bab ii tinjauan pustaka 2.1 perjanjian pada umumnya 2.1.1

22
Universitas Agung Podomoro | 22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perjanjian Pada Umumnya 2.1.1 Definisi Perjanjian Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPer adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 12 Menurut Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 13 Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 14 Definisi persetujuan tidak didefinisikan secara khusus dalam KUHPer, Pasal 1233 KUHPer hanya menyatakan, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. 15 Artinya persetujuan adalah salah satu sumber perikatan. Menurut C. Asser, persetujuan/ kesepakatan adalah salah satu sumber perikatan. 16 Perikatan adalah suatu hubungan yang dilindungi oleh hukum dan kepadanya diberikan sanksi oleh hukum. 17 Hak yang dilahirkan dari perikatan, ialah hak untuk memperoleh dari seseorang, yaitu dari si berutang, suatu penuaian/prestasi (suatu tindakan positif atau negatif). 18 Pendapat C.Asser mengenai perikatan: “Ketentuan undang-undang, bahwa semua perikatan dilahirkan atau dari suatu persetujuan/kesepakatan, atau dari undang-undang, adalah tidak tanpa dapat dicela. Meskipun hal berlawanan ini dapat dimengerti, karena bentuk dan isi dari “perikatan dari 12 Loc.cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313 KUHPer. 13 Diana Kusumasari, “Perbedaan dan Persamaan dari persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak” diakses Februari 15 2020, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4e3b8693275c3/perbedaan-dan-persamaan- dari-persetujuan-perikatan-perjanjian-dan-kontrak/. 14 Ibid. 15 Loc.cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1233 KUHPer. 16 C.Asser, Pengkajian Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Dian Rakyat, 1991), 7. 17 Ibid, hlm. 8. 18 Ibid, hlm. 10.

Upload: others

Post on 02-Nov-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Universitas Agung Podomoro | 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perjanjian Pada Umumnya

2.1.1 Definisi Perjanjian

Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPer adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih.12 Menurut Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang

berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.13 Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, suatu

perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda

kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap

berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,

sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.14

Definisi persetujuan tidak didefinisikan secara khusus dalam KUHPer,

Pasal 1233 KUHPer hanya menyatakan, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik

karena persetujuan, baik karena undang-undang.15 Artinya persetujuan adalah

salah satu sumber perikatan. Menurut C. Asser, persetujuan/ kesepakatan

adalah salah satu sumber perikatan.16 Perikatan adalah suatu hubungan yang

dilindungi oleh hukum dan kepadanya diberikan sanksi oleh hukum.17 Hak

yang dilahirkan dari perikatan, ialah hak untuk memperoleh dari seseorang,

yaitu dari si berutang, suatu penuaian/prestasi (suatu tindakan positif atau

negatif).18

Pendapat C.Asser mengenai perikatan: “Ketentuan undang-undang, bahwa semua perikatan dilahirkan atau dari suatu persetujuan/kesepakatan, atau dari undang-undang, adalah tidak tanpa dapat dicela. Meskipun hal berlawanan ini dapat dimengerti, karena bentuk dan isi dari “perikatan dari

12 Loc.cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313 KUHPer. 13 Diana Kusumasari, “Perbedaan dan Persamaan dari persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak” diakses Februari 15 2020, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4e3b8693275c3/perbedaan-dan-persamaan-dari-persetujuan-perikatan-perjanjian-dan-kontrak/. 14 Ibid. 15 Loc.cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1233 KUHPer. 16 C.Asser, Pengkajian Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Dian Rakyat, 1991), 7. 17 Ibid, hlm. 8. 18 Ibid, hlm. 10.

Universitas Agung Podomoro | 23

persetujuan/kesepakatan” terjadi dari kehendak kedua belah pihak, dan “perikatan dari undang-undang” diambil dari undang-undang, ini sebetulnya tidak murni betul: dalam Pasal 1269 KUHPer ada 2 (dua) kesatuan yang tidak sebanding diperhadapkan. Untuk terjadinya sesuatu perikatan selalu diperlukan baik suatu kenyataan maupun suatu peraturan hukum. Lagipula peraturan ini tidak lengkap, karena disatu pihak selain dari persetujuan/kesepakatan, juga perbuatan-perbuatan hukum lain yang dapat melahirkan perikatan, dan di lain pihak ada perikatan-perikatan yang bersumber pada hukum tidak tertulis.”19

Dengan demikian dapat diartikan bahwa perjanjian dan persetujuan

memiliki arti dan makna yang sama, yakni menimbulkan perikatan. Perikatan

dalam KUHPer tidak didefinisikan secara spesifik. Menurut Mariam Darus

Badrulzaman,

“Perikatan dirumuskan sebagai hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.20”

Menurut Subekti, “Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.21

Sedangkan menurut Zaeni Asyhadie, “Perikatan adalah suatu hubungan

hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum; sehubungan dengan itu, seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap pihak lain”.22

Menurut penulis, perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang

atau lebih untuk saling mengikatkan diri yang mana satu sama lain terikat atas

hak dan kewajiban untuk melaksanakan prestasinya masing-masing, baik

yang bersumber dari persetujuan/perjanjian maupun undang-undang.

Perikatan yang lahir karena undang-undang diatur dalam Pasal 1352

KUHPer, yakni perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang,

timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat

19 C.Asser, Loc.cit, hlm. 64. 20 Mariam Darus Badrulzaman (A), K.U.H Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Jakarta: Alumni,1995), 1. 21 Diana Kusumasari, Loc.cit. 22 Retna Gumanti, "Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata)", Jurnal Pelangi Ilmu, Vol.05 No. 1 Tahun 2012. (Gumanti)

Universitas Agung Podomoro | 24

perbuatan orang.23 Contoh perikatan yang lahir karena undang-undang saja,

terdapat dalam Pasal 833 dan Pasal 1100 KUHPer, bahwa kematian seseorang

yang melahirkan kewajiban kepada ahli warisnya untuk memenuhi kewajiban

pewaris kepada para kreditor dan debitornya. Contoh lainnya adalah keadaan

hukum apabila seorang dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perikatan yang

timbul dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang menurut Pasal

1353 KUHPer terbagi menjadi 2 (dua), yakni terbit dari perbuatan yang

dibolehkan hukum (halal) dan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum.

Perikatan yang terbit dari perbuatan yang dibolehkan hukum misalnya

perbuatan mengurus kepentingan orang lain secara sukarela

(zaakwarneming) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1354 KUHPer.

Sedangkan, perikatan yang lahir dari perbuatan melanggar hukum, misalnya

adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 yang mewajibkan pihak

yang melanggar untuk mengganti kerugian yang diakibatkannya, dan juga

Pasal 1360 KUHPer yang mewajibkan seseorang untuk mengembalikan

barang yang tidak harus dibayarkan kepadanya.

Dari uraian diatas, dapat dimengerti bahwa hubungan antara perjanjian

dan perikatan adalah perjanjian menerbitkan perikatan antara para pihak.24

2.1.2 Asas-Asas Perjanjian

Dalam KUHPer, setidaknya ada 7 (tujuh) asas penting yang berlaku dalam suatu perjanjian, yakni: asas kebebasan berkontrak (sistem terbuka), asas konsensualisme, asas mengikatnya perjanjian atau pacta sunt servanda, asas iktikad baik, asas personalitas, asas force majeur, asas exceptio non adimpleti contractus.25

Namun, penulis hanya menggunakan 5 (lima) asas sebagai bahan

penelitian yakni sebagai berikut;

1) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas atau Teori kebebasan berkontrak (Freedom of Contract)

dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPer, “Semua

23 Loc.cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1352 KUHPer. 24 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1998), 77-78. 25 Muhammad Noor, “Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XIV No.1 Tahun 2015, 91.

Universitas Agung Podomoro | 25

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”.26

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta (4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.27

Asas kebebasan berkontrak juga mengacu pada Pasal 1320 angka

4 KUHPer tentang Causa, bahwa apa yang diperjanjikan menjadi batal

demi hukum apabila causa atau kausa tersebut melanggar peraturan

perundang-undangan, kesusilaan dan/atau ketertiban umum. Menurut

Wirjono, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu

persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu.28 Arti kausa

disini bukanlah mengenai apa alasan terbentuknya suatu perjanjian.

Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.29

Ketentuan dalam Pasal 1320 angka (4) KUHPer merupakan lex

generali terhadap asas kebebasan berkontrak, dan bentuk lex specialis

terdapat dalam Bab V Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen tentang Klausula Baku.

2) Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme (juga disebut asas konsensualitas)

merupakan kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu

26 Ibid, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1338 KUHPer. 27 M. Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Membuat Kontrak”, Jurnal Universitas MuhamMadiyah SUHUF, Vol. 26 No.1 Tahun 2014, 51. 28 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : CV Mandar Maju, 2011), 37. 29 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 54.

Universitas Agung Podomoro | 26

perjanjian.30 Asas ini mengacu pada salah satu syarat perjanjian yakni

Pasal 1320 KUHPer tentang syarat sepakat. Bahwa suatu perjanjian

wajib mencapai suatu kesepakatan.

Berdasarkan asas konsensualisme, dianut paham bahwa sumber

kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of

wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.31 Sehingga

asas konsensualisme ini menjadi ini menjadi salah satu hal pokok,

bahwa para pihak mengetahui, menghendaki suatu perjanjian tersebut

berlaku kepadanya dan pihak lainnya. Kata sepakat memiliki arti yaitu

adanya kecocokan antara kehendak dan kemauan kedua belah pihak

atau para pihak yang mengadakan perjanjian.32 Menentukan kapan

lahirnya kata sepakat antara pihak yang melakukan perjanjian adalah

hal yang penting seiring berkembangnya teknologi. Untuk menentukan

saat lahirnya kata sepakat dapat didasarkan pada beberapa teori yang

sejalan dengan kemajuan hukum33:

1. Teori Ucapan Menurut teori ini suatu kata sepakat telah tercapai

apabila salah satu pihak telah menulis jawaban persetujuan terhadap penawaran (offerte) pihak lainnya. Sehingga pada saat surat tersebut selesai dituliskan maka otomatis telah mengikat kedua belah pihak.34

2. Teori Pengiriman

Suatu kata sepakat menurut teori ini dilahirkan pada saat jawaban penerimaan offerte dikirimkan atau tidak lagi dalam kekuasaan pengirimnya. Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran telah mengirimkan surat jawaban atas penawaran yang diajukan terhadap dirinya.35

3. Teori Diketahuinya Penawaran Disetujui

30 Abdul Rasyid, “Asas Konsensualisme dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, diakses Februari 7 2020, https://business-law.binus.ac.id/2017/02/27/asas-konsensualisme-dalam-perspektif-hukum-positif-dan-hukum-islam/. 31 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, (s.l.:Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia-Gamma Media,1999), 82. 32 R.M. Suryodiningrat, Asas-asas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito,1982), 92. 33 Ibid, hlm. 92-93. 34 Ibid, hlm. 93. 35 Ibid.

Universitas Agung Podomoro | 27

Teori ini melengkapi teori pengiriman, karena teori ini beranggapan bahwa suatu offerte dianggap telah mencapai kata sepakat apabila si pengirim offerte telah menerima surat jawaban dan telah mengetahui jawaban penerimaan offerte-nya.36 Teori ini berpendapat bahwa saat terjadinya persetujuan adalah pada saat si pembuat penawaran mengetahui penawarannya telah disetujui.37

4. Teori Penerimaan

Menurut teori penerimaan, kesepakatan antara para pihak telah dicapai pada saat jawaban penerimaan offerte telah diterima oleh pembuat offerte.38 Kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung surat jawaban dari pihak yang menerima tawaran.39

5. Teori sepatutnya Offerte disetujui

Teori ini diusulkan oleh Pitlo. Menurut Pitlo, saat terjadinya persetujuan ialah saat pengirim surat jawaban mengenai disetujuinya offerte sepatutnya dapat menduga kapan diterimanya surat tersebut.40

6. Teori Kehendak

Teori kehendak merupakan teori tertua mengenai dicapainya kata sepakat yang menekankan suatu perjanjian telah dicapai apabila sudah ada kehendak. Kehendak inilah yang dijadikan dasar terjadinya suatu perjanjian antara para pihak.41

7. Teori Pernyataan

Teori ini berkebalikan dengan teori kehendak. Pada teori pernyataan, suatu kata sepakat atau lahirnya suatu perjanjian didasarkan pada ucapan atau pernyataan sehingga apabila terjadi salah bicara maka yang menyatakan hal tersebutlah yang harus menerima resikonya.42

8. Teori Kepercayaan

Menurut teori ini, kalau pihak yang menerima pernyataan tahu dan sepatutnya tahu, bahwa si pemberi pernyataan keliru

36 R.M. Suryodiningrat, Loc.cit, hlm. 94. 37 Randitya Eko Adhitama, “Metode Reasuransi Quota Share Treaty Ditinjau Dari Hukum Perjanjian” Jurnal Universitas Indonesia Vol.39 No. 2 Tahun. 2009. 38 R.M. Suryodiningrat, Loc.cit, hlm. 94. 39 “Teori Kesepakatan” diakses Februari 18 2020. https://www.academia.edu/24560772/Teori_Kesepakatan?auto=download. 40 R.M. Suryodiningrat, Loc.cit, hlm. 95. 41 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta,1979), 57. 42 R.M. Suryodiningrat, Loc.cit, hlm. 96-97.

Universitas Agung Podomoro | 28

dalam pernyataannya, maka akseptasi dari pihak yang menerima pernyataan tidak menimbulkan perjanjian.43

9. Teori Menimbulkan Bahaya/Kerugian

Teori ini mendasari teori kepercayaan. Bahwa pada dasarnya seseorang bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkannya meskipun tanpa adanya kesalahan.44

10. Teori Penawaran dan Penerimaan

Teori dasar adanya kesepakatan kehendak adalah teori penawaran dan penerimaan. Yang dimaksudkan adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.45

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Teori Pacta Sunt Servanda (yang arti harfiahnya adalah kontrak

itu mengikat) adalah suatu teori yang berasal dan berkembang dalam

tradisi hukum Eropa Kontinental, yang mengajarkan bahwa dalam

suatu kontrak yang dibuat secara sah dan sesuai hukum yang berlaku,

serta sesuai pula dengan kebiasaan dan kelayakan, sehingga diasumsi

sebagai kontrak yang dibuat dengan iktikad baik maka klausula-

klausula dalam kontrak seperti itu mengikat para pihak yang

membuatnya, dimana kekuatan yang mengikatnya setara dengan

kekuatan mengikatnya sebuah undang-undang, dan karenanya pula

pelaksanaan kontrak seperti itu tidak boleh baik merugikan pihak lawan

dalam kontrak, maupun pihak ketiga diluar para pihak kontrak tersebut.

Dimana dengan Pacta Sunt Servanda, setelah kontrak dibuat, sejauh tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak, sedangkan dengan teori kebebasan berkontrak para pihak bebas melakukan kontrak sepanjang sesuai dengan syarat-syarat sahnya kontrak.46

43 J.Satrio, “Sepakat dan Permasalahannya Teori dan Kepercayaan”, diakses Februari 18 2020. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a4ef752a0645/sepakat-dan-permasalahannya--teori-dan-kepercayaan/. 44 R.M. Suryodiningrat, Loc.cit, hlm. 98-99. 45 Mariam Darus Badrulzaman (B), et al. Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001) 46 Munir Fuady, Teori-teori Besar Dalam Hukum: Grand Theory, (s.l.: Prenada Media, 2014).

Universitas Agung Podomoro | 29

4) Asas Personalitas

Asas personalitas atau kepribadian terdapat dalam Pasal 1340

ayat (1) KUHPer, persetujuan hanya berlaku pada pihak-pihak yang

membuatnya.47 Bentuk penyimpangannya telah diatur dalam Pasal

1340 ayat (2) KUHPer bahwa persetujuan tidak dapat merugikan pihak

ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak

ketiga selain dalam hal yang ditentukan pasal 1317 KUHPer.48 Pasal

1317 KUHPer dapat diartikan bahwa perjanjian antara satu pihak

dengan yang lainnya tidak boleh memuat perjanjian yang dapat

merugikan pihak ketiga, kecuali pihak ketiga tersebut mengetahui dan

menyetujui perjanjian yang dibentuk tersebut.

J. Satrio mengemukakan bahwa Pasal 1317 KUHPer memberikan kesempatan untuk meminta ditetapkannya suatu janji untuk kepentingan pihak ketiga, asal dipenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain asal yang bersangkutan meminta suatu janji untuk dirinya sendiri.49

5) Asas Iktikad Baik

Asas Iktikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang

menyatakan bahwa, suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Black’s Law Dictionary memberikan definisi tentang Iktikad Baik atau Good

Faith sebagai berikut:

“Good faith is an intangible and abstract quality with no technical meaning or statutory definition, and it compasses, among other things, an honest belief, the absence of malice and the absence of design to defraud or to seek an unconscionable advantage, and individual’s personal good faith is concept of his own mind and inner spirit and, therefore, may not conclusively be determined by his protestations alone. … In common usage this term is ordinarily used to describe that state of mine denoting honesty of purpose, freedom from intention to defraud, and, generally speaking, means being faithful to one’s duty or obligation.”

Terjemahan bebas, sebagai berikut: 47 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1340 Ayat (1) KUHPer. 48 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1340 Ayat (2) KUHPer. 49 H. Salle, Hukum Kontrak Teori & Praktik, Cet. 1 (Makassar: CV. Social Civic Genius (SIGn), 2019), 26.

Universitas Agung Podomoro | 30

“Iktikad baik adalah suatu bentuk kualitas yang tidak berwujud dan

abstrak tanpa arti teknis atau definisi hukum, dan mengarah, kepada hal lain, suatu keyakinan, tidak ada dengki dan tidak ada unsur menipu, atau untuk mencari keuntungan secara tidak sadar, iktikad baik secara personal adalah suatu konsep pemikiran dan dalam jiwa, sehingga, tidak secara konklusif dideterminasi dengan protes suatu pihak itu sendiri. ... Dalam penggunaan umum istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan bahwa keadaan menandai suatu tujuan yang jujur, bebas dari niat untuk menipu, dan, secara umum, artinya menjadi jujur dalam menjalankan tugas serta kewajiban.”

2.1.3 Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian yang ada antara para pihak yang sepakat haruslah

memenuhi syarat-syarat terntentu agar perjanjian tersebut sah, sehingga

mengikat kedua belah pihak.50 Dalam Pasal 1320 KUHPer menyatakan

syarat-syarat sah suatu perjanjian yaitu, sebagai berikut: “Untuk sahnya suatu

perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4.

Suatu sebab yang halal.”51 Syarat pertama dan kedua merupakan syarat

subjektif sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif.

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang diperuntukkan pada orang yang

membuat perjanjiannya, apabila tidak dipenuhi maka syarat subjektif, maka

perjanjian dapat dibatalkan. Syarat objektif adalah syarat yang wajib dipenuhi

pada suatu barang yang menjadi pokok perjanjian, apabila tidak dipenuhi,

maka perjanjian akan batal demi hukum. Pokok perikatan haruslah halal,

yaitu tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum atau dengan adat

kebiasaan yang baik.52

2.1.4 Bentuk-Bentuk Perjanjian

1. Berdasarkan Nama

50 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001), 33. 51 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1320 KUHPer. 52 C.Asser, Loc. cit, hlm.15.

Universitas Agung Podomoro | 31

Perjanjian bernama (nominat) merupakan perjanjian yang

terdapat dalam Buku III KUHPer.53

Perjanjian tidak bernama (inominaat) merupakan perjanjian yang

timbul, tumbuh, hidup dan berkembang di masyarakat, artinya

perjanjian yang pengaturannya di luar KUHPer.54

2. Berdasarkan Bentuk

Berdasarkan bentuknya, perjanjian terbagi atas perjanjian yang

dibuat di bawah tangan dan perjanjian yang dibuat secara notariil.

Perjanjian yang dibuat dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji dan tanpa ada campur tangan pegawai umum yang berwenang, serta tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut.55

Perjanjian notariil artinya bahwa perjanjian tersebut dibuat oleh

para pihak dalam suatu akta otentik di hadapan pejabat yang

berwenang.

3. Berdasarkan Sifat

Berdasarkan sifatnya, perjanjian terbagi atas perjanjian pokok

dan perjanjian tambahan (accesoir). Perjanjian tambahan atau accesoir

adalah perjanjian yang muncul karena adanya perjanjian pokok.

Sebagai perjanjian tambahan yang eksistensinya akan bergantung pada perjanjian pokok, artinya perjanjian tambahan dibuat karena adanya perjanjian pokok, demikian pula sebaliknya, apabila perjanjian pokok telah berakhir maka dengan sendirinya perjanjian tambahan juga akan berakhir.56

53 Efni Melinda, "Pelaksanaan Perjanjian Keagenan Asuransi Jiwa Pada Pt Prudential Life Assurance Cabang Pekanbaru." (Skripsi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2016). 54 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 47. 55 Richard Cisanto Palit, "Kekuatan Akta di Bawah Tangan Sebagai Alat Bukti di Pengadilan." Jurnal Fakultas Hukum Unstrat, Vol. 3 No. 2 Tahun 2015. 56 Abdul Jabar, "Perjanjian Tambahan (Accessoir) Dengan Obyek Hak Tanggungan Sebagai Sarana Perlindungan Hukum Bagi Kreditur." Volume 15 No. 1 Tahun 2019.

Universitas Agung Podomoro | 32

4. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Berdasarkan hak dan kewajiban para pihak, perjanjian terbagi

atas perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.

Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban dan karenanya hak kepada kedua belah pihak di mana hak dan kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya, misalnya pada perjanjian sewa menyewa dan perjanjian tukar-menukar.57

Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang menimbulkan

kewajiban pada satu pihak saja misalnya pada perjanjian pinjam-

meminjam.58 Hal tersebut dikarenakan kewajiban pokok hanya ada

pada salah satu pihak saja, seperti perjanjian pemberian kuasa.

5. Syarat Sahnya

Berdasarkan syarat sahnya, perjanjian terbagi atas perjanjian

konsesual dan perjanjian riil/formil. Perjanjian konsensual adalah

perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara

pihak yang membuat perjanjian.59

Misalnya perjanjian penitipan barang dalam Pasal 1694 KUHPer

dan perjanjian pinjam dalam Pasal 1754 KUHPer. Pada saat penyerahan

benda itulah satu perjanjian penitipan dianggap sah.60

Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (disebut “PPAT”).61

Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual

beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat

57 Rosdalina Bukido, "Urgensi Perjanjian dalam Lalu Lintas Hubungan Hukum Perdata”, Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, Volume.6 No. 1 Tahun 2016. 58 Ibid. 59 Retno Prabandari, "Jenis-Jenis Perjanjian Sebagai Dasar Hukum Dalam Pengalihan Hak Guna Bangunan Objek Hak Tanggungan" (Tesis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2007), 31. 60 Herlien B (E. Setiawan) Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), 46. 61 Retno Prabandari, Op.cit, hlm. 26.

Universitas Agung Podomoro | 33

dengan akta notaris.62 Perjanjian ini diperlukannya suatu bentuk

formalitas. Formalitas yang bersumber peraturan perundang-undangan

ini menjadi syarat sahnya suatu perjanjian formil diantara para pihak.63

2.1.5 Subjek & Objek Perjanjian

1. Subjek Perjanjian

Terdapat 2 macam subjek hukum, yakni orang perseorangan dan

badan hukum.

Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau diperbatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah, seperti peraturan pailit, peraturan tentang orang perempuan berkawin menurut KUHPer (Pasal 108 dan Pasal 109 KUHPer) dan sebagainya.64

Dalam sebuah perikatan, terdapat pihak yang

berpiutang/crediteur dan pihak yang berutang/debiteur, sehingga tiap

perikatan paling sedikit ada seorang debitur dan seorang kreditur.

Menurut C.Asser, yang dapat menjadi orang yang berpiutang adalah65 : a. seseorang yang ditunjuk secara pribadi, baik orang atau badan hukum b. seseorang yang ditunjuk oleh suatu kedudukan yang tertentu, dapat disebut sebagai perikatan kualitatif c. seorang yang dapat digantikan oleh orang lain

Selanjutnya, yang dapat menjadi orang si berutang adalah66 :

a. orang yang ditunjuk secara pribadi b. seorang yang ditunjuk oleh suatu kedudukan tertentu c. seorang yang dapat digantikan oleh orang lain

2. Objek Perjanjian

Menurut Wirjono, objek dalam perhubungan hukum perihal

perjanjian ialah: hal yang diwajibkan kepada pihak berwajib (debitur),

62 Retno Prabandari, Loc. cit, hlm. 26. 63 Herlien Budiono, Loc. cit, hlm. 47-48. 64 Wirjono Prodjodikoro, Loc. cit, hlm. 13. 65 C.Asser, Loc. cit, hlm.19-20. 66 Ibid, hlm. 20-21.

Universitas Agung Podomoro | 34

dan hal terhadap mana pihak berhak (kreditur) mempunyai hak.

Perjanjian dapat terjadi baik objek yang terlihat wujudnya maupun yang

tidak. Perjanjian dalam hal seperti jual beli, sewa menyewa, tukar

menukar merupakan contoh perjanjian dengan wujud objek yang terang

dan jelas, yakni diperjanjikan ada objek yang bersangkutan. Contoh

perjanjian yang objeknya tidak berwujud sebagai barang adalah

perjanjian pemeliharaan anak (verzorgingscontract), penganggungan

(borgtocht), dading sebagaimana terdapat dalam Pasal 1851 KUHPer

atau penyuruhan (lastgeving).

Pasal 1332 KUHPer menyatakan bahwa hanya benda yang dapat

diperdagangkan dapat dikatakan sebagai objek perjanjian, namun tidak

dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan objek yang

diperdagangkan. Wirjono memberikan penafsiran bahwa objek yang

bersifat umum tidak dapat dijadikan suatu objek dalam perjanjian,

seperti sungai, bangunan negara dan objek umum lainnya.

Pasal 1333 KUHPer menyatakan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.”67

Arti pasal tersebut adalah, suatu barang yang akan dijadikan

pokok dalam perjanjian haruslah ditentukan jenisnya, sedangkan

jumlahnya dapat ditentukan baik saat itu juga maupun dikemudian hari.

Objek dari perikatan ialah apa yang harus dipenuhi oleh si

berutang dan merupakan hak si berpiutang.68 Objek perikatan tersebut

biasanya disebut dengan prestasi.69 Hal ini seiring dengan tujuan

terbentuknya perikatan menurut Pasal 1234 KUHPer, bahwa tujuan

perikatan-perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu

atau tidak berbuat sesuatu.70

3. Benda Bergerak dan Benda Tak Bergerak

67 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1333 KUHPer. 68 C.Asser, Pengkajian Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Dian Rakyat, 1991), 13. 69 Ibid, 13. 70 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1270 KUHPer.

Universitas Agung Podomoro | 35

Makna “barang” maupun “benda” adalah sama, yakni suatu

objek. Dalam KUHPer, benda dibedakan atas benda bergerak dan

benda tidak bergerak. Kebendaan tidak bergerak diatur dalam Pasal

506-508 KUHPer dan kebendaan bergerak diatur dalam Pasal 509-518

KUHPer. Menurut Wirjono, pada umumnya dapat dikatakan, bahwa

barang-barang tak bergerak meliputi tanah, tanaman-tanaman dan

bangunan-bangunan dengan bagian-bagiannya yang dengan semen atau

paku melekat pada bangunan itu atau yang dimaksudkan oleh pemilik

bangunan untuk tetap dipakai guna itu, namun pembagian tersebut tidak

dikenal dalam hukum adat.

2.1.6 Perjanjian Sewa Menyewa

2.1.6.1 Definisi

Sewa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (disebut KBBI)71

diartikan sebagai “Pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa”,

dan menyewa artinya “Membayar dengan memakai uang sewa”.

Menurut Kamus Istilah Ekonomi, sewa atau lease berarti “Kontrak penyerahan tanah atau penggunaan gedung (seluruhnya atau sebagian) dari satu orang (lessor) kepada orang lain (lessee) untuk waktu tertentu dengan memperoleh balas jasa berupa sewa atau kompensasi lain”.72

Menurut Black’s Law Dictionary73 sewa atau lease berarti:

Lease, n.(14c) 1. A contract by which a rightful possessor of real property conveys the right to use and occupy the property in exchange for consideration, usu. Rent. ๏ The lease term can be for life, for a fixed period, or for a terminable at will. 2. Such a conveyance plus all covenants attached to it. 3. The written instrument memorializing such a conveyance and its covenants. - Also termes (redundantly) lease agreement; lease contract. 4. The piece of real property so conveyed. 5. A contract by which the rightful possesor of personal property conveys the right to use that property in exchange for consideration. - Also termed tenancy agreement.

71 Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,”Definisi Sewa” diakses Juni 15 2020, https://kbbi.web.id/. 72 Daidumi Darmawan, et al. Kamus Istilah Ekonomi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1984, 91 73 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, West, A Thomson Business, 1999, Tenth Edition, 1024

Universitas Agung Podomoro | 36

Terjemahan bebas Black’s Law Dictionary :

Sewa 1. Suatu kontrak yang mana pemilik yang berhak atas sebuah properti menyampaikan haknya kepada pengguna properti untuk memiliki dan menggunakan sebagai gantinya diberikan konsiderasi, Sewa Menyewa. ๏ Kata Sewa dapat menjadi seumur hidup, atau jangka waktu tertentu, atau diakhiri kapanpun. 2. Penyampaian dan seluruh penyampaiannya terlampirkan. 3. Suatu instrumen tertulis yang dapat dihafalkan untuk digunakan dan sampai kepada titik temu. 4. Suatu properti yang nyata yang digunakan. 5. Suatu kontrak dimana pemilik yang berhak atas properti pribadi memiliki hak untuk menggunakan properti sebagai gantinya dibentuk konsiderasi. - juga dapat dikatakan sebagai Perjanjian Sewa.

Menurut Yahya Harahap, sewa menyewa adalah persetujuan

antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.74

Pasal 1548 KUHPer menyatakan bahwa sewa menyewa adalah

suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selamat waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. 75

Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap

maupun yang bergerak. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sewa

menyewa adalah suatu persetujuan antara pemberi sewa dengan

penyewa atas suatu objek sewa, dimana pemberi sewa memberikan hak

berupa kenikmatan atas objek tersebut kepada penyewa untuk selama

waktu tertentu, dan penyewa memberikan suatu harga kepada pemberi

sewa.

Dari penjelasan sebelumnya, maka dapat dimengerti bahwa

perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian nominaat, dapat dibuat

dibawah tangan ataupun dalam bentuk akta notaris, memiliki sifat

sebagai perjanjian pokok dan merupakan perjanjian konsensual.

74 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet.2, (Bandung: Alumni,1982), 220. 75 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1548 KUHPer.

Universitas Agung Podomoro | 37

2.1.6.2 Unsur-Unsur Perjanjian Sewa Menyewa

Berdasarkan definisi perjanjian sewa menyewa dalam Pasal 1548

KUHPer, maka unsur-unsur perjanjian sewa menyewa meliputi:

persetujuan, pemberi sewa dan penyewa, objek sewa, masa sewa dan

harga.

Unsur persetujuan berarti adanya pertemuan kehendak antara

pemberi sewa dan penyewa, unsur pemberi sewa dan penyewa merujuk

pada subjek hukum dalam sewa menyewa, unsur objek sewa meliputi

benda yang disewakan yang dapat berupa benda bergerak (Pasal 509-

518 KUHPer) dan benda tidak bergerak (Pasal 506-508 KUHPer),

unsur masa sewa merujuk pada jangka waktu berlangsungnya sewa

menyewa dan unsur harga merujuk pada prestasi yang harus dilakukan

penyewa kepada pemberi sewa.

2.1.6.3 Hak & Kewajiban Pemberi Sewa dan Penyewa

Mengenai hak dan kewajiban Pemberi Sewa dan Penyewa,

KUHPer membaginya sebagaimana dijelaskan dalam tabel 7.1 dibawah

ini:

Tabel 7.1 Hak & Kewajiban Pemberi Sewa dan Penyewa

Hak Kewajiban

Pemberi

Sewa

• Menerima pembayaran atas

harga sewa yang telah

disepakati (Pasal 1560 ayat

(2) KUHPer)

• Menerima penggantian atas

kerusakan yang diakibatkan

oleh penyewa selama masa

sewa (Pasal 1566 KUHPer)

• Menyerahkan barang yang

disewakan kepada

penyewa (Pasal 1550 ayat

(1) KUHPer)

• Memelihara barang yang

disewakan (Pasal 1550

ayat (2) KUHPer)

• Memberikan hak kepada

penyewa untuk menikmati

barang yang disewakan

Universitas Agung Podomoro | 38

(Pasal 1550 ayat (3)

KUHPer)

• Melakukan pembetulan

pada waktu yang sama

(Pasal 1551 KUHPer)

• Menanggung cacat dari

barang yang disewakan

(Pasal 1552 KUHPer)

Penyewa • Menikmati objek sewa

sesuai dengan masa sewa

(Pasal 1560 ayat (1)

KUHPer)

• Memakai barang sewa

sebagai bapak rumah yang

baik (Pasal 1560 ayat (1)

KUHPer)

• Membayar harga sewa

pada waktu yang telah

ditentukan (Pasal 1560

ayat (2) KUHPer)

• Bertanggungjawab atas

kerusakan objek sewa yang

diakibatkan oleh penyewa

selama masa sewa (Pasal

1564 dan Pasal 1566

KUHPer)

• Melakukan reparasi kecil

(Pasal 1583 KUHPer)

Universitas Agung Podomoro | 39

2.1.6.4 Rumah sebagai Objek Sewa

1. Definisi

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, rumah diartikan

sebagai bangunan untuk tempat tinggal dan bangunan pada

umumnya (seperti gedung dan sebagainya).76

Menurut Pasal 1 angka 7 UU Perumahan, Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.77

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 44/1994, Rumah

adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau

hunian dan sarana pembinaan keluarga.78

Dari ketiga definisi tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat

tinggal dan sarana pembinaan keluarga yang merupakan aset bagi

pemiliknya.

2. Jenis-Jenis Rumah

Rumah menurut UU Perumahan terbagi atas 5 (lima) jenis,

yang masing-masing memiliki arti sebagai berikut:

a. Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan79. Wujud dari rumah komersil misalnya perumahan komplek yang dibangun oleh developer.

b. Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat.80 Wujud dari rumah swadaya yang dibangun oleh Pemerintah, yaitu Kementerian Perumahan Rakyat melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dengan memberikan bantuan dana untuk renovasi rumah apabila rumah tidak layak huni berdasarkan ketentuan yang berlaku.

76 W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Edisi III, Cet. 1. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). 77 Indonesia, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011, UU No. 1 Tahun 2011, TLN No. 5188, Pasal 1 angka 7. 78 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 1 79 Loc.cit, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011 Pasal 1 angka 8 80 Ibid, Pasal 1 angka 9.

Universitas Agung Podomoro | 40

c. Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.81 Wujud dari rumah umum misalnya rumah subsidi yang dibangun oleh pemerintah kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

d. Rumah khusus adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus).82 Wujud dari rumah khusus misalnya Rumah Khusus (Rusus) untuk Nelayan di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Tujuan dibentuknya Rusus adalah sebagai upaya mengurangi kekurangan rumah atau backlog perumahan bagi MBR sebagai wujud mendorong terlaksananya Program Satu Juta Rumah.83

e. Rumah Negara adalah rumah yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.84 Wujud dari rumah Negara adalah rumah dinas anggota POLRI, rumah dinas anggota TNI, dan sebagainya sebagaimana diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara.

Objek rumah dalam penelitian ini tentu dapat berupa rumah dalam

kategori komersial, swadaya, maupun umum, yang kepemilikannya lepas

dari kepemilikan negara/pemerintah. Artinya, rumah tersebut dapat dimiliki

oleh subjek hukum secara penuh atau memiliki alas hak milik.

3. Konsep Kepemilikan Rumah

Menurut Pasal 8 ayat (1) UUBG, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi: a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; b. status kepemilikan bangunan gedung; c. izin mendirikan bangunan gedung; d. sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.85

81 Loc.cit, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011, Pasal 1 angka 10 82 Ibid, Pasal 1 angka 11. 83 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, “Tahun 2019, Kementerian PUPR Programkan Bedah 2.050 Unit Rumah Tak Layak Huni di Maluku” Feb 18 2020, https://pu.go.id/berita/view/17278/tahun-2019-kementerian-pupr-programkan-bedah-2-050-unit-rumah-tak-layak-huni-di-maluku. 84 Loc.cit, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011, Pasal 1 angka 12 85 Loc.cit, Undang-Undang tentang Bangunan Gedung No.28 Tahun 2002, Pasal 8 angka 1

Universitas Agung Podomoro | 41

Ketentuan ini menegaskan bahwa rumah sebagai bangunan

gedung adalah benda tidak bergerak yang wajib memiliki bukti

kepemilikan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi

pemiliknya. Sama halnya dengan tanah yang status

kepemilikannya ditentukan dalam suatu akta berupa sertifikat hak

atas tanah, baik berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak

Guna Usaha, dan Hak Pakai sebagaimana terdapat dalam UUPA.

Artinya, bukti kepemilikan rumah dapat terpisah dari bukti

kepemilikan tanah sebagai konsekuensi dari berlakunya asas

pemisahan horizontal yang dianut UUPA. Asas pemisahan

horizontal ini dapat ditemukan dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA,

implementasi dari asas pemisahan horizontal adalah hak sewa

untuk bangunan, yaitu seseorang atau badan hukum menyewa

tanah kosong yang merupakan hak milik orang lain untuk

mendirikan bangunan diatasnya dengan membayar sejumlah

uang sewa untuk jangka waktu tertentu yang disepakati kedua

belah pihak.

Dalam hak sewa untuk bangunan ini terdapat adanya pemisahan horizontal antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan yang ada diatasnya, dimana tanahnya dimiliki oleh pemilik tanah sedangkan bangunannya milik si penyewa tanah.86

Namun demikian, baik UUPA maupun UUBG serta

peraturan pelaksana UUBG yaitu Peraturan Pemerintah No.36

Tahun 2005 (disebut “PP 36/2005”), khususnya dalam Pasal 12

ayat (4) PP 36/2005, belum atau tidak mengatur lebih lanjut nama

alas hak bukti kepemilikan rumah. Dengan demikian, sebenarnya

terdapat kekosongan hukum mengenai bukti kepemilikan suatu

rumah. Sedangkan untuk bukti kepemilikan gedung berupa surat

bukti kepemilikan bangunan gedung yang diterbitkan oleh

Pemerintah Daerah. Dalam hal sewa menyewa rumah yang

kepemilikan rumah dan tanah secara terpisah, harus memiliki

86 Dyah Devina dan Faizal Kurniawan, “Kriteria Asas Pemisahan Horizontal terhadap Penguasaan Tanah dan Bangunan”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Vol. 32 No.2 Tahun 2017.

Universitas Agung Podomoro | 42

surat persetujuan secara tertulis dari pemilik tanah sesuai dengan

Pasal 5 PP No. 44 Tahun 1994.

Rumah sebagai benda tidak bergerak diatur dalam Pasal

506-508 KUHPer, dan Pasal 506 angka 2 KUHPer menjelaskan

tentang kebendaan tak bergerak dalam rumah,

“2. Dalam perumahan : cermin-cermin, lukisan-lukisan dan perhiasan lain-lainnya, sekedar barang-barang itu dilekatkan pada papan atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, pagar atau plesteran ruangan, pun sekiranya barang-barang itu tak terpaku;”.87

Dalam penulisan ini, rumah sebagai objek sewa diatur

dalam perjanjian sewa menyewa rumah menurut Bab VII Bagian

ketiga Pasal 1581-1587 KUHPer yang meliputi rumah dan

perabot rumah.

2.2 Persetujuan Diam-Diam

2.2.1 Definisi

KUHPer tidak memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud

dengan persetujuan. Namun doktrin para ahli hukum menyatakan persetujuan

dan perjanjian memiliki arti dan makna yang sama, yakni menimbulkan

perikatan. Artinya, setiap persetujuan yang dibuat oleh para pihak akan

berlaku mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini berdasarkan

asas-asas perjanjian, seperti asas kebebasan berkontrak ataupun asas pacta

sunt servanda.

Oleh karena KUHPer tidak memberikan definisi terhadap persetujuan

diam-diam, maka dapat dilihat definisinya dalam Black’s Law Dictionary,

Silent Consent juga disebut dengan Tacit Consent yang artinya : “Tacit

Consent is consent inferred from the fact that the party kept silence when he

had an opportunity to forbid or refuse”88. Dalam terjemahan bebas bahwa

persetujuan diam-diam adalah persetujuan yang terdapat fakta bahwa

87 Loc.cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 506 angka 2. 88 Henry Campell Black, Black’s Law Dictionary, cet.7 (Oxford : 1981),1749.

Universitas Agung Podomoro | 43

seseorang memilih berdiam diri ketika ia memiliki kesempatan untuk

menolak.

Makna Persetujuan diam-diam dapat dilihat dalam Pasal 1347 KUHPer

yang menyatakan, “Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya

diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian,

meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”.89

2.2.2 Unsur-Unsur Persetujuan Diam-Diam

Persetujuan diam-diam telah diatur secara implisit dalam Pasal 1347

KUHPer. Unsur-unsur perjanjian pada umumnya yang terdapat dalam 1320

KUHPer merupakan unsur yang wajib ada dalam persetujuan diam-diam itu

sendiri. Permasalahan yang timbul dalam menentukan apakah suatu kata

sepakat telah dicapai apabila para pihak tidak menyampaikan kata sepakat

secara jelas baik tulisan ataupun lisan. Selain kesepakatan yang dilahirkan

dari pelaksanaan perjanjian dan sikap diam. Dua cara lahirnya kata sepakat

ini didasari dari pendekatan kebiasaan yang dilakukan masyarakat pada

umumnya. Pasal 1320 KUHPer memang tidak mengharuskan suatu

perjanjian untuk dilakukan secara tertulis, hal ini memungkinkan perjanjian

dilakukan secara lisan ataupun diam-diam.

Persetujuan diam-diam berbeda dengan perjanjian secara lisan karena

terdapat unsur-unsur yang berbeda. Letak perbedaannya adalah cara

penyampaian kehendak dan waktu perjanjian ini muncul. Pada perjanjian

diam-diam atau persetujuan diam-diam, cenderung dilakukan dengan

tindakan yang menggambarkan pemenuhan prestasi dan muncul saat

selesainya atau pasca perjanjian awal atau perjanjian utama selesai. Namun

ini masih dapat berubah seiring perkembangan teknologi yang sangat

memungkinkan perjanjian diam-diam sebagai perjanjian yang utama.

Sedangkan dalam perjanjian lisan, perjanjian itulah yang menjadi perjanjian

utama dan bentuk penyampaian kehendaknya jelas, seperti melalui ucapan.

89 Loc.cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1347.