bab i pendahuluan a. latar...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tanaman tembakau merupakan tanaman yang mempunyai potensi di Pulau Madura khususnya pada Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Hal ini dapat dibuktikan dengan luas areal perkebunan yang terluas menempati urutan pertama untuk Kabupaten Pamekasan sebesar 24.465 ha dan Kabupaten Sumenep sebesar 16.798, sedangkan Kabupaten Bangkalan menempati urutan kelimabelas dengan luas area sebesar 30 ha dan Kabupaten Sampang menempati urutan keenam dengan luas area sebesar 5.062 ha dari 38 kota dan kabupaten yang ada di Jawa Timur (Jawa Timur dalam Angka, 2006). Bagi sebagian besar masyarakat Madura menanam tembakau merupakan mata pencaharian yang menjanjikan, bernilai ekonomi tinggi dan ditanam sejak beberapa generasi yang lalu secara turun temurun hingga saat ini. Menyikapi nilai ekonomi tembakau di Madura pemerintah sudah seharusnya melakukan upaya strategis guna meningkatkan produktifitas petani tembakau. Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah kabupaten Pamekasan melakukan beberapa terobosan untuk mengtoptimalkan benefisitas tanaman tembakau bagi masyarakat. Langkah strategis yang dilakukan pemerintah adalah merumuskan, menerapkan kebijakan. Kebijakan ini berupa program, regulasi dan pendanaan. Kebijakan program pemerintah adalah memberikan bantuan berupa bibit tembakau dan subsidi pupuk. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya monopoli dan permainan harga oleh distributor ketika terjadi krisis pupuk dan bibit tembakau. Selanjutnya pemerintah dengan otoritasnya merumuskan kebijakan regulasi yang ditujukan untuk mengatur tataniaga tembakau untuk melindungi petani dari monopoli tengkulak. Regulasi ini dituangkan dalam Peraturan daerah tentang tataniaga tembakau di kabupaten Pamekasan. Peraturan daerah ini didasari latar belakang bahwa tanaman Tembakau Madura merupakan

Upload: trinhngoc

Post on 02-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tanaman tembakau merupakan tanaman yang mempunyai potensi di Pulau Madura

khususnya pada Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Hal ini dapat dibuktikan dengan luas

areal perkebunan yang terluas menempati urutan pertama untuk Kabupaten Pamekasan

sebesar 24.465 ha dan Kabupaten Sumenep sebesar 16.798, sedangkan Kabupaten Bangkalan

menempati urutan kelimabelas dengan luas area sebesar 30 ha dan Kabupaten Sampang

menempati urutan keenam dengan luas area sebesar 5.062 ha dari 38 kota dan kabupaten

yang ada di Jawa Timur (Jawa Timur dalam Angka, 2006).

Bagi sebagian besar masyarakat Madura menanam tembakau merupakan mata

pencaharian yang menjanjikan, bernilai ekonomi tinggi dan ditanam sejak beberapa generasi

yang lalu secara turun temurun hingga saat ini. Menyikapi nilai ekonomi tembakau di Madura

pemerintah sudah seharusnya melakukan upaya strategis guna meningkatkan produktifitas

petani tembakau. Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah kabupaten Pamekasan melakukan

beberapa terobosan untuk mengtoptimalkan benefisitas tanaman tembakau bagi masyarakat.

Langkah strategis yang dilakukan pemerintah adalah merumuskan, menerapkan kebijakan.

Kebijakan ini berupa program, regulasi dan pendanaan.

Kebijakan program pemerintah adalah memberikan bantuan berupa bibit tembakau

dan subsidi pupuk. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya monopoli dan

permainan harga oleh distributor ketika terjadi krisis pupuk dan bibit tembakau. Selanjutnya

pemerintah dengan otoritasnya merumuskan kebijakan regulasi yang ditujukan untuk

mengatur tataniaga tembakau untuk melindungi petani dari monopoli tengkulak. Regulasi ini

dituangkan dalam Peraturan daerah tentang tataniaga tembakau di kabupaten Pamekasan.

Peraturan daerah ini didasari latar belakang bahwa tanaman Tembakau Madura merupakan

2

produk unggulan Daerah yang hasilnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan

memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap peningkatan perekonomian daerah.

Namun dalam perkembangannya pelaksanaan penatausahaan Tembakau Madura

masih banyak ditemukan permasalahan yang berdampak pada kerugian petani. pengaturan

Tembakau Madura dengan beberapa Peraturan Daerah yang selama ini dilakukan dipandang

kurang efektif dalam pelaksanaannya sehingga perlu disempurnakan. Seacra historis,

setidaknya pemerintah daerah Pamekasan telah mengeluarkan peraturan daerah nomor 2

Tahun 2002 tentang Pengelolaan Tembakau Madura dan peraturan daerah nomor 6 tahun

2002 tentang izin pembelian tembakau dan izin pengusahaan Gudang tembakau. Beberapa

tahun kemudian pemerintah daerah Pamekasan melakukan penyempurnaan dengan

mengundangkan peraturan daerah nomor 6 tahun 2008 tentang penatausahaan tembakau.

Artinya peraturan daerah no 6 tahun 2008 ini merupakan penyempurnaan dari peraturan

daerah penatausahaan tembakau diPamekasan sebelumnya yaitu Peraturan Daerah Kabupaten

Pamekasan Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Tembakau Madura ; dan Peraturan

Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 6 Tahun 2002 tentang Izin Pembelian Tembakau dan

Izin Pengusahaan Gudang Tembakau

Tujuan dari perumusan peraturan daerah ini adalah peningkatan kesejahteraan petani

tembakau melalui meningkatnya pendapatan petani dari penjualan hasil panen tembakaunya.

Perlindungan petani dari monopoli perdagangantembakau ini dijelaskan dalam penjelasan

umum dari peraturan daerah no 6 tahun 2008 ini. Bahwa petani sebagai subyek, pemilik

barang dan produsen sudah seharusnya menjadi subyek penentu dalam proses jual beli

tembakau. Oleh karena itu dengan peraturan daerah tersebut diharapkan petani akan

terlindungi dari eksploitasi grader-grader pabrikan yang selama ini memonopoli proses jual-

beli tembakau di Pamekasan. Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat dan secara

ekonomis akan meningkatkan kesejahteraan petani.

3

Secara garis besar tujuan regulasi baru dalam tataniaga tembakau di Pamekasan ini

adalah: pertama proteksi terhadap orisinalitas tembakau Madura dari upaya pencampuran

dengan tembakau dari luar Madura. Kedua melindungi petani dari monopoli dan

ketidakadilan proses tataniaga tembakau. Ketiga berkaitan dengan izin usaha pembelian

tembakau serta retribusinya kepada pendapatan daerah (peraturan daerah no 6 tahun 2008)

Realita dilapangan sebelum disahkannya peraturan daerah no 6 tahun 2008, yakni

tahun 2001, Thomas Santoso (2001) menemukan ketidak berdayaan petani dan hubungan

yang eksploitatif antara petani dengan gudang dalam tataniaga tembakau. Ketidak berdayaan

petani tembakau dalam tataniaga tembakau meliputi penentuan harga, penentuan kualitas

tembakau dan penentuan berat tembakau. Kondisi ini menimbulkan kerugian bagi petani

karena para juragan dapat dengan mudah mempermainkan harga. Dengan peraturan daerah

baru tentang tataniaga tembakau diharapkan monopoli harga tidak lagi terjadi pada proses

jual beli tembakau.

Namun demikian, pasca disahkannya peraturan daerah no 6 tahun 2008 beberapa

kajian menemukan realita yang tak ubahnya sama seperti halnya pada tahun-tahun

sebelumnya, yaitu masalah ketidakadilan dan monopoli perdagangantembakau oleh para

grader pabrikan. Satriawan (2009) mengidentifikasi masalah petani tembakau di Madura dan

menemukan permasalahan penentuan harga jual tembakau. Menurutnya kualitas tembakau

dan harganya ditentukan oleh grader yang mewakili gudang (Satriawan, 2009)

Temuan lain ditunjukkan oleh handaka bahwa kendala utama petani tembakau adalah

masalah penentuan kualitas dan harga tembakau. Seringkali terjadi perbedaan klaim kualitas

tembakau antara petani dengan pihak pembeli. Ketidakpastian dan tidak adanya standard ini

yang menyebabkan petani menjadi merugi. Oleh karena itu Santoso memaknai Petani sebagai

“Penderita Tata Niaga” (Handaka, 2010). Hasan dan Dwidjono (2013), menambahkan

permasalahan petani tembakau Madura sebagai permasalahan eksternal dan permasalahan

4

internal. Permasalahan eksternal mencakup gerakan anti tembakau/rokok, peraturan

perundangan dan Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau atau Framework Convention

on Tobacco Control (FCTC), sebagai hukum internasional yang telah diresmikan tahun 2005,

maka posisi kelompok anti tembakau menjadi makin kuat. Sedangkan permasalahan internal

mencakup sistem tataniaga tembakau itu sendiri Fuad Hasan dan Dwidjono (2013).

Permasalahan external lain (diluar sistem tataniaga tembakau) terbukanya peluang

manipulasi atau permainan mafia dari kalangan elit. Dalam perspektif ekonomi politik, peran

birokrat pengusaha cukup signifikan akan mempengaruhi proses ekonomi hingga kebijakan.

Artinya kemudian, bahwa monopoli dalam tataniaga tembakau Madura ini sangat

memungkinkan adanya peran-peran tersembunyi oleh pihak yang tidak secara langsung

terlibat dalam transaksi tataniaga tembakau.

Pamekasan sebagai sentra penyerapan tembakau Madura dari seluruh kabupaten yang

ada di Madura, Sekitar 80 % tembakau dari seluruh Madura di serap oleh gudang perwakilan

dari Pamekasan. Banyaknya pengusaha tembakau, dan besarnya omzet mereka

memungkinkan terjadinya permainan yang dilakukan oleh “invisible actor” yang tidak secara

langsung terlibat didalam proses tataniaga tembakau.

Gap antara realita dan harapan yang tertuang dalam rasional peraturan daerah

Pamekasan no 6 2008 menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk kajian lebih mendalam

mengapa hal tersebut bisa terjadi. Serta merumuskan solusi yang tepat untuk mengatasi

permasalahan tersebut. Kajian dalam penelitian adalah mengapa monopoli masih terjadi

dalam proses tataniaga tembakau di kabupaten Pamekasan meskipun petani telah dilindungi

oleh peraturan daerah nomor 6 tahun 2008 tentang penata usahaan tembakau.

5

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan penjelasan diatas, bahwa proses tataniaga tembakau di Pamekasan

merugikan petani dengan adanya monopoli dan permainan harga serta kualitas tembakau oleh

para grader dari gudang. Menyikapi hal tersebut pemerintah daerah Pamekasan berusaha

melindungi petani dari kerugian yang terus menerus dengan mengesahkan peraturan daerah

no 6 tahun 2008 tentang tataniaga tembakau. Ralitanya dalam beberapa kajian sesudah

pengesahan peraturan daerah tersebut ditemukan beberapa permasalahan klasik dalam

tataniaga tembakau.

permasalahan dalam penelitian adalah:

1. Bagaimana efektifitas peraturan daerah nomor 6 tahun 2008 kabupaten Pamekasan

dalam menciptakan perlindungan terhadap petani tembakau dari monopoli

perdagangan tembakau?

2. Mengapa monopoli tataniaga tembakau masih terjadi dikalangan petani tembakau

kebupaten Pamekasan pasca implementasi peraturan daerah no 6 tahun 2008

kabupaten Pamekasan tentang penata usahaan tembakau di kabupaten Pamekasan?

C. Tujuan dan manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Sebuah penelitian obyektif idealnya mempunyai dua arah tujuan, setidaknya mampu

menjawab fenomena atau permasalahan yang sedang diteliti dengan analisa kerangka

teorinya. Disamping itu setiap penelitian mempunyai peluang untuk menemukan konsep,

generalisasi atau bahkan teori baru.Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan menjawab

permasalahan seperti yang tercantum dalam perumusan masalah diatas.

Secara substansial penelitian ini bertujuan:

6

1. Mengetahui mengapa monopoli dalam tataniaga tembakau di kabupaten Pamekasan

masih terjadi pasca implementasi Peraturan daerah no 6 tahun 2008 tentang

penatausahaan tembakau di Kabupaten Pamekasan

2. Mengetahui bagaimana solusi teoritis dan alternatif agar kebijakan peraturan daerah no

6 tahun 2008 memberikan perlindungan terhadap petani tembakau di kabupaten

Pamekasan dari monopoli dalam tata niaga tembakau.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini mempunyai dua arah yaitu internal peneliti untuk

menambah wawasan dan pengetahuan pribadi.

Adapun manfaat eksternal dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat bagi Akademik dan pendidikan

o Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kasanah ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu sosial.

o Sebagai acuan bagi para peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian

secara lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian ini

2. Manfaat bagi Pemerintah dan instansi terkait

o Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan bagi pemerintah

daerah Pamekasan dalam rangka evaluasi kebijakan pemerintah daerah serta

upaya peningkatan kesejahteraan petani tembakau

3. Manfaat bagi masyarakat

7

o Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

masyarakat dengan adanya peningkatan kesejahteraan petani tembakau

D. Tinjauan Pustaka

Dalam kajian penelitian ini digunakan kajian pustaka dari penelitian terdahulu.

Namun dalam sub-bab ini data masih sangat terbatas mengingat studi yang relevan masih

sangat terbatas pula. Hal ini disebabkan karena kebijakan peraturan daerah nomor 6 tahun

2008 tersebut baru ditetapkan pada tanggal 23 Juni 2008 dan diundangkan pada 2 september

2008. Penelitian terdahulu yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian oleh Bondan

Satriawan (2009) mengenai Evaluasi dampak kebijakan pemerintah daerah terhadap

kesejahteraan petani tembakau di Madura. Selain itu untuk sedikit menggambarkan situasi

dan permasalahan pada masa sebelum kebijakan peraturan daerah tersebut di undangkan,

digunakan penelitan Thomas Santoso (2001) tentang tataniaga tembakau di Madura. Selain

itu Penelitian oleh Tatag handaka (2009) tentang jaringan komunikasi petani tembakau

sebagai basis penyusunan kebijakan pemberdayaan ekonomi politik kerakyatan masyarakat

lokal, juga relevan menggambarkan permaslahan yang dihadapi oleh petani tembakau di

Pamekasan.

Penelitian yang dilakukan Satriawan menjaring persepsi masyarakat (secara umum)

terhadap kebijakan pemerintah yang dirancang untuk mengatasi permaslahan yang dihadapi

petani tembakau. Dari data yang terkumpul khusus petani tembakau Pamekasan menyatakan

sangat baik sebanyak 2.4 %, yang menyatakan Baik sebanyak 16,7 %, yang mengatakan

kurang baik sebanyak 76,2 % dan yang mengatakan tidak baik sebanyak 4.8 %. Dalam

penelitian ditemukan beberapa masalah yang dihadapi yaitu, masalah pupuk, bibit, air, hujan

dan masalah yang sangat mendasar yaitu masalah tataniaga yang menyebabkan kerugian

petani. Dalam penelitian Handaka (2009) juga ditemukan permasalahan yang relatif sama

dengan masalah yang mendasar yaitu masalah pemasaran. Standart yang tidak pasti

8

menyebabkan ketidakpastian harga. Oleh karena itu petani dari tahun ketahun terus merugi.

Kondisi demikian tidak jauh berbeda dengan penemuan santoso (2001) dimana petani

mengalami ketidakadilan dalam tataniaga tembakau. Ketidak berdayaan petani tembakau

menurut santoso meliputi: penentuan harga, penentuan kualitas tembakau dan penentuan

berat tembakau. Kondisi ini menimbulkan kerugian bagi petani karena para juragan dapat

dengan mudah mempermainkan harga.

Dari tiga penelitian diatas, yang dijadikan acuan utama adalah penelitian Satriawan

(2009). Penelitian tersebut mengidentifikasi permasalahan yang sedang dihadapi petani

tembakau di kabupaten sumenep dan Pamekasan. Selain itu dalam penelitian tersebut juga

melihat dampak kebijakan publik terhadap kesejahteraan petani tembakau. Namun demikian

penelian ini juga di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh handaka dkk mengenai

jaringan komunikasi petani tembakau di kabupaten Pamekasan.

Dari kedua penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kendala petani tembakau

secara umum terbagi menjadi dua bagian, pertama permasalahan yang memang given dan

berkaitan dengan kondisi alam, permasalahan ini mencakup bibit tembakau, musim, air,

hujan dan permasalahan teknis lain yang berkaitan dengan cuaca dan alam. Kedua

permasalahan artifisial, artinya permasalahan yang sengaja di kondisikan oleh puhak-pihak

tertentu sehingga merugikan petani. Permasalahan ini meliputi monopoli

perdagangantembakau oleh para grader pabrikan.

Kiranya perlu dicermati, bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu.

Perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah:

Pertama penelitian terdahulu melihat permasalahan secara universal, yakni

permasalahan yang disebabkan oleh iklim, cuaca atau masalah yang berkaitan dengan alam

serta permasalahan tataniaga yang secara signifikan berpengaruh pada pendapatan petani.

Sedangkan dalam penelitian ini difokuskan kepada permasalahan artifisial lebih spesifik lagi

9

masalah monopoli perdagangantembakau sehingga merugikan petani. Kedua penelitian

terdahulu, dalam memandang permasalahan hanya berusaha mengungkap bagaimana

permasalahan tersebut terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan petani.

Dalam penelitian ini selain melihat proses permasalahan juga melihat mengapa permasalahan

tersebut tetap terjadi meskipun telah dilakukan upaya perlindungan terhadap petani

tembakau. Efektifitas kebijakan penatausahaan tembakau mulai dipertanyakan yang

kemungkinan menimbulkan temuan-temuan baru yang lebih sistematis.

Ketiga, penelitian terdahulu melihat dan menjaring kepuasan masyarakat khususnya

petani tembakau terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertembakauan.

Kajian tersebut membutuhkan pendalaman dalam aspek apa ketidakpuasan tersebut dan

sejauh mana pemahaman dan pengetahuan masyarakat atas kebijakan tersebut. Hal inilah

yang akan ditambahkan dalam penelitian ini. Hal esensial dalam penelitian selain menyoal

bagaimana dan mengapa permasalahan muncul dalam tataniaga tembakau, juga menyoal

solusi teoritis dan alternatif guna mengatasi permasalahan tersebut.

E. Landasan Teori

1. Kebijakan publik sebagai upaya perlindungan terhadap petani tembakau

1.1. Definisi dan pengertian kebijakan dan urgensitasnya bagi perlindungan petani

tembakau dari monopoli perdagangan

Kebijakan publik dalam arti luas dapat kita pahami sebagai Whatever Government

choose to do or not to do, merupakan pilihan bagi pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan (Young & Quinn, dikutip dalam suharto, 2008). Pada prakteknya kebijakan publik

ini seringkali merujuk pada aspek-aspek yang spesifik dan berkaitan dengan kepentingan

bersama. Dalam konteks ini kebijkan publik seringkali berkaitan dengan fasilitas umum,

transportasi, pendidikan, kesehatan perumahan dan kesejahteraan. Secara dimensional

kebijakan publik mempunyai tiga dimensi yang saling interdependen, kebijakan publik

10

sebagai tujuan (objective), sebagai pilihan legal (authoritative choice) dan kebijakan sebagai

hipotesis (hypothesis).

Tiga dimensi kebijakan publik diatas, pada prakteknya akan saling terkait antara satu

dengan lainnya. Dimensi Legalnya menunjukkan bahwa kebijakan publik dibuat berdasarkan

kajian yang menghasilkan Hipotesis yang kemujdian di sahkan secara legal-formal (dengan

payung hukum) untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan Secara substansial Young

&Quinn mendefinisikan kebijakan publik dengan beberapa unsur. Yaitu:

a. Kebijakan publik sebagai tindakan otoritas pemerintah yang mempunyai kewenangan

hukum, politis dan finansial

b. Sebagai respon atas realita/fakta sosial yang ada dalam masyarakat sebagai warga

negara

c. Serangkaian pilihan tindakan yang berorientasi pada tujuan dan kepentingan umum.

d. Sebuah keputusan pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sebagai respon atas

permasalahan

e. Merupakan justifikasi yang dibuat para ahli sebagai representasi lembaga negara guna

merumuskan langkah-langkah/tindakan strategis pemerintah untuk kepentingan

bersama

Lima elemen definif kebijakan sosial tersebut secara simultan, sistematis membentuk

definisi yang utuh dan secara praktis diterapkan dalam kehidupan bernegara (Suharto, 2008).

Terdapat definisi menarik dari kebijakan publik yang sekiranya relevan dengan fokus

penelitian ini. Yaitu definisi yang rumuskan oleh Friedrik , menurutnya kebijakan publik

adalah:

11

serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam

suatu lingkungan tertentu dengan ancaman dan peluang yang ada. kebijakan yang

diusulkan tersebut untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan dalam

rangka mencapai tujuan bersama (Friedrik, 1963)

Dalam pengertian ini kebijakan publik menjadi sarana untuk mencapai tujuan

sekaligus mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam kaitannya dengan penelitian

ini potensi yang dimaksudkan adalah Tanaman tembakau, sedangkan permasalahannya

adalah proses jual beli yang dimonopoli oleh pihak grader pabrikan sehingga merugikan

petani. Untuk memaksimalkan potensi yang ada (tembakau) dan mengatasi permasalahan

(ketidakadilan tataniaga tembakau, ketidak berdayaan petani) maka pemerintah daerah

Pamekasan mengeluarkan kebijakan publik yang berupa peraturan daerah nomor 6 tahun

2008 (Nugroho, 2009)

logika yang dibangun atas pengertian kebijakan sebagai perlindungan terhadap petani

tembakau adalah bagaimana kebijkan tersebut meregulasi tatanan baru dalam tataniaga

tembakau sehingga proses tersebut tidak merugikan petani. Berdasarkan temuan di lapangan

pada penelitian terdahulu, petani tembakau telah menjadi korban monopoli dalam tataniaga

tembakau. Hal ini telah dijelaskan oleh Santoso (2001) bahwa petani tembakau di Madura

mengalami ketidakberdayaan dalam hal tataniaga tembakau khususnya dalam penentuan

kualitas dan harga tembakau.

Merujuk pada pengertian kebijakan publik, maka sekiranya sangat diperlukan respon

positif dari pemerintah untuk melindungi petani dari monopoli perdagangan oleh para grader

pabrikan. dengan otoritasnya kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengatur proses

tataniaga sehingga tidak merugikan petani. Dalam perspektif ekonomi politik, keberadaan

12

pengambil kebijakan menjadi sangat strategis dimana kebijakan tersebut akan mengendalikan

perilaku ekonomi termasuk didalamnya petani dan pengusaha tembakau.

Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan dapat mengandung makna sebagai alat

dan sebagai tujuan. Tujuan utama kebijakan adalah memanfaatkan potensi dan mengatasi

permasalahan. Oleh karena itu kiranya diperlukan pemahaman akan potensi sumberdaya dan

permasalahan yang membelitnya. Berdasarkan identifikasi masalah, atau dalam istilah

kebijakan disebut dengan analisis kebijakan yang telah dilakukan maka sebuah kebijakan

akan dirumuskan. Sehingga perumusan kebijakan ini melibatkan beberapa stakeholder yang

baik langsung maupun tidak langsung akan bersinggungan dengan manfaat dan dampak dari

kebijakan tersebut.

Secara historis, di indonesia tidak ada satu sektor ekonomi pun yang lebih menderita

daripada sektor pertanian (petani), masa lalunya suram dan masa depan tiak jelas. Kondisi

demikian sesungguhnya telah mengundang banyak perhatian dari pemerintah, namun

demikian entah mengapa petani masih saja menempati posisi subordinat dalam proses

ekonomi. Permasalahan klasik dalam pertanian selalu muncul kemudian menjadi hal baru

yang seakan tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Pertama masalah kepemilikan lahan,

hal ini menjadi penting ketika dikaitkan dengan kwantitas hasil produksi pertanian. Kedua

kondisi-kondisi artifisial yang selalu memaksa petani berada pada posisi sub-ordinat,

terutama ketika dihadapkan pada pemilik modal. Kondisi inilah yang kemudian

membutuhkan campur tangan pemerintah untuk melindungi petani sehingga tidak selalu

menjadi pihak yang dirugikan (Yustika, 2003) .

Mengacu pada potensi tembakau di Madura, khususnya kabupaten Pamekasan

sekaligus permasalahannya, pemerintah daerah Pamekasan telah melakukan langkah

kebijakan dengan peraturan daerah no 6 tahun 2008. Hal ini didasarkan pada rasional bahwa

13

tembakau adalah tanaman potensial di Pamekasan namun pendapatan petani terus mnurun

tiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakadilan sistem tataniaga tembakau yang

ada. Kiranya menarik menyimak apa yang ditulis oleh Todaro (2000) bahwa petani terbagi

menjadi dua kelompok, yaitu petani yang efisien dan petani yang tidak efisien. Petani tidak

efisien berskala kecil, penuh ketidakpastian dan hasilnya bersifat subsisten dengan resiko

yang tinggi. Sedangkan petani yang efisien adalah petani yang berkarakteristik maju dan

bertautan dengan industri. Menurutnya terdapat tiga komponen mendasar yang dapat

mempercepat kemajuan dibidang pertanian. Ketiga hal tersebut adalah, inovasi teknologi,

kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat dan institusi sosial yang mendukung. (Todaro,

2000 dalam Satriawan, 2009)

Kebijakan pemerintah sebagai salah satu motor percepatan kemajuan dalam bidang

pertanian sebagaimana Todaro (2000) sampaikan, merupakan hal yang sangat rasional.

Dalam mata rantai perdagangan hasil pertanian, tidak hanya petani yang mengambil

keuntungan, melainkan pengusaha, pemerintah baik pusat maupun daerah juga ikut

mendapatkan keuntungan dalam proses tersebut. Perdagangan tembakau misalnya,

pemerintah mendapatkan retribusi dari tiap transaksi yang dilakukan, pada level selanjutnya

pemerintah juga mendapatkan cukai tembakau yang nilainya selalu naik tiap tahunnya,

bahkan melampaui prosentase yang ditargetkan. Misalnya target dan realisasi cukai tahun

2009 target cukai hasil tembakau Rp 54,545 trilyun dan ternyata realisasinya mencapai Rp

55,381 trilyun atau sebesar Rp 103,99%. penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok

cukup besar bahkan mengalahkan penerimaan negara dari hasil pertambangan yakni Freeport

yang dalam satu tahun tidak pernah melebihi angka Rp3 triliun. Oleh karenanya kebijakan

yang pro petani tembakau menjadi sebuah keniscayaan dalam proses tataniaga tembakau.

14

1.2. Efektifitas Kebijakan publik dalam menciptakan perlindungan terhadap petani

tembakau

Kebijakan sebagai respon atas permasalahan yang dialami kelompok masyarakat

tidak serta merta menyelesaikan permasalahan secara instant. Sebuah kebijkaan

membutuhkan banyak instrument untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan dalam

kebijakan tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah implementasi kebijakan serta

nilai-nilai yang terkandung didalamnya termasuk pandangan masa lampau, sekarang dan

masa yang akan datang.

Kebijakan sebagai sebuah instrumen yang digunakan untuk mengoptimalkan potensi

dan mengatasi hambatan-hambatannya. Oleh karena itu sudah sewajarnya efektifitas

kebijakan menjadi pertanyaan utama dalam proses dan dinamikanya. Efektifitas kebijakan ini

kemudian di pengaruhi oleh bagaimana implementasi kebiijakan tersebut. Karena dengan

implementasi ini tujuan dari pembuatan kebijakan akan dicapai. Tahap implementasi ini

merupakan keharusan dalam proses kebijakan. Logikanya adalah efektifitas kebijakan bagi

kelompok sasaran tergantung pada bagaimana implementasi dari kebijakan itu sendiri.

Van Meter dan van horn memberikan batasan akan implementasi kebijakan publik

guna meningkatkan efektifitas bagi kelompoks sasaran. menurutnya Implementasi kebijakan

merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok baik

representasi pemerintah maupun swasta yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Pengertian menunjuk pada peran aktor-aktor yang

berkaitan dengan kebijakan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung. Tindakan

tersebut merupakan operasional dari apa yang telah ditetapkan dalam kebijakan yang

dimaksud (Winarno, 2008).

Efektifitas kebijakan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan, sedangkan

implementasi kebijakan ditentukan oleh beberapa faktor. Pandangan mengenai determinasi

15

faktor-faktor tersebut bersifat relatif. Artinya tergantung model dan pendekatan konseptual

yang diterapkan. George C. Edward III menyatakan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu Komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Empat

faktor tersebut saling interdependen dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Kinerjanya

dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Efisiensi dan efektifitas implementasi kebijakan ditentukan oleh empat faktor tersebut

dijelaskan bahwa:

Pertama Komunikasi: sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa kebijakan mempunyai

sasaran dan tujuan. Oleh karena itu implementor harus mengetahui substansi kebijakan dan

mengkomunikasikannya dengan kelompok sasaran (target group) agar tidak terjadi resistensi

dari kelompok sasaran. Kedua sumberdaya: meskipun kebijakan telah dikomunikasikan

dengan baik, apabila tidak didukung dengan sumberdaya yang memadai maka implementasi

kebijakan akan mkurang efektif dan efisien. Sumberdaya dimaksdu dapat berupa sumberdaya

manusia maupun sumberdaya material. Ketiga Disposisi: merupakan watak dan karakteristik

yang dimiliki oleh implementor. Misalnya kejujuran, komitmen dan sifat demokratis.

Keempat Struktur birokrasi: salah satu aspek penting dalam struktur organisasi adalah

standard operational prosedure (SOP), struktur birokrasi yang rumit dan panjang

Komunikasi

Sumber daya

Disposisi

Struktur birokrasi

Implementasi

16

menyebabkan lemahnya pengawasan dan secara otomatis akan mengurangi efktifitas dan

efisiensi implementasi kebijakan (Subarsono, 2009).

Pokok permasalahannya bukanlah mempelajari proses dan dinamika pembuatan

kebiajakan, dalam hal ini adalah peraturan daerah no 6 tahun 2008 kabupaten Pamekasan.

Akan tetapi kajian yang dibangun adalah efektifitas peraturan daerah tersebut dalam

menciptakan perlindungan terhadap petani tembakau dari monopoli dalam tataniaga

tembakau. Setelah dipahami bahwa efektifitas kebijakan dipengaruhi oleh implementasi

kebijakan, persoalan selanjutnya adalah mengetahui sejauhmana efektifitas kebijakan

tersebut. Untuk mengetahui hal tersebut dibutuhkan nilai-nilai yang digunakan untuk

mengevaluasi kebijakan.

Mengacu pada pengertian kebijakan publik, evaluasi ditujukan untuk melihat sejauh

mana efektifitas dan efisiensi kinerja dalam pencapaian tujuan atau outcome sebuah

kebijakan. Winarno (2008) menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan merupakan estimasi atau

penilaian kebijakan yang menyangkut substansi kebijakan, implementasi dan dampak yang

ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.

Untuk mengukur tingkat keberasilan dan efektifitas kebijakan dalam peneilitian ini

digunakan ukuran (indikator) yang dirumuskan oleh Dunn. Menurutnya keberhasilan sebuah

kebijakan dapat dinilai dengan lima indikator. Yaitu Efektifitas, kecukupan, pemerataan,

responsifitas dan ketepatan. Secara teknis, dalam penelitian ini ukuran tersebut diterjemahkan

dalam konsep berikut:

No Kriteria Penjelasan

1 Efektifitas Pencapaian hasil: terciptanya pola tata niaga tembakau yang

sehat, jujur dan terbuka (penjelasan umum peraturan daerah),

17

perlindungan petani tembakau

2 Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil dapat memecahkan masalah:

Posisi petani dalam sistem tataniaga.

3 Pemerataan Apakah manfaat dari kebijakan didistribusikan secara merata:

Pengusaha pembelian tembakau, petani dan pemerintah daerah

4 Responsifitas Hasil yang dapat memuaskan kelompok berdasarkan nilai

masing masing

5 Ketepatan Apakah hasil yang dicapai bermanfaat: sejauhmana pola tata

niaga tembakau yang sehat, jujur dan terbuka bermanfaat bagi

petani tembakau

1.3.Telaah kritis atas efektifitas kebijakan

1.3.1. Perpektif ekonomi politik

Pemahaman universal melihat urgensitas kebijakan bagi petani tembakau merupakan

sebuah keniscayaan. Meskipun demikian, realita di lapangan selalu menyisakan gap antara

harapan dan realita itu sendiri. Secara konseptual kebijakan membutuhkan instrument

pendukung guna mencapai outcomes yang diharapkan. Pemerintah membutuhkan peran

pengusaha untuk mengeksekusi kebijakan yang idealnya ditujukan untuk kemakmuran

bersama. Logika ini kemudian membangun hubungan simbiosis mutualisme antara

pemerintah dengan pengusaha dimana keduanya saling membutuhkan guna menjalankan

peran masing-masing.

Secara teknis hubungan pemerintah dengan pelaku ekonomi dalam hal ini pengusaha

sangatlah strategis. Mengingat pemerintah juga membutuhkan pengusaha untuk memajukan

ekonomi dengan menciptakan pasar. Pasar dibutuhkan untuk menciptkan transaksi dan ruang

18

pengembangan ekonomi rakyat, kemajuan suatu negara di tentukan oleh geliat perekonomian

suatu negara. Pengusaha dibutuhkan untuk melakukan investasi dan pengelolaan sumber daya

alam, memproduksi kebutuhan masyarakat, serta menciptakan pasar. Logika inilah yang

kemudian menempatkan pengusaha dan pemerintah mempunyai hubungan simetris yang

saling menguntungkan.

Relasi keduanya memang tidak dapat dipisahkan, pemerintah mempunyai program

dan pengusaha sebagai eksekutor. Namun permasalahannya kemudian ketika hubungan

keduanya menjadi patron-client yang merugikan pihak ketiga dalam hal ini adalah

masyarakat. Ke-eratan hubungan penguasa dan pengusaha ini dibangun di atas logika saling

menguntungkan, sehingga tidak sedikit pengusaha yang menunggangi kebijakan untuk

melanjutkan eksistensinya. Dan penguasa membutuhkan modal untuk melanggengkan

kekuasaannya. Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, dalil yang dipakai politisi, penguasa tak

ubahnya pedagang adalah M-P-MM-MP. Dengan uang (M-Money), maka akan memiliki

kekuasaan (P-Power), dengan kekuasaan dia mendapat tambahan uang (MM-More Money).

Dan dengan tambahan uang, dia dapat meraih lebih banyak kekuasaan (MP-More Power),

dan seterusnya (Seputar Indonesia, 27 Juli 2010).

Relasi antara pemerintah dengan pengusaha sebagaimana dijelaskan diatas, pada

perkembangannya akan memunculkan apa yang oleh William Reno (1995) dan Barbara

Harriss – White (2003) sebagai shadow state dan informal economy. Meskipun tujuan

pembangunan relasi tersebut pada awalnya adalah untuk melaksanakan program pemerintah

termasuk masalah ekonomi, namun selanjutnya kekuatan eksternal pemerintah akan mendikte

kebijakan untuk kepentingan mereka.

Shadow state dapat dipahami bermula dari melemahnya fungsi Negara baik karena

perang maupun karena krisis ekonomi. Oleh karenanya Negara membutuhkan relasi guna

19

membangun kembali sektor ekonomi dalam hal ini adalah dengan pengusaha. Konsep awal

relasi Negara – Pengusaha ini adalah untuk pembangunan ekonomi. Namun selanjutnya

terjadi degradasi fungsi Negara dan penguatan dominasi pengusaha dengan mendikte setiap

kebijakan. Hal ini terjadi karena terjadi pertukaran sumberdaya finansial oleh pengusaha

dengan sumberdaya kekuasan oleh Negara sehingga memunculkan kekuasaan informal (oleh

pengusaha) yang melebihi kekuatan kekuasaan formal (Negara), (Reno, 1995)

Fenomena ralasi penguasa dengan pengusaha di Indonesia sudah terjadi sejak lama,

terlihat begitu mencolok pada masa kekuasaan orde baru. Oligarki kapitalisme begitu jelas

mengiringi pembangunan ekonomi di Indonesia. Hadiz (2005) menengarai bahwa praktek

kapitalisme oligarki pada masa orde baru dengan memanfaatkan kekuatan koersif Negara

sebagai instrument pencapaian tujuan klien penguasa. Selain itu melemahnya kelompok

masyarakat yang ditandai dengan disorganisasi sitematis kekuatan civil society. Puncaknya

Soeharto sebagai manifestasi sistem patronase menguat keseluruh bagian di Indonesia.

Pasca Orde baru sentralisasi telah digantikan dengan desentralisasi. Element-element

yang telah terbentuk melalui sistem patronase orde baru mulai mengorganisir diri dalam

bentuk baru. Perebutan kekuasaan tingkat lokal, munculnya oportunis ekonomi dan

kekuasaan baru mulai tampak pada tingkat lokal. Relasi pengusaha dan penguasa ditingkat

lokal semakin erat dan muncul elit-elit lokal baru baik yang mandiri maupun berafiliasi

dengan kekuatan yang lebih besar yang kemudian mendominasi kekuatan Ekonomi – Politik

di Indonesia (Hadiz, 2005)

Berkaitan dengan petani tembakau di Pamekasan Madura, monopoli perdagangan

yang berlangsung sejak dahulu kala mempunyai potensi adanya ersatz capitalism (kapitalisme

semu). Hubungan pengusaha dan penguasa relatif lebih terjalin mesra daripada hubungannya

dengan rakyat. Realita ini dibangun atas dasar saling membutuhkan. Kekuatan uang

20

pengusaha mampu menekan pemerintah untuk melupakan suara rakyat yang telah

memilihnya. Kebijakan yang di undangkan disinyalir hanyalah isapan jempol semata.

Kalaupun itu ada maka implementasi di lapangan masih jauh dari ideal dengan kata lain

efektifitas kebijakan juga di pengaruhi oleh pola hubungan antara penguasa (pengambil

kebijakan) dengan pengusaha.

Kunio menengarai bahwa praktik kapitalisme saat ini telah memasuki babak baru,

tidak hanya menggunakan kekuatan modal, tapi juga meminjam kekuatan regulasi

pemerintah yang diterjemahkan dalam kebijakan. Meskipun pandangan demikian masih

bersifat relatif, akan tetapi kiranya cukup menjadi sebuah pisau analisis dalam menjelaskan

problematika monopoli yang merugikan petani tembakau. Kebenarannya akan ditemukan

dilapangan setelah diadakan penelitian dan kajian mendalam.

1.4. Monopoli dalam tataniaga tembakau

Konsep dasar monopoli adalah adanya dominasi kelompok tertentu dalam proses

ekonomi sehingga menghilangkan adanya persaingan sehat diantara competitor. Proses ini

selalu melahirkan dikotomi kelompok dominan dan kelompok marginal (kamus ilmu sosial,

2002). Dalam konteks pertanian monopoli ini dapat diterjemahkan secara luas hingga

kedalam kebijakan yang mengintervensi sektor tersebut. Sehingga sudah lazim didengar

bahwa petani adalah kelompok yang selalu kalah dalam segala situasi dan kondisi. Soetomo

(1997) dalam Yustika (2003) menegaskan bahwa petani adalah kelompok yang selalu kalah.

Kekalahan ini bukan berarti dalam sebuah kompetisi memperebutkan kejuaraan. Akan tetapi

kekalahan yang menyebabkan petani selalu merugi dalam proses ekonomi. Menurutnya

kekalahan petani meliputi: pertama kekalahan petani dari alam, meskipun alam Indonesia

sangat kaya sumberdaya pertanian, akan tetapi disatu sisi justeru menyebabkan

ketergantungan petani terhadap alam. Ironisnya disuatu saat alam tidak berpihak pada

21

kepentingan petani, sehingga petani seringkali gagal panen gara-gara gejolak alam. Kedua

kekalahan dalam sistem kekuasaan dan politik, dinamika masyarakat selalu melahirkan

kelompok baru dalam masyarakat. Petani modern mulai menggeser petani tradisional.

Pemasaran hasil pertanian tunduk pada hukum permintaan dan penawaran dan hasil pertanian

dapat dikendalikan oleh sekelompok individu dengan kekuatan otoritasnya. Sehingga harga

jual hasil pertanian terancam oleh praktik rekayasa ekonomi makro.ketiga ilmu pengetahuan

yang sedianya digunakan untuk membantu mereka justeru sebaliknya, menciptakan

competitor baru yang secara telak memarginalkan petani (Yustika, 2003).

Proses tataniaga tembakau setidaknya melibatkan beberapa pihak baik langsung

maupun tidak langsung yaitu Petani, Tengkulak, Pihak Gudang dan Pabrikan. Perihal proses

tataniaga tembakau ini telah diatur oleh pemerintah terutama oleh pemerintah daerah yang

tujuannya menciptakan keadilan dan bebas dari monopoli dalam tataniaga. Namun

kenyataannya masih banyak terjadi monopoli dan ketidak adilan dalam tataniaga tembakau.

Ironisnya Petani selalu menjadi pihak yang dirugikan.

Konsep monopoli tidak dapat dilepaskan dari konteks ruang dan waktu. Pengertian

dasarnya adalah adanya dominasi individu, kelompok tertentu dalam sebuah proses sehingga

tidak ada persaingan yang sehat. Konsep monopoli dalam perkembangannya digunakan untuk

melihat proses pasar, pemerintahan, pelayan publik dan proses ekonomi secara luas.

Monopoli juga diartikan sebagai A company or group having exclusive control over a

commercial activity dimana terdapat kelompok yang secara eksklusif mengendalikan aktifitas

komersial yang mencakup mekanisme pasar, kegiatan ekonomi, perdagangandan sebagainya

(http://www.thefreedictionary.com/monopoly).

Mengacu pada konsep monopoly capitalism dimana akumulasi modal dpat menciptakan

sistem kartel dan manipulasi pekerja sehingga meniadakan persaingan dalam pasar. Konsep

22

ini merupakan pandangan Marxism yang melihat monopoli sebagai akibat dari adanya

akumulasi modal dan modal adalah faktor utama yang memicu adanya monopoli tersebut

(Jary&Jary, 1991). Hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan dalam realita proses

tataniaga tembakau. Monopoli dalam perdagangantembakau ini menyebabkan

ketidakberdayaan petani tembakau.

Monopoli dalam tataniaga tembakau menyebabkan adanya ketidakadilan bagi petani.

Petani tembakau selalu dirugikan dalam setiap transaksinya. Santoso (2001) menemukan

ketidak berdayaan petani dan hubungan yang eksploitatif antara petani dengan gudang dalam

tataniaga tembakau. Ketidak berdayaan petani tembakau dalam tataniaga tembakau meliputi

penentuan harga, penentuan kualitas tembakau dan penentuan berat tembakau. Kondisi ini

menimbulkan kerugian bagi petani karena para juragan dapat dengan mudah mempermainkan

harga. Perbedaan pendapat dalam menentukan mutu tembakau menjadi sebab utama dalam

monopoli ini. Ironisnya penentuan kualitas tembakau ini ditentukan oleh pendapat dari pihak

pembeli, kondisi demikian sangat merugikan petani.

Monopoli dalam tataniaga tembakau tidak hanya dapat dipahami sebagai fenomena

ekonomi sebagai dampak dari dinamika ekonomi semata. Kemungkinan adanya pihak selain

petani yang dengan sengaja menciptakan sistem tataniaga yang merugikan petani patut

dikritisi sebagai pertimbangan dalam melihat permasalahan ini secara komplek.