bab ii new pdl

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Delirium adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya gangguan kesadaran yang terjadi secara akut yang disertai dengan kurangnya daya perhatian maupun perubahan fungsi kognitif dan gangguan fungsi persepsi. Delirium bukan merupakan suatu penyakit, melainkan manifestasi klinis dari suatu keadaan mental yang abnormal yang bersifat sementara dan biasanya terjadi secara mendadak, dimana penderita mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu berpikir secara jernih. Pasien mungkin akan mengalami hiperaktif delirium (agitasi, kurang istirahat, selalu berkeinginan untuk melepas kateter, maupun emosional yang labil), hipoaktif delirium (afek datar, apatis, dan menarik diri dari lingkungan). 1,2 II.2. Etiologi Hampir semua penyakit medis, intoksikasi atau medikasi dapat menyebabkan delirium. Seringkali delirium merupakan multifaktorial dalam etiologinya. Dibawah ini merupakan multifaktorial etiologi: 3,4 1. Penyebab reversible antara lain: 3

Upload: rizky-sepsarianto

Post on 12-Jan-2016

226 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Referat geriatri

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II new PDL

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Delirium adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya gangguan

kesadaran yang terjadi secara akut yang disertai dengan kurangnya daya perhatian

maupun perubahan fungsi kognitif dan gangguan fungsi persepsi. Delirium bukan

merupakan suatu penyakit, melainkan manifestasi klinis dari suatu keadaan

mental yang abnormal yang bersifat sementara dan biasanya terjadi secara

mendadak, dimana penderita mengalami penurunan kemampuan dalam

memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan

tidak mampu berpikir secara jernih. Pasien mungkin akan mengalami hiperaktif

delirium (agitasi, kurang istirahat, selalu berkeinginan untuk melepas kateter,

maupun emosional yang labil), hipoaktif delirium (afek datar, apatis, dan menarik

diri dari lingkungan).1,2

II.2. Etiologi

Hampir semua penyakit medis, intoksikasi atau medikasi dapat

menyebabkan delirium. Seringkali delirium merupakan multifaktorial dalam

etiologinya. Dibawah ini merupakan multifaktorial etiologi:3,4

1. Penyebab reversible antara lain:

1. Hipoksi

2. Hipoglikemia

3. Hipertermia

4. Antikolinergik delirium

5. Putus alkohol atau sedatif

•Perubahan struktural :

1. Trauma tertutup kepala atau perdarahan cerebral

2. Kecelakaan cerebrovaskular antara lain : infark cerebri,

perdarahansubarachnoid, hipertensif encephalopathi3

Page 2: BAB II new PDL

3. Tumor kepala primer maupun metastase.

4. Abses otak

•Akibat metabolik

1. Gangguan air dan elektrolit, gangguan asam basa, hipoksia.

2. Hipoglikemia

3. Gagal ginjal atau gagal hati.

4. Defisiensi vitamin terutama thiamine dan cyanocobalamin.

5. Endokrinopati terutama berhubungan dengan tiroid dan paratiroid

•Keadaan hipoperfusi :

1. Syok

2. CHF (Congestif heart failure).

3. Cardiac aritmia.

4. Anemia

2. Infeksi

1. Infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis

2. Ensephalitis

3. Infeksi otak yang berhubungan dengan HIV

4. Septicemia

5. Pneumonia

6. URTI (urinaria tractus infection )

3. Toksik :

1. Intoksikasi substansi illegal : alkohol, heroin, ganja, LSD

2. Delirium yang dipicu oleh obat antara lain : Antikolinergik

(Benadryl, tricyclic antidepressant), Narkotik (meperidine), Hipnotik

sedatif (benzodiazepine), Histamine-2 blocker (cimetidine),

Kortikosteroid Antihipertensif (methyldopa,reserpine), Antiparkinson

(levodopa)

4. Penyebab lainnya :

4

Page 3: BAB II new PDL

1. Lingkungan yang tidak nyaman bagi pasien demensia menjadi pencetus

delirium

2. Retensio urin, gangguan tidur, perubahan lingkungan.

II.3. Epidemiologi

Angka kejadian delirium di Amerika Serikat cukup banyak yaitu sekitar

14-56 % dari seluruh pasien lansia yang dirawat. Delirium dijumpai pada 10-22 %

penderita lansia saat awal masuk rumah sakit, dan meningkat 10-30 % setelah

perawatan di rumah sakit. Delirium juga banyak didapat pada pasien yang dirawat

di ICU (Intensive Care Units) yaitu sekitar 40% dari seluruh pasien ICU.

Sebanyak 80% pasien delirium berkembang menjadi kritis.5

Pasien yang menderita delirium mempunyai rasio mortalitas sebesar 10-26

%. Delirium umumnya dapat mengenai semua usia, namun kejadian terbanyak

dialami oleh pasien lansia. Pasien lansia dan pasien yang selesai menjalani operasi

mengakibatkan lama rawat inap yang lebih lama, meningkatknya komplikasi,

meningkatknya biaya pengobatan, dan kelumpuhan jangka panjang.6

II.4. Patofisiologi

Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari gangguan neuronal,

biasanya melibatkan area di korteks serebri dan reticular activating system. Dua

mekanisme yang terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan

neurotransmiter yang berlebihan (kolinergik muskarinik dan dopamin) serta

jalannya impuls yang abnormal. Aktivitas yang berlebih dari neuron kolinergik

muskarinik pada reticular activating system, korteks, dan hipokampus berperan

pada gangguan fungsi kognisi (disorientasi, berpikir konkrit, dan inattention)

dalam delirium. Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali

dopamin yang berkurang misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya

peningkatan dopamin yang abnormal ini dapat bersifat neurotoksik melalui

produksi oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu neurotransmiter eksitasi.

Adanya gangguan neurotransmiter ini menyebabkan hiperpolarisasi membran

5

Page 4: BAB II new PDL

yang akan menyebabkan penyebaran depresi membran.5 Berdasarkan tingkat

kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:

1. Delirium hiperaktif

Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-

tiba,intoksikasi Phencyclidine (PCP), amfetamin, dan asam lisergic dietilamid

(LSD)5

2. Delirium hipoaktif 

Ditemukan pada pasien Hepatic Encefalopathy dan hiperkapnia5

3. Delirium campuran5

Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat

disebabkan oleh gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis utama adalah

adanya gangguan yang irreversibel terhadap metabolisme oksidatif otak dan

adanya kelainan multipel neurotransmiter.5

Asetilkolin

Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute confusional

states dan pada pasien dengan gangguan transmisi kolinergik seperti pada

penyakit Alzheimer. Pada pasien dengan post-operative delirium, aktivitas serum

antikolinergik meningkat.7

Dopamin

Di otak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergik dan

dopaminergik. Pada delirium, terjadi peningkatan aktivitas dopaminergik.5

Neurotransmitter lain

Serotonin: Ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic encephalopathy

dan sepsis delirium. Agen serotoninergic seperti LSD dapat pula menyebabkan

delirium.5

Cortisol dan beta-endorphins: Pada delirium yang disebabkan glukokortikoid

eksogen terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin.5

6

Page 5: BAB II new PDL

Mekanisme inflamasi

Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena

keterlibatan sitokoin seperti intereukin-1 dan interleukin-6, Stress psikososial dan

gangguan tidur berperan dalam onset delirium.8

Mekanisme struktural

Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian

kesadaran dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental

dorsalis yang keluar dari formatio reticularis mesencephalic ke tegmentum dan

thalamus. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan gangguan

struktural (stroke,trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis tersebut dapat

menyebabkan delirium.5

II.5. Manifestasi Klinis

Gejala delirium sangat beragam dan, walaupun tidak spesifik, sifatnya

yang fluktuatif sangat nyata dan merupakan indikator diagnostik yang sangat

penting. Terdapat tiga bentuk delirium yang telah diketahui, yaitu: tipe hiperaktif,

hipoaktif, dan campuran. Tipe hipoaktif seringkali tidak dikenali dan dihubungkan

dengan prognosis yang buruk secara keseluruhan. Tipe ini juga sering terjadi pada

pasien yang usianya cenderung lebih tua. Gangguan yang penting melibatkan

suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan menyeluruh yang mempengaruhi

kesadaran, perhatian, memori dan kemampuan perencanaan dan organisasi.

Gangguan lain, misalnya pola tidur yang berubah, gangguan proses pikir, afek,

persepsi dan tingkat keaktifan, walaupun dipandang tidak bermakna mempunyai

kontribusi yang besar dalam mengidentifikasi dan menatalaksana delirium.9

Menurut DSM-IV-TR, pasien delirium menunjukkan gambaran klinis

sebagai berikut:

1. Gangguan kesadaran, penurunan kemampuan untuk fokus, inatensi, dan

penurunan kesadaran terhadap lingkungan.10

2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi termasuk penurunan memori,

disorientasi dan gangguan bahasa.10

7

Page 6: BAB II new PDL

3. Kedua konsisi di atas yang berkembang dalam 10-24 jam dan berfluktuasi

setiap harinya.10

Terdapat beberapa manifestasi klinis terkait dengan delirium yang

ditunjukkan pada Tabel 1. Pasien lansia dengan delirium terkadang tidak

menunjukkan kelainan maupun perubahan tingkah laku.11

Tabel 1. Manifestasi Klinis Delirium

Gambaran Utama Gambaran Variabel

Onset akut

Berfluktuasi

Inatensi

Disorganisasi dalam berpikir dan

berbahasa

Gangguan Kesadaran

Defisit Kognisi

Gangguan Persepsi

Hiper/Hipoaktif

Gangguan siklus tidur

Gangguan Emosional

Pemeriksaan Fisik Disfungsi Otonom

Disarthria

Disomnia

Disgrafi

Afasia

Ataksia

Tremor

Mioklonus

Takikardi

Hipertensi

Berkeringat

Dilatasi pupil

Dikutip dari: Inouye SK. Delirium in Older Persons. NEJM; 354:1157-65.

II.6. Penegakkan Diagnosis

8

Page 7: BAB II new PDL

Diagnosis delirium pada pasien demensia cukup sulit karena gejala

delirium dan demensia yang saling tumpang tindih. Suatu penelitian dilakukan

untuk mengidentifikasikan gejala delirium yang khas pada pasien demensia untuk

membantu penegakan diagnosis delirium. Pasien demensia yang mengalami

delirium memperlihatkan lebih banyak agitasi psikomotor, disorientasi, dan

pikiran yang tidak terorganisasi.9

Secara klinis penegakkan diagnosis delirium dapat menggunakan DSM

IV-TR. Di bawah ini adalah kriteria diagnostik delirium berdasarkan DSM IV-

TR; keempat kriteria ini harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis delirium.9

Tabel 2. Kriteria Diagnostik Delirium Berdasarkan DSM IV-TR

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan)

dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan dan

mengalihkan perhatian

B. Perubahan kognisi (seperti kemunduran ingatan, disorientasi, gangguan

berbahasa) atau adanya gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke

dalam pre-demensia, demensia yang sudah ada atau demensia yang sedang

muncul.

C. Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya jam sampai

beberapa hari) dan cenderung untuk berfluktuasi selama berlangsungnya.

D. Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan

pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini

merupakan konsekuensi fisiologis dari kondisi medis umum.

Dikutip dari: Andri, 2007. Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri. Maj Kedokt Indon, Volum:57, Nomor:7.

Untuk kesempurnaan fenomenologi delirium tercermin pada kriteria

diagnostik International Classification of Disease 10 (ICD 10).12

Tabel 3. Kriteria Diagnostik Delirium Berdasarkan ICD 109

Page 8: BAB II new PDL

A. Penurunan kesadaran dan atensi

B. Gangguan kognisi (distorsi persepsi, ilusi, dan halusinasi visual, kelemahan

dalam berpikir, dengan atau tanpa delusi, kelemahan dalam mengingat memori

singkat, disorientasi waktu, tempat, dan orang)

C. Gangguan psikomotor (hipo-hiperaktivitas, meningkat atau menurunnya alur

bicara)

D. Gangguan tidur atau siklus bangun (insomnia, untuk beebrapa kasus yang

parah daat terjadi hilangnya waktu tidur total, rasa kantuk yang

berkepanjangan, gejala yang bertambah berat pada malam hari, mimpi buruk

yang terkadang berlanjut dengan halusinasi saat terbangun)

E. Gangguan emosional, seperti depresi, kecemasan, ketakutan, euforia, apatis,

mudah marah, kebingungan)

Dikutip dari: Burns, A.; Gallagley, A. And Bayne, J. 2002. Delirium. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 75:362-367.

Selain itu terdapat alat bantu lain yang biasa digunakan di kalangan non-

psikiater yaitu Confusion Assesment Method (CAM). CAM memiliki 4 komponen

diagnostik, antara lain:

1. Onset akut dan gejala yang berfluktuasi

2. Inatensi

3. Kegagalan dalam mengorganisasi pikiran

4. Gangguan kesadaran

Dalam mendiagnosis delirium, harus terdapat kriteria 1 dan 2, dengan atau

tanpa 3 maupun 4. CAM memiliki Positive Pridictive Value sebesar 90% dan

Negative Predictive Value sebesar 90-100 %.13

Cognitive Test for Delirium (CTD) berkembang sebagai metode alternatif

untuk diagnosis delirium yang hanya semata-mata berdasarkan gambaran kognitif.

CTD memberikan pemeriksaan terperinci mengenai fungsi neuropsikologikal

(orientasi, perhatian, memori, komprehensi, dan konsentrasi) dan baik diunakan

pada penderita dengan keterbatasan kemampuan dalam berinteraksi akibat

immobilitas, intubasi, dan tidak adanya kempuan verbal. Oleh karena itu, metode

ini dibuat untuk digunakan pada kondisi intensive care di mana penderita dapat 10

Page 9: BAB II new PDL

mengalami gangguan verbal dan motorik. Metode ini hanya memerlukan respons

nonverbal dalam bentuk pointing, menganggukkan kepala, atau mengangkat

tangan.14

CTD terdiri dari lima subtes yang menunjukkan orientasi (orientation),

rentang perhatian (attention span), memori (memory), komprehensi

(comprehension) / pertimbangan konsepsi (conceptual reasoning), dan

kewaspadaan (vigilance). Skor mentah dari masing-masing subtes dikonversi

dalam bentuk skor yang berkisar dari 0-6, yang kemudian dijumlahkan untuk

mendapat skor total 0-30. Skor yang semakin kecil menunjukkan semakin

besarnya kemungkinan delirium.14

Selain itu penting bagi klinisi untuk membedakan antara delirium,

demensia, dan depresi. Tabel di bawah ini akan menunjukkan perbedaan antara

delirium, demensia, dan depresi.

Tabel 4. Perbedaan antara Delirium, Demensia, dan Depresi

Delirium Demensia Depresi

Onset Akut Tersembunyi Bervariasi

Tipe Gejala Berfluktuasi Progresif Harian

Kesadaran Terganggu Baik Baik

Atensi Inatensi Normal Lemah

Memori Lemah pada

memori jangka

pendek

Lemah pada

memori jangka

pendek

Normal

Cara Berpikir Disorganisasi,

tidak logis

Kesulitan dalam

pemikiran abstrak

Rendah diri, dan

putus asa

Persepsi Misinterpretasi,

halusinasi,

delusi

Normal Dapat terjadi delusi

yang kompleks.

Psikosis paranoid

Dikutip dari: Suzanne, Penelope, J., Webster, Balakrishnan, R., 2008. Delirium in the Elderly: A Review. Oman Medical Journal 2008, Volume 23, Issue 3.

II.7. Penatalaksanaan11

Page 10: BAB II new PDL

Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya.

Identifikasi penyakit yang mendasari serta pengobatannya secara tepat perlu

dilakukan. Pasien dengan gangguan medis umum yang disertai dengan delirium

akan menjalani masa tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada yang tidak

mengalami delirium. Delirium sendiri dapat menimbulkan komplikasi lain yang

banyak terjadi pada pasien, misalnya geriatri seperti jatuh dan infeksi. Pasien

dengan delirium juga biasanya lebih membutuhkan perawatan di institusi.

II.7.1. Terapi Non Farmakologis

Lingkungan di sekitar pasien memegang peranan yang sangat penting

dalam proses perbaikan kondisi delirium ataupun saat delirium sudah teratasi. Hal

ini disebabkan pada saat pasien pulang dari perawatan terkadang terdapat gejala

sisa delirium sehingga keluarga dan pengasuh memainkan peran penting dalam

perawatan pasien terutama di rumah. Pengasuh dan keluarga pasien dapat

memberikan bantuan psikososial yang bersifat mendorong pasien untuk dapat

kembali kepada fungsi awal sebelum terjadinya delirium. Untuk itulah anggota

keluarga dan pengasuh pasien harus diberi penjelasan tentang delirium sehingga

dapat menghadapi pasien dengan baik. Terkadang informasi yang salah tentang

delirium dapat membuat keluarga atau pengasuh menjadi tidak sabar atau marah

terhadap pasien yang dapat mencetuskan distress pada pasien.9,15

Berkaitan dengan pentingnya peranan keluarga dan pengasuh pasien dalam

upaya penatalaksanaan pasien delirium, suatu penelitian bahkan mengatakan

bahwa delirium sebaiknya ditangani di rumah dalam lingkungan keluarga di mana

terdapat dukungan sosial yang adekuat. Hal ini dapat dilaksanakan terutama bila

penyakit medis yang menyertai tidak memerlukan pelayanan medis di rumah

sakit. Namun jika memang memerlukan perawatan maka penatalaksanaan transisi

yang hati-hati dan pendampingan pihak keluarga serta penjelasan yang jelas

tentang apa yang terjadi dapat meminimalkan peningkatan kebingungan yang

biasanya terjadi pada perubahan lingkungan.9,15

Beberapa penanganan secara psikososial dapat dilihat di bawah ini:

a. Penyediaan bantuan suportif dan orientasi:

12

Page 11: BAB II new PDL

Berkomunikasi secara jelas dan tegas; berikan pengulangan secara verbal

tentang hari, tanggal, lokasi dan identitas kunci orang-orang yang bermakna,

misalnya anggota tim medis dan saudara.

Sediakan beberapa petanda seperti jam, kalender dan jadwal harian di dekat

pasien.

Bawalah barang-barang yang cukup akrab bagi pasien dari rumah untuk

ditaruh di sekitar pasien.

Sediakan televisi dan radio untuk relaksasi dan membantu pasien untuk

mempertahankan kontak terhadap dunia luar.

Libatkan keluarga dan pengasuh dalam meningkatkan perasaan aman dan

orientasi pasien.9,15

b. Penyediaan lingkungan yang tidak ambigu:

Sederhanakanlah ruang dengan memindahkan objek-objek yang tidak perlu

untuk mempertahankan ruang yang cukup luas di kamar tidur.

Pertimbangkan untuk mengambil ruang yang tunggal untuk membantu

istirahat dan menghindari pengalaman sensori yang berlebihan.

Hindari penggunaan istilah-istilah medis di tengahtengahkeberadaan pasien

karena hal itu dapat menimbulkan paranoid.

Gunakan penerangan yang adekuat, gunakan lampu antara 40-60 Watt untuk

mengurangi salah persepsi.

Atur sumber suara (baik dari staf medis, paralatan, ataupun pengunjung),

setara tidak lebih dari 45 desibel di waktu siang dan 20 desibel di waktu

malam.

Jaga temperatur ruangan tetap di antara 21,1o C sampai 23,8o C.9,15

c. Pertahankan kemampuan pasien

Identifikasi dan perbaiki kesalahan sensorik, jamin keberadaan kacamata, alat

bantu dengar atau gigi palsu untuk membantu pasien. Bila ada kesulitan dalam

bahasa, pertimbangkan jasa penerjemah.

Berikan dukungan untuk perawatan mandiri dan partisipasi dalam pengobatan.

Pengobatan dilakukan untuk memperoleh tidur yang tidak tertunda.

13

Page 12: BAB II new PDL

Pertahankan akitivitas fisik: bagi pasien yang dapat bergerak lakukan jalan

kaki tiga kali dalam sehari, bagi yang tidak dapat berpindah tempat berikan

pergerakan selama 15 menit tiga kali sehari.9,15

II.7.2. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis sebaiknya diberikan pada pasien-pasien dengan gejala

yang dapat membahayakan nyawanya sendiri maupun orang lain. Beberapa

prinsip pemberian obat-obatan dalam manajemen delirium ialah:

Gunakan hanya satu macam obat dalam sekali pemberian,

Gunakan dosis seminimal mungkin pada obat-obatan sedatif dan antipsikotik,

Sesuaikan dosis sesuai umur, ukuran tubuh, dan derajat agitasi pasien,

Titrasi dosis terhadap efeknya,

Penggunaan obat biasanya dihentikan setelah 7-10 hari hilangnya gejala.

II.7.2.1. Obat Antipsikotik

Antipsikotik efektif dalm penanganan gejala delirium baik tipe hiperaktif

maupun hipoaktif.

II.7.2.1.1. Antipsikotik Tipikal

Penggunaan haloperiperidal dapat diberikan secara intavena,

intramuskuler, maupun oral.

Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber

deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang

berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena

benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk

delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi

yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu

sendiri.9

Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering

dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena

profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman

melalui jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0

mg per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat

14

Page 13: BAB II new PDL

dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10

mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan

obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali

perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit

menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.9

Antipsikotik yang lebih baru, misalnya risperidon, olanzapin dan quetiapin

juga membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan bukti

yang mendukung penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium belum terbukti

jelas sehingga obat-obat tersebut tidak dapat digunakan sebagai terapi lini

pertama. Akan tetapi, obat-obatan ini dihubungkan dengan lebih sedikitnya

gangguan pergerakan akibat obat dibandingkan penggunaan haloperidol. Oleh

karena itu, antipsikotik atipikal mungkin merupakan obat pilihan untuk pasien

dengan penyakit Parkinson dan gangguan neuromuskular yang berhubungan, serta

pasien dengan riwayat adanya gejala ektrapiramidal pada penggunaan antipsikotik

lama.9

Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu

minggu, dosis dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi

20mg sehari. Quetiapin diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat

ditingkatkan menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai 3 hari sampai tercapai

target 300-400 mg perhari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon diberikan 1-2

mg per oral pada malam hari dan secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap 2-3 harus

sampai dosis efektif tercapai (4-6 mg per oral). Quetiapin adalah obat antipsikotik

baru yang paling menimbulkan sedasi dan paling aplikatif dalam pengobatan

delirium yang agitasi.9

II.8. Prognosis

Penelitian menunjukkan bahwa hampir 50 % pasien-pasien dengan

delirium mengalami gejala-gejala yang menetap setelah dirawat di rumah sakit,

20-40 % pasien masih menderita delirium selama 12 bulan.10 Pada penderita yang

lebih tua dan pada periode pasca operasi, delirium dapat menyebabkan masa rawat

inap di rumah sakit menjadi lebih lama, meningkatkan komplikasi medis,

15

Page 14: BAB II new PDL

meningkatkan biaya pengobatan, dan menyebabkan kecacatan dalam jangka

waktu yang lama.5

16