bab ii pembahasan - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c1011010_bab2.pdf ·...
TRANSCRIPT
15
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI Al-GHAZALI
1. Latar Belakang
a. Keluarga
Al-Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat
adalah seorang ahli sains terkenal. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan
seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan
karya-karyanya dalam berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal sebagai
tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqih dengan
karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan
karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof
saat itu. Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati
batas dan terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum
filsafat sehingga ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada
zaman itu.
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin
Muhammad al-Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafi’i yang lahir di desa Thusi
Tabaran pada 450 H/1058 M dan meninggal pada senin pagi (14/6/505 H)
atau 18 Desember 1111 masehi (Halim, 2000:11). Ayahnya adalah seorang
fakir yang saleh. Dia tidak akan pernah makan kecuali dengan hasil
keringatnya sendiri. Ia bekerja sebagai pemintal benang dari bulu dan kulit
domba yang kemudian dijual di tokonya sendiri (Asmaran, 1994:330).
16
Ketika menjelang wafat ayahnya, beliau berwasiat agar Al-Ghazali dan
saudaranya yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sahabatnya
yang ahli tasawuf agar belajar kepadanya.Kemudian ayahnya menitipkan
seluruh harta benda untuk kedua anaknya. Ayahnya pun berpesan,
”Sungguh aku ingin bisa menuliskan khat ( tulisan arab)
untuk menebus ketidakmampuan itu, aku ingin
memperbaiki apa yang telah aku alami pada kedua
anakku ini. Maka, aku memohon padamu agar mau
mengajarinya dan harta yang kutinggalkan boleh
dihabiskan keduanya.” (Yon, 2014:8).
Sepeninggal ayahnya kedua saudara tersebut belajar kepada sahabat
ayahnya hingga semua harta yang dititipkan itu habis. Kemudian sahabat
ayahnya meminta maaf tidak bisa mengajari keduanya lagi dan tidak bisa
melanjutkan wasiat dari orang tuanya. kemudian berpesan kepada mereka
untuk masuk madrasah agar menjadi pencari ilmu, dan mendapatkan ilmu
yang di inginkan (Bangun, 2013:154).
Keduanya lalu melaksanakan anjuran gurunya itu.Ini yang
menjadikan sebab kebahagiaan dan keluhuran derajat mereka
berdua.Almarhum ayahnya bercita-cita tinggi agar keduanya menjadi anak
yang alim dan saleh. Beliau seorang yang tekun, sering mengunjungi ahli
fikih dan berdiskusi dan menafkahkan sedikit hartanya.Apabila mendengar
perkataan ahli fikih ayahnya menangis dan berdoa agar kelak dikaruniai
anak yang ahli fikih. Kemudian dikaruniai anak yang bernama Al-Ghazali
yang masyhur pada zamannya sebagai ahli fikih, dan saudaranya menjadi
penceramah yang terkenal, ahli memberi nasehat dan fatwa (Yon, 2014:8).
17
b. Pendidikan
Al-Ghazali mendalami ilmu fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad
Ar-Radzakani di kota Thus. Kemudian beliau menjutkan studinya dan
berangkat ke Jurjan untuk menuntut ilmu dari Imam Abu Nashr Al-Isma’ili
dan menulis buku At-Ta’liqat. Selanjutnya Al-Ghazali pergi ke kota
Naisabur untuk berguru kepada Imam Haramain Al- Juwaini(Asmaran,
2002:331).
Di kota Naisabur, Al-Ghazali dikenal tekun dan seorang yang inovatif,
sehingga ia berhasil menguasai fikih madzhab Syafi’i, Khilafiyah
(perbedaan seputar agama), retorika ( keterampilan berbahasa), logika dan
filsafat. Al-Ghazali banyak memahami perkataan para ahli ilmu dan
membantah yang menyelisihnya. Kemudian menyusun buku yang membuat
kagum Al-Juwaini (Yon, 2014:8).
Al-Ghazali dikenal sebagi orang yang cerdas, pengetahuannya luas,
hafalan sangat kuat, jauh dari keraguan dan bisa memahami makna secara
mendalam.Setelah Imam Haramain Al-Juwaini meninggal dunia, Al-Ghazali
pergi ke perkemahan Wazir Nizdamul Malik, yaitu tempat bekumpulnya
para ahli ilmu.Sejak saat itulah Al-Ghazali diakui dalam berbagai forum
diskusi, karena pemikiran dan perkataanya yang mendalam.Nidzamul Malik
kemudian mengangkatnya sebagai pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah kesana. Kemudian pada tahun 484 H Al-
Ghazali pergi ke Baghdad untuk mengajar di madrasah An-Nidzamiyah
pada usia tiga puluh tahun. Di madrasah An-Nidzamiyah kemampuannya
berkembang dan terkenal, ia mendapatkan otoritas mengajar dan
18
menyebarkan ilmu pengetahuan dan jurnalisme ilmiah serta memberikan
fatwa (Bangun, 2013:155-156).
Al-Ghazali merupakan tokoh yang termasyhur karena kepandaiannya,
sehingga pada zamannya tidak ada yang menandinginya.Tetapi
kemasyhuran tersebut ditinggalkannya lalu keluar dari An-Nidzamiyah
menuju baitullah di Makkah.Disanalah kemudian pada tahun 488 M, Al-
Ghazali menunaikan ibadah haji.Sepulang dari Makkah Al-Ghazali pergi ke
Palestina untuk mengunjungi baitul maqdis. Di Damaskus, ia
berkontemplasi di sebuah masjid jami’ tepatnya di menara sebelah barat dan
kemudian menetap disana.
Pada suatu hari Al-Ghazali memasuki Madrasah Aminah dan mengajar
disana.Pengajar disana pernah berkisah bahwa Ketika mengajar Al-Ghazali
khawatir jika pada suatu hari nanti muncul kekaguman dalam dirinya
sendiri.Maka, Al-Ghazali meninggalkan Damaskus dan bepergian hingga
pelosok negeri, selanjutnya ke Mesir kemudian ke Iskandariyah dan
menetap beberapa waktu disana. Al-Ghazali pernah ingin menemui Sultan
Maghribi yang terkenal adil akan tetapi, sultan tersebut sudah meninggal
(Yon, 2014:10).
Kemudian Al-Ghazali meneruskan perjalanannya ke Khurasan, di
samping mengajar beberapa saat di Universitas Nidzamiyah di Naisabur, Al-
Ghazali kembali ke tanah kelahirannya yaitu Thus, di Thus Al-Ghazali
mendirikan madrasah untuk calon-calon ahli fikih yang bersebelahan dengan
rumahnya, didirikan juga serambi-serambi untuk kaum sufi. Waktunya
dihabiskan untuk mempelajari Al-Qur’an, menjadi pembicara di forum-
19
forum, mengajar, dan melaksanakan shalat , puasa, zakat, dan ibadah-ibadah
lainnya hingga wafat (Asmaran, 2002:334). Al-Ghazali terkenal sebagai
Hujjatul Islam karena mempunyai daya ingat yang kuat dan dan bijak dalam
berhujah. Dia sangat dihormati di dua kerajaan yaitu Saljuk dan Abbasyiah
yang merupakan kebesaran islam saat itu.
Abul Farj Al-Jauzy dalam bukunya, At-Tsabat ‘indal Mamat,
mengatakan bahwa Saudara laki-laki Al-Ghazali pernah mengisahkan
bahwa,” Suatu subuh di hari senin, saudaraku Abu Hamid seusai berwudhu
dan melakukan shalat berkata,” Tolong ambilkan aku kain kafan! Lalu,
diciumnya kain kafan itu diletakkan diatas kedua matanya, seraya berkata,
taat dan patuh menuju Sang Raja Diraja! Kemudian, Abu Hamid
merentangkan kakinya menghadap kiblat.Berikutnya Allah benar-benar
mengambil nyawanya (Machmudi, 2014:11).
2. Karya-karya Al-Ghazali
Jumlah Karya Al-Ghazali mencapai 300 kitab, diantara kitab yang terkait
dengan tema pembahasan ini adalah :
Tahāfutul falāsifah( kekacauan pikiran para filusuf) buku ini
dikarang sewaktu berada di Baghdad saat jiwanya dilanda keraguan.
Dalam buku ini Al-Ghazali mengancam keras para filosof dan filsafat.
Ihyā’ Ulūmuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama). Kitab ini
merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun, dalam
keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerusalem, Hijaz, dan Thus
yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat.
20
Al-Munqidz minadh-dhalāl (penyelamat dari kesesatan). Kitab
ini merupakan sejarah perkembangan pemikiran Al-Ghazali sendiri dan
merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan
menuju Tuhan.
Miksyāt al-Anwār (lampu yang bersinar), kitab ini berisi
pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
Minhaj al-‘Abidīn (jalan mengabdikan diri kepada Tuhan).
Akhlak al abras wan-najah minal asyār (akhlak orang-orang
yang baik dan keselamatan dari kejahatan).Az-zariyah ilā makārim asy-
syāhi’ah (jalan menuju syariat yang mulia) ( Bangun, 2013:165).
3. Murid-murid Al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki banyak murid, karena dia mengajar di madrasah
An-Nidzamiyah di Naisabur, diantara murid-muridnya adalah sebagai
berikut :
1) Abu Thahir Ibrahim Ibn Muthahir Al-Syebbak Al Jurjani (w.513 H).
2) Abu Fath Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Burhan (474-518 H),
semula ia bermazhab Hambali, kemudian setelah ia belajar kepada
Al-Ghazali, ia bermadzhab Syafi’i.
3) Abu Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin Ali Tholib Al-Razi (w.522 H),
ia mampu menghafal kitab ihya’ ulumuddin karya Al-Ghazali. Di
samping itu, ia juga belajar fiqih kepada Al-Ghazali.
4) Abu Hasan Al-Jamal Al-Islam, Ali Bin Musalem Bin Muhammad
Assalami (w.541 H). karyanya adalah Ahkam Al-Khanatsi.
21
5) Abu Mansyur Said Bin Muhammad Umar (462-539 H), ia belajar
fiqih pada Al-Ghazali sehingga menjadi ulama’ besar di Baghdad.
6) Abu Al Hasan Sa’ad Al-Khaer Bin Muhammad Bin Sabil Al Anshari
Al Maghribi Al Andalusi (w.541 H). ia belajar Fiqih pada Al-
Ghazali.
7) Abu Said Muhammad Bin Yahya Bin Mansyur Al Naisabur (476-
584 H), ia belajar Fiqih pada Al-Ghazali. Diantara karyanya yaitu Al-
Mukhit Fi Sarhil Washith Fi Masāil, Al Khilaf.
8) Abu Abdullah Al Husain Bin Hasr Bin Muhammad (466-552 H), ia
belajar fiqih pada Al-Ghazali (Bangun, 2013:167).
4. Awal Mula Kesufian Al-Ghazali
Pada awalnya isu-isu ilmu kalam telah membuat golongan munafik
menimbulkan keraguan terhadap akidah islam dan pegangan umat islam.
Kemudian didorong rasa tanggung jawab Al-Ghazali bangun menentang
musuh-musuh islam tersebut. Pada masa tersebut tidak ada ulama yang
berani menentang falsafah sebagai senjata untuk melemahkan akidah umat
islam. Al-Ghazali menentang hujah-hujah golongan tersebut. Awalnya Al-
Ghazali tidak mengetahui yang berkaitan dengan ilmu falsafah akan tetapi
dengan segala ketekunan Al-Ghazali belajar ilmu falsafah Yunani. Dengan
kesibukan mengajar ilmu agama pada masa luangnya Al-Ghazali
menyempatkan mempelajari falsafah tanpa guru yang terkenal di
bidangnya.Kurang dari dua tahun Al-Ghazali sudah banyak mempelajari
ilmu falsafah.Al-Ghazali memberikan sumbangan besar dalam bidang ini
22
khususnya berkaitan dengan falsafah Yunani yaitu tentang ketuhanan Allah
Swt (Bangun, 2013:159).
Setelah menganalisis ilmu yang falsafah yang dipelajarinya Al-Ghazali
membagi golongan yang membahas falsafah menjadi tiga golongan ;
pertamaatheis, kedua, natural, ketiga teologi. Golongan yang pertama
adalah golongan yang mengingkari wujud pencipta di seluruh alam
ini.Golongan kedua adalah golongan ilmuan yang mengkaji berkaitan
dengan tabiat, kejadian, dan anatomi manusia, tumbuhan serta hewan.
Golongan kedua ini menganggap apabila mati mereka tidak akan hidup
kembali, justru mereka menafikan kehidupan akhirat. Golongan ketiga
adalah ahli teologi yaitu ahli yang membincangkan soal-soal ketuhanan
Plato, aristoteles, dan sokrates, golongan ini membahas perkara-perkara
berkaitan dengan tuhan yang bersumber dari akal (Asmaran, 2002:338).
Al-Ghazali kemudian membongkar keburukan ilmu falsafah padahal ia
mempelajari ilmu falsafah tersebut. Kemudian,mulai ragu terhadap ilmu
falsafah karena di dalam ilmu falsafah banyak yang mengagungkan
ketuhanan Yunani tapi berdasarkan akal dan menyerang habis-habisan ilmu
falsafah Yunani.begitu juga dengan tasawuf, ia akan membersihkan
tasawuf dari perkara-perkara yang keluar dari agama islam yang
sebenarnya. Pada masa itu setelah penelitian yang kritis Al-Ghazali mulai
menemukan ahli sufi yang tidak pada jalannya karena ilmu yang kurang
serta pengetahuan yang kurang kepada tasawuf. (Bangun,
2013:160).Setelah membongkar kesalahan falsafah tersebut Al-Ghazali
mulai ragu terhadap ilmu yang digelutinya selama ini.Keraguan-keraguan
23
itu terus–menerus menimpa Al-Ghazali seperti suatu penyakit yang
sungguh pedih selama hampir dua bulan.Setelah kesehatan intelektualnya
sembuh.Kemudian diam-diam Al-Ghazali berusaha untuk keluar dari
Baghdad.Dia berpura-pura hendak pergi ke Syam dan menetap selama dua
tahun. Tanpa melakukan apapun selain membersihkan jiwanya,mendidik
akhlaknya dan menyucikan hatinya dengan berdzikir. Sepanjang hari
senantiasa ber-I’tikaf di menara masjid Jami’ damaskus (Halim, 1997:18).
Setelah tidak puas menetap disana maka pada tahun 1098 M, al-ghazali
pergi ke palestina untuk mengunjungi Hebron dan Yerussalem. Dia berdoa
di dalam masjid baitul maqdis memohon kepada Tuhan supaya diberi
petunjuk sebagai yang dianugrahkan kepada nabi. Kemudian di padang
sahara dan kemudian menuju kairo mesir, yang merupakan pusat kedua
bagi kemajuan dan kebesaran islam setelah kota bagdad, dari sinilah dia
menuju iskandariyah. Kemudian menuju makkah untuk melaksanakan
ibadah haji dan ziarah ke makam Rasulullah Saw. Setelah itu berpetualang
selama sepuluh tahun setelah meninggakan kota Baghdad. Pada tahun 1105
M al-ghazali pulangke Naisabur untuk mengajar di universitas nizamiyah,
akan tetapi, tidak bertahan lama mengajar disana kemudian kembali ke
Thus tanah kelahirannya untuk mengasuh dan mendirikan pesantren
(Asmaran, 2002:333-334).
24
B. KONSEP CINTA MENURUT PEMIKIRAN AL-GHAZALI
1. Pengertian Cinta
a. Ayat Al-Qur’an tentang cinta
Al-Ghazali menyebutkan firman Allah dan hadist rasulullah yang
menjadi dasar cinta kepada allah cinta yang paling utama adalah Al
Baqarah ayat 165 yaitu:
Waminan’-nāsi man-yattakhidzu min dūni’L-Lāhi andādan-
yuchibbūnahum kachubbi’L-Lāhi wal-ladzīna āmanū
asyaddu chubbaL-Li’L-Lāhi walaw yaral-ladzīna zhalamū
idz yaraunal-‘adzāba an-nal quwwata Li’L-Lāhi jamī’ān wa
anna’-Lāha syadīdul-‘adzāb.
Artinya: Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah
amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al
Baqarah :165).
25
Ayat diatas yang menunjukkan tentang cinta adalah
Waminan’-nāsi man-yattakhidzu min dūni’L-Lāhi andādan-
yuchibbūnahum kachubbi’L-Lāhi)
Artinya: Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Maksud dari Ayat diatas adalah menjadikan cinta kepada allah
sebagai syarat keimanan. Seperti saat rasulullah ditanya oleh sahabatnya,
Abu Razin Al-‘Uqaili,” Wahai rasulullah, apakah keimanan itu ? Beliau
menjawab :” Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih engkau cintai
daripada yang lain .” (H.R Ahmad) (Yon, 2014:14). Allah ‘azza wa jalla
berfirman,
Kul in kuntum tuchibbūna’L-Lāha fat-tabi’ūnī
yuchbibkumu’L-Lāhu wa yaghfir lakum dzunūbakum wa’L-
Lāhu ghafūrur-rachīm.
Artinya, “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)Ku, niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31)
Ayat diatas menunjukkan bahwa jika manusia mencintai Allah harus
mengikuti perintah allah dan menjauhi larangannya. Jika sudah mengikuti
26
perintah allah maka allah akan mencintai dan memberikan kasih
sayangnya kepada manusia yang mencintai Allah.
b. Pengertian cinta menurut para ahli
Cinta merupakan satu bagian terpenting dalam perasaan manusia.
Cinta merupakan refleksi hati yang dengannya seseorang cenderung dan
tertarik kepada yang lain (Irham, 2008:7).
Cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau (rasa) sayang (kepada),
ataupun (rasa) sangat kasih atau sangat tetarik hatinya.Sedangkan kata
kasih artinya perasaan sayang atau cinta kepada atau menaruh belas
kasihan.Dengan demikian arti cinta dan kasih hampir bersamaan, sehingga
kata kasih memperkuat rasa cinta. Karena itu cinta kasih dapat diartikan
sebagai perasaan suka(sayang) kepada seseorang yang disertai dengan
menaruh belas kasihan ( kamus besar bahasa indonesia karya w.j.s.
poerwadarminta). Cinta adalah sesuatu yang abstrak tapi bisa dirasakan
atau dinikmati hasilnya.Cinta yang sesungguhnya adalah cinta kepada
Allah.Walaupun cinta kasih mengandung arti hampir bersamaan, namun
terdapat perbedaan juga antara keduanya. Cinta lebih mengandung
pengertian mendalamnya rasa, sedangkan kasih lebih keluarnya dengan
kata lain bersumber dari cinta yang mendalam itulah yang dapat
diwujudkan secara nyata.
Cinta merupakan satu bagian terpenting dalam perasaan
manusia.Cinta merupakan refleksi hati yang dengannya sseorang
cenderung dan tertarik kepada yang lain (Irham, 2008:7). Realita yang
27
terjadi dalam kehidupan ini memberitahukan bahwa cinta yang tertanam
dalam hati dua insan maka cinta tersebut akan mewarnai kehidupannya.
Jalaludin Rumi mengatakan cinta adalah penyembuh bagi
kebanggaan dan kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan
diri. Hanya merekalah yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak
mementingkan diri (Nicholson, 2000:83). Cinta adalah naluri Ilahi dari
jiwa yang kemudian mendorong untuk menjadi sifat dan tujuan
(Nicholson, 2000:90). Menurut Al-Ghazali cinta adalah suatu
kecondongan naluri kepada sesuatu yang menyenangkan (Halim,
2000:34).
Cinta memegang peran yang penting dalam kehidupan manusia,
sebab cinta merupakan landasan dalam kehidupan perkawinan,
pembentukan keluarga dan pemeliharaan anak, hubungan yang erat
dimasyarakat, dan hubungan manusiawi yang akrab.Demikian pula cinta
adalah pengikat yang kokoh antar manusia dengan tuhannya sehingga
manusia menyembah tuhan dengan ikhlas, mengikuti perintahnya, dan
berpegang teguh pada syariatnya.
Menurut Kamus Al-Munawwir kata cinta dalam bahasa arab
adalah ُحبٌّ ِعْشٌق, َهَوىchubbun, ‘isyqun, hawā .Penelitian ini membahas
pengertian khusus dalam meneliti konsep cinta berdasarkan dasar-dasar
cinta, Sebab-sebab cinta, tanda-tanda cinta dan hal-hal yang paling ditakuti
oleh pecinta. Di bawah ini akan dijelaskan semuanya yaitu :
28
2. Dasar-dasar Cinta menurut Al-Ghazali
Pada dasarnya Al-Ghazali mengungkapkan konsep cinta tersebut
dengan proses pemikiran dan penghayatan kejiwaan dan pengaruh
lingkungan Al-Ghazali yang keluarga dan masyarakat persi masa itu
merupakan pemikir sufisme. Karena sejak kecil dia telah mempunyai
pemikiran positif serta memahami intuisi tasawuf secara mendalam.Tujuan
adanya konsep cinta menurut Al-Ghazali tersebut adalah memberikan
pengalaman kepada manusia mengenai konsep cinta yang diungkapkan
Al-Ghazali.
Pada konsep cinta tersebut sama halnya mistisisme yang merupakan
cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dibawah ini akan dijelaskan
mengenai dasar-dasar cinta yang diungkapkan Al-Ghazali yaitu :
a. Cinta tidak akan terjadi tanpa pengenalan (makrifat) dan
pengetahuan (idrak).
Manusia hanya mencintai sesuatu yang dikenalnya, karena itulah
benda mati tidak mempunyai rasa cinta seperti manusia.Karena cinta
merupakan sesuatu keistimewaan yang dialami oleh makhluk hidup yang
mampu saling mengenali objeknya sendiri-sendiri. Objek pengetahuan
tersebut dibagi Al-Ghazali menjadi tiga yaitu : pertama yang memiliki
keserasian dan menimbulkan kenikmatan terhadap subjek yang
mengetahuinya, yang kedua , yang tidak menimbulkan efek penderitaan
maupun kenikmatan terhadap subjek yang mengetahuinya, ketiga, yang
menimbulkan pertentangan, kebencian, dan penderitaan (Ridha, 2013:18).
Setiap objek yang menimbulkan kenikmatan akan di cintai oleh subjek
29
yang melihatnya, dan setiap yang merugikan akan dibenci oleh subjeknya
juga.
Jadi, setiap kenikmatan akan dicintai oleh orang yang bisa
merasakan kenikmatan tersebut. Sesuatu yang dicintai akan menjadi objek
kecenderungan jiwa untuk mendekatinya. Sesuatu yang dibenci akan
menjadikan kecenderungan jiwa untuk menjauhinya (Ridha, 2013:20).
Dengan demikian dapat diartikan berarti cinta yang dimaksud pada
penjelasan ini adalah sesuatu yang menguntungkan yang membuat Sesuatu
itu di dekati.
b. Cinta terwujud sesuai dengan pengenalan dan pengetahuan
memerlukan pembuktian.
Setelah terjalin pengenalan dan pengetahuan kemudian akan
terbagi sesuai dengan pengetahuan pancaindra. Setiap pancaindra akan
memiliki persepsi masing-masing dari objek yang diterimanya. Kemudian
timbul kecenderungan untuk mendekati objek tersebut. Sebagai contoh,
mata melihat sesuatu yang indah,cantik, dan yang mempesona. Sedangkan,
indra penciuman mencium sesuatu yang harum dan wangi, kenikmatan
rasa mersakan sesuatu yang enak dan lezat, kenikmatan indra peraba
menyentuh Sesuatu yang halus dan lembut (Ridha, 2013:20).
Setiap pancaindra merasakan nyaman dan kenikmatan masing-
masing dari objek yang ditangkapnya.Kenikmatan itulah yang
mendatangkan kecenderungan hati untuk mendekati dan mencintai (Yon,
2014:22). Nabi bersabda,” Yang kucintai di dunia ini ada tiga hal yaitu
wewangian, wanita dan shalat.”Seperti disebutkan,wewangian termasuk
30
hal yang dicintai. Indra penglihatan dan indara pendengaran tidak berperan
dalam menyerap bau wangi tersebut, tapi yang berperan hanya indra
penciuman. Shalat termasuk kenikmatan yang paling dicintai. Kelima
indera yang tidak berperan dalam menyerap kenikmtan shalat, tetapi hanya
mata hati sebagai indra keenam yang merasakannya (Rashid, 2013:21).
Akan tetapi jika cinta hanya terbatas pada panca indera, tidak dapat
mencintai dan di cintai Allah karena tidak akan bisa mengenal dan
mencintai Allah.
Dalam indera keenam atau mata hati hanya terdapat pada
manusia.indera tersebut disebut dengan akal, nurani atau hati yang
menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lain yang menjadikan
manusia mempunyai derajat paling tinggi dimata Allah (Yon, 2014:23).
Maka dari itu penglihatan mata hati lebih kuat dibandingkan dengan
penglihatan mata biasa.Karena itu, mata hati bisa merasakan nikmat dan
kemuliaan daripada panca indera.
c. Manusia pasti mencintai dirinya sendiri
Manusia memang mencintai dirinya sendiri. Walaupun biasanya
mencintai orang lain karena dirinya sendiri. Manusia mencintai dirinya
untuk kelangsungan hidupnya kelak, dan menghindari sesuatu yang bisa
menghancurkan kelangsungan hidupnya (Rashid, 2013:22). Manusia
mencintai dirinya untuk kelangsungannya akan tetapi manusia takut akan
kematian. Manusia takut akan kehidupan yang membuat hidupnya
mengalami kepedihan dan penderitaan (Yon, 2014:25).
31
Selain kelangsungan hidup, yang diinginkan manusia adalah
kesempurnaan hidup. Tubuh yang sehat, harta yang banyak, keturunan
yang membanggakan, dan bentuk kesuksesan yang lain (Yon, 2014:26).
Semua itu sudah menjadi tabiat manusia yang ingin selalu sempurna, tidak
sempurna dimata Allah tapi dimata manusia yang lain.
“ dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada
sunnatullah.” (QS. Al-Ahzab:62)
Hal diatas merupakan penjelasan mengenai esensi cinta menurut
Al-Ghazali.Sufyan Ats-Tsauri berkata,” Cinta itu mengikuti
Rasulullah.”Cinta Rasulullah selalu penuh dengan inspirasi dan penuh
dengan cinta yng sesungguhnya kepada Allah.
3. Sebab-sebab cinta
Al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang
menyebabkantumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan
mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan
Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab cinta menrut Al-Ghazali adalah
sebagai berikut:
a. Cinta terhadap diri sendiri serta kekekalan, kesempurnaan dan
kelangsungan hidup.
Manusia mencintai dirinya sendiri, ini merupakan cinta yang pertama
yang dimiliki manusia.Kemudian mencintai kekekalan, kesempurnaan
dan kelangsungan hidup. Seiring dengan itu, manusia juga membenci
kehancuran,ketiadaan,kekurangan dan hal lain yang menghalangi
kesempurnaan hidupnya (Rashid, 2013:38). Hal tersebut merupakan
watak manusia yang selalu ingin kesempurnaan dalam hidupnya.
32
Manusia menyukai semua itu bukan karena wujudnya , tapi karena semua
itu membuat hidupnya sempurna (Yon, 2014:29).
Pada gilirannya akan menuntut cinta yang tertinggi yaitu cinta
kepada Tuhan. Orang yang mengenal Tuhannya ia akan mengenal bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki dirinya. Keberadaan diri, kelangsungan
hidup, dan kesempurnaan dirinyaadalah dari,untuk dan sebab Tuhan
(Rashid, 2013:38). Hal yang paling menjadi pusat perhatian manusia
adalah kelangsungan hidupnya karena ia ingin ada yang meneruskan
hidupnya. Karena manusia sadar bahwa tidak akan hidup selamanya dan
anak yang akan menggantikan posisinya.
Akan tetapi, jika manusia diberikan pilihan anak atau dirinya yang
dibunuh, dalam kondisi yang normal dia akan memilih dirinya sendiri
daripada kelansungan hidup anaknya. Rasa cinta manusia kepada kerabat
dan saudara merupakan cinta yang didasarkan pada kesempurnaan dirinya
sendiri. Al-Ghazali mengibaratkan keberadaan harta,anak,kerabat,dan
faktor yang itu merupakan pelengkap bagi eksistensi manusia dan
kesempurnaan hidupnya. Semua cinta terlahir secara alami, karena hal
yang dicintai oleh makhluk hidup adalah eksistensi dan kesempurnaan
dirinya dan yang paling dibenci adalah kebalikan dari keduanya(Yon,
2014:30).
b. Cinta terhadap kebaikan.
Manusia diciptakan dari fitrah yang baik dan diciptakan suka
terhadap hal yang baik. Begitu juga hati, ia cenderung cinta terhadap
orang yang berbuat baik kepadanya dan membenci orang yang berbuat
33
jahat. Orang yang baik yang dimaksud adalah orang yang suka
menolong,cukup harta,tenaga, ilmu, dan faktor lain yang dapat
mengukuhkan kelangsungan hidup sesama dan memberikan manfaat bagi
kelestarian hidupnya. (Yon, 2014:31). Contohnya ketika sedang
kesusahan untuk membayar kontrakan ada orang yang membantu
memberikan pinjaman, dengan begitu manusia akan mencintai orang
yang berbuat baik pada dirinya.
Untuk yang bersifat duniawi hal itu merupakan kebaikan yang
tidak ikhlas. Jika manusia mengenal Tuhannya pasti ia mencintai dan
tidak akan ada yang berbuat baik kecuali Tuhan. Karean manusia tidak
akan bisa menghitung kebaikan Tuhan yang diberikan kepada manusia
(Rashid, 2013:42).
Sebagaimana firman-Nya:“Dan jika kalian menghitung
nikmat Tuhan, maka kalian tidak akan mampu menentukan
jumlahnya.”
Sebenarnya orang yang mencintai kebaikan tersebut karena
terpaksa karena mencintai kebaikan yang bermanfaaat untuk dirinya, kan
tetapi jika manfaat tersebut sudah habis rasa cinta tersebut juga kan
hilang dengan sendirinya. Imam Junaid Al-Baghdadi berkata: Setiap cinta
yang ditopang dengan imbalan akan musnah jika imbalanya itu sirna.”
(Yon, 2014:31).
Contohnya : manusia tidak akan memberikan hartanya ke tangan
orang lain kecuali tujuan tertentu. Tujuan tersebut yang ingin dituju dan
diperoleh. Faktor yang menyebabkan manusia mempunyai tujuan tersebut
adalah pertama, ia sebenarnya terpaksa karena Tuhan telah menimbulkan
34
di dalam dirinya motif-motif yang mendorongnya untuk memberkan
harta. Sementara ia tidak mampu menentang dorongan tersebut. Yang
kedua, ia memperoleh pengganti dari harta yang telah ia berikan sebagai
keuntungan yang lebih besar dan lebih disukai (Rasyid, 2013:44). Kedua
faktor tersebut yang menjadikan manusia mencintai orang yang berbuat
baik dengan motif tujuan tertentu.
c. Mencintai orang yang berbuat baik walaupun kebaikannya tidak
dirasakan.
Dalam hal ini mencintai orang yang berbuat baik walaupun
kebaikannya tidak dirasakan merupakan sifat yang dimiliki oleh manusia
walaupun hal tersebut tidak ada keuntungan untuk manusia tersebut.Akan
tetapi, hal tersebut dinamakan cinta karena cenderung mencintai sesuatu
tanpa keuntungan darinya. Cinta yang demikian itu akan membuat
manusia untuk mencintai Allah juga. Misalnya, ada seorang raja yang
kaya dan dermawan ketika mendengar cerita dari orang lain akan
kebaikan raja tersebut pasti manusia akan cinta kepadanya walaupun
kebaikan tersebut tidak dirasakan hanya di dengarnya dari orang lain.
Contoh diatas merupakan cinta kepada orang yang berbuat baik
bukan karena kebaikan itu dirasakan seseorang akan tetapi hanya
didengarnya. Dalam hal ini sesorang mencintai bukan tanpa sebab akan
tetapi ada sebab yang melatarbelakangi cinta tersebut. Akan tetapi,
sebenarnya yang memberikan kebaikan itu kepada manusia adalah Allah
karena Allah yang memberikan kebaikan kepada seluruh alam semesta
dan kepada semua jenis makhluk. Kebaikan Allah tersebut berwujud,
35
pertama, pada penciptaan makhluk yang ada di alam semesta, kedua,
penyempurnaan diri dengan anggota-anggota badan dan sebab-sebab
yang termasuk hal-hal vital, ketiga, penganugrahan fasilitas dan
kenikmatan yang ada pada mereka, keempat, penganugrahan keindahan
dengan keistimewaan dan kelebihan yang relatif merupakan faktor-faktor
yang memperindah diri makhluk tersebut (Rasyid, 2013:46-47). Pada
dasarnya dari keempat faktor tersebut merupakan penciptaan Allah yang
sempurna kepada makhluk di alam semesta dan Allah yang maha
sempurna tidak ada yang sempurna selain diri-Nya.
d. Keindahan dan kecantikan
Penyebab lahirnya cinta yang selanjutnya adalah berkaitan dengan
Keindahan dan kecantikan .Al-Ghazali menyatakan bahwa sebagian besar
orang menganggap bahwa kecantikan pada manusia hanya karena
keserasian bentuk dan warna kulit yang putih bersemu merah. Seseorang
disebut cantik bial tubuhnya proposional tinggi semampai dan berkulit
putih kemerahan (Yon, 2014:33). Pada dasarnya manusia memandang
keindahan dari lahiriah saja, yang bisa dilihat mata.Maka dari itu, sesuatu
yang tidak bisa dilihat tidak disukai dan dicintai.
Orang yang mencintai Rasulullah Saw, Abu Bakar Shidiq,Imam
Syafi’i, sebenarnya mencintai mereka bukan karena lahiriyah dari diri
mereka. Hal itu bukan karena keindahan dalam hal fisik mereka atau
bentuk perbuatan mereka.Keindahan perbuatan mereka menunjukkan
keindahan sifat-sifat mereka yang menjadi sumber perbuatan tersebut.
Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan tersebut merupakan pengaruh
36
yang ditimbulkan dan ditunjukkan oleh keindahan sifat-sifat mereka
(Rasyid, 2013:49). Seperti halnya orang yang melihat keindahan
karangan dari seorang pengarang, keindahan syair, keindahan seni ukir
dan lain sebagainya.
Setiap objek pengetahuan yang merupakan keindahan hal tersebut
mulia dan sempurna, maka yang menghasilkan keindahan tersebut mulia
dan indah juga.objek pengetahuan yang palinga mulia adalah
Allah.Maka, ilmu yang indah adalah mengenal (Makrifat) Allah. Begitu
pula, ilmu yang dikhususkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka
kemuliaan ilmu itu bergantung pada kadar keterkaitannya dengan Allah.
Karena itulah sifat orang-orang yang lurus yang secara naluriah dicintai
oleh hati terpusat pada tiga hal yaitu:
Ilmu mereka tentang Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab
suci-Nya, rasul-rasul-Nya dan syariat-syariat para nabi.
Kekuasaan mereka untuk memperbaiki diri mereka dan orang
lain dengan peraturan dan kebijakan politik.
Kesucian diri mereka dari sifat-sifat hina dan kotor serta dari
hawa nafsu yang bisa mengalahkan dan menjauhkan mereka
dari jalan kebaikan lalu menjerumuskan mereka ke jalan
kejahatan (Rasyid, 2013:49-50).
e. Keserasian antara orang yang mencintai dan yang dicintai.
Keserasian antara orang yang mencintai dan yang dicintai hal ini
terjadi karena sesuatu yang menyerupai hal tersebut sehingga menimbulkan
ketertarikan diantara keduanya. Suatu bentuk ketertariakn cenderung
37
menyukai bentuk lain yang menyerupainya. Seperti halnya, anak kecil yang
suka bergaul denagn anak kecil seumurannya, orang dewasa senang bergaul
dengan orang dewasa juga (Rasyid, 2013:58). Cinta lahir karena kesamaan
karakter jiwa. Mereka saling melengkapi dan jiwa yang sama atau berbeda
bila saling melengkapi akan saling mencintai. Sebagaimana yang dikatakan
Imam Junaid Al-Baghdadi “Allah mengharamkan cinta kepada orang yang
punya permusuhan sebab cinta selalu kompak dan menyatukan” (Yon,
2014:34).
Saling mengenal berarti terdapat kesesuaian, tidak saling mengenal
berarti terdapat perbedaan. Sebab inilah yang menimbulkan cinta kepada
Allah, kesesuaian batin yang tidak berdasarkan keserupaan gambaran dan
bentuk lahiriyah, tetapi berdasarkan pengertian-pengertian batiniyah
(Rasyid, 2013:59).
Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri
dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan
secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa
seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-
sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang
perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang
mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam
jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu
mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis
38
(majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui
oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
Semua yang mengenai sebab-sebab cinta yang diutarakan Al-
Ghazali ada lima sebab-sebab cinta yang bila semuanya terkumpul dalam
hati seseorang, akan bertambah kecintaannya dan berlipat ganda perasaan
sukanya. Semua sebab-sebab cinta diatas dapat dipahami bahwa pada
hakikatnya obyek dari cinta adalah Allah dan tidak ada sesuatupun yang
berhak dicintai kecuali Allah.
Tanda cinta merupakan hal yang subjektif, satu orang dengan orang
yang lainnya akan memaknai tanda tersebut dengan berbeda. Tanda cinta
tersebut membuktikan akan adanya cinta.
4. Tanda-tanda cinta
Pada dasarnya semua orang paham akan cinta akan tetapi belum paham
mengenai cinta. Selama Allah belum menguji seseorang maka belum
dinamakan itu cinta karena di dalam cinta perlu adanya bukti yaitu bisa
melalui cobaan atau ujian yang akan dijalaninya. Dibawah ini akan
dijelaskan mengenai tanda-tanda cinta itu sendiri. Yaitu:
a. Menyukai pertemuan dengan kekasih.
Menyukai pertemuan dengan kekasih hal ini dengan cara
tersingkapnya tabir (Kasyf) dan penyaksian di akhirat kelak. Seseorang
dikatakan tidak mencintai kekasihnya jika tidak suka melihat dan bertemu
dengannya. Karena tidak ada jalan untuk melihat dan bertemu
denganTuhan kecuali meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya
melalui kematian (Rasyid, 2013:147). Kematian merupakan kunci untuk
39
bertemu dengan Allah.Rasulullah Saw bersabda,” barangsiapa mencintai
pertemuan dengan Allah niscaya dia kan mencintai pertemuan
dengannya,” (HR Bukhari dan Muslim).Dalam hal ini jihad fi sabillah
kemudian mati syahid merupakan upaya untuk lebih dekat dengan Allah
karena hal tersebut merupakan ujian cinta dari Allah.
Abu Bakar Ash-Sidiq pernah berwasiat kepada sahabatnya yaitu
Umar Ra,” kebenaran itu berat, tapi seiring beratnya kebenaran ada
kenikmatan didalamnya. Sementara kebatilan itu ringan, tapi karena
ringannya itulah ia penuh penyakit. Jika kau menjaga wasiatku ini, tidak
ada hal ghaib yang lebih kau cintai daripada kematian yang tidak
terelakkan.Tapi, kalau kau sia-siakan wasiatku ini, tidak ada hal ghaib
yang lebih kau benci daripada kematian, yang kau tak mungkin menolak
kedatangannya.”(Rasyid, 2013:253). Wasiat Abu Bakar Ash-Shidiq
tersebut merupakan pesan kepada semua manusia untuk tidak tidak akan
kematian karena kematian merupakan wujud cinta Allah kepada manusia.
Akan tetapi, manusia zaman sekarang takut akan kematian karena
kematian memutuskan manusia sehingga tidak bisa bertemu dengan
keluarga,sahabat serta tidak bisa menikmati keindahan dan kenikmatan
dunia, tetapi hal paling ditakuti manusia adalah banyaknya dosa, belum
mempersiapkan sesuatu jika bertemu dengan kekasihya dan takut jika
masuk neraka.
Benci atau takut terhadap kematian tidak menghilangkan
kesempurnaan cinta Allah kepada manusia. Setelah tanda cinta yang
pertama yaitu menyukai pertemuan dengan kekasih selanjutnya akan
40
dijelaskan mengenai tanda cinta yaitu lebih mengutamakan kekasih,
karena hal tersebut akan menjadiakan kekasih lebih mencintainya.
b. Lebih mengutamakan apa yang dicintai kekasih.
Seorang yang mencintai kekasihnya baik secara lahir maupaun
batin, akan lebih mengutamakan apa yang di cintai kekasihnya. Ia akan
mencintai kekasihnya melebihi apa yang dicintainya. Maka ia kan rela
mengerjakan kebaikan-kebaikan walaupun berat dan menjauhkan diri dari
maksiat. Ia lebih memilih mendekatkan diri kepada kekasihnya dengan
cara ibadah-ibadah sunah (Yon, 2014:253). Jika orang terus menerus
mengikuti hawa nafsunya, yang ia cintai adalah hawa nafsunya jika oarng
yang sungguh-sungguh mencintai Allah akan meninggalkan hawa
nafsunya sendiri. Seperti syair dibawah ini:
Aku ingin berhubungan dengan-Nya, namun Dia ingin
meninggalkanku Maka, kutinggalkan keinginanku demi
mengikuti keinginan-Nya (Rasyid,2013:152).
Seperti contohnya Nabi Yusuf As dengan Zulaikha yaitu : Setelah
menikah dengan Nabi Yusuf As, Zulaikha senang menyendiri dan
beribadah kepada-Nya.Pada awalnya Zulaikha tergila-gila dengan Yusuf.
Zulaikha yang takluk pada cinta butanya terhadap Yusuf, menghalalkan
segala cara untuk mendapatkannya. Akan tetapi, ketika cahaya hidayah
datang kepadanya, ia menyadari bahwa semua cintanya harus di dasarkan
pada cinta Allah. Setelah mendapatkan cinta Yusuf akan tetapi, Zulaikha
tidak lagi menginginkan Yusuf.
Zulikha berkata kepada Yusuf,” Wahai Yusuf, sungguh aku
mencintaimu sebelum aku mengenl-Nya. Akan tetapi, setelah aku
41
mengenal-Nya aku lebih mencintai-Nya, hingga tidak ada ruang untuk
selain Dia. Aku tidak ingin ada yang lain sebagai pengganti-Nya.” Yusuf
menjawab,” Sungguh Allah memerintahkanku untuk melakukan itu dan
mengabarkan kepadaku kelak akan lahir dari rahimmu dua ank yang
keduanya akan menjadi nabi.”Zulaikha menjawab,” Jika Allah
memerintahkanku untuk itu, dan menjadikan diriku sebagai jalan untuk
itu, aku akan taat kepada perintah-Nya, hatiku selalu tenang dalam
ketaatan kepada-Nya.” (Yon, 2014:254-255).
Cerita tersebut memberikan pelajaran bahwa jika mencintai
kekasihnya sesorang harus memberikan segala sesuatu yang dimiliki dan
melakukan ketaatan kepada kekasihnya.Seperti yang dilakukan oleh
Zulaikha yang awalnya mencintai Yusuf karena ketampanannya kemudian
mendapatkan hidayah bahwa ketampanan tersebut adalah pemberian Allah
sedangkan Yusuf adalah lantaran untuk memberikan hidayah kepada
Zulaikha.
Al-Ghazali memberikan pengertian bahwa maksiat itu bertentangan
dengan kesempurnaan cinta, bukan merupakan pokok cinta. Seperti
contoh, manusia mengatakan mencintai dirinya dan mengaku mencintai
kesehatannya akan tetapi, memakan makanan yang berbahaya bagi dirinya
sendiri padahal makanan tersebut tidak baik untuk dirinya, seperti setiap
hari makan sesuatu yang berminyak secara berlebihan padahal dalam hal
kesehatan tidak diperbolehkan jika berlebihan, memakan makanan laut
padahal dirinya alergi terhadap hewan laut, meminum khamar hal tersebut
42
sudah diharamkan dalam Al-Qur’an karena berbahaya bagi tubuh
manusia.
c. Selalu mengingat dan menyebut-nyebut nama kekasih.
Salah satu tanda cinta kepada Allah yang selanjutnya adalah selalu
mengingat dan menyebut-nyebut nama-Nya disaat sedang bahagia ataupun
susah (Rasyid, 2013:156). Seperti halnya seseorang yang sedang jatuh
cinta ia akan selalu menyebut-nyebut dan mengingat orang yang
dicintainya. Begitu juga yang mencintai Allah, akan selalu mengingat dan
menyebut-Nya dengan dzikir , membaca Al-Qur’an serta yang berkaitan
dengan Allah (Yon, 2104:258).
Sahl At-Tustari mengatakan,” Tanda cinta kepada Allah adalah cinta
kepada Al-Qur’an. Lalu, cinta tanda cinta cinta kepada Allah dan Al-
Qur’an adalah cinta kepada Rasulullah. Tanda cinta kepada Rasulullah
adalah dengan mencintai sunahnya.Tanda mencintai sunah adalah cinta
akhirat. Tanda cinta akhirat adalah benci kepada dunia, dan tanda
membenci dunia adalah tidak mengambil darinya kecuali akan menjadi
bekalnya di akhirat” (Rasyid, 2013:154).
d. Merasa tenteram dengan menyendiri dan bermunajad bersama Allah
serta membaca Kitab-Nya.
Mereka adalah orang yang memanfaatkan waktu malam yang sepi
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah (Yon, 2014:259). Derajat cinta
paling rendah adalah merasa lezat dengan menyendiri bersama sang
kekasih dan merasa nikamat jika bersama-Nya (Rasyid, 2013:158). Akan
tetapi pada keadaan sekarang manusia lebih memilih tidur terlelap hinga
43
pagi daripada bermunajad kepada Allah, dengan alasan kesibukan yang
banyak dan kelelahan.
Seorang pecinta sejati tidak lagi merasa terganggu oleh kehidupan
duniawi.Hatinya tidak tenteram kecuali bersama denagn kekasih yang
dicintainya. Ketika munajad mencapai puncaknya, ia merasakan yang
terjadi disekelilingnya (Yon, 2013:262). Dengan demikian rasa nyaman
yang diciptakan akibat bermunajad kepada Allah menjadikan manusia
cintanya akan bertambah.
e. Tidak bersedih terhadap sesuatu yang hilang selain Allah.
Kesedihan yang diratapi ketika kesempatan yang diberikan
kepadanya untuk berdzikir kepada Allah dan melaksanakan ketaatan.
Ketika melakukan kelalaian,ia akan mencela diri sendiri serta bertobat.
Sebagian orang yang sudah mencapai tingkat makrifat berkata,” Allah
memiliki hamba –hamba yang mencintai-Nya dan merasa tenteram
bersama-Nya (Rasyid,2013:162). Mereka merupakan orang yang merasa
puas dan cukup hanya dengan Allah. Mereka tidaka akan bersedih dengan
hilangnya harta benda atau keluarganya. Mereka tidak sibuk mencari
keuntungan pribadi karena mereka mempunyai Allah yang maha kaya
(Yon, 2014:263).
Akan tetapi, jika dilihat pada masyarakat sekarang ketika
kehilangan harta mereka putus asa hingga bunuh diri, menjadi gila dan ada
yang membenci akan keadilan yang diberikan oleh Allah. Seperti juga
ketika manusia diberi cobaan kehilangan anak satu-satunya yang sudah
44
lama dinantikan manusia akan marah kepada Allah dan meratapi hingga
mereka putus asa dan tidak percaya lagi pada Allah.
f. Merasa nikmat dan tidak menganggap berat ketaatan kepada Allah.
Manusia yang mencintai Allah tidak akan merasa terbebani dan
lelah menjalankan ketatatan yang diperintahkan Allah. Sebagaimana
seorang sufi berkata,” Aku bersusah payah setiap malam selama dua puluh
tahun.Namun, kemudian aku merasakan nikmat dengann-Nya selama dua
puluh tahun pula.” Al-Junaid berkata,” Tanda orang yang mencintai Allah
adalah senantiasa tekun dan bersungguh-sungguh dalam kerinduan Allah
sehingga membuat lelah fisiknya, tetapi tidak membuat lelah hatinya”
(Rasyid, 2013:163). Akan tetapi manusia lebih banyak mengeluh
kelelahan dan malas untuk mengerjakan kewajibanya seperti sholat lima
waktu, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Junaid Al-Baghdadi (830-910 M) seorang generasi sufi awal yang
memegang syariat dan sunah nabi mengatakan bahwa seseorang pecinta
yang sungguh-sungguh dalam kerinduan kepada Allah, hati dan pikirannya
tidak akan pernah merasa lelah meski tubuhnya butuh istirahat (Yon,
2014:265).
g. Menyayangi dan mengasihi semua hamba Allah akan tetapi tegas
terhadap semua musuh Allah.
Allah sudah mejelaskan terhadap menyangi dan mengasihi kepada
semua hamba Allah yaitu dalam surat Al-Fath ayat 29 yang artinya,”
“orang-orang yang bersama dengannya keras
terhadap orang-orang kafir tapi berkasih sayang
terhadap sesama mereka.” (Qs.Al Fath:29).
45
Ayat diatas menjelasakan bahwa sebagai hamba Allah harus saling
mengasihi antara satu sama lain tidak saling membedakan. Seperti
perumpamaan berikut. Seorang anak kecil diberi mainan baru, ia tidak
akan mau berpisah dengan mainan barunya. Jika mainan tersebut diambil
dia akan menangis dan tidak akan berhenti jika mainan tersebut
dikembalikan. Jika ia tidur ia membawa mainan tersebut ke tempat
tidurnya dan ia simpan dibalik bajunya. Jika terbangun dia akan mencari
kembali mainannya (Rasyid, 2013:165). Ini merupakan tanda-tanda cinta ,
jika dalam dirinya terdapat cinta maka sempurna juga cintanya. Ia akan
tulus ikhlas mencintai. Jika seorang mencampur adukkan antara cinta
Allah dengan cinta selain-Nya maka ia akan memperoleh cinta sesuai
kadar cintanya (Yon, 2014:266). Dalam hal ini diibaratkan minuman
sebagai kenikmatan hasil dari cintanya kepada Allah.
h. Terselip rasa takut dalam cinta karena rasa hormat dan takzim.
Orang menganggap bahwa ketakutan bertentangan dengan cinta,
padahal hal tersebut wajar terjadi takut akan orang lain yang wibawanya
lebih besar darinya seperti Allah yang maha kuasa (Yon, 2014:268).
Biasanya jika seseorang takut akan bersembunyi dan menghilang darinya
akan tetapi berbeda jika seseorang tersebut takut kepada Allah akan lebih
mendekatkan dirinya kepada Allah dengan segala kemampuan yang
dimiliki dan tidak ada keinginan untuk menghindari Allah.
Para pecinta Allah memiliki ketakutan-ketakutan dalam tingkatan
cinta yang tidak dimiliki oleh orang lain. Diantara ketakutan tersebut
terdapat ketakutan yang lebih besar daripada ketakutan yang lainnya yaitu,
46
pertama, takut menjauhnya Tuhan, yang kedua, takut dihentikan dan
dicabutnya Anugerah Tuhan, yang ketiga, takut lupa kepada Tuhan
(Rasyid, 2013:168-170).
Takut menjauhnya Tuhan
Ketakutan yang terbesar adalah ketika kekasihnya atau Allah menjauhi
dirinya dan meninggalkannya.
Sebagaimana firman Allah: Ingatlah betapa jauhnya
kaum Tsamud! Dan ingtlah, betapa jauhnya kaum
Madyan seperti jauhnya kaum Tsamud!
Sebagaimana diketahui bahwa ketakutan dan kekhawatiran akan
menjauhnya Tuhan hanya dimiliki oleh hati orang yang
menyukai,merasakan, dan menikmati cinta dan kedekatan kepada Tuhan.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai takut dihentikan dan dicabutnya
Anugerah Tuhan (Rasyid, 2013:168).
Takut dihentikan dan dicabutnya Anugerah Tuhan.
Al-Ghazali menjelaskan bahawa derajat kedekatan tidaklah
terbatas. Maka, setiap hamba wajib untuk berusaha agar bisa lebih dekat
dengan Tuhannya (Yon, 2014:269). Tingkatan kedekatan dengan Tuhan
tidak ada akhirnya.Sedangkan tugas seorang hamba adalah berusaha
sekuat tenaga untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Pencabutan anugerah karena keinginan hawa nafsu merupakan
siksaan bagi orang-orang biasa. Akan tetapi, bagi orang-orang yang hanya
mengaku, berbangga diri, dan tertarik pada hal yang tampak kecil hal
tersebut sudah menghalangi mereka dari anugerah Tuhan (Rasyid,
2013:170).
47
Takut lupa kepada Tuhan.
Seorang pecinta selalu rindu dan berusaha mendekatkan diri kepada
Tuhan. Jika ia merasa tenang denagn selain Allah berarti ia telah lalai,
langkahnya terhenti, atau kembali kepada kondisi sebelumnya dimana ia
lupa kepada Allah (Yon, 2014: 270). Perubahan sikap tersebut mempunyai
sebab-sebab tersembunyi,transcendental, dan tidak terjangkau oleh
kemampuan manusia (Rasyid, 2013:170).
Jika dilihat pada keadaan sekarang upaya mendekatkan diri kepada
Tuhan dengan berdzikir,bersedekah, berbuat baik kepada semua orang
tanpa terkecuali.
Takut bergantinya cinta
Takut bergantinya cinta yaitu berpindahnya hati dari mencintai
Tuhan kepada yang mencintai yang lain. Kebencian dan kelupaan
terhadap-Nya merupakan awal mula dari berpindahnya mencintai
Tuhan.Sedangkan keberpalingan dan adanya tabir merupakan awal lupa
dan sempitnya dada untuk beribadah, hilang semangat untuk senantiasa
berdzikir dan malas melakukan tugas wirid. Munculnya faktor-faktor
tersebut merupakan petunjuk berpindahnya cinta ke tahap benci (Rasyid,
2013:172).
i. Menyembunyikan cinta dan enggan mengakuinya.
Salah satu tanda cinta adalah berupaya untuk tidak menampakkan
cinta dan kasih saying demi menghormati dan mengagungkan, takut
kepada sang kekasih yang dicintai, dan cemburu bila rahasianya diketahui
orang lain (Rasyid, 2013:176).
48
Semua itu dilakukan karena atas dasar cintanya kepada Allah, jika
mengumbar cintanya kepada Allah akan timbul perasaan menyombongkan
di dalam hati dan dirinya serta cemburu jika cintanya dimilik oleh orang
lain. Seperti contoh, seorang perempuan yang mencintai seorang laki-laki
kemudian laki-laki tersebut juga mencintainya, ia akan menjaga cintanya
tersebut dan tidak ingin orang lain memilikinya.
Orang bijak berpendapat bahwa mereka yang sering memamerkan
cintanya kepada Allah di depan orang lain adalah orang yang paling jauh
dengan-Nya. Ia akan dibenci oleh orang yang mengenal dan mencintai-
Nya (Yon, 2014:271). Cinta adalah tingkatan yang paling akhir dan
memperlihatkannya adalah memperlihatkan kebaikan. Akan tetapi, yang
tidak dibolehkan adalah memamerkan cinta tersebut karena akan timbul
kesombongan dalam diri. Al-Ghazali hanya ingin menekankan pentingnya
seorang pecinta memiliki kepribadian yang baik dan mengerjakan berbagai
perbuatan yang mulia, sebagai bukti amal yang terlahir dari cintanya yang
tersembunyi atau dirahasiakan (Yon, 2014:272).
j. Merasa akrab dan rela
Semua perbuatan baik dan akhlak mulia yang diajarkan agama
adalah buah dari cinta. Sedangkan yang tidak dibuahkan oleh kecintaan
kepada Allah adalah karena mengikuti hawa nafsu dan merupakan akhlak-
akhlak yang tercela (Rasyid, 2013:181). Jika yang dominan adalah
memandang keindahan dari tabir maka yang muncul adalah kerinduan
(Syauq), yaitu perasaan yang kuat untuk mencari tahu tentang sesuatu
yang tersembunyi dan berambisi untuk bertemu dengan-Nya. Jika yang
49
dominan adaah kesenangan karena bisa dekat dengan Allah dan
kemampuan (Musyahadah) terhadap kehadiran-Nya, tanpa berambisi
untuk melihat apa yang belum diketahui, maka hatinya telah merasakan
kesenangan (Uns). Jika pandangannnya yang dominan tertuju pada sifat-
sifat kemuliaan dan istighna’ (sifat berdiri senjdiri tanpa sekutu) Allah,
serta rasa khawatir Dia tidak memperhatikan dirinya dan menjauh darinya,
hal ini disebut dengan takut (Khauf) (Yon, 2014:274-275).
5. Tingkatan keimanan menurut pemikiran Al-Ghazali
a. keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yaitu iman atas
dasar taklid. selalu mengingat Allah dengan dzikir, senantiasa menyebut
nama Allah.
b. Tingkat kedua yaitu, imannya para mutakallimin (teolog), atas
pencampuran (Taklid) dengan sejenis dalil. Pada tingkatan ini masih dekat
dengan keimnanan orang awam.
c. Tingkat ketiga yaitu, imannya para arifin (Sufi) atas dasar penyaksian
secara langsung dengan perantaan nurul yakin. Pada orang yang demikian,
yang dilihat dan dirasakan bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
(Simuh, 2002:154).
Uraian diatas merupakan konsep cinta yang diutarakan Al-Ghazali
dimana konsep cinta tersebut disebutkan dari dasar-dasar cinta,sebab-sebab
cinta, tanda-tanda cinta dan tingkatan cinta. Konsep cinta tersebut harus
dimiliki oleh seorang yang ingin memahami cinta yang sesungguhnya yaitu
50
cinta yang didasarkan pada Tuhan.Konsep cinta tersebut merupakan hasil
pemikiran dan pengalaman yang dialami Al-Ghazali.
C. PROSES MENUJU MACHABBAH KEPADA TUHAN
Proses menuju machabbah kepada Allah adalah suatu keharusan dalam
tingkat kesufian seorang sufi. Proses ini tidak akan terlaksana jika tidak
dilakukan dengan benar ataupun dilakukan bukan semata-mata karena Allah.
Machabbah merupakan perjalan spiritual yang tidak terlihat.Berbagai upaya
dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan.Mereka mencari jalan
yang dapat membawa mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka
merasa melihat Tuhan dengan hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan
Tuhan. Jalan untuk senantiasa dekat dengan Allah adalah senantiasa
mensucikan diri dan menjadi seirama dengan sifat-sifat Tuhan (Halim,
1997:129).
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai proses menuju machabbah dengan
maqam cinta Al-Ghazali,syari’at,hakekat dan ma’rifat.
1. Maqam cinta Al-Ghazali
Untuk mencapai kedekatan yang sedemikian rupa dengan Tuhan dan
bahkan sampai bersatu dengan Tuhan, seorang sufi harus melewati jalan
panjang yang berupa maqamat atau station tertentu dalam perjalannya
menuju Tuhan (Nasution, 62). Seperti halnya, Al-Ghazali dalam menjelaskan
bahwasannya maqam yang telah dilaluinya yakni maqam taubat ,sabar
51
,kefakiran ,zuhud ,tawakal ,kerelaan ,cinta dan makrifat. Dibawah ini akan
dijelaskan mengenai maqamat atau station yang sudah dilalui Al-Ghazali.
a. Maqam Taubat
Cinta dalam arti taubat menurut Al-Ghazali adalah cinta yang
didasarkan cintanya kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya
tidak mengulanginya lagi serta konsisten dalam menjalani ibadah kepada
Allah. Karena orang yang bertobat merupakan pecinta Tuhan,yaitu selalu
mengingat Tuhan. Taubat merupakan anugerah tuhan yang datang dari
Tuhan juga kepada manusia tidak dari manusia kepada Tuhan (Simuh,
2000:53).
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan mendapat
berbagai pengertian.Namun, yang membedakan antara taubat dalam syariat
biasa dengan maqam taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara
taubatnya orang-orang yang awam dengan taubatnya orang khawas (orang
yang beramal semata-mata karena Allah (Kamus Besar Bhasa Indonesia).
Dalam hal ini Dzun Nun Al-Mishri mengatakan :
Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-
dosa,taubatnya orang khawas taubat dari ghaflah (lalai
mengingat Tuhan) (Simuh, 2002:51).
Bagi para pemula ditekankan taubat dari perbuatan dosa. Dalam
hal ini Reynold A. Nicholson mengatakan sebagai berikut :
“Taubat dilukiskan sebagi kebangunan jiwa dari
ketidakpedulian, sehingga yang berdosa menyadari
akan kesalahan jalan yang ditempuhnya dan menyesali
ketidakpatuhan yang telah dilakukan. Penyesalan itu
belum dibenarkan jika (1).Dia tidak pernah
menghentikan seketika perbuatan dosa-dosa yang
telahdisadarinya, dan (2). Berjanji tsebelum dia
bertaubat yang tidak akan mengulang berbuat dosa
52
lagi. Bial dia gagal memenuhi sumpahnya, dia harus
minta ampun pada Tuhan lagi yang rahmatnya tak
terhingga. Seorang sufi yang terkenal bertaubat tujuh
puluh kali dan kembali berdosa tujuh puluh kali
sebelum dia bertaubat yang terakhir kalinya (Simuh,
2002:52).
Allah SWT berfirman, “Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung”. (QS An Nur 31).
Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan
maqam pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah
“kembali”.Kata “taba” berarti kembali, maka taubat maknanya juga
kembali.Artinya kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju
kepada yang dipuji dalam syari’at.
Suatu kesempatan Nabi SAW menjelaskan, “An-nadmu Taubat” yang
artinya, “penyesalan adalah taubat”.Orang-orang yang berpegang teguh
pada prinsip-prinsip ahli sunnah mengatakan, “agar taubat diterima
diharuskan memenuhi tiga syarat utama yaitu menyesali atas kesalahan yang
pernah dijalaninya, meninggalkan jalan licin atau kesesatan pada saat
melakukan taubat, dan berketetapan hati untuk tidak mengulangi
(https://risalahqusyairiyah.wordpress.com/). Menurut penulis taubat adalah
menyesali semua dosa yang pernah dilakukan, memohon ampun kepada
Allah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosa.
“Hadist yang menyebutkan penyesalan adalah taubat, merupakan
konsep globalnya”, demikian menurut para sufi. Sebagaimana sabda Beliau
SAW tentang haji, bahwa : Al-Hajju ‘arafah Haji adalah ‘Arafah. Dalam
bahasa arab kata taubat berasal dari kata taba-yatubu-taubatan artinya
kembali. Sedangkan orang yang kembali disebut taib dan yang kembalinya
53
berulang-ulang dan terus menerus disebut tawwab. Contoh dari taubat adalah
isytighfar, akan tetapi pengertian isytighfar bukan kembali. Isytighfar berasal
dari kata ghafara yang artinya menutup. Dalam bahasa arab klasik perban
untuk menutup luka atau satu penutup kepala untuk melindungi kepala dari
gangguan semacam helm disebut mughfar. Jika ditambah alif,sin dan ta
sebelum ghafara berarti meminta, mengusahakan agar memperoleh ghafar.
Isytaghfara artinya kita memint agar ditutupi dari hal-hal yang menyakitkan
(Jalaludin, 2001:11).
Proses pertama yang mengawali taubat adalah keterjagaan hati dari
keterlelapan lupa dan kemampuan salik (orang yang berusaha menuju
kehadirat Allah) melihat sesuatu pada dirinya yang pada hakekatnya yang
merupakan bagian dari keadaannya yang buruk.
((https://risalahqusyairiyah.wordpress.com/). Bagi golongan Khawas atau
orang yang telah jadi sufi yang dipandang dosa adalah ghaflah (terlena
mengingat Tuhan). Ghaflah merupakan dosa yang mematikan, ghaflah
merupakan sumber munculnya segala dosa. Dengan demikian taubat
merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lam (ghaflah) ke kehidupan
baru secara sufi. Taubat berarti menglami mati di dalam hidup, yakni suatu
proses peralihan denagn mematikan cara hidup lama yang ghaflah, dan
membina cara hidup baru, hidup baru sufi yang selalu ingat dan rasa dekat
pada Tuhan dalam segala keadaan (Simuh, 2002:52). Kesempurnaan taubat
yang khusus bagi golongan khawas adalah taubat dari kesadaran taubatnya
dan dari keberadaan diri.Taubat merupakan upaya untuk memulai
54
menunjukkan cinta pada Allah karena penyesalan merupakan permulaan dari
cinta.
Menurut Al-Ghazali melakukan perbuatan taubat adalah kembali dari
jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.Namun demikian, taubat itu
memiliki pilar, prinsip dasar dan kesempurnaan.Prinsip dasarnya adalah
iman.Yang berarti, terpancarnya cahaya ma'rifat pada kalbu sehingga dosa-
dosa yang ada di dalamnya merupakan racun yang membinasakan. Dari sana
bara rasa takut (khauf) dan penyesalan (nadam), kemudian dari bara inilah
memancar sikap waspada dan sikap memperbaiki kekeliruan dan berupaya
meninggalkan segala macam dosa yang telah diperbuat pada masa yang lalu
dan memperbaikinya dengan semaksimal mungkin.
Jika esensi taubat telah diketahui, maka sangat jelas bahwa taubat itu
merupakan kewajiban setiap individu yang wajib dilakukan dalam kondisi
apapun. Karena itulah Allah Swt. berfirman yang artinya: "Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah " (Q.S. Al-Nur: 31).
Taubat itu wajib karena muatan maknanya adalah mengetahui bahwa
dosa-dosa bisa dihancurkan, serta darinya motivasi yang kuat untuk
meninggalkannya.Ini merupakan salah satu komponen.
Al-Ghazali mengklasifikasi taubat dalam 3 hal yaitu :
Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih untuk
senantiasa berperilaku baik karena takut terhadap siksaan dari
Allah
Beralih dari situasi yang sudah baik menuju pada yang lebih baik
(Inabah).
55
Rasa penyesaalan yang mendalam, hal ini dilakukan karena taat
dan cinta pada yang dicintainya (Allah).
Imam al-Ghazali mengumpamakan taubat bagaikan sabun bagi
pakaian.Sabun itu pasti dapat menghilangkan kotoran jika digunakan
sebagaimana mestinya.Orang yang meragukan diterima-tidaknya taubatnya,
berarti belum yakin atau belum memenuhi syarat-syarat taubat secara utuh.
Hal itu sama dengan orang yang meminum obat sakit perut, tetapi dia tidak
yakin hal itu akan menyembuhkan sakitnya, karena dia tidak tahu tentang
syarat-syarat penggunaan obat itu secara utuh. Sebaliknya bila ia mengetahui
hal itu, pastilah tergambar kesembuhan, pasti menerima syarat orang yang
menolong. Namun pada saat-saat tertentu keragu-raguan ini tidaklah
menghantuinya, bahwa taubat itu sendiri harus melalui jalan-jalan tertentu
untuk dapat diterima.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa taubat itu wajib bagi setiap
manusia. Karena manusia itu terdiri dari beberapa sifat, yakni: kebinatangan,
kebuasan, kesetanan, dan sifat-sifat ketuhanan.Selanjutnya maqam yang
sudah ditempuh Al-Ghazali adalah maqam sabar yang akan dijelasakan pada
pembahasan berikutnya.
b. Maqam Zuhud
Zuhud dipahami sebagai ketidaktertarikan pada dunia atau harta
benda. Zuhud lebih mementingkan urusan akhirat dari pada urusan dunia,
urusan dunia memang penting tapi bukan menjadi tujuan utama (Sayyidah,
2). Menurut Sufyan Ats-Tsauri, yang dimaksud zuhud adalah memperkecil
cita-cita bukan memakan sesuatu yang keras dan bukan pula memakai
56
pakaian mantel yang kusut. Menurut As-Sirri, Allah Ta’ala menghilangkan
kenikmatan dunia, melarangnya dan mengeluarkannya dari para kekasihnya.
Allah Ta’ala tidak rela jika mereka menikmati dunia.Menurut Yahya bin
Mu’adz, orang tidak akan sampai kepada hakikat zuhud kecuali dengan tiga
hal. Pertama, perbuatan tanpa ketergantungan.Kedua ucapan tanpa keinginan
hawa nafsu.Ketiga, kemuliaan tanpa kekuasaan. Menurut Abu Hafs, zuhud
tidak akan terealisir kecuali dalam hal yang halal. Demikian juga jalan yang
halal tidak akan terealisir kecuali dengan zuhud
(https://risalahqusyairiyah.wordpress.com/).
Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan
menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia.Maka didalam
tasawuf zuhud diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada
dasarnya dibedakan zuhud pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran
sufi (Simuh, 2002:57). Menurut Al-Ghazali dalam ihya’ ‘ulumuddin Zuhud
dibagi tiga yaitu :
Seseorang tidak merasa gembira terhadap sesuatu yang ada di
depannya ( harta dan sebagainya) dan tidak akan sedih jika sesuatu itu
tidak ada di depannya. Sebagaimana firman Allah ,’ Supaya kamu
jangan berduka cita terhadap apa yang terlepas darimu dan agar kamu
jangan gembira terhadap sesuatu yang diberikan kepadamu.’ QS al-
Hadid.
seseorang tidak risau jika dicela dan tidak berbangga hati jika dipuji.
Mendapat pujian atau hinaan sama saja dalam bersikap.
57
merasa sangat cinta kepada Allah dan perasaan itu membuat
ketaatannya menjadi sangat kuat.
Menurut Al-Ghazali zuhud berarti membenci dunia demi mencintai
akherat.Zuhud bisa juga berarti membenci selain Allah demi mencintai Allah.
Cinta dalam arti zuhud yang dimaksudkan adalah cinta kepada Allah tidak
memikirkan masalah dunia atau menbenci sesuatu hal yang akan
mengakibatkan cintanya kepada Allah hilang.
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang
telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan
itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah
kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan
hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus
terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan
tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan
tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut at-Taftazani
menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan
terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin
Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah
para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Pada dasarnya zuhud adalah merupakan salah satu maqam dan mendapat
isi dan bentuknya bagi para sufi (Simuh, 2002:58). Seorang sufi yang sudah
sampai pada tingkat zuhud tidak akan memikirkan segala kemewahan dunia
dan yang dipikirkan hanyalah Allah SWT.
58
c. Maqam fakir
R.A Nicholson dalam bukunya the mystics of islam mengatakan:
Fakir dan dervis adalah nama-nama dimana para sufi bangga
untuk disebutya, karena kedua nama itu bahwa dialah
golongan yang memalingkan setiap pikiran dan harapan yang
akan memisahkan pikiran daripada Tuhan. Kosongnya
seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan
kehidupan yang akan datang, dan tidak menghendaki apapun
kecuali Tuhan penguasa kehidupan masa kini dan masa yang
akan datang, itulah fakir yang sesungguhnya. Fakir yang
sedemikian itu adalah orang yang lenyap kedaran keberadaan
dirinya, sehingga dirinya tidak menganggap punya
kemampuan,perasaan dan perbuatan (Simuh, 2002:59).
Fakir diartikan sebagai kekurangan harta yang diperlakukan seseorang
dalam menjalani kehidupan dunia. Sikap fakir menjadi penting dimiliki
orang yang sedang berjalan menuju Allah, karena harta memungkinkan
manusia dekat pada kejahatan dan membuta jiwa tertambat pada selain
Allah. Fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya
juga tidak menginginkan sesuatu.
Fakir adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah
dipunyainya, dia merasa puas dengan apa yang dimiliki, Sikap mental Faqir
merupakan benteng yang kuat untuk menahan pengaruh kehidupan materi,
Sikap faqir sebagai tameng dari keserakahan, kerakusan, tamak, dan
sebagainya. Fakir adalah maqam yang bertujuan membersihkan jiwa,dan
menganggap tidak ada yang lebih penting selain dekat dengan Allah
(Sayyidatul, 3). Dalam maqam fakir merupakan perwujudan upaya
penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Tuhan. Inilah
ajaran tajrid yakni ajaran untuk membelakangi atau membuang dunia.Hal ini
dilakukan selama dalam perjalanan rohani menuju makrifat Tuhan.Al-
59
Ghazali menganjurkan untuk membuang semua kehidupan dunia. Maka
fakir dapat disimpulkan tidak mempunyai apa-apa dan juga tidak
menginginkan apa-apa (Simuh, 2002:61).
Dalam hal ini Al-Ghazali berfatwa, sewaktu emas belum diharamkan
bagi pria, Nabi pernah berkhutbah dan ditengah-tengah khutbahnya berhenti
serta meninggalkan dan melempar cincin emas dari tangan beliau.Sewaktu
ditanyakan tentang kejadian itu beliau menjawab bahwa cincin itu
mengganggu kekhusukan khutbahnya. Atas dasar hadist itu Al-Ghazali
berfatwa bahwa orang yang masih memiliki dunia di tangannya dan
berharap tidak akan terpengengaruh kepadanyaitu mustahil, Laksana mandi
madu tapi berharap tidak ada lalat menghinggapi. Oleh karena itu para sufi
harus membuang seluruh dunia dari tangan dan ber’uzlah selama dalam
perjalanan suluknya (Simuh, 2002:61). Hal itu dilakukan agar cintanya pada
Tuhan semakin besar dan mebuktikan cintanya kepada Tuhan juga dengan
meninggalkan kemewahan dunia.
Seperti ungkapan Al-Ghazali diatas bahwa cinta yang dimaksudkan
dalam arti fakir adalah membuang segala kenikmatan dunia atau tidak
mempunyai apa-apa serta tidak menginginkan apa-apa.Hidupnya diserahkan
sepenuhnya hanya kepada Allah. Hal itu dilakukan selama proses perjalanan
rohani dalam mencapai makrifat pada Tuhan sehingga tercipaa suasana
netral dan hatinya terisi kecintaanya pada keindahan zat Tuhan.
d. Maqam sabar
Dalam islam mengendalikan diri untuk untuk mengamalkan perilaku
sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam Al-Qur’an dinyatakan
60
sabar merupakan peilaku terpuji dan merupakan perintah agama,
sebagaimana firman Allah surat Al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi:
Laisal-birra an tuwallū wujūhakum qībalal-masyriqi
wal maghribi walakin-nal birra man āmana bi’L-Lāhi
wal yaumil ākhiri wal malāikati wal kitābi wan-
nabiyyina wa-ātal māla ‘alā chubbihi dzawīl qurbā
wal yatāmā wal masākīna wab-nas-sabīli was-sāilīna
wafir-riqābi wa-aqāmash-sholāta wa-ātaz-zakāta wal
mūfūna bi’ahdihim idzā ‘āhadū wash-shābirīna fil
ba’sāi wadh-dhar-rāi wachīnal ba’si ulāikal-ladzīna
shadaqū wa ulāika humul-mut-taqūn.
Artinya,” Kebajikan itu bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan),
peminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, orang-orang
yang menepati janjinya apabila berjanji, dan orang yang
sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka] itulah orang-orang yang benar],
dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (Al
Baqarah,2:177).
61
Ayat diatas menjelaskan bahwa penguasaan diri dan bersabar dalam
waktu mengalami kesempitan, susah, penderitaan, tantangan dan perang
adalah mentalitas islam. Sikap sabar sangat ditinggikan sebagai mentalitas
seorang mukmin dan muttaqin.menurut Ibnu ‘Atha mengatakan,” sabar
adalah menerima segala bencana denagn laku sopan atau rela). Sabar adalah
fana’ di dalam benacana tanpa ada keluhan (Simuh, 2002,63). Jadi dengan
maqam sabar para sufi telah menyengaja dan menyiapkan diri dari banyak
kesulitan dalam hidupnya dengan sikap sabar, tanpa adanya keluhan.
Perlu diketahui bahwa sabar itu terbagi menjadi dua, yaitu kesabaran
orang yang beribadah, dan kesabaran orang yang cinta.Sebaik-baik sabar
orang yang beribadah adalah terjaga.Dan sebaik baik kesabaran orang yang
cinta adalah tertinggal. Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Nabi Ya’qub
telah mengoptimalkan perjanjian sabar dengan dirinya sendiri dengan
mengatakan, “As-shabrun jamiil “ Namun ketika tidak mendapatkannya,
beliau mengatakan, “Aduh alangkah duka cintaku mengenang yusuf”
(https://risalahqusyairiyah.wordpress.com/).
Menurut Al-Ghazali yang dimaksud sabar dalam arti cinta adalah
merupakan bentuk cinta seseorang kepada Allah karena menerima ujian dari
Allah tanpa mengeluh dan tetap bersyukur.Jika rasa cinta tidak terdapat
dalam diri manusia sikap sabar juga tidak ada. Sabar merupakan cerminan
diri seorang sufi karena sifat sabar akan menjadikan seorang sufi menjadi
manusia yang ikhlas dalam menjalani kehidupan tanpa mengeluh dan siap
menghadapi ujian yang datang dari Allah.
62
e. Maqam Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati manusia dalam
menyerahkan diri hanya kepada Allah.Hakikat tawakal ialah menyerahkan
segala sesuatu urusan kepada Allah, membersihkan dari Ikhtiar yang
keliru.Imam Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, bahwa tauhid
berfungsi sebagai landasan tawakal.
Dalam syariat islam diajarkan bahwa tawakal dilakukan sesudah
segala daya upaya dan ikhtiar yang dijalankan. Jadi yang ditawakalkan
adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiar yang dilakukannya, yakni
tawakal yang dilandasi oleh aktif kerja keras (Simuh, 2002:64). Sebagai
contoh: Ada sepasang suami istri yang sudah lebih dari sepuluh tahun
menikah belum dikaruniai seorang anak padahal sudah berbagai usaha
dilakukan seperti usaha dan berdoa. Jika Allah belum memberikan amanah,
diharuskan tetap berusaha dan berdoa karena Allah mempunyai rencana yang
lebih baik.
Dalam Risalah Al Qusyairiyah Hamdun Al-Qashar juga pernah
ditanya tentang tawakal, dia menjawab, “Apabila engkau mempunyai sepuluh
ribu dirham, maka engkau berkewajiban menanggung hutang yang jika
engkau meninggal dunia, engkau tidak akan aman dari hutang yang menjadi
tanggunganmu. Apabila engkau mempunyai hutang sepuluh dirham,dan
masih belum membayar, maka engkau jangan berputus asa dan memohonlah
kepada Allah SWT agar segera terlunasi. “ Begitu juga Abdullah Al-
Quraisyi pernah ditanya oleh seseorang tentang tawakal, dia menjawab,
“Selalu berhubungan dengan Allah SWT dalam segala hal”. Orang itu
63
mengatakan, ‘berilah diriku tambahan penjelasan”. Dia menjawab,
“Meninggalkan segala sebab yang akan menimbulkan sebab lain, sehingga
Dzat Yang Maha Pengatur dapat meluruskannya”
(https://risalahqusyairiyah.wordpress.com/). Contoh diatas menunjukkan
bahwa tawakal itu adalah berserah diri kepada Allah dengan disertai usaha
dan doa agar segala keinginan bisa terwujud atau tercapai karena Allah
menyukai proses daripada hasil.
Konsep tawakal yang dikembangkan dalam kalangan sufi dan yang
seirama dengan ajaran tasawuf memang tawakal jabbari (fatalis).Yaitu
tawakal tanpa usaha, kesemua nasibnya digantungkan pada takdir dan
kehendak Allah. Hal penghayatan mistis atau fana’ dan mukasyafah yang
merupakan pengalaman kejiwaan tergantung sepenuhnya dari anugerah
kekuatan dari luar,tidak bisa dikuasai oleh manusia. Sebaliknya dalam
penghayatan mistis seorang sufi dikuasai sepenuhnya oleh kekuatan ilahi
(Simuh, 2002:66).
Pada dasarnya cinta dalam arti tawakal adalah berserah diri kepada
Allah dengan usaha dan doa serta keyakinan hati dan ketentraman jiwa. Dan
tidak berpaling kepada selain Allah, akan tetapi jika hanya berserah diri dan
berdoa tidak disertai usaha hal tersebut bukan dari tawakal karena manusia
diperintahkan oleh Allah untuk berusaha dengan sungguh-sungguh kemudian
diikuti doa untuk selanjutnya Allah yang menentukan. Jika pada masa
sekarang hanya berdoa dan berserah diri tanpa usaha akan dikucilkan oleh
masyarakat dan dianggap orang yang tidak mempunyai tanggung jawab dan
64
pasti akan meninggal dengan sia-sia, mengharap rezeki dari Allah dan uluran
tangan dari orang lain dengan hanya berdiam diri.
Orang yang ma’rifatnya telah sempurna, akan mengetahui bahwa
persoalan rizki, ajal, penciptaan dan kekuasaan itu ada di tangan Allah. Dia
itu Maha Tunggal tiada berserikat, yang penuh dengan kasih sayang kepada
hambanya sehingga hatinya hanya terpau kepada-Nya serta perhatiannya
tidak terarah selain kepada-Nya.Itulah sebenarnya tawakal yang merupakan
kondisi kalbu dalam bentuk keyakinan yang bulat kepada Sang Wakil Yang
Maha Benar (Allah) dan ketidakpedulian kepada selain-Nya.
Kadang-kadang orang-orang mengira bahwa persyaratan tawakal
adalah menganggur, tanpa berobat, pasrah dan menyerah pada hal yang
membahayakan. Contoh dari yang sudah pasti: Tangan tidak mengambil
makanan, padahal dia lapar, lalu berkata, "Ini adalah suatu usaha, sebab aku
adalah orang yang berserah diri." Atau menginginkan tanaman namun tidak
menanam benih.Ini semua merupakan tindakan bodoh, sebab sunnatullâh
tidak berubah. Allah telah memberi tahu bahwa keterkaitan sebab-akibat ini
merupakan sunnah yang tidak ada gantinya.
f. Maqam Ridha
Setelah mencapai maqam tawakal, nasib hidup mereka bulat-bulat
diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Allah, meninggalkan dan
membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus
diikuti menata hatinya untuk mncapai maqam ridhā. Maqam ridha adalah
ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan,
kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Seperti
65
yang dikatakan Al-Ghazali yaitu rela menerima apa yang telah dan sedang
dialami itulah yang terbaik baginya, tidak ada yang lebih baik selain apa yang
dialaminya (Simuh, 2002:67). Contohnya, ada seorang sufi yang selama
hidupnya selalu berwajah muram dan tidak pernah tertawa terkecuali sewaktu
kematian anak satu-satunya. Yaitu tertawa syukur lantaran diberi cobaan
paling besar di dunia dan bisa diatasinya, dan cobaan tersebut bisa dianggap
nikmat krena masih diperhatikan Tuhan, yaitu dengan menegurnya denagn
cobaan tersebut.
Rabi’ah Al-Adawiyah pernah ditanya, “Kapan seseorang disebut
sebagai orang yang ridha ?”. Dia menjawab, ‘Apabila dia senang ketika
mendapatkan musibah sebagaimana dia senang ketika mendapatkan
kenikmatan’. Ridha adalah salah satu buah cinta yang merupakan tingkatan
tertinggi bagi oaring-orang yang dekat dengan Allah (Rashid, 2013:202).
Ridhā artinya rela,senang, dan menerima, dalam kaitan cinta kepada Allah
maka sifat tersebut bisa dikatakan sifat tertinggi dalam tingkatan orang-orang
yang dekat denagn Allah (Yon, 2014:293). Jika hubungan denagn Allah
begitu dekat dan senang menerima ujian dari Allah dengan tidak mengeluh
Allah akn membiarkan apa saja yang disukai manusia, pada derajat ini
merupakan kebahagiaan yang dirasakan. Semua itu dilakukan sebagai bukti
cinta kepada Allah.
Menurut Abd.Halim Mahmud, ridha mendorong manusia berusaha
sekuat tenaga untuk mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan
merelakan akibatnya dengan menerima dan rela segala konsekuensinya.
Sedangkan menurut Dzun Nun, ridha adalah kegembiraan hati karena
66
berlakunya ketentuan allah. Ridha merupakan maqam terakhir maqom
tertinggi dari perjalanan salik.
Al-Ghazali merumuskan bahwa semua itu dapat dicapai apabila
memiliki kemampuan membaca rahasia Allah, pengetahuan, dan pemahaman
agama.Tanpa pengetahuan dan pemahaman agama ridhā tidak aka nada pada
dirinya. Ridhā tidak hanya terhadap kesenangan saja akan tetapi pada sesuatu
hal yang tidak menyenangkan atau yang tidak diinginkan. Contohnya, kita
berharap lulus ujian sekolah krena sudah belajar dengan sungguh-sungguh,
akan tetapi, atas kehendak Allah kita tidak lulus. Hal tersebut pasti membuat
kita sedih apalagi melihat kegembiraan teman-teman yang lulus. Disinilah
merupakan ujian dari Allah, harus menerima dengan senang hati walaupun
berat hati (Yon, 2014:294). Ujian yang tidak menyenangkan akan
menjadikan seorang hamba yang dekat dengan Allah merasa bahwa Allah
sedang ingin mengetahui sebesar apa cintanya kepada Allah. Jika orang
merasakan marah dan kesal terhadap takdir Allah berarti cintanya tidak tulus
kepada Allah.Orang yang demikian itu hanya menyukai kebahagiaan tapi
tidak menyukai kesedihan.Cinta membutuhkan kesabaran, rasa terimakasih,
dan keridhaan.
Kerelaan seseorang terhadap takdir Allah bersumber dari dua aspek
yaitu :
Hilangnya rasa sakit. Misalnya, seorang yang berperang,
sesungguhnya ia berada dalam keadaan marah atau takut. Karena
itulah kadang orang yang berperang mengalami luka, tetapi tidak
merasakan sakit karena dalam hatinya terdapat rasa marah atau
67
takut. Seperti juga ketika sedang dibekam, tidak akan merasakan
sakit jika disibukkan denagn berbagai persoalan, tanpa sadar
bahwa si tukang bekam sudah menyelesaikan tugasnya.
Ia merasakan sakit akan tetapi ia rela. Seperti halnya, dia
menginginkan dibekam padahal dia mengetahui jika bekam itu
sakit, akn tetapi dia rela dan menyukai bekam tersebut dan
mempercayakan kepada tukang bekam untuk memperoleh
kesembuhan dengan pekerjaannya (Rashid, 2013:213-214).
Bagi al-Ghazali kelebihan rida Allah SWT merupakan manifestasi
daripada keredhaan hamba. Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada
Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan
Tuhannya agar sentiasa dekat dengan Tuhannya.Jadi cinta yang dimaksud
dalam arti ridha adalah penghambaan diri kepada Tuhan dengan segenap
jiwa serta hati yang bersih dengan menerima segala ujian dan cobaan dari
Allah.
g. Maqam Cinta
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa maqām macḥabbah adalah
maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat.Dia
menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep
mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sālik harus menanggalkan segala
angan-angannya.Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang
telah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan
balasan atas cintanya kepada yang dicintainya.Dari sini tampak bahwa rasa
68
cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan
cinta sebagaimana cintanya.Karena pecinta sejati adalah orang yang rela
mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan
tidak mengharapkan imbalan apapun.
”Machabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh
maqam, titik puncak dari seluruh derajat.Tiada lagi maqām setelah
mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi
akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, ridha dan lain sebagainya.
Dan tiadalah maqām sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan
dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhu
(http://belajarilmutasawuf.blogspot.com/2011/10/maqam-dan-ahwal.html).
Pada tingkatan maqam cinta atau machabbah ini merupakan tingkatan
paling tinggi.Al-Ghazali mengemukakan sejumlah alasan kenapa hanya
Tuhan yang berhak di sembah dan dicintai, karena Tuhan merupakan satu-
satunya mustachiq atau yang berhak menerima cintanya manusia.Cinta
adalah inti keberagamaa.Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita.
Kalaupun maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu
hanyalah pengantar kearah cinta, dan bila ada maqam-maqam sesudah cinta,
maqam itu hanya akibat dari cinta saja (Rakhmat, 2001:22).
Al-Ghazali menyatakan bahwa cinta kepada Allah adalah maqam
yang paling tinggi dari seluruh maqam, dan derajat paling luhur, setelah
machabbah tidak ada maqam kecuali hanya merupakan daripadanya seta
pengikut dari cinta tersebut. Al-Ghazali juga menyatakan bahwa taat kepada
69
Allah adalah konsekuensi dari machabbah dan buahnya. Oleh sebab itu cinta
dahulu baru mentaati pihak yang dicintainya (Halim, 1997:31-32).
Dari ketujuh maqam atau tingkatan yang sudah dilalui oleh Al-
Ghazali tersebut adalah sebagai jalan atau usaha untuk menjadi seorang sufi
yang taat pada Allah. Seorang tidak dapat berpindah dari maqam satu ke
maqam lain jika belum memenuhi semua persyaratan yang ada pada maqam
tersebut.
Setelah mengetahui bagaimana maqam cinta menurut pemikiran Al-
Ghazali selanjutnya akan dijelaskan mengenai,syariat,hakikat dan kemudian
makrifat.
2. Syari’at
Syari’at menurut kamus Maurid adalah hukum,ajaran,undang-undang.
Sedangkan pengertian secara istilah adalah seluruh ketentuan di dalam Al-
Qur’an dan hadist, baik yang berhubungan dengan akidah,akhlak maupun
aktifitas manusia baik yang berupa ibadah ataupun Muamalah (Bangun,
2013:78). Syariat adalah jalan menuju sumber air atau jalan kearah sumber
pokok kehidupan. Syariat adalah segala yang diturunkan oleh Allah kepada
Nabi Muchammad melalui wahyu, yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah (Nur, 2004: 89).
Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus
dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan
apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai
contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi
melaksanakannya, para sahabat mengikuti.Nabi mengatakan, “Shalatlah
70
kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh
sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh
Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya
sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh
ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi,
dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa
mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT
(http://sufimuda.net/2013/04/25/syariat-tarekat-hakikat dan makrifat itu
satu/).
Didalam Al-Qur’an banyak dalil yang menunjukkan kebenaran
landasan peramalan para sufi. Hasilnya kelihatan dengan pengalaman yang
sungguh-sungguh didasarkan kepada syari’at yang kuat para sufi
memperoleh kesenangan kemanisan dalam beriman dan beribadah,
ketentraman dan ketenangan. Apa yang diperoleh para sufi merupakan buah
dari hasil ibadahnya yang merupakan rahmat dari Allah SWT. Letak
perbedaannnya menurut Al-Ghazali para sufi lebih gigih dalam riyadhah
dan mujahadah. Para sufi tidak memadai dengan amalan-amalan syari’at
wajib akan tetapi, harus menjaga amalan syari’at sunnah-sunnah. Mereka
tidak hanya meninggalkan yang haram dan makruh akan tetapi,
meninggalkan yang mubah (kebolehan) yang tidak berfaedah karena hal
tersebut dapat melalaikan syari’at (Nur, 2004:103).
Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat dan perbuatan
Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya
sikap mencintai Allah, karena cinta tidak akan muncul tanpa “pengetahuan”
71
dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah
“tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-
apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali
Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia
kecuali itu adalah perbuatan Allah.Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang
siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak melihat
kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak
mencintai kecuali Allah SWT. Al-Ghazali menambahkan, “Mereka melatih
hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya.Sementara itu, tasawuf
dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan
hadist.Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh
memegangi syari’at.Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan,
“jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di
awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at,
maka itu setan ”(http://sufiroad.blogspot.com/2010/10/imam-
ghazali-ketika-masih-mudaku.html).
“Syari’at itu adalah perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang
hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah).Maka setiap syari’at
yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang
tidak terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa.Syari’at datang
dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan
Tuhan.Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakukan
yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuan-Nya, kadar-Nya,
baik yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar
72
Kecintaan Al-Ghazali kepada syariat Allah adalah dengan terang-
terangan dia menolak dan melawan mereka yang menjauhi syari’at dengan
berbagai alasan dan dalil. Secara terus terang menyatakan seseorang yang
telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah)
tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan aqidah
Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana
hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah
hamba. Itulah aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali. Al-Ghazali
mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh kaum sufi itu
boleh jadi masuk ke dalam kategori imajinasi (tawahhun) karena mereka
kesulitan dengan kata-kata tentang kebersatuan yang telah mereka capai.
Atau, boleh jadi, penggunaan istilah-istilah itu masuk kerangka
pengembangan dan perluasan istilah yang sesuai dengan tradisi sufi dan para
penyair. Mereka biasanya meminjam istilah yang paling mudah dipahami,
seperti kata penyair berikut; “Aku adalah yang turun, dan yang turun adalah
aku juga.Kami adalah ruh yang bersemayam dalam satu badan”.
Menurut Al-Ghazali cinta kepada Allah itu harus diwujudkan dengan
cara mempelajari dan mengamalkan serta memperdalam ilmu tentang syari’at
dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuen menjalankan
syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam syari’at seperti shalat,
puasa dan lain-lain, di dalam ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan
shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut
tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang shalat antara orang awam,
orang khawas, dan yang lebih khusus.
73
Demikian juga puasa, dan sebagainya.Sesudah menjalankan syari’at
dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai
mempelajari tarekat.Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu,
dan menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi
ma’rifat(http://sufiroad.blogspot.com/2010/10/imam-ghazali-ketika-masih-
muda-aku.html).
Cinta dalam tataran syariat adalah bahwa cinta itu melaksanakan
aturan Allah dengan sepenuh hati karena syariat itu datangnya dari Allah
dan untuk manusia. Syariat meliputi segala aspek peribadatan manusia,
maka dari itu kecintaan terhadap syariat Allah itu dilakukan dengan cara
melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dan
menjauhi segala larangannya. syariat merupakan aturan kehidupan yang
mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak
keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia karena syarat menjadi
seorang sufi adalah memperbaiki syariatnya terlebih dahulu. Syariat juga
berisi kunci penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Syariat merupakan amal lahiriyah (yang tampak) yang
merupakan bukti kecintaan dan pengabdian manusia kemudian diwujudkan
berupa ibadah seperti melaksanakan rukun islam dan mengimani rukun
iman serta wahyu yang disampaikan oleh para rasul.
3. Tarekat
Kata Tarekat di ambil dari Bahasa Arab, yaitu dari kata benda
قةيطر (thariqah) yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara.
Sedangkan menurut istilah adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang
74
sufi melalui meditasi dalam konsentrasi dzikir kepada Allah. Tarekat itu
pada dasarnya tidak terbatas jumlahnya, karena setiap manusia semestinya
harus mencari dan merintis jalannya sendiri, sesuai dengan kemampuan
masing-masing (Simuh, 2002:40). Jadi dapat disimpulkan bahwa tarekat
adalah jalan seorang yang salik untuk menempuh jalan menuju tuhan dengan
penyucian diri sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Tarekat atau jalan yang digunakan Al-Ghazali untuk meraih cintanya
kepada tuhan adalah dengan cara Penyucian hati atau tathbirul qolbi,
konsentrasi dalam dzikir Allah, kemudian fana’ fillah (Simuh, 2002:41).
Tujuan tarekat adalah membersihkan jiwa dan menjaga hawa nafsu untuk
melepaskan diri dari pelbagai bentuk ‘ujub, takabur, riya', hubbud dunya
(cinta dunia), dan sebagainya.Tawakal, rendah hati/tawadhu', ridha,
mendapat makrifat dari Allah, juga menjadi tujuan tarekat.Dalam seluruh
tarekat terdapat kegiatan ritual sentral yang melibatkan pertemuan-
pertemuan kelompok secara teratur untuk melakukan pembacaan do’a, syair
dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an. Dibawah ini akan dijelaskan aliran-
aliran Tarekat Dalam Islam yaitu,
a) Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah didirikan oleh Abd Al-Qadir Jailani [470/1077-561/1166] atau
quthb al-awiya. Ciri khas dari Tarekat Qadiriyah ini adalah sifatnya yang
luwes,tidak sempit sehingga tuan syekh atau Syekh Mursyid yang baru dapat
menentukan langkahnya menuju kehadirat Allah SWT guna mendapat
keridlaan-Nya. Keluwesan dan kemandirian inilah, yang menyebabkan
75
tarekat ini cepat berkembang di sebagian besar dunia Islam.Terutama di
Turki, Yaman, Mesir, India, Suria, Afrika dan termasuk ke Indonesia.
b) Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah didirikan oleh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili [593/1196-
656/1258].Syadziliyah menyebar luas di sebagian besar Dunia Muslim. Ia
diwakili di Afrika Utara teerutama oleh cabang-cabang Fasiyah dan
Darqawiyah serta berkembang pesat di Mesir, tempat 14 cabangnya dikenal
secara resmi pada tahun 1985.
c) Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat Naqsabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-
Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari [w. 1389M] di Turkistan. Tarekat ini
mempunyai dampak dan pengaruh sangat besar kepada masyarakat muslim
di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di
Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India.
Cirri menonjol Tarekat Naksabandiyah adalah : Pertama, mengikuti syariat
secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan
terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam hati. Kedua,
upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan
penguasa serta mendekati Negara pada agama.
d) Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
Tarekat Yasafiyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi [w. 562H/1169M] dan
disusul tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-
Ghuzdawani [w. 617 H/1220 M].kedua tarekat ini menganut paham
tasawuf Abu Yazid Al-Bustami [w. 425 H/1034 M] dan dilanjutkan oleh
76
Abu Al-Farmadhi [w. 477 H/1084 M].[7] Tarekat Yasafiyah berkembang
ke berbagai daerah, antara lain ke Turki.
e) Tarekat Khalwatiyah
Tarekat ini didirikan oleh Umar Al-Khalatawi [w. 1397 M] dan merupakan
salah satu tarekat yang berkembang di berbagai negeri, seperti Turki,
Syiria, Mesir, Hijaz, dan Yaman.Di Mesir, tarekat Khalwatiyah didirikan
oleh Ibrahim Gulsheini [w. 940 H/1534 M] yang kemudian terbagi kepada
beberapa cabang, antara lain tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh
Muhammad bin Abd Al-Karim As-Samani [1718-1775].
f) Tarekat Syatariyah
Tarekat ini didirikan oleh Abdullah bin Syattar [w. 1485] dari India.
Tarekat ini tidak mementingkan shalat lima waktu, tetapi mementingkan
shalat permanen [shalat dhaim]. Adapun dasar tarekat ini adalah martabat
tujuh yang sebenarnya tidak begitu erat hubungannya dengan praktik
ritualnya.
g) Tarekat Rifa’iyah
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’I [1106-1182]. Tarekat
sufi Sunni ini memainkan peranan penting dalam pelembagaan sufisme.
Dari segala praktik kaum Rifa’iyah, dzikir mereka yang khas patut dicatat.
h) Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Tarekat ini merupakan gabungan dari dua ajaran tarekat, yaitu Qadiriyah
dan Naqsabandiyah.Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang
bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad ke-19.Tarekat
77
ini merupakan yang paling berpengaruh dan tersebar secara melua di Jawa
saat ini.
i) Tarekat Sammaniyah
Tarekat ini didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Madani Asy-
Syafi’I As- Samman [1130-1189/1718-1775]. Hal menarik dari tarekat ini
yang menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut dan
syathahat yang terucap olehnya tidak bertentangan dengan syariat.
j) Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani
[1150-1230 H/1737-1815 M]. Bentuk amalan tarekat Tijaniyah terdiri dari
dua jenis,yaitu wirid wajibah dan wirid ikhtiyariyah.
k) Tarekat Chistiyah
Chistiyah adalah salah satu tarekat sufi utama di Asia Selatan. Tarekat ini
meyebar ke seluruh kawasan yang kini merupakan wilayah India, Pakista
dan Banglades. Namun, tarekat ini hanya terkenal di India. Pendiri tarekat
ini di India adalah Khwajah Mu’in Ad-Din Hasan, yang lebih populer
dengan panggilan Mu’in Ad-Din Chisti.
l) Tarekat Mawlawiyah
Nama Mawlawiyah berasal dari kata “mawlana” [guru kami], yaitu gelar
yang diberikan murid-muridnya kepada Muhammad Jalal Ad-Din Ar-Rumi
[w. 1273].Oleh karena itu, Rumi adalah pendiri tarekat ini, yang didirikan
sekitar 15 tahun terakhir hidup Rumi.Salah satu mursyid sekaligus wakil
yang terkenal secara internasional dari tarekat ini adalah Syekh Al-Kabir
Helminski yang bermarkas di California, Amerika Serikat.
78
m) Tarekat Ni’matullahi
Tarekat Ni’matullahi adalah suatu mazhab sufi Persia yang segera setelah
berdirinya dan mulai berjaya pada abad ke-8-14 mengalihkan loyalitasnya
kepada Syi’I Islam. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ni’matullahi Wal.
Tarekat ini secara khusus menekankan pengabdian dalam pondok sufi itu
sendiri.
n) Tarekat Sanusiyah
Tarekat ini didirikan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi. Dalam
tarekat ini, dzikir bisa dilakukan bersama-sama atau sendirian. Tujuan dzikir
itu lebih dimaksudkan untuk “melihat Nabi” ketimbang “melihat Tuhan”,
sehingga tidak dikenal “keadaan ekstatis”’ sebagaimana yang ada pada
tarekat lain.
Pada dasarnya tarekat itu tujuannya sama yaitu untuk mendekatkan diri
kepada Tuhannya. Akan tetapi, cara yang digunakan antara satu dengan
yang lainnya berbeda.
4. Hakikat
Hakikat menurut bahasa adalah kebenaran atau sesuatu yang sebenar-
benarnya atau asal segala sesuatu.Dapat pula dikatakan bahwa hakikat itu
adalah sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu.Menurut Ensiklopedi Islam
jilid 2, diuraikan bahwa hakikat secara etimologis berarti terang, yakin,
sebenarnya. Dalam filsafat hakikat adalah inti dari sesuatu, yang meskipun
sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah akan tetapi pada intinya
tetap sama (Nur, 2004:124). Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang
berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Yang berasal dari kata
79
hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran). kata
Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah
untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang
berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar).
Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat
(Haqiqah) seakar dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam
konteks tasawuf menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-
batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan
perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur kenyataan eksoteris
dan thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme, Hakikat juga disebut
Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan
sebagai inti atau esensi.
Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa
Hakikat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat
kehadiran Allah di dalam syari’at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang
paling penting dalam setiap amal, inti, dan rahasia dari syari’at yang
merupakan tujuan perjalanan salik (orang yang menempuh jalan sufi).Pada
dasarnya pengertian hakikat adalah kemampuan seseorang memperoleh
kebenaran yang datang dari Allah.
Ilmu "hakikat" termasuk ilmu Maknun (Ilmu yang tersimpan) yang
tidak boleh disebarkan kecuali kepada ahlinya, karena mengandung unsur
yang membahayakan bagi orang awam (kebanyakan),sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berikut ini.
80
"Saya meriwayatkan dari Rasulullah SAW dua wadah
ilmu: salah satunya telah saya sebarkan kepada kalian,
adapun yg kedua seandainya saya sebarkan kepada
kalian, niscaya kalian akan mengasah pisau utk
memotong leherku ini (dua wadah itu ialah Syariat dan
Hakikat)".
Istilah hakikat dipergunakan dalam tasawuf sebagai imbangan kata
syari’at. Kata hakikat identik dengan kerohanian dari ajaran islam karena
kajian tentang hakikat dimulai dari aspek moral yang dibarengi denagn aspek
ibadat. Jika kedua aspek tersebut diamalkan dengan penuh kesungguhan dan
keikhlasan akan meningkat kondisi mental seseorang, dari satu tingkat yang
rendah ketingkat yang lebih tinggi (Nur, 2004:124).
Esensi atau inti hakikat (haqiqah) akan terwujud ketika manusia
memandang dirinya bukan apa-apa, baik pada dirinya sendiri maupun dalam
pengetahuannya, kesadarannya, dan segenap sifat-sifatnya. Untuk merintis
jalan mencapai hakikat seseorang harus memulai dengan aspek moral yang
dibarengi aspek ibadah. Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh
kesungguhan dan keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental
seseorang dari tingkat rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi.
(http://belajarilmutasawuf.blogspot.com/2011/10/pengertian-hakikat.html).
Jadi dapat disimpulkan bahwa cinta dalam arti hakikat bersifat batiniah
yang dapat dirasakan ketika sedang mencapai jalan sufi dalam menjalankan
peribadatannya hanya untuk Allah Swt dengan kesungguhan dan ikhlas
sehingga mencapai derajat yang paling tinggi. Cinta dalam arti hakikat disini
adalah bagaimana cara merasakan kehadiran Allah di dekatnya serta
merasakan kebenaran yang ada dalam syari’at, sehingga tidak bertentangan
81
dengan syari’at tersebut. Hakikat tidak menduakan Allah dan merasakan
bahwa wujud Allah itu ada.
Al-Ghazali menegaskan bahwa Ilmu hakikat termasuk ilmu rahasia
yang kelihatannya bertentangan dengan Ilmu Syari'at, namun hakikatnya
tidaklah bertentangan.Ilmu ini, tidak boleh ditulis dan tidak boleh disebar-
luaskan secara umum, tetapi harus disembunyikan kecuali kepada orang-
orang yang terpercaya (yang dapat menyimpan amanah), sebagaimana yang
diungkapkan oleh Imam Ali Zainuddin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib.
"Banyak Ilmu bagaikan mutu manikam. Seandainya
aku sebar-luaskan,niscaya orang-orang menganggapku
termasuk para penyembah berhala, dan banyak tokoh
kaum Muslimin menganggap halal darahku hingga
mereka menganggap membunuhku itu lebih baik“
(Amilul, dkk:2014).
Setiap gerakan shalat adalah syariat sedangkan dialog bertemu atau
kekhusukan seorang hamba dengan Allah didalam shalat adalah hakikatnya.
Begitu juga dengan ibadah haji yang merupakan syariat Allah sedangkan
setiap kekhusukannya adalah hakikat dari ibadah haji tersebut.Keikhlasan
dalam menjalankan suatu ibadah seperti shalat dan ibadah haji merupakan
hakikat dari sebuah ibadah yang bersifat bathiniah yang tidak tampak.
Hakekat cinta sebena rnya adalah kehidupan spiritual.Cinta
berasal dari Allah dan untuk Allah, cinta kepada selain-Nya hanyalah
dimensi cinta kepada-Nya yang merupakan manifestasi dari konsep cinta
tersebut. Kerancuan dalam memahami masalah cinta akan membuat timpang
keyakinan seseorang, sebab ia akan mencampur adukkan antara cinta mutlak
dengan cinta nisbi (Fia, 2010:29).
82
Hakikat cinta kepada Allah, hanya tertuju semata-mata kepada Allah dan
kita lupa kepada hal-hal yang lain selain dariNya. Ada sebuah contoh
kejadian, yang telah terjadi pada seorang Wali Allah bernama Ibrahim bin
Adham. Beliau berkata: Pada suatu hari, saya bermohon kepada Allah, seraya
saya mengucapkan "Wahai Tuhanku, jika Engkau telah memberikan kepada
seseorang dari orang-orang yang cinta kepadaMu ketenteraman hati sebelum
bertemu denganMu, maka Engkau berikan pulalah kepadaku yang demikian.
Karena hatiku susah sedemikian rupa, demi cintaku kepadaMu. Orang yang
begitu sangat cintanya bukanlah orang yang mengharapkan balasan sesuatu
dari pihak yang dicintainya atau dia menuntut sesuatu maksud dari pihak
yang ia cintai, karena orang yang begitu sangat cintanya itu ialah orang yang
memberi buat anda, bukanlah orang yang begitu sangat cintanya itu
merupakan orang dimana anda memberi buatnya."
(http://achdor.blogspot.com/2012/09/hakikat-cinta-kepada-allah.html).
Pada dasarnya hakikat Cinta kepada Allah adalah makrifat atau
mengenal Allah tidak menyekutukan Allah, mengenal wujud Allah sifat-sifat
Allah dengan kesungguhan.Semua yang dilakukan hanya tertuju untuk Allah.
Hakikat cinta yang semestinya dirasakan manusia sebagai karunia Tuhan
justru menjadi malapetaka ketika manusia merusak nilai cinta itu
sendiri.Terlebih jika mereka berpandangan bahwa mencintai berarti harus
memiliki. Mencintai harus menodai kesucian diri maupun orang yang
dicintai. Hakikat cinta yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai agama,
mengangkat harkat kemanusiaan, dan mengedepankan ahlak terpuji, entah
83
kenapa kini seringkali ternoda oleh nafsu berlumur dosa.Akhirnya, cinta dan
nafsu pun berjalan seiring, tanpa ada pembatas. (M. Hilmi As’ad, Hakikat
(sebuah novel religius). Cinta yang semacam itu yang harus dihindari dari
para remaja, pelajar dan mahasiswa saat ini.Agar tidak terpuruk masa
depannya.Menurut Ibnu Arabi, cinta selalu identik dengan ketulusan dan
kesucian dari segala sifat, sehingga tidak ada tujuan lain selain keinginan
bersama yang dicintai (Allah).
Allah SWT berfirman, “Katakan (wahai Muhammad)
jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah
aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni
dosa-dosa kalian.Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. Ali-Imron: 31).
Manusia yang mencintai Allah ialah manusia yang selalu senantiasa
patuh dan tunduk terhadap perintah dan menjauhi segala larangan-
Nya.Mencintai manusia lainnya karena Allah dan membenci karena Allah
pula. Barang siapa yang telah ikhlas cintanya kepada Allah itu dengan
menaati segala perintah-Nya karena iman, ibadah, dan tuntutan perilakunya,
maka ia telah mencapai salah satu tujuan cinta ruhani. Cinta inilah yang akan
meningkatkan derajat perilaku seseorang, maka setiap ucapan dan
perbuatannya sebagai ketaatan kepada-Nya. Yang demikian ini juga diantara
ciri amal shalih atau kebajikan yang meliputi segala hal. Allah berfirman
yang artinya: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: (165).
Allah memberikan akal kepada manusia agar mereka berfikir, karena
dengan berfikir dia akan memperoleh ilmu, dengan ilmunya itulah maka dia
mengetahui hakikat cinta, dan menjalankan cinta sesuai dengan fitrah cinta
84
itu sendiri. Yaitu, cinta yang dijalankan sesuai dengan ridha Allah.Sehingga
dapat memberikan timbal balik yang positif terhadap penggunanya
(http://ksip-tyk.blogspot.co.id/2013/02/hakikat-cinta.html).
5. Ma’rifat
Tahap atau maqam akhir perjalanan spiritual sufi terus diperdebatkan
tapi makrifat sebagai konsep dan tahap atau maqam lebih dikenal luas di
kalangan sufi atau pemeluk Islam yang awam atau ulama. Sebagai tahapan
spiritual, makrifat mendasari kemampuan spiritual tahap berikut, namun
sebagai tindakan la menjadi jalan memperoleh pengetahuan guna memahami
realitas diri, alam dan masyarakat. Di sini kemampuan makrifat dihubungkan
dengan hampir semua tahap rohani sufi hingga ittihad (kesatuan manusia
dengan Tuhan) dan insan kamil (manusia sempurna).
Makrifat berasal dari kata arab makrifatun yang berarti
‘pengetahuan,pengenalan’. Di dalam ajaran tasawuf makrifat diberi
pengertian sebagai pengenalan tentang kemahabesaran Tuhan melalui
penghayatan batin dengan cara bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
ibadah. Beberapa istilah lain dari kata makrifat diantaranya ialah jnanasandhi
(Sansekerta) dan gnosis. Jnanasandhi adalah rahasia pengetahuan dan gnosis
adalah pengetahuan tentang hal batin (gaib) atau tasawuf (Istadiyantha, 2007:
118 dalam Sri Mulyono, 1983: 62).
Menurut Al-Ghazali makrifat dibagi menjadi dua macam
(Istadiyantha, 2007: 118, Al-Ghazali dalam Abubakar Aceh, 1984: 69-70) :
Ilmu Adna yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan cara
membaca atau belajar (pengetahuan yang bersifat lahiriyah).
85
Ilmu Ladunni yaitu pengetahuan tentang rahasia ketuhanan yang
diperoleh berdasarkan karunia Allah semata-mata.
Makrifat dalam pengertian sufisme adalah “Gnosis” dari teosofi
Hellenistik, yaitu pengetahuan langsung mengenai Tuhan berdasarkan wahyu
atau petunjuk Tuhan. Ia bukan hasil atau buah dari proses mental, tetapi
bergantung sepenuhnya pada kehendak dan karunia Tuhan (Nicholson,
2000:54-55). Hal tersebut karena pengetahuan tentang makrifat diberikan
karena rahmat Tuhan kepada manusia yang memang sudah diciptakan untuk
menerima makrifat tersebut.Hal tersebut merupakan bukti kecintaan Tuhan
kepada makhluknya dengan memberikan makrifat secara langsung kepada
manusia yang dikehendaki untuk menerimanya.
Sirr, roh, dan qalbu merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan
Tuhan, sirr merupakan alat yang paling peka dan lebih halus dari roh dan
qalbu.Ia juga merupakan alat yang digunakan oleh sufi untuk mencapai
ma’rifat. Oleh sebab itu sirr bertempat pada roh dan roh bertempat di qalbu,
maka sirr timbul serta dapat menerima makrifat dari Allah pada saat roh dan
qalbu suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya.
Setelah itu tiba saatnya bagi para sufi untuk menangkap cahaya yang
diturunkan Tuhan (Nur, 2004:128). Walaupun makrifat dapat mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan akan tetapi makrifat tidak bisa diterima sepenuhnya
oleh manusia.
86
Tabel 1. Susunan sarana pencapaian makrifat menurut Muhamad Nur
Al-Ghazali juga mengatakan bahwa ,”Sarana untuk mencapai makrifat
adalah qalbu, bukan panca indera atau akal. Pengetahuan yang diperoleh qalbu
lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal.Jalan untuk
memperoleh kebenaran adalah tasawuf (Makrifat bukan Falsafah). Makrifat
berarti memandang wajah Allah serta mengandung moral,kebahagiaan,cinta
kepada Allah dan fana di dalamnya. Jalan yang ditempuh kaum sufi
mengandung tujuan meningkatkan akhlak terpuji melalui latihan jiwa, dan
bertujuan mengganti akhlak tercela menjadi akhlak terpuji. Menurut Al-
Ghazali tujuan dari makrifat adalah mengacu pada moral ilahiyah (Nur,
2004:129). Kata qalbu dapat berarti dua macam yaitu dalam arti jasmani dan
rohani.Pengertian qalbu dalam makrfat Al-Ghazali adalah yang berarti
rohani.Qalbu menurut Al-Ghazali bagaikan cermin, sementara ilmu adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat didalamnya.Jika cermin qalbu tidak
bening maka tidak akan memantulkan realitas ilmu. Selanjutnya yang
membuat cermin qalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh (Asmaran,
2002:341).
87
Sementara ajaran makrifat secara praktis bersumber dari teks Al
qur’an dan sunnah seperti kisah Nabi Sulaiman (QS. An Naml: 40) dan
kisah tentang Nabi Khidir dan Nabi Musa (QS.al-Kahfi: 71-83). Dari dua
sumber di atas kemudian muncul berbagai penafsiran yang kemudian
melahirkan beberapa konsep makrifat yang berbeda dari beberapa tokoh sufi
seperti al-Busthami, al Hallaj, al-Ghazali dan Ibnu Arabi (Dahlan dkk,
2013:72). Kisah nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an yaitu :
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI
Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala
Sulaiman melihat singgasana itu terletak di
hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk karunia
Tuhanku untuk mencoba Aku apakah Aku bersyukur
atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan
barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan
barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia"(QS. An
Naml: 40).
Ayat diatas menjelaskan bahwa nabi Sulaiman menunjukkan kepada
ratu Balqis bahwa nabi Sulaiman memiliki singgasana yang sangat mewah
seperti ratu balqis. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan kekayaan
nabi Sulaiman kepada ratu Balqis agar ratu Balqis tidak semakin
sombong.Hubungan kisah diatas dengan machabbah adalah bukti kecintaan
Tuhan kepada hambanya yang dikendaki dengan memberikan karunia
kekuatan yang luar biasa kepada nabi Sulaiman.Karuia tersebut diberikan
Allah karena nabi Sulaiman merupakan hamba yang dikehendaki untuk
menerimanya.Agar nabi Sulaiman tetap bersyukur dengan nikmat yang
diberikan oleh Allah sehingga lebih mengenal Allah dengan jalan makrifat
tersebut.
88
Kedua adalah antara nabi Khidzir dan nabi musa pada ayat al-Qur’an
yaitu ketika nabi Musa bertemu nabi Khidzir kemudian melakukan
perjalanan mengarungi lautan bersama kemudian bertemu dengan anak kecil
kemudian nabi khidzir membunuhnya, nabi musa bertanya dengan nabi
khidzir kenapa anak yang tidak berdosa dibunuh. Hal tersebut nabi Khidzir
lakukan untuk menghindarkan anak tersebut jika sudah dewasa terhidar dari
perbuatan dosa, kemudian nabi Khidzir ditengah perjalanannya lagi
melubangi kapal hingga bocor.Kemudian nabi Musa terus bertanya dan
dalam dirinya timbul rasa kebencian.Kisah tersebut pemahamannya bukan
dengan akal tetapi dengan hati.
Nabi Khidzir pasrah akan kehendak Allah sehingga dapat
menyelamatkan dari perbuatan dosa. Jika Tuhan tidak berkehendak kita
mengenal-Nya maka kita pun tidak akan bisa mengenal-Nya. Dan jika
mengenal-Nya pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi
semua telah kehendak-Nya).Hubungannya dengan machabbah adalah
perjalanan nabi Khidzir dan nabi Musa menuju kebenaran sejati.Tuhan
memberikan pengetahuan terlebih dahulu kepada orang yang dikehendaki
mengenai pengetahuan yang tidak diketahui oleh manusia pada
umumnya.Hal tersebut merupakan bukti kecintaan Tuhan kepada nabi
khidzir.
Salah satu fungsi makrifat ialah tidak adanya jarak atau penghalang di
antara yang melihat dan yang dilihat, antara yang mengetahui dan yang
diketahui atau subyek dan obyek pengetahuan.Maqam itu juga berarti
pencairan segala batas fisik yang melampaui sekat-sekat sehingga yang
89
nampak kemudian adalah hakikat dari obyek itu sendiri. Makrifat
merupakan jalan dan keadaan dimana seseorang berada dalam kemampuan
melihat, tanpa batas formalitas dan tanpa simbolitas. Pengertian ini terutama
dipakai berkaitan dengan konsep manusia sempurna atau insan kamil yang
dalam fungsi sederhana berarti kemampuan melihat inti segala obyek
(Munir, 2004:125).
Al-Ghazali berpandangan bahwa kaum sufi dapat menyaksikan hal-
hal yang tidak dapat dicapai oleh para ilmuan dan filosof. Para
sufimenyaksikan sesuatu melaui nur yang dipancarkan tuhan kepada orang
yang dikehendakinya. Nur itu adalah kunci ma’rifah.Ma’rifah yang
sebenarnya menurut al-Ghazali, didapatkan melalui nur yang dipancarkan
tuhan ke dalam qalbu seseorang agar mengenali hakikat Allah dan segala
ciptaannya. Qalbu yang bersihlah yang dapat menerima nur dari Allah,
syaratnya adalah mensucikan diri dari dosa dan tingkah laku tercelah, qalbu
harus total berzikir kepada Allah sehingga seorang menjadi fana’ (sirna)
secara total kepada ilahi. Hasil yang didapatkan adalah muka>syafah
(keterbukaan tabir penghalang) dan musya>hadah (mempersaksikan
Tuhan). Akhirnya seseorang sampai kepada peringkat yang begitu dekat
dengan tuhan (Lihin, 2015).
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada Tuhannya untuk
mencapai machabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-
orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua
tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia
adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal makrifatnya dan
90
kemudian dengan makrifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain
Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah makrifatnya. Yaitu
seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan
makrifatnya ia mengenal Tuhan ( E:\Tasawuf Imam Ghazali C@hya
[email protected] ). Pengenalan pada tahap awal adalah mengenali segala
bentuk dzat,sifat maupun maujud Allah terlebih dahulu kemudian baru
mengenal penciptaan Allah. Pada tahap kedua adalah orang yang lemah
makrifatnya yaitu mengenal ciptaan Allah terlebih dahulu baru mengenal
Allah dengan segala maujud Allah.
Menurut Al-Ghazali ma’rifat yang hakiki didapat melalui ilham-ilham
dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang diberikan Tuhan secara langsung
kepada manusia tertentu tanpa proses pengamatan dan penalaran atau proses
belajar. Syarat yang dilakukan untuk mencapai makrifat menurut Al-Ghazali
adalah mensucikan diri dari dosa-dosa dan tingkah laku yang tercela
kemudian membersikan diri dari yang selain Allah Swt. Kunci kesucian
tersebut adalah melibatkan qalbu secara total (Asmaran, 2002:342).
Bahwa Makrifat cinta Al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Tuhan
dan keteraturan hukum-hukum Ilahi pada segala benda karena jelas dan
terangnya pengetahuan itu merupakan. Obyek makrifat menurut Al-Ghazali
tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup
pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua
makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai
tingkat makrifat (al‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau
sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu (para ’arifin).
91
Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf
dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar
dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau
sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa.
Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-
Ghazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang
ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Ghazali lebih banyak
membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran
sufi. Dengan demikian, al-Ghazali mendefinisikan makrifat dengan ( النظر اىل
.(memandang kepada wajah Allah ta’ala) (وجه اهلل تعاىل
Pengetahuan tentang Tuhan selalu melahirkan cinta, sementara
cinta mensyaratkan adanya pengetahuan mengenai obyek cinta,
walaupun hal tersebut melalui pengetahuan langsung dan renungan.
Makrifat merupakan pengetahuan yang tidak dapat dicapai tanpa proses
jalan menuju makrifat tersebut.