsep ahli kitab ditarik ke dalam konteks Indonesia yang

mengakui banyak agama sebagai warga negaranya, maka pertanyaan yang

akan muncul “apakah ahli kitab hanya terbatas kepada Yahudi dan

Nasrani?”. Hal ini masih menjadi perdebatan antar ulama dan para pemikir

Muslim. Sebenarnya, jawaban tersebut dapat dilihat dari apa sebenarnya

definisi ahli kitab bahwa semua komunitas yang mempercayai kitab suci

yang diturunkan Allah melalui Nabi dan RasulNya, merekalah yang

dianggap sebagai ahli kitab. Maka di Indonesia, ahli kitab mencakup semua

agama yang hidup dan berkembang sampai saat ini.

116

Dengan double movement Fazlur Rahman maka akan ditemukan

ideal moral (tujuan dasar moral yang dipesankan oleh al-Qur’an) dari

banyaknya agama dalam konteks Indonesia yaitu adanya persatuan

(kalimatun sawa) dan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al

khairat). Maka relevansi adanya pengaplikasian hermeneutika double

movement Fazlur Rahman dengan menemukan ideal moral al-Qur’an

mengenai ahli kitab, pernikahan beda agama diperbolehkan dengan catatan

hal tersebut akan membawa kebaikan dan akan mempersatukan di antara

kedua pihak yang bersangkutan.

117

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap teori

hermeneutika double movement Fazlur Rahman, maka dalam rangka

memberikan jawaban rumusan masalah dalam penelitian ini, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep hermeneutika Fazlur Rahman terlihad dalam mekanisme

Double movement (gerakan ganda), pertama bertolak dari situasi

kontemporer menuju ke era al-Qur’an diwahyukan, dalam

pengertian bahwa perlu dipahami arti dan makna dari suatu

pernyataan dengan cara mengkaji situasi atau problem historis di

mana pernyataan al-Qur’an tersebut hadir sebagai jawabannya.

Kedua, dari masa al-Qur’an di turunkan (setelah menemukan

prinsip-prinsip umum) kembali lagi ke masa sekarang. Dalam

pengertian bahwa ajaran-ajaran (prinsip) yang bersifat umum

tersebut harus ditubuhkan dalam konteks sosio historis konkret

sekarang. Dari gerakan pertama akan menemukan respon

Qur’ani dari ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,

bagaimana sebenarnya sebuah ayat menjawab problematika

pada saat ayat diturunkan. Dari gerakan pertama tersebut akan

ditemukan dua analisa yaitu legal spesifik dan ideal moral. Legal

spesifik yaitu ketentuan hukum yang diterapkan secara khusus

118

dan ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-

Qur’an. Setelah ditemukan keduanya kemudian ditarik kembali

ke masa sekarang sebagai jawaban atas problematika yang

sedang terjadi.

2. Aplikasi hermeneutika Fazlur Rahman terhadap pemahaman

term ahli kitab dalam al-Qur’an terbagi dalam tiga kelompok

yaitu ahli kitab masa sekarang, ahli kitab pra-Islam dan ahli kitab

masa pewahyuan. Jika melihat secara realitas yang ada, ahli

kitab—Yahudi dan Nasrani- pada masa ini adalah mereka yang

menuhankan Yesus (Nasrani) dan Yahudi yang juga mengubah

kitab suci mereka. Melihat realitas tersebut jika dikembalikan ke

masa dahulu pra-Islam maka keadaan Yahudi dan Nasrani

berada dalam kegelapan. Orang Yahudi yang mengaku

mengikuti Nabi Musa juga mengalami hal yang sama. Nilai-nilai

spiritual mereka abaikan, sambil membenarkan diri dan

menganiaya selain kelompoknya. Begitu pula Nasrani yang

mengikuti Nabi Isa telah tenggelam dalam pengkultusan Nabi

agung hingga menjadikannya anak Tuhan. Allah kemudian

mengutus Nabi yang membawa ajaran, meluruskan kesesatan

dan kekeliruan umat manusia. Akan tetapi sayangnya sebagian

mereka menerimanya dan sebagian lainnya berlarut bahkan

meningkat kesesatannya justru setelah datangnya bukti yang

nyata. Langkah selanjutnya menentukan jawaban spesifik dari

119

ayat tersebut bahwa ahli kitab masih ada sampai sekarang.

Kemudian ideal moral yang dapat diambil dari adanya

banyaknya agama adalah fastabiq al- khoirot berlomba-lomba

dalam kebaikan dan kalimatun sawa (satu kesatuan). Dan

menjadi sebuah jawaban bahwa pada masa ini masih ada ahli

kitab karena keimanan mereka dari pra-Islam, masa pewahyuan

hingga sekarang tetap sama.

3. Relevansi aplikasi hermeneutika double movement Fazlur

Rahman terhadap pemahaman term ahli kitab dalam konteks

Indonesia adalah adanya pembaharuan hukum pernikahan beda

agama. Kebolehan pernikahan beda agama dalam hal ini

disebabkan karena ditemukannya ideal moral dari banyaknya

agama yang ada di Indonesia yaitu fastabiq al khairat dan

kalimatun sawa. Dengan adanya kedua prinsip tersebut maka

akan menghindarkan ketidakadilan, ketidakrukunan ataupun

ketidakharmonisan dalam keluarga. Menjadi tugas tersendiri

bagi mereka yang menginginkan adanya pernikahan beda agama

untuk senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan dan

menemukan persamaan (persatuan) dalam berumah tangga.

B. Saran

Apa yang telah digagas Fazlur Rahman adalah sebuah gerakan

pembaharuan dari adanya kejumudan pemikiran intelektual Muslim masa

klasik. Keberhasilan Fazlur Rahman menjadi sebuah metode baru berupa

120

hermeneutika double movement (gerakan ganda), telah menjadi bukti

adanya kemajuan pemikiran Islam kontemporer. Metode penafsiran yang

ditawarkan oleh Rahman dipahami secara komprehensif, kontekstual dan

memperhatikan konteks sosio historis ayat yang ditafsirkan. Mengingat

adanya kebutuhan untuk menjawab tantangan problem kontemporer, maka

diperlukan adanya sebuah metode kontekstual dalam pembacaan kembali

“reinterpretasi” al-Qur’an sebagai kitab petunjuk umat Muslim.

Dalam menyemarakkan geliat pengembangan metode penafsiran

al-Qur’an, karya ini hanyalah sebagian kecil atas pengembangan studi al-

Qur’an. Dunia studi al-Qur’an masih memungkinkan melahirkan banyak

lapangan penelitian yang tidak pernah kering dan berakhir. Maka dari itu,

ke depannya masih dibutuhkan banyak karya untuk mengembangkan

pemikiran intelektual Muslim Fazlur Rahman dalam metode baru tafsir al-

Qur’an. Atau melakukan kajian kritik-konstruktif demi menyempurnakan

gagasan pemikiran serta membangun metodelogi yang relatif baru.

Akhirnya, penulis mengajak para pembaca untuk tidak secara serampangan

dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode yang tepat

untuk menjawab problematika yang sedang terjadi.

121

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asfihani, Ar-Raghib. Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an. Beirut: Dar al-

Fikr,t.t.

Al-Baqi’, Muhammad Fu’ad Abd. 1408 H/1988M . al-Mu’jam al-Mufahras li

Alfazh al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr.

Amal, Taufik Adnan. 1996. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas

Pemikiran Hukum Fazlurrahman. Bandung: Mizan.

Andi Eka Putra.2016. Konsep Ahlil al-Kitab dalam Al Quran Menurut Penafsiran

Muhammed Arkoun dan Nurcholish Madjid. Al-Dzikra. Vol.X, No.1.

Arkoun, Mohammad. 1993. Pemikiran tentang Wahyu Dari Ahli Kitab sampai

Masyarakat Kitab. Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan.

IV(2): 47

Ar-Raniri. 2010. Tibyan fi Ma ‘ rifat al – Adyan. Banda Aceh: PeNa.

Ath-Thabari, Ibn Jarir. 1992. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Beirut, Dar al-

kutub al-‘ilmiyyah.

Bleicher, Josef . 1980. Contemporary Hermeneutics. London: Roudege & Kegars

Paul.

Darmaji, Agus. 2013. Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-

Georg Gadamer. Refleksi. 13(4)

Departemen Agama RI. 2006. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan

Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta

Faiz, Fahruddin. 2015. Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial.

Yogyakarta:Kalimedia

122

Gadamer, Hans Gorge. 2004. Truth and Method, terj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Ghofur, Waryono Abdul. 2016. Persaudaraan Agama-Agama;Millah Ibrahim

dalam Tafsir Al Mizan. Bandung:PT. Mizan Pustaka.

Hanafi, Hassan. 2003. Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus.

Yogyakarta:Prisma.

Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughoh. Dar Fikr,t.t.

Ibrahim, Musa. 1996. Buhust Manhajiyyah fi Ulum Al Qur’an al Karim. ( Aman:

Dar Amaar)

Ichwan, Moch. Nur. 2003. Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an,

Jakarta:TERAJU.

Irkhami, Nafis. 2006. Keselamatan Bagi Ahlul Kitab? Menelusuri Pemahaman Al

Maraghi. Salatiga: STAIN Salatiga Press.

K. Bertens. 1981. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta:Gramedia.

Khir, Mohd Faizal Abdul. 2011. Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-

Shahrastani. Jurnal Usuluddin.

Kurdi,dkk. 2010. Hermeneutka Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta:eLSAQ Press.

Muslih,Mohammad. 2004. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma

dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.Yogyakarta:Belukar.

Muttaqin, Labib. 2013. Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap

Doktrin Kewarisan Islam Klasik. Al Manahij:Jurnal Kajian Hukum

Islam, Vol.VII, No.2

123

Muwafiq, Sudarto. 2015. Hermeneutika Al Quran: Kritik Atas Pemikiran Nasr

Hamid Abu Zaid. Akademika. 9(1).

Nasrullah. 2015. Ahli Kitab Dalam Perdebatan: kajian Survei Beberapa Literatur

Tafsir Al-Qur’an. Jurnal Syahadah.III(2).

Nugroho, Muhammad Aji. 2016 . Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi;

Merefleksikan Teks pada Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian.

Millati. 1(2): 192-193

Qadafy, Mu’amar Zayn. 2015. Buku Pintar Sababun Nuzul Dari Makro Hingga

Makro. Yogyakarta: IN AzNa Books.

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual

Tradition. Chicago and London: University Press.

. 1989. Metode dan Alternatif neomodernisme Islam,

Penyunting: Taufik Adnan Amal. Bandung: Mizan.

.2000. Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi

Fundamentalis Islam. terj. Aam Fahmia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

. 2005. Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad.

Bandung: Pustaka, , cet. III.

. 2017. Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie. Bandung: Mizan.

. 2017. Tema-Tema Pokok Al Quran. Bandung: Mizan.

Reflita. 2016. Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir (menimbang

Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran Al Quran), Jurnal

Ushuluddin. 24(2).

124

Richard E Palmer. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj.

Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ridha, Muhammad Abduh dan Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Ma’rifah,t.t.

Robikah, Siti. 2017. Contextual Interpretations of the Quran: Telaah Hermeneutika

Inklusif Nasr Hamid Abu Zayd. Proceeding The 2nd BUAF 17-20 Juli.

Banjarmasin:UIN Antasari.

Shihab, M. Quraish. 1994. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai

Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

. 1994. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai

Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

. 2002. Tafzir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

Sirry, Mun’im. 2013. Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Sodiqin, Ali. 2008. Antropologi al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas.

Yogyakarta:ar-Ruzz Media.

Sumantri, Rifki Ahda. 2013. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman Metode

Tafsir Double Movement. Komunika: Jurnal Dakwah dan

Komunikasi.7(1):7

Sumbulah, Umi. 2012. Islam & Ahli Kitab Perspektif Hadis. Malang: UIN Maliki-

Press.

Syahrastani, Ahmad. 1993. Al Milal Wa Al Nihal. (Beirut: Dar Elmakrifah)

Syahrur, Muhammad. 2015. Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an

Kontemporer. Yogyakarta: Kalimedia.

125

Syamrudin. Hermeneutika Fazlur Rahman. Miqot.XXXV(2): 279

Syamsuddin, Abdul Muqtasim-Sahiron (ed).2002.Studi Al-Qur’an Kontemporer:

Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: PT Tiara

Wacana Yogya,

Syamsuddin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran.

Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press

.2011. Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat.

Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN SUKA,2011.

. 2011. Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an

dan Hadis (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN

SUKA.

. 2017. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran,

Edisi Revisi dan Perluasan. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.

Syukri, Ahmad.2007.Metodologi Tafsir Al Quran Kontemporer dalam Pemikiran

Fazlur Rahman, Jakarta: badan Litbang dan Diklat Departemen Agama

Thabathaba’i, Muhammad Husein. 1991. Al Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut:

Mu’assasah al-‘A’alamy lil Mathbu’at.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia,.

Jakarta: Balai Pustaka.

W. Poespoprodje. 2004. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia.

126

Watt, W. Mountgomery. 1970. Bell’s Introduction to the Qur’an. Edinburgh:

Edinburgh University Press.

Wijaya, Aksin. 2016. Sejarah KeNabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli

Muhammad Izzat Darwazah. Bandung, Mizan.

Zayd, Nasr Hamid Abu. 2003. Al-Qur’an, Hermeneutika dan kekuasaan, terj. Dede

Iswadi. Bandung:RqiS.

Zayd, Nasr Hamid Abu. 2004. Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil. terj.

Muhammad Mansur. Jakarta: ICIP.

127

CURRICULUM VITAE

Identitas Diri

1. Nama : Siti Robikah

2. Tempat Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 23 Februari 1994

3. Agama : Islam

4. Jenis Kelamin : Perempuan

5. Email : [email protected]

6. Phone : 085641886939

7. Alamat Tinggal : Dusun Ploso, Desa Gundi, Kecamatan

Suruh

8. Alamat Rumah : Dusun Gumuk, Ds Gentan, Susukan,

Semarang

9. Nama Orang Tua

a. Ayah : Munawari

b. Ibu : Siti Asiyah

10. Motto : There is a will, there is a way

Latar Belakang Pedidikan

MI Tamrinul Ulum Jetis : 1999-2005

MtsN Susukan : 2005-2008

MAN 1 Semarang : 2008-2011

S1 Ilmu Al Qur’an dan Tafsir : 2014-2018

128

Pengalaman Organisasi

1. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)

Ilmu Al Quran dan Tafsir (IAT) : 2014

2. Dewan Mahasiswa FUADAH : 2015-2016

3. Jami’iyyah Quro’ Wal Huffadz IAIN Salatiga : 2015

Pengalaman Akademik

1. Peserta dan Peneliti Junior dalam “Live in Ahmadiyah 2016” dengan tema

“Mengenal Dekat Komunitas Ahmadiyah” 05-07 Agustus 2016, Manislor,

Kuningan, Jawa Barat

2. Peserta Live in Lintas Agama dengan tema “ Belajar Bersama Live in

dengan Masyarakat Multi Agama” 7 Februari 2016, Tekhelan, Getasan.

3. Peserta International Conference on “New Trend in Qur’anic Studies” yang

diselenggarakan oleh International Qur’anic studies Association (IQSA)

dan UIN Yogyakarta Tahun 2015

4. Peserta Workshop bersama Universitas Molbourne dan UIN Sunan Kalijaga

Karya Tulis

Judul Keterangan

1. Membumikan Teologi

Transformatif Penyetaraan

Sosial Umat

Jurnal Fikrah Vol. 5, No.2 (2017)

Journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah

2. Analisis Living Hadist

Terhadap Tradisi Dzikir Fida’

(Studi Kasus di Dusun Gumuk,

Kecamatan Susukan,

Kabupaten Semarang)

Dibukukan oleh LPM Dinamika IAIN

Surakarta

3. Contextual Interpretations of

the Quran; Telaah

Proceeding The 2nd BUAF Juli 2017

129

Hermeneutika Inklusif Nasr

Hamid Abu Zayd

4. Dekonstruksi Hegemoni Laki-

laki atas Perempuan

(Studi Pemikiran Fatima

Mernissi)

Jurnal Dinamika, Vol.11, No. XXI, 2016

5. Jihad Anti Korupsi Sebagai

Upaya Pemerataan Ekonomi di

Indonesia (Kajian Ayat-ayat

Korupsi dalam Al Quran)

Belum diterbitkan

6. Kontroversi Media: Pro dan

Kontra Atas Radikalisme

Agama

Belum diterbitkan