bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fenomena hidrologi yang terjadi di bumi merupakan siklus yang sangat
kompleks. Sebagaimana diketahui, hidrologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan
alam yang mempelajari keberadaan, persebaran, gerak dan sifat air bumi serta
hubungannya dengan lingkungannya (Viessman et al., 1989 dalam Hadi, 2003).
Definisi lain Hidrologi dipaparkan oleh (Asdak, 2010) yang menyatakan Hidrologi
merupakan ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat)
pada, dalam, dan di atas permukaan tanah, termasuk di dalamnya penyebaran, daur,
dan perilakunya, sifat-sifat kimia dan kimianya, serta hubungannya dengan unsur-
unsur hidup dalam air itu sendiri. Hidrologi sebagai sebuah ilmu memiliki rentang
bahasan yang sangat banyak, oleh karenanya para ahli hidrologi
mengklasifikasikannya ke dalam beberapa cabang, yakni: Geohidrologi,
Potamologi, Limnologi, Kriologi, dan Hidrometeorologi. Secara khusus kajian
hidrologi juga dapat diterapkan untuk kajian tertentu misalnya hidrologi hutan,
hidrologi daerah pasang-surut, dan hidrologi perkotaan. Pada penelitian ini,
bahasan kajian akan difokuskan pada air permukaan di kawasan perkotaan.
Kajian Potamologi saat ini menjadi perbincangan yang cukup menarik,
utamanya studi tentang hidrologi perkotaan yang membahas mengenai hubungan
antara hujan dan limpasan sebagai respon Daerah Aliran Sungai (selanjutnya
disingkat DAS) terhadap hujan (Lazaro, 1990). Kajian hidrologi kota merupakan
pengetahuan yang spesifik pada aplikasi hidrologi di area yang sangat tinggi
aktivitas manusianya yang berhubungan dengan proses alam. Berkaitan dengan itu,
pada umumnya perkembangan kota yang pesat menyebabkan lahan terbangun
(impervious area) menjadi semakin banyak sehingga respon DAS dalam
menanggapi hujan yang terjadi akan berbeda karakternya.
Respon DAS terhadap hujan pada daerah perkotaan menghasilkan
karakteristik DAS yang khas. Kebanyakan daerah-daerah perkotaan memiliki
karakter DAS yang mudah banjir. Menurut (Chow, 1964) banjir didefinisikan
sebagai setiap aliran yang relatif tinggi dan menimbulkan masalah pada manusia.
2
Definisi lain banjir dipaparkan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah (Kimpraswil, 2003) yang menyatakan bahwa aliran air di permukaan tanah
(surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase
atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan
genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada
manusia. Banjir juga merupakan ancaman alam yang paling sering terjadi dan
paling banyak merugikan, baik dari segi kemanusiaan maupun ekonomi. Menurut
Naryanto (2009), penyebab banjir pada dasarnya disebabkan tiga hal. Pertama,
kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan
berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan sangat
tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi
lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada daerah aliran sungai,
pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya.
Permasalah banjir cenderung meningkat dari tahun ke tahun yang diakibatkan oleh
adanya perubahan watak banjir serta pesatnya pembangunan berbagai kegiatan
manusia.
Aliran air di sungai merupakan hasil dari beberapa proses yang terjadi pada
alih ragam hujan-limpasan di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan dikenal
sebagai hasil siklus hidrologi DAS. Hasil aliran sungai dalam siklus hidrologi DAS
akan dipengaruhi oleh karakteristik curah hujan, tutupan vegetasi DAS,
penggunaan lahan, dan morfometri DAS.
Karakteristik hujan mempunyai efek yang besar pada pengalihragaman
hujan-limpasan dalam siklus hidrologi DAS. Karakteristik hujan tidak dapat
dipisahkan dengan penggunaan lahan dalam proses pembentukan aliran limpasan.
Semakin besar daya retensi DAS mengindikasikan kondisi DAS yang semakin baik,
dicirikan oleh tutupan vegetasi yang dominan, infiltrasi besar, dan debit puncak
limpasan tidak melebihi kapasitas tampungan sungai. Adapun proses pembentukan
limpasan permukaan dimulai dari sebagian curah hujan yang mencapai permukaan
(throughfall), sebagian yang lain akan menjadi simpanan sementara di dalam
vegetasi (intersepsi). Pada kondisi yang jenuh air, daun pada pepohonan akan
3
mengakibatkan air jatuh ke permukaan bergabung menjadi limpasan permukaan,
sedangkan sebagian yang lain akan mengalami evapotrasnpirasi setelah hujan reda.
Sebelum menjadi limpasan permukaan, air hujan yang jatuh akan mengalami
infiltrasi sampai pada zona perakaran tanaman (interflow) dan perkolasi hingga
zone lapisan jenuh air (baseflow). Walaupun demikian, air pada zona tak jenuh
(interflow) dan zone jenuh air (baseflow) akan mengumpul pada titik tertentu
sebagai luaran (outlet) sungai.
Selain karakteristik curah hujan, alih ragam hujan menjadi aliran juga
dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Penggunaan lahan di daerah perkotaan yang
banyak didominasi oleh permukiman dan lahan terbangun (impervious area)
mengakibatkan dampak negatif terhadap karakteristik hidrologis pada sejumlah
DAS. Perkembangan lahan terbangun yang dinamis menyebabkan volume dan
debit limpasan permukaan meningkat sehingga intensitas banjir akan semakin
tinggi. Kondisi tersebut diperparah dengan meningkatnya pertambahan jumlah
penduduk yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan sarana dan prasarana
permukiman, sosial ekonomi, kesehatan, kawasan industri, pariwisata, dan
perkantoran. Mengingat ketersediaan lahan untuk memenuhi sarana dan prasarana
sudah tidak dapat dipenuhi lagi, maka untuk memenuhinya adalah dengan
menempati lahan yang tidak layak huni yang pada akhirnya menimbulkan bahaya
seperti di daerah bantaran sungai atau di dataran banjir. Perubahan penggunaan
lahan pada daerah perkotaan akan mengakibatkan perubahan karakteristik debit
puncak dan volume aliran sehingga respon hidrologi DAS akan mengalami
gangguan.
Morfometri DAS seperti bentuk DAS, luas DAS, panjang sungai utama,
luas daerah hulu, kerapatan sungai, dan topografi sungai merupakan faktor lain
yang mempengaruhi alir ragam hujan menjadi aliran. Bentuk dan luas DAS yang
berbeda akan berpengaruh terhadap respon DAS dalam menghasilkan volume dan
debit sungai. Pada bentuk DAS yang panjang dan luas yang besar, debit puncak
akan terjadi pada waktu yang relatif lebih lama jika dibandingkan dengan bentuk
DAS yang membulat dan luas yang kecil.
4
Analisis tanggapan DAS terhadap masukan hujan yang menghasilkan
keluaran berupa aliran sungai pada umumnya mengandung ketidaktelitian
(inaccuracy) dan ketidakpastian (uncertainty) padahal keluaran tersebut biasanya
akan digunakan untuk dasar pertimbangan rancang bangun tanggul banjir (Hadi,
2003). Pelbagai metode dalam penentuan aliran sungai telah dikembangkan oleh
pakar hidrologi, diantaranya yakni: metode rasional, hidrograf aliran, Soil
Conservation Service Curve Number (SCS CN), hidrograf satuan, dan hidrograf
satuan sintetik untuk mengetahui karakterisik aliran yang terjadi pada suatu wilayah
tertentu. Beragamnya metode yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan
dan ketersediaan data sehingga masing-masing metode penentuan aliran tersebut
memiliki kelebihan dan kelemahan.
Salah satu metode yang sering dipakai dalam analisis aliran ialah dengan
melihat hidrograf aliran sungai. Hidrograf aliran diperlukan untuk mempelajari
respon hidrologi sungai seperti fluktuasi volume dan waktu debit puncak terutama
selama terjadi banjir. Suatu hidrograf banjir menunjukkan bagaimana perubahan
volume sungai sebelum dan sesudah banjir melanda, melalui kenaikan puncak
hidrograf aliran hingga penurunan hidrograf aliran. Dengan hidrograf aliran akan
diperoleh hubungan antara curah hujan dengan debit sungai dalam rentang waktu
tertentu (Sene, 2008). Hidrograf merupakan metode yang dapat menentukan
karakteristik aliran suatu sungai. Namun demikian, dalam wilayah yang lebih kecil
(DAS kurang dari 2.5 Km2) penentuan aliran biasanya menggunakan metode
rasional (Ponce, 1989 dalam Triatmodjo, 2010) yang dinilai lebih sederhana.
Metode rasional kerap digunakan dalam perencanaan drainase perkotaan mengingat
metode ini menghasilkan debit maksimum sebagai fungsi dari koefisien aliran (C),
intensitas hujan (I), dan luas DAS (A). Namun demikian model prediksi limpasan
metode rasional tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan dan aliran
permukaan dalam bentuk hidrograf (Suripin, 2004).
Salah satu daerah yang mengalami permasalahan banjir ialah Kali Belik yang
terletak di sebagian Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Kali Belik memiliki
karakteristik urban dengan sebagian besar lahan terbangun (impervious area).
5
Hubungan hujan – limpasan pada Kali Belik menjadi menarik untuk dikaji
mengingat secara morfologi masuk ke dalam daerah perkotaan dengan penggunaan
lahan yang didominasi oleh lahan terbangun. Hal ini ditambah dengan kejadian
banjir kota yang telah berulangkali terjadi sehingga menimbulkan genangan,
bahkan mampu untuk merobohkan sebagian rumah warga sekitar yang dilalui banjir
ini. Banjir yang terjadi di sebagian kali belik menunjukkan kapasitas maksimum
sungai tidak mampu lagi untuk menampung limpasan sehingga kajian mengenai
hubungan antara hujan – limpasan untuk mengetahui sejauh mana karakteristik
hujan berpengaruh terhadap limpasan kali belik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana yang dipaparkan pada latar belakang di
atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana karakteristik hujan pada DAS Belik Hulu?
b. Bagaimana karakteristik limpasan pada DAS Belik Hulu sebagai respon
dalam menangapi hujan?
c. Bagaimana hubungan antara karakteristik hujan – limpasan pada DAS
Belik Hulu.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
memiliki tujuan, yakni:
a. Menganalisis Karakteristik Hujan DAS Belik hulu
b. Mendeterminasi karakteristik limpasan pada DAS Belik Hulu sebagai
respon dalam menanggapi hujan
c. Menganalisis hubungan antara karakteristik Hujan – limpasan pada DAS
Belik Hulu.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain:
a. Manfaat Pengembangan Akademis
6
Hubungan hujan – limpasan merupakan kajian yang penting dalam
hidrologi, sehingga diharapkan penelitian ini dapat memperkaya kajian
hidrologi utamanya dalam kajian tentang banjir.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini memfokuskan pada hubungan karakteristik hujan – limpasan
permukaan pada Kali Belik yang memiliki penggunaan lahan dominan
perkotaan (urban catchment) sehingga diharapkan penelitian ini dapat
dijadikan sebagai salah pertimbangan dalam pengelolaan DAS Belik Hulu.
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS)
Istilah Daerah Aliran Sungai (DAS) banyak digunakan oleh beberapa ahli
dengan makna atau pengertian yang berbeda-beda, ada yang menyamakan dengan
cacthment area, watershed, atau drainage basin. Menurut Sudjarwadi (1987),
Daerah Aliran Sungai (DAS) ialah suatu wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi
oleh pemisah topografi yang berfungsi mengumpulkan, menyimpan dan
menyalurkan air beserta sedimen unsur hara dalam sistem sungai dan keluar melalui
outlet tunggal sedangkan menurut Dictionary of Scientific and Technical Term
DAS (Watershed) diartikan sebagai suatu kawasan yang mengalirkan air ke satu
sungai utama (Lapedes, et al., 1974).
Sebagaimana pengertian di atas, DAS merupakan sebuah sistem yang di
dalamnya terdapat banyak interaksi satu dengan yang lainnya. Namun demikian,
pengertian DAS pada penelitian ini dibatasi pada definisi kedua sebagaimana
dipaparkan oleh Lapedes, et al, 1974 karena tinjauan penelitian ini fokus terhadap
masalah hidrologis.
1.5.2. Siklus Hidrologi DAS
Keseluruhan air yang berada di bumi pada dasarnya memiliki satu kesamaan
proses utama yang dinamakan siklus hidrologi. Menurut Triatmodjo (2010) siklus
hidrologi merupakan proses kontinyu dimana air bergerak dari bumi ke atmosfer
dan kemudian ke bumi lagi. Pada siklus hidrologi, air sebagai penyusun utamanya
7
mengalami pelbagai perubahan wujud yang bergantung pada proses hidrologi yang
terjadi. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya
menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di
laut atau badan-badan air lainnya. uap air sebagai hasil evaporasi akan terbawa oleh
angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar, dan apabila keadaan
atmosfer memungkinkan, sebagian uap air tersebut akan terkondensasi dan turun
sebagai hujan (Asdak, 2010).
Dalam siklus hidrologi, hujan merupakan proses awal yang memungkinkan
air berpindah dari atmosfer menuju ke bumi. Perpindahan air dari atmosfer ke bumi
merupakan awalan dari keseluruhan proses hidrologi yang terjadi dalam Daerah
Aliran Sungai (selanjutnya disingkat DAS). Sebelum mencapai permukaan tanah
air hujan akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian air hujan akan tersimpan di
permukaan tajuk/daun dan sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah
melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan
batang pohon (stemflow). Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di
permukaan tanah, melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan
batang) selama dan berlangsungnya hujan (interception loss).
Air hujan yang mencapai permukaan tanah sebagian akan masuk (terserap)
ke dalam tanah (infiltration), sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam
tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah
(surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat
yang lebih rendah (runoff) yang selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan
tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk
kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban airtanah telah cukup jenuh maka
air hujan yang masuk ke dalam tanah akan bergerak secara lateral (horizontal) yang
selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface
flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan yang masuk ke
dalam tanah akan bergerak vertikal ke tanah akan bergerak vertikal ke tanah yang
lebih dalam dan menjadi bagian dari airtanah (groundwater). Airtanah tersebut akan
mengalir pelan-pelan ke sungai (baseflow) (Asdak, 2010). Secara lebih detail, siklus
hidrologi ditunjukkan pada Gambar 1.1.
8
Gambar 1.1. Siklus Hidrologi DAS
(Tarboton, 2003)
1.5.3. Proses Hujan Menjadi Aliran/Limpasan
Menurut Ariwibowo (2002), hujan didefinisikan sebagai presipitasi
berbentuk cair yang jatuh sampai ke permukaan bumi. Hujan terjadi karena
penguapan air terutama air dari permukaan laut, yang naik ke atmosfer, dan
mendingin kemudian menyuling dan jatuh sebagian di atas laut dan sebagian di
daratan. Hujan yang jatuh pada DAS tidak semuanya akan menjadi limpasan.
Limpasan akan terbentuk apabila hujan yang jatuh di suatu DAS melebihi kapasitas
infiltrasi.
Mekanisme terbentuknya limpasan diawali dengan jatuhnya hujan ke bumi
yang kemudian sebagian akan tertampung pada daun dan batang serta meresap ke
tanah. Air hujan yang tidak dapat tertampung oleh daun, batang, serta tanah
kemudian akan mengalir (melimpas) di atas permukaan tanah menuju parit-parit
dan selokan yang selanjutnya akan bergabung menjadi anak sungai dan akhirnya
menjadi aliran sungai. Air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) menyebabkan
terjadinya aliran antara (interflow), yakni aliran yang terjadi di bawah permukaan
tanah. Air yang berada pada zona lengas tanah ini dapat bergerak ke elevasi yang
9
lebih rendah yang pada akhirnya akan bergabung dengan sungai. Sedangkan air
yang mengalami perkolasi akan membentuk aliran airtanah. Pada kondisi tertentu,
aliran airtanah dapat keluar dalam bentuk mataair (spring) yang menyebabkan
adanya aliran dasar pada sungai (baseflow). Komponen limpasan yang terbentuk
pada sungai (channel) diperlihatkan pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2. Komponen Limpasan (Triatmodjo, 2010)
1.5.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Limpasan
Seperti yang dipaparkan di atas, limpasan terjadi karena adanya hujan yang
tidak dapat tertampung oleh kapasitas infiltrasi. Limpasan sebagai alihragam hujan
dipengaruhi oleh beberapa hal. Asdak (2001) dan Sosrodarsono (2009)
menyebutkan terdapat dua faktor yang mempengaruhi karakteristik limpasan, yakni
faktor iklim dan faktor DAS. Lebih lanjut Seyhan (1990) menyatakan bahwa
terdapat faktor lain yang juga signifikan berpengaruh terhadap limpasan, yakni
faktor manusiawi (struktur hidrolik, teknik pertanian, dan urbanisasi). Masing-
masing faktor memiliki pengaruh yang berbeda dalam pembentukan limpasan,
bergantung pada ciri khas dari DAS yang bersangkutan.
a. Faktor Iklim
Faktor iklim oleh Sosrodarsono (2009) dipaparkan sebagai kelebatan curah
hujan, lamanya curah hujan, dan intensitas curah hujan. Adapun Asdak (2010)
menjelaskan bahwa faktor iklim yang mempengaruhi limpasan ialah durasi hujan,
intensitas hujan, dan distribusi hujan. Secara lebih detail Seyhan (1990)
menyebutkan bahwa faktor iklim yang mempengaruhi limpasan ialah banyaknya
10
presipitasi (hujan), evapotrasnpirasi, dan faktor meteorologis (radiasi matahari,
suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan atmosfer).
Griend (1979 dalam Setyowati 2010) menyebutkan sifat-sifat hujan yang
penting untuk diperhatikan dalam pengalihragaman hujan menjadi limpasan antara
lain (1) jumlah hujan yang menunjukkan tebal hujan selama hujan berlangsung
dalam satuan millimeter; (2) intensitas hujan yang menyatakan jumlah hujan yang
jatuh persatuan waktu; (3) lama hujan yang menunjukkan lama waktu hujan
berlangsung; (4) frekuensi hujan yang menggambarkan jumlah hujan yang
diharapkan terjadi dalam periode ulang tertentu, dan (5) sebaran atau daerah hujan
yang menunjukkan luas daerah yang terwakili oleh suatu penakar hujan.
b. Faktor Daerah Aliran Sungai (DAS)
DAS memiliki karakteristik tertentu yang ditentukan dari kondisi geologi dan
geomorfologinya. Sosrodarsono (2009) menyebutkan bahwa terdapat empat faktor
DAS yang mempengaruhi limpasan. Keempat faktor tersebut antara lain
penggunaan lahan, topografi, jenis tanah, dan kelembaban tanah. Asdak (2010)
menambahkan bahwa faktor DAS yang juga mempengaruhi limpasan ialah bentuk
dan ukuran DAS dan kondisi geologi.
Secara lebih spesifik dalam penelitian ini yang akan lebih ditekankan ialah
faktor DAS dari sisi penggunaan lahan. Mengingat Kali Belik berada di area
perkotaan (urban) maka kondisi penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap
limpasan yang dihasilkannya. Areal perkotaan menjadi menarik untuk dikaji karena
perkotaan merupakan pusat segala aktivitas manusia, sehingga mempelajari aspek
limpasan pada daerah perkotaan sama dengan berusaha untuk mencari sintesis
permasalahan, utamanya dalam aspek hidrologi untuk memecahkan permasalahan
berupa banjir limpasan.
1.5.5. Definisi Urban
Secara luas urban (kota) didefinisikan menjadi enam tinjauan (Yunus,
1982) yang didasarkan pada aspek yuridis administratif, segi morfologikal, jumlah
penduduk, kepadatan penduduk, jumlah penduduk kriteria tertentu, dan segi
11
fungsinya dalam suatu organic region. Dari sisi yuridis administratif kota diartikan
sebagai suatu daerah tertentu dalam wilayah Negara dimana keberadaannya diatur
oleh undang-undang (peraturan tertentu) dibatasi oleh batas-batas administratif
tertentu berstastus sebagai kota berpemerintahan tertentu dengan segala hak dan
kewajiban mengatur wilayahnya. Tinjauan berdasar sisi morfologikal sedikit
berbeda dengan definisi berdasar aspek yuridis Administratif. Hal ini didasari
kenyataan bahwa sisi morfologikal melihat kota sebagai suatu daerah tertentu
dengan karakteristik penggunaan lahan non-agraris, dimana sebagian besar tertutup
bangunan (baik residensial maupun non residensial) dan secara umum building
coverage, pola jaringan jalan lebih kompleks, dalam sistem permukiman yang
berada di daerah sekitarnya (Yunus, 2007).
Definisi dari aspek jumlah penduduk menganggap Kota sebagai daerah
yang dihuni oleh penduduk dengan population threshold tertentu. Adapun
pengertian kota menurut tinjauan kepadatan mengacu pada besarnya kepadatan
yang ada pada suatu daerah tertentu sesuai dengan batasan yang ditetapkan. Definisi
Kota berdasar tinjauan gabungan antara batasan jumlah penduduk dengan kriteria
tertentu yang lain melihat bahwa aspek jumlah penduduk saja cenderung tidak
cukup sehingga diperlukan pengertian lebih detail, yakni penambahan kriteria lain
untuk penentuan definisi kota (Yunus, 2007), sedangkan pengertian Kota menurut
tinjauan fungsinya dalam suatu organic region melihat adanya hubungan
fungsional antara berbagai sektor kegiatan dalam wilayah yang luas, saling
berimplikasi satu sama lain dan membentuk satu simpul tertentu yang terpusat pada
titik tertentu. (Clark, 1982).
1.5.6. Penggunaan Lahan (Land Use)
Menurut Vink (1975) lahan ialah suatu wilayah di permukaan bumi, yaitu
semua benda penyusun biosfer yang dapat dianggap bersifat menetap atau
berpindah meliputi atmosfer, tanah, batuan, topografi, air, flora, fauna, serta akibat-
akibat kegiatan manusia pada masa lalu maupun sekarang. Semua itu mempunyai
pengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia di masa sekarang maupun di
masa mendatang. Adapun penggunaan lahan menurut Malingreau (1978 dalam
Ritohardoyo 2009) ialah segala macam campur tangan manusia, baik secara
12
menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk
mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kebutuhan kedua-
duanya.
Secara lebih spesifik, penggunaan istilah penutup lahan (land cover) dan
penggunaan lahan (land use) dalam penelitian ini harus dibedakan secara jelas.
Penutup lahan (land cover) dalam pemakaiannya mengacu pada sumberdayanya itu
sendiri sedangkan penggunaan lahan mengacu pada aktivitas yang ada
hubungannya dengan penggunaan sumberdaya itu sendiri.
1.5.7. Penggunaan Lahan Perkotaan
Secara umum penggunaan lahan perkotaan didominasi oleh lahan
terbangun. Penutup lahan berupa vegetasi menjadi hal yang langka mengingat
aktivitas manusia di perkotaan sangat tinggi. Dengan persentase lahan terbangun
(impervous surface) yang tinggi maka kapasitas infiltrasi tanah untuk menangkap
air menjadi semakin sedikit, akibatnya limpasan sebagai hasil alih ragam hujan
menjadi meningkat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan lahan
perkotaan sangat signifikan berpengaruh terhadap limpasan.
Penggunaan lahan perkotaan erat kaitannya dengan nilai koefisien limpasan
yang tinggi, karena pada hakikatnya penggunaan lahan perkotaan menyebabkan
infiltrasi menjadi berkurang dan persentase volume hujan yang teralihragamkan
menjadi limpasan meningkat. Koefisien limpasan teoritik yang sering digunakan
pada perhitungan debit puncak Rumus Rasional merupakan hasil dari penurunan
dari uji limpasan secara riil di lapangan.
1.5.8. Analisis Frekuensi untuk Pengolahan Data Hujan
Analisis Frekuensi ialah suatu analisis data hidrologi dengan menggunakan
statistika yang bertujuan untuk memprediksi suatu besaran hujan dengan masa
ulang tertentu. Analisis frekuensi didasarkan pada sifat data pada pengukuran yang
lampau untuk menentukan probabilitas curah hujan di masa yang akan datang (Sri
Harto, 1993). Analisis Frekuensi pada hujan rencana dilakukan untuk menentukan
13
intensitas hujan tertinggi yang diperoleh dari data hujan otomatis. Data hujan dalam
beberapa tahun secara time series dianalisis sehingga menghasilkan intensitas hujan
maksimum. Dengan memperhitungkan periode ulangnya, maka intensitas hujan
maksimum dapat diperkirakan berdasarkan analisis statistik.
Variabel tebal hujan menerangkan variatnya. Nilai numerik dari kumpulan
curah hujan merupakan deret berkala (time series), menggambarkan sampel dari
populasi tebal hujan yang telah tercatat pada masa lalu dan yang akan datang di
lokasi studi (Triatmodjo, 2010).
1.5.9. Penentuan Besarnya Limpasan
Besarnya limpasan sungai berdasarkan hujan dapat ditentukan dengan
pelbagai metode, seperti metode rasional, hidrograf, Soil Conservation Service
Curve Number (SCS CN), dan Hidrograf Satuan, dan Hidrograf Satuan Sintetik
(HSS). Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, besarnya aliran sungai ditentukan
oleh besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan, lama waktu hujan, luas
daerah aliran sungai, dan ciri-ciri daerah aliran itu. (Subarkah, 1980).
Penentuan besarnya limpasan didasarkan pada ketersediaan data dan tujuan
dari sebuah penelitian. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik
limpasan secara mendetail biasanya akan memerlukan data yang sangat banyak
sehingga ketersediaan data yang lengkap merupakan sebuah keharusan yang harus
dipenuhi.
1.5.10. Metode Rasional
Metode Rasional merupakan metode memperkirakan laju aliran permukaan
puncak yang umum dipakai, digunakan sejak tahun 1889 oleh Emil Kuichling
(Needhidasan et al, 2013). Metode ini sangat mudah untuk digunakan, namun
terbatas untuk DAS yang kurang dari 2.5 km2. (Ponce, 1989 dalam Triatmodjo,
2010). Persamaan matematik metode rasional dinyatakan pada persamaan (1.1).
𝑄𝑝 = 0.278. 𝐶. 𝐼. 𝐴 ……………………………………………… (1.1)
14
dimana:
Qp : debit Puncak (m3/det)
C : koefisien aliran yang tergantung pada jenis permukaan lahan
I : intensitas hujan (mm/jam)
A : luas DAS (km2)
Metode rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa hujan yang
terjadi memiliki intensitas seragam dan merata di seluruh DAS selama paling
sedikit sama dengan waktu konsentrasi (tc) DAS. Jika hujan yang terjadi lamanya
kurang dari tc maka debit puncak yang terjadi lebih kecil dari Qp karena seluruh
DAS tidak dapat memberikan kontribusi aliran secara bersama pada titik kontrol
(outlet). Sebaliknya, jika hujan yang terjadi lebih lama dari tc, maka debit puncak
aliran permukaan akan tetap sama dengan Qp (Suripin, 2004).
Koefisien aliran (C) permukaan didefinisikan sebagai bilangan yang
menunjukkan perbandingan antara besarnya limpasan permukaan terhadap
besarnya curah hujan (Asdak, 2010). Faktor utama yang mempengaruhi koefisien
aliran ialah laju infiltrasi tanah atau persentase lahan kedap air, kemiringan lahan,
tanaman penutup lahan, dan intensitas hujan. Permukaan kedap air, seperti
perkerasan aspal dan atap bangunan, akan menghasilkan aliran hampir 100%
setelah permukaan menjadi basah, seberapa pun kemiringannya. Koefisien
limpasan juga tergantung pada sifat dan kondisi tanah. Laju infiltrasi menurun pada
hujan yang terus menerus dan juga dipengaruhi oleh kondisi kejenuhan air
sebelumnya. Faktor lain yang mempengaruhi nilai koefisien aliran adalah airtanah,
derajat kepadatan tanah, porositas tanah, dan penggunaan lahan (Suripin, 2004).
Dalam persamaan (1.1), intensitas hujan diperoleh dari kurva IDF (Intensity
Duration Frequency), dimana telah diperhitungkan durasi dan frekuensi (periode
hujan). Adapun waktu konsentrasi merupakan waktu yang diperlukan oleh air hujan
yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (titik
kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi.
Berdasarkan hasil penelitian ahli hidrologi terdapat banyak rumus untuk
menentukan waktu konsentrasi.
15
1.5.11. Hidrograf Aliran
Hidrograf adalah suatu grafik yang menggambarkan hubungan antara tinggi
muka air (river stage), debit, kecepatan aliran dan elemen-elemen aliran lainnya
dengan waktu (Chow, 1964 dalam Suyono, 1982). Terdapat tiga macam bentuk
hidrograf yakni hidrograf muka air (stage hydrograph), hidrograf limpasan
(discharge hydrograph), dan hidrograf sedimen (sediment hydrograph). Hidrograf
muka air menunjukkan hubungan antara perubahan muka air sungai terhadap
waktu, hidrograf limpasan menunjukkan hubungan antara debit terhadap waktu,
sedangkan hidrograf sedimen menunjukkan hubungan antara kandungan sedimen
terhadap waktu.
Hidrograf aliran menunjukkan tanggapan menyeluruh DAS terhadap
masukan curah hujan. Sesuai dengan sifat dan perilaku DAS, hidrograf aliran selalu
berubah sesuai dengan besarnya dan waktu terjadinya masukan. Bentuk hidrograf
dipengaruhi oleh sifat hujan dan karakteristik DAS (Harto, 1993). Sebuah hidrograf
aliran menunjukkan informasi mengenai empat sifat pokok limpasan yang meliputi
limpasan langsung (direct runoff, DRO), debit puncak (Qp), waktu puncak (Tp), dan
waktu dasar (Tb) seperti yang disajikan pada Gambar 1.4. Debit puncak ialah debit
maksimum yang ditunjukkan oleh sebuah hidrograf pada kurva puncak, waktu
puncak ialah waktu yang dimulainya aliran awal hingga debit puncak, waktu dasar
adalah waktu yang dimulai dari terbentuknya aliran hingga kembali ke aliran dasar.
1.5.12. Hidrograf Satuan
Hidrograf satuan pertama kali diperkenalkan oleh Sherman pada tahun 1932
dengan konsep transformasi hujan menjadi debit aliran. Menurutnya, hidrograf
satuan didefinisikan sebagai hidrograf limpasan langsung (tanpa aliran dasar).
Hidrograf aliran sungai selalu berubah tergantung dari sifat masukannya. Hal
tersebut terjadi karena sistem DAS yang sebenarnya adalah nonlinear time variant.
Akan tetapi dengan andaian DAS sebagai sistem yang linear time variant
pengalihragaman hujan menjadi aliran menjadi lebih sederhana. Dengan anggapan
yang demikian, maka masukan yang terjadi setiap saat akan mengakibatkan aliran
16
yang sama. Dengan demikian, suatu DAS tertentu mempunyai tanggapan yang khas
(specific response) terhadap masukan dengan besaran tertentu (Harto, 1993).
Sherman (1932 dalam Harto, 1993) mengemukakan bahwa dalam suatu
sistem DAS terdapat satu sifat khas yang menunjukkan sifat tanggapan DAS
terhadap suatu masukan tertentu. Tanggapan ini dianalogikan tetap untuk masukan
dengan besaran dan penyebaran tertentu. Tanggapan yang demikian dalam konsep
model hidrologi dikenal dengan hidrograf satuan (unit hydrograph). Hidrograf
satuan adalah hidrograf limpasan langsung (direct runoff hydrograph) yang
dihasilkan oleh hujan efektif yang terjadi merata di seluruh DAS dan dengan
intensitas tetap dalam satu satuan waktu yang ditetapkan. Hidrograf satuan ini
dianggap merupakan hidrograf khas untuk suatu DAS tertentu, misalnya untuk
hujan dengan kedalaman 1 mm (atau kedalaman lain yang ditetapkan). Konsep
hidrograf pertama kali dikemukakan oleh Sherman (1932) dalam Harto (1993)
dalam upayanya untuk mendapatkan perkiraan banjir yang terjadi akibat berbagai
kedalaman hujan dan berbagai agihan jam-jamnya. Akan tetapi disadari pula,
karena anggapan-anggapan yang digunakan, bahwa hidrograf aliran yang
sebenarnya terjadi selalu berbeda untuk setiap masukan yang terjadi pada saat yang
berbeda. Oleh sebab itu, untuk memperoleh hidrograf yang dianggap sebagai
hidrograf khas dan mewakili DAS tersebut diperlukan perata-rataan hidrograf
satuan yang diperoleh dari beberapa kasus banjir. Harto (1989) menunjukkan
bahwa semakin sedikit jumlah kasus banjir yang digunakan maka semakin besar
nilai debit puncak yang diperoleh dibandingkan dengan jumlah kasus banjir yang
banyak.
1.5.13. Hidrograf Satuan Sintetik (HSS)
Pada daerah yang tidak tersedia data hidrologi yang lengkap untuk
menurunkan hidrograf satuan, digunakan Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) yang
didasarkan pada karakteristik fisik dan DAS. Ada berbagai jenis hidrograf satuan
sintetik, diantaranya HSS Snyder, GAMA I, Nakayasu, dan lain-lain. Berbagai HSS
tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
17
Pemilihan HSS pada umumnya disesuaikan dengan kemiripan dari geometri
DAS yang menjadi faktor utama karakter limpasan. Masing-masing model HSS
merupakan hasil penerapan HSS di DAS tertentu yang diturunkan dari Hidrograf
Satuannya. Oleh karena itu, tidak ada HSS yang mampu memprediksi secara tepat
karakter limpasan pada DAS yang berbeda.
1.5.14. Soil Conservation Service Curve Number (SCS CN)
Perkiraan besarnya volume limpasan total dari suatu DAS dapat ditentukan
dengan oleh U.S. Soil Conservation Service (SCS). Metode SCS dikembangkan dari
hasil pengamatan curah hujan selama bertahun-tahun dan melibakan banyak daerah
pertanian di Amerika Serikat. Metode ini baik untuk digunakan pada luas DAS
kurang dari 13 km2 dengan rata-rata kemiringan lereng kurang dari 30%. Metode
SCS mengaitkan karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi, dan tataguna lahan
dengan bilangan kurva (curve number) limpasan yang menunjukkan potensi
limpasan untuk curah hujan tertentu (Asdak, 2010). Persamaan yang menunjukkan
potensi limpasan berdasarkan metode SCS ditunjukkan oleh persamaan (1.2)
(Asdak, 2010).
𝑄 =(𝐼−0.2𝑆)2
𝐼+0.8𝑆 ………………………………………..………… (1.2)
dimana:
I : curah hujan (mm)
Q : limpasan dengan satuan kedalaman (mm)
Persamaan (1.2) menunjukkan bahwa besar kecilnya limpasan dipengaruhi
oleh retensi potensial maksimum air (S) oleh tanah, yang sebagian besar adalah
karena infiltrasi. Retensi potensial maksimum memiliki bentuk yang disajikan pada
persamaan (1.3).
𝑆 =25400
𝐶𝑁− 254 ……………………………………………… (1.3)
Bilangan kurva (curve number = CN ) merupakan fungsi dari karakteristik
DAS seperti tipe tanah, tanaman penutup, tataguna lahan, kelembaban dan cara
pengerjaan tanah. Nilai CN bervariasi antara 0 – 100. Untuk CN = 100 ditandai
18
dengan permukaan lahan yang kedap air. Apabila lahan terdiri beberapa
penggunaan lahan dan tipe tanah maka dihitung nilai CN komposit.
1.5.15. Karakteristik Limpasan
Limpasan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni: limpasan
permukaan (surface runoff), limpasan bawah permukaan (subsurface runoff), dan
aliran airtanah (groundwater flow) (Seyhan, 1977, Chow, et.al., 1964 dalam
Setyowati, 2010). Limpasan permukaan adalah air yang mencapai sungai melalui
permukaan tanah, berasal dari curah hujan, genangan, dan air yang tertahan.
Limpasan permukaan biasanya mengalir ke dalam channel sungai dengan volume
yang besar dan kecepatan tinggi. Limpasan bawah permukaan (unsaturated)
merupakan limpasan yang menyatu dengan limpasan permukaan sedangkan
limpasan airtanah bergerak ke dalam sungai dalam kurun waktu yang lama,
tergantung dari sifat fisik litologi yang ada.
Lamanya air yang mengalir dari hulu hingga titik pengamatan memerlukan
waktu yang disebut waktu konsentrasi (time of concentration). Hal ini terjadi
manakala cekungan-cekungan yang berada di sepanjang aliran telah jenuh oleh
adanya air (Asdak, 2010, Triatmodjo, 2010).
Koefisien aliran didefinisikan sebagai bilangan yang menunjukkan
perbandingan antara besarnya limpasan terhadap besarnya curah hujan (Asdak,
2010). Definisi tersebut biasanya digunakan untuk menyebutkan koefisien aliran
volumetrik (Cv). Adapun koefisien aliran puncak (Cp) merupakan perbandingan
antara besarnya puncak limpasan terhadap perkalian intensitas curah dan luas
DAS/daerah tangkapan air (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). (Arsyad 1989 dalam
Astuti 2008) menyebutkan bahwa koefisien aliran puncak dipengaruhi oleh laju
infiltrasi tanah, tanaman penutup, dan intensitas hujan.
Besarnya intensitas hujan akan berpengaruh terhadap debit puncak dan
waktu konsentrasi. Pada DAS perkotaan, debit puncak dan waktu konsentrasi
diperlukan untuk mengetahui kapasitas sungai dalam menampung limpasan dan
evakuasi apabila terjadi banjr.
19
Gambar 1.3. Komponen Hidrograf (Triatmodjo, 2010)
Komponen hidrograf aliran terdiri dari sisi naik (rising limb), puncak aliran
(recession limb), sisi resesi (recession limb), dan aliran dasar (baseflow). Hujan
dengan tebal, intensitas, dan lama hujan tertentu akan berpengaruh pada sisi naik
(rising limb) hidrograf. Puncak hidrograf menunjukkan adanya debit maksimum
untuk suatu kejadian hujan sedangkan sisi resesi menunjukkan adanya aliran dasar
(baseflow) yang mengalir ke sungai setelah hujan berhenti. Bentuk lengkung
hidrograf aliran bergantung pada karakteristik hujan. Semakin tinggi intensitas
hujan, semakin tinggi pula puncak hidrografnya. Kejadian hujan dengan intensitas
tetap dengan durasi yang lama akan mengakibatkan terlampainya waktu
konsentrasi, sehingga lama durasi puncak hidrografnya semakin besar (Sobriyah,
(2003 dalam Setyowati, 2010).
1.5.16. Hubungan Hujan – Limpasan
Aliran permukaan pada DAS terjadi dalam bentuk yakni (1) aliran limpasan
pada permukaan tanah, (2) aliran melalui parit/selokan, (3) aliran melalui sungai-
sungai kecil. Ketiga tipe aliran tersebut akan bergabung menjadi aliran sungai.
Dengan demikian terdapat hubungan antara hujan dan debit aliran, yang tergantung
pada karakteristik DAS. Hubungan antara hujan – limpasan dapat ditunjukkan
melalui persamaan (1.4) dan Gambar 1.4 (Triatmodjo, 2010).
20
𝑄 = 𝑏 (𝑃 − 𝑃𝑎)…………………..……………………….(1.4)
Q : kedalaman limpasan
P : kedalaman hujan
Pa : kedalaman hujan di bawah nilai tersebut tidak terjadi limpasan
b : kemiringan garis
Gambar 1.4. Hubungan Hujan dan Limpasan (Triatmodjo, 2010)
Apabila curah hujan P lebih kecil dari Pa berarti seluruh hujan tersebut
hilang di DAS yang berupa infiltrasi dan evapotranspirasi, tampungan permukaan;
dan limpasan mulai terjadi setelah P lebih besar dari Pa. Dalam persamaan (1.4), b
dan Pa dihitung dengan analisis regresi berdasar data hujan dan limpasan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa
intensitas hujan (I) berpengaruh terhadap debit puncak (Qp) secara langsung. Pada
persamaan rasional dapat diperoleh hubungan antara intensitas hujan dan debit
puncak, intensitas yang tinggi menyebabkan DAS mengalami kejenuhan yang
secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa intensitas bersama dengan lama
hujan berpengaruh terhadap koefisien limpasan (Setyowati, 2010).
Ponce (1989 dalam Setyowati, 2010) menyatakan bahwa intensitas hujan
dapat diklasifikasikan menjadi hujan kecil, hujan sedang, dan hujan deras. Hujan
kecil memiliki dimensi 3 mm/jam, hujan sedang memiliki dimensi 3 – 10 mm/jam,
sedangkan hujan deras memiliki intensitas hujan lebih dari 10 mm/jam. lebih lanjut
Hadi (2003) menyatakan bahwa jumlah hujan, intensitas hujan, lama hujan, dan
penyebarannya akan berpengaruh pada banyaknya air yang tertimbun dalam
21
simpanan DAS (catchment storage), mempengaruhi infiltrasi dan limpasan,
kesemuanya akan mempengaruhi keberadaan sumberdaya.
1.5.17. Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai hubungan antara karakteristik hujan dan aliran
sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Penelitian terebut
memiliki tujuan dan metode yang berlainan. Keberadaan penelitian sebelumnya
dapat dijadikan sebagai acuan dan pengembangan analisis. Tujuan dari penelitian
ini ialah untuk mengetahui karakteristik hujan – limpasan serta mengkaji hubungan
di antara keduanya pada DAS urban dalam hal ini peneliti menggunakan DAS
Belik sebagai lokasi penelitian. Sejumlah penelitian yang dilakukan terdahulu lebih
memfokuskan pada karakteristik hujan dan aliran pada DAS yang masih memiliki
lahan terbangun kecil (bukan wailayah urban), sedangkan pada penelitian kali ini
peneliti mencoba untuk mengetahui karakteristik limpasan sebagai hasil fungsi dari
faktor klimatik dan penggunaan lahan.
Hasil penelitian Nurokhman (1999) menyebutkan bahwa variabel tebal
hujan merupakan variabel yang menentukan nilai koefisien aliran puncak pada dua
penggunaan lahan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa koefisien aliran pada sub
DAS hutan lebih kecil dibandingkan dengan sub DAS campuran.
Adapun penelitian Komalawati (2000) menyebutkan bahwa variabel tebal
hujan merupakan variabel yang menentukan besarnya koefisien aliran volumetrik,
sedangkan koefisien aliran puncak lebih dipengaruhi oleh variabel lama hujan.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Suhandi (2003). Ia menyatakan bahwa
koefisien aliran volumetrik dipengaruhi oleh variabel tebal hujan. Astuti (2003)
menyatakan bahwa hubungan antara variabel karakteristik hujan terhadap limpasan
ialah positif. Namun demikian secara lebih lanjut ia tidak menjelaskan secara lebih
detail pengaruh karakteristik hujan yang lebih dominan terhadap limpasan.
Abustan, et al (2008) dalam penelitiannya berjudul Determination of Rainfall –
Runoff Characteristics in An Urban Are: Sungai Kerayong Catchment, Kuala
Lumpur mengemukakan bahwa hubungan yang terjadi pada tebal limpasan
22
terhadap kedalaman runoff ialah hubungan linear dengan R2 = 0,9405. Dalam
analisis mengenai waktu konsentrasi Abustan, et al (2008) menyebutkan bahwa
rumus waktu konsentrasi terbaik dalam memprediksi Tc ialah rumus yang disusun
oleh NAASRA (1986) dengan tingkat kesalahan 2,8 menit dibandingkan dengan
analisis hidrograf.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Tampubolon (2009) dan Puspitorukmini
(2011) pada area perkotaan menggunakan metode rasional untuk mengevaluasi
drainase menunjukkan bahwa pada masing-masing wilayah kajian hujan dengan
periode ulang 10 tahun menyebabkan drainase tidak mampu untuk menampung
limpasan sehingga menyebabkan banjir. Tampubolon (2009) dalam menganalisis
intensitas hujan menggunakan metode mononobe sedangkan Puspitorukmini
(2011) menggunakan data hujan jangka pendek untuk membangun kurva IDF
(Intensity Duration Frequncy) yang dihasilkan dari data hujan jangka pendek.
Teknik evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara kapasitas drainase
dengan debit rencana yang dihasilkan dari hujan rancangan. Kedua penelitian
tersebut menunjukkan bahwa di masing-masing wilayah kajian, saluran drainase
tidak mampu lagi untuk menampung limpasan permukaan pada hujan rancangan
dengan periode ulang tertentu. Namun demikian, mengingat tidak adanya validasi
yang dilakukan dengan menggunakan metode penentuan limpasan yang lain, maka
sulit untuk meyakini secara spesifik bahwa benar adanya saluran drainase yang
tidak mampu lagi untuk menampung limpasan permukaan.
Praja (2013) melakukan penelitian di Daerah Tangkapan Air (DTA) Belik
yang bertujuan untuk mengevaluasi kapasitas drainase Kali Belik dengan
menggunakan metode rasional yang digunakan untuk menganalisis debit puncak
pada berbagai intensitas hujan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Tampubolon dan Puspitorukmini, Praja tidak menggunakan hujan rancangan untuk
menentukan intensitas hujan melainkan menggunakan data hujan otomatis untuk
mengetahui curah hujan terbesar yang digunakan untuk menentukan intensitas
hujan tertinggi pada tahun tertentu.
23
Setiawan (2014) meneliti limpasan pada sebagian DAS Kali Belik Hulu
yang terbentang di dua desa yakni Desa Caturtunggal dan Condongcatur. Tujuan
penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik hujan dan
limpasan. Metode Rasional dipakai untuk menentukan debit puncak (Qp), kurva
IDF dipakai untuk menentukan intensitas hujan pada kala ulang 2, 5, dan 10 tahun.
Selain itu, waktu konsentrasi (Tc) ditentukan dengan rumus emipiris dari beberapa
ahli hidrologi. Tujuannya ialah untuk menentukan waktu konsentrasi terbaik pada
DAS Belik Hulu. Adapun untuk metode hidrograf dipakai untuk menentukan
karakteristik hujan – limpasan berupa hujan efektif, debit puncak (Qp), waktu
puncak (Tp), memvalidasi waktu konsentrasi (Tc), dan memvalidasi koefisien
aliran (C).
24
Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya yang Relevan Dengan Penelitian
Peneliti dan
Tahun Tujuan Metode Variabel Hasil
Nurokhman,
1999
1. Mempelajari hubungan
antara sifat hujan
(intensitas hujan dan tebal
hujan) dengan sifat aliran
(tebal aliran dan debit
puncak)
2. Mempelajari hubungan
antara sifat hujan dengan
koefisien aliran
volumetric
3. Menganalisis aliran
puncak dan tebal aliran
antara sub DAS hutan dan
Sub DAS campuran
1. Analisis hidrograf
2. Model statistik analisis
regresi berganda dan
korelasi
Koefisien aliran (koefisien
aliran volumetrik dan
koefisien aliran puncak)
1. Karakteristik hujan
(tebal hujan,
intensitas hujan,
lama hujan, API)
2. Tebal aliran
langsung (DRO),
debit puncak
1. Tebal hujan merupakan
variabel yang
menentukan nilai
koefisien aliran puncak
pada kedua jenis
penggunaan lahan
2. Koefisien aliran
volumetrik pada sub
DAS hutan lebih kecil
dibandingkan dengan
koefisien aliran puncak
pada sub DAS
campuran. Koefisien
aliran puncak pada sub
DAS campuran lebih
besar dibandingkan
dengan sub DAS hutan
3. Variabel karakteristik
hujan, tebal hujan
sangat berpengaruh
terhadap karakteristik
aliran dan koefisien
aliran baik pada sub
DAS hutan maupun
campuran
Komalawati,
2000
Mempelajari hubungan
koefisien aliran volumetric
1. Metode analisis
hidrograf
1. Koefisien aliran
(koefisien aliran
1. Variabel tebal hujan
merupakan variabel
25
Peneliti dan
Tahun Tujuan Metode Variabel Hasil
(Cv) dan koefisien aliran
puncak (Cp) dengan
karakteristik hujan (tebal
hujan, durasi hujan, intensitas
hujan maksimum 30 menitan
dan indeks curah hujan
terdahulu (API)
2. Analisis statistik model
regresi berganda
volumetrik dan
koefisien aliran
puncak)
2. Karakteristik hujan
(tebal hujan, intensitas
hujan, lama hujan, API)
yang menentukan
besarnya koefisien
aliran volumetrik,
sedang koefisien aliran
puncak lebih
dipengaruhi oleh
variabel lama hujan
Suhandi, 2003 1. Mempelajari hubungan
antara koefisien aliran
volumetric dengan tebal
hujan, lama hujan,
intensitas hujan
maksimum dan API
2. Mempelajari hubungan
antara koefisien aliran
puncak dengan tebal
hujan, lama hujan,
intensitas hujan
maksimum dan API
Metode analisis hidrograf
dan stastistik model regresi
berganda dan korelasi
1. Koefisien aliran puncak
dan koefisien aliran
volumetrik
2. Karakteristik hujan
(tebal hujan, lama
hujan, intensitas hujan,
API)
1. Koefisien aliran
volumetrik dipengaruhi
oleh variabel tebal hujan
2. Koefisien aliran puncak
dipengaruhi oleh
variabel lama hujan
Astuti, 2008 1. Mendeskripsikan
karakteristik hujan dan
karakteristik aliran yang
terbentuk dari daerah
penelitian
2. Mengkaji hubungan antara
hujan dan karakteristik
aliran yang terbentuk di
daerah penelitian dan
kaitannya dengan bentuk
1. Metode analisis
hidrograf
2. Analisis grafis
3. Model statistik regresi
berganda dan korelasi
(uji normalitas, uji
bivariate, uji kelinearan,
dan uji koefisien)
1. Karakteristik hujan
(tebal hujan, durasi
hujan, intensitas hujan
(Imak dan Irata), API-7
2. Karakteristik aliran
(debit puncak, tebal
aliran langsung,
koefisien aliran
volumetric, dan
1. hubungan variabel
karakteristik hujan
terhadap DRO, Qp, Qps,
Cv, Cp adalah positif
kecuali durasi hujan
terhadap Qps, P terhadap
Cv, Imak terhadap Cv dan
Cp.
26
Peneliti dan
Tahun Tujuan Metode Variabel Hasil
penggunaan lahan yang
ada
3. Menentukan faktor
karakteristik hujan apa
yang berpengaruh
terhadap karakteristik
aliran di daerah penelitian
koefisien aliran
puncak)
Abustan, et al
2008
1. Menentukan hubungan
hujan – limpasan antara
hujan efektif dengan besar
runoff yang terjadi
2. Menentukan waktu
konsentrasi (Tc) dengan
membandingkan antara
hasil perhitungan secara
empiris dengan Tc hasil
analisis hidrograf
1. Metode analisis
hidrograf
2. Rumus empiris dalam
perhitungan Tc
(Bransby – William,
1977), (Yen and Chow,
1983), (NAASRA,
1986), dan Kerby
1. Hujan efektif dan tebal
direct runoff
2. Waktu konsentrasi
(Tc)
1. Adanya hubungan yang
kuat antara hujan efektif
dan runoff, ditunjukkan
dengan R2=0,9405
2. Rumus waktu
konsentrasi yang terbaik
dalam menentukan Tc
ialah NAASRA dengan
tingkat kesalahan 2,8
menit
Vickie Igor
Romualdez
Tampubolon,
2009
1. Mengevaluasi kemampuan
saluran drainase di
bandara internasional
Adisucipto untuk
menampng limpasan
maksimum yang
disebabkan hujan dengan
periode ulang 2 tahun, 5
tahun, dan 10 tahun
2. Mengetahui besar volume
genangan dan lama
penggenangan
1. Perhitungan kapasitas
saluran drainase dengan
menggunakan rumus
slope area method
2. Rumus rasional untuk
menghitung limpasan
maksimum
3. Perhitungan hujan
rancangan
menggunakan metode
gumbel
1. Koefisien aliran,
intensitas hujan, luas
daerah kajian,
kapasitas tampung
drainase
1. Sistem saluran drainase
di bandara Adisucipto
Yogyakarta secara umum
tidak mampu menampung
limpasan maksimum
dengan hujan rancagan
periode 2, 5, 10
2. Hanya saluran 9U yang
mampu menampng
limpasan maksimum
dengan hujan rancangan 2
tahun
27
Peneliti dan
Tahun Tujuan Metode Variabel Hasil
4. Analisis hujan
rancangan
menggunakan rumus
Mononobe
Arum
Puspitorukmini,
2011
1. Menghitung besar
limpasan maksimum yang
disebabkan oleh hujan
rancangan pada periode
ulang 2, 5, dan 10 tahun
2. Mengetahui kapasitas
maksimum saluran
3. Mengetahui kemampuan
saluran drainase terhadap
besarnya limpasan
1. Slope area method
untuk menghitung debit
saluran
2. Menentukan limpasan
maksimum
menggunakan rumus
rasional
3. Membuat kurva IDF
menentukan kala ulang
banjir 2, 5, dan 10 tahun
Koefisien aliran, intensitas
hujan, luas DTA, dan
kapasitas maksimum
drainase
Kapasitas saluran drainase
di daerah penelitian sudah
tidak mampu menampung
air hujan yang terjadi pada
kala ulang 10 tahun
Shenty Anindya
Praja, 2013
1. Mengetahui kemampuan
saluran existing
2. Mengetahui debit puncak
dengan berbagai intensitas
hujan
3. Mengetahui intensitas
hujan yang dapat
ditampung sistem saluran
drainase
1. Menghitung debit
saluran dengan slope
area method
2. Rumus rasional untuk
menghitung debit aliran
3. Perhitungan intensitas
hujan dari curah hujan
otomatis untuk
mengetahui hubungan
limpasan maksimum
dengan berbagai
intensitas hujan
Koefisien aliran, intensitas
hujan, luas DTA, dan
kapasitas maksimum
drainase
Kapasitas saluran
drainase di lembah
UGM dan jalan batikan
tidak dapat menampung
limpasan karena
kapasitas maksimum
saluran lebih kecil
dibandingkan dengan
limpasan maksimumnya
Intensitas hujan
maksimum yang dapat
ditampung drainase di
elmbah UGM sebesar
40 mm/jam, sedangkan
28
Peneliti dan
Tahun Tujuan Metode Variabel Hasil
di daerah Klitren
sebesar 60 mm/jam dan
di jalan batikan sebesar
26 mm/jam
Setiawan, 2014 1. mengetahui karakteristik
hujan pada DAS urban
2. mengetahui karakteristik
limpasan pada DAS urban
3. mengetahui hubungan
antara karakteristik hujan -
limpasan pada DAS urban
1. Membangun hujan
rencana untuk menentukan
Intensitas hujan
2. Rumus rasional untuk
menghitung debit puncak
3. Membangun hidrograf
limpasan langsung untuk
memvalidasi C danTc
4. Membangunhidrograf
satuan untuk
memperkirakan intensitas
hujan yang dapat
menyebabkan banjir
1. Intensitas hujan
2. karakteristik limpasan
(C, Tc, Qp, DRO dan Tp)
29
1.6. Kerangka Pemikiran
Karakteristik limpasan merupakan hasil dari masukan karakteristik hujan
dan komponen-komponen DAS. Masukan (input) berupa hujan sesaat dengan
karakteristik tertentu akan menimbulkan keluaran (output) dalam bentuk respon
limpasan tertentu, tergantung pada proses dan interaksi faktor iklim dan komponen
DAS. Pada daerah perkotaan, lahan terbangun yang mendominasi penggunaan
lahan mengakibatkan karakteristik limpasan yang berbeda dengan DAS yang
berpenutup lahan dominan vegetasi. Penggunaan lahan yang dominan lahan
terbangun menjadikan koefisien aliran tinggi, ditandai dengan adanya limpasan
yang semakin besar dan kapasitas infiltrasi yang semakin mengecil. Melimpahnya
limpasan permukaan pada gilirannya menyebabkan banjir yang menggenangi
wilayah dengan topografi yang lebih rendah. Banjir ini memiliki karakteristik yang
khas, dimana ia akan terjadi manakala curah hujan dengan intensitas tertentu turun.
Kajian karakteristik hujan yang saling terkait dengan limpasan akan mempengaruhi
besarnya kali belik dalam menampung debit limpasan. Pada sungai yang lebih besar
dengan potensi banjir yang tinggi kerusakan dapat terjadi dengan parah, sehingga
kajian karakteristik hujan akan menentukan pemasangan sistem peringatan dini
(early warning system) untuk tujuan evakuasi penduduk agar terhindar dari banjir
limpasan.
Karakteristik limpasan berupa debit puncak (Qp) dan waktu konsentrasi (tc)
merupakan gambaran interaksi komponen DAS dan faktor iklim. Pada Kali Belik
dengan kondisi morfologi perkotaan (urban) karakteristik limpasan selain
dipengaruhi oleh faktor iklim, juga dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Ini dapat
dipahami bahwa lahan terbangun (impervous area) yang mendominasi penggunaan
lahan menyebabkan kapasitas infiltrasi semakin rendah, sehingga hujan yang jatuh
banyak yang akan menjadi limpasan permukaan karena tidak dapat tertampung
menjadi aliran bawah permukaan (interflow) dan aliran dasar (baseflow). Penelitian
sebelumnya dengan kajian yang serupa menunjukkan bahwa penggunaan lahan
berdampak pada respon limpasan yang dihasilkan. Penggunaan lahan di daerah
perdesaan seperti sawah, tegalan, hutan, dan lain-lain menghasilkan koefisien aliran
yang rendah. Sawah yang memiliki teras, tegalan yang memiliki depresi
30
(cekungan), dan hutan yang memiliki banyak seresah akan menghambat hujan
sesaat beralihragam menjadi limpasan karena tertampung dalam teras, depresi, dan
seresah. Kondisi demikian akan berpengaruh pada debit puncak yang relatif lebih
rendah.
Koefisien aliran (C) merupakan faktor yang selalu berubah dari waktu ke
waktu sebagai akibat adanya perubahan penggunaan lahan. Besarnya limpasan
maksimum di daerah perkotaan tidak terlepas dari koefisien aliran yang
mempengaruhinya. Koefisien aliran (C) pada daerah perkotaan yang tinggi
diindikasikan dengan banyaknya lahan terbangun. Hal ini dikarenakan sebagian
besar air permukaan pada saat hujan tidak mampu untuk terserap ke tanah
mengingat adanya lahan yang tertutup oleh beton atau aspal. Walaupun penggunaan
lahan bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi limpasan
permukaan, namun demikian pada daerah perkotaan, penggunaan lahan adalah
faktor yang dominan mempengaruhi limpasan permukaan. Oleh karena itu kajian
hubungan hujan – limpasan permukaan yang melibatkan koefisien aliran
merupakan hal yang penting.
Lebih lanjut, variabel tebal hujan merupakan variabel yang menentukan
karakteristik aliran. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa
intensitas hujan (I) berpengaruh terhadap debit puncak (Qp) secara langsung. Pada
persamaan rasional dapat diperoleh hubungan antara intensitas hujan dan debit
puncak, intensitas yang tinggi menyebabkan DAS mengalami kejenuhan yang
secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa intensitas bersama dengan lama
hujan berpengaruh terhadap besarnya limpasan. Dengan membandingkan kapasitas
kali belik terhadap debit puncak maka dapat diketahui hubungan antara besarnya
intensitas hujan yang mampu untuk menghasilkan banjir.
Walaupun demikian, penggunaan hidrograf untuk penentuan karakteristik
aliran merupakan metode yang memiliki ketelitian yang tinggi. Metode ini
menggunakan data primer berupa Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh dari
Automatic Water Level Recorder (AWLR) atau data logger. Data TMA bersama
dengan data debit aliran digunakan untuk mencari lengkung aliran sehingga
diketahui hubungan antara TMA terhadap debit aliran. Penggunaan metode
31
hidrograf satuan untuk penentuan karakteristik aliran pada penelitian ini adalah
untuk memperkaya kajian hubungan hujan – limpasan dan memvalidasi
karakteristik aliran yang ditentukan menggunakan metode rasional.
Analisis hidrograf aliran pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui
respon Kali Belik dalam menanggapi hujan. Hidrograf dipakai karena memiliki
kelebihan yakni ketelitiannya cukup tinggi bila dibandingkan dengan metode lain
yang mengandalkan pada pendekatan model dan rumus matematis. Dalam
hubungannya dengan pemisahan hidrograf, metode yang dipakai ialah penarikan
garis lurus (straight line methods). Metode ini dipilih mengingat penentuan titik
akhir resesi berada paling jauh dibandingkan dengan dua metode yang lain. Alasan
lainnya yakni penggunaan metode satu dengan metode lainnya tidak memberikan
pengaruh yang besar terhadap pemisahan aliran langsung dan aliran dasar. Dalam
memahami hubungan antara karakteristik hujan dan limpasan digunakan analisis
grafis dan analisis statistik. Penggunaan analisis grafis memungkinkan
diketahuinya sifat dasar hubungan antara hujan dan limpasan. Secara konseptual,
kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan pada Gambar 1.5.
Gambar 1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kawasan resapan kecil
(Sebagian besar telah
menjadi kawasan terbangun)
HUJAN
DAS Urban
Limpasan
Permukaan
Banjir
Koefisien
Aliran (C)
tinggi
32
1.7. Batasan Penelitian
Untuk mempermudah memahami uraian selanjutnya, di bawah ini disajikan
pengertian batasan penelitian dan istilah penting yang digunakan.
Data logger adalah Suatu komputer mikro yang mempunyai kemampuan
menyimpan/merekam data secara otomatis dengan periode pencatatan
tertentu. (Hadi, 2003)
Debit puncak ialah debit maksimum yang terjadi pada limpasan yang ditandai
dengan adanya bagian hidrograf yang berada di puncak. (Triatmodjo, 2010)
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan yang mengalirkan air ke satu
sungai utama (Lapedes, et al., 1974).
Durasi hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, dalam hal ini dapat
mewakili total curah hujan atau periode hujan yang singkat dari curah hujan
yang relatif seragam (Hadi, 2003).
Evaporasi adalah perubahan air dari bentuk cair atau solid ke fase gas serta
difusinya ke atmosfer. (Asdak, 2010).
Hidrograf adalah suatu grafik yang menggambarkan hubungan antara tinggi muka
air (river stage), debit, kecepatan aliran dan elemen-elemen aliran lainnya
dengan waktu (Chow, 1964 dalam Suyono, 1982).
Hujan merupakan presipitasi berbentuk cair yang jatuh sampai ke permukaan bumi
(Tjasyono, 2004).
Intensitas hujan (rainfall intensity) adalah banyaknya hujan (tebal hujan) yang
terkumpul dalam suatu selang satuan waktu (Asdak, 2010).
Kala ulang ialah waktu hipotetik dimana hujan dengan besaran tertentu akan
disamai atau dilampaui (Suripin, 2004).
Limpasan Permukaan (runoff) adalah bagian hujan yang mengalir di permukaan
tanah menuju sungai (Triatmodjo, 2010).
33
Tebal aliran langsung adalah aliran yang berasal dari hujan efektif yang tidak
disertai dengan aliran dasar (baseflow) dinyatakan dalam satuan tertentu (Sri
Harto, 2003).
Waktu Dasar ialah waktu dimulainya limpasan langsung hingga batas titik akhir
aliran langsung pada kurva resesi (Triatmodjo, 2010).
Waktu Konsentrasi ialah waktu yang dibutuhkan oleh air hujan yang jatuh pada
titik terjauh DAS sampai outlet/titik kontrol (Suripin, 2004).
Waktu Puncak adalah sebagai waktu yang dibutuhkan aliran untuk mencapai
puncak hidrograf (debit puncak) (Triatmodjo, 2010).