bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO) (2015), Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di
saluran nafas (paru-paru) yang tidak sepenuhnya reversibel (WHO, 2015).
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya
(Kementrian Kesehatan, 2008). Bronkitis kronis dan emfisema sekarang masuk
dalam diagnosa PPOK (WHO, 2015).
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang
terekspose karena kurangnya informasi yang diberikan (Oemiati, 2013). Dengan
berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah
mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab
kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit
tidak menular (non-communicable disease). Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,
seperti faktor pejamu (host) yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK,
semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja
(Kementrian Kesehatan, 2008).
2
Penyebab utama PPOK adalah tembakau (pengguna maupun perokok pasif).
WHO memperkirakan bahwa kematian akibat penggunaan tembakau akan
meningkat menjadi 8,4 juta kematian per tahun pada tahun 2030. Penyebab PPOK
lainnya adalah paparan polusi udara di dalam ruangan seperti penggunaan bahan
bakar biomassa untuk memasak dan memanaskan. Hampir 3 miliar orang di dunia
menggunakan biomassa dan batubara sebagai sumber energi untuk memasak,
memanaskan dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya, dalam hal ini polusi
udara dalam ruangan dapat meyebabkan PPOK (WHO, 2015). Di tahun 2012
lebih dari 3 juta orang meninggal disebabkan karena PPOK, yaitu sebesar 6% dari
semua kematian di seluruh dunia. Lebih dari 90% kematian akibat PPOK terjadi
pada negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2015).
Di Indonesia, dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas
yaitu; 27 % (Susenas 1995); 31,5 % (SKRT 2001); 34,4% (Susenas 2004); 34,7%
(Riskesdas 2007) dan 36,3% (Riskesdas 2013) (Kementrian Kesehatan, 2015).
Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok yang banyak dipastikan
memiliki prevalensi PPOK yang tinggi (Oemiati, 2013).
Salah satu karakteristik PPOK adalah kecenderungan untuk eksaserbasi.
Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai peristiwa akut yang dikarakterisasi
dengan memburuknya kondisi penyakit pasien dari kondisi sebelumnya dan
menyebabkan perubahan dalam pengobatannya (GOLD, 2015). Menurut
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2003), PPOK dengan eksaserbasi
3
akut ditandai dengan batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah dan sputum
berubah warna (PDPI, 2003). Penyebab utama PPOK eksaserbasi akut adalah
adanya infeksi saluran pernafasan (baik virus maupun bakteri) (GOLD, 2015).
Eksaserbasi pada pasien PPOK harus dapat dicegah dan ditangani secara
maksimal karena dapat menurunkan fungsi faal paru dan kualitas hidup pasien
(GOLD, 2010). PPOK tidak dapat disembuhkan tetapi pengobatan dapat
memperlambat perkembangan penyakit. (WHO, 2015). Pengobatan PPOK sangat
tergantung pada beratnya penyakit.
Antibiotik pada PPOK hanya diberikan jika ditemukan adanya infeksi (PDPI,
2003). Menurut GOLD 2015, antibiotik hanya diberikan pada pasien yang (1)
mengalami 3 gejala utama : peningkatan sesak nafas, peningkatan volume sputum
dan peningkatan purulensi sputum; (2) mengalami peningkatan purulensi sputum
dan salah satu dari gejala utama; (3) pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik
(GOLD, 2015). Saat ini antibiotik merupakan kelompok obat terbanyak yang
digunakan khususnya dalam pengobatan di Rumah Sakit (Juwono dan Prayitno,
2003). Penggunaan antibiotik tanpa regimen dosis yang benar akan menimbulkan
resistensi, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas dan efek
samping obat, efektivitas obat menjadi rendah dan biaya pelayanan kesehatan
menjadi tinggi, serta akan merugikan penderita (Katzung dkk, 2011). Berbagai
studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat
antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik
(Kementrian Kesehatan, 2011a). Penggunaan obat antibiotik yang tidak sesuai
(tidak rasional) dengan pedoman terapi, akan meningkatkan berkembangnya
4
resistensi bakteri terhadap antibiotik selain itu juga dapat meningkatkan biaya
perawatan pasien (Kementrian Kesehatan, 2011b). Pada penelitian kualitas
penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai
80% tidak didasarkan pada indikasi (Kementrian Kesehatan, 2011a). Dalam
penelitian ini akan dilakukan analisis rasionalitas penggunaan antibiotik pada
pasien PPOK rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang membutuhkan jawaban sehubungan dengan
penelitian ini adalah :
1. Apakah penggunaan antibiotik pada pasien PPOK rawat inap di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016 telah rasional berdasarkan
metode Gyssens?
2. Bagaimana outcome setelah penggunaan antibiotik pada pasien PPOK rawat
inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien PPOK rawat
inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016
berdasarkan metode Gyssens.
2. Untuk mengetahui outcome penggunaan antibiotik pada pasien PPOK rawat
inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016.
5
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi dan gambaran mengenai penggunaan antibiotik serta
outcome penggunaan antibiotik pasien PPOK rawat inap di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016.
2. Memberikan masukan bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
guna mengevaluasi Standar Pelayanan Medis PPOK yang ada untuk
meningkatkan therapeutic outcome.
3. Sebagai bahan bagi praktisi farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta untuk lebih meningkatkan perannya dalam melakukan
pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, terutama obat antibiotik guna
mengendalikan dan menurunkan potensi terjadinya resistensi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
a. Definisi PPOK
Menurut Dipiro (2015) PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara, bersifat progresif, yang tidak sepenuhnya reversibel.
Dua kondisi utama dari PPOK adalah : (a) bronkitis kronik, sekresi mukus yang
kronis atau berulang secara berlebihan dengan batuk hampir setiap hari minimal 3
bulan dalam setahun selama minimal 2 tahun berturut-turut; (b) emfisema,
abnormal, pembesaran permanen airspace distal ke terminal bronkiolus, disertai
6
kerusakan dinding, tanpa fibrosis (Dipiro et al., 2015). PPOK disebabkan oleh
bronkitis kronik, emfisema atau keduanya (PDPI, 2003).
Eksaserbasi akut pada PPOK adalah timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya, dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti
polusi udara,kelelahan atau timbulnya komplikasi. PPOK dengan eksaserbasi akut
ditandai dengan batuk atau bertambahnya sesak, bertambahnya sputum dan terjadi
perubahan warna pada sputum (PDPI, 2003). Penyebab utama PPOK eksaserbasi
akut adalah adanya infeksi saluran pernafasan (baik virus maupun bakteri)
(GOLD, 2015).
b. Epidemiologi PPOK
Prevalensi kejadian PPOK di dunia rata-rata berkisar 3-11% (GOLD, 2015).
Pada tahun 2013, di Amerika Serikat PPOKadalah penyebab utamakematian
ketiga dan lebih dari 11 juta orang telah didiagnosis dengan PPOK (American
Lung association, 2015). Menurut data penelitian dari Regional COPD Working
Group yang dilakukan di 12 negara di Asia Pasifik rata-rata prevalensi PPOK
sebesar 6,3%, dengan yang terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura dan
tertinggi di Vietnam sebanyak 6,7%. Indonesia menunjukkan prevalensi sebanyak
5,6% atau 4,8juta kasus untuk PPOK derajat sedang sampai berat (Regional
COPD Working Group, 2003).
c. Etiologi PPOK
Sebagian besar penyebab PPOK adalah merokok (asap rokok), karena hampir
seluruh perokok mengalami penurunan fungsi paru meskipun tergantung dari
banyaknya dan lamanya merokok. Komponen aktif dari tembakau akan
7
mengaktifasi sel inflamatori yang akan menghasilkan serta melepaskan mediator
inflamasi yang akan memicu obstruksi paru (Antariksa, dkk., 2011).
Penyebab utama eksaserbasi antara lain adalah bakteri dan virus, populasi
udara, cuaca dingin dan putus obat. Sebanyak 50% pasien memiliki jumlah
bakteri patogen yang banyak pada saluran napas bawah selama eksaserbasi
(Babar, 2003).
d. Patogenesis dan Patologi PPOK
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversible dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos merupakan penyebabutama obstruksi jalan
napas (PDPI, 2003). Gambar 1. menunjukkan patogenesis PPOK.
Gambar 1. patogenesis PPOK (PDPI, 2003)
PPOK dikarakterisir dengan adanya inflamasi bronkus di sepanjang saluran
pernafasan, parenkim paru dan sistem pembuluh darah pulmonar. Terdapat
peningkatan jumlah makrofag, sel limfosit T (terutama CD8+) dan neutrofil di
berbagai bagian paru. Sel inflamasi yang teraktifkan ini akan melepaskan berbagai
mediator, meliputi leukotrien B4 (LTB4), interleukin 8 (IL-8), tumor necrosis
8
(TNF- dan lain-lain yang dapat merusak struktur paru atau
memperlama inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi, ada dua proses lain yang
cukup penting dalam patogenesis PPOK, yaitu ketidak seimbangan proteinase dan
antiproteinase di paru-paru dan adanya stress oksidatif. Inflamasi di paru-paru
disebabkan oleh paparan partikel dan gas berbahaya yang terhirup. Asap rokok
dapat memicu inflamasi dan secara langsung merusak paru-paru (Ikawati, 2007).
e. Faktor Resiko PPOK
Beberapa faktor resiko dari PPOK :
1) Faktor resiko utama dan merupakan satu-satunya penyebab terpenting adalah
kebiasaan merokok, baik perokok aktif, pasif, maupun bekas perokok.
2) Terpapar polusi udara baik di lingkungan maupun tempat kerja, outdoor
maupun indoor. Seperti bahan bakar biomassa yang digunakan untuk
memasak.
3) Adanya hiperaktivitas bronkus.
4) Terdapat riwayat infeksi saluran pernapasan bawah yang berulang.
5) Faktor genetik, defisiensi antripsin alfa-1. Namun kejadian ini jarang di
Indonesia.
6) Paparan debu dan bahan kimia jangka panjang.
(PDPI, 2003; GOLD, 2015)
Selama masa anak-anak dan masa kehamilan ada beberapa faktor lain yang
memiliki efek pada paru-paru seperti berat badan lahir rendah, infeksi saluran
pernapasan dan lain lain. Ini menyebabkan peningkatan faktor resiko dari PPOK
(GOLD, 2015).
9
f. Klasifikasi PPOK
Berdasarkan tingkat keparahannya, PPOK diklasifikasikan menjadi 5 yaitu :
1) Tingkat 0 (beresiko), yaitu pasien yang memiliki satu atau lebih gejala (batuk
kronis, produksi sputum dan dispnea); pasien yang memiliki uji spirometri
normal; dan pasien yang memiliki kemungkinan terkena paparan terhadap
faktor resiko (rokok, polusi).
2) Tingkat I (ringan), yaitu pasien yang umumnya (tapi tidak selalu) memiliki
gejala batuk kronis dan produksi sputum; dan pasien yang memiliki nilai
FEV1/FVC < 70%
merasa bahwa paru-parunya bermasalah.
3) Tingkat II (sedang), yaitu pasien yang memiliki gejala yang
progresif/memburuk dengan nafas yang pendek-pendek; dan pasien yang
memiliki nilai FEV1/FVC < 70%, 50% < FEV1< 80%.
4) Tingkat III (berat), yaitu pasien yang mengalami eksaserbasi berulang dan
mulai mempengaruhi kualitas hidupnya; dan pasien yang memiliki nilai
FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1< 50%. Pada tingkat ini pasien sudah mulai
mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan
penyakit.
5) Tingkat IV (sangat berat), yaitu pasien yang memiliki nilai FEV1/FVC < 70%,
FEV1< 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi kronis. Pasien bisa
digolongkan masuk tingkat IV walaupun nilai FEV1> 30% namun pasien
mengalami kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan. Pada tingkat ini
10
kualitas hidup pasien sangat terganggu dan serangan mungkin akan
mengancam jiwa pasien.
(GOLD, 2005)
Untuk memastikan tingkat obstruksi dan reversibilitas obstruksi, perlu
dilakukan uji dengan spirometri. Test sebaiknya dilakukan pada saat pasien dalam
kondisi stabil dan bebas infeksi. Pasien tidak boleh menggunakan bronkodilator
aksi pendek dalam waktu 6 jam sebelum test atau beta-agonis aksi panjang 12 jam
sebelum test atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum test dilakukan. FEV1 harus
diukur sebelum pemberian bronkodilator. FEV1 diukur lagi 30-45 menit setelah
pemberian bronkodilator. Peningkatan FEV1> 200 ml atau 12% dianggap
signifikan (Bourdet dan William, 2005).
Menurut GOLD 2015, penilaian tingkat keparahan atau klasifikasi PPOK
dapat dilihat dari gejalanya, derajat limitasi saluran napas (menggunakan
spirometri), resiko eksaserbasi dan komorbiditasnya (GOLD, 2015).
Untuk penilaian dari derajat limitasi saluran napas dibagi menjadi 4, yaitu :
1) GOLD 1 (ringan). Spirometri menunjukkan FEV1
2) 1< 80% diprediksi.
3) 1< 50% diprediksi.
4) GOLD 4 (sangat parah). Spirometri menunjukkan FEV1< 30% diprediksi.
(GOLD, 2015)
g. PPOK Eksaserbasi Akut
PPOK eksaserbasi adalah kondisi akut yang ditandai dengan memburuknya
gejala pernapasan pasien dari hari ke hari dan bervariasi, sehingga mengharuskan
11
adanya penggantian obat. Resiko dari eksaserbasi juga meningkatnya keparahan
dari pembatasan aliran udara. Rawat inap untuk PPOK eksaserbasi dikaitkan
dengan perburukan penyakit dan resiko kematian (GOLD, 2015).
Menurut PDPI 2003, eksaserbasi akut ditandai dengan 3 gejala yaittu sesak
bertambah, produksi sputum yang meningkat dan adanya perubahan warna
sputum (PDPI, 2003). Sedangkan menurut Joshi dkk. dalam jurnalnya yang
berjudul COPD Exacerbation : Clinical Management Options, PPOK dengan
eksaserbasi akut ditandai dengan batuk yang keras, panjang dan berulang,
dispnea, sputum yang mengental, bronkospasme dan obstruksi mukus, serta
adanya infeksi (Joshi, dkk., 2012).
Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3, yakni :
1) Tipe I (eksasebasi berat), mempunyai 3 gejala diatas.
2) Tipe II (eksaserbasi sedang), mempunyai 2 gejala diatas.
3) Tipe III (eksaserbasi ringan), mempunyasi 1 gejala diatas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau frekuensi pernapasan > 20% baseline atau
frekuensi nadi > 20% baseline.
(PDPI, 2003)
Penyebab utama eksaserbasi akut adalah adanya infeksi pada saluran napas
baik bakteri ataupun virus (GOLD, 2015). Pemeriksaan laboratorium terhadap
sputum menunjukkan bakteri paling banyak yang ditemukan pada pasien PPOK
dengan eksaserbasi akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophylus
influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Antibiotik yang diberikan sebaiknya yang
12
memiliki spektrum luas. Lama pemberian antibiotik tergantung dari berat
ringannya infeksi, namun pada umumnya antibiotik diberikan selama 5-10 hari
(Andres, dkk, 2007; Woodhead, 2005).
h. Terapi PPOK
Tujuan terapinya adalah untuk mencegah dan meminimalisasikan progresifitas
penyakit, menghilangkan gejala, meningkatkan exercise tolerance, meningkatkan
status kesehatan, mencegah dan mengatasi eksaserbasi, mencegah dan mengatasi
komplikasi dan menurunkan morbiditas dan mortalitas (Dipiro et al., 2015).
Berhenti merokok adalah terapi yang paling baik dan paling disarankan untuk
pasien PPOK. Upaya yang dapat dilakukan tenaga kesehatan adalah memberikan
konseling atau dengan memberikan terapi pengganti nikotin pada pasien yang
merokok. Seperti pemberian nicotine gum, inhaler, nasal spray, plester
transdermal, tablet sublingual atau tablet hisap. Vareniclin, buspiron atau
nortriptilin bisa digunakan untuk terapi penghentian merokok (GOLD, 2015).
Penatalaksanaan PPOK terbagi menjadi 2, yaitu (1) penatalaksanaan pada keadaan
stabil dan (2) penatalaksanaan padaeksaserbasi akut (PDPI, 2003).
i. Terapi Eksaserbasi Akut
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilakukan di rumah (untuk eksaserbasi
ringan) atau di Rumah Sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Untuk
penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat
jalan ataupun rawat inap (PDPI, 2003).
13
Indikasi dilakukannya rawat inap adalah adanya eksasebasi sedang dan berat; atau
terdapat komplikasi seperti infeksi saluran napas berat, gagal napas akut, gagal
napas kronik dan gagal jantung kanan (PDPI, 2003).
Beberapa pilihan terapi untuk eksaserbasi akut yang dapat diberikan di rumah
sakit, diantaranya adalah :
1) Oksigen.
Oksigen merupakan hal yang pertama dan utama. Tujuan diberikannya
oksigen adalah untuk memperbaiki keadaan pasien yang hipoksia. Target
saturasi antara 88-92% (GOLD, 2015).
2) Noninvasive mechanicalventilation (NPPV).
Penggunaan ventilasi mekanik akan dapat mengurangi mortalitas dan
morbiditas dan memperbaiki simptom (PDPI, 2003).
3) Bronkodilator.
Bronkodilator digunakan dalam bentuk inhaler, intravena atau nebulizer.
Bronkodilator yang disarankan untuk eksaserbasi adalah short acting beta-2-
agonis dengan atau tanpa short acting antikolinergik (GOLD, 2015; PDPI,
2003).
4) Kortikosteroid.
Pemberian kortikosterois tergantung dari derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2
minggu, pada derajat berat dapat diberikan secara intravena. Namun
penggunaan kortikosteroid lebih dari 2 minggu akan dapat menimbulkan efek
14
samping yang lebih banyak, sehingga dalam penggunaannya perlu adanya
monitoring efek samping (PDPI, 2003).
Penggunaan sistemik kortikosteroid dapat mempercepat pemulihan,
meningkatkan fungsi paru-paru (FEV1) dan arterial hipoksemia (PaO2) dan
menurunkan resiko kambuh awal, kegagalan terapi dan lamanya rawat inap.
Dapat diberikan prednisolon 40 mg per hari selama 5 hari (GOLD, 2015).
5) Antibiotik.
Antibiotik hanya diberikan pada pasien yang mengalami :
a) Tiga gejala kardinal, yakni peningkatan kesulitan bernapas, peningkatan
volume sputum, peningkatan purulensi sputum.
b) Peningkatan purulensi sputum dan dengan salah satu gejala kardinal.
c) Memerlukan ventilasi mekanik (GOLD, 2015).
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola agen penginfeksi dan komposisi
kombinasi antibiotik. Pemberian antibiotik untuk rawat inap sebaiknya per
drip atau intravena (PDPI, 2003).
6) Terapi tambahan, pemberiannya tergantung dari kondisi klinik dari pasien.
Keseimbangan cairan tubuh dengan diuretik, antikoagulan, terapi untuk
komorbiditas dan nutrisi yang cukup. Tenaga kesehatan juga perlu memonitor
perokok aktif. Pasien rawat inap karena eksaserbasi PPOK dapt meningkatkan
resiko deep vein thrombosis dan pulmonary embolism; sehingga
thromboprophylactic measures harus ditingkatkan (GOLD, 2015).
Pemberian nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan karena
hipoksemia berkepanjangan,dan menghindari kelelahan otot bantu napas.
15
Kondisi lainnya yang berkaitan perlu dimonitor keseimbangan elektrolit,
pengeluaran sputum dan gagal jantung atau aritmia (Perhimpunana Dokter
Paru Indonesia, 2003).
2. Antibiotik
a. Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
memiliki kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Dorland dan Mahode, 2012). Antibiotik dapat digunakan
untuk mengatasi infeksi bakteri, antibiotik bisa bersifat sebagai bakterisid
(membunuh bakteri) maupun bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri
lain) (Kementrian Kesehatan, 2011c). Pemilihan terapi antibiotik yang rasional
harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain faktor pasien, bakteri dan
antibiotik. Terapi empirisdiarahkan pada bakteri yang dikenal menyebabkan
infeksi yang bersangkutan (Dipiro et al., 2005).
b. Klasifikasi Antibiotik
Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan aktivitasnya, cara kerjaanya
maupun struktur kimianya. Berdasarkan aktivitasnya antibiotik diklasifikasikan
sebagai :
1) Antibiotik spektrum luas, yaitu antibiotik yang dapat menghambat
pertumbuhan maupun membunuh sebagian besar bakteri baik bakteri gram
negatif maupun gram positif.
16
2) Antibiotik spektrum sempit, yaitu antibiotik yang hanya dapat
menghambat pertumbuhan maupun membunuh beberapa bakteri golongan
tertentu saja.
(Ganiswara, 1995)
Berdasarkan struktur kimia dan mekanisme aksinya :
1) Golong -laktam yaitu penisilin, sefalosporin, karbapenem dan agen
yang berbeda seperti sikloserin, vancomycin dan bacitracin dapat
menghambat sintesis dinding sel bakteri. Antibiotik -laktam
-laktam, yaitu struktur dinding sel
bakteri, sehingga dapat menghambat sintesis dinding sel bakteri.
2) Kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida, klindamisin, streptogramin dan
oksazolidon. Golongan ini berperan dalam penghambatan sintesis protein
bakteri secara reversibel dengan cara mengikat dan mengganggu sub unit
ribosom 30S atau 50S, dan secara umum bersifat bakteriostatik.
3) Golongan aminoglikosida seperti streptomisin, neomisin, kanamisin,
amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin dan lain-lain.
Golongan ini dapat mengikat sub unit ribosom 30S dan mengubah sintesis
protein yang secara umum bersifat bakterisidal.
4) Golongan sulfonamida dan trimetoprim dapat memblokade enzim esensial
pada metabolisme folat. Antibiotik golongan ini secara kompetitif dapat
menghambat sintesis dihidropteroat. Antibiotik golongan sulfoamida
antara lain sulfasitin, sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine,
sulfametoksazole, sulfapiridin dan sulfadoksin. Kombinasi trimetoprim-
17
sulfametoksazole akan menghambat bakteri melalui jalur asam
dihidrofolat reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam
dihidrofolik protozoa, sehingga menghasilkan efek sinergis.
5) Golongan quinolones mempunyai mekanisme menghambat sintesis DNA
bakteri pada topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV.
Contohnya adalah asam nalidiksat, asam oksonilat, sinoksasin,
siprofloksasin, levofloksasin, slinafloksasin, enoksasin, gatifloksasin,
lomefloksasin, moksifloksasin, norfloksasin, ofloksasin, sparfloksasin,
trovafloksasin dan lain-lain.
6) Antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme
dengan cara meningkatkan permeabilitas sehingga menyebabkan
kebocoran membran sel mikroorganisme adalah antibiotik polymycin,
agen antifungi polyene (seperti nystatin dan amphotericin B) yang
mengikuti sterol dinding sel dan lipopeptida daptomycin.
(Katzung, dkk., 2011)
c. Antibiotik untuk Pasien PPOK
Sebagian besar eksaserbasi akut pada PPOK disebabkan oleh infeksi, baik
virus maupun bakteri. Sebuah studi meta analisis dari 9 studi klinik menunjukkan
bahwa pasien yang menerima antibiotik mendapatkan perbaikan fungsi paru (peak
expiratory flow rate) lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menerima
(Ikawati, 2007). Pemberian antibiotik pada pasien PPOK dengan eksaserbasi akut
diberikan pada pasien yang sedikitnya mengalami 2 tanda dari 3 tanda-tanda
berikut : (1) peningkatan dyspnea (sesak napas); (2) meningkatan volume sputum;
18
(3) meningkatan purulensi sputum (Dipiroet al., 2015). Tabel I. menunjukkan
penggolongan pasien PPOK dengan eksaserbasi untuk treatment antibiotik
berdasarkan mikroorganisme penyebab.
Pemilihan antibiotik empirik harus berdasarkan pada bakteri yang paling
umum menginfeksi. Beberapa bakteri yang paling umum menginfeksi adalah
Haemophillius influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumoniae,dan
Haemophillius parainfluenzae. Beberapa bakteri yang lebih virulen juga mungkin
terdapat pada eksaserbasi akut PPOK yang lebih kompleks, seperti pneumococci
yang resisten terhadap obat, H. influenzae yang memproduksi beta-laktamase dan
bakteri gram negatif Pseudomonas aeruginosa (Dipiro et al., 2015). Tabel II.
menunjukkan pilihan terapi antibiotik untuk pasien PPOK eksaserbasi.
Tabel I. Penggolongan pasien PPOK eksaserbasi untuk treatment antibiotik berdasarkan mikroorganisme penyebab (PDPI, 2011)
Group Keterangan Mikroorganisme penyebab Group A Eksaserbasi ringan yakni tidak ada
faktor resiko poor outcome* H.influenzae; S. pneumoniae; M. catarrhalis; Chlamydia pneumoniae; Virus
Group B Eksaserbasi sedang yakni dengan faktor resiko poor outcome*
Mikroorganisme patogen group A; Mikroorganisme resisten (memproduksi beta-laktamase, penisilin-resisten S. pneumoniae); Enterobacteriaceae (K. pneumoniae, E. coli, Proteus, Enterobacter dan lain-lain)
Group C Eksaserbasi berat yakni dengan faktor resiko infeksi P. aeruginosa
Mikroorganisme patogen group B; P. aeruginosa
*Faktor resiko poor outcome pada pasien PPOK eksaserbasi adalah adanya penyakit penyerta, PPOK berat dan frekuensi eksasebasi lebih dari 3 kali per tahun.
19
Tabel II. Pilihan terapi antibiotik pasien PPOK eksaserbasi (PDPI, 2011)
Antibiotik Oral Alternatif antibiotik oral Antibiotik parenteral Group A Pasien dengan satu gejala
kardinal sebaiknya tidak mendapatkan terapi antibiotik Jika diindikasikan, maka dapat diberikan :
-laktam (penisilin, ampisilin, amoksisilin) Tetrasiklin Trimetoprim/sulfametoksazole
-laktam/inh -laktamase (ko-amoksiklav) Makrolid (azitromisin, klaritomisin, roksitromisin) Sefalosporin generasi 2 atau 3 Ketolid (telitromisin)
Group B - -laktamase (ko-amoksiklav)
Fluorokuinolon (gemifloksasin, levofloksasin, moksifloksasin)
- -laktamase (ko-amoksiklav, ampisilin/sulbaktam) Sefalosporin generasi 2 atau 3 Fluorokuinolon (levofloksasin, maksifloksasin)
Group C Pada pasien dengan resiko infeksi pseudomonas dapat diberikan fluorokuinolon (siprofloksasin, levofloksasin dengan dosis tinggi)
Fluorokuinolon (siprofloksasin, levofloksasin dosis
-laktam yang memiliki aktivitas pada P. aeruginosa
d. Prinsip Penggunaan Antibiotik
Antibiotik mempunyai 3 kegunaan utama, yaitu : (1) sebagai terapi empiris
atau terapi awal; (2) sebagai terapi definitif; dan (3) sebagai terapi profilaksis atau
pencegahan. Ketika digunakan sebagai terapi empiris, antibiotik harus dapat
menjangkau semua pathogen karena infeksi organisme yang belum diketahui
secara pasti, utamanya digunakan antibiotik dengan spektrum luas. Selanjutnya
ketika mikoorganisme penyebab infeksi telah diketahui, maka terapi antibiotik
definitif sebaiknya digunakan antibiotik yang berspektrum sempit sesuai dengan
jenis mikrobanya, dengan toksisitas rendah dan dengan tujuan menyempurnakan
terapi (Brunton, dkk., 2005).
20
e. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik
Kerasionalan penggunaan antibiotik meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat
obat, tepat dosis dan waspada efek samping obat. Penggunaan antibiotik secara
rasional juga harus mempertimbangkan muncul dan menyebarnya mikroba
(bakteri) resisten (Kementrian Kesehatan, 2015b). Penggunaan antibiotik tidak
rasional akan menyebabkan munculnya efek samping dan akan mendorong
munculnya bakteri resisten (WHO, 2003). Resistensi bakteri adalah kemampuan
mikroorganisme untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba (antibiotik)
sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis (Kementrian Kesehatan, 2015b).
Resistensi antibiotik umumnya terjadi karena pola penggunaan atau pola
peresepan antibiotik yang tidak tepat, sehingga perlu dilakukan strategi
penggunaan antibiotik untuk mencegah keadian resistensi antibiotik (Weigel,
2003).
Evaluasi/analisis penggunaan antibiotik merupakan salah satu indikator mutu
program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, bertujuan
memberikan informasi pola penggunaan antibiotik di rumah sakit baik kuantitas
maupun kualitas. Pelaksanaannya menggunakan sumber data dan metode yang
standar. Sumber data yang dapat digunakan adalah rekam medis pasien dan dari
pengelolaan antibiotik di instalasi farmasi. Dari rekam medis pasien dapat
diperoleh data jenis antibiotik yang diberikan, dosis, lama penggunaan dan jumlah
antibiotik yang diberikan pada pasien, sedangkan dari pengelolaan antibiotik di
instalasi farmasi dapat diperoleh data penjualan antibiotik. Kuantitas penggunaan
antibiotik dapat diukur degan metode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC)
21
Classification dan Defined Daily Dose (DDD)/100 patient-days, sedangkan
kualitas penggunaan antibiotik diukur dengan metode Gyssens.
Metode Gyssens dapat mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotik. Diagram
alir Gyssens digunakan sebagai alat untuk menilai kualitas penggunaan antibiotik
baik untuk terapi empiris maupun definitif. Ada beberapa kategori penggunaan
antibiotik hasil penilaian diagram alir Gyssens, diantaranya adalah :
Kategori 0, yakni tepat dan rasional.
Kategori I, yakni tidak tepat timing pemberian.
Kategori IIA, yakni tidak tepat dosis.
Kategori IIB, yakni tidak tepat interval.
Kategori IIC, yakni tidak tepat rute pemberian.
Kategori IIIA, yakni penggunaan terlalu lama.
Kategori IIIB, yakni penggunaan terlalu singkat.
Kategori IVA, yakni terdapat alternatif lain yang lebih efektif.
Kategori IVB, yakni terdapat alternatif lain yang lebih aman.
Kategori IVC, yakni terdapat alternatif lain yang lebih murah.
Kategori IVD, yakni terdapat alternatif lain dengan spektrum sempit.
Kategori V, yakni tidak ada indikasi penggunaan antibiotik.
Kategori VI, yakni data yang tidak lengkap, sehingga tidak dapat dinilai.
(Kementrian Kesehatanb, 2015)
Gambar 2. menunjukkan diagram alir Gyssens (Gyssens flowchart). Evaluasi
antibiotik dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan melihat apakah data
lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan antibiotik.
22
Gambar 2. diagram alir metode Gyssens (Gyssensflowchart) (Kementrian Kesehatan, 2015b)
Mulai
Data lengkap
AB diindikasikan
Alternatif lebih efktif
Alternatif lebih tidak toksik
Alternatif lebih murah
Spektrum alternatif lebih
sempit
Pemberian terlalu lama
Pemberian terlalu singkat
Dosis tepat
Interval tepat
Rute tepat
Waktu tepat
Tidak termasuk I-IV
Stop
StopVI
V
IVa
IIIa
IVb
IVc
IVd
IIa
IIb
IIc
IIIb
I
0
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya Ya Ya
Ya
Ya
Ya
23
F. Landasan Teori
Pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi dan dirawat inap di rumah sakit
biasanya menerima terapi antibiotik karena sebagian besar eksaserbasi pada
PPOK disebabkan oleh infeksi baik bakteri maupun virus. Menurut Dipiro et al.
(2015) terapi antibiotik untuk PPOK eksaserbasi diberikan pada pasien yang
sedikitnya mengalami dua dari tiga gejala kardinal; yakni peningkatan sesak
(dyspnea), peningkatan volume sputum dan peningkatan purulensi sputum (Dipiro
et al., 2015). Menurut PDPI tahun 2003 antibiotik pada pasien PPOK hanya boleh
diberikan jika benar-benar ditemukan adanya infeksi (PDPI, 2003).
Antibiotik yang rasional adalah antibiotik yang tepat indikasi, dosis, rute,
interval, lama pemberian; sehingga pada penggunaannya harus dilakukan
pengawasan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional atau tidak sesuai dengan
pedoman terapi akan mengakibatkan berkembangnya resistensi bakteri terhadap
antibiotik, selain itu juga dapat meningkatkan efek samping, serta dapat
meningkatkan biaya perawatan pasien (Kementrian Kesehatan, 2011b).
Salah satu metode untuk melihat kualitas penggunaan antibiotik adalah metode
Gyssens. Metode Gyssens menggunakan diagram alir atau flowchrat Gyssens
sebagai alat untuk menilai kualitas penggunaan antibiotik baik empiris maupun
definitif (Kementrian Kesehatan, 2015b). Metode Gyssens memiliki tujuh
kategori, dimana kategori 0 adalah penggunaan antibiotik rasional, sedangkan
kategori I sampai VI adalah penggunaan antibiotik tidak rasional.
24
G. Kerangka Konsep
Gambar 3. Kerangka konsep penelitian
H. Keterangan Empiris
Penggunaan antibiotik sebagai salah satu terapi untuk penyakit karena infeksi
bakteri membutuhkan kerasionalitasan dalam pemilihan dan penggunaannya pada
pasien, agar outcome terapi yang diperoleh dapat tercapai secara optimal. Terkait
dengan hal tersebut, farmasis sebagai farmasi klinik dengan praktek
pharmaceutical care memiliki kewajiban dalam mengontrol penggunaan
antibiotik yang rasional serta mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan
akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional salah satunya adalah resistensi
bakteri. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai rasionalitas
penggunaan antibiotik serta outcome klinik pada pasien PPOK rawat inap di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014-2016.
Pasien PPOK dengan antibiotik
Rasionalitas terapi antibiotik menggunakan metode Gyssens : a. Kategori 0 = rasional b. Kategori 1-5 = tidak rasional
Rasional Tidak rasional
Pengukuran outcome klinik : a. Membaik b. Belum membaik c. Meninggal