bab ii kajian pustaka 2.1 menyelesaikan masalah matematika ...eprints.umm.ac.id/39457/3/bab ii.pdf7...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Menyelesaikan Masalah Matematika
2.1.1. Masalah Matematika
Pengertian masalah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006) ialah
“suatu hal yang harus dipecahkan”. Suatu masalah terkadang membutuhkan
pemikiran abstrak dan merujuk pada penyelesaian yang unik (Kannan B,
Sivapragasam C, & Senthilkumar R, 2016). Berkaitan dengan matematika,
Widayanti (2016) mendefinisikan masalah matematika sebagai soal atau
pertanyaan yang penyelesaiannya didapatkan setelah melewati cara yang tidak
langsung dapat ditentukan. Sedangkan Shadiq (2014) berpendapat bahwa masalah
matematika ialah suatu soal yang mengandung dua hal, yakni tantangan
(challange) dan tidak dapat langsung diselesaikan oleh suatu prosedur rutin
(routine procedure).
Mulbar, Rahman, & Ahmar (2017) memiliki pemikiran lain mengenai
masalah matematika. Menurutnya, masalah matematika dapat diselesaikan dengan
menggunakan prosedur rutin maupun prosedur tidak rutin bergantung pada
kemampuan seseorang. Suatu masalah matematika dapat dianggap sebagai
masalah oleh seseorang, namun belum tentu bagi orang lain. Hal ini berarti respon
tiap individu terhadap suatu masalah matematika berbeda-beda.
7
Berdasarkan beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah
matematika merupakan soal atau pertanyaan yang harus dipecahkan atau
diselesaikan menggunakan prosedur rutin maupun tidak rutin untuk mendapatkan
penyelesaiannya serta mengandung unsur tantangan. Masalah matematika yang
digunakan dalam penelitian ini ialah masalah matematika dalam bentuk soal cerita.
Umumnya, soal cerita dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah matematika (Priyanto, Suharto, &
Trapsilasiwi, 2015; Risnawati, Mardianita, & Hernety, 2016). Soal cerita
matematika disajikan dalam bentuk kalimat sehari-hari yang harus diterjemahkan
ke dalam bentuk matematika terlebih dahulu untuk menyelesaikannya
(Widyaningrum, 2016).
2.1.2. Pemecahan Masalah Matematika
Putri, Mardiyana, & Saputro (2017) menjelaskan bahwa menyelesaikan
masalah matematika adalah proses ketika siswa menghadapi masalah-masalah
termasuk di dalamnya konsep-konsep yang berasal dari dalam atau luar
matematika yang penyelesaiannya membutuhkan algoritma tertentu. Jika masalah
yang diberikan lebih kompleks, maka lebih banyak pula konsep-konsep yang
dihubungkan. Artinya, semakin kompleks suatu masalah matematika, maka
semakin rumit pula algoritma yang dibutuhkan untuk menemukan
penyelesaiannya.
Kegiatan menyelesaikan masalah matematika dalam pembelajaran
matematika dikenal dengan istilah pemecahan masalah. Menurut Romika &
Amalia (2014), pemecahan masalah ialah proses dalam menyelesaikan masalah.
Pemecahan masalah adalah penyelesaian dari masalah tidak rutin dan proses
8
berpikir tingkat tinggi, serta sangat dibutuhkan dalam mempelajari matematika
(Julita, 2017). Pemecahan masalah matematika merupakan suatu proses abstrak
dan rumit yang melibatkan pemikiran dan penalaran manusia (In'am, 2016).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pemecahan masalah matematika adalah proses berpikir tingkat tinggi dalam
menyelesaikan masalah matematika yang sangat dibutuhkan dalam mempelajari
matematika. Polya (dalam In'am, 2016; Romika & Amalia, 2014; Shadiq, 2014;
Julita, 2017; Widyaningrum, 2016) menjelaskan empat langkah utama dalam
menyelesaikan masalah matematika, antara lain: 1) memahami masalah: siswa
menentukan secara tepat apa saja yang diketahui dan ditanyakan dari masalah, 2)
merancang cara penyelesaian: siswa membuat rencana penyelesaian yang dapat
dilakukan untuk menyelesaikan masalah, 3) melaksanakan rencana: siswa
melakukan rencana penyelesaian yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
masalah berdasarkan langkah sebelumnya, dan 4) melihat kembali: siswa melihat
kembali hasil yang diperoleh berdasarkan langkah-langkah penyelesaian yang
telah dilakukan.
2.1.3. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Kemampuan berasal dari kata dasar “mampu” yang bermakna kuasa
(sanggup melakukan sesuatu). Kemampuan berarti kesanggupan, kecakapan, dan
kekuatan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2006). Hal ini merujuk pada
kesimpulan bahwa kemampuan merupakan kesanggupan atau kecakapan
seseorang dalam menguasai sesuatu.
9
Berdasarkan pengertian kemampuan dan pemecahan masalah matematika
pada poin sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan pemecahan
masalah adalah kesanggupan seseorang dalam menyelesaikan masalah dengan
proses berpikir tingkat tinggi yang sangat dibutuhkan dalam mempelajari
matematika. Hal ini sejalan dengan Kannan dkk (2016) yang mengungkapkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan untuk memahami
maksud masalah dan aturan yang dapat digunakan sebagai kunci untuk
menyelesaikan masalah. Sebagaimana dikemukakan juga oleh Susanti, Musdi, &
Syarifuddin (2017) bahwa kemampuan pemecahan masalah ialah kemampuan
dasar seseorang dalam memahami dan menyelesaikan masalah yang melibatkan
berpikir kritis, logis, dan sistematis.
Setiap siswa memiliki tingkat kemampuan pemecahan masalah
matematika yang berbeda-beda (Widayanti, 2016; Putri, Mardiyana, & Saputro,
2017). Tentunya hal ini berdampak pada keberhasilan pembelajaran matematika.
Taksonomi SOLO merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa.
2.2 Taksonomi SOLO
Secara etimologi, taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein yang
berarti “untuk mengelompokkan” dan nomos yang bermakna “aturan”. Taksonomi
ialah klasifikasi suatu hal yang didasarkan pada tingkatan tertentu. Taksonomi
memberikan kemudahan dalam mendukung cara berpikir melalui
pengelompokkan unsur-unsurnya (Kuswana, 2011).
Salah satu taksonomi yang dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika adalah taksonomi
10
SOLO (Structured of Learning Observed) atau Taksonomi Struktur Hasil Belajar
Teramati yang dirancang oleh Biggs dan Collis pada tahun 1982. Sebagaimana
disebutkan oleh Mulbar, Rahman, & Ahmar (2017) bahwa taksonomi SOLO
mengelompokkan kemampuan siswa berdasarkan tingkat kemampuan pemecahan
masalah mereka. Taksonomi SOLO adalah suatu pengelompokkan siswa dalam
memecahkan masalah dengan memperhatikan karakteristik lima tingkat
kemampuan (Putri, Mardiyana, & Saputro, 2017). Taksonomi SOLO
mengelompokkan tingkat berfikir siswa ke dalam lima kategori, yaitu
prestruktural, unistruktural, multistruktural, relasional, dan extended abstract.
Taksonomi ini berfokus pada struktur respon individu untuk mendeskripsikan
kualitas belajar (Lian & Yew, 2012).
Klasifikasi kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
berdasarkan taksonomi SOLO dapat dilakukan dengan menyusun masalah
matematika berdasarkan karakteristik tiap tingkat. Kriteria tiap tingkat yang
digunakan dalam menyusun masalah matematika disebutkan oleh Collis,
Romberg, & Jurnak (dalam Lian & Yew, 2012). Penjelasan mengenai kriteria
masalah matematika tiap tingkat dalam taksonomi SOLO dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 2.1: Kriteria Masalah Matematika Berdasarkan Taksonomi SOLO
Tingkat Taksonomi SOLO Kriteria
Unistruktural Menggunakan sebuah informasi yang dapat langsung
diperoleh dari masalah yang diberikan.
Multistruktural Menggunakan dua atau lebih informasi yang
dibutuhkan tetapi informasi tersebut disajikan secara
terpisah.
Relasional Menggunakan informasi yang mengandung suatu
pemahaman terpadu untuk menyelesaikan masalah.
Extended Abstract Menggunakan informasi yang dapat digunakan untuk
membentuk prinsip umum yang abstrak dari masalah
yang diberikan.
Sumber: Lian & Yew, 2012
11
2.3 Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Taksonomi SOLO
Setiap tingkat dalam taksonomi SOLO memiliki indikator masing-masing
yang digunakan untuk menentukan dan mendeskripsikan sejauh mana pemikiran
siswa dalam memecahkan masalah. Berdasarkan poin sebelumnya, masalah
matematika yang digunakan disusun berdasarkan tingkat-tingkat pada taksonomi
SOLO. Penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2: Indikator Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan
Taksonomi SOLO
Tingkat Taksonomi SOLO Indikator
Prestruktural Siswa kurang tepat dalam memahami masalah sehingga tidak
dapat menggunakan informasi yang ada untuk mendapatkan
penyelesaian.
Unistruktural Siswa dapat menggunakan sebuah informasi yang terdapat
pada masalah untuk mendapatkan penyelesaian.
Multistruktural Siswa dapat menggunakan dua atau lebih informasi pada
masalah untuk mendapatkan penyelesaian.
Relasional Siswa dapat menggunakan semua informasi dan menentukan
ekstra informasi dalam permasalahan yang dapat digunakan
untuk mendapatkan penyelesaian akhir.
Extended Abstract Siswa dapat menggunakan prinsip umum yang abstrak dari
masalah dan membangun hipotesis yang diturunkan dari
informasi pada soal untuk menyelesaikan permasalahan.
Sumber: Adaptasi dari Lian & Yew (2012); Azizah, Hobri, & Indah K. (2015)
2.4 Contoh Masalah Matematika Berdasarkan Taksonomi SOLO
Materi yang digunakan dalam penelitian ini ialah teorema Pythagoras.
Berdasarkan pendapat dari Lian & Yew (2012), taksonomi SOLO telah digunakan
untuk mengukur pencapaian kognitif siswa dalam beberapa bidang dan keahlian
matematika, termasuk statistika, aljabar, peluang, geometri, analisis kesalahan,
dan pemecahan masalah. Sehingga, analisis kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah Pythagoras dapat dilakukan menggunakan taksonomi
SOLO.
Contoh masalah matematika teorema Pythagoras berdasarkan tingkatan
pada taksonomi SOLO beserta pemecahan masalahnya adalah sebagai berikut.
12
(a) Masalah matematika tingkat unistruktural
Sekelompok anak pramuka tengah mendirikan sebuah tenda. Jika tinggi
tenda dan jarak antara tiang penyangga dengan patok yang berada tepat di tengah-
tengah tenda secara berturut-turut adalah 4 m dan 3 m, berapakah panjang tali
yang dibutuhkan untuk diikatkan dari ujung tenda ke dasar tanah?
Penyelesaian:
Panjang tali yang dibutuhkan untuk diikatkan dari ujung tenda ke dasar tanah
ialah √42 + 32 = √16 + 9 = √25 = 5 m.
Pemecahan masalah:
Siswa dapat menyelesaikan masalah ini dengan informasi yang diberikan
dalam masalah matematika tersebut yaitu panjang tinggi tenda dan jarak antara
tiang penyangga dengan patok yang berada tepat di tengah-tengah tenda.
(b) Masalah matematika tingkat multistruktural
Tim SAR sedang melakukan pencarian korban kecelakaan pesawat di
dasar laut. Seorang penyelam dari tim SAR mengaitkan dirinya pada tali
sepanjang 25 m. Jika kedalaman laut adalah 24 m, berapakah luas daerah yang
mampu dijangkau oleh penyelam tersebut?
Penyelesaian:
Daerah yang mampu dijangkau oleh penyelam tersebut membentuk sebuah
lingkaran. Sehingga, jari-jari lingkaran diperlukan untuk menentukan luasnya.
Jari-jari lingkaran = √252 − 242 = √625 − 576 = √49 = 7 m.
Luas daerah jangkauan = 𝜋 × 𝑟 × 𝑟 =22
7× 7 × 7 = 154 m
2.
13
Pemecahan masalah:
Siswa dapat menyelesaikan masalah ini dengan beberapa informasi yang
diberikan dalam masalah matematika tersebut yaitu panjang tali, kedalaman laut,
serta daerah jangkauan yang berbentuk lingkaran. Informasi tersebut digunakan
untuk mencari jari-jari daerah jangkauan. Kemudian, siswa dapat mencari luas
daerah jangkauan.
(c) Masalah matematika tingkat relasional
Sebuah tiang bendera akan diberi kawat penyangga agar tidak roboh. Jika
jarak kaki tiang dengan kaki kawat penyangga adalah 8 m, jarak kaki tiang dengan
ujung kawat penyangga pertama 6 m, dan jarak kawat penyangga pertama dengan
kawat penyangga kedua adalah 9 m, hitunglah biaya yang diperlukan jika harga
kawat Rp 30.000/m!
Penyelesaian:
Panjang kawat penyangga pertama = √82 + 62 = √64 + 36 = √100 = 10 m.
Panjang kawat penyangga kedua = √82 + (6 + 9)2 = √64 + 152 =
√64 + 225 = √289 = 17 m.
Biaya yang diperlukan = (10 + 17) × 30.000 = 27 × 30.000 = 510.000.
Pemecahan masalah:
Siswa dapat menyelesaikan masalah ini dengan beberapa informasi yang
diberikan dalam masalah matematika tersebut yaitu jarak kaki tiang dengan kaki
kawat penyangga, jarak kaki tiang dengan ujung kawat penyangga pertama, dan
jarak antar kawat penyangga. Berdasarkan informasi-informasi ini, siswa dapat
mengetahui total panjang kawat yang diperlukan. Kemudian, siswa dapat
14
menggunakan ekstra informasi yaitu harga kawat untuk mengetahui biaya yang
diperlukan.
(d) Masalah matematika tingkat extended abstract
Catur ingin membuat sebuah layang-layang dengan panjang sisi miring
bagian atasnya 35,25 cm dan 50 cm untuk bagian bawahnya. Berdasarkan
rancangan yang ia buat, kedua sisi miring bagian atas membentuk sudut siku-siku.
Sedangkan kedua sisi miring bagian bawah membentuk sudut 60°. Jika Catur
memiliki 5 meter bambu, berapa jumlah layang-layang yang dapat ia buat? Berapa
panjang bambu yang tersisa? (√2 = 1,41; √3 = 1,73)
Penyelesaian:
Perbandingan sisi-sisi pada segitiga siku-siku sama kaki
dan perbandingan sisi pada segitiga bersudut 30°, 60°, dan
90° digunakan untuk menyelesaikan masalah ini.
𝐴𝐶 = 2 ×1
√2× 𝐴𝐵 = 2 ×
1
1,41× 35,25 = 2 × 25 = 50cm.
𝐵𝐷 = 25 +√3
2× 𝐶𝐷 = 25 +
1,73
2× 50 = 25 + 43,25 = 68,25 cm.
Jumlah panjang diagonal layang-layang = 50 + 68,25 = 118,25 cm.
Jumlah layang-layang yang dapat dibuat = 500: 118,25 = 4,23 ≈ 4.
Sehingga, bambu yang tersisa adalah 500 − 4 × 118,25 = 500 − 473 = 27 cm.
Pemecahan masalah:
Siswa dapat menyelesaikan masalah ini dengan beberapa informasi yang
diberikan dalam masalah matematika tersebut yaitu panjang dua sisi miring dan
sudut yang dibentuk. Berdasarkan kedua informasi ini, siswa dapat mengetahui
jumlah panjang diagonal layang-layang. Kemudian, siswa dapat menggunakan
15
informasi tersebut dan ekstra informasi berupa panjang bambu yang dimiliki
untuk mendapatkan jumlah layang-layang yang dapat dibuat. Penyelesaian akhir
didapatkan setelah siswa menggunakan informasi-informasi yang ada untuk
membentuk prinsip umum yang abstrak dari masalah, yaitu mencari sisa bambu
dengan mengurangkan panjang bambu yang dimiliki dengan jumlah bambu yang
dapat digunakan.
2.5 Hasil Penelitian yang Relevan
(a) Ekawati, Junaedi, & Nugroho (2013) melakukan penelitian pemecahan
masalah matematika siswa berdasarkan Taksonomi SOLO. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 25, 42% siswa putri terdapat pada tingkat prestruktural,
10, 83% pada tingkat unistruktural, 32, 92% pada tingkat multistruktural, 20,
83% pada tingkat relasional, dan 10% pada tingkat extended abstract. Hasil
untuk siswa putra antara lain 16, 67% terdapat pada tingkat prestruktural, 9,
44% pada tingkat unistruktural, 32, 22% pada tingkat multistruktural, 38, 33%
pada tingkat relasional, dan 3, 33 % pada tingkat extended abstract.
Hubungan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan ialah
menganalisis pemecahan masalah matematika siswa putri dan siswa putra
berdasarkan taksonomi SOLO. Perbedaan dengan penelitian yang akan
dilakukan terletak pada materi yang digunakan yaitu lingkaran dan bangun
ruang. Peneliti akan menganalisis kemampuan siswa dalam menyelesaikan
masalah matematika pada materi teorema Pythagoras.
(b) Widayanti (2016) mendeskripsikan tingkat kemampuan siswa introvert dalam
menyelesaikan masalah matematika. Terdapat dua masalah matematika
materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel yang digunakan oleh peneliti.
16
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek dengan kepribadian introvert
berada pada tingkat multistruktural untuk menyelesaikan masalah I serta
pada tingkat unistruktural dan tingkat relasional untuk menyelesaikan
masalah II. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa pada masalah yang berbeda.
Hubungan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan ialah
menganalisis kemampuan pemecahan masalah matematika berdasarkan
taksonomi SOLO. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak
pada materi yang digunakan ialah Sistem Persamaan Linear Dua Variabel dan
masalah matematika yang digunakan tidak disusun berdasarkan taksonomi
SOLO. Peneliti akan menggunakan masalah matematika materi teorema
Pythagoras yang disusun berdasarkan taksonomi SOLO pada penelitian ini.
(c) Romika & Amalia (2014) menganalisis kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa pada materi bangun ruang sisi datar dengan Teori Van
Hiele. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan siswa di SD
Negeri 26 Leupung dalam pembelajaran menggunakan media visual dan
nonvisual dengan teori Van Hiele telah mencapai tingkat yang tinggi.
Terdapat 54,16% siswa termasuk dalam kelompok dengan tingkat
kemampuan sangat tinggi, 8,3% siswa termasuk dalam kelompok dengan
tingkat kemampuan tinggi, 8,3 % termasuk dalam kelompok dengan tingkat
kemampuan cukup, 16,6 % termasuk dalam kelompok dengan tingkat
kemampuan rendah, dan 12,5% siswa termasuk dalam kelompok dengan
tingkat kemampuan sangat rendah.
17
Hubungan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan ialah
menganalisis kemampuan pemecahan masalah matematika. Perbedaan
dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada subjek penelitian yaitu
siswa SD dan dasar yang digunakan yaitu teori Van Hiele. Peneliti akan
menganalisis kemampuan siswa SMP Kelas VIII dalam menyelesaikan
masalah matematika berdasarkan Taksonomi SOLO.
2.6 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1
berikut ini.
Gambar 2.1 Diagram Kerangka Konseptual
Keterangan:
: Yang tidak diteliti
: Yang diteliti
18
Berdasarkan kerangka konseptual pada Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa
untuk menemukan penyelesaian dari suatu masalah matematika dibutuhkan
adanya proses pemecahan masalah matematika. Proses inilah yang menentukan
bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika yang dimiliki siswa.
Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat
digunakan soal cerita. Soal cerita adalah soal matematika yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari dan disajikan dalam bentuk kalimat yang harus
diterjemahkan ke bentuk matematika terlebih dahulu untuk mendapatkan
penyelesaiannya. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kemampuan pemecahan
masalah matematika yang dimiliki tiap-tiap individu, taksonomi SOLO
merupakan salah satu dasar yang dapat digunakan, termasuk dengan cara
menyusun soal cerita berdasarkan taksonomi ini. Taksonomi SOLO membagi
kemampuan individu ke dalam lima tingkat, yaitu prastruktural, unistruktural,
multistruktural, relasional, dan extended abstract.