bab i pendahuluan a. latar...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO) (2015), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas (paru-paru) yang tidak sepenuhnya reversibel (WHO, 2015). Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (Kementrian Kesehatan, 2008). Bronkitis kronis dan emfisema sekarang masuk dalam diagnosa PPOK (WHO, 2015). PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang terekspose karena kurangnya informasi yang diberikan (Oemiati, 2013). Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu (host) yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja (Kementrian Kesehatan, 2008).

Upload: lamthuan

Post on 25-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) (2015), Penyakit Paru Obstruktif

Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di

saluran nafas (paru-paru) yang tidak sepenuhnya reversibel (WHO, 2015).

Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon

inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya

(Kementrian Kesehatan, 2008). Bronkitis kronis dan emfisema sekarang masuk

dalam diagnosa PPOK (WHO, 2015).

PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang

terekspose karena kurangnya informasi yang diberikan (Oemiati, 2013). Dengan

berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah

mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab

kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit

tidak menular (non-communicable disease). Hal ini disebabkan oleh

meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,

seperti faktor pejamu (host) yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK,

semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta

pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja

(Kementrian Kesehatan, 2008).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

2

Penyebab utama PPOK adalah tembakau (pengguna maupun perokok pasif).

WHO memperkirakan bahwa kematian akibat penggunaan tembakau akan

meningkat menjadi 8,4 juta kematian per tahun pada tahun 2030. Penyebab PPOK

lainnya adalah paparan polusi udara di dalam ruangan seperti penggunaan bahan

bakar biomassa untuk memasak dan memanaskan. Hampir 3 miliar orang di dunia

menggunakan biomassa dan batubara sebagai sumber energi untuk memasak,

memanaskan dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya, dalam hal ini polusi

udara dalam ruangan dapat meyebabkan PPOK (WHO, 2015). Di tahun 2012

lebih dari 3 juta orang meninggal disebabkan karena PPOK, yaitu sebesar 6% dari

semua kematian di seluruh dunia. Lebih dari 90% kematian akibat PPOK terjadi

pada negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2015).

Di Indonesia, dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas

yaitu; 27 % (Susenas 1995); 31,5 % (SKRT 2001); 34,4% (Susenas 2004); 34,7%

(Riskesdas 2007) dan 36,3% (Riskesdas 2013) (Kementrian Kesehatan, 2015).

Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok yang banyak dipastikan

memiliki prevalensi PPOK yang tinggi (Oemiati, 2013).

Salah satu karakteristik PPOK adalah kecenderungan untuk eksaserbasi.

Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai peristiwa akut yang dikarakterisasi

dengan memburuknya kondisi penyakit pasien dari kondisi sebelumnya dan

menyebabkan perubahan dalam pengobatannya (GOLD, 2015). Menurut

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2003), PPOK dengan eksaserbasi

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

3

akut ditandai dengan batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah dan sputum

berubah warna (PDPI, 2003). Penyebab utama PPOK eksaserbasi akut adalah

adanya infeksi saluran pernafasan (baik virus maupun bakteri) (GOLD, 2015).

Eksaserbasi pada pasien PPOK harus dapat dicegah dan ditangani secara

maksimal karena dapat menurunkan fungsi faal paru dan kualitas hidup pasien

(GOLD, 2010). PPOK tidak dapat disembuhkan tetapi pengobatan dapat

memperlambat perkembangan penyakit. (WHO, 2015). Pengobatan PPOK sangat

tergantung pada beratnya penyakit.

Antibiotik pada PPOK hanya diberikan jika ditemukan adanya infeksi (PDPI,

2003). Menurut GOLD 2015, antibiotik hanya diberikan pada pasien yang (1)

mengalami 3 gejala utama : peningkatan sesak nafas, peningkatan volume sputum

dan peningkatan purulensi sputum; (2) mengalami peningkatan purulensi sputum

dan salah satu dari gejala utama; (3) pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik

(GOLD, 2015). Saat ini antibiotik merupakan kelompok obat terbanyak yang

digunakan khususnya dalam pengobatan di Rumah Sakit (Juwono dan Prayitno,

2003). Penggunaan antibiotik tanpa regimen dosis yang benar akan menimbulkan

resistensi, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas dan efek

samping obat, efektivitas obat menjadi rendah dan biaya pelayanan kesehatan

menjadi tinggi, serta akan merugikan penderita (Katzung dkk, 2011). Berbagai

studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat

antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik

(Kementrian Kesehatan, 2011a). Penggunaan obat antibiotik yang tidak sesuai

(tidak rasional) dengan pedoman terapi, akan meningkatkan berkembangnya

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

4

resistensi bakteri terhadap antibiotik selain itu juga dapat meningkatkan biaya

perawatan pasien (Kementrian Kesehatan, 2011b). Pada penelitian kualitas

penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai

80% tidak didasarkan pada indikasi (Kementrian Kesehatan, 2011a). Dalam

penelitian ini akan dilakukan analisis rasionalitas penggunaan antibiotik pada

pasien PPOK rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang membutuhkan jawaban sehubungan dengan

penelitian ini adalah :

1. Apakah penggunaan antibiotik pada pasien PPOK rawat inap di Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016 telah rasional berdasarkan

metode Gyssens?

2. Bagaimana outcome setelah penggunaan antibiotik pada pasien PPOK rawat

inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien PPOK rawat

inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016

berdasarkan metode Gyssens.

2. Untuk mengetahui outcome penggunaan antibiotik pada pasien PPOK rawat

inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

5

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi dan gambaran mengenai penggunaan antibiotik serta

outcome penggunaan antibiotik pasien PPOK rawat inap di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016.

2. Memberikan masukan bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

guna mengevaluasi Standar Pelayanan Medis PPOK yang ada untuk

meningkatkan therapeutic outcome.

3. Sebagai bahan bagi praktisi farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Yogyakarta untuk lebih meningkatkan perannya dalam melakukan

pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, terutama obat antibiotik guna

mengendalikan dan menurunkan potensi terjadinya resistensi.

E. Tinjauan Pustaka

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

a. Definisi PPOK

Menurut Dipiro (2015) PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan

keterbatasan aliran udara, bersifat progresif, yang tidak sepenuhnya reversibel.

Dua kondisi utama dari PPOK adalah : (a) bronkitis kronik, sekresi mukus yang

kronis atau berulang secara berlebihan dengan batuk hampir setiap hari minimal 3

bulan dalam setahun selama minimal 2 tahun berturut-turut; (b) emfisema,

abnormal, pembesaran permanen airspace distal ke terminal bronkiolus, disertai

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

6

kerusakan dinding, tanpa fibrosis (Dipiro et al., 2015). PPOK disebabkan oleh

bronkitis kronik, emfisema atau keduanya (PDPI, 2003).

Eksaserbasi akut pada PPOK adalah timbulnya perburukan dibandingkan

dengan kondisi sebelumnya, dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti

polusi udara,kelelahan atau timbulnya komplikasi. PPOK dengan eksaserbasi akut

ditandai dengan batuk atau bertambahnya sesak, bertambahnya sputum dan terjadi

perubahan warna pada sputum (PDPI, 2003). Penyebab utama PPOK eksaserbasi

akut adalah adanya infeksi saluran pernafasan (baik virus maupun bakteri)

(GOLD, 2015).

b. Epidemiologi PPOK

Prevalensi kejadian PPOK di dunia rata-rata berkisar 3-11% (GOLD, 2015).

Pada tahun 2013, di Amerika Serikat PPOKadalah penyebab utamakematian

ketiga dan lebih dari 11 juta orang telah didiagnosis dengan PPOK (American

Lung association, 2015). Menurut data penelitian dari Regional COPD Working

Group yang dilakukan di 12 negara di Asia Pasifik rata-rata prevalensi PPOK

sebesar 6,3%, dengan yang terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura dan

tertinggi di Vietnam sebanyak 6,7%. Indonesia menunjukkan prevalensi sebanyak

5,6% atau 4,8juta kasus untuk PPOK derajat sedang sampai berat (Regional

COPD Working Group, 2003).

c. Etiologi PPOK

Sebagian besar penyebab PPOK adalah merokok (asap rokok), karena hampir

seluruh perokok mengalami penurunan fungsi paru meskipun tergantung dari

banyaknya dan lamanya merokok. Komponen aktif dari tembakau akan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

7

mengaktifasi sel inflamatori yang akan menghasilkan serta melepaskan mediator

inflamasi yang akan memicu obstruksi paru (Antariksa, dkk., 2011).

Penyebab utama eksaserbasi antara lain adalah bakteri dan virus, populasi

udara, cuaca dingin dan putus obat. Sebanyak 50% pasien memiliki jumlah

bakteri patogen yang banyak pada saluran napas bawah selama eksaserbasi

(Babar, 2003).

d. Patogenesis dan Patologi PPOK

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversible dan terjadi karena

perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi

sel goblet dan hipertropi otot polos merupakan penyebabutama obstruksi jalan

napas (PDPI, 2003). Gambar 1. menunjukkan patogenesis PPOK.

Gambar 1. patogenesis PPOK (PDPI, 2003)

PPOK dikarakterisir dengan adanya inflamasi bronkus di sepanjang saluran

pernafasan, parenkim paru dan sistem pembuluh darah pulmonar. Terdapat

peningkatan jumlah makrofag, sel limfosit T (terutama CD8+) dan neutrofil di

berbagai bagian paru. Sel inflamasi yang teraktifkan ini akan melepaskan berbagai

mediator, meliputi leukotrien B4 (LTB4), interleukin 8 (IL-8), tumor necrosis

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

8

(TNF- dan lain-lain yang dapat merusak struktur paru atau

memperlama inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi, ada dua proses lain yang

cukup penting dalam patogenesis PPOK, yaitu ketidak seimbangan proteinase dan

antiproteinase di paru-paru dan adanya stress oksidatif. Inflamasi di paru-paru

disebabkan oleh paparan partikel dan gas berbahaya yang terhirup. Asap rokok

dapat memicu inflamasi dan secara langsung merusak paru-paru (Ikawati, 2007).

e. Faktor Resiko PPOK

Beberapa faktor resiko dari PPOK :

1) Faktor resiko utama dan merupakan satu-satunya penyebab terpenting adalah

kebiasaan merokok, baik perokok aktif, pasif, maupun bekas perokok.

2) Terpapar polusi udara baik di lingkungan maupun tempat kerja, outdoor

maupun indoor. Seperti bahan bakar biomassa yang digunakan untuk

memasak.

3) Adanya hiperaktivitas bronkus.

4) Terdapat riwayat infeksi saluran pernapasan bawah yang berulang.

5) Faktor genetik, defisiensi antripsin alfa-1. Namun kejadian ini jarang di

Indonesia.

6) Paparan debu dan bahan kimia jangka panjang.

(PDPI, 2003; GOLD, 2015)

Selama masa anak-anak dan masa kehamilan ada beberapa faktor lain yang

memiliki efek pada paru-paru seperti berat badan lahir rendah, infeksi saluran

pernapasan dan lain lain. Ini menyebabkan peningkatan faktor resiko dari PPOK

(GOLD, 2015).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

9

f. Klasifikasi PPOK

Berdasarkan tingkat keparahannya, PPOK diklasifikasikan menjadi 5 yaitu :

1) Tingkat 0 (beresiko), yaitu pasien yang memiliki satu atau lebih gejala (batuk

kronis, produksi sputum dan dispnea); pasien yang memiliki uji spirometri

normal; dan pasien yang memiliki kemungkinan terkena paparan terhadap

faktor resiko (rokok, polusi).

2) Tingkat I (ringan), yaitu pasien yang umumnya (tapi tidak selalu) memiliki

gejala batuk kronis dan produksi sputum; dan pasien yang memiliki nilai

FEV1/FVC < 70%

merasa bahwa paru-parunya bermasalah.

3) Tingkat II (sedang), yaitu pasien yang memiliki gejala yang

progresif/memburuk dengan nafas yang pendek-pendek; dan pasien yang

memiliki nilai FEV1/FVC < 70%, 50% < FEV1< 80%.

4) Tingkat III (berat), yaitu pasien yang mengalami eksaserbasi berulang dan

mulai mempengaruhi kualitas hidupnya; dan pasien yang memiliki nilai

FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1< 50%. Pada tingkat ini pasien sudah mulai

mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan

penyakit.

5) Tingkat IV (sangat berat), yaitu pasien yang memiliki nilai FEV1/FVC < 70%,

FEV1< 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi kronis. Pasien bisa

digolongkan masuk tingkat IV walaupun nilai FEV1> 30% namun pasien

mengalami kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan. Pada tingkat ini

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

10

kualitas hidup pasien sangat terganggu dan serangan mungkin akan

mengancam jiwa pasien.

(GOLD, 2005)

Untuk memastikan tingkat obstruksi dan reversibilitas obstruksi, perlu

dilakukan uji dengan spirometri. Test sebaiknya dilakukan pada saat pasien dalam

kondisi stabil dan bebas infeksi. Pasien tidak boleh menggunakan bronkodilator

aksi pendek dalam waktu 6 jam sebelum test atau beta-agonis aksi panjang 12 jam

sebelum test atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum test dilakukan. FEV1 harus

diukur sebelum pemberian bronkodilator. FEV1 diukur lagi 30-45 menit setelah

pemberian bronkodilator. Peningkatan FEV1> 200 ml atau 12% dianggap

signifikan (Bourdet dan William, 2005).

Menurut GOLD 2015, penilaian tingkat keparahan atau klasifikasi PPOK

dapat dilihat dari gejalanya, derajat limitasi saluran napas (menggunakan

spirometri), resiko eksaserbasi dan komorbiditasnya (GOLD, 2015).

Untuk penilaian dari derajat limitasi saluran napas dibagi menjadi 4, yaitu :

1) GOLD 1 (ringan). Spirometri menunjukkan FEV1

2) 1< 80% diprediksi.

3) 1< 50% diprediksi.

4) GOLD 4 (sangat parah). Spirometri menunjukkan FEV1< 30% diprediksi.

(GOLD, 2015)

g. PPOK Eksaserbasi Akut

PPOK eksaserbasi adalah kondisi akut yang ditandai dengan memburuknya

gejala pernapasan pasien dari hari ke hari dan bervariasi, sehingga mengharuskan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

11

adanya penggantian obat. Resiko dari eksaserbasi juga meningkatnya keparahan

dari pembatasan aliran udara. Rawat inap untuk PPOK eksaserbasi dikaitkan

dengan perburukan penyakit dan resiko kematian (GOLD, 2015).

Menurut PDPI 2003, eksaserbasi akut ditandai dengan 3 gejala yaittu sesak

bertambah, produksi sputum yang meningkat dan adanya perubahan warna

sputum (PDPI, 2003). Sedangkan menurut Joshi dkk. dalam jurnalnya yang

berjudul COPD Exacerbation : Clinical Management Options, PPOK dengan

eksaserbasi akut ditandai dengan batuk yang keras, panjang dan berulang,

dispnea, sputum yang mengental, bronkospasme dan obstruksi mukus, serta

adanya infeksi (Joshi, dkk., 2012).

Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3, yakni :

1) Tipe I (eksasebasi berat), mempunyai 3 gejala diatas.

2) Tipe II (eksaserbasi sedang), mempunyai 2 gejala diatas.

3) Tipe III (eksaserbasi ringan), mempunyasi 1 gejala diatas ditambah infeksi

saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan

batuk, peningkatan mengi atau frekuensi pernapasan > 20% baseline atau

frekuensi nadi > 20% baseline.

(PDPI, 2003)

Penyebab utama eksaserbasi akut adalah adanya infeksi pada saluran napas

baik bakteri ataupun virus (GOLD, 2015). Pemeriksaan laboratorium terhadap

sputum menunjukkan bakteri paling banyak yang ditemukan pada pasien PPOK

dengan eksaserbasi akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophylus

influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Antibiotik yang diberikan sebaiknya yang

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

12

memiliki spektrum luas. Lama pemberian antibiotik tergantung dari berat

ringannya infeksi, namun pada umumnya antibiotik diberikan selama 5-10 hari

(Andres, dkk, 2007; Woodhead, 2005).

h. Terapi PPOK

Tujuan terapinya adalah untuk mencegah dan meminimalisasikan progresifitas

penyakit, menghilangkan gejala, meningkatkan exercise tolerance, meningkatkan

status kesehatan, mencegah dan mengatasi eksaserbasi, mencegah dan mengatasi

komplikasi dan menurunkan morbiditas dan mortalitas (Dipiro et al., 2015).

Berhenti merokok adalah terapi yang paling baik dan paling disarankan untuk

pasien PPOK. Upaya yang dapat dilakukan tenaga kesehatan adalah memberikan

konseling atau dengan memberikan terapi pengganti nikotin pada pasien yang

merokok. Seperti pemberian nicotine gum, inhaler, nasal spray, plester

transdermal, tablet sublingual atau tablet hisap. Vareniclin, buspiron atau

nortriptilin bisa digunakan untuk terapi penghentian merokok (GOLD, 2015).

Penatalaksanaan PPOK terbagi menjadi 2, yaitu (1) penatalaksanaan pada keadaan

stabil dan (2) penatalaksanaan padaeksaserbasi akut (PDPI, 2003).

i. Terapi Eksaserbasi Akut

Penanganan eksaserbasi akut dapat dilakukan di rumah (untuk eksaserbasi

ringan) atau di Rumah Sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Untuk

penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat

jalan ataupun rawat inap (PDPI, 2003).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

13

Indikasi dilakukannya rawat inap adalah adanya eksasebasi sedang dan berat; atau

terdapat komplikasi seperti infeksi saluran napas berat, gagal napas akut, gagal

napas kronik dan gagal jantung kanan (PDPI, 2003).

Beberapa pilihan terapi untuk eksaserbasi akut yang dapat diberikan di rumah

sakit, diantaranya adalah :

1) Oksigen.

Oksigen merupakan hal yang pertama dan utama. Tujuan diberikannya

oksigen adalah untuk memperbaiki keadaan pasien yang hipoksia. Target

saturasi antara 88-92% (GOLD, 2015).

2) Noninvasive mechanicalventilation (NPPV).

Penggunaan ventilasi mekanik akan dapat mengurangi mortalitas dan

morbiditas dan memperbaiki simptom (PDPI, 2003).

3) Bronkodilator.

Bronkodilator digunakan dalam bentuk inhaler, intravena atau nebulizer.

Bronkodilator yang disarankan untuk eksaserbasi adalah short acting beta-2-

agonis dengan atau tanpa short acting antikolinergik (GOLD, 2015; PDPI,

2003).

4) Kortikosteroid.

Pemberian kortikosterois tergantung dari derajat berat eksaserbasi. Pada

eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2

minggu, pada derajat berat dapat diberikan secara intravena. Namun

penggunaan kortikosteroid lebih dari 2 minggu akan dapat menimbulkan efek

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

14

samping yang lebih banyak, sehingga dalam penggunaannya perlu adanya

monitoring efek samping (PDPI, 2003).

Penggunaan sistemik kortikosteroid dapat mempercepat pemulihan,

meningkatkan fungsi paru-paru (FEV1) dan arterial hipoksemia (PaO2) dan

menurunkan resiko kambuh awal, kegagalan terapi dan lamanya rawat inap.

Dapat diberikan prednisolon 40 mg per hari selama 5 hari (GOLD, 2015).

5) Antibiotik.

Antibiotik hanya diberikan pada pasien yang mengalami :

a) Tiga gejala kardinal, yakni peningkatan kesulitan bernapas, peningkatan

volume sputum, peningkatan purulensi sputum.

b) Peningkatan purulensi sputum dan dengan salah satu gejala kardinal.

c) Memerlukan ventilasi mekanik (GOLD, 2015).

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola agen penginfeksi dan komposisi

kombinasi antibiotik. Pemberian antibiotik untuk rawat inap sebaiknya per

drip atau intravena (PDPI, 2003).

6) Terapi tambahan, pemberiannya tergantung dari kondisi klinik dari pasien.

Keseimbangan cairan tubuh dengan diuretik, antikoagulan, terapi untuk

komorbiditas dan nutrisi yang cukup. Tenaga kesehatan juga perlu memonitor

perokok aktif. Pasien rawat inap karena eksaserbasi PPOK dapt meningkatkan

resiko deep vein thrombosis dan pulmonary embolism; sehingga

thromboprophylactic measures harus ditingkatkan (GOLD, 2015).

Pemberian nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan karena

hipoksemia berkepanjangan,dan menghindari kelelahan otot bantu napas.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

15

Kondisi lainnya yang berkaitan perlu dimonitor keseimbangan elektrolit,

pengeluaran sputum dan gagal jantung atau aritmia (Perhimpunana Dokter

Paru Indonesia, 2003).

2. Antibiotik

a. Definisi Antibiotik

Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang

memiliki kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan

mikroorganisme lain (Dorland dan Mahode, 2012). Antibiotik dapat digunakan

untuk mengatasi infeksi bakteri, antibiotik bisa bersifat sebagai bakterisid

(membunuh bakteri) maupun bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri

lain) (Kementrian Kesehatan, 2011c). Pemilihan terapi antibiotik yang rasional

harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain faktor pasien, bakteri dan

antibiotik. Terapi empirisdiarahkan pada bakteri yang dikenal menyebabkan

infeksi yang bersangkutan (Dipiro et al., 2005).

b. Klasifikasi Antibiotik

Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan aktivitasnya, cara kerjaanya

maupun struktur kimianya. Berdasarkan aktivitasnya antibiotik diklasifikasikan

sebagai :

1) Antibiotik spektrum luas, yaitu antibiotik yang dapat menghambat

pertumbuhan maupun membunuh sebagian besar bakteri baik bakteri gram

negatif maupun gram positif.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

16

2) Antibiotik spektrum sempit, yaitu antibiotik yang hanya dapat

menghambat pertumbuhan maupun membunuh beberapa bakteri golongan

tertentu saja.

(Ganiswara, 1995)

Berdasarkan struktur kimia dan mekanisme aksinya :

1) Golong -laktam yaitu penisilin, sefalosporin, karbapenem dan agen

yang berbeda seperti sikloserin, vancomycin dan bacitracin dapat

menghambat sintesis dinding sel bakteri. Antibiotik -laktam

-laktam, yaitu struktur dinding sel

bakteri, sehingga dapat menghambat sintesis dinding sel bakteri.

2) Kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida, klindamisin, streptogramin dan

oksazolidon. Golongan ini berperan dalam penghambatan sintesis protein

bakteri secara reversibel dengan cara mengikat dan mengganggu sub unit

ribosom 30S atau 50S, dan secara umum bersifat bakteriostatik.

3) Golongan aminoglikosida seperti streptomisin, neomisin, kanamisin,

amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin dan lain-lain.

Golongan ini dapat mengikat sub unit ribosom 30S dan mengubah sintesis

protein yang secara umum bersifat bakterisidal.

4) Golongan sulfonamida dan trimetoprim dapat memblokade enzim esensial

pada metabolisme folat. Antibiotik golongan ini secara kompetitif dapat

menghambat sintesis dihidropteroat. Antibiotik golongan sulfoamida

antara lain sulfasitin, sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine,

sulfametoksazole, sulfapiridin dan sulfadoksin. Kombinasi trimetoprim-

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

17

sulfametoksazole akan menghambat bakteri melalui jalur asam

dihidrofolat reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam

dihidrofolik protozoa, sehingga menghasilkan efek sinergis.

5) Golongan quinolones mempunyai mekanisme menghambat sintesis DNA

bakteri pada topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV.

Contohnya adalah asam nalidiksat, asam oksonilat, sinoksasin,

siprofloksasin, levofloksasin, slinafloksasin, enoksasin, gatifloksasin,

lomefloksasin, moksifloksasin, norfloksasin, ofloksasin, sparfloksasin,

trovafloksasin dan lain-lain.

6) Antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme

dengan cara meningkatkan permeabilitas sehingga menyebabkan

kebocoran membran sel mikroorganisme adalah antibiotik polymycin,

agen antifungi polyene (seperti nystatin dan amphotericin B) yang

mengikuti sterol dinding sel dan lipopeptida daptomycin.

(Katzung, dkk., 2011)

c. Antibiotik untuk Pasien PPOK

Sebagian besar eksaserbasi akut pada PPOK disebabkan oleh infeksi, baik

virus maupun bakteri. Sebuah studi meta analisis dari 9 studi klinik menunjukkan

bahwa pasien yang menerima antibiotik mendapatkan perbaikan fungsi paru (peak

expiratory flow rate) lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menerima

(Ikawati, 2007). Pemberian antibiotik pada pasien PPOK dengan eksaserbasi akut

diberikan pada pasien yang sedikitnya mengalami 2 tanda dari 3 tanda-tanda

berikut : (1) peningkatan dyspnea (sesak napas); (2) meningkatan volume sputum;

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

18

(3) meningkatan purulensi sputum (Dipiroet al., 2015). Tabel I. menunjukkan

penggolongan pasien PPOK dengan eksaserbasi untuk treatment antibiotik

berdasarkan mikroorganisme penyebab.

Pemilihan antibiotik empirik harus berdasarkan pada bakteri yang paling

umum menginfeksi. Beberapa bakteri yang paling umum menginfeksi adalah

Haemophillius influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumoniae,dan

Haemophillius parainfluenzae. Beberapa bakteri yang lebih virulen juga mungkin

terdapat pada eksaserbasi akut PPOK yang lebih kompleks, seperti pneumococci

yang resisten terhadap obat, H. influenzae yang memproduksi beta-laktamase dan

bakteri gram negatif Pseudomonas aeruginosa (Dipiro et al., 2015). Tabel II.

menunjukkan pilihan terapi antibiotik untuk pasien PPOK eksaserbasi.

Tabel I. Penggolongan pasien PPOK eksaserbasi untuk treatment antibiotik berdasarkan mikroorganisme penyebab (PDPI, 2011)

Group Keterangan Mikroorganisme penyebab Group A Eksaserbasi ringan yakni tidak ada

faktor resiko poor outcome* H.influenzae; S. pneumoniae; M. catarrhalis; Chlamydia pneumoniae; Virus

Group B Eksaserbasi sedang yakni dengan faktor resiko poor outcome*

Mikroorganisme patogen group A; Mikroorganisme resisten (memproduksi beta-laktamase, penisilin-resisten S. pneumoniae); Enterobacteriaceae (K. pneumoniae, E. coli, Proteus, Enterobacter dan lain-lain)

Group C Eksaserbasi berat yakni dengan faktor resiko infeksi P. aeruginosa

Mikroorganisme patogen group B; P. aeruginosa

*Faktor resiko poor outcome pada pasien PPOK eksaserbasi adalah adanya penyakit penyerta, PPOK berat dan frekuensi eksasebasi lebih dari 3 kali per tahun.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

19

Tabel II. Pilihan terapi antibiotik pasien PPOK eksaserbasi (PDPI, 2011)

Antibiotik Oral Alternatif antibiotik oral Antibiotik parenteral Group A Pasien dengan satu gejala

kardinal sebaiknya tidak mendapatkan terapi antibiotik Jika diindikasikan, maka dapat diberikan :

-laktam (penisilin, ampisilin, amoksisilin) Tetrasiklin Trimetoprim/sulfametoksazole

-laktam/inh -laktamase (ko-amoksiklav) Makrolid (azitromisin, klaritomisin, roksitromisin) Sefalosporin generasi 2 atau 3 Ketolid (telitromisin)

Group B - -laktamase (ko-amoksiklav)

Fluorokuinolon (gemifloksasin, levofloksasin, moksifloksasin)

- -laktamase (ko-amoksiklav, ampisilin/sulbaktam) Sefalosporin generasi 2 atau 3 Fluorokuinolon (levofloksasin, maksifloksasin)

Group C Pada pasien dengan resiko infeksi pseudomonas dapat diberikan fluorokuinolon (siprofloksasin, levofloksasin dengan dosis tinggi)

Fluorokuinolon (siprofloksasin, levofloksasin dosis

-laktam yang memiliki aktivitas pada P. aeruginosa

d. Prinsip Penggunaan Antibiotik

Antibiotik mempunyai 3 kegunaan utama, yaitu : (1) sebagai terapi empiris

atau terapi awal; (2) sebagai terapi definitif; dan (3) sebagai terapi profilaksis atau

pencegahan. Ketika digunakan sebagai terapi empiris, antibiotik harus dapat

menjangkau semua pathogen karena infeksi organisme yang belum diketahui

secara pasti, utamanya digunakan antibiotik dengan spektrum luas. Selanjutnya

ketika mikoorganisme penyebab infeksi telah diketahui, maka terapi antibiotik

definitif sebaiknya digunakan antibiotik yang berspektrum sempit sesuai dengan

jenis mikrobanya, dengan toksisitas rendah dan dengan tujuan menyempurnakan

terapi (Brunton, dkk., 2005).

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

20

e. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

Kerasionalan penggunaan antibiotik meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat

obat, tepat dosis dan waspada efek samping obat. Penggunaan antibiotik secara

rasional juga harus mempertimbangkan muncul dan menyebarnya mikroba

(bakteri) resisten (Kementrian Kesehatan, 2015b). Penggunaan antibiotik tidak

rasional akan menyebabkan munculnya efek samping dan akan mendorong

munculnya bakteri resisten (WHO, 2003). Resistensi bakteri adalah kemampuan

mikroorganisme untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba (antibiotik)

sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis (Kementrian Kesehatan, 2015b).

Resistensi antibiotik umumnya terjadi karena pola penggunaan atau pola

peresepan antibiotik yang tidak tepat, sehingga perlu dilakukan strategi

penggunaan antibiotik untuk mencegah keadian resistensi antibiotik (Weigel,

2003).

Evaluasi/analisis penggunaan antibiotik merupakan salah satu indikator mutu

program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, bertujuan

memberikan informasi pola penggunaan antibiotik di rumah sakit baik kuantitas

maupun kualitas. Pelaksanaannya menggunakan sumber data dan metode yang

standar. Sumber data yang dapat digunakan adalah rekam medis pasien dan dari

pengelolaan antibiotik di instalasi farmasi. Dari rekam medis pasien dapat

diperoleh data jenis antibiotik yang diberikan, dosis, lama penggunaan dan jumlah

antibiotik yang diberikan pada pasien, sedangkan dari pengelolaan antibiotik di

instalasi farmasi dapat diperoleh data penjualan antibiotik. Kuantitas penggunaan

antibiotik dapat diukur degan metode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC)

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

21

Classification dan Defined Daily Dose (DDD)/100 patient-days, sedangkan

kualitas penggunaan antibiotik diukur dengan metode Gyssens.

Metode Gyssens dapat mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotik. Diagram

alir Gyssens digunakan sebagai alat untuk menilai kualitas penggunaan antibiotik

baik untuk terapi empiris maupun definitif. Ada beberapa kategori penggunaan

antibiotik hasil penilaian diagram alir Gyssens, diantaranya adalah :

Kategori 0, yakni tepat dan rasional.

Kategori I, yakni tidak tepat timing pemberian.

Kategori IIA, yakni tidak tepat dosis.

Kategori IIB, yakni tidak tepat interval.

Kategori IIC, yakni tidak tepat rute pemberian.

Kategori IIIA, yakni penggunaan terlalu lama.

Kategori IIIB, yakni penggunaan terlalu singkat.

Kategori IVA, yakni terdapat alternatif lain yang lebih efektif.

Kategori IVB, yakni terdapat alternatif lain yang lebih aman.

Kategori IVC, yakni terdapat alternatif lain yang lebih murah.

Kategori IVD, yakni terdapat alternatif lain dengan spektrum sempit.

Kategori V, yakni tidak ada indikasi penggunaan antibiotik.

Kategori VI, yakni data yang tidak lengkap, sehingga tidak dapat dinilai.

(Kementrian Kesehatanb, 2015)

Gambar 2. menunjukkan diagram alir Gyssens (Gyssens flowchart). Evaluasi

antibiotik dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan melihat apakah data

lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan antibiotik.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

22

Gambar 2. diagram alir metode Gyssens (Gyssensflowchart) (Kementrian Kesehatan, 2015b)

Mulai

Data lengkap

AB diindikasikan

Alternatif lebih efktif

Alternatif lebih tidak toksik

Alternatif lebih murah

Spektrum alternatif lebih

sempit

Pemberian terlalu lama

Pemberian terlalu singkat

Dosis tepat

Interval tepat

Rute tepat

Waktu tepat

Tidak termasuk I-IV

Stop

StopVI

V

IVa

IIIa

IVb

IVc

IVd

IIa

IIb

IIc

IIIb

I

0

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak Tidak

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya Ya Ya

Ya

Ya

Ya

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

23

F. Landasan Teori

Pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi dan dirawat inap di rumah sakit

biasanya menerima terapi antibiotik karena sebagian besar eksaserbasi pada

PPOK disebabkan oleh infeksi baik bakteri maupun virus. Menurut Dipiro et al.

(2015) terapi antibiotik untuk PPOK eksaserbasi diberikan pada pasien yang

sedikitnya mengalami dua dari tiga gejala kardinal; yakni peningkatan sesak

(dyspnea), peningkatan volume sputum dan peningkatan purulensi sputum (Dipiro

et al., 2015). Menurut PDPI tahun 2003 antibiotik pada pasien PPOK hanya boleh

diberikan jika benar-benar ditemukan adanya infeksi (PDPI, 2003).

Antibiotik yang rasional adalah antibiotik yang tepat indikasi, dosis, rute,

interval, lama pemberian; sehingga pada penggunaannya harus dilakukan

pengawasan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional atau tidak sesuai dengan

pedoman terapi akan mengakibatkan berkembangnya resistensi bakteri terhadap

antibiotik, selain itu juga dapat meningkatkan efek samping, serta dapat

meningkatkan biaya perawatan pasien (Kementrian Kesehatan, 2011b).

Salah satu metode untuk melihat kualitas penggunaan antibiotik adalah metode

Gyssens. Metode Gyssens menggunakan diagram alir atau flowchrat Gyssens

sebagai alat untuk menilai kualitas penggunaan antibiotik baik empiris maupun

definitif (Kementrian Kesehatan, 2015b). Metode Gyssens memiliki tujuh

kategori, dimana kategori 0 adalah penggunaan antibiotik rasional, sedangkan

kategori I sampai VI adalah penggunaan antibiotik tidak rasional.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114110/potongan/S1-2017-346170...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO)

24

G. Kerangka Konsep

Gambar 3. Kerangka konsep penelitian

H. Keterangan Empiris

Penggunaan antibiotik sebagai salah satu terapi untuk penyakit karena infeksi

bakteri membutuhkan kerasionalitasan dalam pemilihan dan penggunaannya pada

pasien, agar outcome terapi yang diperoleh dapat tercapai secara optimal. Terkait

dengan hal tersebut, farmasis sebagai farmasi klinik dengan praktek

pharmaceutical care memiliki kewajiban dalam mengontrol penggunaan

antibiotik yang rasional serta mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan

akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional salah satunya adalah resistensi

bakteri. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai rasionalitas

penggunaan antibiotik serta outcome klinik pada pasien PPOK rawat inap di RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016.

Pasien PPOK dengan antibiotik

Rasionalitas terapi antibiotik menggunakan metode Gyssens : a. Kategori 0 = rasional b. Kategori 1-5 = tidak rasional

Rasional Tidak rasional

Pengukuran outcome klinik : a. Membaik b. Belum membaik c. Meninggal