bab ii tinjauan umum tentang perjanjian dan sewa … ii.pdf18 bab ii tinjauan umum tentang...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN SEWA MENYEWA
RAHIM IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)
2.1. Perjanjian
2.1.1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian berasal dari istilah belanda yaitu overeenkomst. Definisi
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi
perjanjian, sebagai “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
manasatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”. Perumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, tidak menyebutkan
tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak
jelas untuk apa.1 Berdasarkan alasan tersebut, Abdul Kadir Muhammad
“merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatu persetujuan antara dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal
dalam lapangan harta kekayaan.”2 Disamping pengertian perjanjian menurut
Abdulkadir Muhammad terdapat beberapa pendapat para sarjana yang
mengartikan mengenai perjanjian, yakni sebagai berikut :
1Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), hal. 78. 2 Ibid.
18
19
1. R. Subekti mengartikan perjanjian sebagai suatu peristiwa bahwa
seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.3
2. R. Wiryono Prododikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak,
dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut
pelaksanaan perjanjian.4
3. R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum.5
4. R. Setiawan mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.6
Dari penjelasan beberapa pengertian perjanjian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut :
a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang
Pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian ini disebut sebagai subyek
perjanjian. Subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga
badan hukum. Subyek perjanjian harus mampu atau berwenang dalam
3Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Subekti
I), hal. 1. 4 R. Wiryono Prododikoro, 1987, Asas-asas Hukum Perjanjian, cet. VII, Sumur, Bandung,
hal. 7. 5 RM. Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta, hal. 97. 6 R. Setiawan, 1979, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 49.
20
melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-
undang. Subyek hukum dapat dalam kedudukan pasif atau sebagai
debitur atau dalam kedudukan yang aktif atau sebagai kreditur.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak
Persetujuan di sini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap
berunding. Perundingan itu sendiri adalah merupakan tindakan-tindakan
pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan.
c. Ada tujuan yang akan dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian terutama guna memenuhi kebutuhan
pihak-pihak dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika
mengadakan perjanjian dengan pihak lain.
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan
Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu
kewajiban untuk melaksanakannya. Ada syarat-syarat tertentu sebagai
isi dari suatu perjanjian.
e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis
Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan
undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu maka perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat sebagai bukti.
f. Adanya syarat tertentu
Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian,
karena dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui adanya hak dan
kewajiban dari pihak-pihak.
21
2.1.2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu :
A. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya. Adanya kata sepakat, berarti
bahwa subjek (kreditor dan debitor) yang mengadakan perjanjian itu dengan
kesepakatan, yaitu setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal pokok dari isi
perjanjian itu. Artinya apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik.
1) Kesepakatan bebas berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata, yang
lengkapnya berbunyi: “Tiada suatu perbuatan pun mempunyai kekuatan
jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau
penipuan”.7
a) Tentang kekhilapan dalam perjanjian
Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan Pasal 1322 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat kita kemukakan disini:8
1. kekhilapan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;
2. ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan
perjanjian karena kekhilapan mengenai:
a. hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya;
b. orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.
7 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,2010, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, cet.V.
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 94-95. 8 Ibid, hal. 104-105.
22
Kekhilapan dapat terjadi perihal orang atau barang yang menjadi
tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian. Contohnya
kekhilapan mengenai orang yang dikiranya adalah seseorang
penyanyi yang tersohor, tetapi kemudian ternyata bukuan orang yang
dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Sedangkan
contoh kekhilapan mengenai barang yaitu jika orang membeli sebuah
lukisan dikiranya lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian ternyata
hanya turunan saja.9
b) Tentang paksaan dalam perjanjian
Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 pasal,
yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.10
Jika ketentuan Pasal 1323 dan Pasal 1325 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata berbicara soal subyek yang dipaksa
atau diancam, maka Pasal 1324 dan Pasal 1326 berbicara mengenai
akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan
sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (di bawah
paksaan atau ancaman tersebut).11
Paksaan terjadi jika seseorang
memberikan persetujuan karena ia takut pada suatu ancaman.
Misalnya ia akan dianiaya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian.
Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang
9 Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet XXXI, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Subekti II), hal. 135. 10
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 120. 11
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 122.
23
memang di izinkan oleh undang-undang, seperti ancaman akan
menggugat yang bersangkutan didepan hakim dengan menyita
barang, hal itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu paksaan.12
c) Tentang penipuan dalam perjanjian
Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal
1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua
ayat, yang keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:13
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan
suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh
salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang
dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat
perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus
dibuktikan”.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah
penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan
dan tidak boleh hanya di persangkakan saja. Dalam hal ini, maka
pihak terhadap siapa penipuan telah terjadi wajib membuktikan
bahwa lawan pihaknya tersebut disengaja olehnya, yang tanpa
adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut
12
Subekti II, Loc.cit. 13
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 125.
24
tidak mungkin akan memberikan kesempatan untuk tunduk pada
perjanjian yang dibuat tersebut.14
B. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Seseorang yang dapat membuat
perjanjian harus cakap menurut hukum. Hakikatnya setiap orang yang sudah
dewasa (sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah menikah walaupun
belum mencapai umur 21 tahun) dan sehat akal adalah cakap menurut
hukum. Aspek keadilan dilihat dari orang yang membuat perjanjian dan
nantinya akan terikat oleh perjanjian itu harus mempunyai cukup
kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang
dipikulnya atas perbuatannya itu.
C. Mengenai suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian
atau objek perjanjian serta prestasi yang wajib dipenuhi, kejelasan mengenai
pokok perjanjian atau objek perjanjian itu dimaksudkan untuk
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika pokok
perjanjian, objek perjanjian dan prestasi itu tidak dilaksanakan maka
perjanjian itu batal. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat ketiga ini
berakibat batal demi hukum, oleh karena itu perjanjian dianggap tidak
pernah ada.
D. Suatu sebab yang halal. Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan orang
membuat perjanjian atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi
yang dimaksud dengan dengan causa yang halal menurut Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bukanlah sebab dalam arti yang
14
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 126.
25
menyebabkan atau yang mendorong orang untuk membuat perjanjian,
melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan
tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Menurut Abdulkadir Muhammad,
akhibat hukum perjanjian yang berisi tidak halal adalah batal (nietig, void).
Tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan pejanjian di muka hakim,
karena sejak semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang
dibuat itu tanpa causa (sebab) maka ia dianggap tidak pernah ada (Pasal
1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).15
2.1.3. Obyek dan Subyek Perjanjian
a. Objek Perjanjian
Seorang kreditor berhak atas suatu prestasi yang diperjanjikan, dan debitor
melaksanakan prestasi, dengan demikian hakikatnya dari suatu perjanjian adalah
pelaksanaan prestasi. Prestasi merupakan objek dari suatu perikatan yang sesuai
dengan ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, wujud
prestasinya iyalah (1) memberikan sesuatu, (2) berbuat sesuatu, dan (3) tidak
berbuat sesuatu.
Tentang objek/prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang
logis dan praktis, takkan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan
hal demikian.16
Maka Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menentukan, bahwa
objek/prestasi perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu.
Sekurang-kurangnya objek itu mempunyai “jenis” tertentu seperti yang
15
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, cet III, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad II), hal. 227. 16
Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 10.
26
dirumuskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata. Objek atau jenis objek merupakan
persyaratan dalam mengikat perjanjian, dengan sendirinya perjanjian demikian
“tidak sah” jika seluruh objeknya tidak tertentu.
b. Subjek Perjanjian
Kreditor dan debitor itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditor
mempunyai hak atas prestasi dan debitor wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.
Sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditor terdiri dari :17
1. Individu sebagai persoon yang bersangkutan : natuurlijke persoon
atau manusia tertentu, rechts persoon atau badan hukum.
2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak
orang lain tertentu : seorang bezitter atas kapal.
3. Beziteer dapat bertindak sebagai kreditor dalam suatu perjanjian.
Kedudukannya sebagai subjek kreditor bukan atas nama pemilik
kapal inpersoon.
4. Persoon yang dapat diganti. Mengenai persoon kreditor yang “dapat
diganti” atau vervangbaar, berarti kreditor yang menjadi subjek
pemula, telah ditetapkan dalam perjanjian; sewaktu-waktu dapat
diganti kedudukannya dengan kreditor baru. Perjanjian yang dapat
diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “aan order” atau
perjanjian atas order/atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian
“aan tooder” perjanjian “atas nama” atau “kepada
17
Ibid, hal.16.
27
pemegang/pembawa” pada surat-surat tagihan hutang
(schuldvordering papier).
Tentang siapa yang menjadi debitor, sama keadaannya dengan orang-orang
yang dapat menjadi kreditor : (1) Individu sebagai persoon yang
bersangkutan : natuurlijke persoon atau manusia tertentu, rechts persoon
atau badan hukum. (2) Seseorang atas kedudukan/keadaan tertentu bertindak
atas orang tertentu. Dan (3) Seseorang yang dapat diganti menggantikan
kedudukan debitor semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun izin
persetujuan debitor.
2.1.4. Unsur-Unsur Perjanjian
Kesepakatan antara pihak pertama dan pihak kedua untuk memenuhi aspek-
aspek hukum perjanjian, karena terdapat unsur-unsur sebagai berikut :18
a. Essentialia
Unsur yang sangat esensi/penting dalam suatu perjanjian yang harus
ada. Bagian ini merupakan sifat yang harus ada didalam perjanjian,
sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta
(constructive oordeel). Seperti persetujuan antara para pihak dan
objek perjanjian.
b. Naturalia
Unsur perjanjian yang sewajarnya ada jika tidak dikesampingkan oleh
kedua belah pihak menurut Pasal 1474 KUHPerdata dalam perjanjian
18
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Bisnis, Alumni, Bandung, hal. 99.
28
jual beli barang, penjual wajib menjamin cacat yang tersembunyi.
Merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian secara diam-diam
melekat pada perjanjian.
c. Accidentalia,
Unsur perjanjian yang ada jika dikendaki oleh kedua belah pihak.
Sebagai kelengkapan surat perjanjian pembiayaan konsumen yang
dikeluarkan oleh pihak pertama, maka pihak pertama juga membuat
kesepakatan lain dengan pihak kedua berupa surat penyerahan
jaminan secara fidusia. bagian ini merupakan sifat yang melekat pada
perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjiakan oleh para pihak.
2.1.5. Asas-Asas Perjanjian
Berikut ini dibahas asas-asas hukum perjanjian:
1. Asas pacta sunt servanda
Asas pacta sunt servanda berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat
disimpulakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi:
“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” Asas
pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja. Namun
dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda di beri arti pactum, yang
berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas
lainnya , sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.19
19
Salim HS, 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), cet. VII, Sinar Grafika,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS II), hal. 158.
29
2. Asas kebebasan berkontrak
Asan kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan
berkontarak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian
dengan siapa pun: (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau
lisan.20
Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditemukan dalam
kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas hukum
kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut:21
a. Asas Konsensualisme.
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Artinya perjanjian
itu lahir karena adanya kata sepakat atau persesuaian kehendak dari para
pihak. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan
mengadakan perjanjian.
b. Asas Kepercayaan.
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain
akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan,
maka perjanjian itu tidak mungkin diadakan oleh para pihak. Dengan
20
Ibid. 21
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal. 42-44.
30
kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
c. Asas Kekuatan Mengikat
Demikian seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian
terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa
yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang
dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan akan mengikat para pihak.
d. Asas Persamaan Hak
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan,
jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya
persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu
sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
e. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas
persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban
untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini
bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.
31
f. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra
prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, di
mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral)
yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapatnya dalam Pasal 1339
KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada
“kesusilaan” (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.
g. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan disini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
h. Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo.1347 KUHPerdata, yang dipandang
sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan
kebiasaan yang diikuti.
i. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai
Undang-undang bagi para pihak.
32
2.1.6. Jenis-Jenis Perjanjian
Abdulkadir Muhammad, mengelompokkan perjanjian menjadi lima jenis
yang terdiri dari:22
1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang
memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar
menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan
kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya
perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan
benda yang menjadi obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak
menerima benda yang diberikan itu. Kriteria perjanjian jenis ini adalah
kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Perbedaan
perjanjian jenis ini dirasakan penting pada saat pembatalan perjanjian
berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata karena hanya perjanjian timbal balik
yang dapat dimintakan pembatalan ke depan hakim.
2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan
pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana
terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari
22
Abdulkadir Muhammad I, Op.cit, hal.86.
33
pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain,
tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Contohnya adalah
A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B
menyerahkan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai
arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai
perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341
KUHPerdata). Suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai
arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai
perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341
KUHPerdata). suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai
arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai
perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341
KUHPerdata).
3. Perjanjian bernama dan tidak bernama.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya
terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar,
pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak
mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik
dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan
34
perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang
menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan
kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang,
penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar
harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan
ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan
(levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut
hukum atau tidak.
5. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada
persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian
disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan
nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian
penitipan pinjam pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata).
2.2. Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu Pengganti
(Surrogate Mother)
2.2.1. Pengertian Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu
Pengganti (Surrogate Mother)
Salah satu perkembangan teknologi dalam ranah kesehatan dan
kedokteran adalah pelaksanaan sewa menyewa rahim ibu pengganti
(Surrogate Mother). Dilaksanakannya sewa menyewa rahim ibu pengganti
dikarenakan pasangan suami istri tidak mampu memiliki anak. Ketidak
35
mampuan tersebut dikarenakan salah satu pasangan baik istri ataupun
suami tidak mampu memproduksi sperma ataupun ovarium (sel telur)
sebagai bagian dari proses reproduksi. Khususnya sewa rahim ibu
pengganti terjadi karena kandungan seorang wanita (dalam hal ini) seorang
istri tidak dapat berfungsi untuk mengembangkan cabang janin, sehingga
diperlukan rahim seorang wanita sebagai penampung/sebagai tempat
pertumbuhan janin yang berasal dari sel telur si istri dan si suami.
Menurut Desriza Ratman Surrogate Mother adalah perjanjian antara
seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan
pihak lain (suami-istri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan
suami-istri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah
melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami-istri
tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat (gestational agreement)
sementara pengertian surrogate sendiri adalah someone who takes the place
of another person (seseorang yang memberikan tempat untuk orang lain).23
Pengertian ini tidak terbatas apakah terhadap pasangan suami istri,
melainkan juga terbuka peluang pada hubungan yang tidak terikat
perkawinan yang sah.
Menurut Salim HS kontrak surogasi adalah kontrak atau perjanjian
yang dibuat antara orang tua pemesan dengan ibu surogat akan
mengandung, melahirkan dan menyerahkan anak tersebut kepada orang tua
23
Desriza Ratman, Op.cit, hal. 3.
36
pemesan berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati antara
keduanya.24
Menurut Fred Ameln Surrogate Mother diartikan sebagai seorang
wanita yang mengikat dirinya melalui suatu ikatan perjanjian dengan pihak
lain (biasanya suami istri) untuk menjadi hamil setelah dimasukannya
penyatuan sel benih laki-laki (sperma) dan sel benih perempuan (ovum)
yang dilakukan pembuahannya diluar rahim sampai melahirkan sesuai
kesepakatan yang kemudian bayi tersebut diserahkan kepada pihak suami
istri dengan mendapatkan imbalan berupa materi yang telah disepakati.25
2.2.2. Motivasi Dilakukannya Sewa Menyewa Rahim dengan
Mempergunakan Ibu Pengganti (Surrogate Mother)
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Dalam Pasal tersebut dapat diartikan bahwa tujuan
perkawinan untuk membentuk suatu keluarga. Keluarga disini dimaksud
juga untuk melanjutkan keturunannya, dengan reproduksi menghasilkan
keturunan dalam hal ini adalah anak. Bahwa anak sebagai pelanjut
keturunan merupakan hal penting dalam suatu perkawinan. Tidak ada
perkawinan yang tidak bertujuan untuk memiliki keturunan. Pentingnya
24
H. Salim HS, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak diluar Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat H. Salim HS III), hal. 13. 25
Fred Ameln, Op.cit, hal. 117.
37
memperoleh keturunan menyebabkan masalah reproduksi juga menjadi
penting. Dalam kehidupan masyarakat terkadang manusia tidak ditakdirkan
dengan mudah untuk memiliki keturunan, hal ini ditandai dengan adanya
berbagai persoalan yang menyebabkan pasangan suami istri sulit atau
bahkan tidak bisa memiliki keturunan. Hal ini berdampak pada terciptanya
solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, kemudian kemajuan
teknologi memberikan suatu perkembangan dalam bidang reproduksi
buatan, dengan adanya ahli teknologi pembuahan diluar kandungan/rahim
seorang wanita, di mana suatu janin dikembangkan pada rahim seorang
wanita lain, yang memiliki rahim sehat dan kondisi yang mampu
mengembangkan janin, dalam hal ini disebut sebagai ibu pengganti
(Surrogate Mother).
Berdasarkan pada tujuan berkeluarga untuk melanjutkan keturunan
oleh karenanya menjadi motivasi seseorang untuk melakukan sewa rahim,
yang utama adalah keinginan memiliki keturunan yang mana keturunan
tersebut tidak dapat diperoleh melalui proses normal pada umumnya
(seorang wanita mengandung), adanya masalah reproduksi membuat
pasangan suami istri melakukan sewa rahim. Hal itu bertujuan untuk
melanjutkan keturunannya. Sebetulnya hukum Indonesia sudah mengenal
istilah adopsi anak untuk pasangan suami istri yang belum memiliki
keturunan, akan tetapi solusi tersebut tidak memberikan kepuasan batin
untuk memiliki anak dari sperma ataupun sel telur sendiri. Oleh karenanya
38
mendorong motivasi pasangan suami istri untuk melakukan sewa menyewa
rahim dengan mempergunakan ibu pengganti (Surrogate Mother).
2.2.3. Proses Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu
Pengganti (Surrogate Mother)
Bayi Tabung yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya : (a) benih yang ditanam
berasal dari suami istri kemudian ditanam ke rahim istri; (b) salah satu benih
dari donor (baik sperma maupun sel telur) yang kemudian ditanam ke rahim
istri; (c) benih berasal dari pasangan suami istri, tetapi ditanam pada rahim
wanita lainnya.26
Berdasarkan cara sebagaimana dijelaskan diatas, sewa
rahim dikenal dengan 2 (dua) tipe, yaitu sebagai berikut :27
a. Tipe Gestational Surrogacy, dimana embrio berasal dari sperma
suami dan sel telur berasal dari istri dipertemukan melalui teknologi
IVF, ditanam dalam rahim perempuan yang bukan istri (disewa);
b. Tipe Genetic Surrogacy, dimana sel telur berasal dari perempuan lain
yang bukan istri, kemudian dipertemukan sperma dari suami yang
selanjutnya ditanam dalam rahim perempuan tersebut.
Adapun proses teknis bayi tabung menurut Suradji Sumapraja, terdiri
dari beberapa tahapan :28
26
Fred Ameln, Op.Cit, hal.80. 27
Fred Ameln, Loc.Cit. 28
Inna Nurlna, 2010, “Dampak Perkembangan Biotenologi Dalam Insiminasi Buatan
(Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Perdata di Indonesia)”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, hal. 34, dikutif dari Suradji Sumapraja,
1990, Penuntun Pasutri Program Melati, Program Melati RSAB Harapan Kita, Jakarta, hal. 47.
39
- tahap pertama : pengobatan merangsang indung telur. Pada tahap ini
istri diberi obat untuk merangsang indung telur sehingga dapat
mengluarkan banyak ovum, dan cara ini berbeda dengan cara biasa,
hanya satu ovum yang berkembang dalam setiap siklus haid. Obat
yang diberikan kepada istri dapat diberikan obat makan dan obat
suntik yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru
diberhentikan setelah ternyata sel-sel telurnya matang;
- tahap kedua : pengambilan sel telur. Apabila sel telur istri sudah
banyak, maka dilakukan pengambilan sel telur yang akan dilakukan
degan suntikan lewat vagina dibawah bimbingan USG;
- tahap ketiga : tahap pembuahan atau fertilisasi sel telur. Setelah
berhasil mengeluarkan beberapa sel telur, suami diminta
mengeluarkan sendiri sperma. Sperma akan diproses, sehingga sel-sel
sperma yang baik akan dipertemukan dengan sel-sel telur istri dalam
tabung gelas di laboratorium.
Sel-sel telur istri dan sel-sel telur suami yang sudah dipertemukan itu
kemudian dibiak dalam lemari pengeram. Pemantauan berikutnya
dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan keesokan harinya
diharapkan sudah terjadi pembelahan sel;
- tahap keempat : Pemindahan embrio. Kalau terjadi fertilisasi sebuah
sel telur dengan sebuah sperma maka terciptalah hasil pembuahan
yang akan membelah menjadi beberapa sel, yang disebut embrio.
40
Embrio ini akan dipindahkan melalui vagina kedalam rongga rahim
ibunya 2-3 hari kemudian;
- tahap kelima : pengamatan terjadinya kehamilan. Setelah implantasi
embrio, maka tinggal menunggu apakah kehamilan akan terjadi.
Apabila 14 hari setelah pemindahan embrio tidak terjadi haid, maka
dilakukan pemeriksaan kencing untuk menentukan adanya kehamilan.
Kehamilan baru dipastikan dengan pemeriksaan USG seminggu
kemudian.
2.2.4. Sewa Menyewa Rahim dengan Mempergunakan Ibu Pengganti
(Surrogate Mother) di Indonesia
Penemuan dan perkembangan bayi tabung bermula dari proses
teknologi bayi tabung pertama kali yang dilakukan oleh Dr. P.C. Steptoe dan
Dr. R.G Edwards atas pasangan suami istri John Brown dan Leslie. Bahwa
sperma dan sel telur yang digunakan berasal dari pasangan tersebut, yang
mana kemudian embrio atau cabang janin ditransplantasikan ke dalam rahim
istrinya (nyonya Brown), sehingga tanggal 25 Juli 1978 lahirlah bayi tabung
pertama dengan nama Louise Brown di Oldham Inggris.29
Keberhasilan pelaksanaan bayi tabung diluar negeri merambah ke
Indonesia. Alih teknologi pada bidang reproduksi tersebut kemudian
mendorong bagi dokter-dokter di Indonesia untuk
menerapkan/mempraktekkannya di Indonesia. Pelaksanaan bayi tabung di
29
Husni Thamrin, 2014, Aspek Bayi Tabung dan Sewa Rahim Perspektif Hukum Perdata
dan Hukum Islam, Aswaja Presindo, Yogyakarta, hal.11.
41
Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 1988 dengan lahirnya bayi dari
pasangan Tn. Markus dan Ny. Chai Ai Lian dengan bayi yang diberi nama
Nugroho Karyanto. Kemudian bayi tabung kedua lahir pada tanggal 6
November 1988 dengan nama Stefanus Gepvani dari pasangan suami istri Ir.
Jani Dipokusumo dan Ny. Angela. Sedangkan bayi ketiga pada tanggal 22
Januari 1989 dengan nama Graciele Chandra. Bayi tabung keempat lahir
pada tanggal 27 Maret 1989 kembar tiga dari pasangan suami istri Tn
Wijaya yang mana nama anak kembar 3 (tiga) mereka oleh Ibu Presiden ke-
2 Ibu Tien Soeharto diberi nama Melati-Suci-Lestari.30
Meskipun belum ada payung hukum yang melindungi, sewa rahim
sudah banyak terjadi di Indonesia dan dilakukan secara diam-diam. Biasanya
hal itu dilakukan secara sukarela dengan segala risikonya oleh mereka yang
menyewakan rahimnya untuk mengandung anak dari pasangan keluarga
lain. Bukti formal memang belum bisa dikatakan. Namun kenyataan di
Indonesia, surrogate mother ini dibutuhkan dan sudah dilakukan oleh
masyarakat dengan diam-diam atau secara kekeluargaan, kata Agnes
Widanti dalam seminar Surrogate Mother (Ibu Pengganti) Dipandang dari
Sudut Nalar, Moral, dan Legal di Ruang Teater Thomas Aquinas, Unika
Soegijapranata, Sabtu (5/6). Mengacu pada tesis mahasiswinya yang
berjudul “Penerapan Hak Reproduksi Perempuan dalam Sewa-menyewa
Rahim’’, dan koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA)
Jateng juga mengatakan, kasus sewa rahim di Indonesia belum muncul ke
30
Ibid, hal.12-13.
42
permukaan dan masih terselubung. Sewa rahim ini biasanya dilakukan oleh
pasangan keluarga yang rahim isterinya mengalami masalah sehingga tidak
bisa hamil. “Kasus ini memang menjadi satu dilema. Di satu sisi masyarakat
membutuhkan, namun di sisi hukum belum ada aturan yang mengatur sewa
menyewa rahim sehingga bisa menimbulkan suatu masalah di kemudian hari
yang penyelesaiannya sangat sulit,’’ katanya. Oleh karenanya, kebutuhan
akan aturan hukum yang melindungi ibu pengganti (Surrogate Mother)
memang merupakan kebutuhan demi keadilan dan kemanfaatannya.
Tentunya hal itu tidak hanya menjadi pemikiran bagi perguruan tinggi saja
tetapi dibutuhkan juga peran serta masyarakat.31
Walaupun dalam hukum sudah dikenal istilah adopsi anak sebagai
solusi untuk mendapatkan keturunan, akan tetapi secara psikologis bahwa
setiap mahluk hidup terutama manusia menghendaki memiliki keturunan
yang berasal dari darah dagingnya, berasal dari sperma dan sel telurnya.
Oleh karena itu dalam aplikasinya dilapangan terkadang ada pasangan suami
istri yang menghendaki adanya keturunan yang berasal dari sperma dan sel
telurnya yang kemudian dibuahkan pada seorang wanita yang bukan pemilik
sel telur. Hal ini terjadi di Mimika, Papua. Pada tahun 2004, seorang wanita
bernama S didiagnosa oleh dokter bahwa ia tidak bisa hamil karena
kandungannya terinfeksi parah. Menurut adat suku Key, bila pasangan
menikah belum dikaruniai anak, maka suami harus menceraikan istrinya. S
dan B lalu memutuskan untuk melakukan program bayi tabung pada sebuah
31
Suara Merdeka, 08 Juni 2010, “Perlu Payung Hukum Sewa Rahim” URL:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/06/08/112214/Perlu-Payung-Hukum-
Sewa-Rahim , diakses tanggal 2 Pebruari 2016.
43
rumah sakit di Surabaya, namun hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa S
tidak bisa hamil. Sebelumnya dokter yang memeriksa telah menjelaskan
bahwa program bayi tabung dapat juga dilakukan dengan menanam hasil
pembuahannya pada rahim wanita lain. Cara ini dilakukan oleh S dan B
dengan bantuan dari M, yang merupakan adik dari S dengan melakukan
pemeriksaan terlebih dahulu.32
Sebagaimana yang dijelaskan diatas bahwa pembuahan bayi tabung
yang diberitakan secara luas kesemuannya berasal dari sperma dan sel telur
pasangan suami istri yang kemudian ditransplantasi ke dalam rahim istri.
Sedangkan untuk pengembangan sperma dan sel telur didalam rahim wanita
yang bukan pemilik sel telur (sewa rahim) di Indonesia terjadi akan tetapi
tidak diberitakan secara luas. Hal tersebut dikarenakan sewa rahim tidak
dapat dilaksanakan di Indonesia karena bertentangan dengan aturan hukum
yang ada.
32
Agnes Sri Rahayu, 2009, “Penerapan Hak Reproduksi Perempuan Terhadap Perjanjian
Sewa Menyewa Rahim dalam Kerangka Hukum Perdata Indonesia”, Tesis, Program Pascasarjana
Universitas Katolik Soegijapranata, hal. 87-88.