bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uir.ac.id/687/1/bab1.pdfbab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea ke- 4 menegaskan
bahwa tujuan nasional negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian yang abadi berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.1
Sebagaimana yang sudah tercantum di dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang menjadi tujuan negara Indonesia yaitu melindungi segenap
bangsa dan anak merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara.
Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas
dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta pelindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan
generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus
dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber
daya manusia yang tangguh serta berkualitas.2 Berkaitan dengan pembinaan
anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala
permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud
1Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Alenia Ke- 4
2Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
Hlm. 56.
menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan
sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka
pengadilan.3
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak
yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 hingga keperaturan Undang-
undang dibawahnya bahwa setiap warga negara harus di perlakukan baik
dan adil sama kedudukannya di dalam hukum. Setiap Negara dimanapun di
dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup
terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi,
sosial dan budaya. Sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari
prespektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh
pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih
jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini
pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.4
Dalam konteks hukum acara pidana menegaskan bahwa aktivitas
pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan
pejabat lainnya haruslah mengutamakan kepentingan anak atau melihat
kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan
tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat.5 Sementara itu
3Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Hlm . 3.
4M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), Hlm. 17.
5 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,, 2002), Hlm. 18.
dari perspektif ilmu pemidanaan meyakini bahwa penjatuhan pidana
terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa
anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek
penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat).
pidana penjara dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus
walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi. Akibat
penerapan stigma bagi anak akan membuat mereka sulit untuk kembali
menjadi anak baik.6
Anak Indonesia sebagai anak bangsa sebagian besar mempunyai
kemampuan dalam mengembangkan dirinya untuk dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan
bermanfaat untuk sesama manusia. Kondisi fisik dan mental seorang anak
yang masih sangat lemah sering kali memungkinkan dirinya disalahgunakan
secara legal atau ilegal, secara langsung atau tidak langsung oleh orang-
orang di sekelilingnya tanpa dapat berbuat sesuatu.
Kondisi buruk bagi anak ini, dapat berkembang secara terus-menerus
dan mempengaruhi kehidupanya dalam keluarga masyarakat dan negara.
Situasi yang seperti ini dapat membahayakan negara, karena pada dasarnya
maju atau mundurnya suatu bangsa sangat tergantung bagaimana bangsa itu
mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, perlindungan anak perlu
mendapatkan perhatian khusus didalam pembangunan bangsa. Kondisi
buruk bagi anak ini, dapat berkembang secara terus-menerus dan
6Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011),
Hlm 87.
mempengaruhi kehidupanya dalam keluarga, masyarakat dan negara. Situasi
yang seperti ini dapat membahayakan negara, karena pada dasarnya maju
atau mundurnya suatu bangsa sangat tergantung bagaimana bangsa itu
mendidik anak-anaknya.7 Oleh karena itu, perlindungan anak perlu
mendapatkan perhatian khusus didalam pembangunan bangsa Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga
Negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi
manusia. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi, serta berhak perlindungan dari tindak pidana
dan diskriminasi serta hak sipil atas kebebasan. Arti dari anak dalam
penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang menyebutkan bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya
melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijiunjung tinggi. Sebelum anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi
dewasa, maka sebelumnya, terlebih dahulu anak-anak tersebut akan
mengalami masa-masa atau dunia anak-anak. Selanjutnya dunia anak-
anaklah yang akan membentuk dan mempersiapkan bagaimana proses
pendewasaan nanti. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapatkan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal baik fisik, mental, sosial dan berakhlak mulia. Upaya perlindungan
7 Darwan Print, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2003), Hlm. 5
dan pembinaan terhadap anak perlu dilakukan dengan memberikan jaminan
terhadap pemenuhan atas hak-haknya serta perlakuan tanpa
diskriminasitermasuk ketika anak berada dalam suatu pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.8
Perlindungan dari kekerasan ataupun diskriminasi kepada anak ini
juga diberikan kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Perlindungan ini salah satunya dengan adanya hak untuk dipisahkan
penempatannya dengan narapidana dewasa dalam lembaga pemasyarakatan.
Ketentuan mengenai penempatan secara terpisah ini sudah diatur dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu antara lain Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya
disebut Undang-Undang Pemasyarakatan) yang pada pasal 4 disebutkan
bahwa Lembaga Pemasyarakatan termasuk Lembaga Pemasyarakatan Anak
didirikan disetiap ibukota kabupaten. Lembaga Pemasyarakatan ini setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (Undang-Undang SPPA) berganti istilah menjadi
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Dicampurnya Anak dengan narapidana ini juga tidak sesuai dengan
ketentuan pasal 3 huruf (b) Undang-Undang SPPA. Karena dalam Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Disebutkan bahwa setiap anak dalam
proses peradilan pidana berhak dipisahkan dari orang dewasa. Selain itu
dalam Undang-Undang Pemasyarakatan pada pasal 18 ayat (1), pasal 25
8 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama,2006), Hlm. 45
ayat (1) dan pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa Anak Didik
Pemasyarakatan yang terdiri dari Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Istilah Anak Didik
Pemasyarakatan pada saat ini sudah tidak digunakan lagi. Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang SPPA yaitu pada
pasal 1 angka 3 yang berbunyi, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana”.9 Sehingga sesuai dengan ketentuan tersebut
istilah Anak yang Berkonflik dengan hukum yang menjalani pembinaan
yang biasanya disebut dengan Anak Didik Pemasyarakatan, dengan
berlakunya Undang-Undang SPPA disebut sebagai Anak.
Ketentuan mengenai penempatan Anak yang terpisah dengan
narapidana ini pada kenyataannya tidak didukung dengan jumlah Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang memadai di Indonesia. Di
Indonesia, sampai saat ini hanya terdapat 18 provinsi yang telah memiliki
LPKA, antara lain Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Riau,
Jambi, dan Lampung. Di Pulau Jawa, minus DKI Jakarta, seluruh provinsi
telah memiliki LPKA, yakni di Banten. LPKA juga baru disediakan di Jawa
Barat, tahun 2013. LPKA lainnya berada di Jawa Tengah, dan di Jawa
Timur.Di luar itu, baru ada LPKA Di Bali; di Nusa Tenggara Barat; di Nusa
Tenggara Timur; di Sulawesi Selatan; di Sulawesi Utara; di Kalimantan
9 Republik Indonesia, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 Angka 3.
Barat; di Kalimantan Selatandan di Batam. Hal ini berarti terdapat 16
provinsi di Indonesia yang tidak memiliki LPKA.10
Padahal kasus kejahatan yang melibatkan anak akhir-akhir ini semakin
banyak, salah satu contoh yang penulis temukan di lembaga pemasyarakatan
kelas II B Bangkinang anak yang berkonflik dengan hukum berada dalam
lingkungan dengan narapidana dewasa hal tersebut disebabkan karena
kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung sehingga nara pidana
anak berada dalam lingkungan yang sama dengan narapidana dewasa
walaupun LPKA sudah disediakan di Riau. Keberadaan anak-anak dalam
tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih
dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban
berbagai tindak kekerasan. Kondisi lembaga pemasyarakatan akan
menghambat tercapainya tujuan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan
bagi Anak yang tercermin dalam pasal 2 Undang-Undang Pemasyarakatan,
yang berbunyi:11
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk
warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya
sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu
10 Http://Ditjenpas.Go.Id/Berita-Terkini/Ditjen-Pas-Susun-Pedoman-Penyelenggaraan-
Pemasyarakatan-Di-Bapas-Lpas-Dan-Lpka,
11
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,
Pasal 2.
diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dan Peraturan perundangan lain
yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang
tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak
pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya,
hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak
jaminan sosial, aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara
sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut
wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Sayangnya dalam
pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering
mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor
internal maupun faktor eksternal.12
Berbicara mengenai hak-hak anak yang harus dijunjung tinggi tidak
terlepas pula dari hak asasi anak yaitu Hak asasi anak merupakan bagian
dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum
internasional maupun hukum nasional, yang secara universalpun dilindungi,
Sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan
anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaang
pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama
dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia. Pemidanaan itu sendiri lebih
12
Harkristuti Harkrisnowo, Tantangan Dan Agenda Hak-Hak Anak, (Jakarta: Hukum
Nasional, Edisi Februari, 2002), Hlm. 46.
berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan
pertanggungjawaban individual atau personal (Individualresponsibility)
dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung
jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak
merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas
tindakan atau perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak
merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Oleh sebab itu
dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka
dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang
yang ada di dekatnya.
Peradilan khusus bagi anak diadakan guna mengatasi permasalahan
tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk golongan
anak-anak di lingkungan pradilan umum. Undang-Undang tentang
Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional
untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan pidana
Anak juga ditujukan sebagai perangkat hukum dalam melaksanakan
pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang
bermasalah dengan hukum maupun penegakan hak-hak anak dan hukum
anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak13
.
Salah satu yang menjadi persoalan dalam kehidupan masyarakat ialah
tentang kejahatan yang dilakukan oleh anak. Bahkan tidak hanya saja
13
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung: Alumni, 2011), Hlm.
43.
dilakukan oleh orang-orang dewasa saja, akan tetapi juga anak-anak yang
dikategorikan oleh hukum masih dibawah umur sebagai pelakunya tindak
pidana. Perbuatan anak yang nyata-nyata bersifat melawan hukum,
dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Sebagai akibatnya,
kehidupan masyarakant menjadi resah, timbul perasaan tidak aman dan
nyaman, Oleh karena itu, diperlukan adanya perhatian terhadap
penanggulangan dan penaganannya, khususnya dibidang hukum pidana
beserta hukum acaranya. Adapun hukuman atau pemidanaan yang
dijatuhkan terhadap anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana
yang di atur dalam perundang-undangan ataupun dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Anak yang yang dikategorikan sebagai
anak dibawah umur adalah bila anak tersebut belum berusia delapan belas
(18) tahun.14
Setiap anak memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara
utuh, serasi, selaras dan seimbang. Pembinaan dan perlindungan anak ini tak
mengecualikan pelaku tindak pidana anak, yang kerap disebut sebagai anak
nakal. Selama ini, penanganan perkara pidana yang pelakunya masih
tergolong anak dibawah umur, dapat dikatakan hampir sama penanganannya
dengan perkara-perkara pidana yang pelaku tindak pidananya adalah orang
dewasa dan dalam proses pemeriksaan terhadap anak adalah apabila
terhadap tersangka anak tersebut dilakuan penahanan, dari segi waktu tidak
14
Andi Hamzah, KUHP & Kuhapedisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta., 2011)
berbeda dengan waktu penahanan yang berlaku bagi orang dewasa. Begitu
pula petugas pemeriksa dalam memeriksa tersangka anak-anak dilakukan
dengan cara yang sama dengan orang dewasa. Selain itu tidak dibedakannya
ruang tahanan nara pidana anak dengan nara pidana dewasa dengan alasan
karena kamar tahanan tidak mencukupi, maka terpaksa di campur, dengan
pelaku tindak pidana dewasa. Tindakan pencampuran ini kurang bijaksana,
karena anak-anak tersebut dapat menimba modus operandinya.15
Dalam
pertimbangan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai anak nakal, bukan
merupakan proses tanpa prosedur dan dapat dijustifikasi oleh setiap orang.
Pemberian kategori anak nakal merupakan justifikasi yang dapat dilakukan
melalui sebuah proses peradilan yang standartnya akan ditimbang serta
dibuktikan dimuka hukum. Dengan adanya perubahan tersebut, maka
diharapkan penanganan perkara anak sudah dapat dibedakan dengan perkara
orang dewasa demi perkembangan psikologis anak serta kepentingan dan
kesejahteraan masa depan anak.
Dalam meminimalisir kasus yang merugikan anak, Negara dan/atau
Pemerintah telah berupaya memberi perhatiannya dalam wujud Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun hal tersebut
belum mampu menekan peningkatan kuantitas dan kualitas kasus yang
melibatkan anak baik Sebagai korban maupun pelaku tindak pidana. Untuk
menyikapi hal itu, maka Negara/Pemerintah, telah merumuskan suatu
15
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2008), Hlm. 51.
peraturan Perundang-Undangan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan diberlakukan
untuk mengatasi dan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan
oleh anak. Dengan adanya dan berlakunya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut Diharapkan
dapat lebih tepat dan optimal dalam menangani serta menyelesaikan perkara
anak yang melakukan tindak pidana. Pemberian kategori anak nakal
merupakan justifikasi yang dapat dilakukan melalui sebuah proses peradilan
yang standartnya akan ditimbang serta dibuktikan, seorang anak yang masih
dibawah umur dan dikategorikan “belum dewasa” menurut hukum maka
seharusnya dalam menjatuhkan putusan atau sanksi pidana hendaklah
memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak.
Indonesia sudah memiliki sejumlah aturan untuk melindungi,
mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak.16
Hal ini seharusnya sudah
dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan
anak dalam sistem peradilan pidana anak berdasarkan undang-undang yang
sudah mengaturnya terlebih dahulu, akan tetapi dalam prakteknya
instrument hukum dalam bidang perlindungan anak ini masih belum
sepenuhnya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan peraturan
perundang-undang yang berlaku.
Penulisan ini menekankan pada anak-anak, mengingat dewasa ini
sering kita membaca dan mendengar baik melalui media cetak ataupun
16 Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, (Yogyakarta: PT. Liberti, 1999)
hlm. 45.
melalui media elektronik terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak
dibawah umur, misalnya: pencabulan, pelecehan seksual, narkoba dan lain
sebagainya sehingga ia menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Untuk menjadikan anak-anak pidana tersebut bisa berguna lagi baik untuk
dirinya, keluarga dan Negara, maka narapidana anak tersebut harus
mendapatkan pembinaan-pembinaan. Baik yang berhubunngan dengan
keagamaan maupun dengan psykologinya, dan yang menjalankan fungsi
pembinaan tersebut adalah institusi Pemasyarakatan.
Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan dan
penyelenggaraannya, program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
khususnya di Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Bangkinang ditekankan
pada kegiatan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.
Pembinaan ke pribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar
bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan
pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan
agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Proses pembinaan sangat berkaitan erat dengan existensi
pemasyarakatan. Pemasyarakatan sebagai salah satu penyelenggara negara
yang mempunyai tugas dan fungsi dalam penegakan hukum, terutama dalam
hal pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, wajib untuk
mengimplementasikan tugas dan fungsinya tersebut secara optimal, agar apa
yang di amanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 terlaksana dengan baik
sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama. Tugas berat ini dapat
terlaksana bila semua unsur yang terdapat di Pemasyarakatan bekerja
bersama-sama dan sinergi antara satu dengan yang lainnya.
Mengingat seseorang yang dipenjara karena melakukan pelanggaran
hukum khususnya anak maka ia akan mengalami proses sosial seperti apa
yang disebut dengan istilah prisonisasi yaitu: proses terjadinya pengaruh
negatif (buruk) yang diakibatkan oleh sistem nilai yang berlaku dalam
budaya penjara yang bersumber dari kekuatan-kekuatan yang merusak
didalam hubungan kehidupan para penghuni penjara.
Kemudian terdapat lagi istilah stigmatisasi yang diartikan sebagai
pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan yang dilakukan dalam
proses peradilan bahwa ia adalah seorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih
dalam lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang
bersangkutan, lebih bersar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai
benar-benar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebih
besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai
anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya. Selanjutnya hal tersebut
membawa kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya prilaku yang
menyimpang yang sekunder yang menjadi sumber utama terjadinya
kejahatan ulang (Residivis).17
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas
narapidana anak yang sedang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakata
17Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT Aksara Baru), hlm. 34.
khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Bangkinang, karena
anak merupakan cikal bakal dan pilar kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab
itu penulis ingin mengetahui sudah seberapa besarkah perananan yang
dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Bangkinang dalam
memberikan pembinaan kepada narapidana anak. Asumsi sementara, proses
pembinaan yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Bangkinang belum maksimal. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
narapidana yang sudah bebas, kemudian mengulangi lagi tindak pidana dan
masuk kembali ke Lembaga Pemasyarakatan, maka penulis tertarik untuk
meneliti tesis dengan judul, “Pelaksanaan Pembinaan Anak Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II B Bangkinang Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pembinaan anak di lembaga
pemasyarakatan kelas II B Bangkinang berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?
2. Apakah yang menjadi hambatan dalam Pelaksanaan Pembinaan Anak
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Bangkinang berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan anak di lembaga
pemasyarakatan kelas IIB Bangkinang berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
b Untuk mengetahui hambatan-hambatan pelaksanaan pembinaan anak
di lembaga pemasyarakatan kelas II B Bangkinang berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
2. Kegunaan Penelitian
a Penelitian ini untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis
khususnya mengenai masalah yang diteliti.
b Penelitian ini penulis berharap dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat mengenai pelaksanaan pemidanaan terhadap anak yang
sebagaimana mestinya di terapkan berdasarkan undang-undang yang
berlaku.
c Penelitian ini sebagai alat mendorong bagi rekan-rekan
Mahasiswa/mahasiswi untuk melakukan penelitiam selanjutnya terkait
masalah yang akan diteliti.
D. Kerangka Teori
1. Teori Penegakan Hukum
Apabila kita bicara penegakan hukum pada hakikatnya
mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Nilai keaadilan
yang didambakan ialah nilai yang sesuai dengan pancasila sebagai
falsafah bangsa Indonesia merupakan nilai yang dapat memelihara dan
mempertahankan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara
kepentingan individu di satu pihak, dan kepentingan masyarakat dilain
pihak. Nilai keadilan inilah yang merupakan nilai yang terpenting dari
setiap peraturan perundang-perundangan, dengan kata lain kaidah-
kaidah hukum itu tidak hanya merupakan kaidah yang adil.18
Penegakan hukum selalu melibatkan manusia didalamnya dan
juga melibatkan tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat berdiri
sendiri artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji
serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan)
hukum. Janji dan kehendak tersebut, misalnya untuk memberikan hak
kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang
memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.19
Soerjono Soekanto mengatakan Secara konsepsional inti dan arti
dari penegakan terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-
nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap pergaulan hidup.
Didalam penegakan hidup pasangan nilai-nilai ketertiban dan nilai
ketentraman, nilai kepentingan umum dan nilai kepentingan pribadi,
nilai kelestarian dan nilai inovastisme yang dijabarkan dalam kaidah-
18
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme Dan
Abolisionisme, (Bina Cipta, Bandung, 1996), Hlm. 68.
19
Satjipto Raharjo, Penegak Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta
Pubishing , 2009), Hlm. 7.
kaidah hukum yang kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi
perilaku atau sikap tindak dianggap pantas yang bertujuan untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.20
Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan
dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi
kenyataan, yaitu hukum pidana menurut Van Hammel adalah
keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara adalam
kewajibannya untuk menegakan hukum, yakni dengan melarang dengan
apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan
nestapa (pemderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-
mata berarti pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam
kenyataan di Indonesia kecenderungan untuk mengartikan penegakan
hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian
yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan
perundang-undangan atau keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan
justru mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.21
Adapun teori keadilan yang digunakan dalam hal penegakan
hukum harus memperhatikan konsep-konsep kejujuran, persamaan,
tidak memihak serta pemberian sanksi dan hadiah yang patut. Demikian
tujuan hukum adalah untuk ketertiban, kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan dan tujuan pembuatan peraturan perundang-undangan
20
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.5.
21
Ibid, hlm. 8
adalah untuk mencapai ketertiban. Secara legitimasi yang berpengaruh
terhadap ketahanan sosial sebagai tujuan negara.22
Penegakan hukum
dengan produk hukum yang saling tumpah tindih menimbulkan
masalahnya masing-masing, yang pada akhirnya kriminalisasi suatu
perbuatan menjadi tindak pidana sangat mudah, akhirnya nilai keadilan
dalam masyarakat hanya menjadi slogan didalam penegakan hukum.
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegak hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai
arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnyaterletak pada isi
faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang
saja
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
22
Sabian Utsman, Menuju Penegak Hukum Responsif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 37.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
2. Teori pemidanaan
Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam
sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana.Sedangkan istilah
pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.23
Pada
dasarnya hukum pidana memang berfokus pada pengaturan tentang
masalah kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat.Hukum pidana
menjadi penjaga agar masyarakat terhindar dari kejahatan.Kalau
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai The Guardian of
Constitution, maka hukum pidana dalam hubungannya dengan
kejahatan layak disebut sebagai The Guardian of Security yang
berusaha memberikan jaminan agar masyarakat tidak menjadi korban
kejahatan.24
Tujuan hukum pidana tidak melulu dicapai dengan pengenaan
pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat, berupa tindakan-
tindakan pengamanan.Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang
dikenakan kepada pembuatanya, karena melakukan suatu delik.Ini
bukan merupakan tujuan akhir, tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaaan
antara pidana dan tindakan, karena tindakan dapat berupa nestapa juga,
tetapi bukan tujuan.Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi
23
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Perkembangannya,
(Jakarta: Sofmedia, 2012), hlm. 35. 24
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2014), hlm.1.
satu, yaitu memperbaiki pembuat.Jika seorang anak dimasukkan ke
pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki tingkah lakunya
yang buruk.25
Tujuan hukum pidana itu adalah untuk melindungi kepentingan
orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan
masyarakat dan negara dengan perinmbangan yang serasi dari
kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa
yang sewenang-wenang di lain pihak. Dengan demikian, yang
dilindungi oleh hukum pidana bukan saja individu, tetapi juga negara,
masyarakat harta benda milik individu.26
Dalam banyak literatur hukum pidana, disebutkan bahwa tujuan
hukum pidana adalah antara lain untuk:27
1. Untuk menaku-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan
perbuatan yang tidak baik (aliran klasik);
2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan
tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam
kehidupan lingkungannya (aliran modern).
Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana untuk melindungi
individu dari kekuasaan penguasa atau negara.Sebaliknya menurut
aliran modern mengajarkan tujuan huku pidana untuk melindungi
masyarakat terhadap kejahatan, dengan demikian hukum pidana harus
memerhatikan kejahatan dan keadaan penjahat, maka aliran ini
25
Andi Hamzah, Op.Cit.,hlm.35-36. 26
Erdianto Effendi, Op.Cit.,hlm.33. 27
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.14.
mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi.28
Menurut
Remmelink hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri, tetapi
ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat
hukum.Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung
pada paksaan.29
Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan pidana biasa disingkat
dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan
Retribution, sedangkan satu D ialah Deterrence, yang terdiri atas
individualdeterrence dan generaldeterrence (pencegahan khusus dan
pencegahan umum).30
Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat
menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan
memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika
penjahat menjadi baik. Reformasi perlu digabung dengan tujuan yang
lain seperti pencegahan. Kritikan terhadap reformasi ialah ia tidak
berhasil, ketidakberhasilannya nyata banyaknya residivis setelah
menjalani pidana penjara. Yang perlu ditingkatkan dalam sistem
reformasi ini ialah intensitas latihan dipenjara lebih ditingkatkan.31
Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat.
Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti
masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Jadi ada kaitannya juga
28
Ibid., 29
Andi Hamzah, Op.Cit.,hlm.36. 30
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Perkembangannya,
(Jakarta: Sofmedia, 2012), hlm. 37. 31
Ibid.,hlm. 39
dengan sistem reformasi, jika dipertanyakan berapa lama terpidana
harus diperbaiki di dalam penjara yang bersamaan dengan itu ia tidak
berada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memerlukan
perlindungan fisik dari perampok bersenjata dan penodong daripada
orang yang melakukan penggelapan.32
Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah
melakukan kejahatan.Sekarang ini, banyak dikritik sebagai sistem yang
bersifat barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat yang
beradab.Namun, bagi yang pro pembalasan ini mengatakan, bahwa
orang yang menciptakan sistem yang lebih lunak kepada penjahat
adalah seperti reformasi itu membuat Magna Charta bagi penjahat
(Magna Charta for Law Breaker). Sifat primitif hukum pidana memang
sulit dihilangkan, berbeda dengan bidang hukum yang lain.33
3. Teori Sistem Peradilan Pidana
Istilah “criminal justice system” atau sistem peradilan pidana
kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja
dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar
pendekatan sistem.34
Sistem peradilan pidana disebut juga sebagai
“criminal justice process” yang dimulai dari proses penangkapan,
32
Ibid., 33
Ibid., 34
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010),
hlm.2.
penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta
diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.35
Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana merupakan “sistem terpadu” (integrated criminal
justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan
prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai
dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang
kepada masing-masing.36
Tujuan pokok “gabungan fungsi” dalam
kerangka criminal justice system: untuk “menegakkan, melaksanakan
menjalankan”, dan “memutuskan hukum pidana”.37
(a) Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana
dapat dirumuskan: mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan;
(b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah di pidana;
dan
(c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatannya.38
35
Yesmil Anwar Dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep,Komponen, Dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009),
hlm.33. 36
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan
Penuntutan (Jakarta: Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2008), hlm.90. 37
Ibid.,
38
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010),
hlm. 3.
Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana tersebut
masing-masing petugas hukum (polisi, jaksa, hakim) meskipun tugas
berbeda-beda tetapi mereka harus bekerja dalam satu kesatuan sistem.
Artinya, kerja masing-masing petugas hukum tersebut harus
berhubungan secara fungsional. Karena, seperti yang diketahui bahwa
penyelenggaraan peradilan tersebut, adalah merupakan suatu sistem,
yaitu suatu keseluruhan terangkai yang terdiri dari atas unsur-unsur
yang saling berhubungan secara fungsional.39
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan
bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal justice
system”.40
Dalam sistem peradilan pidana yang lazim, selalu melibatkan
dan mencakup sub-sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses
peradilan pidana sebagai berikut:41
1. Kepolisian, dengan tugas utama: menerima laporan dan pengaduan
dari publik manakala terjadinya tindak pidana; melakukan
penyelidikan adanya penyidikan tindak pidana; melakukan
penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk
39
Yesmil Anwar Dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, Dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009),
hlm. 28. 40
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010),
hlm. 7.
41
Yesmil Anwar Dan Adang, Op.Cit, hlm.64.
diajukan ke kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan kepada
kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat
dalam proses peradilan pidana.
2. Kejaksaan dengan tugas pokok: menyaring kasus yang layak
diajukan ke pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan;
melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
3. Pengadilan yang berkewajiban untuk: menegakkan hukum dan
keadilan ; melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara
efisien dan efektif; memberikan putusan yang adil dan berdasarkan
hukum; dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga
publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses
peradilan tingkat ini.
4. Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk : menjalankan
putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan; memastikan
perlindungan hak-hak narapidana; mempersiapkan narapidana untuk
kembali ke masyarakat.
5. Pengacara, dengan fungsi: melakukan pembelaan bagi klien; dan
menjaga hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana.
Hal terpenting bagi suatu proses sistem adalah keseimbangan
potensi dan fungsi masing-masing komponennya. Kerusakan salah satu
komponen dapat merusak kesimbangan global, dan karenanya akan
berpengaruh terhadap perwujudan tujuan sistem itu.42
Oleh karena itu, sistem peradilan pidana melalui produk
peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 yang menjadi dasar penyelenggaraan dari sistem
peradilan pidana, belum benar-benar mencantumkan terhadap apa yang
di isyaratkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan falsafah negara
Pancasila tersebut.
Hal demikian memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem
peradilan pidana sebagai basis penyelesaian perkara pidana tidak
mengakui eksitensi korban tindak pidana selaku pencari keadilan,
seorang korban tindak pidana akan menderita kembali sebagai akibat
dari sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak bisa
dilibatkan secara aktif seperti halnya dalam beracara perdata, tidak
dapat langsung mengajukan sendiri perkara pidana ke pengadilan
melainkan harus instansi yang ditunjuk (kepolisian dan kejaksaan).
E. Konsep Operasional
Guna lebih terarahnya penelitian ini dan untuk menghindari
kesimpang siuran dalam memahami judul tersebut, maka penulis
memberikan penjelasan dan batasan-batasan tentang istilah yang
digunakan dalam judul penelitian ini.
42
Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi Dan Fungsinya Dari Persfektif Hukum, (Jakarta:
Gramedia, 2005), hlm. 101.
Makna Pembinaan disini adalah Kegiatan untuk meningkatkan
kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap
dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan
anak didik pemasyarakatan.43
Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang pelindungan anak).
Narapidana anak atau anak didik Pemasyarakatan adalah:
a Anak pidana
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana
lapas anak. Paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun.
b Anak negara
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
kepada negara untuk di didik dan dtempatkan di lapas anak.
Paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
c Anak sipil
Anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh menetapan pengadilan untuk di didik di lapas
anak, paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
43
PP 31 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 adalah Undang-Undang
tentang Pemasyarakatan. Selanjutnya disebut Lembaga Pemasyarakatan
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak
didik Pemasyarakatan.44
Bangkinang adalah sebuah kabupaten kampar yang ada di
Daerah Provinsi Riau dan berjarak 60 km dari Kota Pekanbaru (ibu kota
provinsi Riau)
Dari pengertian ini didapat bahwa adanya pembinaan yang
diberikan oleh suatu pihak, dalam hal ini pihak Lembaga
Pemasyarakatan kepada pihak lain yaitu anak didik pemasyarakatan.
Hal ini terlihat jelas dengan adanya dua pihak yang saling berkaitan
antara satu dengan yang lainnya yaitu pemerintah dalam hal ini pihak
Lembaga Pemasyarakatan.
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini untuk memperoleh hasil sebagaimana
yang diharapkan dan memperoleh data yang akurat, maka penulis menyusun
metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Dan Sifat Penelitian
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini tergolong kedalam penelitian
lapangan, yaitu Observation Reseach, dimana dilakukan dengan cara
survey. Sedangkan dilihat dari jenisnya penelitian ini bersifat deskriptif,
44 Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
yaitu untuk memberikan gambaran pembinaan yang diberikan oleh
Lembaga Pemasyarakatan kepada narapidana anak.45
2. Lokasi penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan penelitian
maka penelitian ini dilakukan diwilayah hukum Lembaga
Pemasyarakatan kelas II B Bangkinang.
3. Populasi dan Sampel
Adapun yang menjadi populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah
terdiri dari beberapa unsur yaitu:
a Petugas pembinaan Anak Lembaga Pemasyarakatan kelas II B
Bangkinang sebanyak 2 orang.
b Narapidana anak sebanyak 6 orang.
Karena jumlah populasi relative besar, maka penentuan sampel
dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 31% dari jumlah
populasi narapidana anak yang sedang menjalani pidana penjara
dengan jumlah 19 (Sembilan belas) orang sehingga diperoleh
sampel masing-masing sebanyak 6 orang.
c Kakanwil Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi
Riau
45
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
Hlm.52.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini, dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yaitu :46
a. Data Primer
Data primer adalah data yang penulis dapatkan atau peroleh secara
langsung melalui responden di lapangan melalui pembagian
kuisioner dan wawancara yang berkenan dengan pembinaan serta
peran serta lembaga pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan
kepada narapidana anak.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari berbagai studi
kepustakaan serta peraturan Perundang-Undangan, buku-buku
literatur serta pendapat para ahli yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian ini.
c. Data Tersier
Data tersier adalah suatu kumpulan dan kompilasi sumber primer
dan sumber sekunder. Contoh sumber tersier adalah bibliografi,
katalog perpustakaan, direktori, dan daftar bacaan.
46
Amirudin Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), Hal.32.
5. Teknik Pengumpulan Data
Kuisioner diajukan kepada narapidana anak yang berjumlah 6 orang
adalah suatu daftar pertanyaan yang telah dibuat dan disusun secara
sistematis dengan sistem tertutup artinya dalam pengisian kuisioner
tersebut responden hanya dapat memilih dan menjawab sendiri
pertanyaannya yang diajukan kepadanya. Sistem ini sengaja digunakan
untuk memudahkan identifikasi permasalahan.
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.47
.
Wawancara dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Bangkinang. Kakanwil Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Provinsi Riau. Wawancara dipergunakan untuk mengumpulkan data
primer dari instansi terkait yang terpilih sebagai responden.
Kajian Kepustakaan yaitu penulis mengambil kutipan dari buku bacaan,
literatur, atau buku pendukung yang memiliki kaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti.
6. Analisis Data
Berdasarkan dengan rumusan permasalahan dan pembahasan atas
permasalahan yang dipergunakan maka teknik analisis data penulis
lakukan dengan metode kualitatif, yaitu menguraikan data yang
diperoleh dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, dan efektif sehingga
dapat memberikan penjelasan atas rumusan permasalahan yang penulis
47
Burhan Ashshafa, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Hlm. 95.