bab ii kajian pustaka 2.1. kajian teori 2.1.1. pengertian...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Pengertian Belajar
Untuk mengawali pemahaman tentang pengertian belajar akan
dikemukakan beberapa definisi tentang belajar. Menurut Slameto, belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (2003: 2). Dalam Sujiono dan
Sujiono (2010: 51) disebutkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah
laku yang terjadi sepanjang waktu sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan
Hamalik berpendapat bahwa belajar adalah modifikasi atau memperteguh
kelakuan melalui pengalaman (2009: 36), yang berarti bahwa belajar merupakan
suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu tujuan. Belajar juga disebut sebagai
proses mengubah atau memperbaiki tingkah laku melalui latihan, pengalaman dan
kontak dengan lingkungannya (Simanjuntak, dkk: 1992).
Bukti bahwa seseorang telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku
dari orang tersebut. Namun, tidak setiap perubahan tingkah laku dalam diri
seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Berikut ini ciri-ciri perubahan
perilaku dalam pengertian belajar menurut Slameto (2003):
1. Perubahan terjadi secara sadar
Seseorang yang telah belajar menyadari terjadinya perubahan itu
atau paling tidak seseorang tersebut merasakan terjadinya suatu perubahan
dalam dirinya.
2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
Artinya, perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan
berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar
selanjutnya. Perubahan akan berlangsung terus hingga menjadi lebih baik
dan sempurna.
7
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Perubahan akan bertambah dan bertujuan untuk memperoleh
sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, semakin banyak usaha
belajar, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh.
Perubahan bersifat aktif apabila perubahan itu tidak terjadi dengan
sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri.
4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang bersifat sementara atau terjadi hanya beberapa saat
saja tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam arti belajar.
Perubahan yang dihasilkan karena proses belajar bersifat permanen. Jadi,
tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
5. Perubahan dalam belajar bertujuan
Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena adanya
tujuan yang ingin dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan
tingkah laku yang benar-benar disadari.
6. Perubahan mencakup aspek seluruh tingkah laku
Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses
belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jadi, aspek yang satu
berhubungan erat dengan aspek lainnya. Jika seseorang belajar sesuatu,
sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara
menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang belajar di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berdasarkan
pengalaman maupun latihan yang dilakukan secara sadar baik langsung maupun
tidak langsung.
2.1.2. Pembelajaran Matematika SD
Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang
berarti belajar atau hal yang dipelajari. Pembelajaran matematika yang diajarkan
di sekolah dasar merupakan matematika sekolah yang terdiri dari bagian
matematika yang dipilih untuk menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan
8
dan membentuk pribadi anak yang berpedoman pada perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Tekhnologi. Manusia memerlukan matematika untuk
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, matematika
memegang peranan penting dalam kehidupan.
Fungsi matematika adalah sebagai media atau sarana siswa dalam
mencapai kompetensi (Ekawati, 2011). Dengan mempelajari matematika, siswa
diharapkan dapat menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Fungsi lain
matematika adalah sebagai alat, pola pikir, dan ilmu pengetahuan. Adams dan
Hamm dalam Wijaya (2012) menyebutkan ada empat macam pandangan tentang
posisi dan peran matematika, yaitu:
a. Matematika sebagai cara untuk berpikir.
b. Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan.
c. Matematika sebagai suatu alat.
d. Matematika sebagai bahasa atau alat untuk berkomunikasi.
Pembelajaran matematika juga harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan siswa. Pada teori Bruner dalam Hudojo (1988) menggambarkan
perkembangan anak-anak melalui tiga tahap, yaitu enactive, iconic, dan simbolic.
Tahap enactive adalah tahap saat anak belajar menggunakan objek secara
langsung, tahap iconic belajar dengan menggunakan gambaran dari objek-objek,
dan tahap simbolic merupakan tahapan memanipulasi symbol secara langsung dan
tidak ada kaitannya dengan objek-objek. Piaget juga berpendapat bahwa proses
berpikir manusia berawal dari berpikir konkret ke abstrak.
Siswa sekolah dasar umumnya berumur sekitar 6 atau 7 tahun hingga 12
atau 13 tahun. Pemikiran anak-anak usia sekolah dasar berada pada tahap
pemikiran operasional konkret karena berpikir logiknya berdasarkan atas
manipulasi fisik dari objek-objek. Karena itu, dalam pembelajaran matematika
yang abstrak siswa SD membutuhkan alat bantu berupa media dan alat peraga
yang bersifat konkret. Pendekatan pembelajaran juga harus sesuai dengan materi
yang diajarkan.
Tujuan dari pembelajaran matematika tidak hanya untuk menguasai
materi, menghafal rumus dan menekankan pada perolehan hasil. Pembelajaran
9
yang mementingkan hal tersebut akan berakibat hasil yang dicapai tidak akan
bertahan lama dan siswa menjadi mudah lupa. Pada Permendiknas tahun 2006
tentang standar isi, disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan supaya
siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep matematika secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Ruang lingkup matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar meliputi
bilangan, pengukuran, geometri, dan pengolahan data (Depdiknas, 2006).
Cakupan bilangan antara lain meliputi bilangan dan angka, perhitungan, dan
perkiraan. Materi geometri meliputi bangun dua dimensi, tiga dimensi,
transformasi dan simetri, lokasi dan susunan berkaitan dengan koordinat. Cakupan
pengukuran berkaitan dengan perbandingan kuantitas suatu objek, penggunaan
satuan ukur dan pengukuran.
2.1.3. Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran matematika realistik adalah pendekatan pembelajaran yang
menekankan pada kebermaknaan ilmu pengetahuan (Wijaya, 2012). Pendekatan
ini bertolak dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan ketrampilan proses,
berdiskusi dan berargumentasi dengan teman sehingga mereka dapat menemukan
10
sendiri . Pendekatan ini berlandaskan pada RME. RME adalah teori matematika
yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970an dengan berlandaskan pada
filosofi matematika sebagai aktivitas manusia (mathematic is human activity)
yang dicetuskan oleh Hans Freudenthal. Menurut Fruedenthal dalam Supinah
(2008: 14), matematika adalah aktivitas yang harus dikaitkan dengan realitas dan
siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi.
Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaanya di berbagai situasi
dan kesempatan, sehingga memungkinkan siswa menemukan kembali matematika
dengan usahanya sendiri.
Menurut Sofyan (2008), pendekatan realistik adalah sebuah pendekatan
yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri.
Pendekatan realistik juga disebut sebagai pendekatan yang menggunakan masalah
situasi dunia nyata.
Pembelajaran matematika realistik adalah suatu inovasi pendidikan yang
lebih memperhatikan potensi pada diri anak yang harus dikembangkan (Soedjadi
dalam Ismail dkk, 2008: 9.4). Pada pembelajaran ini, guru akan mengurangi
kebiasaannya “menggurui”, karena disini guru akan beralih fungsi menjadi
fasilitator.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika realistik adalah suatu pembelajaran yang menggunakan
hal-hal nyata, konkret sebagai awal untuk membentuk konsep matematika pada
anak.
Dalam pembelajaran matematika realistik, dunia nyata digunakan sebagai
titik awal untuk mengembangkan konsep matematika. Menurut Blum&Niss dalam
Supinah (2008:14), dunia nyata adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti
mata pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan
sekitar.
Soedjadi dalam Ismail dkk ( 2008: 9.4) mengungkapkan bahwa orang
menganggap matematika adalah “alat”. Namun, dalam pendekatan pembelajaran
ini tidak menganggap matematika sebagai suatu alat. Matematika dianggap
sebagai suatu aktivitas atau kegiatan manusia. Freudenthal dalam Wijaya (2012)
11
meyakini bahwa pembelajaran matematika yang menempatkan matematika
sebagai suatu objek yang terpisah dari realita yang bisa dipahami siswa akan
menyebabkan konsep matematika cepat dilupakan siswa. siswa juga akan
mengalami kesulitan dalam menerapkan konsep matematika yang mereka pelajari.
Cara yang bisa dilakukan adalah dengan menempatkan pembelajaran matematika
sebagai pengalaman hidup siswa.
Ini bukan berarti matematika sebagai alat tidak digunakan lagi.
Matematika sebagai alat tetap digunakan, hanya saja akan digunakan setelah
tercapainya matematika formal. Jadi, dalam pendekatan pembelajaran matematika
realistik ini kegiatan pembelajarannya dipusatkan pada anak. Karena sebisa
mungkin mengusahakan agar anak aktif dan membangun sendiri pengetahuannya.
Menurut Coughlin dalam Sujiono dan Sujiono (2010: 27), pendekatan yang
berpusat pada anak diarahkan: (1) agar anak mampu mewujudkan dan
mengakibatkan perubahan; (2) agar anak menjadi pemikir-pemikir yang kritis; (3)
agar anak mampu membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya; (4) agar anak mampu
menemukan dan menyelesaikan permasalahan secara konstruktif dan inovatif; (5)
agar anak menjadi kreatif, imajinatif, dan kaya gagasan; dan (6) agar anak
memiliki perhatian terhadap masyarakat, negara, dan lingkungannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dihadapkan pada bermacam-macam
masalah. Masalah yang ada di sekitar anak atau masalah kesehariannya dapat
digunakan untuk menjadi masalah kontekstual, khususnya masalah kontekstual
yang bekaitan dengan materi yang akan diajarkan. Konteks tidak harus berupa
masalah dunia nyata tetapi bisa dalam bentuk permainan,penggunaan alat peraga,
atau situasi lain selama hal tersebut bermakna bagi siswa (Wijaya, 2012: 21).
Dengan menggunakan konteks ini, siswa dilibatkan secara aktif untuk
menyelesaikan permasalahan. Hasil pemecahan masalah dari siswa ini bukan
hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang
diberikan, tetapi juga untuk mengembangkan strategi penyelesaian yang
digunakan. Manfaat lainnya adalah untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan
siswa dalam belajar matematika (Kaiser dalam Wijaya, 2012).
12
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran matematika realistik, terlebih
dahulu harus mengetahui prinsip-prinsip yang digunakan. Pendekatan
pembelajaran matematika realistik menggunakan prinsip-prinsip RME. Ada tiga
prinsip dari RME menurut Gravemeijer dalam Supinah (2008), yaitu:
a. Guided Re-Invention atau menemukan kembali secara terbimbing
Pada prinsip ini, bertujuan untuk memberi kesempatan bagi siswa
untuk menemukan ide berdasarkan masalah kontekstual yang realistik bagi
siswa dengan bantuan guru. Sebisa mungkin, siswa didorong dan ditantang
untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat membangun sendiri
pengetahuannya. Pembelajaran tidak dimulai dengan definisi atau sifat-
sifat yang selanjutnya diikuti dengan contoh, tetapi dimulai dengan
memberikan masalah yang nyata dan selanjutnya melalui aktivitas siswa
diharapkan menemukan sifat atau definisinya. Apabila diperlukan, dapat
diberikan bimbingan. Tapi hanya pada hal yang belum dimengerti siswa,
atau dapat juga dengan menggunakan pertanyaan pancingan.
b. Didactical Phenomenology atau Fenomena Didaktik
Prinsip ini menekankan pada pembelajaran yang bersifat mendidik
dan pentingnya masalah kontekstual dalam mengenalkan materi
matematika. Pembelajaran matematika yang biasanya hanya memberikan
informasi kepada siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai
untuk memecahkan masalah akan diubah menjadikan masalah sebagai
sarana utama untuk mengawali suatu pembelajaran. Jadi, hal ini
memungkinkan siswa dengan menggunakan caranya sendiri akan mencoba
untuk memecahkan masalah. Masalah kontekstual dipilih dengan
mempertimbangkan (1) aspek kecocokan apllikasi yang harus diantisipasi
dalam pembelajaran dan (2) kecocokan dengan proses re-invention yang
berarti bahwa konsep atau sifat termasuk model matematika tidak
disedikan guru, tetapi siswa berusaha untuk menemukannya sendiri.
c. Self Developed Models atau Membangun Model Sendiri
Dalam prinsip ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang
berupa model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa. Siswa
13
bebas untuk memecahkan masalah, baik secara mandiri maupun
kelompok. Hal ini memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan
masalah buatan siswa. Menurut Soedjadi dalam Supinah (2008: 18), dalam
pembelajaran matematika realistik diharapkan terjadinya urutan “situasi
nyata”-“model dari situasi itu”-“model ke arah formal”-“pengetahuan
formal”. Inilah yang merupakan prinsip Self-developed Models.
Treffers dalam Wijaya (2012: 22), merumuskan karakteristik pembelajaran
matematika menjadi lima, yaitu:
a. Penggunaan konteks
Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan masalah
kontekstual. Seperti telah dikatakan di atas, konteks tidak harus berupa
masalah dunia nyata, namun bisa dalam bentuk permainan, alat
peraga,atau situasi lain yang dapat dibayangkan atau dipahami siswa.
Masalah kontekstual tidak hanya dapat disajikan pada awal pelajaran,
tetapi juga dapat diajikan di tengah atau bahkan akhir pembelajaran.
Pemberian masalah di awal pembelajaran apabila dimaksudkan
untuk membangun/menemukan konsep, definisi, operasi, maupun sifat
matematika serta pemecahannya. Masalah kontekstual disajikan di tengah
pembelajaran apabila dimaksudkan untuk memantapkan apa yang telah
ditemukan. Dan masalah kontekstual disajikan di akhir pembelajaran
apabila dimaksudkan untuk mengaplikasikan apa yang telah ditemukan.
b. Menggunakan model atau jembatan
Dalam hal ini, perhatian lebih diarahkan kepada pengembangan
model daripada hanya mentransfer rumus. Model yang digunakan dapat
berupa benda nyata, gambar, ataupun skema. Pemberian model
dimaksudkan untuk menjembatani dari konkret ke abstrak maupun dari
abstrak ke abstrak yang lain. Model yang mirip dengan masalah nyata
disebut “model of”dan model yang mengarahkan ke pemikiran abstrak
atau formal disebut “model for”.
14
c. Menggunakan kontribusi siswa
Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi
pemecahan masalah sehingga diharapkan munculnya strategi yang
bervariasi. Karena itu, perlu sekali memperhatikan sumbangan atau
kontribusi dari siswa yang mungkin saja berupa ide, gagasan, cara,
ataupun jawaban. Kontribusi tersebut diharapkan dapat menyumbangkan
konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal
ke arah metode yang lebih formal.
d. Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu
melainkan juga bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar
siswa akan lebih bermakna ketika siswa mengkomunikasikan hasil kerja
mereka. Dalam pembelajaran, interaksi sangat diperlukan, baik antar siswa
dengan siswa, maupun antara siswa dengan guru yang bertindak sebagai
fasilitator. Interaksi juga mungkin terjadi antara siswa dengan sarana
ataupun lingkungan. Bentuk interaksi bermacam-macam. Mulai dari
diskusi, negosiasi, memberi penjelasan, atau komunikasi. Pemanfaatan
interaksi dalam pembelajaran matematika dapat mengembangkan
kemampuan kognitif dan afektif siswa.
e. Keterkaitan antartopik (intertwining)
Matematika merupakan ilmu yang terstruktur dengan ketat
konsistensinya. Konsep matematika banyak yang memiliki keterkaitan.
Keterkaitan antartopik, konsep, operasi sangat kuat sehingga
dimungkinkan adanya integrasi antartopik. Bahkan mungkin
antarmatematika dengan ilmu pengetahuan lain. Karena itu, konsep-
konsep matematika tidak dikenalkan kepada siswa secara terpisah.
Berdasarkan prinsip dan karakteriastik pembelajaran matematika di atas,
Zahra (2010) menyusun langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan
pembelajaran matematika realistik seperti berikut:
Langkah 1: Memahami masalah kontestual, yaitu guru memberikan
masalah kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari kepada
15
siswa dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut serta
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang masalah
yang belum dipahami. Karakteristik pembelajaran matematika realistik
(PMR) yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan masalah
kontekstual.
Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual. Apabila dalam memahami
masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan
kondisi dari soal dengan memberikan petunjuk sebatas pada bagian yang
belum dipahami, bukan menunjukkan penyelesaian namun bisa dengan
menggunakan pertanyaan yang sifatnya memancing.
Langkah 3: Menyelesaikan masalah. Siswa mendeskripsikan masalah
kontekstual dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Lalu, siswa
mencoba menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan
pengetahuan yang mereka miliki sehingga mungkin bisa terdapat
perbedaan penyelesaian soal antara siswa yang satu dengan yang lain. Dan
guru terbatas hanya mengamati, mengobservasi, dan memberi bimbingan
yang terbatas. Karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan
model.
Langkah 4: Membandingkan jawaban. Guru membentuk siswa menjadi
kelompok, kemudian siswa mendiskusikan penyelesaian masalah yang tadi
telah dikerjakan secara individu. Guru mengamati dan memberi bantuan
jika dibutuhkan. Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi.
Langkah 5: Menyimpulkan. Dari hasil diskusi, guru menekankan apa
yang telah dipelajari atau ditemukan oleh siswa sendiri. Jika perlu, siswa
dapat membuat rangkumannya sendiri.
2.1.4. Bangun Ruang
Bangun ruang adalah bagian ruang yang dibatasi oleh himpunan titik-titik
yang terdapat pada seluruh permukaan bangun tersebut. Bagian-bagian bangun
ruang adalah sisi, rusuk, dan titik sudut. Sisi adalah bidang pada bangun ruang
yang membatasi antara bangun ruang dengan ruangan di sekitarnya. Rusuk adalah
16
pertemuan dua sisi yang berupa ruas garis pada bangun ruang. Sementara titik
sudut adalah titik hasil pertemuan rusuk yang berjumlah tiga atau lebih. Jenis-
jenis bangun ruang yang umumnya dikenal ada balok, kubus, limas, prisma,
tabung, kerucut, dan bola.
Siswa SD yang masih dalam tahap berpikir konkret, sangat sulit untuk
menangkap sifat atau karakteristik dari bangun ruang. Seperti kubus yang
memiliki 6 sisi berbentuk persegi, 8 titik sudut. Karena itu, pembelajaran tentang
bangun ruang harus dimulai dengan benda-benda yang konkret, seperti kotak
kapur, tempat pensil, dan bentuk-bentuk lainnya. Baru setelah itu menuju ke
bentuk-bentuk semi konkret yang berupa gambar bangun ruang.
Sesuai dengan pembelajaran matematika realistik, dengan menggunakan
benda-benda konkret diharapkan siswa dapat menyelidiki dan menemukan sendiri
sifat-sifat bangun ruang di bawah bimbingan guru.
2.1.5. Hasil Belajar
Setelah individu mengalami proses belajar, maka akan memperoleh hasil
dari proses belajar. Ada beberapa definisi hasi belajar menurut para ahli yang
dikutip dari blog Syamrilaode.
Menurut Arifin (2001) hasil belajar merupakan indikator dari perubahan yang
terjadi pada individu setelah mengalami proses belajar mengajar, dimana untuk
mengungkapkannya menggunakan suatu alat penilaian yang disusun oleh guru,
seperti tes evaluasi. Menurut Nasrun hasil belajar dapat diartikan sebagai suatu
hasil pekerjaan yang telah dicapai dengan usaha atau diperoleh dengan jalan
keuletan bekerja yang dapat diukur dengan alat ukur yang disebut dengan tes.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011: 22). Hamalik menyatakan
bahwa hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan
kelakuan (2009: 36). Hasil belajar merupakan tolok ukur untuk mengetahui
keberhasilan seseorang.
Tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah aspek, diantaranya yaitu
pengetahuan, pemahaman, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional,
17
hubungan sosial, jasmani, budi pekerti, dan sikap. Apabila seseorang telah
melakukan perbuatan belajar, maka terjadi perubahan pada salah satu atau
beberapa aspek tersebut (Sudjana: 2011: 22).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai dari
suatu kegiatan, yang dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar yang dapat
diukur dengan tes tertentu.
2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan telaah pustaka yang telah dilakukan, berikut ini dikemukakan
beberapa penelitian yang ada kaitannya dengan variabel penelitian yang
dilakukan. Menurut penelitian yang dilakukan Dwiardhany, Mardianti (2009)
dengan judul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas V
Dengan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Matematika Di SDN Sumurboto
Tahun Pelajaran 2009/2010” penelitian ini menyebutkan bahwa dengan
menerapkan pembelajaran matematika realistik secara signifikan dapat
meningkatkan prestasi belajar pada iswa kelas V. Ada peningkatan prestasi belajar
dari hasil rata-rata ulangan 59,87 menjadi 70,00 (meningkat sebesar 10,13%) pada
siklus I, dan pada siklus II terjadi peningkatan prestasi belajar dari hail ulangan
59,87 menjadi 76,12 (meningkat 16,25%).
Penelitian yang dilakukan Janah, Miftakhul (2010) dengan judul “Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Pendekatan Matematika Realistik
Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Pokok Bahasan Satuan Panjang Siswa
Kelas IV SD Negeri Gejayan”. Hasil penelitian ini memperlihatkan peningkatan
hasil belajar. Pada siklus I menunjukkan tingkat ketuntasan belajar mencapai
54%, sedangkan pada siklus II mencapai 82%.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aprilyanis, Eka (2011) dengan
judul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Tentang Operasi Hitung
Bilangan Bulat Melalui Pembelajaran Matematika Realistik Bagi Siswa Kelas IV
SDN I Buluroto Kecamatan Banjarejo Blora Semester II Tahun 2010/2011”. Pada
penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan belajar dari kondisi pra siklus ke
siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Pada pra siklus tidak terjadi ketuntasan
18
belajar, yang tuntas hanya 8 siswa (26,66%) dari 30 siswa. Pada siklus I yang
tuntas menjadi 17 siswa (56,66%) dari 30 siswa. Dan pada siklus II sebanyak 28
siswa (93,33%) dari 30 siswa telah tuntas mencapai KKM (65).
2.3. Kerangka Pikir
Keberhasilan suatu pembelajaran dapat dilihat dari hasil pembelajaran.
Untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal diperlukan faktor pendukung.
Faktor-faktor pendukung bisa berupa model pembelajaran, alat peraga, serta hal
lain yang mempengaruhi proses pembelajaran.
Dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik, diharapkan akan
mengurangi kebosanan siswa dalam pembelajaran. Selain itu, dalam mata
pelajaran matematika diharapkan siswa dapat memahami konsep matematika
melalui suatu masalah dalam situasi nyata, serta belajar memecahkan masalah.
Hal ini dapat berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa dalam rangka
perbaikan proses belajar mengajar. Dengan demikian pemahaman siswa terhadap
materi dapat secara optimal dan hasil belajarnya pun menjadi optimal.
Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian akan dimulai dengan memberikan
pretest kepada kedua kelompok dengan soal yang sama. Pemberian pretest ini
bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menguasai materi yang
menjadi bahan penelitian.
Kemudian akan dilakukan pembelajaran. Pada kelompok eksperimen akan
diberi perlakuan dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik,
sementara kelompok kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Setelah
adanya perlakuan, kedua kelas akan diberi posttest dengan soal yang sama.
Kegiatan ini untuk mengetahui hasil belajar siswa dan adakah pengaruh
penggunaan pembelajaran matematika realistik.
Berikut bagan kerangka pikir Pengaruh Pembelajaran matematika realistik
pada Pokok Bahasan Bangun Ruang Terhadap hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar:
19
Gambar 2.1. bagan kerangka pikir
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah dipaparkan di atas,
maka peneliti merumuskan hipotesis “Terdapat pengaruh positif penggunaan
pembelajaran matematika realistik terhadap hasil belajar matematika bangun
ruang pada siswa kelas IV SD Negeri Salatiga 06 semester II tahun pelajaran
2011/2012”.
Hipotesis Statistika
H0 : X1 = X2
Yaitu “rata-rata hasil belajar siswa kelompok eksperimen (siswa kelas IV B SD
Salatiga 06) sama dengan rata-rata hasil belajar siswa kelompok kontrol (siswa
kelas IV A SD Salatiga 06) yang berarti bahwa tidak ada pengaruh penggunaan
pembelajaran matematika realistik terhadap hasil belajar siswa.”
H1 : X1 > X2
Yaitu “rata-rata hasil belajar siswa kelompok eksperimen (siswa kelas IV B SD
Salatiga 06) lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar siswa kelompok kontrol
(siswa kelas IV A SD Salatiga 06) yang berarti bahwa terdapat pengaruh
penggunaan pembelajaran matematika realistik terhadap hasil belajar siswa.”
pretest
Kelompok
eksperimen
Kondisi awal
siswa sama
pretest
Kelompok
kontrol
Pembelajaran
Konvensional
Perlakuan
Pembelajaran
Realistik
posttest
posttest
Hasil
belajar