bab i pendahuluan a. latar...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab kematian tertinggi di dunia. Berdasarkan fakta angka kematian akibat pernyakit kardiovaskuler mencapai sekitar 17,5 juta orang setiap tahun. Tahun 2012, penyakit jantung iskemik dan stroke menjadi penyebab kematian berturut-turut bagi 7,4 juta orang di dunia dan stroke menjadi penyebab kematian 6,7 juta orang (WHO, 2014). Salah satu yang menjadi faktor penyebab penyakit kardiovaskuler adalah agregasi platelet yang abnormal. Penyakit ketidaknormalan vaskuler bisa ditangani dengan obat-obatan yang bersifat antitrombosis, antiplatelet, antikoagulan, dan fibrinolotik. Diantara berbagai jenis obat tersebut, antiplatelet merupakan obat yang paling banyak digunakan. Antiplatelet merupakan obat yang memiliki mekanisme menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus. Sering ditemukan pada sistem arteri yang bekerja mencegah pelekatan (adhesi) platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera atau dengan platelet lainnya, yang merupakan tahap awal terbentuknya trombus. Aspirin adalah salah satu dari obat antiplatelet tersebut namun aspirin tergolong Non-Steroidal Anti- Inflammatory Drug (NSAID) sehingga memiliki efek samping salah satunya yaitu menyebabkan iritasi lambung akibat penghambatan enzim COX secara tidak selektif khususnya COX-1. Kerugian pada pemakaian aspirin sebagai antiplatelet tersebut mendasari pencarian alternatif obat baru yang memiliki kemampuan

Upload: duongphuc

Post on 10-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab kematian tertinggi di dunia.

Berdasarkan fakta angka kematian akibat pernyakit kardiovaskuler mencapai

sekitar 17,5 juta orang setiap tahun. Tahun 2012, penyakit jantung iskemik dan

stroke menjadi penyebab kematian berturut-turut bagi 7,4 juta orang di dunia dan

stroke menjadi penyebab kematian 6,7 juta orang (WHO, 2014). Salah satu yang

menjadi faktor penyebab penyakit kardiovaskuler adalah agregasi platelet yang

abnormal. Penyakit ketidaknormalan vaskuler bisa ditangani dengan obat-obatan

yang bersifat antitrombosis, antiplatelet, antikoagulan, dan fibrinolotik. Diantara

berbagai jenis obat tersebut, antiplatelet merupakan obat yang paling banyak

digunakan. Antiplatelet merupakan obat yang memiliki mekanisme menghambat

agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus.

Sering ditemukan pada sistem arteri yang bekerja mencegah pelekatan (adhesi)

platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera atau dengan platelet lainnya,

yang merupakan tahap awal terbentuknya trombus. Aspirin adalah salah satu dari

obat antiplatelet tersebut namun aspirin tergolong Non-Steroidal Anti-

Inflammatory Drug (NSAID) sehingga memiliki efek samping salah satunya yaitu

menyebabkan iritasi lambung akibat penghambatan enzim COX secara tidak

selektif khususnya COX-1. Kerugian pada pemakaian aspirin sebagai antiplatelet

tersebut mendasari pencarian alternatif obat baru yang memiliki kemampuan

2

menekan agregasi platelet. Tanaman obat telah dapat diterima secara luas di dunia

untuk memelihara dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Manusia memiliki

kecenderungan untuk kembali ke alam dalam hal memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari termasuk menggunakan obat sebagai solusi masalah kesehatan kini

semakin besar. World Health Organization (WHO) sendiri menganggap bahwa

obat yang berasal dari tanaman obat sangat penting peranannya dalam menunjang

upaya kesehatan masyarakat (Soemantri, 1993). Indonesia merupakan negara

yang kaya akan berbagai jenis tanaman sebagai kearifan lokal yang banyak

digunakan sebagai sumber obat tradisional. Biodiversitas yang tinggi tersebut

membuka peluang ditemukannya obat baru dari senyawa alami dalam tumbuhan

obat. Beranjak dari sini maka diperlukan adanya metode skrining tanaman

berpotensi antiplatelet yang dapat dengan mudah dikerjakan dan cepat dengan

tidak meninggalkan selektivitas dan keakuratan.

Penelitian pendahuluan telah dilakukan terhadap 150 jenis tumbuhan

Indonesia menunjukkan bahwa beberapa ekstrak tumbuhan asal Indonesia

memiliki aktivitas antiagregasi platelet. Dimana 150 jenis tanaman tersebut dibuat

tiga stok konsentrasi uji yakni 10 mg/mL, 2 mg/mL dan 0,5 µg/mL kemudian

diuji pada platelet darah yang diinduksi CaCl2 (Husni; Wardana; Wulandari, 2015)

(Mufinnah, 2016). Metode yang digunakan adalah microplate screening assay

seperti yang dilakukan oleh Pimentel et al., (2003). Diperoleh 7 jenis ekstrak

tumbuhan yang dinilai berpotensi sebagai antiplatelet karena ketujuh ekstrak

tumbuhan tersebut mampu menghambat agregasi platelet terinduksi CaCl2 pada

konsentrasi 10 mg/mL dan 2 mg/mL, sedangkan pada ekstrak tumbuhan lainnya

3

sudah terjadi agregasi platelet pada kedua konsentrasi uji tersebut. Ketujuh ekstrak

tumbuhan tersebut diantaranya adalah ekstrak etanolik kulit buah Garcinia

mangostana, daun Avverhoa bilimbi, daun Physallis angulata, ekstrak metanol

kulit batang Cinnamomum sintoc Bl, herba Tetracera Maingayi, daun Rubus

chrysophyllus Rienw. Ex. Miq., herba Leea aequata, ekstrak diklorometan

kelopak buah Physallis angulata, dan ekstrak kloroform herba Tetracera

maingayi. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui kemampuan beberapa

ekstrak tumbuhan Indonesia dalam menghambat agregasi platelet secara in vitro

agar selanjutnya dapat ditentukan apakah ekstrak-ekstrak tersebut cukup poten

sebagai agen kardioprotektif.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat ditarik suatu

rumusan masalah:

Apakah ekstrak ekstrak etanolik kulit buah Garcinia mangostana, daun Avverhoa

bilimbi, daun Physallis angulata, ekstrak metanol kulit batang Cinnamomum

sintoc Bl., herba Tetracera Maingayi, daun Rubus chrysophyllus Rienw. Ex. Miq.,

herba Leea aequata, ekstrak diklorometan kelopak buah Physallis angulata, dan

ekstrak kloroform herba Tetracera maingayi dapat memberikan efek antiplatelet

pada platelet yang diinduksi ADP dan epinefrin?

4

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi aktivitas antiplatelet ekstrak

etanolik kulit buah Garcinia mangostana, daun Avverhoa bilimbi, daun Physallis

angulata, ekstrak metanol kulit batang Cinnamomum sintoc Bl., herba Tetracera

Maingayi, daun Rubus chrysophyllus Rienw. Ex. Miq., herba Leea aequata,

ekstrak diklorometan kelopak buah Physallis angulata, dan ekstrak kloroform

herba Tetracera maingayi yang diinduksi ADP dan epinefrin.

D. TINJAUAN PUSTAKA

1. Platelet

Platelet darah manusia atau trombosit berukuran kecil dan berbentuk

cakram, dengan dimensi kira-kira 2-5 mikron. Platelet merupakan sel terbanyak

kedua pada darah yang normalnya bersirkulasi antara 150–450x109 /L. Platelet

tidak mempunyai nukleus pada selnya, berasal dari megakariosit dan biasanya

berada di sirkulasi selama sepuluh hari (George, 2000).

Platelet memainkan peran yang penting pada sistem homeostasis ketika

terjadi kerusakan jaringan. Mereka berinteraksi dengan plasma clotting factors di

lokasi pembuluh darah yang terluka membentuk mekanisme penyumbatan yang

memblok kerusakan jaringan dan mengakhiri kehilangan darah (Harker & Mann,

1992).

Agregasi platelet diinduksi dengan aksi agonis endogen seperti asam

arakhidonat (AA), adenosine difosfat (ADP), platelet activating factor (PAF),

5

trombin, dan kolagen (Arita et al., 1989). Kecenderungan platelet untuk

mengumpul pada pembuluh darah yang cedera pertama kali diketahui lebih dari

seratus tahun yang lalu (Bizzozero, 1882).

Fenomena ini dideskripsikan sebagai kohesi platelet walaupun secara

umum lebih diketahui sebagai agregasi platelet, dan kemudian diidentifikasikan

penting untuk formasi penyumbatan homeostatis. Waktu itu juga dipahami

agregasi platelet yang abnormal memainkan peranan peran kunci pada

perkembangan trombosis, sampai seabad kemudian secara luas dapat diterima

hiperaktivitas platelet memegang peranan sangat penting pada perkembangan

penyakit kardiovaskular. Akibatnya, inhibitor agregasi platelet secara pesat

menjadi bagian penting untuk pencegahan dan perawatan pada banyak penyakit

atherothrombotic (Jackson, 2007).

2. Platelet dan Agregasi Platelet

Platelet berbentuk bulat pipih. Bentuk dan ukurannya yang sangat kecil

tersebut mengakibatkan platelet terdorong ke tepi pembuluh oleh aliran darah,

membuat platelet terkonsentrasi di dekat permukaan apikal endotelium sehingga

platelet dapat mendeteksi dengan cepat adanya kerusakan vaskuler (Hartwig,

2013). Dalam keadaan inaktif, trombosit bentuknya seperti cakram bikonveks

dengan diameter 2-4 μm. Platelet dapat mengalami perubahan bentuk ketika

teraktivasi yaitu dari bentuk diskoid menjadi sferis berduri-duri. Fenomena ini

disebut metamorphosis viskus (Firkin, 1984). Ketika terjadi luka, reaksi awal

yang memicu penggumpalan darah diperantarai terutama oleh platelet dan

perubahan dinding pembuluh darah. Saat luka operasi, dinding pembuluh darah

6

yang rusak mengeluarkan kolagen subendotelial, mengikat faktor von Willebrand

dalam plasma, kemudian mengubah struktur dinding pembuluh darah sehingga

platelet dapat melekat. Proses ini dinamakan adhesi platelet dan diperantarai

reseptor glikoprotein Ib dan IIb/IIIa pada membran platelet. Setelah proses

tersebut, platelet teraktivasi. Saat aktivasi, platelet berubah bentuk dari bulat pipih

menjadi bulat utuh dan mempunyai kaki semu yang kemudian menyebar ke

jaringan-jaringan yang luka. Proses inilah yang disebut agregasi platelet.

Gambar 1 Adhesi dan agregasi platelet (Harrison, 2005)

Setelah terjadi agregasi, platelet melepaskan granul-granul melalui sistem

kanalikularnya. ADP memicu lepasnya kandungan granul dari platelet-platelet di

sekitarnya dan membuat platelet lekat satu sama lain sehingga membentuk sumbat

hemostatis. Selain ADP, platelet bisa teraktivasi oleh agonis lain seperti yang

disebutkan pada tabel 1.

7

Faktor aktivasi platelet:

(Trombin, serotonin, ADP, epinefrin, kolagen)

Permukaan reseptor

Fosfolipase

PIP2

IP3 DAG

Pelepasan Ca2+ PKC

Prostanoid Pengikatan fibrinogen & agregasi

TXA2

Aktivasi platelet lebih lanjut

Gambar 2 Mekanisme Aktivasi Platelet (Willoughby et al., 2002)

Gambar 3 Jalur aktivasi reseptor platelet (Varga-Szabo et al., 2008)

8

Tabel 1. Agonis dan Reseptornya (Badimon & Vilahur, 2008)

Agonis Reseptor Platelet

ADP P2Y1, P2Y12

ATP P2X1

Kolagen GPIa/IIa

Gas 6 Axl, Tyro-3, Mer

Epinefrin α2-adrenergik

Platelet Activating Factor PAF-receptor

von Wilbrand Factor GPIb, GPIIb/IIIa

Fibrinogen GPIIb/IIIa

Fibrinocetin GPIc/IIa, GPIIb/IIIa

Laminin GPIc/IIa

Serotonin 5-HT2

Trombin PAR-1, PAR-2

Trombosopondin Vitronectin receptor, GPIIb/IIIa

Tromboksan A2 TP

Vasopresin V1

Vitronectin Vitronectin receptor

3. Adenosin Difosfat (ADP)

Adenosin difosfat (ADP) adalah agonis platelet yang memegang peranan

penting dalam hemostasis dan pada patofisiologis trombosis arteri. ADP

menyebabkan platelet mengalami perubahan bentuk, melepas granul dan

teragregasi melalui efeknya pada reseptor P2Y1, P2Y12 dan P2X1. (Gachet et al.,

1997). Meskipun ketiga reseptor tersebut dibuthkan untuk agregasi platelet,

aktivasi P2Y12 memainkan peranan penting untuk agregasi platelet berkelanjutan

dan stabilitas agregat platelet (Bertrand et al., 2000). Setelah agonis mengaktifkan

ADP, platelet menghidrolisis fosfolipid dimana terdapat asam arakhidonat dan

mengubahnya menjadi tromboksan A2 oleh oksigenasi berurutan melalui jalur

siklooksigenase dan tromboksan A2 sintetase (Samuelsson et al., 1978).

Pelepasan tromboksan A2 beraksi sebagai mediator umpan balik positif

pada aktivasi dan rekruitmen lebih banyak platelet saat hemostatik primer

9

(Hourani & Cusack., 1991). ADP juga menyebabkan adhesi platelet terhadap

vitronektin atau osteopontin yang mungkin memainkan peranan penting dalam

penahanan platelet pada plak aterosklerotik dan pada dinding arteri yang terluka

(Bennett et al., 1997).

4. Epinefrin

Epinefrin (adrenalin) sebagai agonis adrenergik secara rutin digunakan

untuk meningkatkan aliran darah serebral dan miokardial dengan mencegah

arterial collapse dan dengan menambah tekanan diastolik aorta melalui reseptor

alfa-1 dan inhibisi alfa-2 (Sreevastava et al., 2004). Reseptor alfa-1 adrenergik

menstimulasi peningkatan tekanan perfusi koroner (Huang, 2013).

Epinefrin telah lama dianggap sebagai pilihan pengobatan pada anafilaksis

(Bochner & Lichtenstein, 1992). Penambahan epinefrin pada sitrat-prp

menyebabkan agregasi sebagaimana yang terdeteksi dari kenaikan transmisi

cahaya ataupun penurunan kandungan platelet. (O’Brien, 1964). Epinefrin bekerja

melalui stimulasi reseptor alfa dan beta-1 adrenergik, dan memiliki aktivitas

moderat pada adrenergik beta-2 reseptor (Nash, 1990). Epinefrin menginduksi

agregasi platelet melalui jalur reseptor α-2 adrenergik memacu reduksi aktivitas

adenilat siklase (Zhou & Schmaier, 2005) sehingga kadar cAMP turun (Spalding,

1998) dan Ca2+

meningkat dan terlepas menuju sitosol melalui rangsangan IP3

(Zhou & Schmaier, 2005).

5. Yohimbin

Yohimbin adalah alkaloid tanaman yang pada awal penemuannya

didapatkan dari kulit pohon Pausynistalia yohimbe dan berbagai sumber lain.

10

Yohimbin digunakan sebagai afrodisiaka. Yohimbin memiliki afinitas tinggi

terhadap reseptor alfa-2 dan studi baru-baru ini pada hewan menunjukan

yohimbin sebagai antagonis relatif reseptor alfa-2. Yohimbin mengantagonis alfa-

adrenergik, menghambat transmisi adrenergik dan membalikan efek pada

beberapa agen antihipertensi secara terpusat. Lebih jauh yohimbin memberikan

efek pada peningkatan tekanan darah dan detak jantung (Goldberg & Robertson,

1983). Yohimbin adalah salah satu antagonis selektif reseptor α-2 adrenergik dan

memiliki afinitas tinggi pada ikatan radioligan (Goldberg et al., 1983; Grunhaus et

al., 1989). Yohimbin merupakan antagonis reseptor α-2 adrenergik dengan

aktivitas di pusat dan peripheral pada sistem syaraf (Morales, 2001). Yohimbin

menghambat respon platelet terhadap katekolamin termasuk gelombang agregasi

pertama dan kedua, menghambat pelepasan 5-HT (serotonin), menghambat

produksi TX-A2 (tromboksan A2) (Lahiri et al., 2009).

6. Ticagrelor

Ticagrelor adalah obat antiplatelet oral seperti klopidogrel dan prasugrel.

Ticagrelor juga menghambat agregasi platelet dengan memblok reseptor ADP

P2Y12. Mekanisme klopidogrel adalah dengan membuat CD39 pada permukaan

sel endothelial menghidrolisis ADP menjadi AMP non aktif, juga dihasilkan PGI2

dan NO sehingga meningkatkan konsentrasi cAMP dan cGMP. Konsentrasi

cAMP yang meningkat akan menurunkan Ca2+ sehingga tidak terjadi agregasi

platelet.

Perbedaan antara klopidigrel, prasugrel, ticagrelor mengikat secara

reversibel sehingga efek penghambatannya lebih cepat untuk kembali Klopidogrel

11

dan prasugrel adalah prodrug, sedangkan ticagrelor tidak membutuhkan

metabolisme untuk menjadi aktif secara biologi. Perbedaan lainnya adalah

ticagrelor memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan klopidogrel (Australian

Government Department of Health, 2011).

Gambar 4 Mekanisme klopidogrel (Woulfe, 2011)

7. DMSO (Dimetil Sulfoksida)

DMSO mampu meningkatkan permeabilitas membran dengan mekanisme

yang belum diketahui. Namun sebagaimana telah diketahui penghilangan kalsium

dari membran biologi dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga

apabila DMSO mampu menghasilkan kelat berbagai logam terutama kalsium yang

sangat memegang peranan kunci pada agregasi platelet. Meskipun DMSO

diketahui dapat menaikan permeabilitas membran sel namun tidak selalu

12

menjamin kenaikan absorpsi obat baik secara oral ataupun parenteral (Pope &

Oliver, 1966). DMSO juga digunakan sebagai kontrol negatif dengan konsentrasi

tidak lebih dari 0,5% karena akan merusak platelet (Wulandari, 2015).

8. Light Transmission Aggregometry (LTA)

Light Transmission Aggregometry (LTA) adalah metode standar dalam

laboratorium klinik untuk menguji fungsi platelet. Metode ini juga dapat

digunakan untuk menguji reaktivitas platelet terhadap agonis yang berbeda-beda

seperti ADP, asam arakhidonat, epinefrin, ristosetin, dan kolagen. Prinsip dasar

dari alat ini adalah cahaya melewati suspensi PRP sehingga cahaya akan

dihamburkan dan meningkatkan besarnya transmitan. (Linnerman et al., 2008).

Kekurangan dari metode ini adalah penggunannya secara manual dan

membutuhkan tenaga terlatih (Paniccia et al., 2009). PPP ditetapkan sebagai 100%

transmitan dan PRP sebagai 0% baseline. Hasil pembacaan adalah besarnya

transmitan vs waktu.

9. Koleksi Tanaman

a. Averrhoa bilimbi

Taksonomi A. bilimbi adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Oxalidales

Famili : Oxalidaceae

Genus : Averrhoa

13

Spesies : Averrhoa bilimbi

(Soenarjono, 2004)

Belimbing wuluh adalah tanaman yang berasal dari Indonesia dan

Malaysia. Di Filipina, daunnya biasa digunakan sebagai pasta untuk mengobati

gatal, bengkak pada gondok dan rematik, dan erupsi atau kelainan kulit. Di tempat

lain, digunakan untuk mengatasi racun atau bisa pada gigitan hewan. Di Malaysia,

daun segarnya difermentasikan untuk mengobati penyakit kelamin. Infus daunnya

digunakan sebagai obat batuk dan sebagai pemulih pasca melahirkan. Dekokta

daunnya digunakan untuk mengobati inflamasi rektal. Infus bunganya efektif

untuk mengatas batuk dan sariawan. Di Jawa, buahnya dikombinasikan dengan

lada dan dimakan oleh orang yang kurang sehat. Pasta acar belimbing wuluh juga

digunakan untuk pemulihan setelah mengalami demam. Buahnya juga dibuat

menjadi sirup untuk mengobati demam dan inflamasi, untuk meringankan dan

menghentikan pendarahan rektal (Orwa, et al., 2009). Kandungan kimia yang

terdapat pada averrhoa bilimbii adalah alkaloid, saponin, dan flavonoid (Siddiquel

et al., 2013).

b. Garcinia mangostana

Taksonomi G. mangostana adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malpighiales

Famili : Clusiaceae

14

Genus : Garcinia

Spesies : Garcinia mangostana

(USDA, 2000)

Garcini mangostana adalah tumbuhan tropis yang berasal dari asia

tenggara, India dan Sri Lanka (Morton, 1987). Manggis telah terbukti

mengandung berbagai varietas metabolit sekunder seperti xanton terprenilasi dan

teroksigenasi (Govindachari & Muthukumaraswamy, 1971). Xanton sintetik telah

digunakan pada beberapa studi. Antioksidan, antitumoral, antiinflamasi,

antialergi, antibakteri, antifungi, dan antivirus adalah beberapa aktivitas yang

dilaporkan dari xanton yang diisolasi dari manggis (Suksamrarn et al., 2006).

Manggis digunakan sebagai obat astringen pada disentri dan enteritis (Burkill,

1994). Kulit buahnya yang mengandung resin digunakan untuk diare dan disentri.

Daun mudanya juga digunakan untuk tujuan yang sama dan untuk penyakit

saluran genital dan urin (Jayaweera, 1981). Di makasar, daun dan kulit buahnya

juga digunakan untuk diare dan disentri dan telah terbukti sangat efektif terutama

untuk mengatasi diare pada anak-anak. Kandungannya terutama pada resin yang

kemungkinan berperan sebagai stimulan pada intestin. Dekokta akarnya diminum

untuk mengatasi dismenoria (Quisumbing & Eduardo, 1978).

c. Leea aequata

Taksonomi L. aequata adalah sebagai berikut:

Kindom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledonae

15

Bangsa : Rhamnales

Suku : Leeacea

Marga : Leea

Jenis : Leea aequata L.

(Depkes RI, 2001)

Leea aequata atau biasa yang disebut dengan girang (Jawa Tengah)

tersebar diseluruh pulau Jawa pada ektinggian kurang dari 1000 meter di atas

permukaan laut dalam bentuk semak belukar tidak berduri dan tumbuh di tepi

sungai-sungai maupun dilembah-lembah (Heyne, 1950). Tumbuhan ini memiliki

nama lain seperti : ginggiyang (Sunda), Jirang (Madura), Kayu ajer perempuan

(Melayu), mali-mali (Makasar), uka (Maluku) (Depkes RI, 2001).

Di masyarakat, daunnya berkhasiat untuk mengobati luka dan pegal linu.

Pengobatan luka secara tradisional, biasanya digunakan daun segar Leea aequata

yang dicuci, ditumbuk sampai lumat, dan ditempelkan pada luka dan dibalut kain

bersih (Depkes RI, 2001). Selain itu, daunnya juga digunakan sebagai obat

astringen, antelmetik, gangguan pencernaan, sakit kuning, demam kronis, dan

malaria. Daun dan rantingnya juga bisa digunakan untuk antiseptik dan mengobati

luka (Khare, 2007).

Bijinya mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Depkes RI, 2001).

Jenis lain dalam family yang sama dengan Leea aequata, yaitu Leea indica

memiliki kandungan metabolit sekunder berupa alkaloid, glikosida,

steroid/terpenoid, flavonoid, dan tannin (Rahman et al., 2013).

16

d. Physallis angulata

Taksonomi P. angulata adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonnae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Marga : Physalis

Spesies : Physalis angulata L.

(USDA, 2000)

Physalis angulata atau ciplukan awalnya berasal dari Amerika namun

sudah tersebar keberbagai daerah tropis di dunia. Di Jawa, ciplukan tumbuh secara

liar di kebun, tepi jalan, semak, tepi hutan, dan hutan kecil. Tumbuhan dapat

ditemukan di daerah dengan ketinggian 1-1550 meter di atas permukaan laut.

Akarnya digunakan untuk mengatasi cacingan dan sebagai penurun

demam. Daunnya digunakan untuk mengatasi patah tulang, bisul, borok, penguat

jantung, nyeri perut, dan kencing nanah. Buahnya dimakan untuk mengobati

epilepsi, susah kencing, dan sakit kuning. Penelitian terdahulu menunjukan

ciplukan mengandung senyawa aktif seperti saponin, flavonoid, polifenol, dah

fisalin.

Penelitian secara in vitro pada mencit diketahui bahwa ekstrak daun

ciplukan dapat menstimulasi sel beta insulin pankreas. Hal ini menunjukan daun

17

ciplukan memiliki aktivitas antihiperglikemik (Baedowi, 1998). Ekstrak murni

herba ciplukan juga menunjukan aktivitas antimikroba dengan adanya

penghambatan pada Mycobacterium tubercolosis (Januario et al, 2010).

e. Rubus Chrysophyllus

Taksonomi R. Chrysophyllus adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Rosales

Familia : Rosaceae

Subfamilia : Rosoideae

Genus : Rubus

Spesies : Rubus chrysophyllus

(USDA, 2007)

Rubus tersebar luas di bumi belahan utara, terutama di Amerika Utara dan

Eropa. Beberapa sepsis tertentu tumbuh di daerah alpin dan kutub utara. Di daerah

tropis dan belahan selatan bumi genus rubus ini relatif jarang ditemukan (Bailey,

1929; Edmond dkk., 1977). Di Asia Tenggara, rubus dapat ditemukan di atas

ketinggian 1000 m di atas permukaan air laut. Genus ini tumbuh secara liar

dilahan terbuka, namun ada juga yang memerlukan pembudidayaan (Jansen &

Westphal, 1989).

Kandungan kimia yang terdapat pada rubus jenis lain yaitu Rubus

rosifolius adalah antosianin yang memberikan warna merah, biru, dan ungu pada

18

berbagai buah, bunga, dan sayuran. Antosianin mampu mengurangi resiko

penyakit jantung dan membantu daya penglihatan. Antosianin tergolong dalam

salah satu kelas flavonoid (Winarno, 2004).

Rubus juga diketahui mengandung beberapa mineral seperti kalium,

mangan, tembaga, besi, dan magnesium. Kalium berperan sangat penting sebagai

komponen dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengontrol detak jantung

dan tekanan darah. Ekstrak rubus menggunakan etanol-asam asetat juga diketahui

memiliki aktivitas antioksidan (Amanda et al., 2015).

f. Tetracera maingayi

Taksonomi T. maingayi adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Dilleniales

Famili : Dilleniaceae

Genus : Tetracera

Spesies : Tetracera maingayi

(Steenis & Kruseman, 1948)

19

Tetracera banyak ditemukan di Indonesia, Malaysia dan Thailand. Secara

tradisional rebusan bagian akarnya direbus dan airnya untuk menurunkan tekanan

darah tinggi dan suhu badan saat demam panas. Selain itu juga digunakan sebagai

obat bubuk untuk menghilangkan penyakit gatal-gatal pada kulit. Tumbuhan ini

juga dapat dimanfaatkan sebagai obat bagi penderita diabetes melitus, dan bau

mulut (Fitrya & Kobaywan, 2012).

Senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam genus tetracera adalah

berbagai golongan flavonoid seperti kuersetin, kaemferol, apigenin, rhamnetin,

dan azaletin (Silvia, 2003). Penelitian terdahulu menunjukkan adanya golongan

senyawa flavonoid yaitu 5,7-dihidroksi-8-metoksiflavon yang telah diisolasi dari

tetracera (Harrison, 1994).

g. Cinnamomum sintoc

Taksonomi C. sintoc adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Laurales

Famili : Lauraceae

Genus : Cinnamomum

Spesies : Cinnamomum sintoc Bl

(Australia’s Virtual Herbarium, 2015)

Cinnamomum sintoc terdistribusi di Kalimantan, semenanjung Malaya,

Sumatera, dan Jawa (Kuang, 2011). Kulitnya digunakan untuk obat diare,

20

gangguan usus, dan serbuknya dimanfaatkan untuk mengobati penyembuh luka.

Kulit sintok selain menghasilkan minyak atsiri juga digunakan sebagai obat untuk

menyembuhkan sakit encok, digigit serangga, disentri sariawa, dan cacingan. Di

Jawa Barat digunakan dengan cara ditumbuk dan dibalurkan ke daerah yang sakit

(Hidayat, 2006).

Bau khasnya yang berasal dari eugenol digunakan sebagai bahan

kosmetik. Minyak atsiri yang terkandung dalam kayunya juga memiliki aktivitas

antibakteri (Dzulkarnain dan Wahjoedi, 1996). Berdasarkan penelitian terdahulu,

minyak esensial dari kulit Cinnamomum sintoc telah terbukti memiliki aktivitas

antiinflamasi (Sumiwi et al., 2015).

Eugenol memiliki aktivitas anti-inflamasi dengan menghambat COX-2

(Leem & Wansu, 2015). Miristin menunjukkan aktivitas anti-inflamasi (Ozaky,

1989). Limonene memiliki aktivitas penghambatan terhadap produksi

prostaglandin sehingga dapat disimpulkan bahwa miristin dan limone dapat

berperan sebagai inhibitor COX (Yoon et al., 2010); (Rahman et al., 2014).

10. Ekstraksi

A. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan cara

mengekstraksi zat aktif baik dari simplisia nabati maupun hewani menggunakan

pelarut yang sesuai. Proses mendapatkan ekstrak tersebut disebut ekstraksi.

Ekstraksi atau penyarian merupakan proses penarikan zat yang dapat larut

sehingga terpisah dari zat yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Kecepatan

difusi zat yang larut untuk melalui lapisan batas antara bahan yang mengandung

21

zat tersebut dengan cairan penyari menjadi faktor yang sangat penting dalam

mempengaruhi kecepatan penyarian. Kecepatan melintasi lapisan batas

dipengaruhi oleh derajat perbedaan konsentrasi, tebal lapisan batas, dan koefisien

difusi (Depkes RI, 1986).

Pelarut yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut

yang optimal untuk senyawa aktif yang diinginkan sehingga senyawa tersebut

dapat terpisahkan dari bahan dan kandungan lain yang tidak diinginkan (Depkes

RI, 2000). Kriteria yang perlu dipenuhi oleh pelarut yang baik diantaranya murah

dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah

menguap dan terbakar, selektif yang berarti hanya menarik zat aktif yang

dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan menurut

peraturan. Pelarut yang banyak digunakan oleh perusahaan obat tradisional adalah

air, etanol atau etanol-air (Depkes RI, 1986).

Etanol menjadi pertimbangan sebagai penyari karena merupakan pelarut

semipolar yang dapat melarutkan berbagai senyawa, kapang dan kuman sulit

tumbuh dalam etanol 20% ke atas, selain itu tidak beracun, netral, dapat

bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan untuk menguapakan pelarut

dibutuhkan waktu yang relatif lebih cepat. Kerugian dari penggunaan etanol

sebagai penyari adalah harganya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan

air. Etanol sering dicampurkan dengan air dalam berbagai perbandingan dengan

tujuan meningkatkan selektivitas penyarian (Depkes RI, 1986).

22

B. Maserasi

Salah satu metode ekstraksi yang sering digunakan adalah maserasi.

Maserasi merupakan proses penyarian melalui perendaman simplisia

menggunakan pelarut dengan berbagai kali pengocokan atau pengadukan pada

temperatur ruangan. Prinsip metode maserasi adalah pencapaian konsentrasi pada

kesetimbangan. Maserasi kinetik diartikan sebagai adanya pengadukan yang

kontinyu. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000)

Keuntungan metode maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang

digunakan sederhana serta mudah dilakukan. Kerugian metode maserasi adalah

pengerjaannya yang membutuhkan waktu lama dan penyariannya kurang

sempurna. Maserasi diperlukan adanya pengadukan dengan tujuan agar gradien

konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan pelarut tetap terjaga. Hasil

penyarian atau maserat perlu dibiarkan selama waktu tertentu agar zat-zat yang

tidak diperlukan mengendap (Depkes RI, 1986).

11. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode yang paling sederhana

dalam kromatografi dibandingkan metode lainnya. Prinsip KLT adalah campuran

berupa larutan yang akan dipisahkan, ditotolkan berupa bercak pada fase diam.

(Gandjar & Rohman,2010). KLT lebih mudah dan murah dalam pengerjaannya,

dari segi peralatan juga dinilai sederhana, dan membutuhkan waktu yang relatif

cepat (Rohman, 2009).

23

Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa

pelarut. Pemlihan fase gerak dapat ditentukan dari pustaka, namun salah satu cara

optimasi fase gerak dengan menggunakan fase gerak yang memiliki kemurnian

tinggi. Hal ini dikarenakan KLT adalah teknik yang sensitif (Gandjar & Rohman,

2010). Keuntungan KLT adalah pemilihan fase gerak yang fleksibel, proses

dilakukan dengan mudah, semua komponen sampel dapat teramati, dan dapat

dilakukan optimasi terhadap fase geraknya. Fase diam berupa lapisan tipis terbuat

dari silika yang dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin

yang berfungsi untuk pemisahan kiral. Fase diam atau penjerap perlu dikontrol

terkait keajegan ukuran partikel, dan luas permukaannya. Kandungan air ideal

yang dipersyaratkan sekitar 11-12% (Rohman, 2009).

Metode deteksi KLT ditujukan untuk meningkatkan sensitivitas,

selektivitas, dan memberi bukti tentang kualitas pemisahan. Deteksi secara visual

digunakan bagi senyawa yang tidak berwarna. Senyawa-senyawa tertentu akan

mengabsorbsi sinar UV atau berfluoresensi ketika tereksitasi oleh UV atau sinar

tampak, namun beberapa harus disemprot dengan reagen tertentu (Wall, 2005).

E. LANDASAN TEORI

Penelitian pendahuluan terhadap 150 jenis ekstrak tumbuhan Indonesia

pernah dilakukan dengan menggunakan metode microplate screening assay. Hasil

menunjukkan bahwa beberapa tumbuhan asal Indonesia memiliki aktivitas

antiagregasi platelet. Diperoleh 7 jenis ekstrak tumbuhan yang dinilai berpotensi

sebagai antiplatelet. Diantaranya adalah ekstrak etanolik kulit buah Garcinia

24

mangostana, daun Avverhoa bilimbi, daun Physallis angulata, ekstrak metanol

kulit batang Cinnamomum sintoc Bl, herba Tetracera Maingayi, daun Rubus

chrysophyllus Rienw. Ex. Miq., herba Leea aequata, ekstrak diklorometan

kelopak buah Physallis angulata, dan ekstrak kloroform herba Tetracera

maingayi. CaCl2 merupakan jalur dalam aktivasi platelet. Perlu untuk mengetahui

aktivitasnya pada reseptor tertentu P2Y1 (ADP) dan α-2 (epinefrin).

F. KETERANGAN EMPIRIS

Keterangan empiris yang akan diperoleh berupa aktivitas antiplatelet dari

ekstrak uji pada platelet yang diinduksi ADP dan epinefrin.