bab i pendahuluan 1.1 latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/83658/potongan/s2... ·...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang kulit merupakan kesenian purba yang masih terjaga eksistensinya dalam perkembangan zaman yang begitu pesat. Kekuatan eksistensi wayang kulit dikarenakan kesenian tersebut tidak hanya sebagai sebuah seni pertunjukan melainkan juga sebagai media pembelajaran bagi masyarakat karena memadukan aspek kehidupan seperti pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi (Arifin, 2013: 78). Selain itu, eksistensi kesenian ini tidak lepas dari sebuah upaya pemahaman terhadap masyarakat multikultur seperti di Indonesia dengan melibatkan unsur Islam, Buddha, Khatolik, Kristen, bahkan kelompok etnis tertentu (Korsovitis, 2001: 5968). Bahkan dalam sebuah riset seni pertunjukan menyebutkan bahwa seni pertunjukan seperti wayang kulit- dapat dijadikan sebagai media untuk merefleksi keadaan, ingatan, dan emosi sehingga dapat memulihkan depresi seseorang secara visual (Argyle & Bolton, 2005: 340354). Sejarahnya sendiri, wayang kulit di Jawa muncul dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang sangat kental, sehingga masyarakat percaya bahwa nenek moyang yang sudah mati menjadi roh pelindung bagi masyarakat yang masih hidup. Oleh karena itu, pertunjukan wayang dahulunya masih bebentuk boneka- dilakukan sebagai rasa terima kasih masyarakat terhadap roh para leluhur (Sunarto, 1997: 11). Dalam perkembangannya, beberapa komponen dari

Upload: vanthuan

Post on 07-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wayang kulit merupakan kesenian purba yang masih terjaga eksistensinya

dalam perkembangan zaman yang begitu pesat. Kekuatan eksistensi wayang kulit

dikarenakan kesenian tersebut tidak hanya sebagai sebuah seni pertunjukan

melainkan juga sebagai media pembelajaran bagi masyarakat karena memadukan

aspek kehidupan seperti pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi (Arifin, 2013:

78). Selain itu, eksistensi kesenian ini tidak lepas dari sebuah upaya pemahaman

terhadap masyarakat multikultur seperti di Indonesia dengan melibatkan unsur

Islam, Buddha, Khatolik, Kristen, bahkan kelompok etnis tertentu (Korsovitis,

2001: 59—68). Bahkan dalam sebuah riset seni pertunjukan menyebutkan bahwa

seni pertunjukan –seperti wayang kulit- dapat dijadikan sebagai media untuk

merefleksi keadaan, ingatan, dan emosi sehingga dapat memulihkan depresi

seseorang secara visual (Argyle & Bolton, 2005: 340—354).

Sejarahnya sendiri, wayang kulit di Jawa muncul dari kepercayaan

animisme dan dinamisme yang sangat kental, sehingga masyarakat percaya bahwa

nenek moyang yang sudah mati menjadi roh pelindung bagi masyarakat yang

masih hidup. Oleh karena itu, pertunjukan wayang –dahulunya masih bebentuk

boneka- dilakukan sebagai rasa terima kasih masyarakat terhadap roh para leluhur

(Sunarto, 1997: 11). Dalam perkembangannya, beberapa komponen dari

2

pagelaran wayang mulai digantikan dengan komponen baru sesuai dengan

keadaan masyarakat, seperti boneka diganti dengan wayang kulit, dukun

digantikan dalang, sajian digantikan sajen, nyanyian dan hymne digantikan suara

suluk dan sindenan, bunyi-bunyian digantikan gamelan, tempat pemujaan batu

digantikan dengan panggung dan debog (Mulyono, 1978: 56—57). Kemudian

pada awal abad ke-20, wayang kulit mulai memberikan pengaruh pada seni

pertunjukan teater di Eropa dan Amerika bahkan banyak akademisi mereka yang

mempelajari wayang di tahun 1960-an. Hal tersebut ternyata karena pengaruh

koleksi di Museum Raffles di Inggris ketika mereka menjajah Indonesia dan

membawa sebagian bentuk peradaban yang ada (Cohen, 2007: 340).

Dalam hal ini wayang kulit menjadi subyek dari penelitian bahasa karena

eksistensi wayang kulit di era revolusi teknologi dan budaya populer saat ini.

Penelitian ini akan melihat fenomena bahasa yang muncul dengan pendekatan

metafora dan etnolinguistik. Hal tersebut dikarenakan penggunaan bahasa dalam

wayang kulit penuh dengan unsur metaforis dan mencerminkan kebudayaan

masyarakatnya karena bahasa wayang tidak mengikuti perkembangan zaman dan

tetap mencirikan kebudayaan masyarakatnya.

Penelitian ini mengasumsikan bahwa metafora dan etnolinguistik sebagai

alat untuk melihat kebudayaan masyarakat Jawa dalam mendeskripsikan

pandangan hidup mereka melaui tuturan-tuturan metaforis yang muncul

berdasarkan hasil pengamalan kultural. Metafora sendiri adalah the essense of

metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in term of another

(Lakoff & Johanson, 1980: 5). Dalam kognisi manusia, terkadang untuk

3

menjelaskan atau memahami suatu konsep bisa menggunakan konsep lainnya.

Ditambah lagi pendapat Kovecses (2005: 8) bahwa metafora secara esensi juga

mengandung aspek pikiran, praktik sosial-budaya, pengetahuan, dan tubuh.

Oleh karena itu, metafora merupakan instrumen yang sesuai untuk

mengkaji bahasa dan pikiran masyarakat Jawa yang tercermin dalam seni

pertunjukan wayang kulit. Bentuk data yang akan dianalisis dalam penelitian ini

seperti pada contoh berikut:

(I.1) PUNTADEWA : Nuwun inggih, menawi sandhanganing

jiwa menika menapa?

PUNTADEWA : maaf sebelumnya, misalkan pakaiannya

jiwa itu apa?)

KILATBUWANA : Sandhanganing jiwa iku, cipta, rasa, budi,

karsa. Cipta iku kang anampa samubarang, karsa iku kang

nenimbang samubarang, budi iku keng ngleramake samubarang,

karsa iku nindakake samubarang. Iku sesandhangani pun jiwa.

KILATBUWANA : pakaiannya jiwa itu, cipta, rasa, budi,

karsa. Cipta itu yang menerima segalanya, karsa itu yang

menimbang segalanya, budi itu yang menyelaraskan semuanya,

karsa itu menjalankan semuanya. Itulah pakaiannya jiwa.)

(Feinstein, dkk, 1986: 11)

(I.2) KILATBUWANA: [...]si bapa kang ndarbeni sedya ngrukunake

Pandawa lan Ngastina aja nganti tuwuhing peperangan gede [...]

KILATBUWANA: [...] si bapa memiliki keinginan merukunkan

Pandawa dan Astina supaya jangan sampai tumbuhnya peperangan

besar [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 295)

Sepenggal dialog antara Puntadewa dan Kilatbuwana pada contoh (I.1)

tersebut merupakan data yang akan dianalisis dengan menggunakan metafora.

Dari ungkapan yang dituturkan Puntadewa dan Kilatbuwana mengungkapkan kata

sandhangan jiwa yang merupakan sebuah bentuk ekspresi metafora. Pada

metafora tersebut jiwa merupakan sebuah target sedangkan kata sandhangan

4

adalah sarana untuk menjelaskan target nya. Metafora tersebut memiliki source

tubuh untuk menerangkan ranah targetnya. Penggunaan bahasa metaforis tersebut

merefleksikan kebudayaan Jawa dalam melihat konsep ‘jiwa’ diibaratkan dengan

konsep material meskipun ‘jiwa’ sendiri adalah sebuah kebenaran yang abstrak.

Hal tersebut merupakan hasil kognisi masyarakat terhadap pengalaman yang

mereka alami sehingga menggunakan konsep-konsep tersebut untuk

menggambarkan orang Jawa. Dilihat dari aspek metaforisnya contoh (I.1) tersebut

mengindikasikan bahwa masuk dalam jenis metafora tertentu. Oleh karena itu,

penelitian ini akan melihat jenis metafora apa saja yang muncul dalam temuan

data yang lain.

Pada contoh (I.2) menunjukkan bahwa ‘tumbuhan’ sebagai ranah sumber

untuk menjelaskan bentuk perang. Menurut Wahab (1991: 96) sebagai seorang

pengikut aliran relativisme Sapir dan Whorf yang menyatakan dunia nyata tidak

diperoleh secara langsung melainkan dibangun berdasarkan pengaruh

pengetahuan dan bahasa, sehingga metafora memiliki peranan penting dalam

segala aspek kehidupan karena pengetahuan realita -seperti konsep kecantikan-

tercipta melalui interaksi antara informasi yang ada dengan lingkungan (source

domain). Dengan begitu juga bahasa menjadi karakter umum sebagai sistem tanda

yang muncul karena cerminan dari realita serta menjadi gambaran dari dunia

(Fiumara, 1995: 8). Oleh karena itu, metafora dalam wayang memiliki keterkaitan

dengan kebudayaan dalam proses pembentukan ranah sumber dan ranah target.

Setelah menelaah dari kedua pemahaman tersebut, penelitian ini akan

melihat bagaimana metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana dapat

5

merepresentasikan kehidupan masyarakat Jawa. Berdasarkan data metafora yang

ditemukan, penelitian ini hanya akan melihat metafora dalam wayang kulit lakon

Kilatbuwana yang merefleksikan konsep kehidupan masyarakat Jawa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, penelitian

ini merangkum beberapa rumusan masalah yang akan dijawab melalui hasil

penelitian sebagai berikut.

1. Apa saja jenis metafora yang digunakan dalam wayang kulit lakon

Kilatbuwana?

2. Bagaimana elemen ranah sumber dan ranah target pada pembentukan

metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana?

3. Bagaimana kehidupan masyarakat Jawa tercermin dalam wayang kulit

lakon Kilatbuwana? Mengapa demikian!

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang sudah

dirumuskan di atas sebagai berikut.

1. Mengklasifikakan jenis metafora yang muncul dalam wayang kulit lakon

Kilatbuwana.

2. Mendeskripsikan elemen ranah sumber dan ranah target pada

pembentukan metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana.

6

3. Menjelaskan kehidupan orang Jawa dari konsep metafora wayang kulit

lakon Kilatbuwana.

1.4 Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitian linguistik yang mengkaji wayang kulit

untuk melihat konsep kehidupan masyarakat Jawa dengan pendekatan metafora

dan etnolinguistik. Banyaknya seni pertunjukan wayang yang ada di Indonesia,

seperti wayang kulit purwa, wayang golek, wayang beber, wayang kancil, wayang

suket, dan sebagainya, penelitian ini hanya difokuskan pada wayang kulit purwa

khususnya cerita Mahabharata karena dianggap penggunaan bahasa yang

digunakan sudah dapat merepresentasikan cerita yang lainnya.

Selain itu, untuk lebih membatasi data temuan yang begitu banyak

penelitian ini tidak akan melihat semua metafora wayang kulit, melainkan

metafora-metafora tertentu yang mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa pada

wayang kulit lakon Kilatbuwana. Hal ini dikarenakan penggunaan metafora dalam

wayang sangat banyak sekali sehingga temuan data hanya akan dibatasi pada fakta

bahasa metaforis yang mencerminkan konsep kehidupan masyarakat Jawa.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang akan dibagi dalam dua

kategori, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan praktis.

7

1.5.1 Manfaat Teoritis

Metafora dan etnolinguistik adalah sebuah cabang ilmu linguistik yang

mengkorelasikan antara fakta bahasa dengan kebudayaan yang ada. Secara

teoritis, penelitian ini akan memberikan sebuah pengetahuan baru dalam bidang

ilmu linguistik yang mengkaji wayang kulit dari perspektif bahasa maupun

budaya. Lebih dari itu, penelitian ini juga merupakan salah satu upaya untuk

pengembangan bidang makro linguistik dalam ranah kebudayaan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Seorang akademisi sudah sewajarnya menjunjung tinggi Tri Dharma

Perguruan Tinggi, penelitian, pengajaran, pengabdian. Penelitian ini merupakan

salah satu bentuk implikasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut sehingga

secara langsung memberikan manfaat praktis. Ditambah lagi penelitian ini dibuat

bukan sebagai sebuah manfaat material tetapi lebih pada manfaat imaterial, yaitu

share knowledge atau berbagi pengetahuan mengenai wayang. Penelitian ini akan

menunjukkan metafora wayang kulit dalam mencerminkan orang Jawa bisa

dijadikan acuan untuk diikuti dari nilai-nilai positifnya untuk hidup yang lebih

baik. Harapanya supaya masyarakat dapat belajar dari kebudayaan luhur masa lalu

untuk menghadapi kebudayaan baru yang sudah populer.

1.6 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang

dijadikan sebagai tinjauan untuk melihat kemurnian dari penelitian sekaligus

8

sebagai acuan untuk lebih baik lagi. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang

mengkaji tentang metafora ataupun wayang kulit seperti pada penelitian Setyari

(2007) yang berjudul Panyandra Bentuk Tubuh Indah Dalam Masyarakat Jawa

yang menjelaskan mengenai pembentukan istilah-istilah panyandra , faktor-faktor

yang mempengaruhi pembentukan kata tersebut, dan cara pandang masyarakat

Jawa yang terlihat. Inti dari penelitian yang dilakukan adalah melihat hubungan

antara tubuh indah dengan bentuk lingkungan masyarakat Jawa yang cenderung

bersifat agraris. Dari keseluruhan data yang ditemukan untuk melihat konsep

cantik dalam masyarakat Jawa. Penelitian Panyandra Bentuk Tubuh Indah Dalam

Masyarakat Jawa berbeda dengan penelitian yang akan Peneliti lakukan karena

dalam penelitian tersebut hanya melihat bentuk tubuh yang indah dari wanita,

sedangkan dalam penelitian ini membahas mengenai perilaku baik dan buruk

orang Jawa yang dilihat dari bentuk metaforanya.

Selain itu ada Wulandari (2013) yang meneliti tentang Kajian Metafora

Dalam Novel Para Priyayi. Penelitian metafora yang dilakukan Wulandari

membuktikan bahwa metafora dalam Novel Para Priyayi memiliki bentuk dan

jenis, memuat ranah kehidupan masyarakat Jawa, dan mengandung nilai-nilai

kearifan budaya Jawa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa metafora dalam

novel Para Priyayi menjelaskan ranah kehidupan masyarakat Jawa dan

mengandung nilai-nilai kearifan budaya Jawa. Wulandari tidak menyinggung

sama sekali metafora dalam wayang kulit untuk melihat nilai-nilai kearifan

budaya Jawa sehingga Peneliti menjadikan penelitian ini sebagai tinjaun untuk

penelitian Metafora Wayang Kulit Dalam Mencerminkan orang Jawa. Rachmad

9

Efendi (2012) meneliti tentang Metafora Dalam Percakapan Antar-Tokoh Pada

Film The King’s Speech yang menunjukkan bahwa dalam percakapan antar-tokoh

pada film tersebut menggunakan metafora yang terbentuk dari fungsi atau peran

elemen penyusunnya serta konteks yang ada di dalamnya.

Ada lagi penelitian dari Suhandano (2014) dengan judul Metafora dan

Etnofilosofi yang menjelaskan bagaimana metafora bekerja untuk menganalisis

data kebahasaan, juga tinjauan etnofilosofi yang memaparkan nilai-nilai filosofi

kehidupan. Suhandano menggunakan data dari beberapa istilah yang sering

muncul di kalangan masyarakat Jawa. Dia juga sedikit menyinggung tentang

bahasa dalam pewayangan. Namun, yang membedakan penelitian dia dengan ini

adalah bahwa Suhandano tidak menjelaskan konsep kebudayaan masyarakat Jawa

secara menyeluruh karena hanya berupa jurnal ilmiah dengan sedikit contoh.

Sedangkan untuk etnolinguistik dalam metafora, penelitian milik Ishak Bagea

(2013) yang berjudul Metafora Dalam Wacana Pingitan Masyarakat

Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara juga menjadi

tinjauan pustaka karena menjadi sebuah acuan untuk melihat pola relasi yang

terjadi di masyarakat antara metafora dan kebudayaan yang ada.

Selain itu, Penulis juga menemukan beberapa jurnal yang berkaitan

dengan riset pada wayang kulit purwa sebagai sebuah tinjaun pustaka untuk

memahami lebih mendalam mengenai wayang kulit itu sendiri. Jones (1957)

mengkaji wayang kulit Jawa dan Bali sebagai studi material di Inggris karena

ketika penjajahan Inggris atas Indonesia, Raffles sempat membawa beberapa

wayang kulit ke Inggris sebagai sebuah koleksi dan akhirnya saat ini wayang

10

tersebut dikoleksi dan diteliti oleh pihak Victoria and Albert Museum di Oxford.

Ada lagi peneliti asal Amarika Ward Keeler (1995) yang mengkaji javanese

shadow puppet sebagai sebuah seni pertunjukan yang dikorelasikan dengan aspek

psikologis dan budaya. Dalam penelitiannya, dia hanya menekankan pada

pengaruh Islam yang menggeser nilai-nilai Hiduisme dan Budaisme sebagai akar

dari wayang kulit. Riset terakhir mengenai wayang kulit dilakukan oleh

Schechner (1990) dengan judul Wayang Kulit in the Colonial Margin yang hanya

menekankan pada sejarah singkat perkembangan wayang kulit yang

dikomodifikasi oleh pihak kolonial sebagai aset ekonomi dan mengajarkan kepada

para dalang untuk bisa menulis supaya terdapat teks naskah pedalangan yang bisa

mereka pelajari.

Dari temuan pustaka di atas, belum ada yang secara spesifik membahas

mengenai tentang metafora wayang kulit sebagai cerminan kebudayaan

masyarakat Jawa. Dari tinjauan tersebut penelitian ini masih bisa dilanjutkan

karena sejauh ini belum ada yang pernah menuliskannya, sedangkan dari tinjaun

pustaka tersebut akan digunakan sebagai acuan untuk membantu penelitian ini

supaya baik hasilnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan beberapa

konsep penelitian yang sudah ada tersebut sebagai acuan pustaka.

1.7 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori metafora dan etnolinguistik untuk

menjawab rumusan masalah yang ada. Hal tersebut dikarenakan kedua teori saling

11

melengkapi untuk menganalisis data yang akan muncul dalam wayang kulit lakon

Kilatbuwana.

1.7.1 Metafora

Untuk melihat dan menganalisi data yang ditemukan dalam wayang kulit,

penelitian ini mendasari dengan teori yang dikemukakan Lakoff dan Johanson

(1980: 5—6) menjelaskan esensi dari sebuah metafora adalah pemahaman dan

pengalaman yang dijelaskan dengan pengalaman atau pemahaman lain, sehingga

pada dasarnya sistem konseptual manusia bisa didefinisi dan distruktur secara

metaforis. Pendapat Lakoff dan Johanson selaras dengan penjelasan Knowles dan

Moon (2005: 93) bahwa metafora merupakan alat kreatifitas dalam sebuah

fenomena kebahasaan karena menjelaskan suatu hal dengan hal lain, sehingga

para penulis karya sastra menjadikannya sebuah alat dalam menciptakan karya.

Oleh karena itu, metafora dianggap sebagai ekspresi-ekspresi linguistik yang

terdapat dalam sistem konseptual seseorang.

Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama pada klasifikasi jenis

metafora yang ada dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana akan menggunakan

teori Lakoff dan Johanson (1980) yang mengklasifikasikan tiga jenis metafora

menjadi tiga jenis metafora, yaitu (1) metafora struktural, (2) metafora

ontologikal, dan (3) metafora orientasional, dengan masing-masing penjelasannya

sebagai berikut.

12

1.7.1.1 Metafora Struktural

Metafora struktural merupakan jenis metafora yang domain sumbernya

membentuk struktur pengetahuan terhadap konsep target, dengan kata lain fungsi

kognitif bentuk-bentuk metafora struktural memungkinkan penutur memahami

target A dengan makna-makna yang terstruktur dalam sumber B. Namun,

pemahaman mengenai metafora struktural terjadi dengan mengkonseptualisasikan

elemen-elemen yang ada pada A dan elemen-elemen pada B. Penggunaan

konseptualisasi elemen harus sesuai dengan mapping yang tidak hanya

menjelaskan ciri-ciri ekspresi yang diartikan tetapi juga membentuk keseluruhan

struktur dasar, sehingga tanpa pemahaman ini akan sulit untuk memahami

metafora struktural yang menjelaskan struktur dan pemahaman konsep target,

seperti kasus yang dicontohkan Lakoff dan Johanson berikut.

Times are things (waktu adalah benda)

The passing of time is motion (pergantian waktu adalah gerakan)

Dari kedua contoh di atas, bahasa Inggris menunjukkan bahwa

kebudayaan di sana menganggap time (waktu) merupakan sesuatu yang memiliki

elemen dasar, yaitu obyek fisik, loksasi, dan pergerakannya. Elemen tersebut

terstruktur dengan beberapa mapping yang muncul dalam kalimat bahasa Inggris

seperti berikut.

The time for action has arrived (waktu untuk beraksi telah tiba)

The time will come when... (waktu akan datang ketika...)

Time is flying by (waktu terbamg tinggi)

13

Selain menggunakan contoh waktu, Lakoff dan Johanson juga

memberikan contoh konsep metafora struktural dengan theory is building dengan

mengekspresikan building (bangunan) adalah bentuk konstruksi bangunan untuk

mengacu pada ranah target theory (teori) yang juga harus dibangun.

1.7.1.2 Metafora Ontologikal

Metafora ontologikal atau ontological metaphor kurang lebih membentuk

struktur kognisi untuk konsep target daripada yang dilakukan metafora struktural.

Metafora yang masuk dalam kategori ontologikal merupakan bentuk kategori

umum dari sebuah konsep target yang abstrak dikonseptualisasikan menjadi

sebuah bentuk entitas yang konkrit. Metafora ontologikal melihat kejadian ,

aktifitas, emosi, sebagai entitas dan substansi. Selain itu juga metafora ontologikal

untuk mengklasifikasikan pemahaman mengenai kejadian, tindakan, aktifitas, dan

keadaan. Kejadian-kejadian dan berbagai tindakan dikonseptualisasikan secara

metafora sebagai obyek-obyek, aktifitas sebagai sub-stance, keadaan sebagai

container. Selain itu semua, bentuk klasifakasi metafora ontologikal lainnya

adalah personifikasi (Lakoff dan Johanson, 2003: 25—33). Berikut adalah

gambaran singkat mengenai metafora ontologikal.

source domain target domain

physical object nonphysical or abstract entities (e.g.,

the mind)

event (e.g going to the race)

actions (e.g giving someone a call)

14

substance activities (e.g., a lot of running in the

game)

container undelineated physical obyek (e.g.,

clearing the forest)

surfaces (e.g., land areas, the visual

field)

states (e.g., in love)

(Kovecses, 2002: 35)

1.7.1.3 Metafora Orientasional

Metafora orientasional menentukan kurang struktur konseptual untuk

target konsep daripada metafora ontologikal. Jenis metafora ini berasal dari

metafora yang berhubungan dengan orientasi ruang dasar manusia seperti atas-

bawah, tengah-samping, dan sebagainya. Beberapa orang juga menganggap jenis

metafora konseptual ini sebagai metafora koherensi yang lebih ke arah dengan

memainkan fungsi kognisi. Menurut Lakoff dan Johanson (2002: 15) orientasi

ruang ini muncul dari kenyataan bahwa manusia memiliki tubuh dan tubuh

berfungsi sebagai lingukungan fisik. Mereka juga menambahkan bahwa

penerapan metafora orientasional bukan berdasarkan sebuah kesepakatan

melainkan berdasarkan pada pengalaman fisik dan lebih cenderung pada pengaruh

budaya sehingga memungkinkan untuk terjadi perbedaan pemahaman mengenai

orientasi dari suatu budaya dengan budaya lain.

15

more is up; less is down : Speak up, please. Keep your voice down,

please.

healthy is up; sick is down : Lazarus rose from the dead. He fell ill.

conscious is up; unconscious is down: Wake up. He sank into a coma.

control is up; lack of control is down : I’m on top of the situation. He is under my

control.

happy is up; sad is down : I’m feeling up today. He’s really low these

days.

virtue is up; lack of virtue is down : She’s an upstanding citizen. That was a

low-down thing to do.

rational is up; nonrational is down : The discussion fell to an emotional level.

He couldn’t rise above his emotions.

Contoh di atas merupakan bentuk metafora orientasi yang dicontohkan

Kovecses (2002: 36) bahwa posisi up atau atas cenderung bermakna positif

daripada orientasi down yang mengacu pada sesuatu yang negatif. Namun, apa

yang dicontohkan oleh Kovecses tersebut merupakan pengalaman fisik yang

terjadi pada kebudayaan di Inggris, sedangkan pada penelitian ini nantinya akan

melihat apakah ruang orientasi orang Jawa berbeda dengan orang Inggris atau

sama dari yang terlihat pada data metafora orientasional di wayang kulit lakon

Kilatbuwana.

16

1.7.2 Elemen Pembentuk Ranah Sumber dan Ranah Target Metafora

Wayang Kulit Lakon Kilatbuwana

Untuk menjawab rumusan masalah kedua mengenai bagaimana elemen

pembentuk metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana menggunakan teori source

domain dan target domain. Dalam melihat kasus pada temuan data metafora

wayang kulit lakon Kilatbuwana menggunakan teori dari Kovecses (2005: 15—

25) menjelaskan bagaimana source domain dan target domain terbentuk. Ada

beberapa penjelasan menurut Kovecses bahwa secara umum source domain terdiri

dari beberapa unsur seperti tubuh manusia, kesehatan dan penyakit, binatang,

tumbuhan, bangunan dan konstruksi, mesin dan alat, permainan dan olahraga,

uang dan transaksi ekonomi, memasak dan makanan, panas dan dingin, cahaya

dan kegelapan, kekuatan, serta gerakan dan arah. Sedangkan dalam pembentuk

target domain ada beberapa bentuk secara umum yang meliputi emosi, nafsu,

moral, pikiran, negara dan masyarakat, politik dan ekonomi, hubungan manusia,

komunikasi, waktu, hidup dan kematian, agama, serta kejadian dan tindakan.

Selain itu juga Wahab (1991: 85—86) menjelaskan bahwa untuk melihat metafora

bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu metafora universal yang bisa dipahami

oleh semua makhluk dan metafora kultural yang terikat oleh kebudayaan tertentu.

Oleh karena itu, kedua pemahaman tersebut digunakan untuk menjelaskan

rumusan masalah nomor dua.

17

1.7.3 Etnolinguistik

Agar bisa melihat konsep kehidupan masyarakat Jawa dalam pewayangan

melalui metaforanya, penelitian ini juga menggunakan teori linguistik

antropologis atau yang juga dikenal sebagai etnolinguistik. Teori ini juga

dijelaskan dalam linguistic relativity yang dicontohkan oleh linguis sekaligus

filosofer Jerman pada abad ke-18, Wilhem von Humboldt, bahwa struktur bahasa

mencerminkan dunia dan ada hubungan antara bahasa, pikiran, pandangan hidup,

dan budaya (Trask, 1999: 112).

Awal dari teori etnolinguistik ini dipicu sejak seorang antropolog

Amerika, Franz Boas, melakukan penelitian pada masyarakat Indian Amerika.

Boas mengungkapkan bahwa untuk memahami adat istiadat dan kepercayaan

suatu masyarakat daerah, seorang peneliti harus mengerti bahasa yang mereka

gunakan karena bahasa merupakan bagian terpenting untuk mengetahui mental

kehidupan masyarakat. Dia memandang peran bahasa dalam kehidupan bisa

dijadikan petunjuk untuk melihat sistem kebudayaan yang ada. Kemudian setelah

peninggalan Boas, gagasan tersebut dilanjutkan oleh muridnya Edward Sapir dan

Benjamin Lee Whorf yang mengungkapkan bahwa bahasa mengandung esensi

penting dalam suatu ekspresi kebudayaan yang dikenal dengan semua orang dan

mereka juga mempercayai bahwa struktur dari bahasa mengandung teori dari

struktur alam semesta (Duranti, 1997: 56—58).

Pandangan bahwa bahasa merefleksikan kebudayaan tidak hanya dipahami

oleh Boas, Sapir, maupun Whorf, melainkan juga Wilhem van Humbolt yang

beranggapan bahwa setiap bahasa mengandung karakteristik pandangan hidup

18

dari seseorang. Bahasa merupakan mediasi antara manusia dan alam yang

mempengaruhinya. Selain itu, Humbolt juga beranggapan bahwa setiap bahasa

menggambarkan lingkaran kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya

(Wierzbicka, 1992: 3).

Dari beberapa pandangan terhadap bahasa dan kebudayaan, kemudian

teori ini dikembangkan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang

menggagas bahasa mencerminkan kebudayaan dalam sebuah hipotesis yang

sering dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf (Sampson, 1980: 80—102).

Hipotesis tersebut menunjukkan bahwa bahasa membentuk persepsi manusia

terhadap realitas dunia, sehingga penutur bahasa memandang realitas dunia dapat

terlihat dari bahasanya (Ahaern, 2012: 40). Hipotesis Sapir-Whorf juga didukung

oleh Ward Goodenough (1957|1964: 36) yang menyatakan bahwa kebudayaan

bukan hanya bentuk fenomena material saja melainkan juga pengaturan berbagai

hal pada bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran manusia yang direfleksikan dalam

bahasa (Duranti, 1997: 27).

Selain itu, Wierzbicka (1992: 7) mengungkapkan bahwa bahasa

mencerminkan konseptualisasi manusia dan penafsiran manusia terhadap dunia.

Pernyataan tersebut merupakan pengembangan dari hipotesis Sapir-Whorf bahwa

pandangan hidup manusia bisa terlihat dari bahasanya, sehingga bahasa mampu

mencerminkan konseptualisasi manusia dalam menghadapi kehidupan. Ditambah

lagi, Wierzbicka (1992: 63) menyebutkan sebuah bahasa bisa dianggap sebagai

sebuah clues untuk melihat perbedaan kebudayaan secara universal dan hal

demikian juga mengacu pada bukti sebagai etnofilosofi modern yang berlaku.

19

Oleh karena itu, bahasa yang dimaksudkan dalam penjelasan teori tersebut

terdapat dalam metafora-metafora di pewayangan, sehingga teori ini akan

mengungkapkan kehidupan masyarakat Jawa dari metafora yang ada.

1.8 Metode Penelitian

Berdasarkan tahap dan pelaksanaannya, metode penelitian ini terdiri dari

cara penyediaan data, cara analisis, dan cara pemaparan hasil data (Sudaryanto,

1992: 57). Hal tersebut merupakan metode paling mendasar dalam sebuah

penelitian linguistik.

1.8.1 Metode Pengumpulan Data

Cara penyediaan atau pengumpulan data penelitian ini dengan mencari

transkripsi teks pedalangan lakon Kilatbuwana yang kemudian dikoreksi dengan

dalang secara garis besarnya kemudian dituliskan sebagai sebuah data. Data yang

dikumpulkan oleh peneliti pada dasarnya menggunakan hasil riset dari tim

Akademi Seni Karawitan Indonesia (AKSI) Surakarta yang mentranskripsikan

beberapa teks pedalangan khususnya lakon-lakon carangan dari beberapa dalang

yang ada.

Dari beberapa teks pedalangan yang sudah ditranskripsikan oleh AKSI,

penelitian ini mengambil salah satu lakon sebagai bentuk studi kasus penelitian

metafora, yaitu lakon Kilatbuwana. Teks lakon carangan Kilatbuwana tersebut

kemudian diidentifikasi bentuk metafora apa saja yang sekiranya muncul dan bisa

menjadi sebuah data.

20

1.8.2 Metode Analisis Data

Setelah data dikumpulkan secara cukup untuk mendapatkan gambaran

umum tentang konsep perilaku orang Jawa dalam metafora wayang kulit lakon

Kilatbuwana, kemudian data tersebut dianalisis sesuai dengan rumusan masalah

penelitian ini, yaitu dengan klasifikasi temuan data sesuai dengan teori yang

digunakan, menganalisis ranah kehidupan masyarakat Jawa, dan menganalisis

lebih mendalam aspek kebudayaan dalam temuan metafora tersebut.

Namun, untuk mengaitkan penelitian bahasa dan budaya, penelitian ini

menggunakan arah metodologi dari Mathiot (1964) yang menyebutkan bahwa ada

dua kemungkinan arah metodologi yang dapat ditempug oleh peneliti, pertama

yaitu berangkat dari bahasa ke budaya dengan memeriksa kandungan budaya yang

ada dalam kelas-kelas linguistik; dan kedua adalah peneliti berangkat dari budaya

ke bahasa dengan memeriksa kandungan linguistik yang ada dalam kelas-kelas

budaya (Suhandano, 2004: 21—22).

Metode tersebut cocok untuk penelitian model etnolinguistik karena aspek

bahasa maupun aspek budaya akan diperhatikan dengan seksama. Dengan

menggunakan metode tersebut akan meminimalisis kemungkinan untuk

melakukan kesalahan proses pengerjaan. Hal demikian dilakukan karena

penelitian ini bersifat kajian pustaka dan lapangan, sehingga peneliti harus bisa

lebih terstruktur dalam proses pencarian data supaya tidak terjadi kesalahan dan

pengulangan pengambilan data.

21

1.8.3 Metode Penyajian Data

Setelah data dianalisis, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil

analisis data. Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan menjabarkan

keseluruhan penjelasan dari rumusan masalah yang ada, yaitu dengan menyajikan

jenis-jenis metafora yang muncul pada wayang kulit lakon Kilatbuwana,

menyajikan analisis ranah sumber dan ranah target pembentuk metafora, dan

menyajikan penjabaran mengenai kehidupan masyarakat Jawa yang tercermin

dalam wayang kulit.

1.9 Sistematika Penyajian

Hasil penyajian data di dalam penelitian ini disajikan dalam beberapa bab,

yaitu: BAB I merupakan pendahuluan. Bab ini menguraikan latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

BAB II berisi tentang klasifikasi jenis metafora dalam pewayangan. BAB III

berisi tentang elemen ranah sumber dan ranah target sebagai pembentuk metafora

wayang kulit lakon Kilatbuwana. BAB IV berisi tentang penjelasan metafora

sebagai bentuk konsep kehidupan masyarakat Jawa. BAB V merupakan

kesimpulan dan saran dari BAB I sampai BAB IV, saran dari penulis, dan juga

dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.

22