bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah 1-7 yang... · 1.1 latar belakang masalah ... karet...

93
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Foot and ankle dibentuk oleh 3 persendian yaitu articulation talocruralis, articulation subtalaris dan articulation tibiofibularis distal. Foot and ankle merupakan struktur sendi yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak tulang, ligamen, otot dan tendon yang berfungsi sebagai stabilisasi dan penggerak tubuh. Otot dan ligamen merupakan stabilisator sendi, termasuk dalam sensorimotor (Kisner dan Colby, 2012). Pada komponen sendi foot and ankle ini akan terjadi pergerakan plantar fleksi, dorso fleksi, inversi dan eversi. Fungsi ankle sebagai penyangga berat badan memungkinkan terjadinya cedera pada ankle. Cedera sprain ankle dapat terjadi karena overstretch pada ligamen complex lateral ankle dengan posisi inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba terjadi saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah, di mana umumnya terjadi pada permukaan lantai/ tanah yang tidak rata. Ligamen pada lateral ankle antara lain: ligamen talofibular anterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi. Ligamen talofibular posterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi. Ligamen calcaneocuboideum yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi. Ligamen talocalcaneus yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi dan ligamen calcaneofibular yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi (Chan, 2011). Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya cedera sprain ankle yaitu kelemahan otot terutama otot-otot disekitar sendi foot and ankle. Kelemahan

Upload: dinhduong

Post on 04-Mar-2019

249 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Foot and ankle dibentuk oleh 3 persendian yaitu articulation talocruralis,

articulation subtalaris dan articulation tibiofibularis distal. Foot and ankle

merupakan struktur sendi yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak tulang,

ligamen, otot dan tendon yang berfungsi sebagai stabilisasi dan penggerak tubuh.

Otot dan ligamen merupakan stabilisator sendi, termasuk dalam sensorimotor

(Kisner dan Colby, 2012). Pada komponen sendi foot and ankle ini akan terjadi

pergerakan plantar fleksi, dorso fleksi, inversi dan eversi. Fungsi ankle sebagai

penyangga berat badan memungkinkan terjadinya cedera pada ankle.

Cedera sprain ankle dapat terjadi karena overstretch pada ligamen

complex lateral ankle dengan posisi inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba

terjadi saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah, di mana umumnya

terjadi pada permukaan lantai/ tanah yang tidak rata. Ligamen pada lateral ankle

antara lain: ligamen talofibular anterior yang berfungsi untuk menahan gerakan

ke arah plantar fleksi. Ligamen talofibular posterior yang berfungsi untuk

menahan gerakan ke arah inversi. Ligamen calcaneocuboideum yang berfungsi

untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi. Ligamen talocalcaneus yang

berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi dan ligamen calcaneofibular

yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi (Chan, 2011).

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya cedera sprain ankle

yaitu kelemahan otot terutama otot-otot disekitar sendi foot and ankle. Kelemahan

2

atau longgarnya ligamen-ligamen pada sendi foot and ankle, balance ability yang

buruk, permukaan lapangan olah raga yang tidak rata, sepatu atau alas kaki yang

tidak tepat dan aktivitas sehari-hari seperti bekerja, berolahraga, berjalan dan lain-

lain (Farquhar, 2013).

Menurut hasil penelitian The Electronic Injury National Surveillance

System (NEISS) di Amerika menunjukkan bahwa sprain ankle di pengaruhi oleh

jenis kelamin, usia, dan keterlibatan dalam olah raga. Laki-laki berusia antar 15-

24 tahun memiliki tingkat lebih tinggi terkana sprain ankle, dan perempuan usia

30 tahun memiliki tingkat lebih tinggi terkena sprain ankle. Setengah dari semua

keseleo pergelangan kaki (58,3%) terjadi selama kegiatan atletik, dengan basket

(41,1%), football (9,3%), dan soccer (7,9%). Hal ini dapat membuktikan bahwa

persentase tertinggi sprain ankle adalah selama berolahraga. (Martin et al., 2013).

Menurut Junaidi (2013), melaporkan kejadian cedera ankle di Poliklinik

KONI Provinsi DKI Jakarta pada bulan September-Oktober 2012 populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh atlet Pelatda PON XVIII/2012 Provinsi DKI

sebanyak 419 kasus yang merupakan 41,1% dari total kasus cidera yang terjadi.

Cedera sprain ankle memiliki 4 fase: fase initial akut berlangsung 3 hari

setelah cedera, respons inflamasi (fase akut) berlangsung 1-6 hari, fibroblastic

repair (fase sub akut) berlangsung hari ke 4-10 setelah cedera, fase kronis

(maturation remodeling) berlangsung lebih dari 7 hari setelah cedera (Chan keith

et al., 2011).

Sprain ankle kronis adalah cedera pada ligamen kompleks lateral yang

berlangsung lebih dari 7 hari. Cedera dengan keluhan nyeri, inflamasi kronis dan

3

ketidakstabilan dalam melakukan aktivitas yang disebabkan terjadinya kelemahan

ligamen dan penurunan fungsi termasuk defisit sensorimotor yang dapat

menimbulkan terjadinya kelemahan otot sehingga tonus postural dan kekuatan

otot menurun dan menurunnya propioceptive, fleksibilitas menurun, stabilitas dan

keseimbangan menurun (Catalayud et al., 2014).

Sprain ankle kronis yang berlangsung lama dan tidak ditangani dengan

tepat atau tidak melakukan perbaikan maka akan menyebabkan disability. Foot

and ankle disability ditandai dengan ketidakmampuan dalam melakukan

pergerakan dan aktivitas fungsional. Adanya kondisi-kondisi dari sprain ankle

kronis sendiri menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dalam melaksanakan

aktifitasnya sehari-hari sehingga menyebabkan foot and ankle disability. Jika hal

ini tidak di intervensi dengan baik maka akan terjadi peningkatan foot and ankle

disability pada sprain ankle kronis. Kemampuan aktivitas fungsional foot and

ankle yang terganggu meliputi aktivitas berdiri, berjalan dengan normal,

pekerjaan yang ringan sampai yang berat, respon dengan pekerjaan rumah,

jongkok, aktivitas naik dan turun tangga, dan perawatan/pemeliharaan pribadi,

kegiatan hidup sehari-hari, rekreasi dan olah raga. Aktivitas tersebut dapat

terganggu dan fungsinya menurun hal itu dinamakan disability (Barr dan Harrast,

2005).

Menurut World Conferedation for Physical Therapy (WCPT) yang

dimaksud dengan disability yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aksi, tugas

atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial budaya

individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas yang

4

berhubungan dengan kesenangan (hobi). Foot and ankle disability dapat diketahui

dengan pengukuran prosedur tetap pemeriksaan fisioterapi pada ankle and foot,

dan untuk mengukur intensitas disabilitas dengan FADI (Foot/Ankle Disability

index). FADI merupakan kuesioner yang berisi aktivitas pasien yang terdiri dari

26 item yang terdiri dari 4 intensitas nyeri dan 24 aktivitas sehari – hari (Martin,

2013).

Pendekatan fungsional yang dibutuhkan individu dalam aktivitas

keseharian, maka diperlukan pendekatan secara komprehensif. Pendekatan

fisioterapi di dalam mengatasi sprain ankle kronis diperlukan penanganan yang

sejalur dengan kriteria dalam ICF (International Classification of Functioning,

Disability and Health) yaitu impairment-based category of ankle stability dan

komplemen ICD (International Classification of Disease and Related Problem),

yaitu category of sprain of ankle (Barr dan Harrast, 2005). Hal ini seperti

tercantum dalam surat Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia no 80

tahun 2013 tentang penyelenggaraan pekerjaan dan pratek fisioterapi pasal 1 ayat

2 yaitu:

“Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada

individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan

memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan

menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan

(fisik elektroterapeutik dan mekanik), pelatihan fungsi dan komunikasi.

Pengertian di atas, jelas bahwa fisioterapi sangat peduli pada kesehatan

manusia, baik secara individu maupun kelompok untuk memaksimalkan potensi

gerak yang berhubungan dengan mengembangkan, mencegah, mengobati, dan

mengembalikan gerak dan fungsi tubuh seseorang dengan menggunakan

5

modalitas fisioterapi. Di dalam menanggulangi gangguan fungsi pada sprain ankle

kronis di perlukan pendekatan fungsional yang komprehensif melalui pelayanan

fisioterapi (Miller, 2011).

Intervensi yang dapat diterapkan pada penanganan foot and ankle

disability pada sprain ankle kronis yaitu dengan terapi latihan. Terapi latihan

merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang dapat di gunakan untuk

memulihkan otot, ligament, tendon, tulang dan saraf, dengan tujuan untuk

meningkatkan ROM, meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kemampuan

proprioceptive, memulihkan keseimbangan dan control postural, menurunkan

foot and ankle disability dan aktivitas sehari-hari akan kembali normal (Kisner

dan Colby, 2012).

Pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board merupakan

pemberian pelatihan menggunakan papan keseimbangan (wobble board).

Pelatihan wobble board merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh

statis yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan

cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board (Wees, 2006). Kelebihan

pelatihan proprioceptive dengan wobble board yaitu melatih otot-otot ekstremitas

bawah mulai dari panggul sampai foot and ankle secara bersamaan dalam

meningkatkan kekuatan otot foot and ankle, proprioceptive, stabilitas,

keseimbangan sehingga foot and ankle disability menurun dan aktivitas sehari-

hari menjadi normal (Kisner dan Colby, 2012).

Prinsip dari latihan ini untuk meningkatkan fungsi dari pengontrol

keseimbangan tubuh. Saat latihan berlangsung rangsangan yang diterima serabut

6

intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan

diolah di otak untuk diproses sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi

otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal

akan mengaktivasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi

serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan

saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive

yang baik (Miller, 2011).

Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance

bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot penggerak foot and ankle, sehingga

mampu pempertahankan posisi anatomi, tonus otot meningkat, refleks regang

meningkat yang dapat mencegah terjadinya cedera ulang, serta memperbaiki

stabilitas kaki (Driscoll dan Delahunt, 2011).

Pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance, dalam

bentuk latihan isotonik dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang

di sebabkan kerusakan ligament lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot

didapatkan dengan pelatihan secara continue sehingga kekuatan otot tonik dapat

meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan

kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinya penambahan recuitment

motor unit pada otot yang akan mengaktivasi badan golgi sehingga otot akan

bekerja secara optimal, sehingga terbentuk stabilitas yang baik pada ankle, dalam

menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis (Driscoll

dan Delahunt, 2011).

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

yang akan diteliti sebagai berikut :

1. Apakah pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dapat

menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis?

2. Apakah pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic

resistance dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain

ankle kronis?

3. Apakah pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board berbeda

dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic

resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain

ankle kronis?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

1. Tujuan umum

Untuk membuktikan pelatihan proprioceptive menggunakan wobble

board berbeda dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet

elastic resistanc dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus

sprain ankle kronis.

2. Tujuan khusus

a. Untuk membuktikan pelatihan proprioceptive menggunakan wooble

board dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain

ankle kronis.

8

b. Untuk membuktikan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan

karet elastic resistance dapat menurunkan foot and ankle disability

pada kasus sprain ankle kronis.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah:

1. Manfaat Ilmiah

Melalui ilmiah, penelitian ini dapat memberikan kontribusi

akademi bagi pengembangan Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK)

tentang konsep penanganan kondisi foot and ankle disability pada kasus

sprain ankle kronis dengan penanganannya memberikan pelatihan

proprioceptive menggunakan wobble board dan pelatihan penguatan

otot ankle menggunakan karet elastic resistance.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan

pertimbangan bagi fisioterapis di rumah sakit atau lahan praktek didalam

memberikan pelayanan fisioterapi khususnya pada pasien-pasien sprain

ankle kronis.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Foot and ankle Disability pada Sprain Ankle Kronis

Sprain ankle kronis merupakan penguluran dan kerobekan (overstrech)

trauma pada ligamen kompleks lateral, oleh adanya gaya inversi dan plantar fleksi

yang tiba-tiba saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/tanah, dimana

umumnya terjadi pada permukaan lantai/tanah yang tidak rata. Ligamen-ligamen

yang terkena adalah ligamen talofibular anterior, ligamen talofibular posterior,

ligamen calcaneocuboideum, ligamen talocalcaneus, dan ligamen calcaneofibular

(Kisner dan Colby, 2012) .

Menurut World Conferedation for Physical Therapy (WCPT) yang

dimaksud dengan disability yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aksi, tugas

atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial budaya

individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas yang

berhubungan dengan kesenangan (hobi).

Foot and ankle disability yang disebabkan oleh sprain ankle yaitu segala

keterbatasan atau ketiadakmampuan sebagai akibat dari kerusakan struktur

jaringan lunak untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dalam batas-batas yang

dianggap “normal” bagi manusia.

Sprain ankle kronis akan menimbulkan nyeri, nyeri akibat inflamasi akan

meningkat karena kelemahan ligamen sebagai stabilitas pasif (ligamen laxity) dan

ketidakseimbangan otot (muscle imbalance) sebagai stabilitas aktif pada ankle

9

10

and foot, sehingga kemampuan untuk menyangga tubuh menurun, hal ini akan

menyebabkan ketidakmampuan aktivitas fungsional sehari-hari seperti berdiri,

berjalan, aktivitas naik turun tangga, bekerja, melakukan pekerjaan rumah dan

halaman, rekreasi dan berolahraga, mengemudi mobil dan motor dan lain-lain.

Ketidakmampuan aktivitas tersebut yang didefenisikan sebagai foot and ankle

disability (Hale dan Hartel, 2005).

2.1.1 Pemeriksaan Foot and Ankle Disability pada Kasus Sprain Ankle

Kronis.

Keterbatasan aktivitas fungsional atau foot and ankle disability pada

pasien-pasien sprain ankle kronis, sesuai dengan pengukuran yang di cantumkan

oleh FADI (Foot/Ankle Disability index). FADI (Foot/Ankle Disability index)

bertujuan untuk mengukur intensitas disabilitas pada ankle and foot melalui

kuesioner yang berisi aktivitas pasien dengan 26 item pernyataan, terdiri dari: 4

Intensitas nyeri, 22 item aktivitas sehari-hari (Martin et al., 2010).

FADI merupakan laporan khusus untuk mengukur disability yang

berkaitan dengan kondisi tertentu dan bagian tubuh tertentu dengan langkah –

langkah khusus. FADI pertama kali dijelaskan oleh Martin et al., (1999),

digunakan menilai aktivitas sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hale dan Hartel (2005) didapatkan hasil rerata µ1 = 87,1, Standar

deviasi σ = 12,1 rerata µ2 = 104,52.

Pasien diminta untuk memilih salah satu pernyataan dengan menandai

N/A, pada kotak yang di sediakan. Setiap item dalam skala 0 – 4 dan hasil 0 (

mampu melakukan) sampai 4 (tidak mampu melakukan sama sekali) / 4 item rasa

11

sakit dari FADI yang mencetak 0 (tidak ada nyeri) sampai 4 (nyeri tak

tertahankan). Para peneliti yang merancang skala ini, melaporkan bahwa

pengukuran ini lebih akurat dan valid pada pasien dengan kondisi muskuloskeletal

ekstremitas bawah (Hale dan Hartel, 2005).

2.2 Anatomi

2.2.1 Struktur Tulang Ankle and foot

Ankle and foot merupakan anggota ekstremitas bawah yang berfungsi

sebagai stabilisasi dan penggerak tubuh. Di mana terdiri dari 28 tulang dan paling

sedikit 29 sendi, yang mana memiliki fungsi utama sebagai membentuk dasar

penyangga, sebagai peredam kejut, dan sebagai penyesuaian mobilitas. Ankle

dibentuk oleh ujung distal os. Tibia dan os. Fibula (yang kompleks terdiri dari 3

artikulasi: sendi talocrural, sendi subtalar, dan tibiofibular) yang bersendi

langsung dengan: Os. Talus paling atas, Os. Calcaneus paling belakang, Os.

Navicularis bagian medial, Os. Cuboideus bagian lateral, Ossa. Cuneiforme

bagian medial, middel, lateral, Ossa. Metatarsalia 5 buah, dan Ossa. Phalangeal 14

buah (Bonnel et al.,2010). Pada ankle terdiri atas pengelompokan, diantaranya :

a. Fore foot, terdiri dari: Ossa metatarsalia dan Ossa phalangea, pada anterior

segmen.

b. Mid foot, terdiri dari : Os. Navicularis, Os Cuboid dan Ossa Cuneiforme,

pada middle segmen.

c. Rear foot, terdiri dari: Os, Talus dan Os Calcaneus (Subtalar joint/Talo

calcanel joint), posterior segmen.

12

Gambar 2.1 Ankle and foot joint sebagai stabilisasi pasif

Sumber: Atlas anatomi (Atner, 2002)

2.2.2 Persendian kaki

1. Distal Tibio Fibular Joint

Distal tibio fibular joint merupakan syndesmosis joint dengan satu

kebebasan gerak kecil. Diperkuat anterior dan posterior tibiofibular ligament

dan interroseum membran. Arthokinematik dan osteokinematik adalah gerak

geser dalam bidang sagital sangat kecil dan gerak angulasi dalam bidang

frontal sebagai membuka dan menutup garpu (Kisner dan Colby, 2012).

2. Ankle Joint (Talo Crural Joint)/Rear Foot

Talocrural, atau tibiotalar, secara fungsional talocrural joint dapat

dianggap sebagai synovial hinge joint, dibentuk oleh cruris (tibia dan fibula)

dan os. Talus, maleolus medial, dan maleolus lateral. Gerakan-gerakan yang

terjadi fleksi dorsal dan fleksi plantar. Arthrokinematik dan osteokinematiknya

adalah gerakan dari posisi netral terdiri dari gerakan bidang sagital 28°- 30°

13

plantar fleksi atau (ROM: 40–500

) loose –packed position, dorsal fleksi

(ROM: 20–300) , close-packed position. Traksi terhadap talus selalu kearah

distal. Translasi untuk gerak dorsal fleksi kearah posterior dan gerak plantar

fleksi kearah anterior. 1° gerakan melintang (internal rotasi) 9° dan gerakan

(rotasi eksternal), dan 4° gerakan bidang frontal (inversi) dan 2° gerak eversi

(Kisner dan Colby, 2012)

3. Subtalar Joint (Talo Calcaneal Joint)/Rear Foot

Subtalar joint merupakan jenis sendi plan joint, dibentuk oleh os. Talus

dan Calcaneus. Arthrokinematik dan osteokinematik adalah gerakan yang

terjadi berupa adduksi (valgus) dan abduksi (varus), yang ROM keduanya

adalah hard end feel. Semakin besar posisi kaki dalam fleksi plantar, semakin

besar kemiringan varusnya. Diperkuat oleh talocalcaneal ligamen.

Biomekanik sendi subtalar sangat penting dalam stabilitas pergelangan

kaki, terutama gerakan inversi dan eversi dalam upaya untuk menjaga kaki

stabil di bawah pusat gravitasi (Kisner dan Colby, 2012) .

4. Midtarsal joint (Mid foot) / Inter Tarsal Joint

Midtarsal joint (Mid foot) / Inter Tarsal Joint terdiri dari:

a. Talo calcaneo navicular joint, memiliki cekungan permukaan sendi yang

kompleks, termasuk jenis sendi plan joint. Diperkuat oleh plantar

calcaneonavicular ligamen.

b. Calcaneo cuboid joint, merupakan plan joint, bersama talonavicularis

membentuk transverse tarsal (mid tarsal joint). Diperkuat ligamen spring,

14

dorsal talo navicular ligamen, bifurcatum ligamen, Calcaneo cuboid

ligamen, Plantar calcaneocuboid ligamen.

c. Cuneo navicular joint, navikular bersendi dengan cuneiforme I, II, III ,

berbentuk konkaf. Cuneiforms bagian plantar berukuran lebih kecil,

bersama cuboid membentuk transverse arc. Gerak utama; plantar – dorsal

fleksi. Saat plantar fleksi terjadi gerak luncur cuneiform ke plantar.

d. Cuboideocuneonavicular joint, sendi utamanya adalah cuneiform II-

cuboid berupa plan joint. Gerak terpenting adalah inversi dan eversi. Saat

inversi cuboid translasi ke plantar medial terhadap cuneiform III.

e. Intercuneiforms joint, dengan navicular membentuk transverse arc saat

inversi-eversi terjadi pengurangan-penambahan arc. Arthrokinematiknya

berupa gerak translasi antar os. tarsal Joint.

f. Cuneiforms I-II-III bersendi dengan metatarsal I-II-III, cuboid bersendi

dengan metatarsal IV-V, Metatarsal II ke proximal sehingga bersendi

juga dengan Cuneiforms I-III, sehingga sendi ini paling stabil dan

gerakannya sangat kecil. Arthrokinematiknya berupa traksi gerak

Metatrsal ke distal (Barr, 2005).

5. Metatarso phalangeal dan Inter phalangeal Joint (Fore Foot.

a. Metatarso phalangeal Joint.

Distal metatarsal berbentuk konveks membentuk sendi ovoid-hinge

dengan gerak: fleksi-ekstensi dan abduksi-adduksi. Maximally lose pack

position (MLPP) = Ekstensi 110, close pack position (CPP ) = full ekstensi.

Gerak translasi searah gerak angular, traksi selalu kearah distal searah

15

sumbu longitudinal phalang. Kaki bagian depan berfungsi untuk mobilitas,

terutama untuk proses meletakkan kaki saat berjalan. Pada saat berjalan

kemungkinan terjadi gerak fleksi dan ekstensi, seperti halnya pada

persendian jari kaki (interphalangeal) yang lain.

b. Proximal dan Distal Interphalangeal Joint

Caput proximal phalang berbentuk konveks dan basis distal phalang

berbentuk konkav membentuk sendi hinge. Gerakannya adalah fleksi-

ekstensi. Maximally lose pack position (MLPP) = Fleksi 100, close pack

position (CPP) = full ekstensi Gerak translasi searah gerak angular, traksi

selalu ke arah distal searah axis sumbu longitudinal phalang.

Gambar 2.2 Persendian kaki kaki

Atlas Anatomi Manusia (Sobotta, 2010)

16

2.2.3 Arcus kaki

Ada dua arcus, Longitudinal Arc dan Transverse Arc:

1. Longitudinal Arc: merupakan kontinum dari calcaneus dan caput

metatarsal.

2. Transverse Arc: bagian proxikmal dibatasi os. Cuboideum, lateral

cuneiforme, mid cuneiforme dan medial cuneiforme lebih cekung dan

pada bagian distal oleh caput metatarsalia yang lebih datar (Bonnel et

al., 2010).

2.2.4 Fascia

Ankle and foot terdapat fascia superficialis dorsum pedis yang terletak di

bagian distal retinaculum musculorum extensoren inferius. Fascia ini membentuk

fascia cruris dan terbentang ke distal masuk ke dalam aponeurosis extensoris jari-

jari. Pada bagian proksimal melekat pada retinaculum musculorum extensor

superior dan membentuk penyilangan dengan retinaculum musculorum

extensorum inferius hanya dapat dilihat pada diseksi perlahan-lahan dan bagian

lateralnya crus proksimal sering tidak ada. Disebelah dalam tendon-tendon

musculus extensor digitorum longus yang merupakan lapisan jaringan

penyambung fascia profunda dorsum pedis yang padat, kaku dan juga melekat

pada batas-batas kaki (Kisner dan Colby, 2012).

17

2.2.5 Struktur Ligamen Ankle

Ligamen merupakan struktur yang elastis dan sebagai stabilisasi pasif pada

ankle and foot joint. Ligamen yang sering mengalami cedera yaitu ligament

kompleks lateral kaki antara lain: ligamen talofibular anterior yang berfungsi

untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi, ligamen talofibular posterior yang

berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inverse, ligamen calcaneocuboideum

yang berfunsgsi untuk menahan gerakan kearah plantar fleksi, ligamen

talocalcaneus yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi dan ligamen

calcaneofibular yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi membuat

sendi kaki terkunci pada batas tertentu sehingga tebentuknya stabilitas pada kaki

dan ligamen cervical. Selain itu juga terdapat ligamen cuneonavicular plantar,

ligamen cuboideonavicular plantar, ligamen intercuneiform plantar, ligamen

cuneocuboid plantar dan ligamen interrosea yaitu ligamen cuneocuboideum

interossum dan ligamen intercuneiform interrosea. Pada ligamen antara tarsal dan

metatarsal terdapat ligamen tarsometatarso dorsal, ligamen tarsometatarso plantar

dan ligamen cuneometatarsal interrosea. Diantara ossa metatarsal terdapat ligamen

metatarsal interrosea dorsal dan plantar yang terletak pada basis metatarsal

(Chook dan Hegedus, 2013).

18

Gambar 2.3 Sruktur ligamen sebagai stabilisasi pasif.

Sumber: Atlas anatomi (Sobotta, 2010)

2.2.6 Struktur Otot dan Tendon Ankle and foot

Otot berperan sebagai penggerak sendi, juga berfungsi sebagai komponen

stabilisator aktif yang menjaga integritas sendi dan tulang saat pergerakan.

Tendon adalah ujung otot yang melekat ada tulang. fungsinya untuk

menghubungkan berbagai organ tubuh seperti otot dengan tulang-tulang, tulang

dengan tulang, juga memberikan perlindungan terhadap organ tubuh (2006). M.

soleus dan M. gastrocnemius, fungsinya untuk plantar fleksi pedis, otot ini di

innevasi oleh N. tibialis L4-L5. fungsinya untuk supinasi (adduksi dan inverse) dan

plantar fleksi pedis. M.tibialis anterior dan M.tibialis posterior, otot ini di innevasi

19

oleh N. peroneus (fibularis) profundus L4-L5, fungsinya untuk dorsal fleksi dan

supinasi (adduksi dan inverse) pedis.

M. peroneus longus dan M. peroneus brevis, merupakan pronator yang

paling kuat untuk mencegah terjadinya sprain ankle lateral, otot ini di innervasi

oleh N. peroneus (fibularis) superficialis L5-S1. Fungsinya untuk pronasi (abduksi

dan eversi) dan plantar fleksi pedis, tidak hanya pada ligamen, jaringan lain

seperti tendon dapat mengalami cedera, tendon yang sering mengalami cedera

pada ankle sprain adalah tendon peroneus longus dan brevis yang berfungsi

terhadap gerakan eversi pada kaki (Farquhar, et al 2013).

Gambar 2.4 Struktur otot dan tendon ankle (atlas anatomi)

Sumber: Sobotta (2010)

20

2.3 Patofisiologi Sprain ankle Kronis

2.3.1 Insidensi

Menurut hasil penelitian The Electronic Injury National Surveillance

System (NEISS) di Amerika menunjukkan bahwa setengah dari semua keseleo

pergelangan kaki (58,3%) terjadi selama kegiatan atletik, dengan basket (41,1%),

football (9,3%), dan soccer (7,9%). Hal ini dapat membuktikan bahwa persentase

tertinggi sprain ankle adalah selama berolahraga. (Martin, et al 2013).

Menurut data skunder yang di peroleh Poliklinik KONI Provinsi DKI

Jakarta pada bulan September – Oktober 2012 dengan data sekunder, populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh atlet Pelatda PON XVIII/2012 Provinsi DKI.

Hasil Penelitian yang diperoleh adalah terdapat kasus cedera sebanyak 85 pada

tahun 2009, sebanyak 146 pada tahun 2010, sebanyak 353 pada tahun 2011, dan

sebanyak 419 kasus pada tahun 2012. Prevalensi cedera terus meningkat, cedera

yang didapati kasus terbanyak adalah sprain ankle (cedera ligamen) sebanyak

41,1 %, bagian tubuh yang mengalami cedera kasus yang terbanyak adalah

bagian ekstremitas bawah sebanyak 60% dan yang paling sedikit bagian kepala

sebanyak 0,8%. Cedera akut sebanyak 64,4% dan cedera kronis 35,6%. Tempat

penanganan kasus cedera , terbanyak dilakukan di KONI DKI Jakarta sebanyak

35,2% dan yang paling sedikit di tangani di Rumah Sakit yaitu sebanyak 8,5% ,

Setelah cedera sprain ankle maka akan meninggalkan gejala sisa atau cedera ulang

antara 55 % sampai 72 %, berasal dari pasien pada 6 minggu sampai 18 bulan, hal

ini terjadi karena pasien tidak mencari pengobatan yang professional (Junaidi,

2013).

21

2.3.2 Etiologi

Sprain ankle disebabkan trauma inversi yang dapat menimbulkan cedera

ligament kompleks lateral, kadang di ikuti cedera tendon. Faktor – faktor yang

mempermudah terjadinya sprain ankle kronis antara lain, faktor intrinsik dan

ekstrinsik, faktor ekstrinsik termasuk dalam kesalahan pelatihan, kinerja yang

buruk , teknik yang salah dan menapak pada permukaan yang tidak rata, faktor

intrinsik termasuk kerusakan jaringan penyangga, ketidakstabilan aktif oleh otot-

otot penggerak foot and ankle (muscle weaknes), poor proprioceptive,

hypermobile foot and ankle. Faktor risiko cedera sprain ankle kronis bisa di

sebabkan abnormal foot posture yaitu : pes planus dinamis, pes cavus, flat foot (

Kisner dan Colby, 2012).

2.3.2.1 Tanda dan Gejala

Sprain ankle terjadinya inflamasi akut, sub akut dan kronis. Sprain ankle

kronis setelah pasca cedera 4 sampai 7 hari atau lebih yang di tandai: Memar,

bengkak disekitar persendian tulang yang terkena, nyeri bila digerakkan atau

diberi beban, fungsi persendian terganggu, kelemahan ligamen atau

ketidakstabilan fungsional, dan penurunan proprioseptive. Gejala-gejala

menyebabkan ketidakmampuan (foot and ankle disability) yang di tandai

terjadinya cedera ulang (Chan, 2011).

2.3.3 Proses Patologi

Sprain ankle terjadi adanya cedera berlebihan (overstreching dan

hypermobility) atau trauma inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba, ketika sedang

berolahraga, aktivitas fisik, saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah

22

yang tidak rata sehingga hal ini akan menyebabkan telapak kaki dalam posisi

inversi, menyebabkan struktur ligamen yang akan teregang melampaui panjang

fisiologis dan fungsional normal, terjadinya penguluran dan kerobekan pada

ligamen kompleks lateral dan ligamen-ligamen yang terkena yaitu: Ligamen-

ligamen yang terkena adalah ligamen talofibular anterior, ligamen talofibular

posterior, ligamen calcaneocuboideum, ligamen talocalcaneus, dan ligamen

calcaneofibular dan ligamen deltoid yang berfungi sebagai posisi eversi, hal

tersebut akan mengakibatkan nyeri pada saat berkontraksi, adanya nyeri tersebut

menyebabkan immobilisasi sehingga terjadi penurunan kekuatan otot dan

kerterbatasan gerak (Calatayud, et al., 2014).

Kerusakan ligamen dapat menyebabkan instabilitas kaki sehingga mudah

terjadinya sprain ulang, atau penyembuhan terhambat , gangguan stabilitas hingga

ligamen laxity (pasif stability) dan penurunana fungsi neuromuscular (active

stability). Trauma penyebab ligament ditandai melebihi elastisitasnya sehingga

terjadi kerobekan mikrokopis hingga makrokopis, akibat kerobekan jaringan lunak

yang di ikuti proses inflamasi (Fong, 2009). Pada sprain ankle kronis memiliki 3

derajat sesuai tingkat kerusakannya ( Young, 2005) yaitu:

1) Derajat I, ditandai dengan : ligametum teregang tetapi tidak mengalami

kerobekan. Pergelangan kaki biasanya tidak terlalu membengkak, nyeri ringan

dan sedikit bengkak namun dapat meningkatkan resiko terjadinya cedera

berulang.

23

Gambar : 2.5 Derajat I Sprain Ankle.

Tanda panah menunjukan ligament yang mengalami teregang.

Sumber : www.adam.com (2014)

Derajat II, ditandai dengan: sebagian ligamen mengalami kerobekan,

pembengkakan dan memar tampak dengan jelas, nyeri hebat (aktualitas tinggi),

penurunan fungsi ankle (gangguan berjalan) dan biasanya berjalan menimbulkan

nyeri.

Gambar : 2.6. Derajat II Sprain Ankle.

Tanda panah menunjukkan ligament mengalami kerobekan sebagian

Sumber : www.adam.com (2014)

2) Derajat III, ditandai dengan: ligamen mengalami robekan total, sehingga

terjadi pembengkakan dan kadang perdarahan di bawah kulit. Akibatnya

pergelangan kaki menjadi tidak stabil dan tidak mampu menahan beban.

24

Gambar : 2.7 Derajat III Sprain Ankle.

Tanda panah menunjukkan ligament mengalami kerobekan

Sumber : www.adam.com (2014)

2.3.4 Patologi Fungsional Disabilitas Ankle and Foot pada kasus Sprain

Ankle kronis

Sprain ankle kronis dapat di ikuti ketidakstabilan foot and ankle.

Ketidakstabilan foot and ankle di sebabkan oleh 2 potensial yaitu ketidakstabilan

mekanik dan ketidakstabilan fungsional, ketidakstabilan ini akan menyebabkan

cedera/sprain berulang pada ankle, cedera/sprain berulang terjadi karena adanya

ketidakmampuan atau adanya peningkatan foot and ankle disability ( Dale, 2010).

2.3.4.1 Ketidakstabilan Mekanik

Ketidakstabilan mekanik terjadi sebagai akibat dari perubahan anatomi

setelah awal sprain ankle, yang menyebabkan ketidakstabilan. Ketidakstabilan

mekanik dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah mekanisme satu

atau lebih sendi yang kompleks pada ankle, termasuk: pathologic laxity

(kelemahan patologis), gangguan arthrokinematik, radang sinovial dan

impingement (Hartel, 2002).

25

1. Pathologic Laxity ( kelemahan patologis)

Kerusakan ligamen sering menyebabkan kelemahan patologis. Tingkat

kelemahan patologis pada ankle, tergantung pada tingkat/derajat kerusakan

ligamen pada ligamen lateral. Kelemahan patologis yang paling sering terjadi

pada sprain ankle yaitu di talocrural dan subtalar joint (Hartel. 2002).

Ketidakstabilan Talocrural disebabkan oleh cedera pada anterio

tallofibula ligament (ATFL), adanya tingkat perubahan/perpindahan

(displacement) anterior talus dari tibiofibular yang dapat dilihat dengan

pemeriksaan anterior drawer test. Cedera pada calcaneofibula ligament (CFL),

juga menyebabkan kelemahan patologis dari subtalar, pada kedua ligament

tersebut memudahkan terjadinya cedera ulang dan proses penyembuhan

jaringan lunak menjadi terhambat (Hartel, 2002).

2. Arthrokinematic Impairments.

Ketidakstabilan mekanik arthrokinematik ankle terganggu di salah satu

dari 3 sendi kompleks. Individu dengan sprain ankle kronis, terjadi perubahan

anatomi fibula distal pada posisi anterior dan inferior. Kesalahan posisi fibula

dapat mengakibatkan ketidakstabilan, yang menyebabkan sprain ankle

berulang.

Hypomobility (berkurangnya gerak), termasuk sebagai penyebab

ketidakstabialn mekanik. Arthrokinematik keterbatasan gerak dorso fleksi

terjadi setelah sprain ankle akut. Jika sendi talocrural tidak dapat full ROM

dorso flexi, sendi tidak akan mencapai closed-pack position selama gerak,

oleh karena itu, akan lebih mudah bergerak inverse dan internal rotasi.

26

Keterbatasan dorso fleksi dalam closed kinetic chain biasanya diimbangi

dengan peningkatan pronasi subtalar (Hartel, 2002).

3. Synovial Changes (radang sinovial dan impingement).

Ketidakstabilan mekanik foot and ankle dapat terjadi karena

insufficiencies disebabkan oleh hipertrofi sinovial dan impingement. Inflamasi

sinovial dan impingement terjadi di dalam talocrural joint dan posterior

subtalar joint kapsul. Pasien dengan inflamasi sinovial sering mengeluh

nyeri/sakit. Sprain ankle berulang, dapat disebabkan oleh impingement dan

jaringan sinovial hipertrofi antara tulang masing-masing pada foot and ankle

kompleks (Hartel. 2002).

2.3.4.2 Ketidakstabilan Fungsional

Ketidakstabilan fungsional dapat disebabkan oleh insufficiencies tertentu

pada fungsi sensorimotor yang terdiri dari : proprioceptive, kontrol postural,

kontrol neuromuskuar, gangguan refleks pada reaksi inversi, rangsangan alpha

motor neuron, dan kekuatan otot.

Sprain ankle kronis kondisi terjadinya penguluran dan kerobekan pada

ligamen kompleks lateral, sehingga terjadi kerusakan pada struktur penyangga

stabilitas ankle. Pada otot akan terjadi penurunan motor recruitment otot dan non

aktivasi badan golgi sehingga terjadi deficit sensorimotor. Pada kondisi ini maka

akan terjadi ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang disebut

dengan foot and ankle disability (Bonel, et al. 2010).

Foot and ankle disability terjadi adanya penurunan stabilitas ankle

(instability). Instability (penurunan stabilitas) terdiri atas dua kelompok yaitu

27

instability aktif dan instability pasif. Instability aktif adalah dimana struktur

kontraktil yaitu tendon dan otot tidak mampu mempertahankan posisi MLPP.

Instability pasif adalah terjadinya gangguan pada ‘inert structure’ yang terdiri dari

tulang, capsul dan ligament dan accessories movement yang melebihi ROM

normal. Instability dari suatu sendi dapat dipengaruhi oleh adanya kelemahan otot,

kelemahan oleh ligamen yang berfungsi untuk stabilisasi sendi tersebut dan juga

terjadinya sensorimotor deficit, sehingga keadaan ini menyebabkan foot and

ankle disability dimana ankle seperti melayang (Dale, 2006).

Ketidakstabilan fungsional disebabkan adanya gangguan keseimbangan

pada individu, mechanoreceptors artikular yang rusak mengakibatkan defisit

proprioceptive dan gangguan kontrol neuromuskular (Bonnel, et al, 2010).

Gambar 2.8 Proprioception and Neuromuscular Control. CNS (central

nervous system) (Hartel, 2002)

Gambar 2.8 menjelaskan adanya umpan balik antara sistem somatosensori,

sistem saraf pusat, dan α- dan γ-motoneuron system. Ketidakstabilan fungsional

dapat di sebabkan adanya deficit sensorimotor yang terdiri dari :

1. Gangguan Proprioceptive dan sensasi (Impaired Proprioception and

Sensation ), gangguan ini terjadi karena adanya perubahan dalam aktivitas

28

otot-spindle melalui sistem α- dan γ-motoneuron system, pada otot peroneal

dan aktivitas artikular mechanoreceptor pada foot and ankle.

2. Impaired cutaneous sensation (gangguan sensasi kulit) melambatnya saraf-

konduksi sebagai indikator umum kelemahan saraf peroneal setelah sprain

akle.

3. Impaired Neuromuscular-Firing Patterns (gangguan pola neuromuskuler-

rekrutmen), adanya gangguan respon refleks otot peroneal pada gerak inversi

atau gangguan supinasi, respon peroneal terganggu karena deficit

proprioceptive, melambatnya kecepatan saraf-konduksi, atau gangguan sentral

dalam strategi neuromuskuler-rekruitmen.

4. Impaired Postural Control (gangguan postural control), defisit kontrol

postural dapat di lihat dengan single leg standing/ Romberg test berkisar

antara 10 sampai 30 detik, berdiri dengan satu kaki di angkat pada anggota

tubuh yang terlibat dan kemudian anggota tubuh tidak terlibat, pertama dengan

mata terbuka dan kemudian dengan mata tertutup. Penilaian kontrol postural

digunakan untuk membedakan antara pergelangan kaki fungsional stabil dan

tidak stabil.

Defisit postural kontrol terjadi karena kombinasi dari gangguan

proprioceptive dan kontrol neuromuskular. Pada saat berdiri dengan satu kaki

maka ada perubahan dalam strategi postural kontrol, yang mana gerak pronasi

dan supinasi ankle and foot joint berupaya menjaga keseimbangan dari gaya

gravitasi. Jika ankle and foot kurang efesien melakukan strategi ini, karena

29

adanya perubahan dalam kontrol saraf pusat ( CNS) akibat disfungsi ankle and

foot joint yang di sebabkan terjadinya sprain ankle kronis.

5. Strength Deficits (gangguan kekuatan otot), sprain ankle kronis menyebabkan

kelemahan otot, hal ini terjadi akibat kerusakan otot atau atrofi, atau

disebabkan oleh gangguan neuromuskuler, yang mana kekuatan gerak pada

foot and ankle terganggu/menurun. Jika kekuatan foot and ankle terganggu

maka akan menyebabkan aktivitas-aktivitas fungsional terganggu. Foot and

ankle disability terjadi akibat dari pathologic ligament kompleks lateral,

ketidakstabilan mekanik dan ketidakstbilan fungsional pada sprain ankle

kronis (Hartel, 2002).

2.4 Pelatihan proprioceptive dengan Wobble Board

2.4.1 Defenisi Pelatihan propriceptive dengan Wobble Board

Papan keseimbangan atau lebih dikenal di dunia fisioterapi dan olahraga

wobble board sebuah alat yang digunakan untuk melatih proprioceptive

ekstremitas atas atau bawah (Kisner dan Colby, 2012). Wobble board exercise

adalah sebuah papan keseimbangan yang digunakan untuk pengembalian

keseimbangan, rehabilitasi, pencegahan cedera, dan terapi fisik baik secara statik

maupun dinamik. Pelatihan ini merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi

tubuh statis, yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap

dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip latihan ini

ialah meningkatkan fungsi pengontrol keseimbangan tubuh yaitu system informasi

sensorik, central processing, dan effector untuk bisa beradaptasi dengan

perubahan lingkungan (Miller, 2011).

30

Afferent proprioceptive melalui mechanoreceptor, dimana proprioseptif

berasal dari kepadatan mechanoreceptors di jaringan seperti kapsul sendi,

ligamen, tendon , dan muscles. Afferent proprioseptif memungkinkan kontrol

neuromuskular tindakan dinamis memberikan kontribusi untuk stabilitas sendi

secara keseluruhan. Sprain ankle kronis ditemukan ketidakstabilan dari sendi

ankle dan terganggunya feedback proprioceptive. Agar ankle mempunyai kontrol

yang baik, saraf dan otot harus berfungsi secara sinergis. Jika terjadi kekurangan

disalah satunya maka akan timbul ketidakstabilan (Miller, 2011).

Proprioceptive adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi

keberadaan anggota tubuh dan posisi persendian. Pada sprain ankle kronik

terjadinya penurunan dari pada fungsi proprioceptive. Pelatihan dengan wobble

board mengambalikan fungsi dari proprioceptive melalui serabut saraf afferen

akan membawa respon ke sistem saraf pusat (SSP) yang berperan untuk

mempertahankan keseimbangan tubuh tetap dengan posisi stabil (Sherwood,

2009).

Empat jenis utama dari mechanoreceptors yang membantu dalam

proprioception yaitu, termasuk reseptor Ruffini, reseptor Pacinian, Golgi-tendon-

organ (GTO), dan muscle spindle. Ruffini dan Pacinian reseptor berhubungan

dengan sensasi sentuhan dan tekanan pada umumnya terletak di kulit. Reseptor

Ruffini dianggap sebagai reseptor statis dan dinamis berdasarkan ambang

rendahnya, reseptor ini lambat-mengadaptasi karakteristik. Melalui perubahan

impuls tekanan terjadi perubahan tarik statis dan dinamis pada kulit dan sangat

31

sensitif terhadap peregangan . Reseptor Pacinian, agak cepat beradaptasi, namun

reseptor dengan ambang batas rendah yang dianggap reseptor lebih dinamis .

Sementara juga sensor tekanan, reseptor Pacinian mendeteksi tekanan berat dan

mengenali perubahan percepatan dan perlambatan gerak. Golgi tendon Organ dan

muscle spindle mempunyai yang lebih besar untuk mengetahui posisi sendi

selama gerak. Pertama GTOs berada di persimpangan musculotendinous dan

bertanggung jawab untuk memantau kekuatan kontraksi otot untuk mencegah otot

dari kelebihan beban. Terhubung ke satu set serat otot dan diinervasi oleh neuron

sensorik, GTOs memiliki ambang batas yang tinggi dan dirangsang oleh

ketegangan otot yang meningkat (Sherwood, 2009)

Proprioseptive dibagi dalam empat tipe. Tipe pertama merupakan suatu

reseptor yang peka terhadap rangsangan yang bertindak sebagai Lowthreshold,

yang secara perlahan mengadaptasikan respon mekanoreseptor untuk merubah

tekanan mekanik. Reseptor-reseptor ini aktif dalam segala posisi sendi, bahkan

ketika sendi tidak bergerak. Rangsangan dari reseptor berubah-ubah tergantung

dari pergerakan sendi.

Tipe kedua merupakan suatu reseptor yang peka terhadap rangsangan yang

bertindak sebagai Lowthreshold, yang dengan cepat mengadaptasikan

mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak bergerak dan

menjadi aktif dengan periode yang singkat, hanya pada awal gerakan untuk

memberikan signal pada aselerasi sendi.

32

Tipe ketiga merupakan suatu reseptor yang peka terhadap proprioceptive

adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi rangsangan yang bertindak

sebagai high-threshold, yang secara perlahan mengadaptasikan respon

mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak bergerak dan

hanya aktif ketika terjadi pergerakan yang ekstrim dari sendi (Sherwood, 2009).

Tipe empat adalah reseptor yang tidak aktif dalam keadaan normal, tetapi

akan menjadi aktif ketika ketika diperlukan untuk menandai kelainan bentuk dan

tegangan mekanik, atau sebagai respon dari beban mekanik langsung dan iritasi

akibat bahan kimia. Dengan latihan menggunakan wobble board diharapakan

dapat mengambalikan fungsi propioceptive yang telah mengalami kerusakan.

Pemeliharaan dan perbaikan neuromuskuler yang rusak diperlukan

pelatihan keseimbangan dengan wobble board dan pelatihan ini merupakan salah

satu program dalam strategi menurunkan foot and ankle disability dan

pencegahan terjadinya sprain ankle berulang (Miller, 2011). Tujuan dari pelatihan

propriocepitve dengan wobble board adalah :

1) Mengambalikan fungsi proprioceptive.

2) Meningkatkan stabilitas dan keseimbangan.

3) Mempertahankan kekuatan otot.

4) Memelihara sistem sirkulasi.

2.4.2 Penerapan/ teknik aplikasi pelatihan proprioceptive dengan wobble

board.

Tehnik latihan dengan wobble board. Dalam latihan menggunakan wobble

board terdapat beberapa cara, diantaranya adalah :

33

1. Side-to-side Edge Taps

Latihan ini dilakukan dengan cara meletakan kaki yang sakit cepat

ditengah wobble board. Lalu setelah berdiri dengan stabil diatas wobble board

dengan pelan-pelan gerakan wobble board kearah sisi kiri dan kanan (diawali

dengan serong kiri, serong kanan, kekiri, kekanan, dan begitu seterusnya).

Latihan ini dilakukan selama satu menit.

Gambar 2.9: Side-to-side Edge Taps

Sumber : Pribadi

Tanggal Pengambilan : 26 Januari 2015

2. Front-to-back Edge Taps

Latihan ini mirip dengan latihan diatas, tapi pada latihan ini wobble

board digerakan kearah depan dan belakang wobble board menyentuh lantai.

Latihan ini dilakukan selama satu menit.

34

Gambar 2.10 : Front-to-back Edge Taps

Sumber : Pribadi

Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

3. Edge Circles

Pada latihan ini dilakukan dengan cara menempatkan kaki yang sakit

di tengah-tengah wobble board, lalu tempelkan sisi wobble board kelantai

setelah itu lakukan gerakan memutar searah jarum jam dengan sisi wobble

board tetap mnyentuh lantai. Lakukan gerakan ini secara perlahan-lahan dan

tidak berhanti selama satu menit.

Gambar 2.11 : Edge Circles

Sumber : Pribadi

Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

35

4. Counter-Clockwise Edge Circles

Latihan ini sama dengan latihan edge circles, tapi pada latihan ini

putarannya berlawanan dengan arah jarum jam.

Gambar 2.12 : Counter-Clockwise Edge Circles

Sumber : Pribadi

Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

5. Latihan Berdiri Static

a. Berdiri diatas wobble board

b. Menggunakan satu kaki

c. Tahan agar tetap statis selama 1 menit

36

Gambar 2.13 : Latihan Berdiri Static

Sumber : Pribadi

Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

6. Latihan Partial Squat

a. Berdiri diatas papan keseimbangan

b. Menggunakan satu kaki atau dua kaki

c. Lakukan partial squat 30-45 derajat

d. Tahan agar tetap statis selama 1 menit

37

Gambar 2.14 : Latihan Partial Squat

Sumber : Pribadi

Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

Berikut adalah langkah yang digunakan untuk penerapan latihan wobble

board di antaranya

1) Berikan penjelasan kepada pasien apa yang akan dilakukan dan tujuan

menggunakan wobble board.

2) Lalu pasien diminta untuk berdiri dengan satu kaki posisi lutut semifleksi

diatas wobble board dan diusahakan jangan sampai jatuh atau menggunakan

dua kaki, selama 1 menit.

3) Kemudian terapis menggunakan alat stopwatch untuk mengukur lamanya

pasien mempertahankan keseimbangannya.

38

4) Jika pasien jatuh atau menggunakan kedua kakinya, maka stopwatch

diberhentikan dan waktunya dicatat oleh terapis sebagai evaluasi untuk setiap

latihan.

5) Latihan ini dilakukan 3 set satu macam tehnik dan setiap set diselingi istirahat

selama 30 detik dengan intensitas mudah, dan dilakukan tiga kali seminggu.

6) Dosis

1) Frekuensi : 3 x seminggu

2) Intensitas : 1 set, x 3 set

3) Time : 1 Menit

4) rest : 30 detik

2.4.3 Komponen Bahan Wobble Board

Wobble board adalah papan yang berbentuk lingkaran terbuat dari kayu

yang berwarna coklat muda, dan magnet yang melekat yang ada dibawah wobble

board. Wobble board merupakan salah satu alat yang di desain secara modern

beralas kasar yang berwarna hitam yang melekat pada bagian atasnya.

Gambar 2.15 wobble bord

Sumber : www.sporstinjuryclinic.net

2.4.4 Mekanisme pelatihan propriaceptive dengan wobble board terhadap

foot and ankle disability

Pemberian pelatihan proprioceptive dengan wobble board secara intensif

akan meningkatkan tingkat keseimbangan dan kestabilan kaki karena berefek

39

langsung pada sistem musculoskeletal dan neuromuskuler. Pelatihan

proprioceptive dengan wobble board merupakan latihan pada permukaan yang

tidak stabil yang dapat merangsang mechanoresptor sehingga mengaktifkan joint

sense atau dikenal dengan istilah rasa pada sendi. Joint sense ini sangat

berpengaruh terhadap jaringan disekitar kaki yaitu serabut intrafusal (myofibril)

dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) sebab rangsangan yang diterima oleh

neuromuscular junction akan mengaktivasi serabut myofibril memerintahkan otot

untuk berkontraksi sesuai kebutuhan, disamping itu joint sense akan membagi

tekanan sama rata keseluruh area sehingga menginhibisi serabut ekstrafusal untuk

mengendalikan tonus otot (Sherwood, 2009).

Pelatihan proprioceptive dengan wobble board merupakan latihan

stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk

menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas

wobble board. Prinsip dari latihan ini ialah meningkatkan fungsi dari pengontrol

keseimbangan tubuh yaitu system informasi sensorik, central processing, dan

effector untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Saat latihan

berlangsung rangsangan yang diterima serabut intrafusal dan ekstrafusal

memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan diolah di otak untuk diproses

sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi otot yang dapat diberikan.

Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal akan mengaktivasi golgi

tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi serabut intrafusal (myofibril)

dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan saraf afferent yang ada di

muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive yang baik. Rasio dibalik

40

permukaan yang tidak stabil mengungkapkan bahwa stimulasi yang tidak

konsisten akibat ketidakstabilan permukaan yang diterima oleh otot dan sendi

berpengaruh sangat cepat terhadap penangkapan informasi sensoris dan lebih

efisien diproses di sistem saraf pusat (Sherwood, 2009).

Efek pelatihan proprioceptive dengan wobble board akan didapat, selama

latihan rutin yaitu timbulnya adaptive system merupakan kemampuan tubuh

menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga perubahan area secara cepat dapat

diantisipasi oleh oleh otot yang bekerja secara sinergis akibat dari telah

menerimanya cukup informasi proprioceptive selama latihan di permukaan yang

tidak stabil.

Adaptive system dapat terbentuk dengan baik jika latihan dilakukan secara

berulang-ulang untuk meningkatkan koordinasi antara sistem muskuloskeletal

dengan reseptor agar dapat menerima impuls dari lingkungan semakin baik. Hal

ini dilakukan oleh karena pengulangan yang dilakukan akan meningkatkan

kemampuan otak untuk merekam perubahan – perubahan yang ada sehingga

tercipta respon sensorimotor yang lebih efisien untuk dikirim ke effektor. Jika

kekuatan dan fleksibilitas otot, sendi dan ligamen baik maka dapat dihasilkan

respon motorik yang tepat dan benar. Adanya input sensoris (proprioceptive) yang

cukup dan diproses di sistem saraf pusat secara tepat membuat sistem adaptive

muskuloskelatal yang baik pada akhirnya memberikan peningkatan stabilitas

kaki yang dapat menurunkan foot and ankle disability (Miller, 2011).

41

2.5 Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karete elastic resistance

Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance yang

bertujuan untuk mempertahankan massa otot, merehabilitasi dan memulihkan otot

dan fungsi tubuh, meningkatkan kekuatan dinamik, meningkatkan stabilitas,

endurance dan power otot dengan menggunakan tahanan yang berasal dari

external force (Wess 2006).

Karet elastic resistance merupakan karet berwarna dengan merek thera-

band salah satu produk terkemuka di dunia. Secara progresif produk thera-band

memiliki ketahanan elastisitas dan fleksibilitas yang cukup tinggi untuk

rehabilitasi secara professional pada pelatihan para atlit. Hal ini dikarenakan karet

elastic resistance dapat di gunakan secara mandiri. Untuk latihan harus di

sesuaikan dengan warna karet yang berdasarkan berat karet dan kekuatan otot.

Karet elastic resistance dengan merek thera-band diproduksi dan

dikembangkan oleh the hygienic corporation pada tahun 1978 dan sejak

memperoleh reputasi internasional dengan terapis, serta pelatih olah raga untuk

kualitas dan efektivitas latihan yang di dukung oleh American Physical Therapy

Association (APTA). Karet elastic resistance dengan merek thera-band tersedia

melalui jaringan internasional, rehabilitasi, latihan dan distributor produk olah

raga, dokter dan melalui outlet ritel online. Dalam latihan penguatan otot ada

berbagai macam jenis karet elastic resistance diantaranya :

42

Gambar 2.16: System of Progressive Resistancee

Sumber : http://www.isokineticsinc.com/product

Intensitas yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan repetisi

maksimal (RM), yaitu beban maksimal yang dapat dilakukan/diangkat selama satu

kali gerakan atau kontraksi. Repetisi untuk meningkatkan kekuatan otot repetisi

yang harus diberikan adalah 60% sampai 100% dari 1 RM.

Latihan isotonik adalah suatu bentuk latihan dimana adanya kontraksi otot

dengan beban konstant dari awal sampai akhir gerakan. Latihan isotonik bertujuan

untuk meningkatkan kekuatan dinamik, endurance otot dan power sehingga dapat

meningkatkan tekanan intramuskuler dan menyebabkan meningkatakan aliran

darah, mencegah peradangan, dan peningkatan kelenturan jaringan yang dapat

menurunkan nyeri (Sherwood, 2009).

43

2.5.1 Prosedur penerapan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic

resistance pada sprain ankle kronis.

1. Teknik Aplikasi

a. Sebelum dilakukan latihan pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan

tentang cara melakukan latihan strengthening dengan karet elastic

resistance.

b. Selanjutnya posisikan pasien dalam posisi duduk rileks di bed dengan

posisi tungkai lurus.

c. Kemudian terapis berdiri di samping pasien. Lalu terapis mengintruksikan

pada pasien untuk melawan tahanan karet elastic resisteanc kearah atas-

bawah (dorsal fleksi-plantar fleksi), medial-lateral (inverse-eversi) yang

diikuti dengan rilaksasi.

2. Dosis

a. Frekuensi : 3x seminggu

b. Intensitas : 3 set latihan

c. Time : 30 menit

d. Repetisi : 10 kali

e. Rest : 30 detik 1set latihan

3. Tehnik Latihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.

a. Gerakan ankle ke dorsal dan tahanan dengan karet elastic resistantce ke

plantar fleksi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic

resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah

dorsal fleksi.

44

Gambar 2.17 : Dorsal Fleksi vs Karet Elastic Resistancee

(Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi)

Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

b. Gerakan ankle ke plantar fleksi dan tahanan karet elastic resistantce ke

dorsal fleksi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic

resistantce pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah

plantar fleksi.

Gambar 2.18 : plantar fleksi vs. karet elastic Resistancee (Left Ankle)

(Sumber :Dokumen Pribadi)

Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

45

c. Gerakan ankle inversi dan tahanan karet elastic resistance eversi , posisi

duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak

kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah inverse.

Gambar 2.19 : Ankle Iversion vs. karet elastic Resistancee (Left Ankle)

(Sumber :Dokumen Pribadi)

Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

d. Gerakan ankle eversi dan tahanan karet elastic resistance inverse, posisi

duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistantce pada telapak

kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah eversi.

Gambar 2.20 : Ankle Eversion vs. Resistance Band (Left Ankle)

(Sumber :Dokumen Pribadi), Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015

46

2.5.2 Mekanisme pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic

resistance terhadap foot and ankle disability.

Penerapan latihan penguatan otot dapat membantu melindungi serta

memperbaiki problem yang muncul akibat sprain ankle kronis yang

mengakibatkan foot and ankle disability. Instabilitas akan bertambah dengan

munculnya kelemahan otot. Otot-otot penggerak kaki dan pergelangan kaki (foot

and ankle) merupakan komponen yang penting dalam membantu menstabilisir

persendian, sedang kelemahan otot dapat mengakibatkan semakin parahnya

cedera (Kisner dan Colby, 2012).

Pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance, dalam bentuk

isotonic dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang di sebabkan

kerusakan ligament lateral kompleks. Terjadinya ketidakmampuan (foot and ankle

disability) akibat dari munculnya kelemahan otot penggerak foot and ankle dapat

menyebabkan cedera ulang yang lebih berat ( Driscol dan Delahunt, 2011).

Pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance bertujuan

untuk mengaktifkan otot-otot stabilator aktif pada ankle and foot, sehingga

kekutan otot dapat meningkat, mencegah peradangan, akan meningkatkan

peredaran darah pada persendian dan nutrisi tulang sehingga peyembuhan tidak

terhambat dan resiko sprain ulang dapat terhindar (Miller, 2011).

Pelatihan penguatan dengan karet elastic resistance akan meningkatkan

kekuatan otot terutama otot tonik, tipe I (slow twitch) yang berfungsi sebagai

stabilisator yaitu m.gastrocnemius, m.tibialis anterior, m.peroneus longus

47

sedangkan otot-otot phasik, tipe II (fast twitch) yaitu m.soleus, m.tibialis

posterior, dan peroneus brevis (Sherwood, 2009).

Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan secara kontinue

sehingga kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah

kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan

terjadinnya penambahan recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktifasi

badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal. Dengan meningkatnya

kekuatan otot ini maka ankle akan lebih stabil dan menurunkan foot and ankle

disability yaitu mampu melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari (Sherwood,

2009).

48

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Sprain ankle kronis di sebabkan trauma inversi dan plantar fleksi ankle

yang tiba-tiba pada ligamen lateral kompleks, kadang diikuti cedera tendon.

Kerusakan ligamen dapat menyebabkan penurunan gerakan dan

instabilitas, sehingga mudah terjadinya sprain ulang dan inflamasi ulang,

penumpukan serabut kolagen, timbul jaringan fibrous, menyebabkan elastisitas

jaringan menurun, penyembuhan terhambat. Jika kondisi ini berlangsung lama

gangguan stabilitas hingga ligament laxity (pasif stability) dan penurunan fungsi

neuromuscular (active stability). Pada otot akan terjadi penurunan motor

recruitment otot dan non aktivasi badan golgi sehingga terjadi deficit

sensorimotor, sedangkan pada ligament merusak mekanoreseptor, yang

mengakibatkan penurunan proprioceptive. Proprioceptive yamg meenurun akan

diikuti penurunan refleks pada ankle.

Berdasarkan factor-faktor di atas maka akan menyebabkan nyeri dan

gangguan aktivitas sehari-hari seperti berdiri, berjalan, aktivitas naik dan turun

tangga, bekerja, pekerjaan rumah dan halaman, rekreasi dan olah raga. Ganggu-

gangguan aktivitas tersebut dinamakan dengan Foot and ankle disability.

Foot and ankle disability merupakan ketidakmampuan untuk melakukan

aksi, tugas atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial

budaya individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas

48

49

yang berhubungan dengan kesenangan (hobi) Pemilihan intervensi yang tepat

sesuai dengan aktualitas dan stadium penyakit, kedalaman jaringan, dan patologi

jaringan sangat diperlukan.

Foot and ankle disability pada sprain ankle kronis dapat diturunkan

dengan latihan menggunakan wooble board exercise dan pelatihan penguatan otot

ankle menggunakan karet elastic resistance, karena pada saat latihan akan

membuat otot-otot berkontraksi dan ligament terstimulasi.

Pemberian wooble board exercise meningkatkan recruitment motor unit

yang akan mengaktivasi golgi tendon dan memperbaiki koordinasi serabut

intrafusal dan serabut ekstrafusal dengan saraf afferen yang ada di muscle spindle

sehingga dapat merangsang proprioseptive untuk bekerja. Dengan kembalinya

fungsi dari proprioseptive maka sendi akan dapat stabil, maka nyeri akan dapat

berkurang. Dengan berkurangnya nyeri akan menimbulkan peningkatan

kemampuan menyangga beban tubuh sehingga meningkatkan kemampuan

fungsional yang akan menurunkan foot and ankle disability.

Pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance, dalam

bentuk isotonic dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang di

sebabkan kerusakan ligamen lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot

didapatkan dengan pelatihan secara continue sehingga kekuatan otot tonik dapat

meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan

kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinnya penambahan

recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktifasi badan golgi sehingga otot

akan bekerja secara optimal. Dengan meningkatnya kekuatan otot ini maka ankle

50

akan lebih stabil dan menurunkan foot and ankle disability yaitu mampu

melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari.

Penelitian ini untuk membuktikan manfaat pelatihan proprioceptive

dengan wobble board sama baiknya dengan pelatihan penguatan otot ankle

menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability

pada kasus sprain ankle kronis.

51

3.2 Konsep Penelitian

iiii

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

Sprain ankle Kronis

Foot and ankle Disability

Pelatihan proprioceptive menggunakan wobble Board

1. Meningkatkan refleks propioceptive

2. Meningkatkan keseimbangan

3. Meningkatkan stabilitas

Pelatihan Penguatan

Otot menggunakan karet

Elastic Resistance

1. Meningkatkan

kekuatan otot

dan tonus

2. Meningkatkan

recruitment

motor unit

Penurunan Foot and ankle

Disability

Ankle and foot

hypermobile

Muscle weaknes Cedera Olah Raga

Poor proprioceptive

Trauma/ Injury

Otot sirkulasi Ligamen Saraf

1. Overstretch 2. Microtear /macrotear 3. Inflamasi kronis 4. Penumpukan kolagen 5. Ligament laxity 6. Stabilitas menurun

1. Spasme , Nyeri 2. Recruitment motorik

menurun 3. Kekuatan otot menurun 4. Tonus otot menurun 5. Stabilitas menurun

1. Proprioceptive

menurun

2. Reflex menurun

1.Sirkulasi terganggu 2. Nutrisi dan O2

menurun. 3. Penumpukan zat

sisa metabolismse

52

3.3 Hipotesis

1. Pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board dapat menurunkan

foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.

2. Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dapat

menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.

3. Pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board berbeda dengan

pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance

dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle

kronis.

53

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental, untuk melihat

perbedaan pemberian antara wobble board exercise dengan pelatihan penguatan

otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and

ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. Kelompok Perlakuan pertama

wobble board exercise dan Kelompok II yaitu pelatihan penguatan otot ankle

menggunakan karet elastic resistance. Pengukuran FADI dilakukan pada saat

sebelum dan sesudah perlakuan dengan rancangan pre test and post test group

design. Adapun bentuk rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan pola

sebagai berikut :

R

Gambar 4.1 : Rancangan Penelitian

Keterangan :

P : Populasi

S : Sampel

R : Random

RA : Random Alokasi

P S RA

O1 O2

O3 O4

P1

P2

53

54

O1 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok I

sebelum diberikan pelatihan propioceptive dengan wobble board.

P1 : Perlakuan pada kelompok I (pelatihan proprioceptive menggunakan

wobble board dengan dosis seminggu 3 kali, 3 set, I set selama 1 menit

dalam 6 minggu.

O2 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok I

sesudah diberikan pelatihan propioceptive dengan wobble board.

O3 : Hasil pengukuran foot and ankle disabilityindex (FADI) pada kelompok II

(kontrol) sebelum diberikan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic

resistance.

P2 : Perlakuan pada kelompok II pelatihan penguatan otot dengan karet elastic

resistance dengan dosis seminggu 3 kali , 3 set, selama 30 menit dalam 6

minggu.

O4 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok

II sesudah diberikan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic

resistance.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Klinik Fisioterapi Apotik Ubekko Pekan Baru.

Penelitian ini akan dilaksanakan mulai Maret 2015 hingga Mei 2015.

4.3 Penentuan Sumber Data

Penentuan sumber data dimulai dari menentukan populasi target yang

akan diteliti, kemudian didapat populasi terjangkau, menentukan sampelnya,

kriteria eligibilitas, besaran sampel dan teknik pengambilan sampel.

55

4.3.1 Populasi target

Dalam penelitian ini populasi target adalah penderita sprain ankle kronis

yang memenuhi kriteria dalam penelitian.

4.3.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau dalam penelitian adalah penderita sprain ankle kronis

yang dapat mengikuti program ke klinik Fisioterapi Apotik Ubekko, Pekan Baru

selama waktu penelitian.

4.3.3 Sampel

Sampel dalam penelitian adalah jumlah sampel yang diambil dari populasi

terjangkau, sampel dikumpulkan, secara konsekutif, sampai jumlah sampel

minimal (20 orang dipenuhi), sampel di kelompokkan dengan cara diberikan kode

A,B dan seterusnya. Kelompok dengan kode A menjadi kelompok I pelatihan

proprioceptive dengan wobble board, sedangkan kode B Kelompok II pelatihan

pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.

56

Tabel 4.1 Pemeriksaan Fisioterapi untuk Diagnosa Sprain Ankle Kronis

No Assesment Fokus assessment Hasil

1

Anamnesis Nama,Umur, pekerjaan,

alamat, keluhan utama,

riwayat penyakit.

a. Rasa nyeri pada ankle

bagian lateral.

b. Terdapat riwayat trauma

pada ankle dan terjadi

berulang-ulang.

2 Inspeksi Tanda-tanda inflamasi Tampak adanya oedema.

3 Quicktest/Tes

cepat

Secara aktif melakukan

gerak plantar fleksi dan

dorsal fleksi, eversi dan

inversi dalam posisi

berdiri.

Terdapat keluhan pada

gerak inversi berupa nyeri

pada ankle.

4 Ottawa Ankle

Rules

Palpasi medial dan lateral

malleolus hingga 6 cm ke

proksimal. Basis

metatarsal 5.T uberositas

navicular

Untuk mengetahui adanya

fraktur sebelum di lakukan

X-ray.

Nyeri pada tulang saat

kompresi.

Ketidakmampuan untuk

menahan berat badan segera

setelah cedera.

5 Anterior

posterior

drawer test

Untuk mengetahui

kemungkinan laxity

ligament tallocruralaris

Ukuran instabilitas

57

4.3.4 Kriteria Eligibilitas

Kriteria eligibilitas adalah kriteria pemilihan yang membatasi

karakteristik populasi terjangkau, yaitu: Kriteria inklusi, kriteria ekslusi dan

kriteria drop out.

1. Kriteria Penerimaan (inklusi)

a. Pasien laki-laki atau wanita yang memenuhi kriteria pemeriksaan

fisioterapi dan rujukan dari dokter yaitu menunjukkan kondisi sprain

ankle.

b. Pasien berusia 17- 40 tahun.

c. Pasien yang bersedia ikut dalam penelitian, dengan perlakuan sebanyak

18 kali selama 6 minggu.

2. Kriteria Penolakan (eksklusi)

a. Pasien mengalami frakur pada daerah ankle and foot

b. Pasca operasi pada bagian ankle.

c. Memiliki penyakit jantung (gangguan kardiovaskuler)

3. Kriteria drop out

a. Pasien yang tidak sampai menjalani terapi sebanyak 18 kali selama 6

minggu.

b. Pasien datang tidak teratur.

58

4.3.5 Besaran Sampel

Rumus Pocock

Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus

(Pocock, 2008).

Rumus :

( ) ( )

Keterangan :

n = Jumlah Sampel

= Simpang baku

= Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05)

Interval kepercayaan (1 ) 0,95

= Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20)

Tingkat kekuatan uji / power of test 0.80

( , ) = Interval kepercayaan 7,9

1 = Rerata nilai pada kelompok kontrol

2 = Rerata nilai pada kelompok perlakuan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hale dan Hartel

tahun 2005 didapatkan hasil rerata ,1 = 87,1, Standar deviasi =

12,1 rerata 2 = 104,52, dengan demikian dapat dihitung sebagai

berikut :

( )

( )

( )

59

Maka jumlah sampel dalam penelitian ini dibulatkan jadi 8 orang pada

setiap kelompok, untuk menghindari kemungkinan drop out sample ditambah 20

%, yang berarti jumlah sample 10 orang dalam satu kelompok maka total semua

sampel berjumlah 20 orang pada dua kelompok.

4.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang telah di teliti dijalaskan pada indentifikasi,

klafikasi dan defenisi operasional varibel sebagai berikut:

4.4.1 Identifikasi Variabel Dan Klafisikasi Variable

1. Variabel independen (variabel bebas)

a. Pelatihan proprioceptive dengan wobble board

b. Pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance.

2. Variabel dependen (variabel terikat)

Foot and ankle disability pada Sprain ankle kronis.

4.5 Definisi Operasional Variabel

Yang termasuk di dalam defenisi operasional variabel dalam penelitian ini

adalah:

4.5.1 Sprain Ankle Kronis

Sprain ankle kronis adalah cedera pada ligamen kompleks lateral yang

berlangsung lebih dari 7 hari.

4.5.2 Foot and Ankle Disability Index

Foot and ankle Disability Index merupakan FADI skala yang dirancang

untuk semua pasien dengan foot and ankle disability, Informasi pasien di catat

60

mengenai rasa nyeri, keterbatasan, dan aktivitas fungsional sehari-hari. FADI

dengan 24 item pernyatan, 4 item mengukur itentesitas nyeri dan 22 item

mengukur pengaruh nyeri terhadap aktifitas fungsional sehari-hari yaitu Pasien di

minta untuk memilih salah satu pernyataan dengan memberikan tanda N/A pada

kotak yang di sediakan.Setiap item dalam skala 0 – 4 dan hasil 0 ( mampu

melakukan) sampai 4 (tidak mampu melakukan sama sekali) / 4 item rasa nyeri

dari FADI yang mencetak 0 (tidak ada nyeri) sampai 4 ( nyeri tak tertahankan).

4.5.3 Pelatihan Proprioceptive dengan Wobble Board

Pelatihan proprioceptive dengan wobble board merupakan latihan

stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk

menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas

wobble board. Prinsip latihan ini ialah meningkatkan fungsi pengontrol

keseimbangan tubuh. Latihan stabilisasi dengan menggunakan wobble board,

posisi pasien berdiri dengan satu atau kedua kakinya dan posisi badan tersebut.

Pelatihan proprioceptive dengan wobble board di lakuakan dengan frekuensi

latihan 3 kali seminggu dengan interval 1 hari, selama 6 minggu, 6 jenis

pelatihan :

1) Side-to-side Edge Taps, 2) Front Side-to-side Edge Taps, 3) Front-to-back

Edge Taps, 4) Edge Circles. 5) Latihan Berdiri Statik, 6) Latihan Partial Squat.

Dosis latihan disesuaikan dengan kemampuan pasien dan dilakukan secara

bertahap seperti tercantum di bawah ini:

61

Dosis latihan:

Minggu 1, 1 set, dilakukan selama 15 detik

Minggu 2 -3 , 1 set, dilakukan 30 detik

Minggu 4 1 set, dilakukan 45 detik

Minggu 5- 6, 1 set, dilakukan selama 1 menit

Dosis yang di tetapkan:

1) Frekuensi : 3x seminggu

2) Intensitas : 1 jenis latihan , 3 set.

3) Time : 1 menit

4) rest : 30 detik setiap 1 set latihan

4.5.4 Pelatihan Penguatan Otot Ankle dengan Karet Elastic Resistance.

Pelatihan penguatan otot ankle pelatihan penguatan otot ankle dengan

karet elastic resistance yang bertujuan untuk mempertahankan massa otot,

merehabilitasi dan memulihkan otot dan fungsi tubuh, meningkatkan kekuatan

dinamis, meningkatkan stabilitas, dengan menggunakan tahanan yang berasal dari

external force. Adapun latihan penguatan otot ankle dengan karet elastic

resistance:

1. Gerakan ankle ke dorsal dan tahanan dengan karet elastic resistantce ke

plantar fleksi.

2. Gerakan ankle ke plantar fleksi dan tahanan karet elastic resistantce ke

dorsal fleksi.

3. Gerakan ankle inversi dan tahanan karet elastic resistance eversi.

4. Gerakan ankle eversi dan tahanan karet elastic resistance inverse.

62

Dosis Latihan:

a. Frekuensi : 3x seminggu

b. Intensitas : 3 set latihan

c. Time : 30 menit

d. Repetisi : 10 kali

4.6 Instrumen Penelitian

Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:

4.6.1 Alat atau Instrument Pengambilan Data.

Alat atau instrument yang dipakai dalam pengambilan data dalam

penelitian ini adalah:

1. Formulir data sampel dan formulir pemerikasaan berupa kuesioner awal terdiri

dari identitas diri (nama, umur, pendidikan,dan pekerjaan), dan diagnose.

Formulir informasi untuk sampel dan surat kesediaan untuk mengikuti

penelitian (informed consent).

2. Formulir mengenai evaluasi latihan, keluhan yang terjadi selama latihan.

3. Petunjuk pelaksanaan wobble board exercise dan latihan penguatan otot

dengan karet elastic resistanc.

4. Tensi meter untuk mengukur tekanan darah.

5. Timbangan berat badan.

6. Pengukur tinggi badan

7. Arloji untuk mengukur denyut nadi.

63

8. Stopwatch untuk mengukur dan evaluasi pada wobble board exercise

9. Karet elastic resistance (produk thera-band) untuk latihan penguatan otot

penggerak kaki

10. FADI adalah kuisioner untuk menilai penurunan foot and ankle disability

pada sprain ankle kronis. Pernyataan-pernyataan yang di rancang FADI lebih

dijelaskan dalam lampiran.

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Persiapan Sumber Daya Manusia

1) Peneliti mengumpulkan pasien yang menderita sprain ankle kronis dari

rujukan dokter dan pemeriksaan fisioterapi.

2) Peneliti mendapatkan persetujuan pasien

3) Peneliti memberikan penjelasan tentang pemberian wobble board

exercise dan latihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.

4) Peneliti menanyakan apakah subyek bersedia untuk berpartisipasi dalam

penelitian selanjutnya dan menjelaskan jalannya penelitian.

5) Subjek yang bersedia berpartisipasi mendatangani persetujuan tindakan

terapi (informed consent).

4.7.2 Persiapan Sarana dan Prasarana

1. Mempersiapkan ruang/tempat untuk administrasi dan pelaksanaan

kegiatan pelatihan

2. Mempersiapkan alat-alat penunjang kegiatan administrasi dan alat-alat

keperluan pelatihan.

3. Mempersiapkan konsumsi

64

4.7.3 Prosedur Pelaksanaan Pelatihan

4.7.3.1 Kelompok I

1. Wawancara: peneliti mencatat identitas sampel meliputi nama,umur,

pekerjaan, pendidikan dalam kartu identitas diri sampel.

2. Melakukan pemeriksaan tentang kondisi sampel termasuk tekanan darah,

denyut nadi, pernafasan, dan suhu tubuh, berat badan, tinggi badan.

3. Sampel menanda tangani formulir persetujuan tindakan sesuai dengan

perilaku yang diberikan yang dilakukan sebelum awal pelatihan.

4. Assessment sprain ankle kronis dan mengukur foot and ankle disability

sebelum diberikan pelatihan dan setelah 6 minggu pelatihan dengan

menggunakan formulir FADI (sesuai format yang telah di siapkan).

5. Atas dasar assesment dan pengukuran maka kelompok 1 siap untuk di

berikan intervensi diberi wobble board exercise. Dengan prosedur sebagai

berikut :

a. Peneliti memberikan penjelasan kepada pasien apa yang akan

dilakukan dan tujuan menggunakan wobble board.

b. Lalu pasien diminta untuk berdiri dengan satu kaki diatas wobble

board dan diusahakan jangan sampai jatuh atau menggunakan dua

kaki, selama 1 menit.

c. Kemudian terapis menggunakan alat stopwatch untuk mengukur

lamanya pasien mempertahankan keseimbangannya.

d. Jika pasien jatuh atau menggunakan kedua kakinya, maka stopwatch

diberhentikan dan waktunya dicatat oleh terapis sebagai evaluasi untuk

setiap latihan.

65

e. Latihan ini dilakukan sebanyak 1 set dan setiap set diselingi istirahat

selama 30 detik, dan dilakukan tiga kali seminggu. Dalam latihan

menggunakan wobble board exercise dengan jenis pelatihan, yaitu :

1) Side-to-side Edge Taps

Latihan ini dilakukan dengan cara meletakan kaki yang

sakit tepat ditengah wobble bord . Lalu setelah berdiri dengan

stabil diatas wobble board dengan pelan-pelan gerakan wobble

board kearah sisi kiri dan kanan (diawali dengan serong kiri,

serong kanan, kekiri, kekanan, dan begitu seterusnya). Latihan ini

dilakukan selama satu menit.

2) Front-to-back Edge Taps

Latihan ini mirip dengan latihan diatas, tapi pada latihan ini

wobble board exercise digerakan kearah depan dan belakang

wobble board menyentuh lantai. Latihan ini dilakukan selama satu

menit.

3) Edge Circles

Pada latihan ini dilakukan dengan cara menempatkan kaki yang

sakit di tengah-tengah wobble board, lalu tempelkan sisi wobble

board kelantai setelah itu lakukan gerakan memutar searah jarum

jam dengan sisi wobble board tetap menyentuh lantai. Lakukan

gerakan ini secara perlahan-lahan dan tidak berhanti selama satu

menit.

66

4) Counter-Clockwise Edge Circles

Latihan ini sama dengan latihan edge circles, tapi pada

latihan ini putarannya berlawanan dengan arah jarum jam.

5) Latihan Berdiri Statik

a) Berdiri diatas papan keseimbangan

b) Menggunakan satu kaki

c) Tahan agar tetap statis selama 1 menit

6) Latihan Partial Squat

a. Berdiri diatas papan keseimbangan

b. Menggunakan satu kaki atau dua kaki

c. Lakukan partial squat 30-45 derajat

d. Tahan agar tetap statis selama 1 menit

6. Setelah selesai melakukan pelatiahan proprioceptive wobble board pada

Kelompok 1, maka peneliti mengevaluasi dan mencatat hasil dari

perlakuan Kelompok 1 setiap 1 minggu 1 kali pada hari jumat, untuk

mengetahui adanya penurunan foot and ankle disability, kemudian pasien

pulang. Prosedur di atas di ulang sampai 3 x per minggu yaitu hari senin,

rabu, jumat hingga jumlah perlakuan sebanyak 18 kali selama 6 minggu,

pada saat ke 18 di lakukan assessment ulang dan di data hasilnya sampai

18 kali (melakukan rekapitulasi dan dokumentasi hasil test pada form dan

table data yang telah disiapkan).

67

4.7.3.2 Kelompok II

1. Wawancara: peneliti mencatat identitas sampel meliputi nama,umur,

pekerjaan, pendidikan dalam kartu identitas diri sampel.

2. Melakukan pemeriksaan tentang kondisi sampel termasuk tekanan

darah, denyut nadi, pernafasan, dan suhu tubuh, berat badan, tinggi

badan.

3. Sampel menanda tangani formulir persetujuan tindakan sesuai dengan

perilaku yang diberikan yang dilakukan sebelum awal pelatihan.

4. Assessment sprain ankle kronis dan mengukur foot and ankle

disability sebelum diberikan pelatihan dan setelah 6 minggu pelatihan

dengan menggunakan formulir FADI (sesuai format yang telah di

siapkan)

5. Atas dasar assesment dan pengukuran maka Kelompok II siap untuk di

berikan intervensi diberi latihan penguatan otot dengan karet elastic

resistance. Dengan prosedur sebagai berikut : Latihan penguatan

dengan karet elastic resistance.

a. Sebelum dilakukan latihan pasien terlebih dahulu diberikan

penjelasan tentang cara melakukan latihan strengthening dengan

karet elastic resistance.

b. Selanjutnya posisikan pasien dalam posisi duduk rileks di bed

dengan posisi tungkai lurus.

68

c. Kemudian terapis berdiri di samping pasien. Lalu terapis

mengintruksikan pada pasien untuk melawan tahanan karet elastic

resisteanc kearah atas-bawah (dorsal fleksi-plantar fleksi), medial-

lateral (inverse-eversi) yang diikuti dengan rileksasi.

Dosis latihan

a. Frekuensi : 3 x seminggu

b. Intensitas : 3 set latihan

c. Time : 30 menit

d. Repetisi : 10 kali

e. Rest : 30 detik, 1 set latihan

Tehnik Latihan Latihan dengan karet elastic resistance

a. Gerakan ankle ke dorsal dan tahanan dengan karet elastic

resistance ke plantar, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan

karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik

karet tersebut kearah dorsal fleksi.

b.Gerakan ankle ke plantar dan tahanan karet elastic resistance ke

dorsal fleksi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet

elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet

tersebut kearah plantar fleksi.

c. Gerakan ankle inversi dan tahanan karet elastic resistanc eversi,

posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic

resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut

kearah inverse.

69

d. Gerakan ankle eversi dan tahanan karet elastic resistance

inverse, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic

resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut

kearah eversi.

6. Setelah selesai melakukan latihan penguatan otot ankle dengan karet

elastic resistance pada Kelompok II, maka peneliti mengevaluasi dan

mencatat hasil dari perlakuan Kelompok II setiap 1 minggu 1 kali

pada hari jumat, untuk mengetahui adanya penurunan foot and ankle

disability, kemudian pasien pulang. Prosedur di atas di ulang sampai 3

x per minggu yaitu hari Senin, Rabu, Jumat hingga jumlah perlakuan

sebanyak 18 kali selama 6 minggu, pada saat ke 18 di lakukan

assessment ulang dan di data hasilnya sampai 18 kali (melakukan

rekapitulasi dan dokumentasi hasil test pada form dan table data yang

telah disiapkan).

70

4.8 Alur Penelitian

Gambar 4.2 Alur Penelitian

Populasi

Kriteria Inklusi

Sampel

Kelompok II

Random Alokasi

n= 20

Kriteria Eksklusi

Post Test

FADI Kelompok I

Latihan Penguatan

Otot dengan Karet

Elastic Resistance.

n = 10 , (6, minggu)

Kelompok II Pre Test

FADI

Kelompok I

Wobble Board

Exercise

n = 10, (6, minggu)

Analisis Data

Hasil

71

4.9 Analisis Data

Data yang diperoleh sejak persiapan dan pelaksanaan (pre-test dan post-

test) diproses dengan SPSS for windows. Data yang ada sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan rerata dan standard deviasi terhadap umur, berat badan,

tinggi badan dan IMT. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk Test pada

semua variable pre test dan post test pada Kedua Kelompok, bertujuan untuk

mengetahui distribusi data masing-masing kelompok perlakuan. Data dengan

interpretasi p>0,05 berarti data berdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas data dengan Levene’s Test, bertujuan untuk mengetahui

variasi data pada semua variable pre test pada Kedua Kelompok. Batas

kemaknaan data yang di hasilkan p > 0,05 maka data homogen.

3. Uji signifikan dua sampel yang saling berpasangan yaitu Foot and Ankle

Disability sebelum dan sesudah Perlakuan Kelompok I dengan Uji Paired

Sample t-test. Data dengan hasil p=0,001 (p<0,05), berarti ada perbedaan

sebelum dan sesudah Perlakuan pada Kelompok I.

4. Uji signifikansi dua sampel yang saling berpasangan yaitu foot and ankle

disability sebelum dan sesudah Perlakuan pada Kelompok II dengan uji paired

sample t-test.. Data dengan hasil p=0,000 (p<0,05), berarti ada perbedaan

sebelum dan sesudah Perlakuan pada Kelompok II.

5. Uji beda sebelum Perlakuan Kelompok I dan sebelum kelompok perlakuan II

dengan menggunakan uji parametrik (Independent sample t-test). Hal tersebut

72

ditujukan untuk menentukan Uji Hipotesis III, dengan hasil p=0,024 (p<0,05)

menggunakan data selisih perlakuan pada Kedua Kelompok.

6. Uji beda dari nilai rerata selisih Kedua Kelompok untuk mengetahui

signifikan dilakukan uji Parametrik (Independent sample t-test), p = 0,047

(p<0,05). Hal tersebut ada perbedaan yang bermakna antara Perlakuan pada

Kelompok 1 dan Perlakuan pada Kelompok II.

73

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Umum Sample Penelitian

Sampel penelitian pada kasus sprain ankle kronis diperoleh dari semua

pasien yang berobat keklinik Apotik Ubekko Pekan Baru pada 24 Maret–1 Mei

2015 yang terdiri dari 12 orang laki – laki dan 8 orang perempuan yang berusia

antara 17-35 tahun. Sampel diperoleh dari rujukan dokter spesialis tulang dan

pemeriksaan Fisioterapi. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, sesuai dengan

kriteria inklusi dan eksklusi dengan metode acak (randomized alocation) antara

penempatan sebagai sampel kelompok pelatihan proprioceptive dengan wobble

board dan pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance dalam

menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. Dari

jumlah sampel yang diambil maka yang pertama akan disebut sebagai Kelompok

Perlakuan 1 dengan jumlah sampel sebanyak 10 orang yang diberikan pelatihan

proprioceptive dengan wobble board dan pada kelompok kedua disebut sebagai

kelompok perlakuan 2 yang berjumlah 10 orang yang diberikan pelatihan

penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance. Sebelum dilakukan pelatihan

terlebih dahulu pada awal program dilakukan pengukuran nilai foot and ankle

disability dengan menggunakan Foot and Ankle Disability Index (FADI).

Selanjutnya, sampel diberikan latihan sebanyak 18 kali dan pada akhir program

dilakukan pengukuran kembali, hal ini dilakukan untuk menentukan tingkat

keberhasilan penurunan disabilitas dari tiap perlakuan yang telah diberikan

73

74

pelatihan. Adapun distribusi data pada Kelompok Perlakuan I dan Kelompok II

berdasarkan Umur, Berat Badan, Tinggi Badan, IMT, dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1

Distribusi Sampel Berdasarkan Umur, Berat badan, Tinggi badan, IMT

pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2

Variabel Kelompok

Wobble board

(n=10)

Karet Elastic

elasistance (n=10)

Rerata+ SB Min ; Maks Rerata + SB Min : Maks

Umur (thn)

BB (kg)

T B(cm)

IMT

21,70+ 4,90

56,20 + 5.43

158,90 + 5.15

20,761 + 1.86

( 17 : 35 )

( 45 : 63)

(148 : 165)

(19,48: 24,60)

21,40 + 3.80

57,20 + 6.52

165,90 + 5.32

25,17+ 9.14

(19 : 33)

(45 : 68 )

(60 : 175)

(17,17: 23,43)

Tabel 5.1 memperlihatkan karakteristik responden terkait Umur, Berat

Badan, Tinggi Badan, dan Indeks Massa Tubuh baik pada Kelompok pelatihan

proprioceptive dengan wobble board (Kelompok I), maupun pada Kelompok

pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance (Kelompok II).

Pada Kelompok 1 dengan jumlah sampel (n= 10) didapatkan bahwa rata-

rata umur 21,70+ 4.90 dengan umur minimal 17 tahun dan umur maksimal 35

tahun , rerata berat badan 56,20 + 5.43 dengan berat badan minimal 45 kg dan

berat badan maksimal 63 kg, Rerata tinggi badan 158,90 + 5.15 dengan tinggi

badan minimal 148 cm dan tinggi badan maksimal 165 cm. dan rerata IMT 20,761

+ 1.865 kg/m2 dan IMT minimal 19,48 kg/m2 dan IMT maksimal 24, 60 kg/m2.

Pada Kelompok II dengan jumlah sampel (n= 10) didapatkan bahwa rata-

rata umur 21,40 + 3,80 dengan umur minimal 19 tahun dan umur maksimal 33

tahun, Rerata berat badan 57,20 + 6,52 dengan berat badan minimal 45 kg dan

berat badan maksimal 68 kg, Rerata tinggi badan 165,90 + 5,33 dengan tinggi

75

badan minimal 160 cm dan tinggi badan maksimal 175 cm dan rerata IMT

25,175+ 9,14 kg/m2 dan IMT minimal 17,17 kg/m2 dan IMT maksimal

23,43kg/m2.

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan umur, jenis

Kelamin, IMT, Aktivitas/Hobi Kelompok I dan Kelompok II

Karakteristik

Subyek

Rentang Kelompok

I

Kelompok

II

n % n %

Umur 16-25 9 45 9 45

26-35 1 5 1 5

36-45 0 0 0 0

Jenis Kelamin Laki-laki 6 60 6 6

Perempuan 4 40 4 40

IMT 17,00 -18,40 (Kurus) 0 0 1 5

18,50 - 25,00 (Normal) 8 4 9 45

25,1- 27,00 (Gemuk/ringan) 1 5 1 5

27,00 – 30,00 (Gemuk/berat) 0 0 0 0

Aktivitas/hobi Futsal 4 20. 4 20

Basket 1 5 3 15

Voli 1 5 1 5

Tari 1 5 0 0

Pegawai 1 5 1 5

Bulu tangkis 0 0 1 5

Rekreasi 2 10 0 0

Berdasarkan Tabel 5.2 persentase usia pada penelitian ini sprain ankle

kronis terbanyak didapat pada usia 16-25 tahun. Usia ini merupakan kelompok

usia remaja akhir yang memiliki aktivitas yang tinggi secara fisik. Persentase jenis

kelamin terbanyak pada penelitian berjenis kelamin laki-laki dibandingkan

perempuan. Persentase IMT terbanyak pada Kelompok Perlakuan 1 dan

76

Kelompok Perlakuan 2 pada penelitian ini adalah 18,50 - 25,00 kg/m2. Data

tersebut termasuk dalam kategori IMT normal. Persentasea aktivitas dan hobi

terbanyak pada pemain futsal, Sprain ankle pada penelitian ini dijumpai pada

pemain futsal.

5.1.2 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas

Uji ini untuk menentukan jenis uji statistik komparasi yang akan digunakan

untuk membandingkan hasil pre-test dan post-test antara Perlakuan pada

Kelompok I dan Perlakuan pada Kelompok II maka terlebih dahulu dilakukan uji

normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro Wilk Test, sedangkan uji

homogenitas varian data dengan menggunakan uji Levene’s Test yang akan

disajikan pada Tabel 5.3 sebagai berikut :

Tabel 5.3

Uji Normalitas dan Uji Homogenitas

Kelompok

Data

Normalitas Data Dengan

Shapiro Wilk Test

Homogenitas

Dengan

Levene’s

Test

Kelompok I Kelompok II

Rerata±SB P Rerata±SB P p

Sebelum 25,90±15,57 0,412 44,90±18,80 0,867 0,517

Sesudah 6,60±5,04 0,330 13,80±10,30 0,578 0,039

Selisih 19,30±12,57 0,083 31,10±12,19 0,452 0,984

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas data dengan

menggunakan Uji Shapiro Wilk Test pada semua variabel pre test dan post test

pada Kedua Kelompok data adalah p > 0,05 maka data disimpulkan berdistribusi

normal, uji pengaruh yang digunakan adalah Uji Beda Dua Sampel Berpasangan

77

(Paired sample t-test) untuk mengetahui uji hipotesis I dan uji hipotesis II, dan uji

homogenitas dengan menggunakan uji Levene’s Test of varian pada semua

variabel pre test pada ke dua kelompok data adalah p > 0,05 maka data

disimpulkan homogen. Dengan demikian pada pengolahan data berikutnya

dilakukan Uji Beda menggunakan data sebelum (pre) Kelompok I dan data

sebelum (pre) Kelompok II dengan menggunakan uji Independent sample t-test.

Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui uji hipotesis III dengan menggunakan

data sesudah perlakuan atau menggunakan data selisih.

5.1.3 Uji Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability Pada Kelompok

Pelatihan Proprioceptive menggunakan Wobble Board.

Uji ini untuk mengetahui penurunan nilai foot and ankle disability sebelum

dan sesudah Perlakuan pada Kelompok pelatihan proprioceptive dengan wobble

board dengan menggunakan paired sample t-test yang disajikan pada Tabel 5.4

sebagai berikut :

Tabel 5.4

Uji Kelompok I

Variable

(n=10)

Rerata±SB p

Sebelum 25,90 + 15,56 0,001

Sesudah 6,60 + 5,03

Tabel 5.4 menunjukkan adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah

Perlakuan pada Kelompok I dengan nilai yang signifikan p = 0,001 (p< 0,05) hal

tersebut bermakna bahwa Pelatihan proprioceptive dengan wobble board dapat

menurunkan Foot and Ankle Disability pada kasus Sprain Ankle kronis.

78

5.1.4 Uji Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability Pada Kelompok

Pelatihan Penguatan Otot menggunakan Karet Elastic Resistance.

Uji ini untuk mengetahui penurunan nilai foot and ankle disability sebelum

dan sesudah Perlakuan pada Kelompok pelatihan penguatan otot dengan karet

elastic resistance dengan menggunakan paired sample t-test yang disajikan pada

Tabel 5.5 sebagai berikut:

Tabel 5.5

Uji Kelompok II

Variable

(n=10)

Rerata±SB p

Sebelum 44,90+ 18.80 0,000

Sesudah 13,10 + 10,30

Tabel 5.5 menunjukkan adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah

perlakuan pada Kelompok II dengan nilai yang signifikan p = 0,001 (p< 0,05) hal

tersebut bermakna bahwa pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance

dapat menurunkan Foot and Ankle Disability pada kasus Sprain Ankle.

5.1.5 Uji Beda Rerata Foot and Ankle Disability Sebelum Perlakuan Pada

Kelompok I dan Sebelum Perlakuan Kelompok II

Uji ini untuk mengetahui perbedaan rerata penurunan foot and ankle

disability sebelum perlakuan pada masing - masing Kelompok I dan Kelompok

II, maka dilakukan uji Independent sample t-test yang disajikan pada Tabel 5.6

sebagai berikut:

79

Tabel 5.6

Rerata Nilai FADI Sebelum Perlakuan

Pada Kelompok 1 dan Kelompok 2

Variable Kelompok 1 Kelompok 2

p Rerata±SB Rerata±SB

Sebelum 25,90±15,57 44,90±18,78 0,024

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa pada rerata foot and ankle disability

sebelum perlakuan Kelompok I dan Kelompok II menunjukkan adanya perbedaan

yang signifikan p =.0,024 (p < 0,05). Dengan Hal tersebut ditujukan untuk

mengetahui uji Hipotesis III yang akan menggunakan data selisih dari masing-

masing kelompok dengan menggunakan uji independent sample t-test.

5.1.6 Uji Beda Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability Sesudah

Perlakuan Pada Kelompok I dan Sebelum Perlakuan Kelompok II

Uji ini untuk mengetahui signifikansi perbedaan rerata penurunan foot and

ankle disability pada kedua Kelompok Perlakuan sesudah perlakuan maka

dilakukan Independent sampel t-tes) yang disajikan pada tabel 5.7 sebagai berikut:

Tabel 5.7

Uji Beda Nilai rerata Foot and Ankle Disability Antara Kedua Kelompok

Perlakuan dengan Independent t-test

Variable Kelompok 1 Kelompok 2

p Rerata±SB Rerata±SB

Sesudah 6,60 + 5,03 13,80 + 10,30 0,063

Tabel 5.10 menunjukkan bahwa nilai rerata sesudah Kelompok I sebesar

6,60 + 5,03 sedangkan Kelompok II sebesar 13,80 + 10,304. Analisis uji

80

kemaknaan Independent sample t-test menunjukkan nilai nilai p = 0,063 (p >

0,05). Hal tersebut menjelaskan bahwa penurunan nilai foot and ankle disability

kedua kelompok menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada kasus

sprain ankle kronis.

5.1.7 Uji Beda Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability Antara Ke dua

Kelompok Perlakuan.

Uji ini untuk mengetahui perbedaan dari nilai rerata selisih Kelompok I

dan Kelompok II, dan untuk mengetahui signifikan perbedaan penurunan foot and

ankle disability pada Kedua Kelompok Perlakuan maka dilakukan uji Independent

sample t-test yang disajikan pada Tabel 5.8 sebagai berikut

Tabel 5.8

Uji Beda Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability antara Kedua

Kelompok Perlakuan dengan Independent Sample t-test

Variable Kelompok 1 Kelompok 2

P Rerata±SB Rerata±SB

Selisih 19,30±12,57 31,10±12,19 0,047

Tabel 5.8 menunjukkan adanya perbedaan nilai selisih antara Kelompok I

dan Kelompok II dengan nilai yang signifikan p = 0,047 (p< 0,05) hal tersebut

Ada Perbedaan yang bermakna antara pelatihan proprioceptive menggunakan

wobble board dengan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance

pada kasus Sprain Ankle Kronis

81

5.2 PEMBAHASAN

5.2.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Subjek penelitian ini berjumlah 20 orang yang yang terbagi menjadi 2

kelompok perlakuan, masing-masing kelompok berjumlah 10 orang. Kelompok I

diberi pelatihan proprioceptive dengan wobble board dan Kelompok II diberikan

pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.

Umur yang terlibat pada penelitian ini berkisar antara 17-35 tahun,

Kelompok I memiliki rerata (21,70+ 4,90) dan Kelompok II, (21,40 + 3,80) .

umur terbanyak yang mengalami cedera pada penelitian ini yaitu umur 17- 25

tahun. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa kejadian

sprain ankle kronis dapat terjadi pada beberapa kelompok usia akan tetapi secara

umum terjadi pada usia remaja dan usia dewasa (Hyeyoung at al., 2009).

Deskripsi jenis kelamin menunjukkan bahwa sampel penelitian Kelompok

I jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 (60%) orang dan perempuan sebanyak 4

(40%) orang, sedangkan Kelompok II jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 (60%)

orang dan perempuan sebanyak 4 (40%) orang. Hal tersebut member gambaran

bahwa dalam penelitian ini jenis kelamin bukanlah salah pertimbangan yang

mempengaruhi aspek penilaian dalam penelitian serta tidak memiliki keterkaitan

dengan peningkatan foot and ankle disability pada sprain ankle kronis.

Deskripsi indeks masa tubuh (IMT) Rerata berat badan 56,20 + 5,432

dengan berat badan minimal 45 kg dan berat badan maksimal 63 kg, Rerata

tinggi badan 158,90 + 5.152 dengan tinggi badan minimal 148 cm dan tinggi

82

badan maksimal 165 cm. dan rerata IMT 20,76 + 1,86 kg/m2 dan IMT minimal

19,48 kg/m2 dan IMT maksimal 24, 60 kg/m2.

Kelompok II dengan jumlah sampel (n= 10) didapatkan bahwa rata-rata

umur 21,40 + 3,80 dengan umur minimal 19 tahun dan umur maksimal 33

tahun, Rerata berat badan 57,20 + 6.529 dengan berat badan minimal 45 kg dan

berat badan maksimal 68 kg, Rerata tinggi badan 165,90 + 5,33 dengan tinggi

badan minimal 160 cm dan tinggi badan maksimal 175 cm dan rerata IMT

25,175+ 9,14 kg/m2 dan IMT minimal 17,17 kg/m2 dan IMT maksimal

23,43kg/m2. Hal tersebut menunjukkan bahwa IMT bukanlah salah satu

pertimbangan yang mempengaruhi aspek penelitian serta tidak memiliki

keterkaitan dengan penurunan foot and ankle disability.

Deskripsi jenis hobi dan aktivitas pekerjaan menunjukkan bahwa sampel

penelitian kelompok I dengan tingkat sering bermain futsal sebanyak 4 (20%)

orang, bermain basket 1 (5%), hoby menari 1 (5%) orang, voly 1(5%) orang,

rekreasi 2 (10%) orang, pegawai PNS 1 (5%) orang. Sedangkan kelompok II

dengan tingkat sering bermain futsal sebanyak 4 (20%) orang, bermain basket 3

(15%), voly 1(5%) orang, pegawai PNS 1 (5%) orang, bermain bulu tangkis 1

(5%). Hal itu sejalan dengan penelitian yang memaparkan bahwa faktor penyebab,

sprain ankle dapat terjadi saat melakukan aktivitas, terutama aktivitas olah raga

dengan persentase 41,1% - 70% (Farquhar, 2013).

83

5.2.2 Pelatihan Proprioceptive menggunakan Wobble Board dapat

Menurunkan Foot and Ankle Disability Kasus Sprain Ankle Kronis.

Berdasarkan uji paired t-test pada penelitian ini dilaporkan bahwa beda

rerata sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hasil pengukuran tingkat

penurunana foot and ankle disability dengan menggunakan FADI selama terapi 6

minggu dari tes awal dan tes akhir I .

Berdasarkan uji paired t-test pada penelitian ini dilaporkan bahwa beda

rerata sebelum dan sesudah didapatkan data rerata hasil sebelum perlakuan 25,90

+ 15,56 dan sesudah perlakuan 6,60 + 15,56 pada Kelompok Perlakuan I dengan

nilai p = 0,001 p < 0,05, berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Kesimpulan

penelitian ini adalah pelatihan prorioceptive menggunakan wobble board

signifikan dapat menurunkan foot and ankle disability pada penderita sprain ankle

kronis. Penurunan foot and ankle disability akibat dari program latihan yang

dilakukan secara progresif dari minggu 1 sampai minggu ke 6, dengan frekuensi

3x perminggu.

Penelitian ini didukung oleh penelitian Hale et al., (2014), sebanyak 34

subjek laki-laki dan perempuan yang di bagi menjadi dua kelompok untuk

Kelompok I diberi latihan dengan wobble board dan Kelompok II menyelasaikan

studi. Intervensi pelatihan wobble board dengan frekuensi 2x perminggu selama 4

minggu, hasil ada perbaikan yang signifikan pada kelompok perlakuan dengan

nilai p= 0,000, p<0,005.

84

Menurut Hupperets et al, (2009) bahwa pelatihan proprioceptive dengan

wobble board merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statik

yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara

berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip dari latihan ini ialah

meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh yaitu system informasi

sensorik, central processing, dan effector untuk bisa beradaptasi dengan

perubahan lingkungan. Saat latihan berlangsung rangsangan yang diterima serabut

intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan

diolah di otak untuk diproses sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi

otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal

akan mengaktivasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi

serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan

saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive

yang baik. Stimulasi yang tidak konsisten akibat ketidakstabilan permukaan yang

diterima oleh otot dan sendi berpengaruh sangat cepat terhadap penangkapan

informasi sensoris dan lebih efisien diproses di sistem saraf pusat sehingga

menstimulasi mekanoreseptor pada sendi.

Hasil penurunan foot and ankle disability pada penderita sprain ankle

kronis karena berlatih diatas wobble board otot-otot bagian ekstremitas bawah

mulai dari pelvic sampai ankle secara bersamaan akan kontraksi, sehingga

memperbaiki kerja otot dan ligament yang dapat meningkatkan propriceptive

sehingga terbentuk stabilitas dan keseimbangan yang baik yaitu kesadaran atas

gerakan tubuh untuk mempertahankan posisi tubuh agar tetap stabil. Pada subjek

85

yang melakukan latihan wobble board sesuai dengan program fisioterapi akan

terhindar terjadinya cedera berulang dan akan kembali pada aktivitas normal tanpa

keluhan nyeri akibat sprain ankle kronis (calrk at al., 2005).

5.2.3 Pelatihan Penguatan Otot menggunakan Karet Elastic Resistance

dapat Menurunkan Foot and Ankle Disability pada Kasus Sprain

Ankle Kronis.

Berdasarkan hasil pengukuran tingkat penurunana foot and ankle disability

menggunakan FADI selama terapi 6 minggu dari tes awal dan tes akhir,

Kelompok Perlakuan II didapatkan data rerata hasil sebelum perlakuan 44,90 +

18,80 dan rerata hasil setelah perlakuan 13,80 + 10,30. Untuk menguji Hipotesis

II digunakan Uji paired sample t-test pada Kelompok Perlakuan II dengan jumlah

10 orang sampel dengan Pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.

Dalam Pengukuran nilai pada foot and ankle disability menggunakan foot and

ankle Disability Index (FADI), diperoleh penurunan nilai foot and ankle disability

yang dapat dilihat pada Tabel 5.8 kemudian diperolah nilai p = 0,001 dimana p <

0.05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima yang menunjukan bahwa pada

Kelompok Perlakuan II adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

Sprain ankle kronis terjadi karena adanya kelemahan otot dan kelemahan

ligamen dengan pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance,

dalam bentuk latihan isotonik dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot

yang disebabkan kerusakan ligamen lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot

didapatkan dengan pelatihan dengan frekuensi 3x/minggu selama 6 minggu

dengan meningkatkan kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh

86

darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan

mengakibatkan terjadinnya penambahan recuitment motor unit pada otot yang

akan mengaktifasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal. Dengan

meningkatnya kekuatan otot ankle maka fungsi ankle sebagai penyangga tubuh

akan bekerja lebih efesien sehingga lebih stabil dan menurunkan foot and ankle

disability yaitu mampu melakukan kegiatan secara normal dalam aktivitas sehari-

hari (Driscoll dan Delahunt, 2011).

Penelitian ini didukung oleh Ricard dan Han (2011) penelitian ini

menjelaskan bahwa pelatihan dengan karet elastic resistance pada anke. selama 6

minggu dengan dosis 3x perminggu, sebanyak 3 set dengan 10 repetisi, dapat

meningkatkan kekuatan otot foot and ankle.

5.2.4 Perbedaan Perlakuan Kelompok I dan Perlakuan Kelompok II

Terhadap Foot and Ankle Disabiility pada Kasus Sprain Ankle Kronis.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Tabel 5.7 didapat nilai dengan

menggunakan Uji t-test Independent maka didapatkan hasil dengan nilai p= 0.047

dimana p < 0.05, ini berarti ada penurunan nilai foot and ankle disability secara

signifikan baik pada Kelompok I maupun Kelompok II. Sedangkan pada uji

hipotesis III menunjukkan adanya perbedaan efek antara Kelompok I dan

Kelompok II bahwa Perlakuan penguatan otot menggunakan karet elastic

resistance lebih baik menurunkan foot and ankle disability di bandingkan

pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board pada kasus sprain ankle

kronis.

87

Hasil analisa data kedua kelompok bermakna dipengaruhi oleh takaran.

Takaran dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan intensitas latihan

pada Kelompok I dan Kelompok II. Pada Kelompok I diberikan initesitas, Minggu

1: 1set: dilakukan selama 15 detik, Minggu 2-3: 1 set: dilakukan 30 detik, Minggu

4: 1 set: dilakukan 45 detik, Minggu 5- 6: 1 set: dilakukan selama 1 menit. Dosis

Menit. Pada Kelompok II diberikan intensitas dan dosis latihan frekuensi 3x

seminggu, intensitas 3 set latihan, time 30 menit, repetisi 10 kali.

Dilihat berdasarkan intensitas pada kedua kelompok maka pelatihan

menggunakan wobble board tidak dalam jumlah yang jelas pengulangannya

(dalam satuan detik) maka progresifitas latihan yang di lakukan menggunakan

wobble board tidak bisa di amati dengan baik. Oleh karena itu di asumsikan

pelatihan menggunakan wobble board tidak mengalami progresifitas seperti pada

pelatihan pengutan otot menggunakan karet elastic resistance. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic

resistance lebih baik dari pada pelatihan proprioceptive menggunakan wobble

board.

Dilihat berdasarkan manfaat dan prinsip latihan pada Pemberian pelatihan

proprioceptive menggunakan wobble board prinsip latihan meningkatkan

proprioceptive dan keseimbangan sehingga koordinasi kerja otot dan ligamen

ankle and foot semangkin membaik. Hal ini akan meningkatkan stabilitas,

keseimbangan, dan meningkatkan gerakan fungsional pada foot and ankle. Efek

yang sama didapat dari pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic

resistance dengan prinsip meningkatkan kekuatan otot ankle dimana ketika otot

pada foot and ankle menjadi semangkin kuat maka ligamen pada sendi akan

semangkin stabil sehingga fungsi ankle sebagai penyangga mampu

88

mempertahankan posisi tubuh saat bergerak. Hal ini dapat menurunnya foot and

ankle distability sehingga subjek dapat melakukan aktivitas kembali secara

normal.

Dari hal tersebut berarti sampel rata-rata termasuk kategori sprain ankle

derajat I dan II, yaitu adanya kelemahan otot dan kelemahan ligamen, dengan usia

terbanyak 16-25 tahun pada usia tersebut tingkat gangguan keseimbangannya

sangat minim. Selain itu tingkat aktivitas ataupun pekerjaan yang kurang

terkontrol pada masing-masing individu juga dapat mempengaruhi terjadinya

cedera berulang yang memperlambat proses perbaikan dari jaringan yang cedera.

Menurut Hyeyoung (2013) bahwa pencegahan cedera sprain ankle kronis

diperlukan pelatihan khusus untuk menghindari terjadinya cedera ulang karena

secara umum cedera yang terjadi pada ankle adalah sprain. Melalui pelatihan

proprioceptive dengan dan pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic

resistance maka keseimbangan dan kontrol neuromuscular akan membaik

sehingga terjadi penurunan foot and ankle disability dengan kembalinya efesiensi

gerakan dan aktivitas normal.

Berdasarkan uraian di atas bahwa latihan ke duanya memiliki perbedaan,

dapat dipergunakan untuk penurunan foot and ankle disability sesuai dengan

kebutuhan dengan memperhatikan faktor usia, kondisi jaringan, beban kerja, dan

posisi saat bekerja.

89

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis

mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelatihan proprioceptive dengan wooble board dapat menurunkan foot and

ankle disability pada kasus sprain ankle kronis dengan nilai sebelum 25,90

+ 15,56 dan sesudah perlakuan 6,60 + 5,03.

2. Pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance dapat

menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis

dengan nilai sebelum Perlakuan 44,90+ 18.80 sesudah Perlakuan 13,80 +

10,30.

3. Perbedaan Pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board dengan

pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance dalam

menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis

dengan nilai selisih 19,30±12,57 pada Kelompok I dan pada Kelompok II

31,10±12,19.

6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan :

1. Metode pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dan pelatihan

penguatan otot ankle dengan karet elstic resistance dapat digunakan pada

89

90

kasus sprain ankle kronis, bagi fisioterapi perlu mempertimbangkan sosial

ekonomi pasien.

2. Penelitian yang multi center di rancang pada beberapa tempat dengan

protocol yang sama dan menggunakan dosis yang lebih baik.

91

DAFTAR PUSTAKA

Atner J. 2002. Atlas of Human Skeletal Anatomy. From : http://jurajatner.com 21 January 2015.

Barr K dan Harrast M 2005. Evidence-Based Treatment of Foot and Ankle

Injuries in Runners. Phys Med Rehabil Clin N Am 16 (2005) 779–799 Department of Rehabilitation Medicine, Box 356490, University of Washington, Seattle, WA 98195

Bonnel.F, Tauler, Tourne. 2010. Chronic ankle instability Biomechanics and

pathomechanics of ligamens injury and associated lesions. Orthopaedic Surgery and Traumatology Department, Dupuytren Teaching Hospital Center,, France Accepted: 15 March 2010

Chan K, Ding B, dan Mroczek K, 2011. Acute and chronic lateral ankle

instability in the athlete. Bulletin of the Nyu Hospital for Joint Diseases 2011;69(1):17-26 17

Calatayud J, Borreani S, Colado J. C, Flandes J, Page P. 2014. exercise and ankle

sprain injuries A Comprehensive Review. Hal 88- 93, vol 42 issue 1, februari 2014, ISNN- 0091-3847. From:http://www.physsportsmed.com

Chook E dan Hegedus Eric J. 2013. Orthopedic Physical Examination Test An

Evidence-Based Approach. Second edition. Pearson Education. Canada. Hal 508 dan 529.

Calrk V. 2005, A 4-week wobble board exercise programme improved muscle

onset latency and perceived stability in individuals with a functionally unstable ankle. Phys Ther Sport 2005, 181-187.

Driscoll J dan Delahunt E. 2011. Neuromuscular training to enhance

sensorimotor and functional deficits in subjects with chronic ankle instability: A systematic review and best evidence synthesis. Sports Medicine, Arthroscopy, Rehabilitation, Therapy & Technology 2011, 3:19.http://www.smarttjournal.com/content/3/1/19

Dale B. 2006. Functional Rehabilitation After Lateral Ankle Injury . 2006

Human Kinetics · ATT 11(3), pp. 52-55 Fong D, 2009. Understanding acute ankle ligamenous sprain injury in sports.

Sports Medicine, Arthroscopy, Rehabilitation, Therapy & Technology 2009, 1:14 doi:10.1186/1758-2555-1-14 Received: 9 July 2009,Accepted: 30 July 2009 from: http://www.smarttjournal.com/content/1/1/14© 2009 Fong et al; licensee BioMed Central Ltd.

92

Farquhar W, 2013. Muscle Spindle Traffic in Functionally Unstable Ankles

During Ligamenous Stress. Journal of Athletic Training 2013;48(2):192–

202, doi: 10.4085/1062-6050-48.1.09, by the National Athletic Trainers’

Association, Inc, from: http://www.natajournals.org

Hartel J. 2000. Functional Instability Following Lateral Ankle Sprain.

Department of Kinesiology, Pennsylvania State University, University

Park, Pennsylvania, USA. Injury Clinic Sports Med 2000 May; 29 (5):

361-371.

Hale F, Axmacher, Kiser, 2014. Bilateral improvements in lower extremity

function after unilateral balance training in individuals with chronic ankle

instability 2014 Mar-Apr; 49 (2) : 181-91.

Hertel, J. (2002). Functional Anatomy, Pathomechanics, and Pathophysiology of

Lateral Ankle Instability. Journal of Athletic Training , 37 (4), 364-75

Hale S dan Hartel J. 2005. Reliability and Sensitivity of the Foot and Ankle

Disability Index in Subjects With Chronic Ankle Instability. J Athl Train.

2005 Jan-Mar; 40(1): 35–40. PMCID: PMC1088343

Hyeyoung K, Chung F, Hee Lee B 2013, A Comparison of the Foot and Ankle

Condition between Elite Athletes and Non-athletes 2013 November 20. 25

(10) : 1269-1272.

Han K dan Ricard M, 2011 Effects of 4 Weeks of Elastic-Resistance Training on

Ankle-Evertor Strength and Latency, Journal of Sport Rehabilitation, 2011,

20, 157-173, 2011 Human Kinetics, Inc

Hupperets, Varhagen, Van M 2009. Effect of unsu pervised home based

proprioceptive training on recurrences of ankle sprain randomized

controlled trial. BMJ, 2009:339.

Juanaidi. 2013. Cedera Olahraga Pada Atlet Pelatda PON XVIII DKI Jakarta,

Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta.

Kisner C dan Colby L Alen.2012.Therapeutic Exercise Foundations and

Techniques. Sixth Edition. F.A Davis Company.America. hal 850-859.

Lynch.S.A. 2002. Assessment of the Injured Ankle in the Athlete. Athl Train. 2002

Oct-Dec; 37(4): 406–412. PMCID: PMC164372

Mattacola, Carl G dan Dwyer, Maureen K. 2002. Rehabilitation of the Ankle

After Acute Sprain or Chronic Instability, Journal of Athletic Training.

Hal.413–429 by the National Athletic Trainers Association Inc. From :

www.journalofathletictraining.org

93

Martin R, Daven P, Stephen P, Wukich D, Josep. 2013. Ankle Stability and

Movement Coordination impairments: Ankle Ligamen Sprains. Clinical

Practice Guidelines Linked to the International Classification of

Functioning, Disability and Health From the Orthopaedic Sectionof the

American Physical Therapy Association. J Orthop Sports Phys Ther.

2013;43(9):A1-A40. doi:10.2519/jospt.2013.0305

Maffulli dan Longo. 2010. Focus On Lateral ankle instability, British Editorial

Society of Bone and Joint Surgery.

Miller Jude A. 2011 Proprioceptive Training & Its Implications on Ankle

Rehabilitation

NIAMS, Sport injuries, p. 2, 2010 (http://www.niams. nih.gov/ Health_Info

/Sports_Injuries/default.asp

Pocock, J.Stuart.2008. Clinical Trials: A Practical Approach. Chichester. John

Wiley & Sons.p.

Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi 6.

Jakarta.

Sobotta. 2010. Atlas Anatomi Manusia. Di sunting oleh R. Putz dan R. Pabst.

edisi 22. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC..

Thompson C, dan Page P .2009. Treating Chronic Ankle Sprains in Sports

Founding Member of the Christian Sports Medicine Association.

From:http://www.aiasportsperformance.org March 2009.

Wees P. Lessen A, Hendriks E, Dekker J, Bie Rob. 2006. Effectiveness of exercise

therapy and manual mobilisation in acute ankle sprain and functional

instability. Department of Epidemiology, Maastricht University, Royal

Dutch Society for Physical Therapy (KNGF) 3University Medical Centre

Australian Journal of Physiotherapy 2006 Vol. 52 hal : 27-37]

Young C, 2005. Clinical Examination of the Foot and Ankle of Sports Medicine,

Medical College of Wisconsin, 9200 W Wisconsin Avenue, Milwaukee, WI

53226, USA. Corresponding author. Department of Orthopaedic Surgery,

Medical College of E-mail address: [email protected] (C.C. Young).

0095-4543/05/$ - see front matter _ 2005 Elsevier Inc. All rights reserved.

doi:10.1016/j.pop.2004.11.002 primarycare.

http://www.isokineticsinc.com/product

www.sporstinjuryclinic.net