bab i pendahuluan 1.1 latar belakang syndrome
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) adalah istilah yang
digunakan unyuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan
penyakit yang berhubungan dengan keerlambatan perkembangan maturitas
paru(Whalley dan wong,1995). Gangguan ini biasanya juga di kenal denga nama hyaline
membrane disease(HMD) atau penyakit membrane hyaline, karena pada penyakit ini
selalu ditemukn membran hialin yang melapisi alveoli.
RDS sering ditemukan pada bayi premature. Insidens berbanding terbalik dengan
usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu semakin
tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya, semakin tua usia kehamilan
semakin rendah kejadian RDS.
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi
yang lagir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-
36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan(matur). Insidens pada
bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi
pada bayi laki-laki dari pada bayi perempuan (Nelson,1999). Selain itu kenaikan
frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibuyang menderita gangguan perfusi
darah uterus selama kehamilan misalnya,ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi,
seksio serta perdarahan antepartum.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang,maka dapat dirumuskan masalahnya
“Sindrom Gawat Napas”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum :
Tujuan pembuatan makalah ini untuk memperoleh pengetahuan mengenai
Sindrom Gawat Napas
1
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa/mahasiswi di Siti Khadijah
mengenai Sindrom Gawat Napas.
2. Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa/mahasiswi Siti Khadijah
Palembang mengenai Sindrom Gawat Napas.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Secara Teoritis
Menambah khasanah ilmu terutama dalam keperawatan khususnya mengenai
respiratory distress syndrome.
1.4.2 Secara Praktis
1. Bagi Kelompok
Untuk memperoleh pengalaman dan wawasan mengenai respiratory distress
syndrome sehingga terpacu untuk meningkatkan potensi diri sehubungan dengan
penaggulangan Sindrom Gawat Napas.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Bagi pendidikan ilmu keperawatan sebagai bahan bacaan dan menambah
wawasan bagi mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa ilmu keperawatan
dalam hal pemahaman perkembangan dan upaya pencegahan yang berhubungan
dengan Sindrom Gawat Napas yang sebaiknya dimulai sedini mungkin.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sindrom distress pernapasan dapat dibagi menjadi :
1. Sindrom Distres Pernapasan Dewasa ( ARDS )
2. Sindrom Distres pernapasan Idiopatik Bayi Baru Lahir ( IRDS )
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau
membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada sistem
paru, kardiovaskuler atau tubuh secara luas.
Hyaline Membrane Disease dikenal juga sebagai respiratory distress sydrome
yang idiopatik, merupakan keaadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur
saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32
minggu yang mempunyai berat dibawah 1500 gram. Kira-kira 60% bayi yang lahir
sebelum gestasi 29 minggu mengalami RDS.
Respiratory distres syndrome adalah perkembangan yang imatur pada sistem
pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai
Hyaline Membrane Disesae.
RDS adalah keadaan hipoksia dan cedera paru yang terjadi akibat atelektasis
primer yang luas.
Bangunan paru janin dan produksi surfactan penting untuk fungsi respirasi
normal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada masing-masing bayi.
Bayi prematur lahir sebelum produksi surfactan memadai. Surfactan, suatu senyawa
lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveolar colaps dan menurunkan kerja
respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfactan, tegangan
permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians
paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan
hiperkapnia dengan acidosis respiratory. Reduksi pada ventilasi akan menyebabkan
ventilasi dan perfusi sirkulasi paru menjadi buruk, menyebabkan keadaan hipoksemia.
3
Hipoksia jaringan dan acidosis metabolik terjadi berhubungan dengan atelektasis dan
kegagalan pernafasan yang progresif.
Atelektasis primer mengacu kepada keadaan kolapsnya alveolus secara
substansial yang dijumpai pada bayi baru lahir. Dengan kolapsya alveolus maka
ventilasi berkurang. Timbul hipoksia yang menyebabkan cedera paru dan terpacunya
reaksi peradangan. Peradangan menyebabkan edema dan pembengkakkan ruang
interstisium yang semakin menurunkan pertukaran gas antara kapiler dan alveolus yang
masih berfungsi. Peradangan juga menyebabkan terbentuknya membran-membran hialin
yang merupakan akumulasi fibrin putih di alveolus. Pengendapan fibrin tersebut
semakin menurunkan pertukaran gas serta compliance paru maka usaha bernapas
meningkat.
Penurunan ventilasi alveolus menyebabkan penurunan V/Q dan vasokonstriksi
arteriol paru. Vasokonstriksi paru dapat menyebabkan peningkatan volume dan tekanan
jantung kanan, sehingga terjadi pirau darah dari atrium kanan, melalui foramen ovale
bayi baru lahir yang masih paten, langsung ke atrium kiri. Demikian juga, resistensi paru
yang tinggi juga dapat menyebabkan darah deoksigenasi melewatkan paru dan langsung
di salurkan ke sisi kiri tubuh melalui duktus arteriosus dan menyebabkan pirau kanan ke
kiri. Pirau kanan ke kiri memperburuk keadaan hipoksia, sehingga timbul sianosis berat.
Untuk setiap usaha melakukan ventilasi pada alveolus yang kolaps, bayi harus
mengeluarkan sejumlah besar energi. Pengeluaran energi tersebut akan diiringi oleh
peningkatan kebutuhan oksigen yang semakin memperah sianosis. Seiring dengan
peningkatan kebutuhan oksigen bayi terperangkap dalam suatu siklus umpan balik
positif.
Pada awalnya bayi akan memperlihatkan napas yang cepat dan dangkal sebagai
usaha untuk memenuhi kebutuhan oksigennya yang tinggi, sehinga pada analisis gas
darah mula-mula terjadi alkalosisi respiratorik karena karbon dioksida terbuang. Namun,
bayi akan segera kelelahan karena kesulitan mengembangkan alveolus dan parunya dan
tidak dapat mempertahankan usaha respirasinya. Apabila hal ini terjadi, maka usaha
bernapas melambat dan gas darah memperlihatkan asidosis respiratorik dan dimulainya
kegagalan pernapasan.
4
Maka dijelaskan dengan skema ini
Peningkatan Usaha Bernapas
+ +
Peningkatan Kebutuhan Oksigen
Sewaktu usaha bernapas meningkat maka kebutuhan oksigen juga meningkat yang
kemudian meningkatkan usaha bernapas.
2.2 Etiologi
2.2.1 IRDS
1. Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu)
dan tidak adanya, gangguan atau defisiensi surfactant
2. Bayi prematur yang lahir dengan operasi Caesar
3. Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur
atau prematur.
2.2.2 ARDS
Terjadi akibat cedera langsung pada kapiler paru atau alveolus.Namun karena
kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat maka destruksi yang luas pada salah
satunya biasanya menyebabkan destruksi yang lain.Hal ini terjadi akibat pengeluaran
enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati,serta reaksi peradangan yang terjadi setelah
cedera dan kematian sel.contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus
disajikan di bawah ini.
1. Destruksi Kapiler
Apabila kerusakan berawal di membran kapiler,maka akan terjadi pergerakan
plasma dan sel darah merah keruangan interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang
harus di tempuh oksigen dan karbondioksida untuk berdifusi, sehingga kecepata
pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di cairan interstisium bergerak ke
5
dalam alveolus,mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan.
Gaya yang di perlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat.
Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang
interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas, sehingga
compliance paru berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan penurunan ventilasi dan
hipoksia. Penyebab kerusakan kapiler paru antara lain adalah septicemia, pancreatitis
dan uremia. Pneumonia, inhalasi asap, trauma dan tenggelam juga dapat merusak
kapiler.
2. Destruksi Alveolus
Apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka luas
permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan
pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah
pneumonia, aspirasi dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen yang timbul setelah 24-36
jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus
melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga
semakin memyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah
rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema
dan pembengkakan ruang interstisium serta kerusakan kapiler dan alveolus di
sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin didalam
alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah secara
progresif dan semakin mengurangi pertukaran gas.Akhirnya terjadi fibrosis
menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu.
Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%.
2.3 Faktor Resiko
1. Prematuritas
2. Kelompok bayi baru lahir
Semakin prematur bayi semakin tinggi terjadi IRDS, sel-sel alveolus penghasil
surfaktan belum matang sampai usia gestasi antara 28 dan 32 minggu.
6
Ada 3 hal berkaitan dengan IRDS :
Bayi yang lahir sebelum surfaktan terbentuk
Di alveolus akan menghadapi tegangan permukaan alveolus yang sangat
tinggi setiap kali bernapas, ini berperan menyebabkan atelektasis primer yang
dijumpai pada IRDS
Alveolus bayi prematur berukuran sangat kecil dan tidak berlipat-lipat
Ini merupakan faktor yang berperan meningkatkan tekanan yang harus
dilakukan untuk mengatasi tegangan permukaan
Bayi prematur memiliki otot dada yang lemah dan belum berkembang
Mustahil bayi tanpa surfaktan dapat berhasil mengembangkan alveolusnya
dari waktu ke waktu,napas demi napas.
3. Kelompok lain bayi baru lahir yang beresiko menderita IRDS adalah bayi
yang lahir dari ibu Diabetes Melitus Dependen-insulin. Tampaknya isulin yang
disuntikkan menghambat pembentukkan surfaktan.
2.4 Gambaran Klinis ( biasanya sejak lahir )
1. Dispnoe Berat
2. Penurunan Compliance Paru
3. Pernapasan yang dangkal dan cepat pada mulanya yang menyebabkan
alkalosis respiratorik karena ( CO2 ) karbondioksida banyak terbang.
4. Peningkatan kecepatan penapasan
5. Kulit kehitaman akibat hipoksia
6. Retraksi antargia atau dada setiap kali bernapas
7. Napas cuping hidung
8. Banyak bayi selamat dari IRDS, dimana gejala mereda dan menghilang
biasanya dalam 3 hari.
9. Takipnea ( > 60x/mnt)
10. Mendengkur
Didapatkan gejala lain seperti :
1. Bradikardi
7
2. Hipotensi
3. Kardiomegali
4. Edema terutama didaerah dorsal tangan atau kaki
5. Hipotermi
6. Tonus otot yang menurun
2.5 Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis
dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama
disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan teganagn permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara
fungsional ( kapasitas residu fungsional ) ( Ilmu kesehatan anak, 1985 ).
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang
rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Tkanpa
surfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu perlu
usaha yang keras untuk mengembangkan parunya.pada setiap hembusan napas
(ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang kuat. Akibatnya setiap kali
bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas ( saat kelahiran ). Sebagai
akibatnya janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini
daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya
kelelahan bayi akan ktidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vascular
resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya terjadi
hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di
8
samping itu peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah
janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arterious dn foramen ovale.
Kolaps paru ( atelektasis ) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstruksi vaskularisasi pulmonal
yag menimbulkan penurunan oksigenisasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme anaerobic. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat
sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang
menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan
epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jarngan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran ialin ini melapisi
alveoli dan menghambat pertukaran gas.
Atlektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbondioksida dari
sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan PH menyebabkan
vasokontriksi yang makin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan dan perfusi
alveolar , PaO2 akan menuru tajam, PH juga akan menurun tajam serta materi yang
diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh PH, suhu, dan perfusi normal.
Asfiksia, Hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan
hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan
epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh
penatalaksanna pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut.
RDS adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriosasi
( kurang lebih 48 jam ) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam.
Proses perbaikan ini terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi dan ketersediaan
materi surfaktan.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
2.6.1 Penentuan faktor komplikasi perlu dilakukan dengan tes spesifik, seperti :
1. Darah
9
2. Urine dan glukosa darah ( untuk mengetahui hipoglikemia )
3. Kalsium serum ( untuk meningkatkan hipokalsemia )
4. Analisis gas darah ( menentukan PH serum )
5. PaO2 ( tes untuk hipoksia )
2.6.2 Diagnostik prenatal
Untuk menentukan maturitas paru dilakukan pemeriksaan ( tes cairan amnion )
yang disebut rasio L/S ( lesitin banding spingomielin ). Rasio L/S ini berguna untuk
menentukan maturitas paru. Fosfolipid disintesis di sel alveolar dan kinsentrasi dalam
cairan amnion selalau berubah selama masa kehamilan. Pada mulanya spingomielin
lebih banyak, tetapi kira-kira pada usia kehamilan 32-33 minggu konsenrasi menjadi
seimbang kemudian spingomielin berkurang dan lesitin meningkat secara berarti sampai
usia kehamilan 35 minggu dengan rasio 2:1.
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Keperawatan
1. Pengobatan RDS diarahkan untuk pencegahan
Pencegahan Penyebab lain dari kematian bayi antara lain adalah perhatian
terhadap di mana dan dalam posisi apa bayi ditempatkan dan usaha-usaha untuk
mencegah penganiyayaan anak.
2. Pemberian minum per oral tidak diperbolehkan selama fase akut
penyakit, karena dapat menyebabkan aspirasi. Pemberian minum dapat diberikan
melalui parenteral.
3. Tindakan Pendukung yang Krusial
Mempertahankan ventilasi dan oksigenisasi adekuat
Mempertahankan keseimbangan asam-basa
Mempertahankan suhu lingkungan netral
Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat
Mencegah hipotermia
Mempertahankan cairan dan elektrolit yang adekuat
10
4. Pertimbangan Keperawatan
Dalam merawat bayi RDS perawat harus melakukan observasi cermat
dan intensif, masalah kompleks yang berhubungan dengan terapi pernapasan
harus diperhatikan terutama pengobatan yang kontinu terhadap hipoksemia dan
asidosis. Fungsi keperawatan yang paling penting adalah mengamati respon bayi
terhadap terapi, mucus mungkin terkumpul di saluran pernapasan yang akan
menghambat saluran pernapasan dan srlang endotrakea (ET). Pengisapan hanya
dilakukan bila diperlukan dan berdasarkan pertimbangan terhadap bayi tersebut.
Pertimbangan terhadap pengisapan termasuk auskultasi dada, pembuktian bahwa
oksigenisasi rendah, kelebihan kelembaban paada selang ET dan kepekaan bayi.
Pada saat melakukan pengisapan mukus, perawat harus menyadari dan
waspada tentang hal berikut.
Pengisapan bukan prosedur yang aman karena dapat menyebabkan
spasme bronkus, bradikardia karena stimulasi saraf fagal, hipoksia, dan
peningkatan tekanan intracranial sehingga mendorong bayi pada keadaan
hemoragi intraventrikular. Tindakan ini tidak boleh dilakukan secara rutin, tehnik
pengisapan ini dapat menyebabkan infeksi, kerusakan jalan pernapasan bahkan
pneumotoraks.
Penting diperhatiakn bahwa pengisapan yang terus menerus akan ikut
mengeluakan udara bersamaan dengan keluarnya mucus. Oleh karena itu sekali
pengisapan tidak boleh lebih dari 5 detik ( pengisapan menyebabkan saluran
udara terambat )
Tujuan pengisapan jalan napas buatan adalah menjaga terbukanya jalan
napas, bukan bronkus. Pengisapan yang dilakukan di luar ET dapat
menyebabkan lesi trauma pada trakea.
Awasi oksigenisasi atau oksimeter denyut nadi sebelum, selama dan
sesudah pengisapan untuk memberi penilaian yang terus menerus terhadap status
oksigenisasi dan untuk menghindari hipoksemia.
11
2.7.2 Medis
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah :
1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan
cairan paru
3. Fenobarbital
4. Vitamin E untuk menurunkan produksi radikal bebas oksigen
5. Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik
6. Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaanya adalah
pemberian surfaktan eksogen.
Surfakatan eksogen adalah derivate dari sumber alami misalnya manusia ( di
dapat dari cairan amnion atau paru sapi,tetapi bisa juga berbentuk surfakatan
buatan )
2.8 Komplikasi
Sebagian bayi yang selamat dari RDS kemudian mengidap displasia
bronkupulmonaris, yaitu suatu penyakit pernapasan kronik yang ditandai oleh
pembentukkan jaringn parut di alveolus, peradangan alveolus dan kapiler, dan hipertensi
paru.
Tanda-tanda dispnu dan hipoksia dapat berlanjut dan menyebabkan kelelahan,
kegagalan pernapasan, dan kematian bayi, biasanya dalam 3 hari.
12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus
Kondisi seperti perdarahan placenta
Tipe dan lamanya persalinan
Stress fetal atau intrapartus
2. Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan
Apgar score, apakah terjadi aspiksia
Bayi prematur yang lahir melalui operasi Caesar
3. Cardiovaskular
Bradikardi (dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat
Murmur sistolik
Denyut jantung dalam batas normal
4. Integumen
Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
Pitting edema pada tangan dan kaki
Mottling
5. Neurologis
Immobilitas, kelemahan, flaciditas
Penurunan suhu tubuh
6. Pulmonary
Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x per menit, mungkin 80 – 100 x )
Nafas grunting
Nasal flaring
Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal
13
Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkumoral) berhubungan dengan
persentase desaturasi hemoglobin
Penurunan suara nafas, crakles, episode apnea
7. Pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS, gejala tersebut
dapat terjadi pada saat kelahiran atau antara waktu 2 jam. Perkembangan
penyakit terjadi dengan cepat yang dimulai dengan
Takipnea
Pernapaan mendengkur
Retraksi sukostal atau interkostal
Sianosis dan pucat
Meningkatnya gejala lapar udara
Gerakan tubuh berirama
Sentakan dagu
Awalnya suara napas normal kemudian pernapasan dalam.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Insufisiensi respiratory berhubungan dengan penurunan volume dan komplians
paru, perfusi paru dan vintilasi alveolar
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus
3. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
sensible dan insesible
4. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan
perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis
3.3 Intervensi dan Rasionalisasi
14
1. Insufisiensi respiratory berhubungan dengan penurunan volume dan komplians
paru, perfusi paru dan vintilasi alveolar
Tujuan 1 : Tanda dan gejala disstres pernafasan, deviasi dari fungsi dan resiko
infant terhadap RDS dapat teridentifikasi
Intervensi Rasional
1. Kaji infant yang beresiko
mengalami RDS yaitu :
- Riwayat ibu dengan daibetes
mellitus atau perdarahan
placenta
- Prematuritas bayi
- Hipoksia janin
- Kelahiran melalui operasi caesar
Pengkajian diperlukan untuk menentukan
intervensi secepatnya bila bayi menunjukkan
adanya tanda disstres nafas dan terutama
untuk memperbaiki prognosa
2. Kaji perubahan status
pernafasan termasuk :
- Takip
nea (pernafasan diatas 60 x per
menit, mungkin 8 –100 x)
- Nafas
grunting
- Nasal
flaring
- Retrak
si intercostal, suprasternal atau
Perubahan tersebut mengindikasikan RDS
telah terjadi, panggil dokter untuk tindakan
secepatnya
- Pernafasan
bayi meningkat karena peningkatan
kebutuhan oksigen
- Suara ini
merupakan suara keran penutupan
glotis untuk menghentikan ekhalasi
udara dengan menekan pita suara
- Merupakan
keadaan untuk menurunkan resistensi
dari respirasi dengan membuka lebar
jalan nafas
- Retraksi
mengindikasikan ekspansi paru yang
15
substernal dengan penggunaan
otot bantu nafas
- Cyano
sis
- Episo
de apnea, penurunan suara nafas
dan adanya crakles
tidak adekuat selama inspirasi
- Cyanosis
terjadi sebagai tanda lanjut dengan PO2
dibawah 40 mmHg
- Episode
apneu dan penurunan suara nafas
menandakan distress nafas semakin
berat
3. Kaji tanda yang terkait dengan
RDS
- Pallor
dan pitting edema pada tangan
dan kaki selama 24 jam
- Kelem
ahan otot
- Denyu
t jantung dibawah 100 x per
menit pada stadium lanjut
- Nilai
AGD dengan PO2 dibawah 40
mmHg, pco2 diatas 65 mmHg,
dan pH dibawah 7,15
Tanda-tanda tersebut terjadi pada RDS
- Tanda ini terjadi karena
vasokontriksi perifer dan penurunan
permeabilitas vaskuler
- Tanda ini terjadi karena
ekshaution yang disebabkan kehilangan
energi selama kesulitan nafas
- Bradikardia terjadi karena
hipoksemia berat
- Tanda ini mengindikasikan
acidosis respiratory dan acidosis
metabolik jika bayi hipoksik
16
4. Monitor PO2 trancutan atau
nilai pulse oksimetri secara
kontinyu setiap jam
Nilai PO2 traskutan dan pulse oksimetri non
invasif menunjukkan prosentase oksigen saat
inspirasi udara.
Tujuan 2. Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi pulmonal
Intervensi Rasional
1. Berikan kehangatan dan oksigen
sesuai dengan sbb
- Oksigen yang dihangatkan 31,7C –
33,9C
- Humidifikasi 40% – 60%
Untuk mencegah terjadinya hipotermia
dan memenuhi kebutuhan oksigen
tubuh
2. Berikan pancuronium bromide
(Pavulon)
Obat ini berguna sebagai relaksan otot
untuk mencegah injury karena
pergerakan bayi saat ventilasi
3. Tempatkan bayi pada lingkungan
dengan suhu normal serta monitor
temperatur aksila setiap jam
Lingkungan dengan suhu netral akan
menurunkan kebutuhan oksigen dan
menurunkan produksi CO2.
4. Monitor vital signs secara kontinyu
yaitu denyut jantung, pernafasan, tekanan
darah, serta auskultasi suara nafas
Perubahan vital signs menandakan
tingkat keparahan atau penyembuhan
5. Observasi perubahan warna kulit,
pergerakan dan aktivitas
Karena perubahan warna kulit,
pergerakan dan aktivitas
mengindikasikan peningkatan
metabolisme oksigen dan glukosa.
Informasi yang penting lainnya adalah
perubahan kebutuhan cairan, kalori
dan kebutuhan oksigen.
6. Pertahankan energi pasien dengan
melakukan prosedur seefektif mungkin.
Mencegah penurunan tingkat energi
infant
17
7. Monitor serial AGD seperti PaO2,
PaCo2, HCO3 dan pH setiap hari atau bila
dibutuhkan
Perubahan mengindikasikan terjadinya
acidosis respiratorik atau metabolik
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus.
Tujuan : Mempertahankan dan mendukung intake nutrisi
Intervensi Rasional
1. Berikan infus D 10% W sekitar 65 –
80 ml/kg bb/ hari
Untuk menggantikan kalori yang tidak
didapat secara oral
2. Pasang selang nasogastrik atau
orogastrik untuk dapat memasukkan
makanan jika diindikasikan atau untuk
mengevaluasi isi lambung
Pilihan ini dilakukan jika masukan
sudah tidak mungkin dilakukan.
3. Cek lokasi selang NGT dengan cara :
- Aspirasi isi lambung
- Injeksikan sejumlah udara dan
auskultasi masuknya udara pada
lambung
- Letakkan ujung selang di air, bila
masuk lambung, selang tidak akan
memproduksi gelembung
Untuk mencegah masuknya makanan ke
saluran pernafasan
4. Berikan makanan sesuai dengan
prosedur berikut :
- Elevasikan
kepala bayi
- Berikan
ASI atau susu formula dengan
prinsip gravitasi dengan ketinggian
Memberikan makanan tanpa
menurunkan tingkat energi bayi
18
6 – 8 inchi dari kepala bayi
- Berikan
makanan dengan suhu ruangan
- Tengkurap
kan bayi setelah makan sekitar 1 jam
5. Berikan TPN jika diindikasikan
TPN merupakan metode alternatif untuk
mempertahankan nutrisi jika bowel
sounds tidak ada dan infants berada
pada stadium akut.
3. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
sensible dan insesible
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Intervensi Rasional
1. Pertahankan pemberian
infus Dex 10% W 60 – 100
ml/kg bb/hari
Penggantian cairan secara adekuat untuk
mencegah ketidakseimbangan
2. Tingkatkan cairan infus 10
ml/kg/hari, tergantung dari urine
output, penggunaan pemanas
dan jumlah feedings
Mempertahankan asupan cairan sesuai
kebutuhan pasien. Takipnea dan penggunaan
pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan
cairan
3. Pertahankan tetesan infus
secara stabil, gunakan infusion
pump
Untuk mencegah kelebihan atau kekurangan
cairan. Kelebihan cairan dapat menjadi keadaan
fatal.
4. Monitor intake cairan dan Catatan intake dan output cairan penting untuk
19
output dengan cara :
- Timbang berat badan bayi
setiap 8 jam
- Timbang popok bayi untuk
menentukan urine output
- Tentukan jumlah BAB
- Monitor jumlah asupan
cairan infus setiap hari
menentukan ketidak seimbangan cairan sebagai
dasar untuk penggantian cairan
5. Lakukan pemeriksaan
sodium dan potassium setiap 12
atau 24 jam
Peningkatan tingkat sodium dan potassium
mengindikasikan terjadinya dehidrasi dan
potensial ketidakseimbangan elektrolit
4. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah,
dan perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi kritis
Tujuan : Meminimalkan kecemasan dan rasa bersalah, dan mendukung
bounding antara orangtua dan infant
Intervensi Rasional
1. Kaji respon verbal dan non
verbal orangtua terhadap
kecemasan dan penggunaan
koping mekanisme
Hal ini akan membantu mengidentifikasi dan
membangun strategi koping yang efektif
2. Bantu orangtua
mengungkapkan perasaannya
secara verbal tentang kondisi
sakit anaknya, perawatan yang
lama pada unit intensive,
prosedur dan pengobatan infant
Membuat orangtua bebas mengekpresikan
perasaannya sehingga membantu menjalin rasa
saling percaya, serta mengurangi tingkat
kecemasan
3. Berikan informasi yang
akurat dan konsisten tentang
Informasi dapat mengurangi kecemasan
20
kondisi perkembangan infant
4. Bila mungkin, anjurkan
orangtua untuk mengunjungi
dan ikut terlibat dalam
perawatan anaknya
Memfasilitasi proses bounding
5. Rujuk pasien pada perawat
keluarga atau komunitas
Rujukan untuk mempertahankan informasi yang
adekuat, serta membantu orangtua menghadapi
keadaan sakit kronis pada anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
- Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta: EGC
- Surasmi, Asrinin. 2003. Perawatan Bayi Resiko
Tinggi. Jakarta: EGC
- http://hyaline.membrane.disease/
respiratory.distress.syndrome.blogspod.com/html
Sabtu : 25-10-2009/11.15 WIB
21