bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98992/potongan/s1-2016...1...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umumnya sinar matahari memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia
seperti sebagai sumber cahaya dan energi, untuk mengubah provitamin D menjadi
vitamin D, serta dalam proses fotosintesis. Namun, pemaparan sinar matahari
(sinar UV) yang berlebihan dapat menyebabkan eritema, hiperpigmentasi, bahkan
sampai menyebabkan kanker kulit. Sinar UV yang paling berpotensi
menyebabkan eritema adalah sinar UV B (290 nm-320 nm), dan yang
menyebabkan pigmentasi adalah sinar UV A (320 nm-400 nm). Sinar UV C (100
nm-290 nm) bersifat karsinogenik, namun sinar tersebut dapat disaring oleh
lapisan ozon sehingga tidak sampai di permukaan bumi (Elmarzugi, dkk., 2013).
Adanya dampak negatif sinar matahari tersebut maka kita perlu
menggunakan pelindung kulit tabir surya. Tabir surya akan menyerap sinar UV
dan menghalangi penetrasi sinar UV ke lapisan epidermis (Elmarzugi, dkk.,
2013). Yuliani (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ekstrak etanolik
Curcuma mangga Val. memiliki aktivitas sebagai tabir surya. Senyawa yang
diduga berpotensi sebagai tabir surya adalah kurkumin yang mampu menyerap
sinar UV A dan UV B.
Berdasarkan dampak negatif dari paparan sinar matahari dan kandungan
temu mangga yang berpotensi sebagai agen tabir surya, maka perlu dikembangkan
sediaan kosmetika yang berfungsi sebagai tabir surya. Pada umumnya sediaan
2
tabir surya berupa sediaan lotion (Elmarzugi, dkk., 2013) dan termasuk dalam
salah satu jenis skin care cosmetics. Lotion merupakan salah satu jenis produk
kosmetik yang berupa emulsi minyak dalam air (o/w) yang dapat membersihkan
dan menjaga kesehatan kulit. Pada dasarnya skin care cosmetics dapat melindungi
kulit radiasi ultraviolet dan membersihkan kulit sehingga tetap indah dan sehat
(Mitsui,1997).
Umumnya, lotion o/w tabir surya berbentuk emulsi dengan substantivitas
yang bagus untuk dapat mengoptimalkan aktivitas sun protection factor (SPF)
(Shaath, 2005). Untuk menjaga kestabilan dan substantivitas lotion diperlukan
pengaturan jumlah bahan pengental yang digunakan yaitu setil alkohol. Untuk
mendapatkan emulsi yang stabil maka diperlukan pengaturan terhadap emulgator
yang digunakan yaitu trietanolamin-stearat. Pengaturan emulgator perlu dilakukan
untuk menjamin stabilitas emulsi, sehingga lotion yang dihasilkan dapat berfungsi
secara optimal.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana komposisi trietanolamin-stearat dan setil alkohol dalam
formulasi lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma
mangga Val.) yang menghasilkan formula optimum?
2. Bagaimana sifat fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik
rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.)?
3. Bagaimana stabilitas fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik
rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.)?
3
4. Bagaimana aktivitas formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang
temu mangga (Curcuma mangga Val.) sebagai tabir surya?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui komposisi trietanolamin-stearat dan setil alkohol dalam
formulasi lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma
mangga Val.) yang menghasilkan formula optimum.
2. Mengetahui sifat fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik
rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.).
3. Mengetahui stabilitas fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik
rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.).
4. Mengetahui aktivitas lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga
(Curcuma mangga Val.) sebagai tabir surya.
D. Tinjauan Pustaka
1. Uraian Temu Mangga
Klasifikasi tanaman temu mangga adalah sebagai berikut:
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Jenis : Curcuma mangga Val.
Nama dagang : Temu mangga
(Hutapea, dkk., 1993)
4
Gambar 1. Temu mangga (Curcuma mangga Val.)
Dwinugraheni (2013) menyebutkan bahwa ciri-ciri makroskopis rimpang
temu mangga adalah berbentuk bulat dan memanjang, berwarna coklat dengan
sayatan kuning seperti yang terlihat pada gambar 1. Selain itu temu mangga
memiliki bau dan rasa seperti mangga muda. Berdasarkan pengamatan secara
mikroskopik rimpang temu mangga memiliki amilum dan sel minyak berwarna
kekuningan.
Temu mangga mengandung senyawa flavonoid, kurkumin,
demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin, asam galat, katekin, epikatekin,
epigalokatekin, epigalokatekingalat, dan galokatekingalat (Setyaningrum A., dkk.,
2013; Abas, dkk.., 2005; dan Pujimulyani, 2013). Ekstrak etanolik Curcuma
mangga Val. mengandung kurkumin sebesar (0,19 ± 0,0131) % (Sumarny, dkk.,
2012) dan mengandung total flavonoid sebesar (0,15 ± 0,00) mg Eq kuersetin/kg
bk (Setyaningrum, A., dkk., 2013).
2. Sinar
Paparan sinar matahari dapat memberikan efek menguntungkan maupun
merugikan bagi manusia. Efek menguntungkan dari sinar matahari antara lain
untuk forosintesis, sintesis vitamin D, dan fototerapi. Akan tetapi, paparan sinar
5
matahari dapat merugikan manusia berupa radiasi sinar UV yang tergantung pada
waktu penyinaran, letak geografis, cuaca, dan lingkungan. Radiasi UV tidak dapat
dirasakan dan dilihat, serta tidak bergantung pada suhu dan masih memiliki
intensitas yang tinggi walaupun cuaca berawan (WHO, 2003).
Panjang gelombang sinar ultraviolet dapat dibagi menjadi 3 bagian:
a. Ultraviolet A ialah sinar dengan panjang gelombang antara 320-400 nm,
menginduksi kerusakan kulit, seperti kulit terlihat lebih kering, pigmentasi
tidak merata, peradangan pada kulit, dan UVA lebih mudah menembus kaca
jendela (Elmarzugi, dkk., 2013).
b. Ultraviolet B ialah sinar dengan panjang gelombang antara 290 – 320 nm yang
dapat menimbulkan sunburn. Sunburn merupakan eritema akut yang terjadi
dalam hitungan jam dan mencapai maksimum kira-kira 12-24 jam setelah
paparan sinar UV B. Kerusakan DNA setelah radiasi UV B menghasilkan
eritema (Arakane, 2016).
c. Ultraviolet C ialah sinar dengan panjang gelombang di bawah 100-290 nm,
bersifat paling karsinogenik, tetapi sebagian besar telah tersaring oleh lapisan
ozon dalam atmosfer (Elmarzugi, dkk., 2013).
Radiasi sinar UV dapat menyebabkan kulit mengalami beberapa perubahan.
Respon pertama adalah terjadinya immediate pigment darkening (IPD) yaitu
perubahan warna kulit menjadi kecoklatan sampai abu-abu setelah paparan sinar
UV A. IPD dapat terjadi setelah 1 menit paparan sinar UV A dan dapat
berlangsung selama 30 menit. Respon yang kedua adalah persistent pigment
darkening (PPD) yaitu respon tahan lama dari individu terhadap pigmentasi
6
setelah terpapar radiasi sinar UV. Dalam respon ini juga terjadi pembentukan
melanin baru. PPD terjadi dalam hitungan jam dan mungkin bisa berhari-hari,
bahkan berminggu-minggu. Terjadinya PPD terutama disebabkan oleh paparan
sinar UV A dan bisa dimungkinkan paparan sinar UV B juga berpengaruh
(Nelson, 2005).
Radiasi sinar UV dapat menyebabkan kerusakan akut dan kronis pada kulit.
Apabila terjadi kerusakan DNA maka dapat menyebabkan kanker kulit. Akan
tetapi kulit memiliki mekanisme untuk melindungi diri dari kerusakan akibat
paparan sinar UV. Bentuk perlindungan yang dilakukan adalah dengan pigmentasi
dan penebalan lapisan epidermis kulit. Sehingga kulit dengan pigmen lebih
banyak atau kulit gelap tidak lebih sensitif terhadap sunburn daripada kulit putih.
Namun, pada beberapa manusia mekanisme pertahanan kulit kurang bekerja
dengan baik. Hal ini terjadi pada pasien penderita lupus (Bakker, 2012).
3. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan komponen aktif dari jaringan tanaman
menggunakan pelarut cair (solven) yang sesuai prosedur. Poses ekstraksi
digunakan untuk memisahkan metabolit yang larut dan yang tidak larut dalam
solven yang digunakan. Ekstrak yang dihasilkan terdiri dari campuran metabolit
yang kompleks dalam bentuk cair, semisolid, atau serbuk yang dapat digunakan
secara oral maupun eksternal (Handa, 2008).
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan
penyari yang baik harus meemnuhi kriteria sebagai berikut:
a. Murah dan mudah diperoleh
7
b. Stabil secara fisika dan kimia
c. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki
d. Tidak memengaruhi zat yang berkhasiat (Depkes RI, 1986)
Salah satu metode ekstraksi yang dapat dilakukan adalah maserasi. Maserasi
adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan
sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-terpotong atau berupa
serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman
tersebut disimpan terlindung cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalis
cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang-ulang (kira-kira 3 kali
sehari). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope
mencantumkan 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak
memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan
simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang
diperoleh (Voigt, 1994).
4. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Depkes RI, 1995).
Berdasarkan konsistensinya ekstrak dikelompokkan menjadi 4 kelompok,
yaitu:
8
a. Ekstrak encer
Ekstrak jenis ini memiliki konsistensi seperti madu dan dapat dituang.
b. Ekstrak kental
Ekstrak kental dalam keadaan dingin tidak dapat dituang dan kandungan
airnya kurang dari 30%. Tingginya kandungan air menyebabkan instabilitas
sediaan obat (cemaran bakteri).
c. Ekstrak kering
Ekstrak kering memiliki konsistensi kering dan memiliki kandungan air
kurang dari 5%.
d. Ekstrak cair
Suatu ekstrak cair dibuat sedemikian, sehingga 1 bagian jamu sesuai
dengan 2 bagian ekstrak cair (Voigt, 1994).
5. Kulit
Kulit merupakan bagian tubuh manusia dengan luas pemukaan terbesar.
Daerah permukaan kulit orang dewasa sekitar 2 m2 dengan berat 4,5 – 5 kg atau
sekitar 16% dari total berat tubuh manusia. Sedangkan, ketebalan kulit tubuh
mencapai 1-2 mm, kecuali pada kelopak mata yaitu 0,5 mm dan pada tungkai kaki
setebal 4 mm. Kulit memiliki fungsi antara lain mengatur suhu tubuh,
mengekskresi dan mengabsorbsi senyawa, melindungi tubuh dari lingkungan
eksternal, dan sebagai indera peraba (Tortora, 2009).
Menurut Tortora (2009), kulit terdiri dari 2 bagian utama, yaitu epidermis dan
dermis.
9
a. Epidermis
Lapisan epidermis berfungsi memperkuat pertahanan kulit dengan proses
regenerasi permukaan kulit (keratogenesis) dan proses pigmentasi kulit
(melanogenesis) (Couturaud, 2009). Dalam lapisan epidermis terdapat 4 lapisan
yaitu:
1) Stratum basale
Stratum basale merupakan lapisan yang paling bawah dari lapisan
epidermis dan dikenal juga sebagai stratum germinativum. Pada lapisan
ini, terdapat stem cell yang melalui pembelahan sel secara terus menerus
menghasilkan sel keratinosit yang baru.
2) Stratum spinosum
Keratinosit pada lapisan spinosum sama dengan keratinosit pada
lapisan basale. Selain keratinosit terdapat pula sel Langerhans dan
melanosit.
3) Stratum granulosum
Pada lapisan granulosum, sel mulai mengalami degeneratif.
4) Stratum lusidum
Pada lapisan lusidum terdapat keratinosit yang mati dengan jumlah
keratin yang banyak.
5) Stratum korneum
Pada lapisan korneum terdiri dari banyak sel keratin yang mati yang
secara terus menerus akan diganti dengan sel yang terletak di lapisan
bawahnya.
10
b. Dermis
Lapisan dermis terdiri dari jaringan kolagen dan serat elastis. Lapisan ini
berperan dalam pengaturan elastisitas dan termoregulasi kulit dengan
menyediakan nutrisi bagi kulit (Couturaud, 2009).
Gambar 2. Struktur kulit (Tortora, 2009)
6. Lotion
Lotion merupakan bentuk sediaan farmasi yang berupa larutan atau suspensi,
digunakan secara topikal (Jones, 2008), dan biasanya berupa emulsi. Lotion lebih
disukai pemakai karena memiliki daya sebar dan estetika yang lebih baik (Levy,
2009). Selain itu, lotion bersifat lebih ringan, tidak berminyak, dan dapat
memberikan efek dingin dengan segera saat dioleskan pada kulit. Lotion memiliki
sifat alir newtonian atau pseudoplastik (Buhse, dkk., 2005).
Lotion ditujukan untuk pemakaian pada kulit sebagai pelindung atau sebagai
obat karena sifat bahan-bahannya. Sifat cair yang dimilikinya memungkinkan
pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Lotion
dimaksudkan untuk dapat segera kering pada kulit setelah pemakaian dan
11
meninggalkan lapisan tipis pada permukaan kulit. Pada pemakaiannya lotio harus
dikocok kuat-kuat saat akan memakainya supaya bahan-bahan yang telah
memisah dapat terdispersi kembali. Hal ini dikarenakan, fase terdispersi pada lotio
cenderung untuk memisahkan diri dari sistem dispersi (Ansel, 1989).
Untuk pemakaian kulit lotion merupakan sediaan yang dipilih dalam
menghidrasi kulit. Sediaan lotion berbentuk emulsi yang terdiri dari humektan,
emolien, dan occlusive agent yang ketiganya berfungsi untuk mengatur
kelembapan kulit. Occlusive agent mengatur kelembapan kulit dengan
menghambat secara fisik penguapan air dari dalam tubuh. Humektan mengatur
kelembapan kulit dengan menarik air di sekelilingnya. Emolien dapat
menghambat penguapan air dari dalam tubuh, namun lebih efektif di dalam
melembutkan kulit (Liverman, 2009).
Untuk mencegah terjadinya penggabungan fase dispers satu dengan yang
lain atau untuk mengurangi laju penggabungan tersebut, maka perlu ditambahkan
zat pengemulsi yang akan membentuk suatu lapisan di sekeliling tetesan-tetesan
fase dispers (Martin, dkk., 2008). Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan
dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dan
dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi.
Surfaktan juga mengurangi tegangan antar permukaan antara fase, sehingga
meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. (Depkes RI, 1995).
12
7. Surfaktan
Surfaktan memiliki sisi hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul.
Berdasarkan bentuk ionisasinya, surfaktan diklasifikasikan menjadi 4 kelompok,
yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik (Iwata, 2013).
a. Surfaktan anionik
Surfaktan anionik memiliki kemampuan menyabun, emulsifikasi, dan
permeabilitas dengan baik. Pada umumnya, surfaktan anionik digunakan
dalam formulasi sampo, sabun mandi, dan pembersih wajah. Surfaktan jenis
ini, dikelompokkan menjadi 4 grup hidrofilik yaitu asam sulfonat, asam
sulfat, asam karboksilat, dan fosfat (Iwata, 2013). Contoh dari surfaktan
anionik adalah trietanolamin-stearat.
b. Surfaktan kationik
Surfaktan kationik mempunyai struktur dengan 4 atom hidrogen pada ion
amonium yang digantikan oleh gugus alkil dan metil. Surfaktan kationik
dapat memberikan efek lembut pada kulit (Iwata, 2013). Contoh surfaktan
kationik adalah laurildimetilbenzilamonium klorida.
c. Surfaktan nonionik
Gugus lipofilik bertanggung jawab terhadap sifat emulgator dari surfaktan
nonionik. Gugus hidrofilik yang paling banyak digunakan adalah gliserin dan
polietilen (Iwata, 2013). Contoh surfaktan nonionik adalah ester asam lemak
sorbitan dan lanolin alkohol.
13
d. Surfaktan amfoterik
Struktur surfaktan amfoterik terdiri dari asam amino. Surfaktan jenis ini
banyak digunakan dalam sampo dan sabun mandi untuk meningkatkan
kemampuan menyabun dan mengurangi iritasi (Iwata, 2013).
Surfaktan bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan antara fase
minyak dan fase air. Hal ini penting karena dapat meningkatkan stabilitas emulsi.
Supaya dapat bekerja secara efektif maka surfaktan harus memiliki sifat-sifat
sebagai berikut.
a. Surfaktan harus mampu menurunkan tegangan permukaan pada air dan
minyak supaya proses emulsifikasi dapat terjadi. Sehingga harus ada
keseimbangan antara gugus hidrofilik dan lipofilik.
b. Pada permukaan air-minyak, surfaktan dapat bekerja secara sendiri atau
bersama dengan molekul lainnya untuk membentuk lapisan tipis yang
elastis, kuat, dan kental.
c. Surfaktan harus mampu dengan cepat berada di antara permukaan minyak-
air untuk menurunkan tegangan permukaan selama proses emulsifikasi.
d. Surfaktan harus menyesuaikan dengan polaritas fase minyak. Minyak yang
sangat polar memerlukan surfaktan yang lebih hidrofilik daripada minyak
dengan polaritas rendah (Dahms, 2005) .
8. Tabir Surya
Tabir surya merupakan zat yang menghambat efek dari sinar matahari yang
berbahaya. Tabir surya apabila digunakan sebagai lotion maka dapat mengurangi
risiko kanker kulit, termasuk melanoma (Anonim, 2015).
14
Menurut Black (1997) , mekanisme kerja tabir surya antara lain:
a. Senyawa mengabsorpsi atau menghalangi sinar UV.
b. Senyawa akan berkompetisi dengan target molekul yaitu senyawa yang
dapat dirusak oleh sinar UV.
c. Senyawa yang dapat memperbaiki senyawa yang rusak oleh sinar
matahari.
d. Senyawa akan menekan respon inflamasi. Sehingga dapat menutupi
manifestasi kerusakan akibat sinar UV.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan formula tabir surya
adalah:
a. Harus nyaman digunakan.
b. Tabir surya harus dalam jumlah yang cukup agar efektif.
c. Bahan tabir surya dan pembawa harus kompatibel.
d. Harus dipertimbangkan sifat yang diinginkan dari bahan nonvolatil
yang tertinggal di kulit (Wilkinsoon dan Moore, 1982).
Tabir surya dibagi dalam 2 macam, yaitu yang bersifat kimia dan fisik.
Tabir surya yang bersifat kimmia (contohnya PABA, salisilat, dan antranilat) yang
dapat mengabsorbsi 95% sinar UVB yang dapat menyebabkan sunburn (eritema
dan kerut), namun tidak dapat menghalangi UV A penyebab direct tanning,
kerusakan sel elastin, dan timbulnya kanker kulit. Tabir surya yang bersifat fisik
(contohnya titanium dioksida dan ZnO) yang dapat memantulan sinar serta
menahan UVA maupun UVB (Wasitaatmadja, 1997).
15
Analisis aktivitas tabir surya dapat dilakukan dengan menghitung nilai SPF,
% transmitasi eritema, dan % transmitasi pigmentasi (Khan, 2014; Cumpelik,
1972).
a. Evaluasi SPF secara in vitro
Sun Protection Factor (SPF) merupakan rasio yang menggambarkan
respon terhadap paparan sinar UV pada kulit yang diolesi tabir surya dan
yang tidak diolesi tabir surya (Nash, 2006). Penentuan nilai SPF dapat
ditentukan secara in vitro dan in vivo. Pengukuran SPF secara in vitro
merupakan uji yang menirukan pengukuran SPF secara in vivo menggunakan
energi transmisi yang menembus tabir surya. Pengukuran SPF secara in vitro
bertujuan untuk memprediksi nilai SPF produk di laboratorium dengan
menggunakan spektrofotmeter. Apabila pengukuran SPF secara in vitro
akurat, maka formulator dapat meminimalisir biaya yang digunakan dalam
skrining formula baru untuk diuji selanjutnya. Apabila nilai SPF secara in
vitro sesuai dengan nilai SPF secara in vivo, dapat diasumsikan bahwa hasil
transmitasi pada pengukuran secara in vitro adalah benar (Stanfield, 2005).
Penentuan nilai SPF secara in vitro dilakukan dengan spektrofotometer
UV-Vis. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode Mansur.
Dalam metode Mansur, pembacaan absorbansi larutan sampel dilakukan pada
panjang gelombang 290-320 nm dengan rentang 5 nm dan dibaca sebanyak 3
kali pada titik yang sama. Kategori proteksi suatu sediaan tabir surya dapat
ditunjukkan dalam tabel 1 di bawah ini.
16
Tabel 1. Klasifikasi SPF (Murphy, 2005)
SPF Kategori Level Proteksi
≥ 30 Proteksi tinggi Untuk kulit yang mudah
mengalami sunburn
12-29 Proteksi sedang Untuk kulit yang kemungkinan
mengalami sunburn-nya sedang
2-11 Proteksi minimal Untuk kulit yang sulit mengalami
sunburn
b. Evaluasi nilai % TE dan % TP
% TE dapat ditentukan dengan cara spektrofotometri yaitu dengan
mengukur absorbansi larutan sampel pada rentang panjang gelombang yang
menimbulkan eritema pada panjang gelombang 292,5 – 337,5 nm, sedangkan
untuk % TP dilakukan pembacaan absorbansi larutan sampel pada panjang
gelombang yang menimbulkan pigmentasi, yaitu pada panjang gelombang
332,5-372,5 nm. Pembacaan dilakukan dengan interval 5 nm. Dari nilai
serapan yang didapat, dihitung nilai serapan untuk 1 g/L/cm dan T% 1 g/L
dengan rumus A=- log T. Nilai transmisi eritema dihitung dengan mengalikan
nilai transmisi (T) dengan faktor efektivitas eritema (Fe) pada panjang
gelombang 292,5 – 337,5 nm. Nilai transmisi pigmentasi dihitung dengan
mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor pigmentasi (Fp) pada panjang
gelombang 332,5-372,5 nm (Cumpelik, 1972).
Tabel 2. Kategori penilaian aktivitas tabir surya (Balsam, 1972)
Kategori penilaian Rentang sinar UV yang ditransmisi
% eritema % pigmentasi
Sunblock < 1 3-40
Proteksi ekstra 1-6 42-86
Suntan standar 6-12 45-86
Fast tanning 10-18 45-86
17
9. Metode Simplex Lattice Design (SLD)
Metode SLD merupakan metode yang sangat tepat untuk digunakan dalam
optimasi formula pada jumlah komposisi bahan yang berbeda-beda, akan tetapi
jumlah total bahan adalah konstan. Untuk menentukan formula yang optimal
digunakan persamaan sistematik (Bolton, 2010)
Implementasi dari metode SLD adalah menyiapkan berbagai macam
formulasi yang terdiri dari kombinasi yang berbeda dari variasi bahan. Kombinasi
dipersiapkan dengan suatu cara yang mudah dan efisien seperti menggunakan data
eksperimental untuk memprediksi respon yang berada dalam ruang simplex
(simplex space). Data eksperimental digunakan untuk membuat persamaan
polinomial yang digunakan untuk memprediksi profil respon (Bolton, 2010).
10. Kurkumin
Kurkumin merupakan salah satu senyawa yang khas dari suku Zingiberaceae
yang memberikan warna kuning. Kurkumin merupakan salah satu jenis
antioksidan alami yang dapat mencegah pertumbuhan sel kanker secara sendiri
maupun bila dikombinasikan dengan zat antioksidan lainnya (Fitria, 2008). Pada
dasarnya kurkumin relatif stabil pada suasana asam, tetapi mudah terdegradasi
pada pH basa (Kumavat, 2013).
11. Monografi
a. Setil Alkohol
Setil alkohol dapat berfungsi sebagai agen penyalut, agen pengemulsi, dan
agen pengeras. Setil alkohol banyak digunkan dalam sediaan kosmetik dan
18
sediaan farmasetis seperti suppositoria, sediaan solid dengan pelepasan
termodifikasi, emulsi, lotion, krim, dan ointment. Pada lotion, krim, dan ointment
setil alkohol digunakan sebagai emolien, pengental, dan pengemulsi. Hal tersebut
dapat meningkatkan stabilitas, tekstur, dan konsistensi. Sifat emolien tergantung
pada absorpsi dan retensi setil alkohol pada lapisan epidermis, yang mana
memiliki sifat sebagai lubrikat dan pelembut kulit, tetapi juga meningkatkan
konsistensi atau teksturnya. Pada emulsi o/w, setil alkohol diketahui mampu
meningkatkan stabilitas apabila dikombinasikan dengan agen pengemulsi larut air.
Kombinasi tersebut akan mencegah terjadinya koalesen dengan mekanisme
pembentukan lapisan monomolekuler pada antarmuka minyak dan air ( Rowe,
dkk., 2006).
b. Asam Stearat
Asam stearat banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis
sebagai agen pengemulsi ketika direaksikan dengan alkali dan trietanolamin.
Asam stearat berupa partikel padat, berwarna putih atau kekuningan, agak
mengkilap, sedikit berbau, dan rasanya seperti ada lemaknya. Asam stearat
memiliki titik lebur pada suhu 69o-70
oC dan bagiannya larut dalam 15 bagian
etanol, serta tidak larut dalam air (Rowe, dkk., 2006).
c. Minyak mineral
Minyak mineral berfungsi sebagai emolien, lubrikan, pembawa oleaginous,
dan solven. Pada pembuatan emulsi o/w, minyak mineral digunakan sebagai
solven. Minyak mineral bersifat transparan, tidak berwarna, cairan berminyak,
tidak berfluoresensi di siang hari, tidak berasa, tidak berbau ketika dingin, tidak
19
larut dalam etanol 95%, gliserin, dan air, tetapi larut dalam kloroform, benzene,
dan eter (Rowe, dkk., 2006).
d. Propil paraben
Propil paraben berfungsi sebagai antimikroba dalam kosmetik, makanan, dan
sediaan farmasetis. Dapat digunakan sebagai senyawa tunggal, dikombinasikan
dengan ester paraben lainnya atau dikombinasikan dengan antimikroba yang lain.
Propil paraben efektif melawan jamur dan kapang. Propil paraben berwarna
serbuk putih, kristal, tidak berbau, dan tidak berasa (Rowe, dkk., 2006).
e. Gliserin
Gliserin berfungsi sebagai antimikroba, emolien, humektan, plasticizer, pelarut,
dan agen pemanis. Pada formulasi sediaan topikal farmasetis dan kosmetik,
gliserin digunakan sebagai humektan dan emolien. Gliserin tidak berwarna,
kental, tidak berbau, cairan higroskopik, dan memiliki rasa manis (Rowe, dkk.,
2006).
f. Trietanolamin
Trietanolamin berfungsi sebagai agen pengalkalis dan agen pengemulsi.
Trietanolamin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis
terutama pada sediaan emulsi. Ketika dicampur dengan asam lemak, seperti asam
stearat atau asam oleat, trietanolamin membentuk sabun anionik yang digunakan
sebagai agen pengemulsi untuk membentuk emulsi o/w yang stabil. Trietanolamin
tidak berwarna sampai berwarna kuning pucat, berupa cairan kental yang sedikit
berbau amoniak (Rowe, dkk., 2006).
20
g. Metil paraben
Metil paraben berfungsi sebagai antimikroba dalam kosmetik, makanan, dan
sediaan farmasetis. Dapat digunakan sebagai senyawa tunggal, dikombinasikan
dengan paraben lainnya atau dikombinasikan dengan antimikroba yang lain. Metil
paraben efektif melawan jamur dan kapang. Metil paraben berupa kristal putih
atau kristal tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan memiliki rasa terbakar
ringan (Rowe, dkk., 2006).
h. Lanolin
Lanolin dapat berfungsi sebagai agen pengemulsi dan basis salep. Lanolin
banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis dan kosmetik.
Lanolin digunakan sebagai pembawa hidrofobik. Lanolin dicampur dengan air
seberat dua kalinya untuk menghasilkan emulsi yang stabil (Rowe, dkk., 2006).
E. Landasan Teori
Yuliani (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ekstrak etanolik
Curcuma mangga Val. memiliki aktiivitas sebagai tabir surya. Hal tersebut
dibuktikan dengan pengukuran nilai SPF terhadap ekstrak etanolik Curcuma
mangga Val. menunjukkan nilai SPF sebesar 15,18. Suatu bahan bisa dikatakan
memiliki aktivitas sebagai tabir surya jika memiliki nilai SPF minimal 2 (Murphy,
2005). Tabir surya dengan nilai SPF setidaknya 15 direkomendasikan untuk
digunakan sebagai sunscreen dalam kehidupan sehari-hari.
Temu mangga diketahui mengandung kurkuminoid yang memiliki
kromofor dan gugus auksorom yang mampu menyerap sinar UV (Yuliani, 2010).
21
Dalam penelitian Sumarny, dkk (2012), kadar kurkumin dalam temu mangga
diketahui sebesar (0,19 ±0,0131)%. Selain itu, kurkuminoid termasuk golongan
polifenol yang memiliki sifat antioksidan. Sifat ini menjadi salah satu alasan
utama digunakannya tanaman herbal sebagai bahan kosmetik (Kole, 2005).
Pemilihan basis dalam formulasi sediaan lotion sangat mempengaruhi
karakter lotion yang terbentuk. Teori emulsi tidak mampu untuk memprediksi
komposisi yang sesuai untuk memperoleh emulsi dengan sifat fisik tertentu.
Sehingga untuk mendapatkan formulasi yang sesuai diperlukan optimasi antara
lain terhadap prosedur evaluasi, komposisi bahan yang digunakan, dan perumusan
formulasi yang dimodifikasi (Lieberman, dkk., 1996). Dalam penelitian ini,
optimasi dilakukan terhadap TEA-stearat dan setil alkohol. TEA merupakan salah
satu komponen dalam lotion yang berfungsi sebagai pengatur pH dan pengemulsi
(Kwan, 2014). TEA berfungsi sebagai pengemulsi dan pengatur pH pada
konsentrasi (2-4)% (Rowe, dkk., 2006). Asam stearat berfungsi sebagai bahan
pengemulsi dan solubilisasi pada konsentrasi (1-20)% untuk sediaan topikal
(Rowe, dkk., 2006). Asam stearat dan TEA akan membentuk kompleks TEA-
stearat yang berfungsi sebagai emulgator (Fiume, 2013). Setil alkohol berfungsi
sebagai penstabil dan pengental (Kwan, 2014). Bahan tersebut berfungsi sebagai
bahan pengemulsi pada konsentrasi (2-5)% dan sebagai bahan pengental pada
konsentrasi (2-10)% (Rowe, dkk., 2006).
22
F. Hipotesis
1. Kombinasi TEA-stearat dan setil alkohol dalam formula lotion o/w ekstrak
etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) dapat menghasilkan
formula yang optimum.
2. Formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (
Curcuma mangga Val.) yang optimum ditunjukkan oleh sifat fisik yang
optimum.
3. Formula lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga ( Curcuma
mangga Val.) yang stabil ditunjukkan oleh sifat fisik yang stabil.
4. Lotion o/w ekstrak etanolik Curcuma mangga Val. memiliki aktivitas sebagai
tabir surya.