bab ii tinjauan pustaka 2.1.kajian umum tentang...

29
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakim Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim merupakan pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, mengadili disini diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang. 4 2.1.1. Peranan hakim di Pengadilan Soerjono Soekanto 5 menyatakan peranan mempunyai arti perbuatan seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suau kelompok sosial atau kedudukan berarti juga tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. 4 Fence M. Wantu. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hlm.20. 5 Ibid, hlm.24.

Upload: ngothien

Post on 10-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kajian Umum tentang Hakim

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang

diatur dalam undang-undang. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan

pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada

dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim merupakan pejabat peradilan Negara

yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, mengadili disini

diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan

memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang

pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.4

2.1.1. Peranan hakim di Pengadilan

Soerjono Soekanto5 menyatakan peranan mempunyai arti perbuatan

seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan

oleh masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi

seseorang dalam suau kelompok sosial atau kedudukan berarti juga tempat

seseorang dalam suatu pola tertentu.

4 Fence M. Wantu. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi

Dalam Proses Peradilan Perdata. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hlm.20. 5 Ibid, hlm.24.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

8

Peran yang melekat pada diri seseorang harus di bedakan dengan

kedudukan dalam pergaulan kemasyarakatan. Peran lebih menunjuk pada

fungsi atau tuugas penyesuaian diri sebagai suatu proses. Kedudukan

seseorang dalam masyarakat (Social Status) Merupakan unsur statis yang

menunjukan tempat makhluk hidup pada organisasi masyarakat.

Peranan hakim dalam melaksanakan kekusaan kehakiman diperlukan

untuk mengimplementasikan tugas yang diemban sebagaimana diatur dalam

perundang-undangan. Peranan hakim memiliki keistimewaan dalam

masyarakat, hal ini karena hakim diberikan kewenangan istimewa dalam

peradilan yang tidak diberikan kepada jabatan manapun.

Athur L. Corbin6 mengemukakan sebagai berikut A jugde who is ready

to decide what is justice and for the public weal without any knowledge of

history and precedent is an egoist and an ignoranmus artinya seorang hakim

yang siap memutus atas nama keadilan kesejahteraan umum tanpa memiliki

pengetahuan tentang sejarah yurisprudensi adalah egois dan bersikap masa

bodoh.

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dalam menyelesaikan perkara yag diajukan, wajib memperhatikan

dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,

6 Ibid, hlm.40

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

9

sehingga putusannya sesuai dengan rasa kepastian hukum, keadilan dan

kemanfaatan hukum.

2.1.2. Proses Penjatuhan Putusan oleh Hakim

Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu

perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh Hakim tersebut. Proses

penjatuhan putusan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan

sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.

Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang Hakim harus meyakini

apakah seseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, atau

dalam perkara perdata, dengan tetap berpedoman dengan pembuktian

untuk menentukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh salah

satu pihak yang berperkara. Adapun putusan hakim dalam perkara pidana,

dapat berupa putusan penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak

pidana terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari

tindak pidana (vrijspraak), dalam hal menurut hasil pemeriksaan

dipersidangan, kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum

(onslaag van alle rechtsvervolging), dalam hal perbuatan terdakwa

sebagaimana nyang didakwakan terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut

tidak merupakan suatu tindak pidana.7

7 Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta. Sinar

Grafika, 2010, hlm.94 dan 95.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

10

Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh Hakim, dalam

perkara pidana menurut Moelyatno, dilakukan dalam beberapa tahapan,

yaitu sebagai berikut:

1. Tahapan Menganalisis Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan

diancam pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Pada saat

hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan perbuatan

pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat yaitu

perbuatan segi tersebut daam rumusan suatu aturan pidana. Ditinjau

dari segi tersebut, tampak sebagai perbuatanyang merugikan atau yang

tidak patut dilakukan atau tidak. Jika perbuatan terdakwa memenui

unsur-unsur dalam suatu pasal hokum pidana, maka, terdakwa

dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan

kepadanya. Unsure dalam perbuatan pidana sebagaiman terdapat

dalam KUHP, dibedakan menjadi unsure umum dan unsure batasan

pengertian.

2. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana

Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan

perbuatan pidana melanggar suatu Pasal tertentu, hakim menganalisis

apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan

pidana ayng dilakukannya. Pada saat menyelidiki apakah terdakwa

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

11

yang melakukan perbuatan pidana dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannnya, yang dipandang primer adalah orang itu sendiri. Dapat

dipidanya seseorang harus memenuhi dua syarat, yaitu pertama,

perbuatan yang bersifat melawan hokum sebagai sendi perbuatan

pidana, dan yang kedua, perbuatan yang dilakukan itu dapat

dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan (asas geen straf

zonder schuld).

Menurut moelyatno, unsure-unsur pertanggungjawaban pidana

untuk membuktikan pidana untuk membuktikan adanya kesalahan

pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai

berikut:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);

b. Diatas umur tertentu dan mapu bertanggung jawab;

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan;

d. Tidak adanya alas an pemaaf.8

3. Tahap Penentuan Pemindanaan

Dalam hal ini jikalau hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah

melakukan perbuatan yang melawan hokum, sehingga ia dinyatakan

bersalah atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu dapat

dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang

88

Ibid. hlm 96-100

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

12

dijatuhkan oleh hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku

tersebut, dengan melihat Pasal-pasal Undang-undang yang dilanggar

oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah

diatur dalam KUHP, dimana KUHP telah pemindaan maksimal yang

dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.

2.1.3. Teori Penjatuhan Putusan

Menurut Mackenzia,9 ada beberapa teori atau pendekatan yang

dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan

putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Keseimbangan, adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang

ditentukan oleh Undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

bersangkutan atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat,

kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak

penggugat dan pihak tergugat. Keseimbangan antara kepentingan dan

terdakwa dalam praktek umumnya dirumuskan dalam pertimbangan

mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan penjatuhan

pidana bagi terdakwa, dimana kepentingan masyarakat dirumuskan

dalam hal-hal yang meringankan. Pertimbangan hal-hal yang

memberatkan dan meringankan tersebut, merupakan faktor yang

menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap

terdakwa (vide Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP);

9 Ibid. hlm.102-103

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

13

2. Teori Pendekatan Seni dan Intiusi, adalah penjatuhan putusan oleh

hakim merupakan diskresi atau kewenagan dari hakim. Sebagai

diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan dari hakim. Sebagai

diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan

keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana

atau dalam perkara perdata. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim

dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau

intuisi daripada pengetahuan dari hakim. Dalam praktik peradilan,

kadangkala teori ini dipergunakan hakim di mana pertimbangan akan

pertimbangan yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan

dalam perkara perdata;

3. Teori Pendekatan Keilmuan, adalah titik tolak dari teori ini adalah

pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara

sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya

dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi

dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam

peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh

semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus

dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan

keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus

diputuskan;

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

14

4. Teori Pendekatan Pengalaman, dimana pengalaman dari seorang

hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi

perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan

penagalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui

bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara

pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat;

5. Teori Ratio Decidendi, dalam teori penjatuhan pidana diatas, dikenal

pula suatu teori yang disebut teori ratio decidendi. Teori ini

didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok

perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan Perundang-

undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan

sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta

mempertimbangkan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas

untuk menegakkan hokum dan memberikan keadilan bagi para pihak

yang berperkara;

6. Teori Kebijaksanaan, landasan dalam teori ini menekankan rasa cinta

terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan yang

harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnay aspek teori ini

menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua,

ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

15

melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi

keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.10

Menurut penulis, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap

pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan

segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:

a. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu

kejahatan yang dilakukan yang dilakukan oleh pelakunya;

b. Sebagai upaya refresif agar penjatuhan pidana membuat

pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana

dikemudian hari;

c. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan

tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;

d. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyipaki suatu

kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya

nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan

masyarakat.

2.1.4. Jenis-jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana

Dalam hukum pidana, ada dua jenis putusan hakim yang dikenal

selama ini, yaitu yang pertama putusan sela dan yang kedua putusan akhir.

1. Putusan Sela

10

Ibid

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

16

Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai

surat dakwaan penuntut umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar

atau kerangka pemerikasaan terhadap terdakwa disuatu persidangan.

Terdakwa hanya dapat diperiksa, dipersalahkan, dan dikenakan pidana

atas Pasal yang didakwakan hanya dapat yang didakwakan oleh

penuntut umum, dalam arti hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada terdakwa di luar dari Pasal yang didakwakan tersebut.

Terhadap surat dakwaan penuntut umum tersebut, ada hak secara

yuridis dari terdakwa atau penasihat terdakwa untuk mengajukan

keberatan (eksepsi), dimana dalam praktik persidangan biasanya

eksepsi yang diajukan meliputi eksepsi pengadilan tidak berwenang

mengadili (exeptie onbevoegheld) baik absolute maupun yang relative,

eksepsi dakwaan tidak dapat diterima, eksepsi pada yang didakwakan

bukan merupakan tindak pidana, eksepsi terhadap perkara yang nebis

in idem, eksepsi terhadap perkara telah kadaluarsa, eksepsi bahwa apa

yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang

dilakukan, eksepsi surat dakwaan kabur (obscure libel), eksepsi

dakwaan tidak lengkap, ataupun eksepsi dakwaan error in person.11

Sebagaimana ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat

berupa antara lain sebagai berikut:

11

Ibid.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

17

a. Menyatakan keberatan (eksepsi) diterima, apabila keberatan

(eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum terdakwa, maka

pemeriksaan terhadap pokok bergantung kepada jenis eksepsi

mana diterima oleh hakim, jika eksepsi terdakwa yang diterima

mengenai kewenangan relative, maka perkara tersebut

dikembalikan kepada penuntut umum untuk dilimpahkan kembali

ke wilayah Pengadilan Negeri yang berwenang mengadilinya.

b. Menyatakan keberatan (eksepsi) tidak dapat diterima, apabila

dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan dari

terdakwa atau penasihat hokum terdakwa, dinyatakan tidak dapat

diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus

setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan

penuntut umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143

ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan persidangan dapat dilanjutkan

untuk pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2)

KUHAP).

2. Putusan Akhir, setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim,

maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan

memberikan penyelesaianpada suatu perkara yang terjadi antara Negara

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

18

dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai

putusan akhir.12

Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat

dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Putusan bebas (vrijspraak), adalah putusan yang dijatuhkan oleh

hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana

yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang

diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa dipersidangan,

ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan,

tidak ditemukannya adanya bukti-bukti yang menyatakan bahwa

terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka

kepada terdakwa haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak sebagaiman dakwaan penuntut umum;

b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle

recht vervolging), putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan

dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata

terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, tetapi diketahui

bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan

12

Ibid.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

19

oleh karena itu terhadap terdakwa akan dianyatakan lepas dari

segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP);13

c. Putusan Pemindanaan, dalam hal terdakwa telah terbukti secara

sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap

terdakwa harus dipatuhi pidana yang setimpal dengan tindak

pidana yang dilakukannya.

2.2. Pengertian Narkoba

Narkoba merupakan singkatan dari narkotik dan obat-obatan berbahaya

yang sering diartikan NAZA (narkotik, alcohol, dan zat adiktif) atau Napza

(narkotik, alcohol psikotropika, dan zat adiktif lainnya). Definisi narkoba antara

lain sebgai berikut:

1. Narkotik

Narkotik adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangai sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan bagi

pemakainya (UU RI NO.22/1997). Narkotika digolongkan menjadi 3

golongan, yakni:

a. Narkotik Alami adalah narkotik yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan,

yaitu opium, ganja, dan kokain;

13

Ibid.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

20

b. Narkotik sintesis adalah narkotik yang bukan dihasilkan dari tumbuhan

melainkan diolah secara kimia, yaitu morfin, heroin, dan methadone.14

2. Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat alamiah maupun sintesis bukan

narkotiks, yang berkhasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan

syarap pusat (SSP) yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental

dari perilaku. Obat-obat psikotripika dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:

a. Psikotropika golongan 1: psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan

pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat;

b. Psikotropika golongan II: psikotropika yang berkhasiat terapi, tetapi dapat

menimbulkan ketergantungan;

c. Psikotropika golongan III: psikotropika dengan efek ketergantungannya

sedang dari kelompok hipnotik sedative;

d. Psikotropika golongan IV: psikotropika yang efek ketergantungannya

ringan.

3. Zat-zat Adiktif

Zat-zat adiktif, yaitu yang dapat memengaruhi pikiran, suasana hati

dan perilaku seseorang, namun tidak tergolong dalam narkotik maupun obat-

14

Yusuf Apandi. Katakan Tidak Pada Narkoba. Bandung. Simbiosa Rekatama Media,2010, hlm.8 dan

9.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

21

obatan psikotropika, serta berpotensi menimbulkan ketergantungan. Yang

termasuk zat adiktif antara lain sebagai berikut:15

a. Alkohol adalah cairan yang dihasilkan dari proses permentasi (peragian)

oleh mikro organism (selragi) dari gula, sari buah, umbi-umbian, madu,

dan getah kaktus tertentu;

b. Solvent, sering disebut dengan uap gas. Biasa digunakan dengan cara

dihisap melalui hidung (inhale). Inhalansia merupakan zat yang mudah

menguap yang terkandung dalam barang-barang yang sering kita

digunakan sehari-hari, seperti lem, thiner, spirtus, tip-x (cairan penghapus)

semir sepatu, cat pilox, Freon, dan bensin.

Kebijakan kriminalisasi menurut konveksi FBB bahwa narkotika agar

dijadikan/ditetapkan sebagai suatu tindak pidana perbuatan sebagai berikut:

“mengubah atau mengalihkan/mentrasfer kekayaan, yang dikethuinya berasal dari

keikutsertaan melakukan tindak pidana itu, untuk tujuan menyembunyikan asal-

usul yang gelap dari kekayaan itu atau untuk tujuan membantu seseorang

menghindari akibat-akibat hukum dari keterlibatannya melakukan tindak pidana

itu”.

2.3. Faktor penyebab penyalahgunaan narkoba

Beberapa faktor penyebab penyalahgunaan narkoba meliputi:

2.3.1. Faktor zat atau obat itu sendiri

Adapun faktor zat atau obat itu sendiri antara lain sebagai berikut:

15

Ibid.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

22

a. Secara psikologis tidak dapat hidup normal tanpa zat narkoba dalam

tubuh;

b. Secara fisik kesakitan/tidak nyaman apabila dalam tubuhnya tidak ada

narkoba;

c. Secara psikis merasa nikmat apabila tubuhnya telah terisi zat-zat yang

terkandung dalam narkoba;16

d. Zat-zat narkoba member rasa nikmat, mendorong pemakaian berulang

denga bertambahnya dosis.

2.3.2. Faktor ivdividu

a. Harga diri dan citra diri yang rendah;

b. Pelarian dari suatu masalah;

c. Pergaulan dalam lingkungan kelompok sebaya yang salah satu atau

beberapa anggotanya menjadi pengguna atau pengedar gelap narkoba;

d. Salah satu atau beberapa orang tua atau keluarga menjadi penyalahguna

atau pengedar gelap narkoba;

e. Haus akan penerimaan, pengakuan, kasih saying.

f. Kebutuhan akan gengsi social;

g. Tidak ingin disebut terbelakang atau kuno;

h. Bergaya hidup modern;

i. Coba-coba/iseng/pensaran;

j. Pengertian yang salah bahwa sekali-sekali tidak masalah;

16

Ibid.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

23

k. Tidak berani/tidak berkata TIDAK terahadap/iming-iming.17

2.3.3. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan pernyalahgunaan narkoba

meliputi antara lain:

a. Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan media sosialisasi yang pertama dan yang utama

(sosialisasi primer). Dalam melakukan sosialisasi, keluarga dapat

membentuk kepribadian anak menjadi baik atau sebaliknya kurang baik.

Baik buruknya kepribadian anak banyak ditentukan oleh ada atau tidaknya

keharmonisan hubungan antar anggota keluarga. Keadaan keluarga yang

dapat mendorong anak berperilaku menyimpang antara lain:

a) Kurangnya perhatian orang tua;

b) Katidaklengkapan orang tua dalam keluarga (single parent);

c) Sikap orang tua selalu keras;

d) Sikap orang tua yang masa bodoh;

e) Sikap orang tua yang selalu memanjakan anaknya.

b. Lingkungan sosial

Timbulnya masalah dalam tata nilai kehidupan sosial akibat dari

pembangunan yang pesat dikota-kota besar, mempunyai pengaruh pada

sikap dan perilaku masyarakat dilingkungan sendiri maupun ingkungan

17

Ibid.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

24

luar. Pada aris besarnya faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi

dan penyebab penyalahgunaan narkoba antara lain:

a) Kurangnya penyaluran bakat dan tenaga kerja para remaja secara

teratur dan terarah terhadap kegiatan-kegiatan yang bermanfaat;18

b) Menurunnya wibawa orang tua, guru, pemuka masyarakat dan petugas

keamanan;

c) Adanya kemerosotan moral, mental dan imam dari orang-orang

dewasa;

d) Adanya kelemahan dari aparatur Negara dalam dal pengawasan

terhadap peredaran barang-barang terlarang.

c. Lingkungan budaya luar

Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat di

Indonesia terutama teknologi komuniksi telah membuat pengaruh budaya

asing yang negative masuk ke Indonesia, contohnya budaya penggunaan

narkoba dan free sex yang bisa dilakukan oleh sebagian masyarakat di

Negeri-negeri maju ditiru oleh sebagian masyarakat Indonesia.

2.3.4. Faktor ekonomi

Adanya kemiskinan ditengah kemewahan masyarakat kota besar

telah mendorong sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan

18

Ibid.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

25

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara memperjualbelikan

narkoba yang memang harganya sangat mahal.19

2.4. Narkotika Dalam Presfektif Hukum Positif

Narkotika memang memilki dua sisi yang sangat antagonis.

Pertama,narkotika dapat member manfaat besar bagi kepentingan hidup dengan

beberapa ketentuan. Kedua, narkotika dapat membahayakan pemakainya karena

efek negatif yang diskruktif.

2.4.1. Perbuatan-perbuatan yang dilarang

Secara yuridis formal terdapat beberap perbuatan terlarang yang

berkaitan dengan masalah narkotika yaitu sebagai berikut:

a. Pasal 23 UU NO. 9 tahun 1976

(1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai

dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau mengusai tanaman

papaver, tanaman koka atau tanaman ganja;

(2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengektraksi,

mengkonversi, meracik, atau menyediakan narkotika;

(3) Dilarang secara tanpa hak memilki, menyimpan untuk memiliki,

menyimpan untuk memiliki atau menguasai narkotika;

(4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkat, atau

mentransito narkotika;

19

Ibid.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

26

(5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor menawarkan

untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,

menerima, menjadi perantara dakam jual beli atau menukar

narkotika;20

(6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang

lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain;

(7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya

sendiri.

b. Pasal 24 UU NO. 9 tahun 1976

Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk

pengobatan dilarang.

2.4.2. Pengaturan pidana

Dalam Undang-undang No. 9 tahun 1976 mengatur pidana secara

lengkap dan terinci. Rincian pidana tersebut meliputi pelaku perbuatan

pidana, perbuatan percobaan, perbuatan-perbuatan penyertaan dan

pemberatan. Disamping itu diatur pidana bagi para pelaku yang memiliki

profesi khusus seperti dokter, apoteker, nahkoda, dan lembaga/badan-badan

hukum yang bergerak dibidang profesi tersebut.21

2.5. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Penyalahgunaan Narkotika

20

Sudarsono. Op.cit, hlm. 68. 21

Ibid.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

27

Berdasarkan Undang-Undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika,

penyalahgunaan narkotika dikategorikan/klasifikasi ke dalam 3 (tiga) pengertian

yaitu:

2.5.1. Pengguna narkotika

Pengguna narkotika adalah orang yang mengggunakan narkotika

dengan atau tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sedang orang yang

menyalahgunakan narkotika sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (14)

Undang-undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah orang yang

menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dokter.

2.5.2. Pengedar

Pengedar adalah orang yang melakukan kegiatan atau serangkaian

kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang

ditetapkan sebagai tindak pidana Narkoba (pasal 1 ayat (5).

2.5.3. Produksi

Dalam hal produksi Narkoba untuk keperluan medis dan ilmu

pengetahuan Menteri Kesehatan member izin khusus untuk memproduksi

narkotika kepada pabrik obat tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.22

22

Mohamad Hatta. Kebijakan Politik Kriminal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2010, hlm 106-108

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

28

2.6. Dampak yang Ditimbulkan Akibat Penyalahgunaan Narkotika

Adapaun bahaya yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan Narkoba

dapat di rinci kehidupan beriku.

1. Ganguan kehidupan sosial

a. Gangguan terhadap perilaku yang normal, munculnya keinginan untuk

mencuri/bercerai/melukai orang lain;

b. Gangguan terhadap prestasi sekolah/kuliah/kerja;

c. Gangguan terhadap keinginan yang lebih besar lagi dalam menggunakan

narkoba;

d. Gangguan terhadap hubungan dengan teman/suami/istri;

2. Terhadap kondisi fisik:

a. Akibat tidak langsung: gangguan malnutrisi, aborsi, kerusakan gigi,

penyakit kelamin, dan gejala stroke;

b. Akibat zat itu sendiri, ganguan impotensi,, konstipasi kronis, perporasi

sekat hidung, dan pendarahan otak.

c. akibat alat yang tidak steril; berbagai infeksi, berjangkitanya hepatitis dan

HIV atau AIDS.

3. Terhadap mental, emosional dan perilaku;

a. Gangguan persepsi dan daya pikir;

b. Munculnya sindrom amotivasional;

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

29

c. Timbulnya perilaku yang tidak wajar;23

2.7. Pengertian Hukum Acara Pidana

Menurut Wirjono Prodjodikoro24

hukum acara pidana berhubungan erat

dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang

berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna

mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.

Menurut Moeltjatno25

hokum acara pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang memberi dasar-dasar, dan

aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman

pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada

sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.

Adapun dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam hokum acara

pidana yaitu :

a) Fungsi hukum acara pidana adalah untuk melaksanakan ketentuan-

ketentuan hukum pidana;

b) Hukum acara pidana diperlukan apabila ada sangkaan bahwa orang atau

orang-orang telah melanggar larangan-larangan hukum pidana.

23

Ibid. 24

Anang Priyanto. Hukum Acara Pinada Indonesia. Yogyakarta, Ombak, 2012,hlm. 1dan 2. 25

Ibid. hlm. 2

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

30

2.8. Aparatur Peradilan Pidana Sebagai Sarana Kontrol

Kewenangan yang diberikan hukum terhadap administrasi peradilan

pidana senantiasa bersentuhan dengan hak pribadi manusia. Peradilan pidana

memiliki tanggungjawab terhadap masyarakat mengenai realisasi tugas yang

direfleksikan melalui system bertingkat yaitu lembaga (atasan) pada tingkat lebih

tinggi melaksanakan control terhadap lembaga (bawahan) yang ada dibawahnya.

Prestasi kerja dinilai melalui hasil, pelaksanaan kebijakan dan norma

kelembagaan. Pada tingkat ini, benturan kepentingan antara Profesionalisme dan

ketaatan pada system atau atasan tidak dapat dihindarkan. Misalnya, dalam

melaksanakan tugas penyidikan polisi, mengalami tekanan atasan untuk

penyelesaian perkara tertentu. Alternative lain adanya tawaran yang sulit ditolak

dating dari tersangka, dari orang yang memiliki kedekatan atau hubungan

tertentu. Timbulnya konflik kepentingan dan pilihan tugas, antara melaksanakan

“perintah” atau bertindak “Profesional”, dengan menerima tawaran tidak dapat

dihindarkan.

Penyidik menggunakan Otoritas dan kekuasaan, kemudian menjadi

pilihan yang banyak digunakan yaitu “kemampuan menyelesaikan secara paksa

berbagai persoalan”. Bahasa umum yang digunakan dalam Prosedur ini adalah

saya akan berusaha membantu anda sedapat mungkin, paksa dulu, bukti

belakangan, kita punya kemampuan, kita sudah biasa perkara seperti ini, dan lain

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

31

sebagainya. Tehnik ini dinilai efektif dan sering digunakan dilembaga lain selain

kepolisian dalam mekanisme peradilan.

Di kejakasaan, setiap perkara yang di tugaskan kepada seorang kepada

jaksa yang meiliki beban sangat berat, baik pisikologis, organisatoris ataupun

yurudis. Jaksa harus memenangkan setiap perkara yang di tanganinya, hal itu

berkolerasi dengan hukuman dan imbalan (punish and rewad) yang akan di

peroleh, kemenangan merupakan ukuran sukses atau tidaknya karir jaksa.26

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut, salah

satuhnya adanya hubungan “compliance” yang memiliki Sembilan sifat, yaitu:

1. Koersif-alienatif, para bawahan merasa diri tersaing karena ada tekanan dari

atasan.

2. Koersif-kualitatif, bawahan terlihat secara moral karena ada tekanan dari

atasan .

3. Koersif-moral, bawahan terlibat secara moral karena ada tekanan dari atasan.

4. Remunerative-alienatif, bawahan merasa tersaing karena ada gajaran dari

atasan.

5. Remunerative-kalkulatif, jenis keterlibatan bawahan yang memperhitungkan

ganjaran dari atasan.

6. Remuniratif-moral, bawahan yang secara moral menerima ganjaran dari

atasan.

26

Anthon F.Susanto. Wajah Peradilan Kita, Bandung, PT Refika Aditama, 20o4, hlm.97 dan 98

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

32

7. Normative-alienatif, keterlibatan bawahan merasa tersaing karena ada norma-

norma tertentu dari atasan.

8. Normative-kalkulatif, keterlibatan bawahan yang memperhitungkan norma-

norma dari atasan.

9. Normative-moral, bawahan secara moral mengikuti norma-norma yang

bersumber dari atasan.27

Di pengadilan, pemeriksaan pidana berlangsung dalam konteks dan

relasi yang berpengaruh kuat terhadap pengambilan keputusan. Adanya perkara

titipan (dari hakim lain) atau instruksi khusus dari ketua pengadilan dan lembaga

lebih tinggi merupakan contoh kecil dari sekian banyak peristiwa yang patut kita

perhatikan.

Aparatur peradilan memeliki kesempatan untuk melakukan perbuatan

menghalalkan segala cara yang efeknya berupa kecenderungan tidak netral tidak

dapat di hindarkan. Pemeriksaan menunjuk pada pelayanan status dan biasanya

memihak status yang lebih tinggi atau lebih berbobot materinya di bandingkan

status lebih rendah dan kering bobot materinya. Orientasi pada status ini berbau

feodalisme dan secara tidak langsung ikut menciptkan kelas atau kasta dalam

peradilan pidana. Perilaku demikian merupakan sikap diskriminatif dan akhirnya

melahirkan perlakuan berbeda terhadap segmen masyarakat tertentu.

27

Ibid.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

33

Masyarakat yang membutuhkan keadilan, terutama mereka yang

memerlukan bantuan hukum, mengalami hal yang sama. Dunia advokasi

(kepengacaraan) ikut menciptakan situasi yang mengarah pada pembentukan

kelas sosial, melalui seleksi ketat terhadap perkara, pelayanan/fasilitas yang

ditentukan oleh kemampuan atau status klien. Singkatnya, ada seleksi kelas

(disadari atau tidak) dalam mekanisme peradilan pidana.28

Pelayanan keadilan yang di dasarkan status, kemampuan ekonomi,

kepentingan, pertemanan, dijalin berulang-ulang membentuk siklus bahkan kultur

( trend) penyelesaian perkara. Kemudian beberapa istilah misalnya pengacara bos

dan pengacara kere, kasus proyek dan kerja bakti sebagai pencerminan

fenomena diatas istilah tersebut bukan istilah baku namun sering muncul dalam

senda gurau atau jokes (lelucon) praktisi peradilan, hakim, jaksa bahkan

tersangka.

Sikap diskriminatif tidak terlihat dipermukaan terutama dalam tataran

norma (undang-undang ), namun bias dipahami dengan melihat prilaku dan

tindakan apartur melalui konteks (relasi dan interaksi) tahapan pemeriksaan.

Kepolisian dan kejaksaan dapat menggunakan ancaman dalam berbagai bentuk (

pisikis maupun fisik ) terhadap tersangka atau mereka yang diperiksa ditingkat

penyidikan.dimulai dari pemanggilan pencantuman sebagai terdakwa, Tanya

jawab disertai bentakan, waktu pemeriksaan yang molor dan berlarut-larut sampai

28

Ibid.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

34

kepada kewenangan untuk melakukan penahanan, bahkan rekayasa perkara. Sulit

membedakan yang seharusnya dengan sesuatu yang pasti, enteraksi tatap muka

melalui surat panggilan ( perintah ) resmi memberikan keuntungan efektif bagi

kinerja, membentuk image bahwa tahap penyidikan merupkan tindakan aparatur

dibelakang meja ( kepolisian atau kejaksaan ). Kepolisian atau kejaksaan ( polisi

atau jaksa ) melihat perilaku yang disiidik terbuka sedemikian rupa, memberikan

peluang untuk melakukan berbagai tindakan, mempengaruhi tersangka mengusai

dan memutar balikkan fakta selama mereka diperiksa. Sementara yang di sidik

akan selalu berada pada posisi tertekan. Kondisi demikan sangat ditentukan oleh

kemampuan tersangka ( dan kuasa hukumnya) untuk menyesuaikan diri,

kedudukan hubungan baik dan tingkat ekonomi.29

Hal yang

serupa terjadi pula dikejaksaan. Namun sedikit berbeda di tunjukan dipengadilan

karena sifatnya lebih terbuka (public bias melihat secara langsung) sehingga

perlakuan tertentu terhadap tersangka / terdakwa (dengan atau tanpa kuasa

hukum) berlangsung lebih halus. Komunikasi antara hakim, jaksa, dan

pengancara akan menentukan nasib tersangka namaun secara keseluruhan

ditentukan dibelakang layar.

Pada posisi itu, control dibentuk melalui image tertentu peradilan pidana

mengontrol dan memanfaatkan (memfungsikan) image tersebut untuk

kepentingan tugas mereka penjahat atau bukan ditentuka melalui konteks (relasi

29

Ibid.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Umum tentang Hakimeprints.ung.ac.id/835/6/2013-2-74201-271409144-bab2-09012014092946.pdf · yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili,

35

dan interaksi). Kejahatan diskontruksi. Kepolisian,kejaksaan, dan pengadilan

rangkaian (proses) konsturksi membangun bagi kejahatan. Menurut Richard

Quinney, pandangan realitas sosial mengenai kejahatan ( the social reality of the

crime) diformulasikan oleh hal-hal berikut:

1. Crime as a legal definition of human conduct is created by agent of the

dominant class in a politically organized society;

2. Definition of crime are composed of behavior that conflict with the interest of

the dominant class;

3. Definition of crime are applied by the class that has power to shape the

enforcement and administration of the criminal law;

4. Behavior patterns are structured in relation to definitions of the crime and

within this context people engage in actions that have relative probabilities

of the being defined as criminal;

5. An ideology of crime is constructed and diffused by the dominant class to

secure its hegemony;

6. The social realty of crime is constructed by the formulation and applications

of definitions of the crime, the development of behavior patterns in relation to

these definitions, and the construction of and ideology of crime.30

30

Ibid.