bab ii tinjauan pustaka 2.1.kajian umum tentang...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Kajian Umum tentang Hakim
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam undang-undang. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan
pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim merupakan pejabat peradilan Negara
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, mengadili disini
diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang
pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.4
2.1.1. Peranan hakim di Pengadilan
Soerjono Soekanto5 menyatakan peranan mempunyai arti perbuatan
seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan
oleh masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi
seseorang dalam suau kelompok sosial atau kedudukan berarti juga tempat
seseorang dalam suatu pola tertentu.
4 Fence M. Wantu. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi
Dalam Proses Peradilan Perdata. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hlm.20. 5 Ibid, hlm.24.
8
Peran yang melekat pada diri seseorang harus di bedakan dengan
kedudukan dalam pergaulan kemasyarakatan. Peran lebih menunjuk pada
fungsi atau tuugas penyesuaian diri sebagai suatu proses. Kedudukan
seseorang dalam masyarakat (Social Status) Merupakan unsur statis yang
menunjukan tempat makhluk hidup pada organisasi masyarakat.
Peranan hakim dalam melaksanakan kekusaan kehakiman diperlukan
untuk mengimplementasikan tugas yang diemban sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan. Peranan hakim memiliki keistimewaan dalam
masyarakat, hal ini karena hakim diberikan kewenangan istimewa dalam
peradilan yang tidak diberikan kepada jabatan manapun.
Athur L. Corbin6 mengemukakan sebagai berikut A jugde who is ready
to decide what is justice and for the public weal without any knowledge of
history and precedent is an egoist and an ignoranmus artinya seorang hakim
yang siap memutus atas nama keadilan kesejahteraan umum tanpa memiliki
pengetahuan tentang sejarah yurisprudensi adalah egois dan bersikap masa
bodoh.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Hakim dalam menyelesaikan perkara yag diajukan, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
6 Ibid, hlm.40
9
sehingga putusannya sesuai dengan rasa kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan hukum.
2.1.2. Proses Penjatuhan Putusan oleh Hakim
Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu
perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh Hakim tersebut. Proses
penjatuhan putusan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan
sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.
Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang Hakim harus meyakini
apakah seseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, atau
dalam perkara perdata, dengan tetap berpedoman dengan pembuktian
untuk menentukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh salah
satu pihak yang berperkara. Adapun putusan hakim dalam perkara pidana,
dapat berupa putusan penjatuhan pidana, jika perbuatan pelaku tindak
pidana terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari
tindak pidana (vrijspraak), dalam hal menurut hasil pemeriksaan
dipersidangan, kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(onslaag van alle rechtsvervolging), dalam hal perbuatan terdakwa
sebagaimana nyang didakwakan terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut
tidak merupakan suatu tindak pidana.7
7 Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta. Sinar
Grafika, 2010, hlm.94 dan 95.
10
Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh Hakim, dalam
perkara pidana menurut Moelyatno, dilakukan dalam beberapa tahapan,
yaitu sebagai berikut:
1. Tahapan Menganalisis Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Pada saat
hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan perbuatan
pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat yaitu
perbuatan segi tersebut daam rumusan suatu aturan pidana. Ditinjau
dari segi tersebut, tampak sebagai perbuatanyang merugikan atau yang
tidak patut dilakukan atau tidak. Jika perbuatan terdakwa memenui
unsur-unsur dalam suatu pasal hokum pidana, maka, terdakwa
dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan
kepadanya. Unsure dalam perbuatan pidana sebagaiman terdapat
dalam KUHP, dibedakan menjadi unsure umum dan unsure batasan
pengertian.
2. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana
Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan
perbuatan pidana melanggar suatu Pasal tertentu, hakim menganalisis
apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan
pidana ayng dilakukannya. Pada saat menyelidiki apakah terdakwa
11
yang melakukan perbuatan pidana dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannnya, yang dipandang primer adalah orang itu sendiri. Dapat
dipidanya seseorang harus memenuhi dua syarat, yaitu pertama,
perbuatan yang bersifat melawan hokum sebagai sendi perbuatan
pidana, dan yang kedua, perbuatan yang dilakukan itu dapat
dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan (asas geen straf
zonder schuld).
Menurut moelyatno, unsure-unsur pertanggungjawaban pidana
untuk membuktikan pidana untuk membuktikan adanya kesalahan
pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai
berikut:
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
b. Diatas umur tertentu dan mapu bertanggung jawab;
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan;
d. Tidak adanya alas an pemaaf.8
3. Tahap Penentuan Pemindanaan
Dalam hal ini jikalau hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah
melakukan perbuatan yang melawan hokum, sehingga ia dinyatakan
bersalah atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu dapat
dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang
88
Ibid. hlm 96-100
12
dijatuhkan oleh hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tersebut, dengan melihat Pasal-pasal Undang-undang yang dilanggar
oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah
diatur dalam KUHP, dimana KUHP telah pemindaan maksimal yang
dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu.
2.1.3. Teori Penjatuhan Putusan
Menurut Mackenzia,9 ada beberapa teori atau pendekatan yang
dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan
putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
1. Teori Keseimbangan, adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
bersangkutan atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat,
kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak
penggugat dan pihak tergugat. Keseimbangan antara kepentingan dan
terdakwa dalam praktek umumnya dirumuskan dalam pertimbangan
mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan penjatuhan
pidana bagi terdakwa, dimana kepentingan masyarakat dirumuskan
dalam hal-hal yang meringankan. Pertimbangan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan tersebut, merupakan faktor yang
menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap
terdakwa (vide Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP);
9 Ibid. hlm.102-103
13
2. Teori Pendekatan Seni dan Intiusi, adalah penjatuhan putusan oleh
hakim merupakan diskresi atau kewenagan dari hakim. Sebagai
diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan dari hakim. Sebagai
diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan
keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana
atau dalam perkara perdata. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim
dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau
intuisi daripada pengetahuan dari hakim. Dalam praktik peradilan,
kadangkala teori ini dipergunakan hakim di mana pertimbangan akan
pertimbangan yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan
dalam perkara perdata;
3. Teori Pendekatan Keilmuan, adalah titik tolak dari teori ini adalah
pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara
sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya
dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi
dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam
peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh
semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus
dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan
keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskan;
14
4. Teori Pendekatan Pengalaman, dimana pengalaman dari seorang
hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi
perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan
penagalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui
bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara
pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat;
5. Teori Ratio Decidendi, dalam teori penjatuhan pidana diatas, dikenal
pula suatu teori yang disebut teori ratio decidendi. Teori ini
didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok
perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan Perundang-
undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan
sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta
mempertimbangkan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas
untuk menegakkan hokum dan memberikan keadilan bagi para pihak
yang berperkara;
6. Teori Kebijaksanaan, landasan dalam teori ini menekankan rasa cinta
terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan yang
harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnay aspek teori ini
menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua,
ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan
15
melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi
keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.10
Menurut penulis, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap
pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan
segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu
kejahatan yang dilakukan yang dilakukan oleh pelakunya;
b. Sebagai upaya refresif agar penjatuhan pidana membuat
pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana
dikemudian hari;
c. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan
tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;
d. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyipaki suatu
kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya
nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan
masyarakat.
2.1.4. Jenis-jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana
Dalam hukum pidana, ada dua jenis putusan hakim yang dikenal
selama ini, yaitu yang pertama putusan sela dan yang kedua putusan akhir.
1. Putusan Sela
10
Ibid
16
Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai
surat dakwaan penuntut umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar
atau kerangka pemerikasaan terhadap terdakwa disuatu persidangan.
Terdakwa hanya dapat diperiksa, dipersalahkan, dan dikenakan pidana
atas Pasal yang didakwakan hanya dapat yang didakwakan oleh
penuntut umum, dalam arti hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada terdakwa di luar dari Pasal yang didakwakan tersebut.
Terhadap surat dakwaan penuntut umum tersebut, ada hak secara
yuridis dari terdakwa atau penasihat terdakwa untuk mengajukan
keberatan (eksepsi), dimana dalam praktik persidangan biasanya
eksepsi yang diajukan meliputi eksepsi pengadilan tidak berwenang
mengadili (exeptie onbevoegheld) baik absolute maupun yang relative,
eksepsi dakwaan tidak dapat diterima, eksepsi pada yang didakwakan
bukan merupakan tindak pidana, eksepsi terhadap perkara yang nebis
in idem, eksepsi terhadap perkara telah kadaluarsa, eksepsi bahwa apa
yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukan, eksepsi surat dakwaan kabur (obscure libel), eksepsi
dakwaan tidak lengkap, ataupun eksepsi dakwaan error in person.11
Sebagaimana ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat
berupa antara lain sebagai berikut:
11
Ibid.
17
a. Menyatakan keberatan (eksepsi) diterima, apabila keberatan
(eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum terdakwa, maka
pemeriksaan terhadap pokok bergantung kepada jenis eksepsi
mana diterima oleh hakim, jika eksepsi terdakwa yang diterima
mengenai kewenangan relative, maka perkara tersebut
dikembalikan kepada penuntut umum untuk dilimpahkan kembali
ke wilayah Pengadilan Negeri yang berwenang mengadilinya.
b. Menyatakan keberatan (eksepsi) tidak dapat diterima, apabila
dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan dari
terdakwa atau penasihat hokum terdakwa, dinyatakan tidak dapat
diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus
setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan
penuntut umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143
ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan persidangan dapat dilanjutkan
untuk pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2)
KUHAP).
2. Putusan Akhir, setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim,
maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan
memberikan penyelesaianpada suatu perkara yang terjadi antara Negara
18
dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai
putusan akhir.12
Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat
dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
a. Putusan bebas (vrijspraak), adalah putusan yang dijatuhkan oleh
hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana
yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang
diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa dipersidangan,
ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan,
tidak ditemukannya adanya bukti-bukti yang menyatakan bahwa
terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka
kepada terdakwa haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak sebagaiman dakwaan penuntut umum;
b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle
recht vervolging), putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, tetapi diketahui
bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan
12
Ibid.
19
oleh karena itu terhadap terdakwa akan dianyatakan lepas dari
segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP);13
c. Putusan Pemindanaan, dalam hal terdakwa telah terbukti secara
sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap
terdakwa harus dipatuhi pidana yang setimpal dengan tindak
pidana yang dilakukannya.
2.2. Pengertian Narkoba
Narkoba merupakan singkatan dari narkotik dan obat-obatan berbahaya
yang sering diartikan NAZA (narkotik, alcohol, dan zat adiktif) atau Napza
(narkotik, alcohol psikotropika, dan zat adiktif lainnya). Definisi narkoba antara
lain sebgai berikut:
1. Narkotik
Narkotik adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangai sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan bagi
pemakainya (UU RI NO.22/1997). Narkotika digolongkan menjadi 3
golongan, yakni:
a. Narkotik Alami adalah narkotik yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan,
yaitu opium, ganja, dan kokain;
13
Ibid.
20
b. Narkotik sintesis adalah narkotik yang bukan dihasilkan dari tumbuhan
melainkan diolah secara kimia, yaitu morfin, heroin, dan methadone.14
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat alamiah maupun sintesis bukan
narkotiks, yang berkhasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan
syarap pusat (SSP) yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dari perilaku. Obat-obat psikotripika dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:
a. Psikotropika golongan 1: psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan
pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat;
b. Psikotropika golongan II: psikotropika yang berkhasiat terapi, tetapi dapat
menimbulkan ketergantungan;
c. Psikotropika golongan III: psikotropika dengan efek ketergantungannya
sedang dari kelompok hipnotik sedative;
d. Psikotropika golongan IV: psikotropika yang efek ketergantungannya
ringan.
3. Zat-zat Adiktif
Zat-zat adiktif, yaitu yang dapat memengaruhi pikiran, suasana hati
dan perilaku seseorang, namun tidak tergolong dalam narkotik maupun obat-
14
Yusuf Apandi. Katakan Tidak Pada Narkoba. Bandung. Simbiosa Rekatama Media,2010, hlm.8 dan
9.
21
obatan psikotropika, serta berpotensi menimbulkan ketergantungan. Yang
termasuk zat adiktif antara lain sebagai berikut:15
a. Alkohol adalah cairan yang dihasilkan dari proses permentasi (peragian)
oleh mikro organism (selragi) dari gula, sari buah, umbi-umbian, madu,
dan getah kaktus tertentu;
b. Solvent, sering disebut dengan uap gas. Biasa digunakan dengan cara
dihisap melalui hidung (inhale). Inhalansia merupakan zat yang mudah
menguap yang terkandung dalam barang-barang yang sering kita
digunakan sehari-hari, seperti lem, thiner, spirtus, tip-x (cairan penghapus)
semir sepatu, cat pilox, Freon, dan bensin.
Kebijakan kriminalisasi menurut konveksi FBB bahwa narkotika agar
dijadikan/ditetapkan sebagai suatu tindak pidana perbuatan sebagai berikut:
“mengubah atau mengalihkan/mentrasfer kekayaan, yang dikethuinya berasal dari
keikutsertaan melakukan tindak pidana itu, untuk tujuan menyembunyikan asal-
usul yang gelap dari kekayaan itu atau untuk tujuan membantu seseorang
menghindari akibat-akibat hukum dari keterlibatannya melakukan tindak pidana
itu”.
2.3. Faktor penyebab penyalahgunaan narkoba
Beberapa faktor penyebab penyalahgunaan narkoba meliputi:
2.3.1. Faktor zat atau obat itu sendiri
Adapun faktor zat atau obat itu sendiri antara lain sebagai berikut:
15
Ibid.
22
a. Secara psikologis tidak dapat hidup normal tanpa zat narkoba dalam
tubuh;
b. Secara fisik kesakitan/tidak nyaman apabila dalam tubuhnya tidak ada
narkoba;
c. Secara psikis merasa nikmat apabila tubuhnya telah terisi zat-zat yang
terkandung dalam narkoba;16
d. Zat-zat narkoba member rasa nikmat, mendorong pemakaian berulang
denga bertambahnya dosis.
2.3.2. Faktor ivdividu
a. Harga diri dan citra diri yang rendah;
b. Pelarian dari suatu masalah;
c. Pergaulan dalam lingkungan kelompok sebaya yang salah satu atau
beberapa anggotanya menjadi pengguna atau pengedar gelap narkoba;
d. Salah satu atau beberapa orang tua atau keluarga menjadi penyalahguna
atau pengedar gelap narkoba;
e. Haus akan penerimaan, pengakuan, kasih saying.
f. Kebutuhan akan gengsi social;
g. Tidak ingin disebut terbelakang atau kuno;
h. Bergaya hidup modern;
i. Coba-coba/iseng/pensaran;
j. Pengertian yang salah bahwa sekali-sekali tidak masalah;
16
Ibid.
23
k. Tidak berani/tidak berkata TIDAK terahadap/iming-iming.17
2.3.3. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan pernyalahgunaan narkoba
meliputi antara lain:
a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan media sosialisasi yang pertama dan yang utama
(sosialisasi primer). Dalam melakukan sosialisasi, keluarga dapat
membentuk kepribadian anak menjadi baik atau sebaliknya kurang baik.
Baik buruknya kepribadian anak banyak ditentukan oleh ada atau tidaknya
keharmonisan hubungan antar anggota keluarga. Keadaan keluarga yang
dapat mendorong anak berperilaku menyimpang antara lain:
a) Kurangnya perhatian orang tua;
b) Katidaklengkapan orang tua dalam keluarga (single parent);
c) Sikap orang tua selalu keras;
d) Sikap orang tua yang masa bodoh;
e) Sikap orang tua yang selalu memanjakan anaknya.
b. Lingkungan sosial
Timbulnya masalah dalam tata nilai kehidupan sosial akibat dari
pembangunan yang pesat dikota-kota besar, mempunyai pengaruh pada
sikap dan perilaku masyarakat dilingkungan sendiri maupun ingkungan
17
Ibid.
24
luar. Pada aris besarnya faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi
dan penyebab penyalahgunaan narkoba antara lain:
a) Kurangnya penyaluran bakat dan tenaga kerja para remaja secara
teratur dan terarah terhadap kegiatan-kegiatan yang bermanfaat;18
b) Menurunnya wibawa orang tua, guru, pemuka masyarakat dan petugas
keamanan;
c) Adanya kemerosotan moral, mental dan imam dari orang-orang
dewasa;
d) Adanya kelemahan dari aparatur Negara dalam dal pengawasan
terhadap peredaran barang-barang terlarang.
c. Lingkungan budaya luar
Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat di
Indonesia terutama teknologi komuniksi telah membuat pengaruh budaya
asing yang negative masuk ke Indonesia, contohnya budaya penggunaan
narkoba dan free sex yang bisa dilakukan oleh sebagian masyarakat di
Negeri-negeri maju ditiru oleh sebagian masyarakat Indonesia.
2.3.4. Faktor ekonomi
Adanya kemiskinan ditengah kemewahan masyarakat kota besar
telah mendorong sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan
18
Ibid.
25
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara memperjualbelikan
narkoba yang memang harganya sangat mahal.19
2.4. Narkotika Dalam Presfektif Hukum Positif
Narkotika memang memilki dua sisi yang sangat antagonis.
Pertama,narkotika dapat member manfaat besar bagi kepentingan hidup dengan
beberapa ketentuan. Kedua, narkotika dapat membahayakan pemakainya karena
efek negatif yang diskruktif.
2.4.1. Perbuatan-perbuatan yang dilarang
Secara yuridis formal terdapat beberap perbuatan terlarang yang
berkaitan dengan masalah narkotika yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 23 UU NO. 9 tahun 1976
(1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai
dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau mengusai tanaman
papaver, tanaman koka atau tanaman ganja;
(2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengektraksi,
mengkonversi, meracik, atau menyediakan narkotika;
(3) Dilarang secara tanpa hak memilki, menyimpan untuk memiliki,
menyimpan untuk memiliki atau menguasai narkotika;
(4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkat, atau
mentransito narkotika;
19
Ibid.
26
(5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor menawarkan
untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dakam jual beli atau menukar
narkotika;20
(6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang
lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain;
(7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya
sendiri.
b. Pasal 24 UU NO. 9 tahun 1976
Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk
pengobatan dilarang.
2.4.2. Pengaturan pidana
Dalam Undang-undang No. 9 tahun 1976 mengatur pidana secara
lengkap dan terinci. Rincian pidana tersebut meliputi pelaku perbuatan
pidana, perbuatan percobaan, perbuatan-perbuatan penyertaan dan
pemberatan. Disamping itu diatur pidana bagi para pelaku yang memiliki
profesi khusus seperti dokter, apoteker, nahkoda, dan lembaga/badan-badan
hukum yang bergerak dibidang profesi tersebut.21
2.5. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Penyalahgunaan Narkotika
20
Sudarsono. Op.cit, hlm. 68. 21
Ibid.
27
Berdasarkan Undang-Undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika,
penyalahgunaan narkotika dikategorikan/klasifikasi ke dalam 3 (tiga) pengertian
yaitu:
2.5.1. Pengguna narkotika
Pengguna narkotika adalah orang yang mengggunakan narkotika
dengan atau tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sedang orang yang
menyalahgunakan narkotika sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (14)
Undang-undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah orang yang
menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dokter.
2.5.2. Pengedar
Pengedar adalah orang yang melakukan kegiatan atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkoba (pasal 1 ayat (5).
2.5.3. Produksi
Dalam hal produksi Narkoba untuk keperluan medis dan ilmu
pengetahuan Menteri Kesehatan member izin khusus untuk memproduksi
narkotika kepada pabrik obat tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.22
22
Mohamad Hatta. Kebijakan Politik Kriminal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2010, hlm 106-108
28
2.6. Dampak yang Ditimbulkan Akibat Penyalahgunaan Narkotika
Adapaun bahaya yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan Narkoba
dapat di rinci kehidupan beriku.
1. Ganguan kehidupan sosial
a. Gangguan terhadap perilaku yang normal, munculnya keinginan untuk
mencuri/bercerai/melukai orang lain;
b. Gangguan terhadap prestasi sekolah/kuliah/kerja;
c. Gangguan terhadap keinginan yang lebih besar lagi dalam menggunakan
narkoba;
d. Gangguan terhadap hubungan dengan teman/suami/istri;
2. Terhadap kondisi fisik:
a. Akibat tidak langsung: gangguan malnutrisi, aborsi, kerusakan gigi,
penyakit kelamin, dan gejala stroke;
b. Akibat zat itu sendiri, ganguan impotensi,, konstipasi kronis, perporasi
sekat hidung, dan pendarahan otak.
c. akibat alat yang tidak steril; berbagai infeksi, berjangkitanya hepatitis dan
HIV atau AIDS.
3. Terhadap mental, emosional dan perilaku;
a. Gangguan persepsi dan daya pikir;
b. Munculnya sindrom amotivasional;
29
c. Timbulnya perilaku yang tidak wajar;23
2.7. Pengertian Hukum Acara Pidana
Menurut Wirjono Prodjodikoro24
hukum acara pidana berhubungan erat
dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang
berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna
mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.
Menurut Moeltjatno25
hokum acara pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang memberi dasar-dasar, dan
aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman
pidana yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada
sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.
Adapun dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam hokum acara
pidana yaitu :
a) Fungsi hukum acara pidana adalah untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan hukum pidana;
b) Hukum acara pidana diperlukan apabila ada sangkaan bahwa orang atau
orang-orang telah melanggar larangan-larangan hukum pidana.
23
Ibid. 24
Anang Priyanto. Hukum Acara Pinada Indonesia. Yogyakarta, Ombak, 2012,hlm. 1dan 2. 25
Ibid. hlm. 2
30
2.8. Aparatur Peradilan Pidana Sebagai Sarana Kontrol
Kewenangan yang diberikan hukum terhadap administrasi peradilan
pidana senantiasa bersentuhan dengan hak pribadi manusia. Peradilan pidana
memiliki tanggungjawab terhadap masyarakat mengenai realisasi tugas yang
direfleksikan melalui system bertingkat yaitu lembaga (atasan) pada tingkat lebih
tinggi melaksanakan control terhadap lembaga (bawahan) yang ada dibawahnya.
Prestasi kerja dinilai melalui hasil, pelaksanaan kebijakan dan norma
kelembagaan. Pada tingkat ini, benturan kepentingan antara Profesionalisme dan
ketaatan pada system atau atasan tidak dapat dihindarkan. Misalnya, dalam
melaksanakan tugas penyidikan polisi, mengalami tekanan atasan untuk
penyelesaian perkara tertentu. Alternative lain adanya tawaran yang sulit ditolak
dating dari tersangka, dari orang yang memiliki kedekatan atau hubungan
tertentu. Timbulnya konflik kepentingan dan pilihan tugas, antara melaksanakan
“perintah” atau bertindak “Profesional”, dengan menerima tawaran tidak dapat
dihindarkan.
Penyidik menggunakan Otoritas dan kekuasaan, kemudian menjadi
pilihan yang banyak digunakan yaitu “kemampuan menyelesaikan secara paksa
berbagai persoalan”. Bahasa umum yang digunakan dalam Prosedur ini adalah
saya akan berusaha membantu anda sedapat mungkin, paksa dulu, bukti
belakangan, kita punya kemampuan, kita sudah biasa perkara seperti ini, dan lain
31
sebagainya. Tehnik ini dinilai efektif dan sering digunakan dilembaga lain selain
kepolisian dalam mekanisme peradilan.
Di kejakasaan, setiap perkara yang di tugaskan kepada seorang kepada
jaksa yang meiliki beban sangat berat, baik pisikologis, organisatoris ataupun
yurudis. Jaksa harus memenangkan setiap perkara yang di tanganinya, hal itu
berkolerasi dengan hukuman dan imbalan (punish and rewad) yang akan di
peroleh, kemenangan merupakan ukuran sukses atau tidaknya karir jaksa.26
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut, salah
satuhnya adanya hubungan “compliance” yang memiliki Sembilan sifat, yaitu:
1. Koersif-alienatif, para bawahan merasa diri tersaing karena ada tekanan dari
atasan.
2. Koersif-kualitatif, bawahan terlihat secara moral karena ada tekanan dari
atasan .
3. Koersif-moral, bawahan terlibat secara moral karena ada tekanan dari atasan.
4. Remunerative-alienatif, bawahan merasa tersaing karena ada gajaran dari
atasan.
5. Remunerative-kalkulatif, jenis keterlibatan bawahan yang memperhitungkan
ganjaran dari atasan.
6. Remuniratif-moral, bawahan yang secara moral menerima ganjaran dari
atasan.
26
Anthon F.Susanto. Wajah Peradilan Kita, Bandung, PT Refika Aditama, 20o4, hlm.97 dan 98
32
7. Normative-alienatif, keterlibatan bawahan merasa tersaing karena ada norma-
norma tertentu dari atasan.
8. Normative-kalkulatif, keterlibatan bawahan yang memperhitungkan norma-
norma dari atasan.
9. Normative-moral, bawahan secara moral mengikuti norma-norma yang
bersumber dari atasan.27
Di pengadilan, pemeriksaan pidana berlangsung dalam konteks dan
relasi yang berpengaruh kuat terhadap pengambilan keputusan. Adanya perkara
titipan (dari hakim lain) atau instruksi khusus dari ketua pengadilan dan lembaga
lebih tinggi merupakan contoh kecil dari sekian banyak peristiwa yang patut kita
perhatikan.
Aparatur peradilan memeliki kesempatan untuk melakukan perbuatan
menghalalkan segala cara yang efeknya berupa kecenderungan tidak netral tidak
dapat di hindarkan. Pemeriksaan menunjuk pada pelayanan status dan biasanya
memihak status yang lebih tinggi atau lebih berbobot materinya di bandingkan
status lebih rendah dan kering bobot materinya. Orientasi pada status ini berbau
feodalisme dan secara tidak langsung ikut menciptkan kelas atau kasta dalam
peradilan pidana. Perilaku demikian merupakan sikap diskriminatif dan akhirnya
melahirkan perlakuan berbeda terhadap segmen masyarakat tertentu.
27
Ibid.
33
Masyarakat yang membutuhkan keadilan, terutama mereka yang
memerlukan bantuan hukum, mengalami hal yang sama. Dunia advokasi
(kepengacaraan) ikut menciptakan situasi yang mengarah pada pembentukan
kelas sosial, melalui seleksi ketat terhadap perkara, pelayanan/fasilitas yang
ditentukan oleh kemampuan atau status klien. Singkatnya, ada seleksi kelas
(disadari atau tidak) dalam mekanisme peradilan pidana.28
Pelayanan keadilan yang di dasarkan status, kemampuan ekonomi,
kepentingan, pertemanan, dijalin berulang-ulang membentuk siklus bahkan kultur
( trend) penyelesaian perkara. Kemudian beberapa istilah misalnya pengacara bos
dan pengacara kere, kasus proyek dan kerja bakti sebagai pencerminan
fenomena diatas istilah tersebut bukan istilah baku namun sering muncul dalam
senda gurau atau jokes (lelucon) praktisi peradilan, hakim, jaksa bahkan
tersangka.
Sikap diskriminatif tidak terlihat dipermukaan terutama dalam tataran
norma (undang-undang ), namun bias dipahami dengan melihat prilaku dan
tindakan apartur melalui konteks (relasi dan interaksi) tahapan pemeriksaan.
Kepolisian dan kejaksaan dapat menggunakan ancaman dalam berbagai bentuk (
pisikis maupun fisik ) terhadap tersangka atau mereka yang diperiksa ditingkat
penyidikan.dimulai dari pemanggilan pencantuman sebagai terdakwa, Tanya
jawab disertai bentakan, waktu pemeriksaan yang molor dan berlarut-larut sampai
28
Ibid.
34
kepada kewenangan untuk melakukan penahanan, bahkan rekayasa perkara. Sulit
membedakan yang seharusnya dengan sesuatu yang pasti, enteraksi tatap muka
melalui surat panggilan ( perintah ) resmi memberikan keuntungan efektif bagi
kinerja, membentuk image bahwa tahap penyidikan merupkan tindakan aparatur
dibelakang meja ( kepolisian atau kejaksaan ). Kepolisian atau kejaksaan ( polisi
atau jaksa ) melihat perilaku yang disiidik terbuka sedemikian rupa, memberikan
peluang untuk melakukan berbagai tindakan, mempengaruhi tersangka mengusai
dan memutar balikkan fakta selama mereka diperiksa. Sementara yang di sidik
akan selalu berada pada posisi tertekan. Kondisi demikan sangat ditentukan oleh
kemampuan tersangka ( dan kuasa hukumnya) untuk menyesuaikan diri,
kedudukan hubungan baik dan tingkat ekonomi.29
Hal yang
serupa terjadi pula dikejaksaan. Namun sedikit berbeda di tunjukan dipengadilan
karena sifatnya lebih terbuka (public bias melihat secara langsung) sehingga
perlakuan tertentu terhadap tersangka / terdakwa (dengan atau tanpa kuasa
hukum) berlangsung lebih halus. Komunikasi antara hakim, jaksa, dan
pengancara akan menentukan nasib tersangka namaun secara keseluruhan
ditentukan dibelakang layar.
Pada posisi itu, control dibentuk melalui image tertentu peradilan pidana
mengontrol dan memanfaatkan (memfungsikan) image tersebut untuk
kepentingan tugas mereka penjahat atau bukan ditentuka melalui konteks (relasi
29
Ibid.
35
dan interaksi). Kejahatan diskontruksi. Kepolisian,kejaksaan, dan pengadilan
rangkaian (proses) konsturksi membangun bagi kejahatan. Menurut Richard
Quinney, pandangan realitas sosial mengenai kejahatan ( the social reality of the
crime) diformulasikan oleh hal-hal berikut:
1. Crime as a legal definition of human conduct is created by agent of the
dominant class in a politically organized society;
2. Definition of crime are composed of behavior that conflict with the interest of
the dominant class;
3. Definition of crime are applied by the class that has power to shape the
enforcement and administration of the criminal law;
4. Behavior patterns are structured in relation to definitions of the crime and
within this context people engage in actions that have relative probabilities
of the being defined as criminal;
5. An ideology of crime is constructed and diffused by the dominant class to
secure its hegemony;
6. The social realty of crime is constructed by the formulation and applications
of definitions of the crime, the development of behavior patterns in relation to
these definitions, and the construction of and ideology of crime.30
30
Ibid.