analisis politik hukum islam mengenai...
TRANSCRIPT
ANALISIS POLITIK HUKUM ISLAM MENGENAI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.sy)
Oleh :
Siti Iqri Mayanah
NIM : 107045201809
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan nikmat dan karunianya kepada seluruh makhluknya, dan atas segala
rahmat dan hidayahnya. Penulis menghanturkan shalawat teriring salam kepada Rasul
pilihan pengemban risalah illahi, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya sebagai uswah kita meniti hidup dan aktifitas kita sehari-hari.
Selanjutnya penulis menghanturkan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik
dalam bentuk dorongan moril maupun materil. Karena penulis tanpa dukungan serta
bantuan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu atas terselesaikannya penulisan skripsi ini, terutama
kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin
Suma, S.H, M.A, M.M
2. Dr. Asmawi, M.Ag, selaku ketua jurusan Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ii
3. Afwan Faizin, M.A. selaku sekretaris jurusan Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Khamami Zada, M.A. selaku dosen pembimbing pertama skripsi yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam
membimbing skripsi ini
5. Nahrowi, S.H, M.H selaku dosen pembimbing kedua skripsi yang juga
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya
6. Ayahanda H. Umarullah dan Ibunda Hj. Siti Zakiah selaku orangtua
tercinta, Hj. Umrah selaku nenek, semoga segala motivasi yang telah
diberikan dapat bermanfaat pada suatu hari nanti.
7. Adik-adiku tersayang Vicki, Fathur, Naya, Subhan, Saskia, Nabila dan
kakak ku Rista, Kiki, Gadis yang sudah memberikan semangat untuk
mengerjakan skripsi ini
8. Teman-teman jurusan Ketatanegaraan Islam angkatan 2007, Sahabat-
sahabatku tercinta yaitu Vivi, Lisa, Anda, Afiat, Desy, Dina, Anis yang
telah memberikan motivasi dan semangat untuk mengejar ketertinggalan
skripsi ini sehingga akhirnya tercapai.
Tangerang, 15 September 2011
Siti Iqri Mayanah
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang dijukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya antumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Tangerang, 12 September 2011
Siti Iqri Mayanah
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………….....i
DAFTAR ISI ……………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……….………………1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ……….………………9
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian……….………………9
D. Tinjauan Pustaka ………………………10
E. Metode Penelitian ……...……………… 12
F. Sistematika Penulisan ………………………14
BAB II POLITIK HUKUM KETENAGAKERJAAN
A. Pengertian Politik Hukum ………………………16
B. Hubungan Hukum dan Politik ………………………19
C. Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia ………………………26
BAB III KETENAGAKERJAAN DALAM SEJARAH ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
A. Ketenagakerjaan Dalam Sejarah Islam ………………………36
B. Ketenagakerjaan Dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003…..45
BAB IV ANALISIS POLITIK HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
(Putusan Nomor 012/Puu-1/2003)
A. Proses Putusan Uji Materi Undang-undang Ketenagakerjaan …50
v
B. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang No.13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ……………………….64
C. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang
Ketenagakerjaan ……………………….72
D. Analisis Politik Hukum Islam Terhadap Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi ……………………….73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………….89
B. Saran-saran ……………………….90
DAFTAR PUSTAKA ……………………….91
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial
bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian, layak pula bila dikatakan bahwa
hukum adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat. Tetapi hukum bukanlah
bangunan sosial yang statis, melainkan ia bisa berubah dan perubahan ini terjadi
karena fungsinya untuk melayani masyarakatnya. Perubahan yang paling utama nyata
terjadi manakala diikuti sejarah sosial sesuatu masyarakat dan bagaimana nampaknya
terhadap hukum yang berlaku di situ.
Indonesia menyimpan bahan sejarah yang cukup kaya dan adalah menarik
sekali apabila para ahli sudi untuk menelusuri hubungannya dengan perkembangan
hukum negeri ini. Pemahaman serta penglihatan terhadap perkembangan hukum yang
demikian sangat bermanfaat oleh karena ia akan memberikan masukan informasi
yang berharga sekali bagi pemahaman yang seksama mengenai kehidupan hukum di
Indonesia.1
Politik hukum merupakan legal policy (sebagai kebijakan resmi negara)
tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai
1 Artidjo Alkostar dan Sholeh Amin, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum
Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 27.
2
tujuan negara. Hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara.
Sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah
yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional
guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. 2
Negara hukum yang dibangun di atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan
sosial dalam suatu masyarakat Indonesia yang bersatu nampaknya merupakan aspirasi
dari para pendiri Negara Republik Indonesia. Hal itu Nampak nyata bila kita
membaca pokok-pokok pikiran yang termuat dalam pembukaan Undang-undang
Dasar 1945. Gagasan Hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan
keadilan sosial dalam masyarakat bangsa Indonesia. Pengalaman hidup masyarakat
Indonesia dibawah kekuasaan raja-raja feodal yang sangat menindas, dan kemudian
kaum penjajah barat yang juga menindas dan menghisap sumber daya masyarakat
bangsa Indonesia menyadarkan para pendiri Republik Indonesia tentang perlunya
dibangun sebuah Negara hukum yang didasarkan atas prinsip demokrasi dan keadilan
sosial dalam suatu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu.3
Politik adalah upaya manajemen konflik, bahwa konflik adalah selalu ada
dalam setiap hubungan sosial. Karena politik pada dasarnya memuat unsur-unsur
nilai, kepentingan dan kekuasaan, maka hubungan politik juga memuat potensi
konflik. Hasil manajemen itu adalah sesuatu penyelesaian konflik antara lain, muncul
sebagai aturan main atau hukum. Politik yang paling ideal adalah komunitas. Dalam
2. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 2.
3 Abdul Halim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta:Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia,1988), h. 11.
3
unit politik ini warga saling merasa terikat bukan karena kepentingan materiil, tetapi
lebih karena ikatan-ikatan yang lebih emosional, karena itu komunitas adalah unit
politik yang paling terintegrasi. Karena unsur-unsur menonjol dalam suatu komunitas
adalah kepatuhan warganya kepada hukum, maka pengembangan komunitas juga
menjadi pengembangan hukum. Pembangunan politik, juga secara sangat
menyederhanakan, bisa diartikan sebagai : pertama, upaya pembinaan wewenang
atau kapasitas suatu sistem politik, kedua, pengembangan partisipasi warga sistem itu
dan ketiga, pemantapan pembagian kerja. Ketiga upaya ini merupakan ukuran
kemajuan suatu masyarakat. Dan dalam proses ini hukum berperan sangat penting,
karena pada dasarnya wujud konkrit pelembagaan itu adalah aturan main.4
Tuntutan atau harapan yang relevan yakni perubahan sistem politik yang
memberi kebebasan pada jumlah dan asas yang dianut oleh partai politik. Selain itu
juga terbentuknya hukum nasional dengan mengakomodasi berbagai hukum lokal
yang plural, termasuk hukum agama (hukum Islam).5
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1945,
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat,
4 Moh Busyro Muqoddas dkk, Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta: UII
Press, 1992), h. 147.
5 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia (Malang:Bayumedia Publishing, 2005), h. 223.
4
martabat, dan harga diri serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan
merata baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga
terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja
buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi
pengembangan dunia usaha. Pembangunan tenaga kerja mempunyai banyak dimensi
keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama,
sebelum, dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan
pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang
menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencangkup pengembangan sumber daya
manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya
perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan kerja, dan pembinaan hubungan
industrial.6
Produktifitas kerja suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh produktivitas
kerja karyawannya. Atau dapat dikatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan
antara hasil dari suatu pekerjaan karyawan dengan pengorbanan yang telah
dikeluarkan. Atau juga bisa dikatakan, poduktivitas kerja karyawan akan bisa dicapai
melalui motivasi yang kuat ditopang dengan budaya kedisiplinan kerja yang tinggi.
Pasca Indonesia merdeka, dihasilkan dua Undang-undang yaitu UU No. 12
Tahun 1948 tentang kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang
6 Undang-undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
5
Pengawasan Perburuhan, yang memuat banyak aspek perlindungan terhadap buruh.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 misalnya memuat larangan terhadap
diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam dalam seminggu, kewajiban pengusaha
untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja, termasuk sebuah pasal
yang melarang mempekerjakan anak dibawah usia 14 tahun. Selain itu Undang-
undang ini juga menjamin hak perempuan buruh untuk mengambil cuti haid dua hari
dalam sebulan, dan pembatasan kerja malam bagi perempuan.
Sedangkan dalam UU No.13 Tahun 2003 mengatur tentang ketenagakerjaan,
tetapi sejak awal mulai pembahasannya hingga pengesahan, Undang-undang
Ketenagakerjaan, yang awalnya disebut RUU Pembinaan dan Perlindungan
Ketenagakerjaan (PPK), sudah banyak menimbulkan kontroversi, karena pertama-
tama dianggap telah tidak berpihak kepada kepentingan buruh/pekerja dan cenderung
lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal, nasional dan terutama internasional,
serta tidak cukup mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruh/pekerja
Indonesia. Didalam Undang-undang ini diantaranya juga mengatur tentang kebijakan
seperti Upah minimum, Outsourcing (kontrak kerja), mogok kerja, pemutusan
hubungan kerja.7
Meliputi hubungan kerja yang terjadi dibadan usaha yang berbadan hukum
atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum,
baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha
7 Lihat Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
6
lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.8
Seperti diketahui bahwa tujuan hukum perburuhan adalah melaksanakan
keadilan sosial dalam bidang perburuhan yang diselenggarakan dengan jalan
melindungi buruh terhadap kekuasaan majikan. Perlindungan buruh dari kekuasaan
majikan terlaksana apabila peraturan-peraturan dalam bidang perburuhan yang
mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan
tersebut benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat di
ukur secara yuridis saja, tetapi juga diukur secara sosiologis, dan filosofis. 9
Dalam Pengujian Materi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-
Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang terdapat pada lampiran
jelas bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon dalam sebagian putusan
yang menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili dan
memutus permohonan pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Pemohon
memiliki hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yang
dimaksud, sehingga para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk bertindak sebagai para pemohon dihadapan Mahkamah Konstitusi. Menimbang
bahwa adanya dalil yang menyatakan bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan yang
diundangkan tanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft Undang-undang
8 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta:PT. Raja Grafindo, 2007), h. 177. 9 Zaenal Asikin, Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h.1.
7
Ketenagakerjaan yang disahkan oleh sidang paripurna DPR R.I tanggal 25 Februari
2003, oleh Mahkamah Konstitusi dipandang tidak dapat dibuktikan secara sah oleh
para pemohon, sehingga harus dikesampingkan, dan Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa permohonan para pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian, dan
akan menolak permohonan yang selebihnya, karena dipandang tidak cukup beralasan,
putusan mengabulkan sebagian pasal didalam Undang-undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu : Pasal 158 tentang pemutusan hubungan kerja, Pasal
159 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Pasal 160 ayat 1 tentang
upah kepada pekerja, Pasal 170 tentang pembayaran seluruh upan dan hak pekerja,
Pasal 171 PHK tanpa penetapan lembaga PPhi, Pasal 186 mengenai sanksi pidana
dan denda karena Undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.10
Dengan demikian perkara ketenagakerjaan merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Dalam Undang-undang tersebut ada beberapa pemohon yang
tidak puas dengan adanya Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, maka pemohon tersebut dapat mengajukan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menguji Undang-undang tersebut dengan menunjukan bukti-bukti
bahwa Undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang 1945.
Politik yang adil dalam setiap umat Islam adalah mengatur urusan dalam
negeri dan luar negeri dengan sistem dan peraturan yang menjamin keamanan
10
Lihat Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
8
terhadap individu dan golongan serta asas keadilan di antara mereka, merealisasikan
kemaslahatan, menghantarkan mereka agar lebih maju dan mengatur hubungan
dengan orang lain. Islam menjamin politik agar dasar-dasar Islam dijadikan acuan
sistem asas keadilan, merealisasikan kemaslahatan manusia di setiap zaman dan
tempat. Hal itu terdapat dua bukti pertama yaitu, bahwa dasar dan sumber utama
Islam adalah Al Qur’an, meskipun tidak menjelaskan sistem tersebut secara rinci,
tetapi menetapkan dasar-dasar tentang sistem mengatur urusan umat dalam
pemerintahan.11
Penulis juga ingin melihat dalam Analisis Politik Hukum Islam terhadap
pandangan Putusan Mahkamah Konstitusi, Oleh karena itu dalam masalah ini
menarik untuk dikaji, Bagaimana respon dan langkah-langkah yang diambil
pemerintah dan khususnya dunia usaha menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi.
Apakah dampak dari putusan tersebut terhadap pemerintah, pengusaha, dan tenaga
kerja di Indonesia. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi itu merugikan kepentingan
pengusaha dan menguntungkan posisi pekerja/buruh atau sebaliknya, Atau justru
keduanya yang dirugikan karena disatu sisi pekerja/buruh akan melalui proses hukum
pidana yang panjang dan terkadang melelahkan. Sedangkan bagi pengusaha harus
menunggu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum
memutuskan hubungan kerja karena alasan melakukan kesalahan berat, dan
bagaimana Analisis Politik Hukum Islam dalam memberikan kebijakan untuk
masalah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap masyarakat.
11
Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana,1994), h.11.
9
Beranjak dari beberapa persoalan diatas, maka penulis menuangkannya dalam
skripsi yang berjudul Analisis Politik Hukum Islam Mengenai Putusan
Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penulis akan mencoba menjelaskan pembatasan masalah terhadap skripsi ini
yaitu mengenai Politik Hukum Islam dalam Undang-undang Ketenagakerjaan yang
diajukan pemohon kepada Mahkamah Konstitusi. Maka penulis mengidentifikasi
sejumlah masalah yang harus dijawab/diteliti, Dalam skripsi ini perlu ditentukan
beberapa rumusan masalah, antara lain yaitu :
1. Bagaimana putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materi
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?
2. Bagaimana pandangan Politik Hukum Islam pasca putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan dalam
upaya mengetahui Analisis Politik Hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan di
Mahkamah Konstitusi. Adapun tujuannya yaitu:
10
1. Mengetahui Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materi
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
2. Mengetahui Politik Hukum Islam dalam Undang-undang No.13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan pasca putusan mahkamah konstitusi
Adapun manfaat penelitian yang juga akan sangat berguna jika dilihat dalam
dua hal, yaitu :
1. Secara teoritis; dapat menambah atau meningkatkan pengetahuan dan juga
wawasan dalam bidang hukum, serta dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan pada umumnya, dan dapat menjadi acuan para pekerja dan
pengusaha di tanah air dalam meningkatkan semangat kerja yang profesional.
2. Secara praktis; dapat dijadikan pedoman dan bacaan yang bermanfaat bagi
para praktisi dan upaya pembaharuan pemikiran analisis politik hukum Islam
dalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi, Penelitian ini pun dapat
berguna bagi kalangan masyarakat secara umum.
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian tentang topik yang telah dilakukan, baik yang mengkaji
maupun meneliti secara spesifik isu tersebut yang menyinggung secara umum.
Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya penelitian tersebut :
No. Karya Judul Isi Perbandingan
1. Asri Wijayanti Hukum
Ketenagake
menjelaskan tentang Asas
pembangunan
Dalam skripsi
ini penulis
11
rjaan Pasca
Reformasi
ketenagakerjaan yaitu, sejarah
dan Politik Hukum
ketenagakerjaan Indonesia
mengenai sejarah hukum
ketenagakerjaan masa
sebelum Proklamasi 17
Agustus 1945, masa pasca
Proklamasi 17 Agustus 1945
dan masa pasca Reformasi,
menjelaskan tentang
hubungan kerja, serikat
pekerja, dan Pemutusan
Hubungan Kerja.
lebih
membahas
Politik hukum
Islam dalam
Ketenagakerja
an dan pasca
putusan
Mahkamah
Konstitusi
2. Baqir Syarief
Qorashi
Keringat
Buruh, Hak
dan Peran
Pekerja
dalam Islam
Didalam buku ini
menjelaskan Beberapa teori
mengenai bekerja dalam
Islam yaitu pekerjaan yang
baik menurut Al qur’an dan
bekerja menurut sunnah pada
masa Nabi, dan membagi
Ketenagakerjaan dalam
sistem kapitalisme dan sistem
komunisme, kemudian sistem
Islam mengenai hak buruh,
hak pemilik usaha dan
kewajiban tenaga kerja.
dalam skripsi
ini penulis
lebih
membahas
mengenai
Politik Hukum
di Indonesia
dan Politik
Hukum
Islamnya
12
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif
dan yuridis yaitu berupa kata-kata ungkapan, norma atau aturan-aturan dari
fenomena yang diteliti, berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah
dan kualitatif mengenai analisis Politik Hukum Islam terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Sedangkan tekhnik pengumpulan data, penulis memperoleh data
menggunakan studi dokumentasi (studi pustaka). Instrumen pengumpulan data
ialah peneliti sendiri, suatu yang memang merupakan konsekuensi logis dari
metode kualitatif yang diterapkan. Adapun langkah-langkah pengumpulan data
melalui tekhnik dokumentasi tersebut adalah menelaah bahan-bahan pustaka, baik
yang bersifat bahan hukum primer, sekunder, yaitu dengan kepustakaan (library
research), yaitu melakukan pengumpulan data-data yang dibutuhkan dari buku-
buku, tulisan-tulisan dari berbagai sumber referensi, dan mengumpulkan, meneliti,
menelaah serta mengkaji data dan informasi dari berbagai media yang relevan dan
obyektif.
13
3. Sumber data
a. Bahan hukum primer, yaitu terdiri dari : Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 012/Puu-1/2003 dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
b. Bahan hukum sekunder, penulis mencari dan memperoleh data dalam
penyusunan skripsi ini yaitu dari literatur yang berasal dari buku-buku
Ketenagakerjaan seperti : buku Hukum Kerja dan Hukum Ketenagakerjaan
Bidang Hubungan Kerja oleh Asyhadie Zaeni, Dasar-dasar Hukum
Perburuhan oleh Asikin Zaenal, buku mengenai Politik Hukum seperti :
Buku Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional oleh
Artidjo Alkostar, buku Politik Hukum di Indonesia, oleh Mahfud MD,
buku Politik Hukum Indonesia, oleh Abdul Halim G. Nusantara, buku
Politik Pembangunan Hukum Nasional oleh Moh Busyro Muqoddas dkk.
Buku mengenai Politik Hukum Islam seperti : Politik Hukum Islam oleh
Abdul Wahab Khallaf, buku Perkembangan Hukum Islam di tengah
Kehidupan Sosial Politik di Indonesia oleh Warkum Sumitro. Selain itu
media cetak yang diambil dari internet (website), dan buku-buku
pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan obyek kajian dalam skripsi ini.
14
4. Tekhnik Analisis Data
Tekhnik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan
tekhnik conten analisis yaitu Penulis mencari dan melakukan analisis dari putusan
Mahkamah Konstitusi. Seluruh data akan diklasifikasikan dari bentuk yang
bersifat umum, kemudian dikaji dan diteliti, selanjutnya ditarik kesimpulan yang
mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan dari data tersebut dalam
Analisis Politik Hukum Islam. Dalam penemuan hukum ini menggunakan
penelitian hukum normatif dengan pendekatan komparatif yaitu dengan
membandingkan salah satu kebijakan dari sistem Politik Hukum Islam dengan
Politik Hukum di Indonesia.
5. Tekhnik Penulisan Skripsi
Tekhnik penulisan skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. Dalam
penulisan ini maka buku pedoman yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Tim Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi susunan ini
menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama merupakan “Pendahuluan” yang diuraikan dengan
enam sub-bab yaitu : A. Latar belakang masalah, B. Pembatasan dan rumusan
15
masalah, C. tujuan penelitian dan manfaat penelitian, D. Tinjauan Pustaka, E. metode
penelitian dan F. Sistematika penulisan.
Bab kedua berjudul “Politik Hukum Ketenagakerjaan”. Bab ini memaparkan
A. Pengertian Politik Hukum, B. Hubungan Hukum dan politik dan C. Kebijakan
Ketenagakerjaan di Indonesia.
Bab ketiga bertajuk “Ketenagakerjaan Dalam Sejarah Islam dan Undang-
undang No.13 Tahun 2003” yang terdiri dari: A. Ketenagakerjaan Dalam Sejarah
Islam, dan B. Ketenagakerjaan Dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003
Bab ke empat membahas tentang “Analisis Politik Hukum Islam Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (Putusan No.012/Puu-1/2003) yang terdiri dari: A. Proses Uji
Materi Undang-undang Ketenagakerjaan, B. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, C. Dampak Putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan dan D. Analisis
Politik Hukum Islam Terhadap Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasca Putusan Mahkamah konstitusi.
Bab ke lima ini merupakan Bab Penutup yang memuat A. Kesimpulan, yaitu
dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian, sebagai solusi yang terjadi diatas,
disamping itu dimuat pula B. Saran-saran, terkait tindak lanjut atas temuan penelitian.
16
16
BAB II
POLITIK HUKUM KETENAGAKERJAAN
A. Pengertian Politik Hukum
Politik hukum adalah “legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
Negara.” Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-
hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang
akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD
1945.12
Definisi yang dikemukakan oleh Moh. Mahfud yakni bahwa politik
hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan
atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara diposisikan sebagai alat
untuk mencapai tujuan Negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono
mengemukakan tentang “hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik
hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan
12
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) , h. 2.
17
oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai
cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang ada
yang bersifat periodik. Yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip
pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian
hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan
kolonial dengan hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara,
kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Disini terlihat bahwa
beberapa prinsip dimuat di dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik
hukum. Adapun yang bersifat priodik adalah politik hukum yang dibuat sesuai
dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada priode tertentu baik yang
akan memberlakukan maupun yang akan mencabut, misalnya, pada periode
1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi dalam
bidang-bidang hukum tertentu, pada periode 1983-1988 ada politik hukum
untuk membentuk peradilan Tata Usaha Negara, dan pada periode 2004-2009
ada lebih dari 250 rencana pembuatan Undang-undang yang dicantumkan di
dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas).
Berbagai definisi yang dikemukakan di atas mengantarkan
pemahaman bahwa politik hukum mencangkup legal policy (sebagai kebijakan
resmi negara) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan
dan hal-hal lain yang terkait dengan itu. Dengan demikian, politik hukum
mencangkup, sekurang-kurangnya, tiga hal : Pertama, kebijakan negara (garis
18
resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam
rangka mencapai tujuan negara; kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial,
budaya (poleksosbud) atas lahirnya produk hukum; ketiga, penegakan hukum di
dalam kenyataan lapangan.
Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.
Didalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut
dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan
Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu yang
didalamnya mencangkup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.
Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu
pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Satjipto
Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum
tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban.13
Politik hukum digunakan sebagai berlakunya aturan hukum,
menyebabkan adanya perkembangan pelaksanaan hukum yang dialami
sebagai pengatur tingkah laku bangsa Indonesia di dalam pergaulan hidup.14
13
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 5.
14 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2003), h. 9.
19
Teuku Mohammad Radhie, S.H menyatakan “Politik hukum adalah
pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya, dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan”.
Politik hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang
terdapat di negara kita, di satu pihak, dan di lain pihak, sebagai salah satu
anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula dari
realita dan politik hukum internasional. Dengan demikian faktor yang akan
menentukan politik hukum nasional itu tidak dengan apa yang dicita-citakan,
atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi
belaka, akan tetapi ikut ditentukan oleh perkembangan hukum di lain-lain
negara, serta perkembangan hukum internasional. Dengan lain perkataan ada
faktor di luar jangkauan bangsa kita yang ikut menentukan politik hukum masa
kini dan di masa yang akan datang.15
B. Hubungan Hukum dan Politik
Hukum adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang
mengatur kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses
untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan.16
Hukum adalah produk politik jika didasarkan pada das sein dengan
mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum
15
Artidjo Alkostar dkk, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional,
(Jakarta: Rajawali, 1986), h. 1.
16 Mochtar Kusumaatmadja, diakses pada 15 juni 2011 pada pukul 08.00 wib dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Mochtar_Kusumaatmadja
20
dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif
maka tak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik
sebab ia merupakan formalisasi atau legislasi dari kehendak-kehendak politik
yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui
dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.
Dalam konsep konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa
“hukum merupakan produk politik”. Siapa yang dapat membantah bahwa
hukum dalam arti undang-undang merupakan produk dari pergulatan politik?
Itulah sebabnya Von Kirchman mengatakan bahwa karena hukum merupakan
produk politik maka kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi
sampah yang tak berguna jika lagi lembaga legislatif menggetokkan palu
pencabutan atau pembatalannya. Jika politik diartikan sebagai kekuasaan
maka dari asumsi yang terakhir ini bisa lahir pernyataan seperti yang sering
dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa, “Politik dan hukum itu
interdeterminan,” sebab “Politik tanpa hukum itu zhalim, sedangkan hukum
tanpa politik itu lumpuh”.17
Sedangkan Politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya
17
Moh. Mahfud Md. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 5.
21
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik.18
Dalam pengertian yang sederhana, politik adalah upaya manajemen
konflik. Pengertian ini mengasumsikan bahwa konflik adalah selalu ada dalam
setiap hubungan sosial. Karena politik pada dasarnya mamuat unsur-unsur
nilai, kepentingan dan kekuasaan, maka hubungan politik juga memuat
konflik. Hasilnya yaitu suatu penyelesaian konflik antara lain, muncul sebagai
aturan main atau hukum. Unit politik yang dianggap paling ideal adalah
komunitas. Dalam politik ini warga saling merasa terikat bukan karena
kepentingan materiil. Tetapi lebih karena ikatan-ikatan yang lebih emosional,
karena unsur-unsur menonjol dalam suatu komunitas adalah kepatuhan
warganya pada hukum, maka pengembangan komunitas juga menjadi
pengembangan hukum.
Pembangunan politik, juga bisa diartikan sebagai, pertama, upaya
pembinaan wewenang atau kapasitas suatu sistem politik, kedua,
pengembangan partisipasi warga sistem itu, dan ketiga, pemantapan pembagian
kerja. Ketiga upaya ini merupakan ukuran kemajuan suatu masyarakat. Dan
dalam proses ini hukum berperan sangat penting, karena ada dasarnya wujud
konkrit pelembagaan itu adalah aturan main. Dalam pengertian yang pertama,
yaitu pembangunan politik sebagai pembinaan wewenang, pelembagaan
18
“Pengertian Politik” Diakses pada 15 Juni 2011 pada pukul 08.15 wib dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
22
dilakukan dalam kaitan dengan manajemen konflik demi penyelesaian konflik,
yang pasti muncul dalam proses pembangunan itu. (ideal hukum adalah
pertikaian tidak diselesaikan dengan uji kekuatan). Kemampuan menyelesaikan
konflik akan menetapkan wewenang pemerintah sehingga bisa melakukan
pekerjaannya.
Sebagai suatu cara penyelesaian konflik, hukum berfungsi sebagai
mekanisme pengendalian dan memberikan kerangka bagi tertib politik. Dalam
konsep kedua, yaitu pembangunan politik sebagai partisipasi, hak-hak rakyat
untuk ikut serta menentukan masa depannya juga memerlukan pelembagaan
efektif. Ciri khas demokrasi adalah gagasan government of laws, not ofmen.
Begitu juga dalam pengertian ketiga, pembagian kerja yang jelas antara unit-
unit dalam sistem politik harus terjamin. Dalam hal ini tugas hukum adalah
membuat proses bekerjanya pemerintahan menjadi tertib dan bisa diramalkan,
secara tekhnis konsisten satu sama lain, dan secara moral sah. Pelembagaan
itu terutama sekali sangat diperlukan dalam masyarakat yang sedang merubah
struktur sosial ekonominya demi kemajuan, karena sistem politik dalam
masyarakat seperti itu harus bisa mengendalikan dan memobilisasikan sumber
daya manusia dan materiil, disamping juga harus mengelola konflik yang
muncul akibat perubahan sosial ekonomi itu.19
19
M.Busyro Muqaddas dkk, Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta:UII
Press,1992), h.147.
23
Bahwa negara adalah benar sebuah sistem hukum dibenarkan oleh
fakta bahwa masalah-masalah yang biasanya digambarkan dari sudut teori
politik umum ternyata menjadi masalah-masalah dalam teori hukum, masalah
keabsahan dan penciptaan sistem hukum. Apa yang disebut elemen negara-
kekuasaan negara, wilayah negara, dan warga negara pada hakikatnya hanyalah
keabsahan sistem negara, bersama-sama dengan bidang keabsahan sistem
negara.20
Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan
politik atau tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik
yang mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga bagian jawaban yang
dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti
bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-
aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum merupakan hasil
kristalisasi dari kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan.
Ketiga, politik dan hukum yang sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada
posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain,
karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu
hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan
hukum.
20
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010) , h. 155.
24
Berdasarkan perspektif yang dipilih terlihat bahwa dalam hubungan
tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukum lah yang terpengaruh oleh
politik, karena subsistem politik yang memiliki konsentrasi. Energy yang lebih
besar dari pada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka
hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Sri soemantri pernah
menjabarkan hubungan antara hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan
lokomotif kereta api yang keluar dari rel nya. Jika hukum diibaratkan rel dan
politik diibaratkan lokomotif maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel
yang seharusnya dilalui. Prinsip yang menyatakan politik dan hukum harus
bekerja sama dan saling menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa
kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelalaian”. Hal
itu terjadi karena di dalam praktiknya hukum kerap kali menjadi cermin dari
kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang
memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan.21
Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan politik, hukum harus
membatasi kekuasaan politik, agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya
fungsi hukum dengan “menyuntikan’ kekuasaan pada hukum, yaitu dalam
wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah
satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum
21
Moh. Mahfud Md. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 21
25
ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik melalui alat-alat
politik lain seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Dalam hal ini, kita
harus berani mengakui bahwa pengadilan bukan sekedar alat-hukum, tetapi juga
alat politik. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum tadi dapat pula mengganjar
aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum. Harus di ingat, bahwa setelah
hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik tadi, hukum juga
menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya.22
Hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum
berubah jika konfigurasi politik yang melahirkannya berubah. Dalam sepanjang
sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik
secara bergantian (berdasarkan priode sistem politik) antara konfigurasi politik
yang demokratis dan konfigurasi politik yang yang otoriter. Sejalan dengan
perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga
berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-
produk hukum yang dihasilkannya berkarakter responsif, sebaliknya ketika
konfigurasi politik tampil secara otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya
berkarakter ortodoks. Hubungan kausalitas tersebut berlaku untuk hukum
publik yang berkaitan dengan tingkat sensitivitas berbeda-beda. Semakin kental
22
Di akses pada tanggal 16 Juni 2011 pada jam 11;50 wib dari
http://www.greasy.com/komparta/hubungan_antara_hukum_dan.html.%202008
26
muatan hukum dengan masalah hubungan kekuasaan, semakin kuat pula
pengaruh konfigurasi politik terhadap hukum tersebut.23
C. Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia
Wajah Tenaga Kerja Indonesia dari waktu ke waktu terus berada dalam
lingkaran kemuraman dan ketidakpastian, baik secara politik maupun hukum
dan selalu pada posisi yang paling menyedihkan sekaligus memilukan. Kasus
kekerasan yang menimpa tenaga kerja, terutama tenaga kerja wanita (TKW)
selalu menjadi catatan kelam bagi bangsa ini di mata dunia internasional.
Kasus-kasus kekerasan ini pun bersamaan dengan berbagai kasus pemutusan
hubungan kerja pada sektor-sektor industri maupun pengangguran. Yang tak
kalah prihatin, ternyata pengiriman tenaga kerja kebanyakan menjadi pembantu
rumah tangga di negara penerima, yang berarti, mutu tenaga kerja Indonesia
demikian rendah untuk berkompetisi dengan tenaga kerja negara lain pada
sektor-sektor yang menentukan.24
1. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada Masa Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, ketenagakerjaan Indonesia pada prinsipnya
dapat dibagi dalam dua priode, yaitu masa pemerintahan Soekarno dan
Soeharto. Apabila melihat sejarah pembentukan hukum perburuhan di
Indonesia dapat ditemukan banyak bukti nuansa perlindungan terhadap buruh.
23
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 373. 24 Di akses pada tanggal 18 juni 2011 pada pukul 10.00 wib dari
http://malutpost.comberitaindex2.phpoption=com_content&do_pdf=1&id=113
27
Pada masa pemerintahan Soekarno tidak banyak terdapat
kebijaksanaan tentang ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa
mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari
jajahan Hindia Belanda. Di bidang hukum ketenagakerjaan, pemerintah
membuat produk hukum sebagian besar dengan cara menerjemahkan
peraturan Hindia Belanda yang dianggap sesuai dengan alam kemerdekaan
atau dengan mengadakan perbaikan dan penyesuaian.
Meskipun demikian, produk hukum dimasa pemerintahan Soekarno
justru lebih menunjukan adanya penerapan teori hukum perundang-undangan
yang baik, yaitu hukum yang baik apabila berlaku sampai 40 atau 50 tahun
yang akan datang.25
Kemudian pada tahun 1948 dihasilkan dua Undang-undang yaitu
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang kerja dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang memuat banyak
aspek perlindungan terhadap buruh. Rangkaian Undang-undang perburuhan ini
menegaskan bahwa sistem hukum perburuhan yang ingin dibangun adalah
sistem hukum perburuhan yang melindungi terhadap buruh/pekerja, sebagai
pihak yang senantiasa akan berada pada posisi yang lemah dalam sebuah relasi
perburuhan yang karena terlalu proteksi. Dalam konteks inilah pemerintah
memainkan peran untuk menjamin perlindungan tersebut dengan cara aktif
28
terlibat dalam isu perburuhan. Melalui Undang-undang ini pemerintah
mengambil peran untuk menentukan batas dan lingkup dari pengerahan tenaga
kerja (labour Supply).26
Undang-undang No. 12 Tahun 1948 tentang kerja dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang memuat banyak
aspek perlindungan terhadap buruh. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948,
misalnya memuat larangan terhadap diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam
dalam seminggu, kewajiban pengusaha untuk menyediakan fasilitas perumahan
bagi buruh/pekerja, termasuk sebuah pasal yang melarang mempekerjakan anak
dibawah usia 14 tahun. Selain itu Undang-undang ini juga menjamin hak
perempuan buruh untuk mengambil cuti haid dua hari dalam sebulan, dan
pembatasan kerja malam bagi perempuan. Undang-undang Nomor 12 Tahun
1948 adalah Undang-undang Perburuhan yang paling maju di Asia Tenggara
dari segi perlindungan terhadap buruh. Ketentuan kerja 40 jam seminggu
misalnya, jauh lebih baik dibanding negara-negara tetangga dengan 44 hingga
48 jam seminggu. Demikian pula dengan ketentuan larangan buruh anak, yang
relatif belum dikenal pada waktu itu.
25
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
h. 22.
26 Surya Tjandra, Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum perburuhan (Jakarta: TURC,
2006) h. xv
29
Rangkaian Undang-undang perburuhan awal ini juga menegaskan
bahwa sistem hukum perburuhan yang ingin dibangun adalah sistem hukum
perburuhan yang melindungi (protektif) terhadap buruh/ pekerja, sebagai pihak
yang senantiasa akan berada pada posisi yang lemah dalam sebuah relasi
perburuhan yang karenanya perlu proteksi. Dalam konteks ini pemerintah
memainkan peran untuk menjamin perlidungan terebut dengan cara aktif
terlibat dengan isu perburuhan. Melalui Undang-undang ini pemerintah
mengambil peran untuk menentukan batas dan lingkup dari pengerahan tenaga
kerja ( labour supply). Ini antara lain melakukan dengan mendefinisikan kapan
orang dapat memasuki pasar kerja (usia lulus sekolah); kapan mereka
diharapkan berhenti bekerja (usia pensiun) serta dengan mengatur syarat-syarat
dimana kelompok masyarakat tertentu bekerja (misalnya: perempuan, orang
muda, buruh migran).27
Kemudian pada masa Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik,
politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan
nasional akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan
baik. Untuk mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi maka
ditetapkanlah repelita. Namun sejalan dengan berkembangnya waktu
pembangunan ekonomi, akhirnya tertuju pada tindakan penguasa yang
sewenang-wenang. Seperti pengerahan TKI keluar negeri pada masa
27
Lihat Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
30
pemerintahan Soekarno yaitu berdasarkan pada pasal 2 TAP MPRS
No.XXVIII/MPRS-RI/1966, yaitu segera dibentuk undang-undang
perburuhan mengenai penempatan kerja. Kemudian hukum yang mengatur
tentang tenaga kerja yaitu diatur dengan ketentuan Undang-undang No. 14
Tahun 1969 tentang Pokok-pokok Ketentuan Tenaga Kerja.
Selama masa Soeharto ketentuan ini tidak pernah di realisasi dan
dicabut sebagai kelanjutan pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1969 ditetapkan
tugas pemerintah untuk mengatur pembayaran tenaga kerja yang efektif dan
efisien. Kedudukan buruh semakin lemah dengan Hubungan Industrial
Pancasila, hak buruh hanya dapat mendirikan satu serikat pekerja, yaitu
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).28
2. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru pemerintahan Indonesia, sebagian di dorong
oleh masalah finansial pada awal krisi ekonomi, banyak ketidak stabilan di
Indonesia yang menurut Bank Dunia tidak menguntungkan bagi bisnis dan
investasi. Merespon ”peringatan” yang berkaitan dengan makin meningkatnya
ketidak stabilan perburuhan dengan mengajukan RUU ketenagakerjaan
kepada DPR yang kemudian menjadi Undang-undang No. 25 tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang baru ini mendapat protes dari
berbagai organisasi buruh dan LSM perburuhan sebagai sebuah undang-
28
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
h. 23
31
undang yang “anti buruh” dalam berbagai hal. Undang-undang tersebut telah
disahkan dengan berbagai masalah di dalamnya.
Di dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1997 mengatur tentang
ketenagakerjaan, yang keberadaannya menimbulkan perdebatan yang
berdasarkan UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1
Oktober 2002, Undang-undang Ketenagakerjaan, yang sudah banyak
menimbulkan kontroversi, karena dianggap telah tidak berpihak kepada
kepentingan buruh/pekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan
pemilik modal, Didalam Undang-undang ini di antaranya juga mengatur
tentang kebijakan seperti Serikat pekerja, Organisasi pengusaha, Lembaga
kerjasama Bipartite, Lembaga kerjasama Tripartite, Peraturan perusahaan,
Kesepakatan kerja bersama, Penyelesaian perselisihan industrial.
Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya cenderung menjadi
“legalisasi” dari Praktek-praktek Orde Baru yang merugikan buruh dalam
bentuk sebuah Undang-undang yang didiskusikan secara sembunyi-sembunyi
di hotel berbintang untuk menghindari aksi buruh yang menolak dengan
memanipulasi uang buruh dalam program Jamsostek. Dengan demikian jelas
bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan memang merupakan kelanjutan dari
hasil pesanan Bank Dunia yang mewakili kepentingan modal Internasional di
32
Indonesia yang melihat buruh/pekerja semata sebagai hambatan bagi investasi
dan pembangunan ekonomi.29
3. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada Masa Reformasi
Bahwa pada tanggal 25 februari 2003 DPR RI telah menyetujui RUU
Ketenagakerjaan yang diajukan oleh pemerintah RI menjadi Undang-undang
Ketenagakerjaan, dan selanjutnya di sahkan oleh pemerintah RI menjadi
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang
diundangkan pada tanggal 25 maret 2003, dalam lembaran negara Republik
Indonesia tahun 2003 No. 39 bahwa sejak awal mulai dari pembahasannya
hingga pengesahannya, Undang-undang ketenagakerjaan, yang awalnya
disebut RUU pembinaan dan perlindungan ketenagakerjaan (PPK), sudah
banyak menimbulkan kontroversi karena pertama-tama dianggap tidak
berpihak kepada kepentingan buruh/pekerja dan cenderung lebih mengadopsi
kepentingan pemilik modal, nasional dan terutama Internasional, serta tidak
cukup mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruh/pekerja
Indonesia.
Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mengatur tentang
ketenagakerjaan, tetapi sejak awal mulai pembahasannya hingga pengesahan,
Undang-undang Ketenagakerjaan, yang awalnya disebut RUU Pembinaan
29
Lihat Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
33
dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK), sudah banyak menimbulkan
kontroversi, karena pertama-tama dianggap tidak berpihak kepada
kepentingan buruh/pekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan
pemilik modal, nasional dan terutama internasional, serta tidak cukup
mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruh/pekerja Indonesia.
Didalam Undang-undang ini di antaranya juga mengatur tentang kebijakan
seperti Upah minimum, Outsourcing (kontrak kerja), mogok kerja,
pemutusan hubungan kerja.30
Meliputi hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.31
Bahwa sudah banyak penelitian yang menunjukan penekanan terhadap
efesiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi guna
mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah murah dan
berakibat kepada hilangnya keamanan kerja (job security) bagi buruh/ pekerja
Indonesia, karena sebagian besar buruh pekerja tidak akan lagi menjadi buruh/
pekerja tetap tetapi menjadi buruh/pekerja kontrak yang akan berlangsung
30
Lihat Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
34
seumur hidupnya. Hal ini lah yang dikatakan oleh sebagian kalangan sebagai
suatu bentuk ”perbudakan zaman modern” (modern formed of slavery atu
modern slavery). Status sebagai buruh/ pekerja kontrak ini pada kenyataannya
berarti juga hilangnya hak-hak dan tunjangan-tunjangan kerja maupun
jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
bisanya mempunyai status sebagai buruh/ pekerja tetap, yang demikian amat
potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja
Indonesia, dan karena buruh/ pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat
Indonesia, pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.32
Saat ini hukum Ketenagakerjaan mendasarkan pada ketentuan UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam lembaran negara No. 39
Tahun 2003 dan TLN No.4279 yang hanya mencangkup materi RUU
pembinaan dan perlindungan ketenagakerjaan (PPK), sedangkan RUU PPHI
di sahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Di dalam GBHN tahun 2004 angka tentang arah
kebijaksanaan ketenagakerjaan menegaskan bahwa pembangunan
ketenagakerjaan dilakukan dengan cara mengembangkan ketenagakerjaan
secara menyeluruh dan terpadu yang diarahkan pada peningkatan kompetensi
31
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta:PT. Raja Grafindo, 2007), h. 179.
32 Lihat Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
35
dan kemandirian tenaga kerja, peningkatan upah, jaminan kesejahteraan,
perlindungan kerja dan kebebasan berserikat.33
Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu sejak tahun
2004 hingga sekarang, tampaknya ada sedikit perubahan di bidang
ketenagakerjaan, ada pemangkasan dan berbagai upaya peningkatan
pelayanan dan kinerja baik pekerja maupun pegawai. Ada upaya
pemberatasan korupsi. Sayangnya tekad yang baik belum dapat diikuti oleh
sebagian besar penduduk Indonesia yang sudah terlanjur korup dan tidak
amanah di segala aspek kehidupan.34
33
Majalah hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional No.1 Tahun 2004 (Jakarta:
Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum), h. 173.
34 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
h. 27.
36
BAB III
KETENAGAKERJAAN MENURUT SEJARAH ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
A. KETENAGAKERJAAN DALAM SEJARAH ISLAM
Dalam Al-Qur‟an terdapat 360 ayat yang membicarakan tentang „bekerja‟
dan 190 ayat tentang ‟berbuat‟ yang meliputi hukum-hukum yang menyeluruh
tentang bekerja, berikut ketentuan dan tanggung jawab pekerja serta hukuman dan
ganjarannya. Sebagian ayat yang menganjurkan untuk melakukan pekerjaan yang
baik, memperoleh ganjaran dan ampunan dari Allah, sebagaimana ayat-ayat
lainnya yang menganjurkan untuk tetap berusaha dan berjuang dalam
mendapatkan rezeki.35
Manusia dalam bekerja dituntut keyakinan dan kesungguhannya.
Keyakinan dan kesungguhan sangat berguna dalam mencari langkah-langkah baru
yang tepat. Sehingga manusia akan berusaha mencari cara-cara mudah dan
efektif, apabila menjumpai suatu kesulitan. Inilah yang dimaksudkan Allah di
dalam QS. Alam Nasyrah 94 ayat 5-6 :
)6-5 :94/اال نشراح)
35
Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh Hak Dan Peran Pekerja Dalam Islam, (Jakarta: Al-
Huda, 2007), h. 9.
37
“ Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Qs. Alam Nasyrah/94 : 5
- 6)
Allah memberikan motivasi dengan ungkapan “faraghta” yang berarti,
apabila selesai dari suatu pekerjaan, maka terus melakukan usaha lainnya yang
lebih berat (fanshab). Dengan kata lain, apabila tengah menyelesaikan suatu
pekerjaan sampai letih, maka hadirkanlah persoalan baru sehingga menjadi
relaks. Dengan demikian, tidak ada istilahnya “menganggur” dan “tidak bekerja”
selagi masih ada waktu.36
Kemudian terdapat hadist pula dalam setiap putusan hakim, putusan yang
menetapkan suatu hukum itu benar maupun salah tetapi hakim tersebut tetap
akan mendapatkan pahala yaitu :
“Dari Amru bin Ash R.A, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda “
Apabila seorang hakim berijtihad (berupaya memutuskan hukum), kemudian
dia benar, maka hakim tersebut akan mendapat dua pahala. Apabila ia
berijtihad dalam menetapkan suatu hukum (perkara), tetapi ia salah maka ia
akan mendapat pahala” (HR. Muslim).
36
Fahmi Idris,direktor: Nurcholis majid,firdaus effendi,sudiki imawan, khamami zada, Nilai
Dan Makna Kerja Dalam Islam, (Jakarta:Ansa Madani, 1999), h. 152.
38
Maka dalam hadist ini bersangkutan dengan putusan Mahkamah Konstitusi
yang menetapkan suatu hukum dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003.37
Produktifitas kerja suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh produktivitas
kerja karyawannya. Atau dapat dikatakan bahwa produktivitas adalah
perbandingan antara hasil dari suatu pekerjaan karyawan dengan pengorbanan
yang telah dikeluarkan. Atau juga bisa dikatakan, poduktivitas kerja karyawan
akan bisa dicapai melalui motivasi yang kuat ditopang dengan budaya
kedisiplinan kerja yang tinggi. Sebagai seorang muslim yang meyakini
keniscayaan balasan hari akhir, maka produktivias kerja bisa ditumbuhkan
dengan membangun keyakinan yang benar, baik menyangkut hasil maupun cara.
Allah berfirman QS. At-taubah 9 ayat 105 yaitu:
(105: 9/التو بة)
“dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(Qs. At
taubah 9 : 105)
Rasulullah saw bersabda “bukan golongan kami, mereka yang
meninggalkan dunianya untuk akhiratnya, dan meninggalkan akhiratnya untuk
37
Imron Rosadi, pengarang: Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim,
(Jakarta: Pustaka Azzam, Al-Maktab al_Islami, Beirut, 2003), h. 749
39
dunianya”. Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw mendorong umatnya meraih
dunia dan akhirat sekaligus. Dalam sabdanya “Bekerjalah untuk duniamu seolah-
olah engkau hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah
engkau akan mati esok hari” 38
Sesungguhnya bekerja itu merupakan jalan hidup para nabi dan
pembaharu. Imam Shadiq meriwayatkan dari kakeknya Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib, yang berkata, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepada Daud As,
wahai Daud, sesungguhnya engkau adalah sebaik-baiknya hamba, seandainya
engkau tidak makan dari baitul mal dan mengerjakan sesuatu dengan tanganmu!
Daud menangis selama 40 hari. Maka Allah mewahyukan kepada besi, jadilah
lembut untuk hambaku Daud! Besi itu pun menjadi lembut untuk Daud sehingga
Daud as dapat menjadi pandai besi setiap hari. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai hamba dan nabinya, Daud menjadi seorang penganggur dan makan
dari baitul mal tanpa bekerja keras, tetapi Allah menyukai Daud untuk makan
dari jerih payahnya sendiri. Karena itulah Allah melembutkan besi bagi Daud
agar dapat bekerja sebagai pandai besi dan makan dari hasil kerjanya. Sebelum
Muhammad saw, diutus menjadi nabi, dia bekerja mengembala kambing dan
memperdagangkan barang-barang Khadijah. Setelah diutus sebagai nabi pun
beliau bekerja bersama para sahabatnya serta ikut merasakan keletihan mereka
dan membantu pekerjaan mereka. Karena beliau tidak merasa lebih unggul dan
38
Muchlis M.Hanafi, Kerja dan Ketenagakerjaan Tafsir Qur‟an Tematik. ( Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h.150.
40
istimewa di banding mereka. Buktinya, beliau bekerja bersama mereka dalam
membangun masjidnya yang agung, sedangkan kaum Anshar membantu beliau
sambil bersenandung: Sungguh bila kami hanya duduk dan Nabi bekerja, Maka
apa yang kami lakukan itu tidak benar.39
Bekerja merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah, karena
dengan bekerja, seseorang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk diri
sendiri dan keluarganya dan tidak membutuhkan manusia. Sesungguhnya Islam
menghendaki kemakmuran bagi kaum muslimin dan itu tidak dapat tercapai
kecuali dengan bekerja dan tidak membutuhkan bantuan manusia. Para imam
Ahlulbait berusaha mendorong kaum muslimin untuk bekerja. Untuk itu, mereka
pun bekerja dengan tangan mereka sendiri demi memberi keteladanan pada kaum
muslimin. Imam Ja‟far Shadiq yang merupakan pemimpin kebangkitan
intelektualisme di dunia Islam, juga bekerja di kebunnya. Ini sebagaimana
diriwayatkan Abu Umar asy-Syaibani yang berkata, “Aku melihat Abu Abdillah
dan pacul ditangannya. Beliau mengenakan sarung kasar dan pada saat itu
keringatnya bercucuran. Maka aku berkata kepadanya, „Biarlah aku yang
mengerjakannya!” Namun Imam menjawab, „Sungguh aku ingin kakiku ini
merasakan kepedihan terik matahari dalam mencari rezeki‟.
Tujuan bekerja dalam Islam adalah untuk memberi pelajaran yang
berharga kepada kaum muslimin tentang Islam, bahwa Islam itu menyuruh
39
Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh Hak Dan Peran Pekerja Dalam Islam, h. 10
41
bekerja dan melarang bersikap malas dan lemah. Juga bahwa seseorang,
walaupun posisinya agung dan kedudukannya tinggi, tetap diperintahkan untuk
bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya tanpa perlu
bantuan manusia.40
Setelah Islam mulai berkembang pesat, maka negara makin banyak
membutuhkan pekerja untuk bekerja dalam memajukan Islam seperti dalam
bidang sekretaris negara, kementrian, kepolisian, kemiliteran dan sebagainya,
yang diupah melalui kas negara yang sering disebut dengan baitul mal. Dan
terdapat pula tenaga kerja yang bekerja dalam jalur perdagangan dengan bekerja
dari orang lain seperti usaha dengan modal sendiri dan bekerja sebagai pegawai
orang lain (karyawan).
Dahulu gelar kepolisian (syurthah) merupakan profesi yang baik, polisi
dimutlakkan kepada kelompok pilihan dari pasukan, kemudian dipergunakan
dalam makna ajudan amir yang menjaga keamanan dan berjaga malam. As-
Suyuthi beranggapan bahwa orang yang menetapkan sistem kepolisian ini di
dalam Islam adalah Amr bin Ash ketika menjadi Gubernur Mesir. Sedangkan
yang lainnya mengatakan bahwa orang yang pertama menggunakan syurthah ini
adalah muawiyah. Tentang etika kepolisian dan tugasnya, maka sebagian ulama
mengatakan, “Adapun petugas kepolisian maka dia adalah orang yang aris,
berwibawa, banyak berfikir, dan jauh dari agretifitas. Harus keras terhadap ahli
keraguan dalam tindakan rekayasa, sangat tanggap, bersih, mengetahui tingkatan
40
Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh Hak Dan Peran Pekerja Dalam Islam, h. 109
42
dan hukuman, dan tidak tergesa-gesa. Wajib menegakan hukum had sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur‟an dan mengamalkannya. Harus mencegah orang yang
dizhalimi untuk melakukan balasan sendiri.41
Selanjutnya militer atau menjadi tentara merupakan profesi paling mulia
dalam pandangan Islam dan tidak ada satu profesipun yang lebih mulia dari ini.
Tugas kemiliteran dan juga kepala negara, seperti membentuk pasukan-pasukan
khusus atau sariyah, mengangkat komandan pasukan, mengatur jadwal operasi-
operasi militer dan bahkan terjun langsung memimpin pertempuran-pertempuran
besar. Islam mengharuskan semua muslim menjadi tentara atau terlibat didalam
dunia kemiliteran untuk menguasai ilmu persenjataan yang sesuai dengan
tuntutan zaman termasuk cara-cara menggunakannya dengan sebaik-baiknya
melalui pendidikan dan latihan sehingga mereka benar-benar menjadi tentara
yang professional. Dan Islam melarang keras bagi siapa saja yang telah memiliki
dan menguasai kemampuan tersebut kemudian menyia-nyiakannya.42
Angkatan bersenjata atau militer merupakan lambang kedaulatan negara
dan penahanan utama bagi kemungkinan serangan negara, baik dari luar maupun
dari dalam. Sejak 15 abad lalu Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin
untuk membangun kekuatan militer sebagai persiapan menghadapi musuh, dari
luar maupun dari dalam. Al- Ustadz Sayyid Qutb menyatakan bahwa Islam harus
41
Amir Aliyah, Sistem Pemerintahan Islam & Adat Dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h.
72. 42
Debby M. Nasution, Kedudukan Militer Dalam Islam dan peranannya pada masa
Rasulullah saw, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yoga, 2003), h.46.
43
memiliki kekuatan militer yang mendampinginya dipermukaan bumi untuk
membebaskan semua manusia, maka tugas pertama kekuatan militer ini di
lapangan dakwah ialah menghilangkan semua rintangan dan kezaliman yang
menghalangi kebebasan manusia untuk memilih aqidah‟ Islam atau tetap kepada
keyakinan semula dan kemudian melindungi setiap individu yang telah
memilihnya. Selain itu tugas militer adalah menghancurkan semua kekuatan lain
di muka bumi yang menempatkan dirinya sebagai Tuhan, menindas manusia
serta tidak mau mengakui tuhan Allah satu-satunya tuhan.
Kesekretariatan (al-makatib) adalah profesi yang baik di dalam
kelembagaan negara, bahkan tampak pula bahwa aspek kemashlahatan (al-
mahlahah) dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam pembentukan lembaga
kesekretariatan. Dalam rangka untuk kepentingan tertib administrasi sekretariat
negara dipimpin oleh sekretaris yang bertugas mengurus dan melaksanakan
administrasi negara secara baik dan rapi untuk mewujudkan efektifitas dan
efesiensi pemerintahan. Umar bin Khattab dianggap selaku perintis awal
pembentukan lembaga ini, yang di dalamnya dilakukan penyempurnaan-
penyempurnaan seperti yang dilakukan pada masa dinasti Umayah. Al-katib
terdiri dari sekretaris negara (al-katib al-rasail), sekretaris pendapatan negara (al-
katib al-kharaj), sekretaris militer (katib al-jund), sekretaris kepolisian (katib al-
syurthat), dan panitera (katib al-qadha). Katib al-rasail dianggap paling penting
posisinya, Karena itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan pandai serta dari
keluarga kerajaan. Rakyat terdiri atas beberapa golongan dan tingkatan, masing-
44
masing saling melengkapi dan memerlukan sehingga mereka yang bekerja
sebagai sekretaris maupun di pemerintahan digaji dari uang kas negara.
Diantaranya tentara pejuang dijalan Allah adalah para juru tulis, para
penegak hukum, para pekerja, para pertugas jizyah dan kharaj, para pedagang,
tukang dan karyawan. Mereka juga yang berada ditingkat terbawah, yang sangat
membutuhkan bantuan dan tidak cukup penghasilannya. Semua mereka itu telah
dirinci dan ditetapkan oleh Allah SWT bagiannya masing-masing. Pada
hakikatnya setiap manusia memang harus bekerja untuk mencukupi kehidupan
sehari-hari. Seorang wali negeri tidak akan mampu melaksanakan semua
kewajibannya kecuali dengan mencurahkan perhatian yang besar dan memohon
bantuan Allah SWT dan harus menguatkan tekad untuk mempertahankan
kebenaran dan bersikap sabar dalam segala hal yang ringan baginya maupun
yang berat.43
Juru tulis adalah seorang penulis yang berkepribadiannya mencangkup
sebanyak mungkin akhlak luhur. Yaitu yang tidak berpengaruh mengenai
kedudukan penting dalam pekerjaan. Tugasnya adalah sebagai seseorang yang
memegang amanat yang merupakan bukti ketulusan pada tuannya, yang
melaporkan apapun dan mengirimi jawaban yang tepat pada tuannya serta
menjadi sekretaris pribadi.
43
Ridwan H.R, Fiqh Politik Gagasan, Harapan Dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII
PRESS, 2007), h. 317.
45
Pedagang atau tukang adalah orang yang berusaha bekerja ditempat atau
yang berpindah-pindah dengan hartanya ataupun berpenghasilan dengan
tenaganya, dan mereka bersedia menyediakan bahan-bahan kebutuhan
masyarakat dan barang-barang kebutuhan sehari-hari sehingga rela membawa
dari tempat yang jauh dan pusat didarat, dilaut, di kota, dan di pegunungan, yang
kebanyakan rakyat tidak dapat mencapainya ataupun pergi kesana. Mereka juga
orang-orang yang mencintai kedamaian.
Mengenai unsur pekerjaan unsur-unsur pekerjaan di dalam
Ketenagakerjaan, terutama yang berhubungan yaitu pemberi kerja, pekerja,
perjanjian kerja (kontrak kerja), masa kerja, dan upah kerja. Unsur pemberi
kerja yaitu orang yang mempekerjakan orang lain dan memperhatikan hak-hak
pekerja. Unsur pekerja yaitu orang yang menjalankan tugas/pekerjaan yang
diberikan oleh pemberi kerja. Unsur Perjanjian Kerja yaitu antara kedua belah
pihak mengadakan kesepakatan dan pemahaman untuk mengikat para pihak
dalam menjalankan hak dan kewajibannya sehingga tidak ada yang lalai atau
wanprestasi. Perjanjian dikenal dengan istilah al-„aqad sebagai pertalian antara
ijab dan Kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih yang
mewujudkan akibat-akibat hukum. Unsur Masa Kerja yaitu waktu tertentu yang
46
digunakan dalam melaksanakan tugas tertentu sebagaimana disepakati kedua
belah pihak.44
B. KETENAGAKERJAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri
tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan
merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga
terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan
pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi
yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu
tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah
masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah,
dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan
komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia,
44
Muchlis M.Hanafi, Kerja dan Ketenagakerjaan Tafsir Qur‟an Tematik. ( Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h.157.
47
peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya
perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan
pembinaan hubungan industrial.45
Hukum ketenagakerjaan dahulu disebut dengan hukum perburuhan.
Pemakaian istilah tenaga kerja, pekerja, dan buruh pada dasarnya harus
dibedakan, berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UU No.13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan yaitu segala hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Menurut Undang-
undang ini Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang/jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003,
pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Di dalam isi Undang-undang ini di antaranya
mengenai hubungan kerja, hubungan Industrial, Serikat pekerja, upah tenaga
kerja, jaminan sosial tenaga kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) dan
perselisihan Hubungan Kerja. Isi yang terkandung di dalam UU
Ketenagakerjaan hanya mencangkup ketentuan yang mengatur hubungan
kerja yang dilakukan oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan buruh,
pekerja atau penerima kerja, serta hal-hal lainnya yang berkaitan. Dan belum
45
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan
48
sama sekali mengatur tentang hubungan kepegawaian, pekerja yang informal,
dan pengangguran. Berdasarkan pasal 3 Undang-undang No. 13 Tahun 2003
pembangunan ketenagakerjaan di selenggarakan atas asas keterpaduan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, sehingga bertujuan
untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga
kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah,
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan, meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Berdasarkan pasal 1 angka 14 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Berdasarkan pasal 1 angka 30 Undang-undang No. 13 Tahun 2003,
kemudian Upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau
akan dilakukan. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 14 Undang-undang No.
13 Tahun 2003, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak,
49
dan kewajiban para pihak. Pengertian hubungan industrial berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 16 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yaitu suatu
sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang atau jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja dan pemerintah
yang didasarkan pada nilai pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun bentuk kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh diatur dalam ketentuan pasal 88 ayat 3 Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 mengenai upah minimum, kemudian pasal 99
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 setiap pekerja berhak untuk memperoleh
Jaminan Sosial tenaga kerja dan pelaksanaannya diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 terdapat
pemutusan hubungan kerja (PHK) berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (25)
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja buruh dan pengusaha. Selain itu Undang-undang No. 13 Tahun
2003 mengenal bentuk penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain. Kegiatan ini sering disebut outsourching, yaitu pendelegasian operasi
dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan
penyedia jasa outsourcing).46
46
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 53.
50
BAB IV
ANALISIS POLITIK HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN (Putusan No. 012/Puu-1/2003)
A. Proses Putusan Uji Materi Undang-undang Ketenagakerjaan
Pada tanggal 18 Juni 2003 pemohon mengajukan permohonan untuk
pengujian Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterima di
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 15 Oktober
2003 dengan Registrasi Perkara Nomor 012/PUU-I/2003. Permohonan tersebut
telah diperbaiki dan diterima di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia pada tanggal 21 November 2003.
Proses Putusan Uji Materi Undang-undang Ketenagakerjaan ini diantaranya
yaitu:
1. Pemohon
Permohonan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diajukan oleh
berbagai organisasi serikat buruh di Indonesia, berikut daftar pemohon :
NO NAMA JABATAN & ORGANISASI
1. Saepul Tavip Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK)
Indonesia
2. Hikayat Atika Karwa Ketua Umum Federasi SP Logam,
51
Elektronik, dan mesin SPSI
3. Ilhamsyah Sekjen Front Nasional Perjuangan Buruh
Indonesia (FNPBI)
4. Soeparman SHR Sekjen Federasi Serikat Pekerja Nasional
5. Djufnie a.
Ketua Umum Federasi SP Farmasi
Kesehatan Reformasi
6. Sjaiful. Dp Ketua Umum Federasi SP Kimia, Energi,
dan Pertambangan
7. Rustam. A Presiden Kongres Serikat Pekerja
Indonesia
8. Nurkhasanah Munaf Ketua Federasi Serikat Buruh Indonesia
Perjuangan
9. Stiyono Ketua Umum Serikat Buruh Jabodetabek
(SBJ)
10. Moh. Jumhur Hidayat Ketua Umum GASPERMINDO
11. Sumarno Ketua DPP Garmen dan Tekstil SBSI
(Garteks-SBSI)
12. Bambang Priyanto Sekjen DPN Serikat Pekerja Industri Semen
Indonesia (SPISI)
13. Teguh Susilo Sekjen DPP Serikat Buruh Transportasi
Perjuangan Indonesia
14. Eddy Suprapto Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta
15. Rudi Hb. Dzaman Sekjen. Gabungan Serikat Buruh Indonesia
16. Aly Akbar Sekjen DPP SP Percetakan, Pers, dan
Media (PPMI)
17. W.D.F. Rindorindo Ketua Pengurusan Besar Persatuan Guru
Republik Indonesia
18. Sunarno Ketua Serikat Buruh Nusantara (SBN)
19. Sofyan
Sekjen Federasi SP Pariwisata Reformasi
20. Sulistri
Koordinator Forum Pemimpin dan Aktivis
Perempuan
21. Mohammad Irfan
Sekjen Serikat Buruh Maritim dan Nelayan
Indonesia
52
22. Nuryono Sekjen Serikat Buruh Perjuangan
23. Anwar Maruf
Sekjen Federasi Serikat Buruh Karya
Utama
24. Edi Hudyanto
Sekum Federasi Serikat Pekerja Mandiri
(FSPM)
25. Idin Rosidin Sekjen Federasi Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia
26. Nikasi Ginting Sekjen Federasi Serikat Buruh
Pertambangan dan Energi SBSI
27. Andi w. Sinaga
Sekjen Federasi Serikat Buruh Transportasi
dan Angkutan
28. Steven Iwanggin Sekjen Federasi Pelaut dan Nelayan
29. Uly Nursia
Sekjen Federasi Niaga Keuangan dan
Perbankan SBSI
30. Trisna Miharja
Sekjen Federasi Serikat Buruh Makanan
Minuman Pariwisata
31. Mathias Mehan
Sekjen Federasi Serikat Buruh Kehutanan
Perkayuan
32. Edward P.M
Ketua FSB Logam Mesin dan Elektronik
33. Harris Manalu Ketua FSB Konstruksi Umum dan Informal
34. S. Simarmala Sekjen Federasi Serikat Buruh Pendidikan
da Pelatihan
35. Ari Djoko S.
Ketua Federasi Serikat Buruh Garmen
Tekstil Kulit
36. Dingin
Sekjen Federasi Serikat Buruh Kimia dan
Kesehatan
37. Sofiati Mukadi
Ketua Umum Federasi Serikat kahutindo
53
Kuasa Hukum nya yaitu: Surya Tjandra, SH. LLM: Rita Olivia Tambunan,
SH. LLM: Asfinawati, SH. B. Lucky Rossintha, SH. Pengacara Publik Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
2. Materi Permohonan
Para pemohon pada dasarnya di dalam permohonan uji materi Undang-
undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengemukakan sebagai
berikut:
Pertama, “Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
melanggar Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”,
yang dimuat di dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional untuk
“memajukan kesejahteraan umum” berdasarkan Pancasila, untuk terciptanya
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Negara, selaku pihak yang yang
merancang semua sejak awal, dan harus terlibat serta bertanggung jawab
terhadap perburuhan dan menjamin agar mereka dapat terlindungi hak-haknya
dalam bingkai konstitusi.
Kedua, Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
melanggar pasal 27 ayat 2 UUD 1945 mengenai “pekerjaan” dan penghidupan
yang layak”, yang terkait amat erat dengan pasal 28 mengenai hak untuk
berorganisasi dan berkumpul. Keduanya termuat di dalam Bab X UUD 1945
mengenai “Warga negara dan Penduduk” . Keduanya sekaligus menjadi jaminan
konstitusional bagi warga negara umumnya dan buruh khususnya, untuk
54
mendapatkan hak konstitusional “penghidupan yang layak” yang dapat
diperolehnya dari “pekerjaan”, dan kebebasan untuk berorganisasi guna
menaikkan posisi tawarannya. Namun demikian, apabila melihat sejarah
Pembentukan hukum perburuhan di Indonesia dapat ditemukan banyak bukti
nuansa perlindungan (proteksi) terhadap buruh.
Ketiga, Tahun 1948, tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan dihasilkan
dua Undang-undang lain yaitu Undang-undang No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja
dan Undang-undang Nomor 23 tahun 1948 tentang pengawasan Perburuhan,
yang memuat banyak aspek perlindungan terhadap buruh. Undang-undang
tentang Pengawasan Perburuhan ini menegaskan pula bahwa sistem hukum
perburuhan yang ingin dibangun adalah sistem hukum perburuhan yang
melindungi (protektif) terhadap buruh/pekerja, sebagai pihak yang senantiasa
akan berada pada posisi yang lemah dalam sebuah relasi perburuhan yang
karenanya perlu proteksi. Dalam konteks inilah pemerintah memainkan peran
untuk menjamin perlindungan tersebut dengan secara aktif terlibat dalam isu
perburuhan.
Keempat, Melalui Undang-undang pemerintah mengambil peran untuk
menentukan batas dan lingkup dari pengerahan tenaga kerja (Labour Supply).
Antara lain dilakukan dengan mendefinisikan kapan seseorang dapat memasuki
pasar kerja (usia lulus sekolah), kapan mereka diharapkan berhenti bekerja (Usia
pensiun) serta dengan mengatur syarat-syarat di mana kelompok masyarakat
55
tertentu bekerja. Kebijakan legislasi yang protektif seperti ini terus berlangsung
hingga disahkannya Undang-undang Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas akan
menghapuskan nuansa protektif dalam hukum perburuhan Indonesia, dan
karenanya menjadikan Undang-undang tersebut bertentangan dengan amanat
UUD 1945.
Argumen hukum untuk mendukung fakta-fakta dengan adanya pelanggaran
hak konstitusional dalam Undang-undang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945
yaitu :
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah disusun
dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedur penyusunan dan pembuatan
sebuah Undang-undang yang patut. Undang-undang Ketenagakerjaan telah
dibuat tanpa mengikuti prosedur dan tata cara penyusunan sebuah Undang-
undang yang layak. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fakta antara lain: (a) Tidak
adanya “naskah akademis” yang memberi dasar pertimbangan ilmiah perlunya
Undang-undang. Secara prosedur pembuatan Undang-undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak layak, dan menjadikan Undang-Undang tersebut
telah cacat secara hukum. (b) Penyusunan Undang-undang Ketenagakerjaan
diwarnai kebohongan publik oleh DPR. Undang-undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, sebagai satu dari “Paket 3 UU Perburuhan”, dibuat
semata-mata karena tekanan kepentingan modal asing dari pada kebutuhan nyata
buruh/pekerja Indonesia.
56
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (2), pasal 28
dan pasal 33, dan secara substansial lebih buruk dari Undang-undang yang
dihapusnya. (a) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Bertentangan dengan pasal 27 ayat (2) UUD 1945. “Mendasari Undang-undang
Perburuhan yang disusun kemudian, pada intinya mempersulit tindakan PHK
oleh pihak majikan dengan keharusan meminta “izin” untuk PHK terlebih dahulu
kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Inilah yang ingin dihapuskan oleh Undang-undang Ketenagakerjaan.” (b)
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bertentangan
dengan Pasal 28 UUD 1945 “Setiap warga negara mempunyai hak asasi untuk
secara bebas berorganisasi termasuk mendirikan serikat dan organisasi dan
menjalankan aktivitas organisasi lainnya tanpa ada tekanan dalam bentuk
apapun.” (c) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) mengatakan
“perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan”. Akan tetapi Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan akan terjadi dilegalkannya sistem kerja “pemborongan
pekerjaan” (outsourcing) sebagaimana diatur dalam Pasal 64-66, yang akan
menjadikan buruh/pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal.
57
Pada beberapa pasal Undang-undang Ketenagakerjaan memasung hak-hak
fundamental buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat pekerja, terdapat dalam
beberapa ketentuan dalam pasal-pasalnya sebagaimana diuraikan berikut ini:
a. Pasal 119 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa untuk melakukan perundingan
PKB, serikat buruh harus dapat membuktikan bahwa serikat buruh
tersebut memiliki jumlah anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh
buruh/pekerja di Perusahaan yang bersangkutan. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap pasal 28 UUD 1945.
b. Pasal 120 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa apabila dalam satu perusahaan
terdapat lebih dari satu serikat buruh/pekerja, maka yang berhak
mewakili buruh/pekerja dalam melakukan perundingan PKB adalah
memiliki anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh buruh/pekerja di
perusahaan.
c. Pasal 121 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menentukan bahwa keanggotaan serikat buruh
pekerja harus dibuktikan dengan kartu tanda anggota. Sedangkan
dalam pasal 28 UUD 1945 tidak lah mewajibkan adanya kartu tanda
anggota.
58
d. Pasal 106 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang mempekerjakan
50 orang buruh/pekerja atau lebih untuk membentuk “Lembaga Kerja
Sama Bipartit”. Dan demikian pasal ini jelas-jelas bertentangan
dengan pasal 28 UUD 1945 karena pembentukan Lembaga Kerja
Sama Bipartit yang keberadaannya ditentukan sebagai sebuah
kewajiban.
Ada beberapa pasal telah bersifat diskriminatif secara hukum, sebagaimana
terlihat dalam beberapa pasal yaitu : (a) Pasal 158 ayat (1) berisi perbuatan-
perbuatan yang karenanya buruh dapat diputuskan hubungan kerjanya
karena telah melakukan kesalahan berat. (b) Pasal 158 ayat (2) mensyaratkan
bukti untuk menuduh telah terjadi kesalahan berat yaitu: tertangkap tangan,
pengakuan buruh yang bersangkutan, laporan kejadian yang dimuat dipihak
yang berwenang di perusahaan dan didukung oleh minimal 2 saksi. (c) Pasal
170 menegaskan kembali bahwa PHK yang disebabkan kesalahan berat. (d)
Pasal 159 buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial” sehingga telah mencampuradukan
wewenang peradilan pidana ke perdata.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara
substansial juga bertentangan dengan standar perburuhan internasional
(Konvensi dan rekomendasi ILO). Terlihat di dalam beberapa hal yaitu: (a)
Pengaturan tentang mogok kerja dalam pasal 137–pasal 145 UU
59
Ketenagakerjaan bertentangan dengan Konvensi ILO tentang hak-hak
fundamental buruh yang berkenaan dengan hak asasi atas kebebasan
berserikat dan berorganisasi. Pasal 137 Undang-undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengenai Mogok Kerja membatasi alasan mogok
hanya sebagai akibat “gagalnya suatu perundingan”. Pasal 138 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan mengenai pembatasan hak pekerja atau serikat buruh untuk
mengajak rekannya melakukan mogok kerja ( picketing).
Pasal 186 Undang-undang Ketenagakerjaan yang mengatur soal sanksi
menetapkan sanksi pidanan kejahatan terhadap pelanggaran pasal 138 ayat
(1). Pasal 140 – 141 UU Ketenagakerjaan juga melanggar standar perburuhan
internasional ILO karena pasal-pasal tersebut menetapkan tahapan prosedur
administratif dan birokratis yang harus dilalui oleh buruh/pekerja. (b)
Pengaturan tentang jam kerja bagi buruh perempuan dalam pasal 76 Undang-
undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan konvensi internasional ILO No.
111 tentang larangan Diskriminasi di tempat kerja.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari segi
sistematika dan prosedural sebuah produk perundang-undangan rancu di
antara pasal-pasalnya serta banyak memberikan “cek kosong” kepada
pemerintah. Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari
segi sistematika penyusunannya cenderung dibuat dengan banyak saling
bertolak belakang di antara pasal-pasalnya satu sama lain sehingga cenderung
menjadi rancu, yaitu pada pasal :
60
a. Pasal 1 angka 3 dengan Pasal 1 angka 15 dan dengan Pasal 50
b. Pasal 1 angka 26 dengan pasal 66-69
c. Pasal 1 angka 23 dengan Pasal 137
d. Pasal 74 ayat (2) a, b dan c dengan Pasal 52 ayat (1) d
e. Pasal 1 angka 26 jo. Pasal 68 jo Pasal 69 ayat (2) d dengan 76 ayat (1)
f. Pasal 1 angka 18 dengan Pasal 106 ayat (3)
g. Pasal 102 ayat (2) dengan Pasal 106 mengatur tentang lembaga kerja sama
bipartit.
h. Pasal 106 ayat (3) dengan Pasal 110 ayat (3)
i. Pasal 1 angka 20 dengan Pasal 108 ayat (2) dengan Pasal 1 angka 21
j. Pasal 108 ayat (2) dengan Pasal 110 ayat (2) dan Pasal 116.
Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang
diundangkan tanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft UU Ketenagakerjaan
yang disahkan oleh sidang umum DPR RI pada tanggal 25 Februari 2003.
Adapun perubahan redaksi Undang-undang Ketenagakerjaan yang disahkan
DPR dan pemerintah, tanpa melalui proses pengesahan oleh sidang umum DPR
RI adalah jelas-jelas menyalahi aturan tata cara pembuatan Undang-undang
mengingat Undang-undang harus dibuat berdasarkan atas dan melalui
kesepakatan antara pihak exekutif dan legislatif.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebut oleh pemohon di atas, maka para
pemohon Uji materi Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
61
Ketenagakerjaan memohon kepada ketua Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia untuk memeriksa dan memutus permohonan hak uji Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu Mahkamah Konstitusi
menerima dan mengabulkan seluruh permohonan hak uji ini, Mahkamah
Konstitusi menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tidak berlaku umum,
Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Saksi Ahli
1. Prof. Dr Aloysius Uwiyono, yaitu seorang ahli hukum perburuhan dan
guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dia memberikan
keterangan di bawah sumpah sesuai dengan keahliannya di Mahkamah
Kontitusi, pada pokoknya Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan secara historis merupakan kelanjutan dari Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 yang sempat di undangkan pada tahun 1997 tetapi
tidak pernah efektif karena ditolak oleh masyarakat perburuhan. Salah satu
62
substansi yang tidak berubah adalah ketentuan yang menyangkut
outsourcing, baik di dalam Undang-undang No. 25 tahun 1997 maupun
Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Salah satu pasal yang jelas
inkonsisten adalah pasal 1 ayat (15) yang menyatakan : hubungan kerja
adalah hubungan hukum yang timbul antara pekerja dan pengusaha
berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki ciri-ciri adanya upah, perintah
dan pekerjaan. Keberatan dari kalangan buruh dan akademisi pada waktu
itu, pada dasarnya adalah bahwa Undang-undang No. 25 tahun 1997
meliberalisasi hubungan kerja, karena pelaksanaannya diserahkan kepada
para pihak dalam bentuk perjanjian kerja. Sistem outsourcing, konstruksi
hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan penyedia jasa pekerja merekrut
calon pekerja untuk ditempatkan di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi
hukum semacam ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja
tersebut dijual kepada pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan
perbudakan modern.
Di dalam pasal 66 ayat (2) b dinyatakan : penyedia jasa pekerja
buruh untuk kegiatan jasa penunjang dan seterusnya yang tidak
berhubungan langsung dengan produksi harus memenuhi syarat dari
perusahaan penyedia jasa pekerja. Jika dikaitkan dengan konstitusi, jelas
hal ini memaksakan adanya hubungan kerja antara penyedia jasa pekerja
dengan buruhnya yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan
kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka ini menunjukan
63
bahwa buruh hanya dianggap sebagai barang saja, buka sebagai subjek
hukum.
Di dalam pasal 158 ayat (2) dikaitkan dengan ayat yang 1-nya,
bahwa perusahaan dapat memutuskan hubungan pekerjaan dengan alasan
yang demikian, sebetulnya sebelum buruh dinyatakan bersalah melakukan
penipuan, maka asumsinya buruh belum bersalah, oleh karena itu, pasal
158 ayat (1) dan (2) melanggar asas presumption of innocence, maka
sebelum seseorang dinyatakan salah oleh majelis Hakim melakukan tindak
pidana, maka asumsinya yang bersangkutan belum bersalah. Pasal 159
justru bukan keseimbangan. Tetapi malah memberatkan buruh, karena di
satu pihak sudah dituduh melakukan tindak pidana yaitu dalam pasal 18
ayat (1).
2. Dr. Andang L. Binawan, dia adalah seorang ahli Filsafat etika sosial
pengajar etika hukum dan Human rights, dia memberikan keterangan
dibawah sumpah sesuai dengan keahliannya, di dalam materi permohonan
pemohon yang mereka perjuangkan adalah perlindungan terhadap buruh
karena memang lemah. Dia mengatakan di dalam materi permohonan
pemohon terlihat bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan tidak sesuai
dengan Pasal 27, 28, dan 33, karena manusia yang harus dilindungi adalah
manusia yang seutuhnya maka ada banyak reduksi yang terlihat. Pasal 137,
138 UU Ketenagakerjaan mengenai mogok, dikatakan ada hak untuk
mogok adalah benar tetapi aplikasi di dalam ayat-ayat selanjutnya adalah
64
membatasi. Mengenai Pasal 33 ayat (1), menurut ahli perekonomian di
Indonesia belum berdasarkan demokrasi ekonomi, sering terjadi adalah
pemilik modal dengan kekuatan ekonominya dapat memaksakan.
Sehubungan dengan konstitusi sebagai kontrak sosial, maka saksi ahli tidak
setuju kalau direduksi induvidualisme bahwa dapat berpotensi tetapi harus
dilihat juga bahwa konstitusi adalah sebagai cita-cita bersama. Jika
Undang-undang Ketenagakerjaan mempunyai unsur-unsur atau minimal
potensi adanya perlindungan yang lemah terhadap buruh, maka memang
perlu digugat. Sedemikian bersalahnya Undang-undang Ketenagakerjaan,
sehingga ini sungguh-sungguh seratus persen tidak adil.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, permohonan para pemohon
dapat dikabulkan untuk sebagian, yaitu sebagaimana sudah disebut dalam amar
putusan dan menolak permohonan para pemohon sebagiannya, karena isi
permohonan dipandang tidak cukup beralasan. Mahkamah Konstitusi
memperhatikan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan mengabulkan permohonan
para Pemohon untuk sebagian yaitu:
Pasal yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yaitu pasal 158, pasal 159, pasal 160 ayat (1), pasal 170
65
, pasal 158 ayat (1), pasal 171, pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat
“Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)” pasal-pasal ini bertentangan dengan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160
ayat (1), Pasal 170, Pasal 171, dan Pasal 186 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Mahkamah Konstitusi juga menolak permohonan para Pemohon
untuk selebihnya dari pasal-pasal yang diajukan pada waktu itu.
Berdasarkan keterangan dua orang saksi yang diajukan oleh para
pemohon, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa praktek-praktek yang
dilakukan pengusaha dalam terjadinya pengalihan usaha dan dalam keadaaan
lain ketika pengusaha ingin melakukan penghematan dengan cara menekan
buruh/pekerja mengundurkan diri melalui lock-out perusahaan dengan
kewajiban membayar pesangon minim, dan kemudian membuka kesempatan
kerja atas dasar perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang disebut saksi
sebagai pekerja kontrak dengan syarat-syarat yang sangat merugikan
pekerja/buruh, Perlindungan secara hukum atas hak-haknya telah dijamin oleh
Undang-undang Ketenagakerjaan. Akan tetapi pelanggaran pengusaha terhadap
pasal-pasal yang bertentangan kurang mampu melindungi atau yang
bertentangan dengan Undang-undang Dasar 194, seperti pasal 55, Pasal 59 ayat
(1), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 62, Pasal 65 ayat (2) secara seimbang
66
tidak diberikan sanksi pidana sebagai bentuk perlindungan hukum. Di pihak
lain dalam Pasal 186 ditentukan sanksi bagi buruh/pekerja yang melanggar
Pasal 137 dan 138, sehingga dengan demikian Mahkamah Konstitusi
berpendapat pasal 186 Undang-undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan
UUD 1945, oleh karena itu sanksi-sanksi pidana dalam Undang-undang bagi
buruh/ pekerja dipandang tidak proporsional dan berlebihan.
Mahkamah Konstitusi juga mengatakan bahwa pasal 158 UU
Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27, karena
Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan
alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law
melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsal. Dan di lain pihak,
Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh
pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas
pengaduan pengusaha, diperlukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence). Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang
diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD
1945.
Kemudian di dalam pasal 159, apabila buruh/pekerja yang telah di
PHK karena melakukan kesalahan berat menurut Pasal 158, tidak menerima
pemutusan hubungan kerja, pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial, ketentuan
67
tersebut menimbulkan beban yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja
untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis
lebih lemah yang memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibandingkan
pengusaha, Pasal 159 tentang hal tersebut juga menimbulkan kerancuan berfikir
dengan mencampuradukkan proses perkara perdata secara tidak pada
tempatnya.
a. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Pendapat berbeda dinyatakan juga oleh Prof. H. Abdul Mukhtie Fadjar
S,H.M.S dan Prof. Dr. H.M Laica marzuki, S.H. Mereka adalah Hakim
Konstitusi, mereka menyesalkan lahirnya Undang-undang No.13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan karena pembaharuan Undang-undang di bidang
Ketenagakerjaan melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan kurang ramah kemanusiaan dan kurang memberi pengayoman,
khususnya terhadap buruh/tenaga kerja, seperti ditunjukan oleh berbagai
kebijakan yang tercantum dalam Undang-undang Ketenagakerjaan antara lain
kebijakan outsourcing, telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruh/pekerja
yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja dan hanya
sekedar sebagai sebuah komuditas, sehingga berwatak kurang protektif
terhadap pekerja. Kedua hakim ini menyimpulkan Undang-undang No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan paradigma proteksi
kemanusiaan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan bertentangan
68
dengan pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dan seharusnya yang dikabulkan dari
permohonan Undang-undang Ketenagakerjaan masih lebih banyak lagi dari
pada sekedar yang disebutkan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi.
b. Respon Publik :
Masyarakat, pengusaha, dan pemerintah merespon Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yaitu:
- Respon Masyarakat
Budhi Pratomo, Sekretaris Serikat Pekerja Nasional,
mengatakan penyebab maraknya pemutusan hubungan kerja karena dua
faktor, yaitu diberlakukanya sistem outsourching dan tenaga kontrak
yang tidak dihapus dalam putusan Mahkamah Konstitusi serta akibat
kondisi pasar lesu. Namun, dia lebih condong menilai penyebab
pemutusan hubungan kerja akibat adanya sistem outsourcing.
Kenyataan di lapangan, banyak buruh yang menjadi korban PHK oleh
perusahaan dengan tujuan pemilik industri bisa mendapatkan tenaga
kerja baru untuk mengganti tenaga buruh yang lama.46
46 Valentino Verri, diunduh pada tanggal 21 Agustus 2011 pukul 22.17 wib, dari situs
http://www.wartakota.co.id/detil/berita/47472/Aduh-Puluhan-Buruh-Perusahaan-Di-PHK
69
Selain itu Muhammad Nur seorang warga berpendapat bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi tentang outsourcing sangat tidak bisa
memperoleh kesejahteraan yang setara atau paling tidak mendekati
kesejahteraan karyawan tetap. Bahkan tidak jarang ada insentif apapun selain
gaji. Asuransi kesehatan dan sejenisnya sering kali tidak diperhatikan,
walaupun beberapa perusahaan penyedia outsourcing yang masih relatif baik
mengikutsertakan dalam program Jamsostek. Sehingga nasib tenaga kerja
tergantung pada kebaikan hati penentu kebijakan di institusi yang bersangkutan.
Jika masih berkenan, maka tenaga kerja outsourcing masih dipakai, jika
sebaliknya maka ancaman PHK ada di depan mata.
- Respon Pengusaha
Beberapa perusahaan berpendapat bahwa mempekerjakan
karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini, umumnya
dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan efisiensi
biaya produksi (cost of production). Dengan menggunakan sistem
outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat
pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan. Perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja sekurang-
kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberian
kerja. Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap
pekerja/buruh baik diperusahaan pemberi maupun perusahaan penerima
70
pekerja karena pada hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan
yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, dan perlindungan
kerja yang lebih rendah.47
Hubungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh
dengan pengusaha penerima pekerjaan dituangkan dalam perjanjian kerja
secara tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya perjanjian kerja
waktu tak tertentu atau tetap dan buka kontrak, tetapi dapat pula
dilakukan perjanjian kerja waktu tertentu atau kontrak apabila yang
memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materil sebagai mana
diatur dalam pasal 59 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, hubungan kerja outsourcing tidak selalu dalam bentuk
perjanjian kerja waktu tertentu, apalagi akan sangat keliru jika ada yang
beranggapan bahwa selalu sama dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Pengusaha di dalam perusahaan penyedia jasa pekerja bertanggung
jawab dalam hal perlindungan upah dan kejahteraan, syarat-syarat kerja
serta perselisihan hubungan industrial yag terjadi.48
- Respon Pemerintah
Pemerintah tidak sependapat pernyataan buruh yang mengatakan
rumusan pasal 64 Undang-undang Ketenagakerjaan mengakomodir
kenyataan yang ada dalam praktek sehari-hari bahwa ada pekerjaan yang
47
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.217. 48
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, .. h.222.
71
menurut jenis dan sifat pekerjaan itu merupakan penunjang bagi kegiatan
usaha yang tertentu pada umumnya dilakukan melalui pemborongan
pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh. Dalam hukum perdata hal
tersebut merupakan sesuatu yang lazim dan diperbolehkan. Dalam pasal 65
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
perlindungan bagi pekerja/ buruh.
Mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi pasal 158 jenis-jenis
tindakan buruh yang dikategorikan sebagai kesalahan berat menurut
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sesuatu
yang wajar. Di dalam pelaksanaan hubungan kerja di perusahaan, faktor
kepercayaan, dan ketentraman kerja sangat dominan. Oleh karena itu,
pekerja buruh yang nyata melakukan tindakan sebagaimana diatur pasal 158
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menimbulkan
dampak negatif terhadap suasana kerja. Dapat dibayangkan apabila di tempat
kerja terdapat pekerja/buruh yang telah nyata melakukan penganiayaan
terhadap pengusaha atau teman sekerja atau melakukan pencurian, atau
meminum minuman keras. Sehingga dalam kasus ini tidak diperlukan proses
pembuktian pengadilan.49
49
Lihat Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
72
C. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-undang
Ketenagakerjaan
Putusan Mahkamah Konstitusi banyak menimbulkan dampak
negatifnya terhadap buruh/pekerja Indonesia. Banyak pengamat sudah
mengatakan bahwa ketenagakerjaan lebih di pengaruhi oleh ideologi
neoliberalisme, yaitu sebuah ideologi yang menekankan kepada
pelaksanaan pasar bebas dan efisiensi untuk semata-mata pembangunan
ekonomi, di mana “efisiensi” yang dimaksudkan adalah kebijakan upah
murah melalui strategi ekonomi yang disebut dengan “pasar tenaga kerja
yang fleksibel”.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak mengabulkan
dihapuskannya sistem kerja kontrak yaitu outsourcing yang dianggap
sebagai bagian terkejam dari sistem ketenagakerjaan di Indonesia
mengkibatkan masa depan pekerja kurang terjamin. Tenaga kerja
outsourcing mendapat beban terberat dalam pekerjaan, tetapi
kesejahteraannya ternyata paling rendah di perusahaan. Sehingga tenaga
kerja sekarang tidak akan membawa masa depan yang terjamin. Sudah
banyak penelitian yang menunjukan bahwa penekanan terhadap efesiensi
secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi guna
mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah murah
berakibat kepada hilangnya keamanan kerja bagi buruh/pekerja tetap tetapi
hanya menjadi buruh/pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur
73
hidupnya. Hal inilah dikatakan sebagian kalangan sebagai satu bentuk
“perbudakan zaman modern”.
Status sebagai buruh/pekerja kontrak pada kenyataannya berarti juga
hilangnya hak-hak dan tunjangan-tunjangan kerja maupun jaminan-jaminan
kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai
status sebagai buruh/pekerja tetap, sehingga potensial menurunkan kualitas
hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia dan karena buruh/pekerja
merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia pada akhirnya juga akan
menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada
umumnya.50
D. Analisis Politik Hukum Islam Terhadap Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasca Putusan Makamah
Konstitusi
Undang-undang Ketenagakerjaan pasca putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan kebijakan politik sebagai arah kebijakan hukum ( legal policy)
yang harus dijadikan pedoman untuk membangun atau menegakan sistem
hukum yang diinginkan oleh suatu negara. Judicial review dapat dipandang
sebagai salah satu instrumen untuk menjamin ketepatan arah itu atau
sebagai pengawal ketepatan isi dalam pembuatan hukum. Oleh karena itu
yang dimaksud dengan judicial review dan constitusional review, secara
umum pengujian oleh lembaga yudisial atas peraturan peraturan
50
Lihat Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
74
perundang-undangan yang lebih tinggi, sedangkan maksud dari
constitusional review secara umum yaitu pengujian oleh lembaga yudisial
khusus untuk konsistensi Undang-undang terhadap UUD.51
Dalam
keinginan untuk membangun dan menegakkan sistem hukum tertentu dapat
menggunakan judicial review salah satu instrumen untuk menjamin
ketepatan arah atau sebagai pengawal ketepatan isi dalam pembuatan
hukum dalam negara.
Pembentukan hukum dalam semua peraturan perundang-undangannya
harus sesuai dengan desain tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem
hukum. Dasar-dasar dari sistem hukum biasanya diletakkan di dalam
Undang-undang Dasar atau konstitusi. Jika ada isi peraturan perundang-
undangan yang salah satunya menyimpang dari UUD, maka harus ada cara
untuk membenarkan peraturan Undang-undang itu, agar semua produk
hukum sesuai dengan sistem hukum yang dapat dibangun. Judicial review
yakni pengujian oleh lembaga yudisial atas sesuatu peraturan perundang-
undangan di Indonesia mengenai Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak seluruhnya sejalan dengan peraturan perundang
undangan yang secara hirarkis lebih tinggi. Dan lembaga yudisial (
Mahkamah Konstitusi) berhak mengatakan bahwa suatu peraturan
51
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, anggota Ikapi, 2006), h. 125.
75
perundangan-undangan batal atau dibatalkan karena isinya bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Dasar 1945.
Adapun politik hukum Islam merupakan arah kebijakan hukum Islam
yang sesuai dengan aspirasi seluruh masyarakat muslim. Dalam realitas
politik, Indonesia secara konstitusional adalah bukan negara Islam
melainkan negara Pancasila, sehingga secara formal kelembagaan tidak
memungkinkan bagi umat Islam untuk mewujudkan seutuhnya prinsip-
prinsip Islam tentang hukum terutama dalam bentuknya yang resmi pula.
Negara Pancasila adalah “religious nation state” yakni negara kebangsaan
yang bukan negara agama (berdasarkan agama tertentu) dan bukan negara
sekuler. Ada yang mengatakan konsep ini sebagai negara teo-demokrasi.
Hukum publik merupakan campuran aspirasi dari gagasan hukum
masyarakat tentang hukum barat, hukum adat, dan juga hukum Islam.
Untuk memberlakukan hukum Islam berdasarkan sistem politik yang ada
sekarang ini, yang perlu dilakukan oleh umat Islam adalah berjuang dalam
bingkai politik hukum agar nilai islami dapat mewarnai, bahkan dapat
menjadi materi, dalam produk hukum terutama dalam lapangan hukum
hukum privat.52
Karena di negara Indonesia mayoritas muslim sudah
merupakan bagian terbesar yang merupakan aspirasi dari gagasan hukum
publik di masyarakat.
52
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan konstitusi, …h. 288
76
Politik hukum menemukan kesimpulan bahwa produk hukum itu
sangat di pengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada di belakangnya. Jika
konfigurasi politiknya bersifat demokratis, maka produk hukumnya
berkarakter responsif dan jika konfigurasi politik bersifat otoriter, maka
produk hukumnya berwatak konservatif, dan itu bisa dikemukakan dengan
kalimat lain bahwa produk hukum itu akan sangat diwarnai oleh kekuatan
politik yang dominan atau oleh mereka yang paling banyak menguasai
lembaga legislatif.
Oleh sebab itu, Umat Islam harus mempengaruhi atau memberi warna
Islami pada setiap produk hukum. Hal itu akan sangat ditentukan oleh
kekuatan politik yang dominan, atau mereka yang seharusnya paling banyak
menguasai lembaga legislatif di negara. Dengan kata lain, jika umat Islam
mempengaruhi atau memberi warna Islami pada setiap produk hukum,
maka mereka hendaknya mampu mengambil porsi dominan didalam
wadahnya bukan hanya di DPR tetapi juga di pemerintahan.53
Politik Hukum Islam pada masa pemerintahan orde reformasi sudah
memasuki era baru. Era reformasi diawali dengan perubahan mendadak dari
sistem politik otoriter ke sistem demokrasi yang di tandai dengan semakin
terbukanya dan tumbuh dan berkembangannya berbagai pilar-pilar
demokratis. Kebebasan membentuk partai politik, lembaga lembaga
perwakilan bebas berbicara, pers yang sebelumnya tercekam oleh ancaman
53
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan konstitusi, …h. 290
77
pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan (SIUP) mendadak sontak
dibebaskan tanpa SIUP. Rakyat bebas menyampaikan aspirasinya lewat
demonstrasi, termasuk dalam menyalurkan aspirasi politik yang lebih
demokratis, adil dan terbuka.
Bila dilihat dari aspek perkembangan politik, orde Reformasi
membuka keran kebebasan bagi tumbuhnya sendi sendi demokratis, namun
kebebasan yang begitu tiba tiba tanpa melalui persiapan dan perangkat
hukum yang melandasinya, justru berimplikasi terjadilah politik di
lingkumgan elit politik baru dan lama di Indonesia. Ditinjau dari aspek infra
struktur di era baru muncul fenomena kebebasan politik dengan
berkembang dengan berbagai pandangan dan ideologi politik termasuk
partai politik aliran dari kalangan kelompok agama maupun golongan
masyarakat lainnya.
Era reformasi adalah suatu era dimana kehidupan berbangsa dan
bernegara ditandai dengan keterbukaan dan kebebasan mengemukakan
pendapat dan berserikat, maka berbagai unsur kekuatan masyarakat
memanfatkan momentum kebebasan itu sebagai kesempatan untuk
menyampaikan berbagai aspirasinya melalui pilar-pilar demokrasi, seperti
jalur partai politik, media massa, parlemen, ormas kemasyarakatan.
konfigurasi politiknya dapat digolongkan menjadi konfigurasi politik
demokratis dengan beberapa indikator penting, yaitu pertama, iklim yang
78
ditentukan oleh suatu pemerintahan era reformasi memberikan keleluasaan
tumbuhnya demokrasi politik. Demokratis atau tidaknya pemerintahan
dalam ini ditentukan oleh iklim demokrasi yang secara yuridis diatur melalui
hukum yang mendukung kekuasaan pemerintah. Pada era reformasi
diberikan juga kesempatan pada tumbuhnya partai-partai politik termasuk
partai politik aliran untuk eksis dalam perpolitikan di Indonesia. Begitu pula
adanya komitmen hukum menjadi kaedah yang mengatur kehidupan
demokrasi dalam negara. Kedua, kemauan politik pemerintah yang berkuasa
yaitu Partai-partai politik pemerintah yang berkuasa. Partai politik diberi
ruang untuk eksis. Tentu iklim demokrasi seperti ini sangat tergantung
kepada budaya pemerintahan yang sedang berkembang. Ketiga, perubahan
arus bawah. Dorongan yang begitu kuat yang menuntut adanya perubahan
dari otoritarianisme menjadi rezim yang demokratis dari inspirasi rakyat
menjadi sumber inspirasi bagi lembaga-lembaga Negara untuk mereposisi
diri menjadi lebih demokratis.54
Dalam hal ini, peran serta rakyat sangat
dominan dalam mendesak elite penguasa dan mendorong kekuatan civil
society karena demokrasi adalah kebebasan masyarakat untuk mengeluarkan
aspirasinya.
Karakter produk hukum Islam pemerintahan Era Reformasi dalam
pandangan hukum adalah produk politik, sehingga politik hukum
54
Abdul Halim, Disertasi tentang Politik Hukum Islam di Indonesia, …h. 367
79
mengedepankan pengaruh politik atau pengaruh sistem politik terhadap
pembangunan dan perkembangan hukum. Hukum adalah hasil tarik menarik
berbagai kekuatan politik dalam produk hukum. Satjipto Rahardjo
menyatakan bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan
politik, sehingga pembuatan peraturan perundang-undangan surat dengan
kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan UU menjadi
medan perbenturan kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat.
55 Konfigurasi kekuatan dan kepentingan badan pembuatan Undang-undang
menjadi penting karena pembuatan UU modern bukan sekedar merumuskan
materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan
membuat keputusan politik.
Di samping konfigurasi itu, intervensi dari eksternal maupun internal
pemerintahan bahkan kepentingan politik global secara tidak langsung ikut
memberikan warna dalam proses pembentukan UU. Intervensi tersebut
dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan,
baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Karena itu, pemahaman
terhadap politik hukum Islam dalam konteks bahasan ini melihat dari
asumsi bahwa sesungguhnya hukum Islam bukan sistem hukum matang
yang datang dari langit dan terbebas dari dinamika sosial kemasyarakatan. 56
Sebagaimana halnya dengan sistem hukum lain, hukum Islam
55
Abdul Halim, Disertasi tentang Politik Hukum Islam di Indonesia, …h. 368 56
Abdul Halim, Disertasi tentang Politik Hukum Islam di Indonesia, …h. 449
80
selaininteraksi manusia dengan tuhannya, juga tidak lain adalah hasil
interaksi manusia dengan kondisi sosial dan politiknya. Dalam masyarakat
Indonesia yang plural, hukum senantiasa hidup dan berkembang sejalan
dengan dinamika perkembangan suatu masyarakat, baik dari sisi sosio-
kultural maupun politik.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Undang-undang No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Mahkamah Kostitusi menyetujui
adanya outsourcing, upah minimum dan pemutusan hubungan kerja. Istilah
outsourcing sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 64 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara
tertulis. Praktek sehari-hari outsourcing selama ini di akui lebih banyak
merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak
tetap/kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu), upah lebih rendah, jaminan
sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta
tidak adanya jaminan pengembangan karir, dan lain-lain. Dengan demikian
dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan
menyengsarakan pekerja/ buruh dan membuat kaburnya hubungan
industrial.
Hal tersebut terjadi karena sebelum adanya Undang-undang No.13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak ada satu pun peraturan
81
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur
perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing.
Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam undang-undang
No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua
masalah outsourcing yang begitu luas dan kompleks. Namun, setidak-
tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh
terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan
sosial dan perlindungan kerja lainnya dapat dijadikan acuan dalam
menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.57
Dalam beberapa tahun
terakhir pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat
banyak dibicarakan oleh proses produksi barang maupun jasa.
Oleh karena itu banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan
biaya pekerja/buruh dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan
jauh di bawah dari yang seharusnya di berikan sehingga sangat merugikan
pekerja/buruh. Pelaksanaannya yang demikian dapat menimbulkan
keresahan pekerja/buruh dan tidak jarang mengikuti dengan tindakan
mogok kerja, sehingga maksud diadakan outsourcing seperti yang telah
disebutkan diatas menjadi tidak tercapai, karena terganggunya proses
produksi barang maupun jasa.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, kebijakan negara yang tidak
memberikan perlindungan terhadap pekerja mengenai outsourcing banyak
57 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h. 217
82
menimbulkan kerugian dan menyengsarakan pekerja karena sistem
outsourcing adalah sistem kerja kontrak yang dianggap sebagai bagian
terkejam dari sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Ada salah satu partai di
Indonesia yang memang mengedepankan kesejahteraan nasib rakyat yaitu
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yaitu partai yang memihak
kepada para pekerja/buruh, karena melihat sisi lemahnya pekerja/buruh saat
ini yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Pada dasarnya pemerintah
wajib memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh untuk menjamin
masyarakat yang sejahtera. Sedangkan dalam pandangan politik hukum
Islam kebijakan negara tidak melindungi pekerja/buruh dan lebih
mengedepankan pasar modal dan pengusaha untuk meningkatkan ekonomi
negara bukan mengedepankan kesejahteraan nasib rakyat yang bekerja
dengan sistem outsourcing.
Kebijakan penetapan upah minimum dalam kerangka perlindungan
upah dewasa ini masih menemui banyak kendala sebagai akibat belum
terwujudnya satu keseragaman upah, baik secara regional/wilayah provinsi
atau kabupaten/kota, maupun secara nasional. Dalam Undang-undang
No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (pasal 88) ditegaskan bahwa
setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Dalam pengertian bahwa jumlah upah yang diterima oleh pekerja dari
hasil pekerjaannya mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja serta
83
keluarganya secara wajar, antara lain meliputi sandang, pangan, papan,
pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Dalam pengertian
bahwa upaya peningkatan penetapan upah minimum dimaksud dilakukan
secara bertahap seirama dengan laju perkembangan dunia usaha
(perusahaan), dan diharapkan sampai pada suatu saat penetapan tingkat upah
secara minimum dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak. 58
Sebab
tingkat upah yang terlalu rendah dapat mengakibatkan menurunnya
semangat kerja, yang akhirnya menghambat produktivitas dan prestasi kerja,
yang pada gilirannya berpengaruh pada peningkatan produksi dan
kelangsungan usaha (perusahaan).
Sedangkan dalam realitanya masih banyak menemui kendala dalam
mewujudkan keseragaman upah, perlindungan terhadap tenaga kerja
dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin
kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun
untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Tetapi, pengusaha
sebagian besar tidak menjamin keselamatan dan keamanan kerja kepada
pekerja/buruh sedangkan dalam Islam untuk meningkatkan kesejahteraan
pekerja, harus diwujudkannya pengadaaan keamanan dan jaminan
keselamatan dan dalam upah harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sehari-harinya. Seharusnya pengusaha memiliki kewajiban kepada pekerja
58
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, …h. 149
84
antara lain memberikan upah yang layak memberikan tunjangan sosial dan
pesangon dalam pemenuhan kewajiban pengusaha tidak saja menguntungkan
pekerja tetapi juga menguntungkan pengusaha itu sendiri. Sehingga dapat
menciptakan lingkungan kerja yang saling menguntungkan untuk pengusaha,
pekerja, dan pemerintah.
Pemutusan Hubungan Kerja pada prinsipnya merupakan sesuatu yang
harus dihidarkan dan merupakan jalan terakhir apabila upaya lain tidak dapat
dihindarkan. Pemutusan hubungan kerja terdapat dalam pasal 27 ayat (2)
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Apabila belum
ada penetapan PHK, maka para pihak pekerja tetap arus melaksanakan
tugasnya artinya pengusaha harus tetap memenuhi kebutuhan kewajibannya
membayar hak-hak pekerjanya, tetapi realitanya ketika pekerja sudah
mendapatkan penetapan pemutusan hubungan kerja maka pengusaha
sebagian besar tidak memenuhi hak-hak dan kewajiban pekerja yang telah
ditetapkan Undang-undang no.13 tahun 2003 melainkan mengurangi hak
upah dari pendapatan biasanya. Sedangkan dalam pandangan Politik hukum
Islam kebijakan pemerintahan dalam pemutusan hubungan kerja tidak
memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam Islam untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja dalam keluarganya harus
melindungi pekerja untuk masa depan dan dapat diwujudkan dalam bentuk
pemberian pesangon bagi pekerja yang berhenti bekerja.
85
Dalam putusan ini pemerintah pada dasarnya lebih memihak kepada
pengusaha atau pemilik modal karena dalam meningkatkan perekonomian
negara mampu untuk menyampingkan pekerja yang seharusnya di lindungi
pemerintah bukan secara perlahan di tindas. Sedangkan dalam teorinya
pemerintah bersikap adil dan mengedepankan nasib masyarakat secara tidak
langsung pemerintah mendiskriminasikan kebijakan mengenai
Ketenagakerjaan di Indonesia, solusi yang tepat dalam kebijakan ini
seharusnya pemerintah melayani masyarakat secara berkeadilan, dengan
merencanakan nasib para pekerja/buruh kedepannya atau dalam jangka
panjang tanpa melaksanakan sistem outsourcing, sedangkan dalam hukum
Islam pun sebenarnya belum ditemukan bahwa kemashlahatan umat itu
untuk masa jangka panjang atau permanent. Tetapi prinsip kemaslahatan
umat menjelaskan kebijakan yang dilakukan pada saat ini atau yang telah
berjalan dalam jangka yang terjadi saat ini.
Ditinjau dari persfektif negara dalam Islam memiliki prinsip-prinsip
bernegara diantaranya yaitu: prinsip menegakkan kepastian hukum dan
keadilan, prinsip kemashlahatan umat, dan prinsip musyawarah. Prinsip
keadilan dalam Al-Qur’an yaitu lurus atau sama dan tidak dibeda-bedakan,
tidak berpihak kepada satu dari dua atau beberapa pihak yang berselisih.
Pada dasarnya keadilan berpihak pada kebenaran, karena pihak yang benar
dan salah sama-sama harus memperoleh haknya dengan demikian, ia
melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
86
Dalam keadilan mencangkup sikap dan perlakuan hakim ketika proses
pengambilan keputusan berjalan. Artinya, ayat ini menuntut hakim untuk
menempatkan pihak-pihak yang berpekara dalam posisi yang sama dan
termasuk dalam proses pengambil putusan.59
Keadilan juga dimaksudkan
perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap
pemiliknya, yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri
yakni dengan jalan harus mengikuti perintah akal dan agama, dan bukan
menjadikannya arah akal dan tuntunan agama, yakni menempatkan sesuatu
pada tempatnya yang wajar. Keadilan harus mendatangkan keindahan karena
segala sesuatu diperlakukan atau ditempatkan sesuai dengan semestinya,
yang diciptakan Tuhan dengan prinsip keseimbangan, tidak memiliki salah
satu pihak.
Prinsip kemashlahatan dapat ditarik kesimpulan bahwa kemaslahatan
mencangkup lima hal yaitu terjaganya kehidupan beragama (ad-din),
terpeliharanya jiwa dan kehidupan manusia (an-nafs), terjaminnya kegiatan
berfikir dan berkreasi (al-aql), terpenuhinya kebutuhan materi (al-mal), dan
keberlangsungan meneruskan keturunan (an-nasl). tujuan dari diturunkannya
syariat atau hukum Islam tidak akan saling berbenturan, maksudnya syariat
dibangun berdasarkan pada hikmah dan kehidupan manusia, baik untuk
59
Muchlis M.Hanafi, Hukum Keadilan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an, 2010), h.2.
87
kehidupan dunianya maupun akhiratnya.60
Karena syariat itu semuanya adil,
semuanya rahmat, dan semuanya maslahah serta penuh hikmah. Setiap
sesuatu yang menyimpang dari keadilan, dari maslahah kepada mufsadat,
dari hikmah kepada yang tidak bermakna, maka tidaklah sesuai dengan
syariat, meskipun dipaksakan penafsirannya sebagai maslahah. Prinsip
maslahah yaitu dalam kebijakan masyarakat muslim lebih mementingkan
kehidupan umat, apakah sistem yang dipakai sudah sesuai dengan maslahah
umat atau belum, bukan mementingkan kehidupan masyarakat yang diatas
dari umat yang kurang mampu tidak memikirkan sebagian yang tidak
sejahtera atau kurang adil.
Menurut Suyuthi Pulungan, prinsip musyawarah terdapat dalam QS.
Ali imran : 159 yaitu “ Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu
berhati lemah lembut trehadap mereka sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan dari sekelilingmu karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertawakal kepadanya” .61
Prinsip musyawarah ini menerangkan bahwa setiap putusan yang di tetapkan
60
Muchlis M.Hanafi, Hukum Keadilan dan Hak Asasi Manusia,.. h.11. 61
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah ajaran, sejarah, dan pemikiran, cet ke-4 (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999) h. 7
88
oleh pemerintah di dasarkan dengan musyawarah yang sesuai dalam hukum
Islam, untuk mendapatkan hasil yang terbaik bagi kesejahteraan umat.
Prinsip tolong-menolong oleh yang kuat atas yang lemah dan yang
kaya atas yang miskin juga terdapat dalam prinsip bernegara dalam Islam
“Barang siapa memiliki kelebihan berupa kemampuan, maka hendaklah ia
membantu dengan kelebihannya itu atas orang yang tidak memiliki
kemampuan, dan barang siapa memiliki kelebihan bekal maka hendaklah ia
memberikan kelebihannya itu kepada orang yang kekurangan bekal”. (H.R.
Abu Daud).62
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang
mempertegas outsourcing, upah minimum dan pemutusan hubungan kerja
tidak sesuai dengan prinsip tolong menolong, kemaslahatan, dan keadilan
dalam Islam.
Untuk memasukan politik ke dalam produk Islam maka diperlukan
kekuatan politik, dalam masalah outsourcing, upah minimum, dan
pemutusan hubungan kerja yang tidak dikabulkan di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi mengakibatkan banyak kerugian terhadap
pekerja/buruh karena sistem tersebut tidak melindungi dan tidak
mensejahterahkan pekerja sedangkan di dalam Islam negara seharusnya
melindungi dan mensejahterahkan para pekerja sehingga dalam
pandangannya negara lebih memilih kepentingan pengusaha dibandingkan
kepentingan para pekerja/buruh. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi
62
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah ajaran, sejarah, dan pemikiran, …h. 17
89
dengan prinsip yang diberlakukan sekarang di Indonesia tidak sesuai dengan
Politik Hukum Islam yang didasarkan oleh prinsip-prinsip negara dalam
Islam.
Terlihat bahwa sistem outsourcing yang bersifat neoliberalisme
merupakan proses kultural yang mendalam, dimensi ekonomi-politik dan
dimensi kultural neoliberalisme saling erat bertaut dan dapat dipisahkan
terutama antara pasar modal besar dan negara, sehingga bermunculan bahwa
pengusaha seolah memutar balikkan hubungan antara masyarakat dan pasar
modal. Sehingga bertentangan dengan politik hukum Islam yang pada
dasarnya kebijakan negara seharusnya melindungi dan mensejahterahkan
masyarakatnya, yang terdapat pada prinsip kemaslahatan umat.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materi Undang-undang
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu: Mahkamah Konstitusi
menyetujui adanya outsourcing yang terdapat pada pasal 64, upah minimum
pasal 88 dan pemutusan hubungan kerja pasal 27
2. Analisis Politik Hukum Islam dalam Undang-undang No.13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Dalam
putusan Mahkamah Konstitusi kebijakan pemerintah tidak memberikan
perlindungan terhadap pekerja mengenai outsourcing banyak menimbulkan
kerugian dan menyengsarakan pekerja karena sistem outsourcing adalah
sistem kerja kontrak yang dianggap sebagai bagian terkejam. Pada dasarnya
pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh untuk
menjamin masyarakat yang sejahtera. Dalam pandangan Politik Hukum
Islam kebijakan pemerintah tidak melindungi pekerja/buruh dan lebih
mengedepankan pasar modal dan pengusaha untuk meningkatkan ekonomi
negara bukan mengedepankan kesejahteraan nasib rakyat yang bekerja
dengan sistem outsourcing. Pengusaha memiliki kewajiban kepada pekerja
antara lain memberikan upah yang layak memberikan tunjangan sosial dan
91
pesangon dalam pemenuhan kewajiban pengusaha tidak saja
menguntungkan pekerja tetapi juga menguntungkan pengusaha itu sendiri.
Sedangkan dalam pandangan Politik hukum Islam kebijakan pemerintahan
dalam pemutusan hubungan kerja tidak memberikan perlindungan terhadap
pekerja/buruh dalam Islam untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja
dalam keluarganya harus melindungi pekerja untuk masa depan, sehingga
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara dalam Islam yang
mengedepankan prinsip keadilan, kemaslahatan umat dan prinsip tolong
menolong.
B. Saran-saran
Di tinjau dari segi substansinya Undang-undang No.13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sudah cukup baik, kelemahan utamanya dilihat dari
kebijakan serta penerapan dalam hal hak-hak antara pekerja dan pengusaha,
hendaknya putusan Mahkamah Konstitusi secara konsisten dapat bertindak
secara adil dan tegas dalam menindak keadilan terhadap buruh/pekerja di
dalam hubungan ketenagakerjaan sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip
bernegara dalam Islam.
92
DAFTAR PUSTAKA
Aliyah Amir, Sistem Pemerintahan Islam & Adat Dalam Islam, Jakarta: Khalifa,
2004.
Alkostar Artidjo dkk. Pembangunan hukum dalam perspektif politik hukum nasional,
Jakarta: Rajawali, 1986
Asikin Zaenal, Dasar-dasar hukum perburuhan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004
Asyhadie Zaeni, Hukum Kerja, Hukum ketenagakerjaan bidang Hubungan Kerja ,
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007
Busyro Muqoddas, Moh dkk, Politik pembangunan hukum Nasional, Yogyakarta: UII
Press,1992
Djamali R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003
Halim Abdul, Disertasi tentang Politik Hukum Islam di Indonesia, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, 2008.
Halim G. Nusantara, Abdul. Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1988
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, Bandung: Nusa Media, 2010.
Idris Fahmi, director: Nurcholis majid,firdaus effendi,sudiki imawan, khamami zada,
Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam, Jakarta: Ansa Madani, 1999.
M. Hanafi Muchlis, Tafsir Al-Qur’an tematik Kerja dan Ketenagakerjaan, Jakarta:
lajnah pentashihan mushaf Al-Qur’an, 2010
MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
MD, Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan konstitusi, Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, anggota Ikapi, 2006.
93
Muchlis M. Hanafi, Hukum Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2010
Muchlis M. Hanafi, Kerja dan Ketenagakerjaan Tafsir Qur’an Tematik. Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2010.
Nasution Debby M, Kedudukan Militer Dalam Islam dan peranannya pada masa
Rasulullah saw, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yoga, 2003.
Qorashi Baqir Sharief, Keringat Buruh Hak Dan Peran Pekerja Dalam Islam,
Jakarta: Al-Huda, 2007.
Ridwan, Fiqh Politik Gagasan, Harapan Dan Kenyataan, Yogyakarta: FH UII
PRESS, 2007.
Rosadi Imron, S.Ag, pengarang: Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar
Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka Azzam, Al-Maktab al_Islami, Beirut, 2003.
Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik
di Indonesia Malang: Bayumedia Publishing, 2005
Sutedi Adrian, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah ajaran, sejarah, dan pemikiran, cet ke-4 , Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999
Tjandra Surya, Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum perburuhan, Jakarta:
TURC, 2006.
Wahab Khallaf, Abdul. Politik Hukum Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994
Wijayanti Asri, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
UNDANG-UNDANG
Undang-undang no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
94
Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Majalah hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional No.1 Tahun 2004
Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum.
INTERNET
Kusumaatmadja Mochtar, Diakses pada 15 juni 2011 pada pukul 08.00 wib dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Mochtar_Kusumaatmadja
“Pengertian Politik” Diakses pada 15 Juni 2011 pada pukul 08.15 wib dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
Verry Valentino, artikel ini diunduh pada tanggal 21 Agustus 2011 pukul 22.17 wib,
dari situs http://www.wartakota.co.id/detil/berita/47472/Aduh-Puluhan-Buruh
Perusahaan-Di-PHK