bab ii landasan teori 2.1 jasa 2.1.1 pengertian jasathesis.binus.ac.id/asli/bab2/bab 2_09-06..pdf1...
TRANSCRIPT
1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Jasa
2.1.1 Pengertian Jasa
Ada beberapa definisi jasa yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut
Kotler (2000), Jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan
oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak
berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa bisa
berhubungan dengan produk fisik maupun tidak.
Valarie A. Zethaml and Mary Jo Bitner memberikan definisi tentang jasa
sebagai semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam
bentuk fisik atau konstruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang sama
dengan waktu yang dihasilkan dan memberikan nilai tambah (seperti misalnya
kenyamanan, hiburan, kesenangan, atau kesehatan), atau pemecahan atas masalah
yang dihadapi konsumen.
Secara umum jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat
ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dimana produk yang ditawarkan
bisa berupa produk fisik maupun tidak dimana jika produk itu berupa produk fisik
yang didalam tahapannya akan melalui beberapa perubahan sehingga nantinya
akan memuaskan keinginan konsumen tersebut.
2.1.2 Perbedaan Jasa dan Produk
Penawaran suatu perusahaan kepada pasar biasanya mencakup beberapa
jenis jasa. Komponen jasa dapat merupakan bagian kecil / utama / pokok dari
keseluruhan penawaran. Penawaran dapat berupa 2 macam, yaitu murni berupa
barang pada satu sisi dan jasa murni pada sisi lainnya.
Berdasarkan kriteria ini penawaran suatu perusahaan dapat dibedakan
menjadi lima kategori, yaitu :
2
1. Produk fisik murni
Penawaran hanya terdiri atas produk fisik, misalnya sabun mandi, sabun
cuci, dan sebagainya tanpa ada jasa atau pelayanan yang menyertai
produk tersebut.
2. Produk fisik dengan jasa pendukung
Penawaran terdiri atas suatu produk fisik yang disertai dengan satu atau
beberapa jasa untuk meningkatkan daya tarik pada konsumennya.
Misalnya produsen mobil menyertakan jasa pengantaran, reparasi, suku
cadang, dan sebagainya.
Menurut Clemente dalam buku Tjiptono, dalam kategori ini, jasa dapat
pula didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan perusahaan kepada
pelanggan yang telah membeli produknya.
3. Hybrid
Penawaran terdiri dari barang dan jasa yang sama besar porsinya.
4. Jasa Utama yang didukung dengan barang dan jasa minor
Penawaran terdiri atas suatu jasa pokok bersama-sama dengan jasa
tambahan (pelengkap) dan / atau barang-barang pendukung. Contohnya
penumpang pesawat yang membeli jasa transportasi, selama perjalanan
ada beberapa unsur produk fisik yang terlibat, seperti makanan dan
minuman, majalah atau surat kabar, dan lain-lain. Jasa seperti ini
memerlukan barang yang bersifat kapital intensif (dalam hal ini pesawat)
untuk realisasinya, tetapi penawaran utamanya adalah jasa.
5. Jasa Murni
Penawaran hampir seluruhnya berupa jasa. Misalnya fisioterapi,
konsultasi psikologi, dan sebagainya.
Ada empat karakteristik pokok pada jasa yang membedakannya dengan barang /
produk. Keempat karakteristik itu yaitu:
1. Intangibility
Jasa bersifat intangible, artinya tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, dicium,
atau didengar sebelum dibeli. Menurut Berry dalam Enis dan Cox, konsep
Intangible memiliki dua pengertian :
3
a. Sesuatu yang tidak dapat disentuh, dan tidak dapat dirasa.
b. Sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, diformulasikan, atau
dipahami secara rohaniah.
2. Inseparability
Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan
Jasa biasanya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan
dikonsumsi secara bersamaan.
3. Variability
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan nonstandardized out-put,
artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa,
kapan, dan dimana jasa tersebut dihasilkan. Ada tiga faktor yang
menyebabkan variabilitas kualitas jasa yaitu kerja sama atau partisipasi
pelanggan selama penyampaian jasa, moral / motivasi karyawan dalam
melayani pelanggan, dan beban kerja perusahaan.
4. Perishability
Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan.
Ketidakberwujudan Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dibaui sebelum dibeli
Ketidakterpisahan Jasa tidak dapadipisahkan dari penyedia dan pelanggannya
t
Keragaman Kualitas jasa tergantung pada siapa yang menyediakan, kapan, dimana, dan bagaimana
Tidak Tahan Lama Jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan atau pemakaian yang akan datang
Jasa/
pelayanan
Gambar 2.1
Empat Karakteristik Jasa
4
2.1.3 Klasifikasi Jasa
Adanya berbagai macam variasi antara barang dan jasa di atas, maka sulit
untuk menggeneralisir jasa jika tidak dilakukan pembedaan lebih lanjut. Jasa
dapat diklasifikasikan menjadi tujuh kriteria menurut Lovelock, yaitu :
Tabel 2.1
Klasifikasi Jasa
BASIS KLASIFIKASI CONTOH
1. Segmen pasar konsumen akhir Salon kecantikan
konsumen
organisasional
Konsultan
manajemen
2. Tingkat keberwujudan Rented-goods service Penyewaan mobil
Owned-goods service Reparasi jam tangan
Non-goods service Pemandu wisata
3. Keterampilan penyedia jasa Professional service Dokter
Nonprofessional
service
Supir taksi
4. Tujuan organisasi jasa Profit service Bank
Nonprofit service Yayasan social
5. Regulasi Regulated service Angkutan umum
Nonregulated service Catering
6. Tingkat Intensitas Karyawan Equiptment-based
service
ATM
People-based service Pelatih sepakbola
7. Tingkat Kontak penyedia High-contact service Universitas
Jasa dan Pelanggan Low-contact service Bioskop
Dikaitkan dengan tingkat intensitas karyawan, klasifikasi jasa berdasarkan
tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan secara lebih terperinci dapat dilihat
pada matriks proses jasa yang dikembangkan oleh Schmenner. Pada matriks
proses jasa (Gambar 2.2), jasa diklasifikasikan berdasarkan 2 dimensi yang secara
signifikan mempengaruhi karakter proses penyampaian jasa.
5
Tingkat Interaksi dan Customization
Rendah Tinggi
Tingkat
Intensitas
Tenaga
kerja
Rendah
Service Factory
• Penerbangan
• Pengangkutan
dengan truk
• Hotel
• Resor dan rekreasi
Service Shop
• Rumah sakit
• Reparasi mobil
• Jasa reparasi lainnya
Tinggi
Mass Service
• Penjualan eceran
• Penjualan grosir
• Sekolah
• Aspek ritel dari
perbankan komersial
Proffesional Service
• Dokter
• Pengacara
• Akuntan
• Arsitek
Gambar 2.2
Matriks Proses Jasa
2.1.4 Jasa Yang Berkualitas
Inti dari pemasaran jasa adalah pelayanan. Faktor paling utama yang
membedakan suatu perusahaan jasa dengan perusahaan jasa lainnya adalah
pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Zeithaml dan Bittner (Zeithaml &
Bittner, 2003:3) menyatakan bahwa: “Services are deeds, processes, and
performances.”
Jasa yang diberikan kepada konsumen hendaknya didukung dengan
kinerja pelayanan yang berkualitas sehingga hal itu akan menciptakan kesan yang
positif dimata konsumen yang dapat berdampak pada kunjungan ulang dan
loyalitas.
Kualitas pelayanan menurut Deming dan Juran (Whiteley, 1991, p.8)
merupakan pengalaman dan kualitas interaksi / hubungan antara produsen dengan
konsumennya / pelanggannya. Dalam hal ini, kualitas layanan memberikan
dorongan khusus bagi konsumen untuk menjalin ikatan relasi saling
menguntungkan dalam jangka panjang dengan perusahaan. Ikatan emosional
6
semacam ini memungkinkan perusahaan untuk memaksimumkan pengalaman
konsumen yang menyenangkan dan meminimumkan pengalaman yang kurang
menyenangkan. Hal ini akan memberikan kontribusi yang besar bagi
pembentukan loyalitas konsumen.
Dalam perspektif Total Quality Management, kualitas dipandang secara
luas, dimana tidak hanya aspek hasil saja yang ditekankan, melainkan juga
meliputi proses, lingkungan dan manusia.
Definisi Goetsh dan Davis, yaitu bahwa kualitas merupakan suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan.
Jasa yang baik terbayar karena melahirkan pelanggan yang sejati—
pelanggan yang senang mereka memilih sebuah perusahaan setelah merasakan
pengalaman akan jasa yang diberikan, pelanggan yang akan menggunakan
perusahaan itu lagi dan menyebarkannya ke yang lainnya.
Kualitas total suatu jasa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu :
1. Technical Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas
output (keluaran) jasa yang diterima pelanggan. Menurut
Parasuraman, technical quality dapat diperinci lagi menjadi :
a. Search quality, yaitu kualitas yang dapat dievaluasi
pelanggan sebelum membeli, misalnya harga.
b.Experienced quality, yaitu kualitas yang hanya bisa
dievaluasi pelanggan setelah membeli atau mengkonsumsi
jasa. Contohnya ketepatan waktu, kecepatan pelayanan, dan
kerapian hasil.
c. Credence quality, yaitu kualitas yang sukar dievaluasi
pelanggan meskipun telah mengkonsumsi suatu jasa.
Misalnya kualitas operasi jantung.
2. Functional Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas
cara penyampaian suatu jasa.
3. Corporate Image, yaitu profil, reputasi, citra umum, dan daya tarik
khusus suatu perusahaan.
7
Berdasarkan komponen-komponen di atas, output jasa dan cara
penyampaiannya merupakan faktor-faktor yang dipergunakan dalam menilai jasa.
Karena pelanggan terlibat dalam suatu proses jasa, maka seringkali penentuan
kualitas jasa menjadi kompleks.
2.2 Konsumen Jasa
2.2.1 Persepsi Konsumen
Penilaian seorang konsumen terhadap kualitas pelayanan yang diterima
didasarkan pada persepsi konsumen terhadap pelayanan tersebut, bukan
berdasarkan kriteria objektif yang menakdirkan seperti apa dan seharusnya
pelayanan itu diberikan. Realitas objektif dari suatu produk atau jasa adalah tidak
terlalu penting, yang penting adalah persepsi konsumen terhadap produk atau jasa
tersebut.
Persepsi dirumuskan sebagai berikut oleh Leon G. Schiffman dan Kanuk
(Schiffman & Kanuk, 2004:158): “Perception is defined as the process by which
an individual selects, organizes, and interprets stimuli into a meaningful and
coherent picture of the world.”
Pengertian persepsi menurut Sheth dan Mittal (2004:129): “The process by
which an individual selects, organizes, and interprets the information received
from the environment.”
Menurut Sheth dan Mittal (Sheth & Mittal, 2004:130), persepsi sebuah
objek atau suatu peristiwa adalah hasil dari interaksi yang dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu:
1. Stimulus characteristic: Sumber informasi yang berasal dari lingkungan
seperti objects, brands, toko-toko , marketers, teman-teman, pemerintah.
2. Context characteristics: Kejadian ketika informasi diterima seperti kondisi
sosial, kultur dan organisasi.
3. Customer characteristics: Pengetahuan pribadi dan pengalaman termasuk
keahlian customer yang relevan dengan bidang tersebut.
8
Persepsi adalah proses penerimaan informasi melalui lima panca indera
manusia, yang kemudian diberi makna oleh konsumen. Stimuli yang didapat oleh
konsumen dapat membentuk persepsi yang berbeda-beda antar konsumen yang
satu dengan konsumen yang lain, oleh karena pembentukan persepsi melewati tiga
proses yaitu:
1. Selective exposure: Seseorang hanya akan menerima rangsangan yang
berkenaan dengan kebutuhan dan keinginan mereka
2. Selective attention: Seseorang hanya akan memperhatikan rangsangan
yang cocok dan berkenaan dengan kebutuhan mereka.
3. Selective interpretation: Seseorang hanya akan menerima informasi yang
kemudian diinterpretasikan sesuai dengan pemahamannya sendiri
Konsumen akan bertindak dan bereaksi berdasarkan atas persepsi mereka,
bukan pada kenyataan yang sebenarnya dan hal itu akan mempengaruhi keputusan
konsumen dalam melakukan kunjungan ulang / niat beli ulang. Jika persepsi
konsumen terhadap kualitas pelayanan itu bagus, maka besar kemungkinan
konsumen akan melakukan kunjungan ulang, yang berdampak terhadap loyalitas.
Jika persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan itu jelek, maka besar
kemungkinan konsumen tidak akan melakukan kunjungan ulang lagi dan hal
tersebut dalam jangka panjang dapat berpengaruh ke loyalitas.
2.2.2 Loyalitas
Dalam dunia bisnis, pemasar beranggapan bahwa kepuasan konsumen
adalah segalanya dan berharap dalam konsumen yang puas akan langsung tercipta
loyalitas. Namun menurut Jim Novo (www.jimnovo.com/Customer-Loyalty-
more.htm), konsumen dapat saja puas, tapi itu tidak menjamin bahwa hal tersebut
akan langsung mengubah mereka menjadi loyal karena kepuasan tidak sama
dengan loyalitas. Pernyataan ini didukung oleh cuplikan dari artikel
http://customer.satisfaction.loyalty.com/search.pdf :
“ A customer could feel very satisfied with a product or service (as is often
the case with technology products or services), and still choose to buy from a
competitor for any number of reason such a price, company image, product
9
availability and switching cost. Simply put, a customer can feel satisfied and
behave disloyalty. ”
Hal ini juga diperkuat oleh Jonathan Dodd (‘Loyalty’ and ‘Commitment’ –
Not such a subtle difference, May 2002) yang menyatakan: “Satisfaction schemes
will not, on their own, keep customers.”
Loyalitas ditunjukkan dalam tindakan konsumen. Konsumen bisa saja
menjadi puas tapi hal itu tidak menjamin bahwa konsumen akan menjadi loyal
bila hanya diukur lewat kepuasan yang dirasakan.
Menurut Jagdish N. Sheth dan Banwari Mittal dalam bukunya yang
berjudul Customer Behaviour: A Managerial Perspective (2004:400), definisi
loyal adalah: “A customer’s commitment to a brand, store, or supplier based on a
strong favourable attitude and manifested in consistent patronage.”
Sedangkan menurut Christopher Lovelock dan Lauren Wright (Lovelock
& Wright, 2002:104) adalah: “A customer’s voluntary decision to continue
patronizing a specific firm over an extended period of time.”
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa loyalitas dibuktikan
lewat komitmen atau keinginan sukarela seorang konsumen untuk melakukan
kunjungan ulang yang didasarkan oleh sikap yang favourable.
Definisi loyalitas konsumen adalah: “Customer loyalty describes the
tendency of a customer to choose one business or product over another for a
particular need.” (www.jimnovo.com/Customer-Loyalty-more.htm)
“Feelings or attitudes that incline a customer either to return to a company, shop
or outlet to purchase there again, or else to re-purchase a particular product,
service or brand.” (en.mimi.hu/marketingweb/customer_loyalty.html)
10
Kesimpulan yang didapat dari kedua definisi diatas adalah bahwa loyalitas
merupakan keinginan atau sikap yang membuat konsumen cenderung untuk
melakukan kunjungan ulang, membeli dan dan membeli kembali karena nilai
tambah dari produk / jasa tersebut yang terbentuk dalam suatu hubungan jangka
panjang yang berkesinambungan.
Keputusan konsumen untuk melakukan kunjungan ulang dan membeli
kembali ditentukan oleh pengalaman dari perasaan yang tumbuh sebelum, selama,
dan sesudah transaksi dalam berurusan dengan perusahaan. Ketika hal-hal lain
dirasakan sama, misalnya produk yang dijual, maka pelanggan akan kembali
kepada perusahaan yang membuat mereka merasa nyaman dan yang
memperlakukan mereka dengan baik. Salah satu cara untuk mempertahankan
loyalitas konsumen adalah dengan menciptakan nilai lebih kepada konsumen
dalam tiap pelayanan. Ketika konsumen merasa mereka menerima sesuatu yang
bernilai, mereka akan menganugerahi perusahaan dengan loyalitas.
Keuntungan yang didapat bila perusahaan memberikan pelayanan yang
berkualitas menurut Christopher Lovelock dan Lauren Wright (2002:274) dalam
bukunya Principles of Service Marketing and Management adalah:
1. Memperbesar keinginan konsumen untuk datang kembali
2. Mengurangi biaya dalam menarik konsumen baru
3. Menciptakan sustainable advantage
4. Mengurangi biaya kerugian
5. Membuat konsumen tidak tertarik dengan produk dari kompetitor lain
Hal tersebut penting untuk diperhatikan mengingat biaya untuk menarik
konsumen baru jauh lebih mahal daripada mempertahankan konsumen lama.
Biaya itu tidak sebanding dengan keuntungan yang dihasilkan oleh konsumen
lama. Faktor-faktor dari konsumen lama yang berperan dalam menghasilkan
keuntungan untuk perusahaan adalah:
1. Konsumen lama lebih murah untuk dilayani
2. Konsumen lama kurang sensitif terhadap harga
11
3. Konsumen lama lebih mudah memaafkan ketika terjadi sesuatu yang
salah
4. Konsumen lama membuat perusahaan bekerja lebih efisien
5. Konsumen lama berpotensi menghasilkan keuntungan yang lebih besar
Frederick Reichheld dan Earl Sasser mengindikasikan bahwa, seperti yang
dikutip oleh Barnes (2003:45), 5% dari loyalitas konsumen dapat
melipatgandakan profit perusahaan. Loyalitas konsumen dicapai dengan
memberikan pelayanan yang berkualitas dan perusahaan harus dapat mewujudkan
hal itu.
Pelayanan yang diberikan perusahaan kepada konsumen mungkin secara
teknik telah mencakup standar kualitas yang tinggi, tapi apabila konsumen
berpendapat bahwa pelayanan yang diberikan tidak berkualitas, maka hal itu
menjadi tidak ada gunanya.
Kualitas pelayanan sangat bergantung pada persepsi konsumen yang
dinilai setelah pembelian pertama. Konsumen akan membandingkan pelayanan
perusahaan tersebut dengan pelayanan retail lainnya. Jika pelayanan perusahaan
tersebut dipersepsikan jauh lebih baik, bila dalam pelayanan tersebut tercipta nilai
lebih yang didapat konsumen, maka ia akan menjadi lebih loyal pada perusahaan
dan akan merekomendasikan perusahaan tersebut pada orang lain dan akan
mengalami kekebalan pada penawaran pesaing. Konsumen akan menjadi loyal
pada perusahaan tersebut.
Loyalitas juga timbul bila terdapat komitmen konsumen kepada jasa /
produk perusahaan. Komitmen tersebut bersifat psikologis, menunjukkan suatu
pengukuran dimana konsumen memiliki ketertarikan yang kuat secara psikologis
terhadap suatu barang atau jasa. Komitmen konsumen dalam loyalitas berdasarkan
pada pengalaman pribadi konsumen, ketertarikan, dan keputusan untuk komit
kepada suatu produk atau jasa.
12
2.3 SERVQUAL
Menurut Tjiptono (2005), definisi Kualitas Jasa berfokus pada upaya
pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan, serta ketepatan penyampaiannya
untuk mengimbangi harapan pelanggan.
Dalam model Servqual, Parasuraman mendefinisikan kualitas jasa sebagai
penilaian atau sikap global berkenaan dengan superioritas suatu jasa. Definisi dari
Parasuraman didasarkan pada tiga landasan konseptual utama, yaitu :
1. Kualitas jasa lebih sukar dievaluasi konsumen daripada kualitas barang;
2. Persepsi terhadap kualitas jasa merupakan hasil dari perbandingan antara
harapan pelanggan dengan kinerja aktual jasa; dan
3. Evaluasi kualitas tidak hanya dilakukan atas hasil jasa, namun juga
mencakup evaluasi terhadap proses penyampaian jasa.
2.3.1 Asumsi dalam Servqual
Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah kualitas
pelayanan yang terdiri dari 5 dimensi pelayanan. Kesenjangan merupakan
ketidaksesuaian antara pelayanan yang dipersepsikan (perceived service) dan
pelayanan yang diharapkan (expected service).
Dengan kata lain ada dua factor utama yang mempengaruhi kualitas jasa,
menurut Parasuraman yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa
yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan,
maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima
melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa yang dipersepsikan sebagai
kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang
diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik
tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam
memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
Menurut Rangkuti (2002), Kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa
ditentukan oleh tingkat kepentingan pelanggan sebelum menggunakan jasa
dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan terhadap jasa tersebut setelah
pelanggan merasakan kinerja jasa tersebut.
13
GAP
Expected Service
Perceived Service
Gambar 2.3
Diagram Kesenjangan yang Dirasakan oleh pelanggan
Harapan Pelanggan (expected quality) bisa berupa tiga macam tipe yaitu:
1. Will Expectation yaitu tingkat kinerja yang diprediksi atau diperkirakan
konsumen akan yang diterimanya, berdasarkan semua informasi yang
diketahuinya.
2. Should Expectation yaitu tingkat kinerja yang sudah seharusnya diterima
oleh konsumen.
3. Ideal Expectation yaitu tingkat kinerja optimum atau yang terbaik yang
diharapkan dapat diterima konsumen.
Persepsi kualitas yang baik/positif diperoleh bila kualitas yang dialami
(experienced quality) memenuhi harapan pelanggan (expected quality). Terdapat
enam kriteria kualitas jasa yang dipersepsikan baik yaitu:
1. Profesionalism and Skills. Pelanggan mendapati bahwa penyedia jasa,
karyawan, sistem operasional dan sumber daya fisik memiliki pengetahuan
dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah mereka
secara profesional (outcome-related criteria).
2. Attitudes and Behavior. Pelanggan merasa bahwa karyawan jasa (customer
contact personnel) menaruh perhatian besar pada mereka dan berusaha
membantu memecahkan masalah mereka secara spontan dan ramah
(process-related criteria).
3. Accessibility and Flexibility. Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa,
lokasi, jam operasi, karyawan dan sistem operasionalnya dirancang dan
14
dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat mengakses jasa
tersebut dengan mudah. Selain itu, juga dirancang dengan maksud agar
dapat menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan secara luwes
(process-related criteria).
4. Reliability and Trustworthiness. Pelanggan memahami bahwa apa pun
yang terjadi atau telah disepakati, mereka bisa mengandalkan penyedia
jasa beserta karyawan dan sistemnya dalam memnuhi janji dan melakukan
segala sesuatu dengan mengutamakan kepentingan pelanggan (process-
related criteria).
5. Recovery. Pelanggan menyadari bahwa bila terjadi kesalahan atau sesuatu
yang tidak diharapkan dan tidak dapat diprediksi, maka penyedia jasa akan
segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari
solusi yang tepat (process-related criteria).
6. Reputation and Credibility. Pelanggan menyakini bahwa operasi dari
penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai/imbalan yang
sepadan dengan biaya yang dikeluarkan (image-related criteria).
Kualitas yang diharapkan
Evaluasi
Kualitas yang Dialami
Overquality Bad QualityGood Quality Acceptable Quality
Gambar 2.4
Alternatif Hasil Evaluasi Kualitas Jasa
Kesenjangan terjadi apabila pelanggan mempersiapkan pelayanan yang
diterimanya lenih tinggi daripada desired service atau lebih rendah daripada
adequate service kepentingan pelanggan tersebut. Dengan demikian, pelanggan
dapat merasakan sangat puas atau, sebaliknya, sangat kecewa.
15
Secara umum kesenjangan pelayanan dapat dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu:
1. Kesenjangan yang mucul dari dalam perusahaan (company gaps)
Kesenjangan ini dapat menghambat kemampuan perusahaan untuk
memberikan pelayanan berkualitas. Kesenjangan yang muncul dari
dalam perusahaan dapat dibedakan ke dalam empat jenis kesenjngan,
yaitu :
a. Kesenjangan 1 Tidak mengetahui harapan konsumen akan
pelayanan
b. Kesenjangan 2 Tidak memiliki desain dan standar pelayanan
yang tepat
c. Kesenjangan 3 Tidak memberikan pelayanan berdasar
standar pelayanan
d. Kesenjangan 4 Tidak memberikan pelayanan sesuai yang
dijanjikan
2. Kesenjangan yang muncul dari luar perusahaan
Kesenjangan yang muncul dari luar perusahaan yang disebut
kesenjangan 5 terjadi karena ada perbedaan persepsi pelanggan dengan
harapan pelanggan terhadap pelayanan.
2.3.2 Lima Gap dalam ServQual
Model Servqual menekankan arti penting harapan pelanggan sebelum
membeli atau mengkonsumsi suatu jasa sebagai standar / acuan dalam
mengevaluasi kinerja jasa yang bersangkutan. Model Servqual meliputi analisis
terhadap lima gap yang berpengaruh terhadap kualitas jasa yaitu:
1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen (knowledge
gap)
Pada kenyataannya pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu
dapat merasakan atau memahami apa yang diinginkan para pelanggan
secara tepat. Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu
jasa seharusnya didesain, dan jasa-jasa pendukung / sekunder apa saja
yang diinginkan konsumen.
16
Hal-hal yang menyebabkan kesenjangan ini antara lain :
Kurangnya riset pemasaran
Komunikasi ke atas kurang memadai
Terlalu banyaknya level manajemen
Contoh : Pengelola catering mengira pelanggannya lebih mengutamakan
ketepatan waktu pengentaran makanan, padahal para pelanggan tersebut
mungkin lebih memperhatikan variasi menu yang disajikan.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan
spesifikasi kualitas jasa (standars gap).
Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang
diinginkan oleh pelanggan, tetapi tidak menyusun suatu standar kinerja
tertentu yang jelas. Hal ini bisa dikarenakan tiga faktor, yaitu tidak
adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan
sumber daya, atau karena adanya kelebihan permintaan.
Yang menyebabkan gap ini antara lain:
Kurangnya komitmen manajemen terhadap kualitas jasa
Persepsi akan ketidaklayakan
Kurangnya standardisasi kerja
Tidak adanya penetapan tujuan
Contoh : Manajemen suatu bank meminta para staffnya memberikan
pelayanan secara ‘cepat’ tanpa menentukan standar atau ukuran waktu
pelayanan yang dapat dikategorikan cepat.
3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (delivery
gap).
Kadang pihak manajemen memahami ekspektasi pelanggan dan
menetapkan spesifikasi yang dibutuhkan tetapi jasa yang disampaikan
tidak memenuhi ekspektasi pelanggan. Perbedaan antara spesifikasi jasa
dan penyampaian jasa aktual adalah keenjangan performa jasa yang
disebabkan pegawai yang tidak bisa atau tidak mau untuk memberikan
pelayanan jasa pada tingkat yang diinginkan. Peran pegawai atau staff
yang langsung berhubungan dengan penyampaian jasa sangat vital.
17
Beberapa penyebab terjadinya Gap ini misalnya karyawan kurang
terlatih (belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak
dapat memenuhi standar kinerja, atau bahkan tidak mau memenuhi
standar kinerja yang ditetapkan. Mungkin pula karyawan dihadapkan
pada standar-standar yang kadangkala saling bertentangan satu sama
lain.
Ambiguitas peran
Konflik peran
Lemahnya kemampuan pegawai
Lemahnya teknologi pendukung
Kurangnya sistem kontrol pengawasan
Kurangnya kerjasama
Contoh : Juru rawat harus mendengarkan keluhan atau masalah pasien,
tetapi juga harus melayani pasien dengan cepat.
4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal
(communications gap).
Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan
atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Risiko yang dihadapi perusahaan
adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi.
Penyebab kesenjangan ini adalah :
Kurangnya komunikasi horisontal antara operasi,
pemasaran dan SDM
Kecenderungan untuk mengeluarkan janji berlebihan
Contoh : Brosur lembaga pendidikan menyatakan bahwa lembaganya
yang terbaik, memiliki sarana kuliah, praktikum dan perpustakaan
lengkap, staf pengajar profesional. Akan tetapi saat pelanggan datang
dan merasakan bahwa ternyata fasilitas praktikum dan perpustakaannya
biasa-biasa saja (hanya memiliki beberapa ruang kuliah, jumlah
komputer relatif sedikit, judu dan eksemplar buku terbatas), maka
sebenarnya komunikasi eksternal yang dilakukan lembaga pendidikan
tersebut telah mendistorsi harapan konsumen dan menyebabkan
terjadinya persepsi negatif terhadap kualitas jasa lembaga tersebut.
18
5. Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan (service
gap).
Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja / prestasi perusahaan
dengan cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan
kualitas jasa tersebut. Kualitas jasa yang baik adalah yang memenuhi
atau melebihi ekspektasi pelanggan. Penilaian tinggi rendahnya kualitas
jasa bergantung pada persepsi pelanggan terhadap performa jasa aktual
dalam konteks apa yang mereka harapkan.
Contoh : seorang dokter bisa saja terus mengunjungi pasiennya untuk
menunjukan perhatiannya, akan tetapi pasien dapat
menginterpretasikannya sebagai suatu indikasi bahwa ada yang tidak
beres berkenaan dengan penyakit yang dideritanya.
Gap 5
Provider
Gap 1 Gap 3 Gap 4
Gap 2
Word‐of‐mouth Communication
Personal Needs
Expected Service
Perceived Service
Service Delivery ExternalCommunications to
Customers
Service Quality Specification
Past Experience
Management Perceptions of Customer Expectations
Gambar 2.5
5 GAP dalam ServQual
19
2.3.3 Dimensi ServQual
Kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada
persepsi pelanggan (Kotler, 2000). Citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan
sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut
pandang atau persepsi pelanggan.
Menurut Zeithaml, harapan pelanggan terhadap jasa dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 2.2
Sepuluh Dimensi Kualitas Jasa
No. Dimensi Definisi
1. Tangibles (bukti fisik)
Penampilan fasilitas fisik,
peralatan, personel, dan bahan-
bahan komunikasi.
2. Reliability (reliabilitas)
Kemampuan memberikan jasa
yang dijanjikan secara akurat dan
andal.
3. Responsiveness (daya tanggap)
Kesediaan untuk membantu para
pelanggan dan menyampaikan jasa
secara tepat.
4. Competence (kompetensi)
Penguasaan ketrampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan agar
dapat memberikan jasa yang
dibutuhkan pelanggan.
5. Courtesy (kesopanan) Sikap santun, respek, perhatian,
dan keramahan para staf lini depan.
6. Credibility (kredibilitas) Sifat jujur dan dapat dipercaya.
7. Security (keamanan) Bebas dari bahaya, resiko, atau
keragu-raguan.
8. Access (akses) Kemudahan untuk dihubungi dan
ditemui.
9. Communication (komunikasi) Memberikan informasi kepada para
20
pelanggan dalam bahasa yang
dapat mereka pahami, serta selalu
mendengarkan saran dan keluhan.
10.
Understanding the customer
(kemampuan memahami
pelanggan)
Berupaya memahami pelanggan
dan kebutuhan mereka.
Valarie A. Zeithalm & Mary Jo Bitner (2003:85) dalam bukunya Service
Marketing menyatakan bahwa ada tiga penentu kualitas pelayanan, yaitu kualitas
interaksi (interaction quality), kualitas lingkungan fisik (physical environment
quality), dan kualitas hasil (outcome quality).
Pada awalnya, Parasuraman mengidentifikasikan ada sepuluh dimensi
pokok, seperti yang disebutkan diatas, yakni reliabilitas, daya tanggap,
kompetensi, akses, kesopanan, komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan
memahai pelanggan, dan bukti fisik (tabel 2.2).
Namun pada penelitian berikutnya, menyempurnakan dan merangkum
sepuluh dimensi tersebut sehingga terdapat lima dimensi utama yaitu :
1. Tangible (bukti fisik)
meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana
komunikasi.
2. Reliability (reliabilitas)
kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera,
akurat dan memuaskan.
3. Responsiveness (daya tanggap)
keinginan para staff untuk membantu para pelanggan dan
memberikan layanan dengan tanggap.
4. Assurance (jaminan)
mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat dapat
dipercaya yang dimiliki para staff, bebas dari bahaya, risiko dan
keragu-raguan.
21
5. Empathy (empati)
kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian
pribadi, dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan.
Original ten
dimensions for
evaluating Service
Quality
Tangibles Reliability Responsiveness Assurance Emphaty
Tangibles
Reliability
Responsiveness
Competence
Courtesy
Credibility
Security
Access
Communication
Understanding the
customer
Gambar 2.6
Dimensi SERVQUAL dan Original 10 Dimensi untuk evaluasi Service
Quality
Instrument pada model ini memiliki bagian awal untuk mencatat
ekspektasi pelanggan untuk jasa tertentu diikuti oleh bagian kedua untuk mencatat
persepsi pelanggan terhadap jasa tertentu.
Nilai SERVQUAL = Nilai PERSEPSI – Nilai EKSPEKTASI
22
Nilai untuk kualitas jasa diukur dengan menghitung perbedaan antara
penilaian yang dilakukan pelanggan terhadap pernyataan ekspektasi dan persepsi.
Nilai ini adalah GAP 5 pada gambar. Nilai untuk keempat kesenjangan lain dapat
diukur dengan cara yang sama.
Model servqual telah didesain dan divalidasi untuk penggunaan dalam
berbagai aktivitas jasa. Pencetusnya menyarankan berbagai aplikasi untuk
servqual tetapi fungsi yang terpenting adalah untuk mengetahui tren kualitas jasa
melalui survey pelanggan secara periodik. Untuk jasa multi layanan, servqual
dapat digunakan untuk menentukan apakah terdapat kualitas jasa yang buruk pada
salah satu unitnya yang diidentifikasikan lewat nilai yang rendah, sehingga jika
ada pihak manajemen dapat langsung memperbaiki sumber dari buruknya
persepsi pelanggan.
2.4 Keterbatasan model servqual dan Implikasinya
Sekalipun model servqual banyak diadopsi, model ini tidak bisa lepas dari
kontroversi. Beberapa peneliti mengungkapkan kontroversi seputar isu seperti
dimensionalitas skala yang digunakan, kurangnya penerapan universal dalam
beragam industri yang berbeda serta masalah pengukuran harapan dan persepsi
sebagai determinan kualitas jasa yang mewakili pelanggan. (Mittal & Lassar,
1998, dalam Tjiptono, 2000).
2.5 Validitas dan Reliabilitas
2.5.1 Validitas
Validitas menunjukkan ukuran yang mengukur apa yang akan diukur. Jadi
dapat dikatakan semakin tinggi validitas suatu alat test, maka alat test tersebut
semakin mengenai pada sasarannya, atau semakin menunjukkan apa yang
seharusnya diukur. Suatu test dapat dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila
test tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur sesuai
dengan makna dan tujuan diadakannya test tersebut. Jika peneliti menggunakan
kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka item-item yang disusun
pada kuesioner tersebut merupakan alat test yang harus mengukur apa yang
menjadi tujuan penelitian.
23
Salah satu cara untuk menghitung validitas suatu alat test yaitu dengan
melihat daya pembeda item (item discriminality). Daya pembeda item adalah
metode yang paling tepat digunakan untuk setiap jenis test. Daya pembeda item
dalam penalitian ini dilakukan denan cara : “ korelasi item-total ”. Korelasi item-
total yaitu konsistensi antara skor item dengan skor secara keseluruhan yang dapat
dilihat dari besarnya koefisien korelasi antara setiap item dengan skor
keseluruhan, yang dalam penelitian ini menggunakan koefisien korelasi Point
Biserial dengan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut :
Koefisien Korelasi Point Biserial
Apabila bentuk item adalah dichotomous (correct/incorrect, true/false).
Rumus untuk korelasi point-biserial pada item ke-i adalah :
pp
SDXX
rX
iPB −⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −=
1
dimana :
=X Rata-rata pada test untuk semua orang
=iX Rata-rata pada test hanya untuk orang-orang yang menjawab benar
pada item ke-i
p = Proporsi dari orang yang menjawab benar pada item ke-i.
1- p = Proporsi dari orang yang menjawab salah pada item ke-i.
=XSD Standar deviasi pada test untuk semua orang
Bila koefisien korelasi untuk seluruh item telah dihitung, perlu ditentukan
angka terkecil yang dapat dianggap cukup “ tinggi ” sebagai indikator adanya
konsistensi antara skor item dan skor keseluruhan. Dalam hal ini tidak ada batasan
yang tegas. Prinsip utama pemilihan item dengan melihat koefisien korelasi
adalah mencari harga koefisien yang setinggi mungkin dan menyingkirkan setiap
item yang mempunyai korelasi negatif (-) atau koefisien yang mendekati nol
(0,00).
Menurut Friedenberg (1995) biasanya dalam pengembangan dan
penyusunan skala-skala psikologi, digunakan harga koefisien korelasi yang
24
minimal sama dengan 0,30. Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi
kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan dalam alat
test adalah item-item yang memiliki korelasi diatas 0,30 dengan pengertian
semakin tinggi korelasi itu mendekati angka satu (1,00) maka semakin baik pula
konsistensinya (validitasnya).
2.5.2 Reliabilitas
Reliabilitas artinya adalah tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran.
Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran yang mampu
memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Reliabilitas merupakan salah
satu ciri atau karakter utama intrumen pengukuran yang baik. Kadang-kadang
reliabilitas disebut juga sebagai keterpercayaan, keterandalan, konsistensi,
kestabilan, dan sebagainya, namun ide pokok dalam konsep reliabilitas adalah
sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, artinya sejauh mana skor
hasil pengukuran terbebas dari kekeliruan pengukuran (measurement error).
Tinggi rendahnya reliabilitas, secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka
yang disebut koefisien reliabilitas. Walaupun secara teoritis, besarnya koefisien
reliabilitas berkisar antara 0,00 – 1,00; akan tetapi pada kenyataannya koefisien
reliabilitas sebesar 1,00 tidak pernah dicapai dalam pengukuran, karena manusia
sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber kekeliruan yang
potensial. Di samping itu walaupun koefisien korelasi dapat bertanda positif (+)
atau negatif (-), akan tetapi dalam hal reliabilitas, koefisien reliabilitas yang
besarnya kurang dari nol (0,00) tidak ada artinya karena interpretasi reliabilitas
selalu mengacu kepada koefisien reliabilitas yang positif.
Teknik perhitungan koefisien reliabilitas yang digunakan disini adalah
dengan menggunakan Koefisien Reliabilitas Kuder-Richardson (KR-20), metode
ini merupakan koefisien reliabilitas yang dapat menggambarkan variasi dari item-
item untuk jawaban benar/salah yang diberi skor 0 atau 1 (Guilford and Benjamin,
1978).
25
Koefisien Reliabilitas Kuder-Richardson (KR-20) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
−=− ∑
2
2
120
t
t
SpqS
nnKR
dimana :
n = Jumlah item
S2 = Varians total
p = Proporsi dari orang yang menjawab benar pada item ke-i.
1- p = Proporsi dari orang yang menjawab salah pada item = q
Bila koefisien reliabilitas telah dihitung, maka untuk menentukan keeratan
hubungan bisa digunakan kriteria Guilford (1956), yaitu :
1. kurang dari 0,20 : Hubungan yang sangat kecil dan bisa diabaikan
2. 0,20 - < 0,40 : Hubungan yang kecil (tidak erat)
3. 0,40 - < 0,70 : Hubungan yang cukup erat
4. 0,70 - < 0,90 : Hubungan yang erat (reliabel)
5. 0,90 - < 1,00 : Hubungan yang sangat erat (sangat reliabel)
6. 1,00 : Hubungan yang sempurna
2.6 Pelayanan KPR PT. Bank NISP Tbk terhadap Debitur
PT Bank NISP Tbk, dalam melayani debiturnya yang mengajukan KPR,
berusaha memberikan pelayanan yang terbaik secara efektif dan efisien. Proses
pengajuan KPR terhadap PT. Bank NISP Tbk melalui 6 tahapan yang akan
dijelaskan sebagai berikut :
1. Submit persyaratan dokumen.
Untuk metode analisa kredit maka debitur dikategorikan ke dalam dua
klasifikasi yaitu Karyawan dan Pengusaha/Wiraswasta. Dokumen yang
diperlukan untuk klasifikasi karyawan yaitu KTP Suami Istri, Kartu Keluarga,
Akte Nikah, Akte Lahir, SKBRI (jika ada), NPWP Perusahaan/SPT PPH 21,
Surat Keterangan Kerja, Slip Gaji 3 bulan terakhir, Pas Foto 4x6 Suami Istri
dan fotocopy rekening tabungan 3 bulan terakhir. Dokumen yang diperlukan
untuk klasifikasi Pengusaha/Wiraswasta yaitu KTP Suami Istri, Kartu
Keluarga, Akte Nikah, Akte Lahir, SKBRI (jika ada), Pas Foto 4x6 Suami
26
Istri, NPWP Pribadi, Akte Pendirian dan Perubahan Perusahaan, SIUP, TDP,
SK Domisili, Laporan Keuangan 1 tahun terakhir dan fotocopy rekening
tabungan perusahaan dan pribadi 3 bulan terakhir.
2. Proses Appraisal jaminan.
Jaminan yang akan diagunkan kepada pihak PT. Bank NISP Tbk akan terlebih
dahulu dinilai oleh team internal PT. Bank NISP Tbk. Untuk proses Appraisal
ini maka pihak debitur dibebaskan dari biaya. Dokumen yang diperlukan
dalam proses ini yaitu Sertifikat, IMB dan PBB terakhir.
3. Proses Analisa Kredit.
Dalam tahap ini debitur akan disurvey oleh pihak Marketing Bisnis PT. Bank
NISP Tbk. Proses analisa kredit ini meliputi faktor karakter debitur tersebut,
kestabilan bidang usaha, kesinambungan usaha yang dilakukan, analisis resiko
usaha/pekerjaan debitur dan juga penghasilan/omzet yang diterima debitur
setiap bulannya sehingga mampu membayar angsuran dengan baik setiap
bulannya.
4. Proses Komite Kredit Bisnis.
Dalam tahap ini pihak internal PT. Bank NISP Tbk akan menganalisa ulang
data pribadi serta usaha dari debitur dan akan mengambil keputusan apakah
kredit tersebut disetujui atau ditolak.
5. Proses Persetujuan.
Setelah keputusan persetujuan keluar dari pihak Komite Kredit PT. Bank
NISP Tbk maka debitur wajib menyiapkan biaya-biaya KPR seperti biaya
Provisi, Administrasi, Asuransi Jiwa, Asuransi Kebakaran dan Biaya Notaris.
Selain itu debitur juga diwajibkan untuk melengkapi seluruh kekurangan
dokumen yang ada.
6. Proses Akad Kredit.
Dalam proses ini setelah seluruh dokumen jaminan dan dokumen legalitas
debitur diteliti oleh pihak PT. Bank NISP Tbk dan tidak ditemukan adanya
masalah maka kredit yang telah disetujui tersebut dapat dikucurkan kepada
debitur sehingga adanya penandatangan perjanjian kredit di hadapan notaris
dan terjadilah jual beli antara pihak pertama dengan pihak debitur.
27
Flowchart
28