undang-undang malpraktek

Upload: eleonora-bandu-patabang

Post on 16-Oct-2015

134 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

kasus malpraktek

TRANSCRIPT

TUGAS PRESENTASI UNDANG UNDANG

TUGAS PRESENTASI UNDANG - UNDANG

KASUS MALPRAKTIK KEDOKTERAN

PENYUSUN:1. Shella Elisabeth Nyaw (11.2012.149)2. Eleonora Rumande Bandu (11.2013.046)3. Willy Pelano (11.2012.078)4. Adlina Sharfi ( 030.08.008 )PEMBIMBING:

Dr. Wawan S., Sp. BS

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA Dr. ERNAWAN ANTARIKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI DAN UKRIDA

2014BAB I

PENDAHULUANSaat ini semakin banyak kasus malpraktek yang diadukan oleh pihak pasien kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Hal ini seiring dengan majunya sarana informasi yang dapat dijadikan sumber pengetahuan ataupun perbandingan oleh pasien. Malpraktik yang diadukan oleh keluarga pasien sebagian besar diduga karena ada kelalaian dari pihak dokter sehingga pasien mengalami kerugian berupa keadaan kesehatannya yang memburuk bahkan sampai menyebabkan kematian.

Dugaan malpraktek kedokteran harus mendapatkan prioritas penanganan lebih saat ini. Tingginya kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter, memaksa pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan perlindungan kepada masyarakat selaku pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang - undang serta sanksi - sanksi hukum yang tegas. Dahulu profesi kedokteran sering dianggap sebagai sebuah profesi yang terkesan terisolir dan tidak pernah mendapat sentuhan hukum sama sekali. Namun doktrin - doktrin usang tersebut kini seakan tidak berlaku lagi karena menurut hukum, tidak terdapat suatu tingkat superiositas kelas di dalam masyarakat, semua dianggap sama dihadapan hukum (equality before the law). Dalam menjalankan rangkaian diagnosa (menentukan kriteria penyakit serta obat yang harus dipergunakan oleh pasien), seorang dokter dituntut untuk selalu berhati - hati, karena satu insiden pelanggaran medis saja mampu menimbulkan kerugian fisik hingga resiko hilangnya nyawa pasien. Dalam hal seperti inilah seirngkali dokter terjebak dalam problematika medis. Semua itu harus disesuaikan dengan standard operasional prosedur yang telah digariskan oleh organisasi profesi kedokteran. Karena sebagai seorang pekerja profesional tidak dibenarkan memiliki suatu sikap batin yang ceroboh mengenai standar profesinya sendiri. Sikap batin seperti demikianlah yang sangat berbahaya serta dapat mengancam kelangsungan kesehatan pasien.

BAB II.

URAIAN KASUS

Dugaan Malpraktek, Kain Kasa Tertinggal di Dalam Tubuh Arizal Surabaya - Tak pernah terpikirkan di benak Arizal Fahri (29). Pasca kecelakaan tunggal 2 tahun silam, warga Jemur Handayani ini terpaksa harus operasi cangkok otot di bahu kiri. Operasi yang memakan biaya Rp 10 juta itu nyatanya menyisakan kain kasa bersarang di rongga bawah ketiak Arizal.

Pasca operasi cangkok otot bahu kiri di RSU dr Soetomo September 2011, Arizal harus dirawat selama 7 bulan. Saat dipulangkan, Arizal mulai merasakan nyeri di dada sebelah kiri. Selama 2-3 hari kemudian, bekas luka operasi justru membengkak dan mengeluarkan nanah kuning yang menimbulkan bau menyengat.

"Setiap hari nanahnya merembes, keluar dari luka bekas operasi. Adik saya itu kemudian saya bawa kontrol ke poli di RSU Dr Soetomo, cuma dibersihkan nanahnya," kata Ifa Hadyah (32), kakak korban saat ditemui di IRD RSU Dr Soetomo, Kamis (20/6/2013).Setelah dibersihkan, lanjut dia, nanah itu tak berhenti keluar. Meski tidak dalam jumlah banyak, namun nanah kuning yang merembes itu juga menimbulkan nyeri yang luar biasa. "Adik saya tidak bisa beraktivitas, tidur pun tidak nyaman," tambah dia.Dengan sedikit putus asa, Arizal masih menguatkan diri. Arizal selama 1 tahun pasca operasi masih berupaya kontrol ke poli RSU dr Soetomo. Selama itu pula, nanah yang keluar dari bekas luka operasi itu hanya dibersihkan.Terakhir, Arizal kontrol pada 2 Oktober 2012. Kala itu, Ifa kakak Arizal tidak tega melihat kondisi adiknya. Dengan kondisi tubuh lemah dan kesakitan, Arizal kala itu harus melakukan kontrol 2-3 kali dalam seminggu.Selama 1 tahun berikutnya, Ifa memperlakukan Arizal seperti biasanya. Nanah yang terus merembes dari bekas luka operasi dibersihkan secara manual dengan kapas. Sesekali, darah juga ikut merembes bersamaan dengan keluarnya nanah. Ifa tercengang, namun tak bisa berbuat apa-apa.

Baru 2 hari yang lalu, saat Ifa membasuh bekas luka operasi di dada kiri Arizal, Ifa terkejut. Di bawah ketiak kiri Arizal (masih area bekas lokasi), muncul sehelai benang. Setelah ditarik sedikit demi sedikit, benang itu nyatanya berbentuk kasa steril.

"Saya juga kaget. Benang itu ditarik sedikit demi sedikit, kok banyak, sudah seukuran tisu yang keluar, mirip kasa. Langsung saya bawa ke RSU Dr Soetomo lagi kemarin Rabu (19/6/2013) pukul 11 siang," cerita Ifa. Ifa tak habis pikir, bagaimana bisa kain kasa bersarang di rongga bawah ketiak kiri adiknya. Pantas saja selama ini adiknya kesakitan dan tidak bisa beraktivitas pasca operasi cangkok otot.

Kini, Arizal telah dioperasi pengangkatan kasa steril dari dalam rongga bawah ketiak kiri. Ifa ingin pihak dokter menunjukkan bukti bahwa kasa steril itu telah diangkat dari dalam tubuh adiknya.Diduga melakukan malpraktek kepada Arizal, RSU Dr Soetomo dituntut ganti rugi sebesar Rp 10 Miliar. Tuntutan tersebut dinilai setara dengan penderitaan Arizal selama dua tahun akibat operasi cangkok otot bahu kiri di RSU Dr Soetomo September 2011. Kita minta ganti rugi...

BAB III

ANALISIS MASALAH

I. ANALISIS MASALAH

Definisi :

Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Untuk malpraktek dokter dapat dikenai hukum kriminal dan hukum sipil1,2 . Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal:

(1) Tanggung jawab criminal

(2) Malpraktik secara etik

(3) Tanggung jawab sipil

(4) Tanggung jawab publik

Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan lima elemen : (1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan,

(3) kerugian yang ditimbulkan, (4) penyebabnya, dan (5) antisipasi yang dilakukan.

Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan bukti - bukti yang cukup dihadirkan di depan pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh (dokter atau rumah sakit) lalu memberikan bukti - bukti yang menyanggah tuduhan yang dikenakan kepadanya. Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap kasusnya itu tidaklah cukup. Namun, terdapat sanggahan - sanggahan yang dapat diterima yang dapat membuatnya lepas dari tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang dilakukan telah diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (resiko diketahui dengan informed consent / surat tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau melanggar pantangan - pantangan yang ada, atau

(3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter1,2. Penegakkan diagnosis tanpa bantuan pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini dianggap sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan contohnya saat dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini merupakan dasar dan alasan yang penting dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang berlaku. Pengadilan akan memberikan pengertian terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam menggunakan standar dan uji diagnostik yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah praktik kedokteran yang substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka badan hukum mulai menyelidiki tagihan - tagihan yang diberikan rumah sakit, dokter dan penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan seksama diberikan terhadap prosedur - prosedur yang tidak dapat dibenarkan secara medis, namun dikerjakan secara hati - hati baik sehingga dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang melecehkan tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan dan persetujuan dokter - pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya peraturan - peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik serta dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut tersebut1,2,3.

Malpraktek Kriminal.

Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat - obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien1.

Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas1.

Civil Malpractice

Adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka atau meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata.

Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit tersebut1,2,3.

Malpraktik secara Etik,

Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan menjadi perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang - orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu:

(a) duty, (b) adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c) penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct caution), (d) sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage).

a. Duty (kewajiban)Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.

Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:

Adanya indikasi medis

Bertindak secara hati-hati dan teliti

Bekerja sesuai standar profesi

Sudah ada informed consent.

Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29 tahun 2004 Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan pada bagian kesatu pasal 36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan bagian kedua tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43. Pada bagian ketiga menegaskan tentang pemberian pelayanan, dimana paragraf 1 membahas tentang standar pelayanan yang diatur dengan Peraturan Menteri. Standar Pelayanan adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.

Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Standar profesi yang dimaksud adalah yang tercantum dalam KODEKI Pasal 2 dimana Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, dimana tolak ukuran tertinggi adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat.

Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan pasien harus diberi penjelasan yang lengkap akan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Di mana penjelasan itu mencakup sekurang-kurangnya : diagnosis dan tata cara tindakan medis;

tujuan tindakan medis yang dilakukan;

alternatif tindakan lain dan risikonya;

risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Yang harus ditekankan lagi oleh seorang dokter adalah ketika dia menjalankan praktik kedokteran wajib untuk membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang parktek kedokteran pasal 46. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan dan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin " Res ipsa Loquitur". Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.

c. Direct Causation (penyebab langsung)Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun.

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya.

c. Damage (kerugian)

Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain.Cara tidak langsungCara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a) Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai

b) Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan

c) Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence

Untuk mencari penyebab malprakteknya sendiri, perlu ditelusuri 5 hal sebagai berikut:

i) Apakah tindakan medis itu yang paling mungkin menyebabkan musibah (the nearest cause).

ii) Apakah tindakan medis itu merupakan penyebab musibah yang terakhir (the last human wrongdoer)

iii) Apakah dokter tersangka menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya musibah (condition necessary for the injury)

iv) Apakah tindakan itu merupakan faktor penting dalam musibah (substantial factor)

v) Tindakan itu hanya penyebab yang terkait (justly attachable) II. Ditinjau dari UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran

Pasal 2 Praktik kedokteran dilaksanakan bersasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serat perlindungan dan keselamatan pasien.

Permasalahannya adalah operasi yang dilakukan oleh dokter di RSU. Dr Soetomo terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal di dada kiri arizal. Berdasarkan criteria 4 D jelas memenuhi criteria tersebut.

Pasal 45

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis

b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan

c) Alternatif tindakan lain dan resikonya

d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.

5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan

6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 51

Dalam pasal 51 disebutkan bahwa kewajiban dokter ialah memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Pasal 360

Pasal 360 ayat 1 KUHP yang berbunyi Barang siapa karena kesalahanya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.III. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Ada berbagai jenis malpraktek, salah satunya adalah malpraktek pidana. Malpraktek dalam segi pidana ada tiga bentuk, yaitu:

1.Mal praktek pidana karena kesengajaan (intensional)

Misalnya pada kasus - kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.

2.Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)

Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

3.Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)

Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.

Tanggung jawab mal praktik dokter secara pidana.Bila terbukti malapraktik, seorang dokter antara lain dapat dikenakan pasal 359, 360, dan 361 KUHP bila malpraktik itu dilakukan dengan sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono TIGA TINGKATAN CULPA

1. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (gross fault or neglect)

2. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)

3. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect)

Culpa lata tidak berlaku dalam hukum perdata. Culpa levis dan Culpa levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana dapat ditampung dalam hukum Perdata3.Ada 3 syarat yang harus terpenuhi dalam hal malpraktek dalam segi pidana, yaitu :

1.Sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa)

pasal 359-360 KUHP

Mal praktek bidang medis dalam kajian hukum pidana, merupakan kealpaan yang dilakukan dalam proposal medik. Dokter sebagai pelaksana profesi medic dipertanggungjawabkan karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia atau luka-luka, pasal KUHP yang dilanggar adalah pasal 359 dan 360 KUHP.

Pasal 359 KUHP

"Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya oranglain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun".

Pasal 360 KUHP

(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus juta rupiah.IV. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Transaksi terapeutik merupakan bentuk perjanjian sebagaimana diatur dalampasal 1313 KUHPerdata . Adanya perjanjian antara dokter dan pasienmenimbulkan perikatan diantara kedua belah pihak. Pasien yang datang kedokter agar dokter melakukan tindakan medik yang bertujuan menyembuhkansakit yang ia derita disebut perikatan inspanning verbintenis, sehingga dokterberkewajiban untuk berusaha secara maksimal dalam melakukan tindakan medikuntuk kesembuhan pasiennya.

Apabila dokter lalai dalam melakukan kewajibannya, maka dokter dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Tindakan wanprestasi dokter menimbulkan kerugian bagi pasien baik secara materiil maupun immateriil, sehingga dokter dapat dituntut untuk membayar biaya, rugi, dan bunga kepada pasien yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam pasal1243 KUHPerdata. Pasien dapat menuntut ganti rugi pada dokter baik berupabiaya yang termasuk juga biaya pengobatannya, rugi dan bunga denganmengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan mengajukan bukti-buktiotentik adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter terhadap dirinya dan alat-alatbukti ini sebagaimana diatur dalam pasal 1866 KUHPerdata berupa buktitulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dansumpah.

Pasal 1365 KUH Perdata : Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian tersebut.

Pasal 1366 KUH Perdata : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Pasal 1367 KUH Perdata : Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Pasal 1371 KUH Perdata: Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menurut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau catat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.V. Ditinjau dari UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 1

Ayat 3 : "Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative

Pasal 2

"Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial."

Pasal 3

Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;

Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;

Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan

Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Pasal 4

"Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna."

Pasal 5

Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit mempunyai fungsi:

Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;

Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan

Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Pasal 13

Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.

Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

Setiap Rumah Sakit mempunyai Kewajiban :

Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat

Memberi pelayanan kesehatan yg aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit

Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya

Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya

Kewajiban Rumah Sakit:

Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat yang tidak mampu atau miskin

Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian liar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan

Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien Menyelenggarakan rekam medis Menyediakan sarana dan prasarana yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, usia lanjut.

Melaksanakan sistem rujukan. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak & kewajiban pasien

Menghormati dan melindungi hak-hak pasien Melaksanakan etika Rumah Sakit Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana

Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan secara regional maupun nasional

Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (Hospital By Laws)

Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas, dan Memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan Tanpa Rokok (KRT).

Pasal 32

Setiap pasien mempunyai hak:

memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;

mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana;

Pasal 37

Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.

Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

1. Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.

2. Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, & menetap-kan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan3. Rumah Sakit melaporkan sebagaimana diamksud pada ayat (2) kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetap-kan oleh Menteri.

4. Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara anonim dan ditujukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.

Pasal 46

Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

VI. Ditinjau dari UU NO.8 / 1999 Tentang Perlindungan KonsumenHak Konsumen Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan

Memilih informasi yang benar, jelas, dan jujur

Didengar pendapat dan keluhannya

Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen

Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif

Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian

Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). Pasal 1

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Pasal 4

Hak Konsumen adalah:

a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / atau jasa,

b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,

c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,

d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan,

e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlinndungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut,

f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen,

g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,

h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya,

i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku,

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan,

f. memberi komppensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,

g. memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pasal 62

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:

a. perampasan barang tertentu;

b. pengumuman keputusan hakim;

c. pembayaran ganti fugi;

d. perintah penghenlian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

f. pencabutan izin usaha.

BAB IV

PEMBAHASAN

Tn. Arizal Fahri (29 th) datang ke RSU dr. Soetomo untuk mendapatkan penanganan atas kecelakaan yang dialaminya sehingga mengharuskan Tn. Arizal dilakukan cangkok otot bahu kiri. Tn. Arizal ditangani di RSU dr.Soetomo dan harus dirawat selama 7 bulan. Dan Tn. Arizal dipulangkan dan diberi edukasi untuk control ke poli RSU dr. Soetomo. Namun adanya kelalaian yang menyebabkan pasien menderita selama 2 tahun yang ternyata ditemukannya segumpal kasa yg keluar dari luka operasinya. Dari sisi pidana tergugat diancam dengan pasal kelalaian yang menyebabkan seseorang mengalami luka-luka berat ( Pasal 360KUHP ) karena menyebabkan Tn. Arizal mendapatkan luka-luka berat sehingga diancam hukuman penjara 5 tahun, dan menyebabkan berhalangan untuk menjalankan pekerjaan diancam pidana penjara 9 bulan atau denda tiga ratus juta rupiah. Dari sisi perdata, pihak Tn. Arizal menuntut RSU dr.Soetomo ganti rugi materiil dan immaterial sebesar 1 Milyar Rupiah karena kelalaiannya yang mengakibatkan kerugian pada Tn. Arizal dan kelalaian tersebut menyebabkan luka berat sebagaimana pasal 1365 - 1367, serta pasal 1371 yang mengatur denda keperdataan.Dari sisi UU No. 44 Tahun 2009 Tentangg Rumah Sakit Pasal 46 yaitu Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Dari sisi perlindungan konsumen sebagaimana tertuang dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, Tn. Arizal merasa ketidaknyamanan dan merasa keselamatan jiwanya terancam dengan kondisi sakitnya, serta merasa berhak menerima kompensasi ganti rugi. Sedangkan dari sisi Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 mengharuskan tergugat menerima sanksi disiplin dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berdasarkan fakta yang diderita Tn. Arizal dari hasil pembuktian tidak langsung (doktrin res ipsa loquitur ) terbukti ada unsur kelalaian dan dilarang berpraktek selama 6 bulan.

BAB IV

KESIMPULAN

Pasien datang pasca kecelakaan sehingga dilakukan pencangkokan otot bahu kira, dan dirawat selama 7 bulan , setelah di pulangkan , Arizal mulai merasakan nyeri di dada sebelah kiri. Selama 2-3 hari kemudian, bekas luka operasi justru membengkak dan mengeluarkan nanah kuning yang menimbulkan bau menyengat.

Arizal pun control 2-3 kali dalam seminggu ke poli RSU dr Soetomo untuk membersihkan luka bekas operasinya, Ia tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa dada kiri yang terus menerus mengeluarkan nanah, disertai rasa nyeri juga menganggu tidur arizal.

Dari kasus diatas didapatkan bahwa kasus ini terjadi akibat kelalaian dokter Sp.Bedah yang melakukan operasi. Karena dokter tersebut memiliki tanggung jawab penuh tehadap pasien tersebut. Sehingga RSU Dr Soetomo dituntut ganti rugi sebesar Rp 10 Miliar. Tuntutan tersebut dinilai setara dengan penderitaan Arizal selama dua tahun akibat operasi cangkok otot bahu kiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2004, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Jakarta.

2. Anonim, 1999, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta.

3. Satyo, A.C., 2004, Peraturan Perundang-undangan dan Profesi Dokter, UPT Penerbitan USU, Medan.

4. Chazawi A. Malpraktik Kedokteran. 1st ed. Malang : Bayumedia ; 2007. p. 29

5. Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggung-jawaban Menurut Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2006.

1