bab ii maqĀs}id al-syarĪ dan dalam hukum islamdigilib.uinsby.ac.id/16271/50/bab 2.pdfpengaturan...
TRANSCRIPT
21
BAB II
MAQĀS}ID AL-SYARĪ‘AH DAN ‘IDDAH DALAM HUKUM ISLAM
A. Maqās}id al-Syarī‘ah
1. Pengertian Maqās}id al-Syarī‘ah
Sebagai sumber ajaran, Al-Quran tidak memuat pengaturan-
pengaturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah, hanya terdapat
368 ayat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum. Hal
ini mengandung arti bahwa sebagian besar masalah-masalah hukum dalam
Islam oleh Allah hanya diberikan dasar-dasar atau prinsip-prinsip dalam
Al-Quran. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, dituangkan pula oleh
Nabi penjelasan melalui hadis-hadisnya. Berdasarkan atas dua sumber
inilah kemudian aspek-aspek hukum dikembangkan oleh para ulama
diantaranya adalah Al-Syatibi yang telah mencoba mengembangkan
pokok atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber ajaran Islam itu
dengan mengaitkannya dengan maqās}id al-syarī‘ah.1
Maqās}id al-syarī‘ah terdiri dari dua kata, yakni maqās}id dan al-
syarī‘ah. Maqās}id adalah bentuk jamak dari maqs}u>du yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Al-Syarī‘ah secara bahasa berarti ( المواضع تحدر
yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini (الى الماء
dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.2 Dari
1 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada, 1996), 60. 2 Ibid., 61.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
segi bahasa maqās}id al-syarī‘ah berarti maksud atau tujuan disyariatkan
hukum Islam. Maqās}id al-syarī‘ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya
dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri
dalam ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis
bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.3
Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan
kajian dalam bidang ushul fiqh, dan dalam perkembangan berikutnya,
kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam, sehingga
dapat dikatakan bahwa istilah maqās}id al-syarī‘ah identik dengan istilah
filsafat hukum Islam.4
Maqās}id al-syarī‘ah secara istilah sebenarnya tidak didefinisikan
secara khusus oleh para ulama ushul fiqh klasik, boleh jadi hal ini sudah
maklum di kalangan mereka. Al-Syatibi mempergunakan kata yang
berbeda-beda berkaitan dengan maqās}id al-syarī‘ah. Kata-kata itu ialah
maqās}id al-syarī‘ah, al-maqās}id al-Syar’iyya>h fi al-Syarī‘ah, dan maqās}id
min syar’i al-hu>km. Walau dengan kata-kata yang berbeda, mengandung
pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah
SWT.5 Menurut Al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya
sendiri:
3 Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 233. 4 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 123. 5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 64.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
ن يا ين والد ارع ف قيام مصالهم ف الد ري عة وضعت لتحقيق مقاصد الش ان هذه الش معا
‚Sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan di akhirat‛.6
األحكام مشروعة لمصالح العباد ‚Hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba‛.
7
Apabila ditelaah pernyataan Al-Syatibi tersebut, dapat dikatakan
bahwa kandungan maqās}id al-syarī‘ah atau tujuan hukum adalah
kemaslahatan umat manusia. Bertitik tolak dari pandangannya bahwa
semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka merealisasi
kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah dalam pandangan Al-
Syatibi yang tidak mempunyai tujuan, hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tak dapat dilaksanakan.8
Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan
hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang
disyariatkan baik dalam Al-Quran maupun Sunnah melainkan di
dalamnya terdapat kemaslahatan.9
Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti
terlebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus
yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian
terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa
dalam menetapkan nash terhadap satu kasus yang baru, kandungan nash
6 Al-Sha>t}ibiy, al-Muwafaqat fi Us}ul al-Shari’ah, Jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th), 2-3. 7 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 64. 8 Ibid., 65.
9 Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 366.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyariatkan
hukum tersebut. Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk
memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus menghindari mafsadat, baik
di dunia maupun di akhirat.10
Penekanan maqās}id al-syarī‘ah yang dilakukan oleh al-Syatibi
secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat Al-Quran yang
menunjukkan bahwa hukum-hukum Allah mengandung kemaslahatan. Al-
Syatibi mengatakan bahwa maqās}id al-syarī‘ah dalam arti kemaslahatan
terdapat dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan, artinya apabila
terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara
jelas dimensi kemaslahatannya, dapat dianalisis melalui maqās}id al-
syarī‘ah yang dilihat dari syariat dan tujuan umum dari agam Islam. Al-
Quran sebagai sumber ajaran agama Islam memberikan pondasi yang
penting yakni prinsip membentuk lemaslahatan manusia.11
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa maqās}id
al-syarī‘ah adalah makna dan tujuan yang dijaga oleh syar’i dalam
pembentukan hukum Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.12
2. Kategori Maqāshid al-Syarī‘ah
Hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Abu Ishaq Al-Syatibi
10 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 124-125. 11
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 68. 12 Muhammad Sa’ad bin ahmad bin mas’ud al-yubi, Maqa@sid al-Shari@’ah al islamiyyah wa ‘alaqatuha bi al adillah al-shar’iyyah (Riyadh: da@r al hijrah, 1998), 36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah bahwa ‚hukum-hukum disyariatkan Allah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat‛.
Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat
diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu menurut al-Syatibi
adalah agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Dalam usaha mewujudkan
dan memelihara lima unsur pokok itu, menurut al-Syatibi dikategorikan
menjadi tiga tingkatan, yaitu kebutuhan Daru>riyah, kebutuhan Ha>jiyah,
dan kebutuhan Tahsi>niyah.13
a. Kebutuhan Daru>riyah
Kebutuhan daru>riyah ialah tingkat kebutuhan yang harus ada, atau
disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak
terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia
maupun di akhirat.14
Kebutuhan primer ini hanya bisa dicapai bila
terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, dan
memelihara keturunan.
1) Memelihara agama (hifz al-din), manusia disuruh beriman,
mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat lima
waktu, mengeluarkan zakat, puasa di bulan ramadhan, serta
13
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 71. 14 Satria Effendi, Ushul Fiqh ..., 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
melakukan ibadah yang pokok lainnya.15
Untuk menjaga agama,
Allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan Allah
sebagaimana banyak ditegaskan dalam Al-Quran yang diantaranya
pada surat At-Taubah ayat 41:
Artinya: ‚Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa
ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan
dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu Mengetahui‛.16
2) Memelihara jiwa (hifz al-nafs), manusia harus melakukan banyak
hal seperti makan, minum, menutup aurat, mencegah penyakit, dll.
Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan segala sesuatu
yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala
usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan
baik, karenanya disuruh Allah untuk melakukannya. Sebaliknya,
segala sesuatu yang dapat merusak jiwa adalah perbuatan buruk
yang dilarang Allah.17
3) Memelihara akal pikiran (hifz al-‘aql) dalam peringkat daru>riyah,
seperti diharamkan minum minuman keras, jika ketentuan ini
15 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995),
101. 16
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Penerbit J-ART, 2005), 106. 17 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
tidak diindahkan, maka berakibat terancamnya eksistensi akal.18
Akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan
berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan
meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Manusia
disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak
memperhitungkan jarak atau tempat.
4) Memelihara harta benda (hifz al-‘ma>l), manusia memerlukan
sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan,
minum, dan pakaian. Untuk itu diperlukan harta dan manusia
harus berupaya mendapatkan secara halal dan baik.19
Di jelaskan dalam Al-Quran Surat Al-Jumu’ah ayat 10:
Artinya: ‚Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung‛.20
Untuk mendapatkan harta, Islam mensyariatkan wajib usaha
mencari rezeki, dan melarang melakukan pencurian ataupun
kejahatan yang lainnya.
5) Memelihara keturunan (hifz al-nasl) yang sah dan jelas. Untuk
maksud itu Allah melengkapi makhluk hidup ini dengan nafsu
18 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 129. 19 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh ..., 225. 20 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ..., 501.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
syahwat yang mendorong untuk melakukan hubungan kelamin
yang dilakukan secara sah adalah baik. Dalam hal ini Allah
mensyariatkan nikah dan dilarang berzina.21
Sebagaimana Firman-
Nya dalam surat An-Nur ayat 32:
Artinya: ‚Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui‛.22
Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau perusakan
keturunan yang sah adalah perbuatan buruk. Oleh karena itu, Nabi
sangat melarang membujang karena mengarah pada peniadaan
keturunan. Islam juga melarang zina yang dinilai sebagai
perbuatan keji dan dapat merusak tatanan sosial, mengaburkan
nasab keturunan serta akan mendatangkan bencana.23
Firman
Allah dalam Al-Quran Surat Al-Isra’ ayat 32:
Artinya: ‚Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk‛.24
21 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 130. 22 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ..., 311. 23 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh ..., 226. 24 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ..., 209.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
Dalam kebutuhan Daru>riyah. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka akan mengacam keselamatan umat manusia di
dunia maupun diakhirat.25
b. Kebutuhan Ha>jiyah
Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila
kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan,
namun akan mengalami kesulitan. Kesulitan atau kesempitan hidup
tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan yang menimbulkan
kerusakan hidup manusia secara umum. Untuk menghilangkan
kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhsah (keringanan)
yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban, sehingga
hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.26
Kebutuhan sekunder ini bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan
hukum Islam yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara
akal, memelihara harta, dan memelihara keturunan.
1) Memelihara Agama
Memelihara agama dalam peringkat ha>jiyah yaitu
melaksanakan ketentuan agama dengan maksud untuk
menghindari kesulitan seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi
orang yang sedang bepergian. Dan apabila ketentuan ini tidak
dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksitensi agama
25 A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Bandung: Prenada Media, 2003), 397. 26 Satria Effendi, Ushul Fiqh ..., 235.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang
melakukannya.27
2) Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa dalam peringkat ha>jiyah ini seperti
diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan lezat
dan halal, apabila hal ini diabaikan maka tidak akan mengancam
eksistensi manusia melainkan hanya mempersulit hidupnya.28
3) Memelihara Akal
Memelihara akal dalam peringkat ha>jiyah ini seperti
dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dan apabila
sekiranya hal tersebut tidak dilakukan maka tidak akan merusak
akal akan tetapi mempersulit diri seseorang dalam kaitannya
dengan pengembangan ilmu pengetahuan.29
4) Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan dalam peringkat ha>jiyah ini seperti
memelihara status pengakuan legalitas anak sebagai sarana untuk
memudahkan mendapatkan hak keperdataan dan nasab.
5) Memelihara Harta
Memelihara harta dalam peringkat ha>jiyah ini seperti
syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak
27 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 128. 28 Ibid., 129. 29 Ibid., 130.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
dilakukan maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan
akan mempersulit orang yang melaukan modal.30
c. Kebutuhan Tahsi>niyat
Kebutuhan tahsi>niyat Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna
(tersier). Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak
pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa
kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al-Syatibi, hal-hal yang
merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal
yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang
sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.31
Pencapaian tujuan tersier
hukum Islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang
mulia atau akhlaqul karimah yang mencakup etika hukum, baik etika
hukum ibadah, muamalat, adat, pidana atau jinayah, dan
keperdataan.32
Tahsi>niyat ini terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu:
1) Memelihara agama (hifz al-din)
Memelihara agama dalam peringkat tahsi>niyat yaitu
mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat
manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap
Tuhan. Misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar
shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. Kegiatan ini
30 Ibid., 131. 31
Satria Effendi, Ushul Fiqh ..., 236. 32 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam ..., 102.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
erat kaitannya dengan akhlak terpuji, kalau hal ini tidak mungkin
dilakukan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan
tidak pula mempersulit bagi orang yang melaukannya.33
2) Memelihara jiwa (hifz al-nafs)
Memelihara jiwa dalam peringkat tahsi>niyat seperti
ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya
berhubunga dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan
mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit
kehidupan seseorang.34
3) Memelihara akal pikiran (hifz al-‘aql)
Memelihara akal dalam peringkat tahsi>niyat seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaedah, hal ini tidak akan mengancam eksistensi
akal secara langsung.
4) Memelihara harta benda (hifz al-‘ma>l)
Memelihara harta dalam peringkat tahsi>niyat seperti
ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau
penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau
etika bisnis.
5) Memelihara keturunan (hifz al-nasl)
Memelihara keturunan dalam peringkat tahsi>niyat seperti
disyariatkan khitbah atau walimah dalam perkawinan, hal ini
33
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 128. 34 Ibid., 129.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan, jika
diabaikan maka tidak akan mengacam eksistensi keturunan, dan
tidak pula mempersulit orang yang melangsungkan perkawinan.35
Pada hakikatnya, baik kelompok daru>riyah, ha>jiyah, maupun
tahsi>niyat dimaksudkan memelihara ataupun mewujudkan kelima pokok
seperti yang disebutkan diatas. Hanya saja peringkat kepentingannya
berbeda satu sama lain. Menurut Al-Syatibi, penetapan kelima pokok
diatas didasarkan atas dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah. Tidak terwujud
aspek daru>riyah dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat
secara keseluruan. Pengabaian terhadap aspek ha>jiyah, tidak sampai
merusak lima unsur pokok, akan tetapi tetapi hanya akan membawa
kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya.
Sedangkan pengabaian aspek tahsi>niyat, membawa upaya memelihara
lima unsur pokok tidak sempurna.36
Dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara
sempurna, maka ketiga tingkat maqās}id diatas tidak dapat dipisahkan.
Menurut Al-Syatibi tingkat ha>jiyah adalah penyempurna tingkat
daru>riyah, tingkat tahsi>niyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat
ha>jiyah. Sedangkan daru>riyah menjadi pokok ha>jiyah dan tahsi>niyat.
Pengkategorian yang dilakukan oleh Al-Syatibi ke dalam maqāshid
daru>riyah, ha>jiyah dan tahsi>niyat menunjukkan bahwa betapa pentingnya
pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia, disamping
35
Ibid., 130. 36 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 72.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
itu pula pengkategorian itu mengacu tidak hanya kepada pemeliharaan
lima unsur, akan tetapi mengacu kepada pengembangan dan dinamika
pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan manusia.37
Mengetahui urutan peringkat maslahat diatas menjadi penting
artinya apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika
kemaslahatan yang satu berbenturan dengan kemaslahatan yang lain,
dalam hal ini tentu peringkat pertama daru>riyah harus didahulukan dari
pada tingkat kedua ha>jiyah dan peringkat ketiga tahsi>niyat. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk
dalam peringkat kedua dan ketiga manakala kemaslahatan yang masuk
peringkat pertama terancam eksistensinya.38
Keadaan diatas hanya terbatas pada yang berbeda peringkat.
Adapun dalam kasus yang peringkatnya sama, seperti peringkat daru>riyah
dengan peringkat daru>riyah dan seterusnya, maka penyelesaiannya adalah
sebagai berikut:39
a) Jika perbenturan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima pokok
kemaslahatan tersebut, maka skala prioritas didasarkan pada urutan
yang sudah baku yakni agama harus didahulukan dari pada jiwa, dan
jiwa harus didahulukan dari pada akal, begitu seterusnya. Dengan kata
37 Ibid., 73. 38
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 132. 39 Ibid., 133-134.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
lain urutan kelima pokok kemaslahatan itu sudah dianggap baku dan
mempunyai pengaruh atau akibat tersendiri.
b) Jika perbenturan terjadi dalam peringkat dan urutan yang sama, seperti
sama-sama menjaga harta atau menjaga jiwa di dalam peringkat
daru>riyah, maka mujtahid berkewajiban untuk meneliti dari segi
cakupan kemaslahatan itu sendiri atau adanya faktor lain yang
menguatkan salah satu kemaslahatan mana yang harus didahulukan.
3. Tujuan Maqās}id Al-Syarī‘ah
Hukum Islam datang ke dunia membawa misi yang sangat mulia,
yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi. Pembuat
Syariah (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan syariah bertujuan untuk
merealisasikan kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan, dan
menghindarkan kemafsadatan bagi umat manusia.40
Pengetahuan tentang maqās}id al-syarī‘ah adalah hal yang sangat
penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-
Quran dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang
sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang
tidak tertampung dalam Al-Quran dan Sunnah.41
Tujuan hukum Islam itu menjadi arah setiap perilaku dan tindakan
manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati
40 Mukhtar yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqih Islami ( Bandung: Al-Ma’arif,
1993), 333. 41 Satria Effendi, Ushul Fiqh ..., 237.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
semua hukum-hukum-Nya. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif,
yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang
utama, yakni Al-Quran dan Sunnah. Dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan di dunia dan di akhirat, berdasarkan penelitian para ushul
fikih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima
pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.42
Tujuan Allah mensyariatkan hukumNya adalah untuk memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di
dunia maupun di akhirat. Terkait dengan ini, Abu Zahrah mengatakan
bahwa “setiap hukum Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu
kemaslahatan”. Tidak ada perintah dalam Al-Quran dan Sunnah yang tidak
memiliki kemaslahatan yang hakiki, meskipun kemaslahatan itu tidak
tampak dengan jelas. Kemaslahatan di sini adalah kemaslahatan hakiki
yang bersifat umum dan tidak didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu.43
Prof DR. H Mustafa dalam bukunya Hukum Islam Kontemporer
mengatakan bahwa “secara umum tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil (segala)
manfaat dan menolak atau mencegah segala mudarat, yaitu yang tidak
berguna bagi hidup dan kehidupan”.44
Maqās}id al-syarī‘ah Berarti tujuan Allah dan RasulNya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam
42 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 125. 43 Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh (Kairo: Daar al-Fikr al-Arabi), 66. 44 Mustafa, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi
rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.45
Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka
mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan
menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak
diatur secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah. Lebih dari itu tujuan
hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus
masih dapat diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum, karena adanya
perubahan struktur sosial hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan
demikian pengetahuan tentang maqās}id al-syarī‘ah menjadi kunci bagi
keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.46
Dengan diketahuinya tujuan hukum Islam, dapat ditarik suatu
peristiwa yang sudah ada nash-nya secara tepat dan benar dan selanjutnya
dapat ditetapkan hukum peristiwa yang tidak ada nashnya. Senada dengan
pendapat diatas, Al-Shatibi mengembangkan doktrin maqās}id al-syarī‘ah
dengan menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum Islam adalah satu, yaitu
kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan bagi umat mausia.
Pendapat Al-Shatibi didasarkan pada prinsip bahwa Tuhan melembagakan
syari’ah demi kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
45 Satria Efendi, Ushul Fiqh ..., 233. 46 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 124.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
B. ‘Iddah Dalam Hukum Islam
1. Pengertian ‘Iddah
Secara singkat ‘iddah dapat dirumuskan sebagai masa tunggu yang
dihadapi seorang wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya.47
‘iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata ‘adda ya’uddu-
‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi)
berarti: menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan untuk maksud
‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber‘iddah menunggu
berlalunya waktu.48
‘Iddah diwajibkan karena perceraian yang dijatuhkan suami masih
hidup atau sudah meninggal, pernah menggauli (ba’da dukhul), akan
tetapi lain halnya jika suami itu belum pernah menggauli, maka tidak
wajib ‘iddah. ‘Iddah baik bagi wanita yang cerai hidup atau cerai mati
adakalanya ia masih mengalami haid, ada juga yang sudah putus haid
(menopause) dan terkadang juga wanita tersebut sedang hamil, ataupun
wanita yang pernah haid namun tidak teratur haidnya.
Dalam Al-Quran banyak ayat yang menunjukkan kewajiban bagi
perempuan untuk ber‘iddah, diantaranya dijelaskan dalam Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 228:
Artinya:‚Perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
47 Abdul Muhaimin As’ad, Risalah Nikah (Surabaya : Bintang Terang, 1993), 101. 48 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 303.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 234, yang artinya:
‚Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari‛.49
Dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 49:
Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak
wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.50
2. Macam-Macam ‘Iddah
Secara garis besar dibagi menjadi dua:
a. ‘Iddah karena suami meninggal dunia
Dalam hal ini posisi ada dua kemungkinan, yaitu wanita yang
dalam keadaan hamil atau tidak hamil.51
Apabila wanita yang
ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka‘iddahnya sampai
melahirkan. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran Surat At-Thalaq
ayat 4. Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, baik ia
sudah atau belum bercampur suaminya, maka ‘iddah mereka 4 bulan
49 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ...,39. 50 Ibid., 424. 51 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 8 (Bandung: Al-Ma’arif, 1997), 147
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
10 hari, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-
Baqarah ayat 234.
b. ‘Iddah karena perceraian/talak
Mengenai ‘iddah karena talak ini ada beberapa macam:
1) Wanita yang ditalak suaminya dalam keadaan hamil, maka
‘iddahnya sampai melahirkan.
2) Wanita yang ditalak suaminya dan masih mempunyai haid,
maka‘iddahnya adalah 3 kali quru’.
3) Wanita yang ditalak suaminya sudah tidak hamil dan tidak pula
haid baik masih kecil atau sudah lanjut usia, maka ‘iddahnya 3
bulan.
4) Wanita yang dicerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada ‘iddah
baginya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id