laporan hasil pemeriksaan kepatuhan

115

Upload: lyphuc

Post on 08-Dec-2016

267 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan
Page 2: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan
Page 3: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan
Page 4: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ i

DAFTAR TABEL ............................................................................................................... ii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... iii

RESUME LAPORAN ATAS KEPATUHAN TERHADAP PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN............................................................................................ 1

1. Pendapatan Negara dan Hibah .................................................................................... 5

1.1 Temuan - DJP Terlalu Besar Memberikan Pengembalian Kelebihan

Pembayaran (Restitusi) Pajak kepada WP Sebesar Rp99,55 Miliar ........................... 5

1.2 Temuan - DJP Tidak/Kurang Menetapkan Penerimaan PBB Pertambangan

Sektor Mineral dan Batubara Minimal Sebesar Rp248,87 Miliar ............................. 10

1.3 Temuan - PNBP pada 44 Kementerian/Lembaga (KL) Terlambat/Belum

Disetor Sebesar Rp361,41 Miliar, Kurang/Tidak Dipungut Sebesar Rp132,67

Miliar, Digunakan Langsung di Luar Mekanisme APBN Sebesar Rp304,53

Miliar serta Belum Dikelola dengan Tertib Sebesar Rp317,86 Miliar dan

USD28.24 Juta .......................................................................................................... 13

1.4 Temuan - KL Belum Tertib Melaksanakan Rekonsiliasi Penerimaan Hibah

Tahun 2014 dan 14 KL Belum Melaporkan Realisasi Pendapatan Hibah

Secara Akuntabel Sebesar Rp1,45 Triliun dan USD77.96 Juta ................................ 17

2. Belanja....................................................................................................................... 21

2.1 Temuan - Penganggaran, Pelaksanaan, dan Pertanggungjawaban Belanja

Barang dan Belanja Modal pada 69 KL Sebesar Rp1,03 Triliun Tidak Sesuai

Ketentuan .................................................................................................................. 21

2.2 Temuan – Kesalahan Klasifikasi pada Belanja Bantuan Sosial Sebesar

Rp845,15 Miliar, Realisasi Belanja Bantuan Sosial Masih Mengendap di

Rekening Pihak Ketiga Sebesar Rp3,35Triliun serta Penyaluran dan

Pertanggungjawaban Realisasi Belanja Bantuan Sosial Sebesar Rp11,38

Triliun Tidak Sesuai Ketentuan ................................................................................. 28

3. Aset ........................................................................................................................... 35

3.1 Temuan - DJP Kurang Menetapkan Nilai Pajak Terutang kepada WP Sebesar

Rp309,93 Miliar ........................................................................................................ 35

3.2 Temuan - DJP Belum Menagih Sanksi Administrasi Berupa Bunga dan/atau

Denda Sebesar Rp3,14 Triliun .................................................................................. 49

3.3 Temuan – Skema Pengelolaan Iuran Dana Pensiun (IDP) pada PT Taspen

(Persero) Tidak Dijalankan Sesuai Ketentuan dan Berpotensi Membebani

Nilai Dana Titipan IDP di Masa yang Akan Datang serta Terdapat

Ketidakjelasan Ketentuan yang Mengatur tentang Status IDP yang Dikelola

PT Asabri (Persero) dan Mekanisme Pengelolaannya .............................................. 58

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM ..................................................................... 63

Page 5: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 ii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Penghitungan Amortisasi atas Capital Expenditure .................................... 7

Tabel 2 Faktur Pajak Masukan yang Dikreditkan Dua Kali oleh WP ...................... 8

Tabel 3 Penyusutan dan Amortisasi yang Dipercepat Berdasarkan PP

Nomor 34 Tahun 1994 tentang Fasilitas Perpajakan atas

Penanaman Modal ........................................................................................ 8

Tabel 4 Hibah Langsung Uang yang Belum Dilaporkan oleh KL Tahun

2014 ........................................................................................................... 19

Tabel 5 Hibah Langsung Barang yang Belum Dilaporkan oleh KL Tahun

2014 ........................................................................................................... 20

Tabel 6 Hibah Langsung Jasa yang Belum Dilaporkan oleh KL Tahun

2014 ........................................................................................................... 20

Tabel 7 Bansos yang Masih Mengendap di Rekening Pihak Ketiga per 31

Desember 2014 .......................................................................................... 29

Tabel 8 Rincian Saldo Bansos per 31 Desember 2014 yang Terdapat pada

Lembaga/Bank Penyalur ............................................................................ 30

Tabel 9 Rincian Saldo Bansos per 31 Desember 2014 pada Kemendikbud ........... 30

Tabel 10 Perbedaan Perlakuan Pemeriksa terhadap Biaya Pengupasan

Tanah ......................................................................................................... 38

Tabel 11 Potensi Kekurangan Penerimaan Negara atas Koreksi Negatif

Biaya Pengupasan Tanah ........................................................................... 39

Tabel 12 Rincian Jenis Batubara yang Diproduksi B4 ............................................. 40

Tabel 13 Rincian Perhitungan Harga Penjualan kepada B5 ..................................... 40

Tabel 14 Perhitungan Pajak Penghasilan atas Transaksi PI ...................................... 42

Tabel 15 Pembayaran Pajak Penghasilan atas Pengalihan PI ................................... 42

Tabel 16 Rekapitulasi Potensi Sanksi Administrasi Berupa Bunga per Jenis

Pajak ........................................................................................................... 51

Tabel 17 Nilai STP BP yang Belum Diterbitkan atas Pembayaran

SKPKB/SKPKBT Melalui MPN per Jenis SKP ........................................ 53

Tabel 18 Nilai Sanksi Administrasi Berupa Denda Atas PKP yang Tidak

Melaporkan Faktur Pajak ........................................................................... 53

Tabel 19 Nilai Sanksi Administrasi Berupa Denda Atas PKP yang Tidak

Mengisi Faktur Pajak Secara Lengkap ....................................................... 53

Tabel 20 Nilai Sanksi Administrasi Berupa Denda Atas PKP yang

Melaporkan Faktur Pajak Tidak Sesuai dengan Masa Penerbitan

Faktur Pajak ............................................................................................... 54

Tabel 21 Tindak Lanjut Atas Keterlambatan Pembayaran Pajak ............................. 56

Tabel 22 Rincian Nilai Pengembangan IDP PT Taspen TA 2012-2014 ................... 60

Page 6: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 iii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.2.1 Daftar Penghitungan Kembali PBB Sektor Mineral dan Batubara yang

Kurang Ditetapkan

Lampiran 1.2.2 Daftar Penghitungan PBB Sektor Mineral dan Batubara yang Belum

Ditetapkan

Lampiran 1.3.1 Daftar PNBP yang Terlambat/Belum disetor

Lampiran 1.3.2 Daftar PNBP yang Kurang Dipungut dan Belum Dipungut

Lampiran 1.3.3 Daftar PNBP yang Digunakan Langsung serta Pungutan yang Belum

Memiliki Dasar Hukum dan Disetor ke Kas Negara

Lampiran 1.3.4 Daftar Permasalahan PNBP Lainnya

Lampiran 1.4.1 Daftar KL yang Melaksanakan Rekonsiliasi Pendapatan Hibah

Dengan DJPPR Sampai dengan Desember Tahun 2014

Lampiran 2.1.1 Kesalahan Pengklasifikasian Belanja Barang dan Belanja Modal

Lampiran 2.1.2 Kekurangan Volume pada Belanja Barang dan Belanja Modal

Lampiran 2.1.3 Perbedaan Spesifikasi atas Belanja Barang dan Belanja Modal

Lampiran 2.1.4 Rincian Pemahalan Harga atas Realisasi Belanja Barang dan Modal

TA 2014

Lampiran 2.1.5 Pemutusan Kontrak Tanpa Ada Pencairan Jaminan Pelaksanaan serta

Pembayaran 100% atas Pekerjaan yang Belum Selesai Pada Akhir

Tahun Tidak Didukung dengan Bank Garansi/SKTJM atau Nilai Bank

Garansi/SKTJM Kurang dari Nilai Sisa Pekerjaan yang Belum Selesai

Lampiran 2.1.6 Kelebihan Pembayaran Selain Kekurangan Volume Pada Belanja

Modal Serta Kelebihan Pembayaran Pada Belanja Barang

Lampiran 2.1.7 Pencairan Belanja 100% Melalui Pembuatan BAPP Fiktif (Bank

Garansi Telah Ditarik dari KPPN) dan Bank Garansi Tidak

Dieksekusi Sesuai Ketentuan

Lampiran 2.1.8 Denda Keterlambatan Belanja Barang dan Modal

Lampiran 2.1.9 Realisasi Belanja Barang Belum Dibayarkan Kepada Pihak yang

Berhak

Lampiran 2.1.10 Realisasi Belanja Barang Atas Pekerjaan yang Sebenarnya Tidak

Dilaksanakan

Lampiran 2.1.11a Realisasi Perjalanan Dinas Belum Ada Bukti Pertanggungjawaban,

Nama dan Nomor Tiket Tidak Sesuai dengan Manifest serta Harga

Tiket Tidak Sesuai dengan yang Sebenarnya

Lampiran 2.1.11b Perjalanan Dinas Rangkap

Lampiran 2.1.11c Perjalanan Dinas Fiktif dan Lebih Bayar Perjalanan Dinas

Lampiran 2.1.12 Belanja Barang dan Tidak/Belum Dipertanggungjawabkan dan Tidak

Sesuai/Melebihi Ketentuan

Lampiran 2.1.13 Pemborosan Belanja Barang dan Belanja Modal

Lampiran 2.1.14 Permasalahan Belanja Modal Signifikan Lainnya

Page 7: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 iv

Lampiran 2.1.15 Permasalahan Belanja Barang Lain-lain

Lampiran 3.1.1 Rincian Kekurangan Penetapan Pajak oleh DJP

Lampiran 3.1.2 Selisih Harga Penjualan Kepada B5

Lampiran 3.1.3 Rangkuman Jawaban Konfirmasi dari SKK Migas

Page 8: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 1

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

RESUME LAPORAN ATAS KEPATUHAN TERHADAP PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2006

tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memeriksa

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2014 yang terdiri dari Neraca per

tanggal 31 Desember 2014 dan 2013, Laporan Realisasi APBN, dan Laporan Arus Kas

(LAK) untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal tersebut serta Catatan atas

Laporan Keuangan (CaLK). BPK telah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

atas LKPP Tahun 2014 yang memuat opini Wajar Dengan Pengecualian, yang dimuat

dalam LHP Nomor 74a/LHP/XV/05/2015 tanggal 25 Mei 2015 dan LHP atas Sistem

Pengendalian Intern Nomor 74b/LHP/XV/05/2015 tanggal 25 Mei 2015.

Sebagai bagian pemerolehan keyakinan yang memadai tentang apakah laporan

keuangan bebas dari salah saji material, sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara (SPKN), BPK melakukan pengujian kepatuhan Pemerintah Pusat terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan serta ketidakpatutan yang

berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan. Namun,

pemeriksaan yang dilakukan BPK atas LKPP tidak dirancang khusus untuk menyatakan

pendapat atas kepatuhan terhadap keseluruhan peraturan perundang-undangan. Oleh

karena itu, BPK tidak menyatakan pendapat seperti itu.

BPK menemukan adanya ketidakpatuhan dalam pengujian kepatuhan terhadap

peraturan perundang-undangan pada Pemerintah Pusat Tahun 2014. Pokok-pokok temuan

ketidakpatuhan adalah sebagai berikut.

1. DJP terlalu besar memberikan pengembalian kelebihan pembayaran (restitusi) pajak

kepada WP sebesar Rp99,55 miliar;

2. DJP kurang/tidakmenetapkan penerimaan PBB Pertambangan Sektor Mineral dan

Batubara minimal sebesar Rp248,87 Miliar;

3. PNBP pada 44 KL sebesar Rp361,41 miliar terlambat/belum disetor, sebesar

Rp132,67 miliar kurang/tidak dipungut, sebesar Rp304,53 miliar digunakan

langsung di luar mekanisme APBN serta sebesar Rp317,86 miliar dan USD28.24

juta belum dikelola dengan tertib;

4. Kementerian Lembaga belum tertib melaksanakan rekonsiliasi penerimaan hibah

Tahun 2014 dan 14 KL belum melaporkan realisasi pendapatan hibah secara

akuntabel sebesar Rp1,45 triliun dan USD77.96 juta;

Page 9: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 2

5. Penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja barang dan belanja

modal pada 69 KL sebesar Rp1,03 triliun tidak sesuai ketentuan;

6. Kesalahan klasifikasi pada Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp845,15 miliar, realisasi

Belanja Bantuan Sosial masih mengendap di rekening Pihak Ketiga sebesar Rp3,35

triliun serta penyaluran dan pertanggungjawaban realisasi Belanja Bantuan Sosial

sebesar Rp11,38 triliun tidak sesuai ketentuan;

7. DJP kurang menetapkan nilai pajak terutang kepada WP sebesar Rp309,93 miliar;

8. DJP belum menagih sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda sebesar

Rp3,14 triliun; dan

9. Skema Pengelolaan Iuran Dana Pensiun (IDP) pada PT Taspen (Persero) tidak

dijalankan sesuai ketentuan dan berpotensi membebani nilai dana titipan IDP di

masa yang akan datang serta terdapat ketidakjelasan ketentuan yang mengatur

tentang status IDP yang dikelola PT Asabri (Persero) dan mekanisme

pengelolaannya.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar:

1. menginstruksikan Direktur Jenderal Pajak untuk:

a. melakukan upaya-upaya yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

untuk mengembalikan kelebihan pengeluaran negara sebesar

Rp99.552.190.906,20;

b. memberikan pembinaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada pemeriksa

pajak, supervisor, kepala kantor terkait, dan pejabat terkait kegiatan pemeriksaan;

c. meneliti kembali perhitungan PBB Pertambangan Sektor Minerba sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dan segera menerbitkan ketetapan pajak dalam hal PBB

kurang ditetapkan;

d. membangun sistem informasi yang memadai terkait PBB Pertambangan Sektor

Minerba dan mengintegrasikan data menyangkut PBB Pertambangan Sektor

Minerba antara KPP Lokasi dengan KPP tempat WP terdaftar;

e. memberikan pembinaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada penilai,

kepala seksi, dan kepala kantor terkait pengelolaan PBB Pertambangan Sektor

Minerba;

f. melakukan penelitian kembali dan/atau mengupayakan penagihan atas

kekurangan piutang pajak sebesar Rp309.936.372.098,47;

g. memberikan pembinaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada AR,

Pelaksana Seksi Penagihan, fungsional pemeriksa, Kepala Seksi Pengawasan dan

Konsultansi, dan Kepala Seksi Penagihan serta Kepala KPP yang terkait;

h. menyempurnakan informasi pemungut PPN dalam Surat Setoran Pajak dan

menyediakan menu penginputan data pemungut dalam aplikasi MPN;

i. menetapkan regulasi terkait saat penerbitan STP atas pembayaran pajak yang

melewati jatuh tempo untuk diakui sebagai piutang pajak per 31 Desember; dan

Page 10: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 3

j. melakukan upaya-upaya yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

untuk mengenakan sanksi administrasi pajak sebesar Rp3.147.374.525.879,16.

2. menginstruksikan Direktur Jenderal Anggaran untuk:

a. melakukan kajian dan evaluasi atas permasalahan kesalahan klasifikasi

penganggaran dan pelaksanaan Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja

Bantuan Sosial sesuai temuan BPK serta menetapkan kebijakan perbaikan sesuai

hasil kajian dan evaluasi; dan

b. melakukan inventarisasi, kajian dan evaluasi atas permasalahan pengelolaan

PNBP di KL sesuai temuan BPK serta menetapkan kebijakan perbaikan sesuai

hasil kajian dan evaluasi;

3. menginstruksikan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk

membentuk helpdesk dalam rangka mempermudah koordinasi mengenai

penatausahaan hibah baik dengan KL maupun dengan pemberi hibah;

4. menginstruksikan Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk:

a. segera menyelesaikan revisi PMK Nomor 191/PMK.05/2011 mengenai

Mekanisme Pengelolaan Hibah dalam rangka pengaturan sanksi pada KL yang

tidak melaksanakan dan menindaklanjuti hasil rekonsiliasi hibah;

b. melakukan kajian mengenai one gate policy atas pengesahan hibah;

c. berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

dalam menyusun pengaturan mengenai template sehingga pengungkapan hibah

terencana dan langsung pada LKKL dapat lebih informatif, akurat, dan

transparan; dan

d. melakukan kajian dan evaluasi atas penetapan biaya penyelenggaraan pensiun

dan pembebanan biaya ke dalam IDP serta biaya-biaya lain yang dapat

dibebankan dalam IDP, kemudian menetapkan kebijakan perbaikan sesuai hasil

kajian dan evaluasi.

5. meminta para Menteri/Kepala Lembaga untuk:

a. menginstruksikan APIP melakukan reviu Rencana Kerja dan Anggaran KL untuk

menjamin klasifikasi anggaran sesuai dengan ketentuan dan menjadikan hasil

reviu sebagai dasar penyusunan anggaran; dan

b. mengoptimalkan verifikasi dalam penyusunan anggaran KL dan penetapan jenis

belanja sesuai dengan jenis kegiatan yang akan dibiayai dan melaksanakan

sosialisasi PP Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN serta

ketentuan pelaksanaannya.

6. menginstruksikan PT Taspen (Persero) untuk menyajikan secara terpisah pencatatan

atas transaksi yang membebani dan/atau menambah IDP dalam Laporan Keuangan

PT Taspen (Persero); dan

7. menetapkan kebijakan mengenai status, mekanisme pengelolaan, dan pelaporan atas

IDP TNI dan Polri yang setara dan seragam dengan pengaturan yang diterapkan pada

IDP PNS.

Page 11: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 4

Uraian selengkapnya mengenai ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan dan rekomendasi perbaikan secara rinci dapat dilihat dalam laporan ini.

Jakarta, 25 Mei 2015

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

Anggota

AGUS JOKO PRAMONO

Akuntan Register Negara Nomor D - 37532

Page 12: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 5

HASIL PEMERIKSAAN ATAS KEPATUHAN TERHADAP PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Hasil Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan LKPP Tahun

2014, adalah sebagai berikut.

1. Pendapatan Negara dan Hibah

1.1 Temuan - DJP Terlalu Besar Memberikan Pengembalian Kelebihan Pembayaran

(Restitusi) Pajak kepada WP Sebesar Rp99,55 Miliar

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2014 (audited) menyajikan

nilai Penerimaan Perpajakan neto TA 2014 sebesar Rp1.146.865.769.098.252,00 dan

saldo Piutang Pajak per 31 Desember 2014 sebesar Rp91.774.168.360.216,00. Nilai

realisasi Penerimaan Perpajakan Tahun 2014 masih dibawah target anggarannya yaitu

sebesar Rp1.246.106.955.600.000,00 atau 92,04%. Sementara, Piutang Pajak Tahun 2014

menurun sebesar Rp11.466.081.073.617,00 atau 11,11% dari saldo Piutang Pajak Tahun

2013 (audited) yang disajikan sebesar Rp103.240.249.433.833,00. Penerimaan Pajak

berasal dari pembayaran pajak oleh Wajib Pajak (WP) dan pembayaran atas ketetapan

pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Piutang Pajak berasal dari

ketetapan pajak yang diterbitkan oleh DJP, tetapi masih belum dilakukan

pembayaran/pelunasan oleh WP.

Ketetapan pajak oleh DJP diantaranya berasal dari hasil pemeriksaan yang

dilakukan oleh pemeriksa pajak maupun hasil keputusan atas upaya hukum yang

dilakukan oleh WP. Ketetapan pajak hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh

pemeriksa pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat

Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), atau Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

Hasil pemeriksaan pada Kantor Wilayah DJP menunjukkan bahwa DJP terlalu

besar dalam memberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebesar

Rp99.552.190.906,20. Rincian permasalahan terkait pengembalian kelebihan

pembayaran pajak tersebut yaitu sebagai berikut.

a. Kegiatan pemeriksaan oleh KPP WP Besar Satu terhadap PT B31 belum sesuai

ketentuan sehingga mengakibatkan kelebihan pemberian restitusi sebesar

USD8,144,721.55 ekuivalen Rp95.162.914.906,20

Tahun 2014, KPP WP Besar Satu membayarkan restitusi kepada PT B31 sebesar

Rp567.054.769.876,00 sesuai SP2D Nomor 140191301022568 tanggal 29

September 2014 dan SPMKP Nomor 091-0409-2014 tanggal 17 September 2014.

Pembayaran ini didasarkan atas SKPLB Nomor 00058/406/12/091/14 tanggal 25

Agustus 2014 sebesar USD48,532,589.00. SKPLB ini diterbitkan berdasarkan LHP

Nomor 283/WPJ.19/KP/0105/RIK.SIS/2014 tanggal 25 Agustus 2014. Pemeriksaan

atas WP ini dilakukan melalui SP2 Nomor PRIN-

00037/WPJ.19/KP/0105/RIK.SIS/2014 tanggal 15 Januari 2014 yang diubah dengan

SP2 Nomor PRIN-P-00157/WPJ.19/KP/0105/RIK.SIS/2014 tanggal 12 Juni 2014.

Hasil pemeriksaan atas LHP menunjukkan bahwa WP membebankan seluruh

amortisasi atas capital expenditure yang diperoleh selama Juli 2012 s.d. Juni 2013

sebesar USD108,596,274.00. Hal ini terjadi karena WP mengelompokkan aktiva

tersebut ke dalam kelompok 1 dengan masa manfaat empat tahun sesuai UU PPh

yang kemudian dilakukan percepatan masa penyusutan dengan PP Nomor 34 Tahun

1994 menjadi dua tahun dengan tarif amortisasi untuk saldo menurun sebesar 100%.

Page 13: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 6

Sesuai dengan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) dan Surat Pemberitahuan Hasil

Pemeriksaan (SPHP), pemeriksa pajak semula mengelompokkan aktiva tersebut di

atas ke dalam kelompok 4. Pengelompokan tersebut didasarkan pada periode operasi

tambang sesuai kontrak adalah lima belas tahun (dihitung sejak Tahun 2012 s.d.

2027). Selanjutnya, pemeriksa pajak mengoreksi nilai amortisasi dari

USD108,596,274.00 menjadi USD21,768,416.00 atau sebesar USD86,827,858.00.

Selanjutnya dalam proses pembahasan akhir hasil pemeriksaan, WP menyampaikan

sanggahan dengan dokumen dan data-data sebagai berikut.

1) Data internal WP yaitu laporan physical rencana pengembangan (mining deposit

june 2013 – LOM asa per SYP 2013-2018) mengenai sisa umur tambang

adalah sebagai berikut.

a) Tambang bawah tanah Kencana UG habis September 2016.

b) Tambang bahwa tanah Toguraci habis Mei 2016.

c) Tambang terbuka Gosowong habis Mei 2014.

2) Surat Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian

ESDM Nomor 390/30/DBM/2012 tanggal 21 Maret 2012 menyebutkan bahwa

dapat menyetujui evaluasi secara menyeluruh meliputi kajian kelayakan aspek

teknis, ekonomis, lingkungan, dan aspek sosial kelayakan usaha tambang emas

dan mineral-mineral pengikutnya (dmp) PT B31.

3) Hasil evaluasi laporan studi kelayakan perusahaan kontrak karya menyatakan

bahwa operasi penambangan dan pengolahan akan berlangsung sampai dengan

2016 dengan rincian lokasi Gosowong akan selesai Agustus 2010, lokasi

Toguraci akan selesai 2016, dan lokasi Kencana akan selesai 2014.

Selanjutnya WP menjelaskan ke pemeriksa pajak sebagai berikut.

1) Berdasarkan dokumen tersebut di atas maka sisa periode operasi hanya menjadi

empat tahun yang berakhir pada Tahun 2016.

2) Capital expenditure terkait pengembangan tambang dan biaya eksplorasi

selama Juli 2012 s.d. Juni 2013 dikelompokkan sebagai aktiva kelompok 1

dengan alasan bahwa aktiva tersebut hanya mempunyai masa manfaat empat

tahun sampai dengan ditutupnya operasi tambang. Pengelompokan tersebut

telah sesuai dengan ketentuan Pasal 11 dan 11A UU PPh Tahun 1994.

3) Halaman 86 kontrak karya poin 4 menyebutkan bahwa kelompok aset dan tarif

penyusutan untuk aktiva yang dimiliki dan dipergunakan di wilayah kontrak

karya dan wilayah proyek mengacu sepenuhnya pada PP Nomor 34 Tahun 1994

tentang Fasilitas Perpajakan atas Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha

Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu. Fasilitas perpajakan yang dapat diberikan

diantaranya adalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.

4) Akibat penerapan fasilitas di bidang perpajakan tersebut, WP mengelompokkan

aktiva yang semula mempunyai masa manfaat empat tahun dipercepat menjadi

dua tahun. Karena WP menerapkan metode penyusutan saldo menurun, tarif

penyusutan yang berlaku adalah sebesar 100% sehingga penyusutan atas aktiva

terkait pengembangan tambang dapat diakui penyusutannya sekaligus pada

tahun perolehan.

Atas sanggahan dan penjelasan WP tersebut, pemeriksa pajak sependapat kemudian

membatalkan koreksi yang telah dilakukannya.

Page 14: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 7

Hasil pengujian BPK menunjukkan bahwa kontrak karya antara Pemerintah dengan

PT B31 Pasal 13 ayat (3) poin (ii) menyatakan untuk menghitung penghasilan kena

pajak berlaku tata cara penghitungan PPh sebagaimana tercantum dalam Lampiran H

yang merupakan bagian dari persetujuan ini. Kecuali ditetapkan lain dalam

persetujuan ini berlaku ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam UU Pajak

Penghasilan Tahun 1994 dan peraturan pelaksanaannya.

Selanjutnya terdapat Surat Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen

Minerba yang merekomendasikan umur teknis tambang sampai dengan 2016.

Berkenaan dengan surat tersebut, WP dapat mengelompokkan aset tersebut ke dalam

kelompok 2 sesuai PP Nomor 34 Tahun 1994, dengan masa amortisasi selama empat

tahun. Dengan demikian, tarif penyusutan dengan metode saldo menurun yang

digunakan adalah sebesar 50%. Sesuai dengan peraturan tersebut, penghitungan

amortisasi atas capital expenditure adalah sebagai berikut.

Tabel 1 Penghitungan Amortisasi atas Capital Expenditure

(dalam rupiah)

Tahun Pajak Amortisasi

ke

Penghitungan Penyusutan Menurut DJP

Penghitungan Penyusutan

Menurut BPK

Akumulasi Penyusutan

Menurut BPK

Kelebihan Pembebanan

per akhir periode

Jul 12-Jun13 1 108,596,274.00 54,298,137.00 54,298,137.00 54,298,137.00

Jul 13-Jun 14 2 - 27,149,068.50 81.447.205,50 27,149,068.50

Jul 14-Jun 15 3 - 13.574.534,25 - -

Jul 15-Jun 16 4 - 13.574.534,25 - -

Jumlah 108,596,274.00 108,596,274.00 - -

Penjelasan atas tabel tersebut adalah sebagai berikut.

1) Tahun Pajak 2012-2013, biaya penyusutan yang seharusnya adalah

USD54,298,137.00.

2) Tahun Pajak 2013-2014, biaya penyusutan yang seharusnya adalah

USD27,149,068.50.

Sehingga pada Tahun 2014, akumulasi penyusutan yang seharusnya adalah

USD81,447,205.50. Namun, PT B31 telah membebankan biaya penyusutan sebesar

USD108,596,274.00 sehingga terdapat kelebihan pembebanan biaya penyusutan

sebesar USD27,149,068.50. Dengan demikian, terdapat kelebihan pembayaran

restitusi sebesar USD8,144,720.55 (30% x USD27,149,068.50) ekuivalen

Rp95.162.914.906,20 (Kurs Rp11.684,00).

b. KPP WP Besar Satu tidak melakukan koreksi positif atas pengkreditan pajak

masukan PPN impor sebesar Rp4.389.276.000,00 yang dilakukan dua kali oleh PT

B32.

KPP WP Besar Satu melakukan pemeriksaan atas WP PT B32 berdasarkan SP2

Nomor PRIN-00681/WPJ.19/KP.03/RIK.SIS/2013 tanggal 25 April 2013.

Pemeriksaan dilakukan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masa Pajak April

2012 dengan LHP Nomor LAP-00011/WPJ.19/KP.0305/RIK.SIS/2014.

Berdasarkan pengujian terhadap LHP dan KKP, pemeriksa pajak mengusulkan

penerbitan SKPLB PPN Masa April sebesar Rp175.907.298.599,00. Lebih bayar

terjadi karena jumlah kredit pajak yang lebih besar dari jumlah PPN yang harus

Page 15: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 8

dipungut, salah satunya yaitu kredit pajak PPN impor sejumlah

Rp226.350.125.000,00. Berdasarkan pemeriksaan terhadap kredit pajak PPN impor,

kredit PPN impor tersebut termasuk faktur pajak masukan sebesar

Rp4.389.276.000,00 yang dikreditkan dua kali oleh WP dengan rincian sebagai

berikut.

Tabel 2 Faktur Pajak Masukan yang Dikreditkan Dua Kali oleh WP

(dalam rupiah)

No DJBC Nomor PIB Tanggal PIB Jumlah

1 KPBC Merak 000000.006098.20120113.001480 13 Januari 2012 4.028.400.000,00

2 KPBC Tanjung Perak 070000.000247.20120208.000639 08 Februari 2012 360.876.000,00

Total 4.389.276.000,00

Atas pengkreditan PPN faktur pajak masukan dua kali tersebut, pemeriksa pajak

seharusnya melakukan koreksi positif sebesar Rp4.389.276.000,00. Dengan

demikian, terdapat kelebihan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebesar

Rp4.389.276.000,00.

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 15 ayat (1) yang

menyatakan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu lima tahun setelah saat terutangnya

pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila

ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang

setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan;

b. PP Nomor 34 Tahun 1994 tentang Fasilitas Perpajakan atas Penanaman Modal di

Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu Pasal 2 ayat (2)

Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu huruf Penyusutan

dan amortisasi yang dipercepat diantaranya.

Tabel 3 Penyusutan dan Amortisasi yang Dipercepat Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 1994 tentang Fasilitas Perpajakan atas Penanaman Modal

Kelompok Harta Masa Manfaat

menjadi

Tarif Penyusutan dan Amortisasi Berdasarkan metode

Garis Lurus Saldo Menurun

Bukan bangunan atau harta tak berwujud

Kelompok 1 2 Tahun 50% 100%

Kelompok 2 4 Tahun 25% 50%

Kelompok 3 8 Tahun 12,5% 50%

Kelompok 4 10 Tahun 10% 20%

c. Kontrak Karya antara Pemerintah dengan PT B31 yang mendapat persetujuan pada

28 April 1997.

Permasalahan tersebut mengakibatkan DJP terlalu besar dalam memberikan

pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp99.552.190.906,20.

Permasalahan tersebut disebabkan:

a. Tim pemeriksa pajak terkait kurang cermat dalam menjalankan tugas dan

menerapkan ketentuan yang berlaku dalam pemeriksaan; dan

Page 16: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 9

b. Proses pengawasan berjenjang dari Supervisor dan Kepala Kantor tidak optimal.

Atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah

menanggapi sebagai berikut.

a. Kegiatan pemeriksaan oleh KPP WP Besar Satu terhadap PT B31 belum sesuai

ketentuan mengakibatkan adanya kelebihan pemberian restitusi sebesar

USD8,144,721.55 atau sebesar Rp95.162.914.906,20

Perolehan aktiva atas pengembangan tambang dan biaya eksplorasi selama Juli 2012

s.d. Juni 2013 dikelompokkan sebagai aktiva kelompok 1 dengan alasan aktiva

tersebut hanya mempunyai masa manfaat empat tahun sampai dengan ditutupnya

operasi tambang. Pengelompokan tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 11

dan 11A UU PPh Tahun 1994.

Selain itu, jangka waktu kontrak karya adalah lamanya jangka waktu yang diberikan

pemerintah kepada kontraktor untuk mengusahakan suatu wilayah tambang.

Sedangkan umur tambang mempunyai arti umur ekonomis atau lamanya jangka

waktu suatu area of interest (lokasi/blok tambang) untuk ditambang sampai

cadangan tambang habis untuk dieksploitasi. Jangka waktu kontrak karya tidak sama

artinya dengan umur tambang, karena dalam suatu wilayah tambang dapat terdiri

dari beberapa area of interest.

Kontrak Karya Pasal 14 menyebutkan bahwa perusahaan harus menyerahkan laporan

keuangan yang terdiri dari Neraca, Rugi Laba dan semua keterangan keuangan

lainnya sesuai prinsip pembukuan yang berlaku di Indonesia (PSAK). Terkait

dengan kegiatan eksplorasi dan biaya pengembangan, prinsip pembukuan diatur

dalam PSAK 33. PSAK 33 paragraph 10 mengatur ekplorasi pada setiap area of

interest harus diperlakukan secara terpisah untuk menentukan apakah biaya-biaya

yang terjadi pada kegiatan eksplorasi dan pengembangannya dapat dikapitalisasikan

atau dibebankan pada periode berjalan. Selanjutnya, paragraph 31 e amortisasi

menyebutkan bahwa pada keadaan tertentu apabila dianggap dapat memberikan

informasi keuangan yang lebih tepat, amortisasi dihitung berdasarkan taksiran umur

ekonomis area of interest. Dalam hasil evaluasi dari Kementerian ESDM, umur

tambang atas area of interest (lokasi/blok tambang) KUG, TUG, dan GC adalah 4

tahun.

Dalam menghitung kewajiban perpajakannya, PT B31 tunduk pada Ketentuan PP

Nomor 34 Tahun 1994 yang memberikan fasilitas perpajakan berupa penyusutan dan

amortisasi yang dipercepat. Dengan demikian, amortisasi atas aset yang semula

mempunyai masa manfaat 4 tahun dipercepat menjadi 2 tahun. PT B31

menggunakan metode saldo menurun secara konsisten sehingga tarif amortisasi

adalah 100 % atau membebankan seluruh biaya amortisasi pada Tahun Pajak 2012.

b. KPP WP Besar Tiga tidak melakukan koreksi positif atas pengkreditan pajak

masukan atas PPN Impor sebesar Rp4.389.276.000,00 yang dilakukan dua kali oleh

WP.

KPP WP Besar Tiga telah menerbitkan SKPKBT Nomor 00001/307/12/051/15 pada

tanggal 23 April 2015 sebesar Rp4.389.276.000,00 berdasarkan hasil verifikasi

Account Representative atas nama PT B32. Atas SKPKBT tersebut, WP telah

melakukan pembayaran berdasarkan SSP Nomor 00001/307/12/051/15 pada tanggal

24 April 2015 sebesar Rp4.389.276.000,00 dengan NTPN Nomor

1213100113070705.

Page 17: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 10

Atas tanggapan poin a, BPK berpendapat bahwa berkenaan dengan Surat

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba yang merekomendasikan umur

teknis tambang sampai dengan 2016 WP dapat mengelompokkan aset tersebut ke dalam

kelompok 2 sesuai PP Nomor 34 Tahun 1994, dengan masa amortisasi selama 4 tahun.

Dengan demikian, tarif penyusutan dengan metode saldo menurun yang digunakan adalah

sebesar 50%.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar menginstruksikan Direktur Jenderal Pajak untuk:

a. melakukan upaya-upaya yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

untuk mengembalikan kelebihan pengeluaran negara sebesar Rp99.552.190.906,20;

b. memberikan pembinaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada pemeriksa

pajak, supervisor, kepala kantor terkait, dan pejabat terkait kegiatan pemeriksaan.

Atas rekomendasi tersebut, DJP telah menindaklanjuti sebelum LHP diterbitkan

dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Nomor

00001/307/12/051/15 sebesar Rp4.389.276.000,00 pada tanggal 23 April 2015. PT B32

telah membayar lunas SKPKBT tersebut pada tanggal 24 April 2015.

1.2 Temuan - DJP Tidak/Kurang Menetapkan Penerimaan PBB Pertambangan Sektor

Mineral dan Batubara Minimal Sebesar Rp248,87 Miliar

LKPP Tahun 2014 (audited) menyajikan realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan

Bangunan sektor Mineral dan Batubara (PBB Minerba) Pertambangan TA 2014 sebesar

Rp1.021.593.867.517,00. Nilai Penerimaan PBB Minerba tersebut meningkat sebesar

Rp391.398.471.583,00 atau 62,11% dari Tahun 2013 (audited) yang disajikan sebesar

Rp630.195.395.934,00.

Hasil pemeriksaan atas penetapan SPPT PBB Minerba Pertambangan

menunjukkan terdapat penetapan PBB Minerba yang tidak sesuai ketentuan, yaitu sebagai

berikut.

a. Kanwil DJP Kalimantan Timur tidak menetapkan SPPT PBB Minerba untuk PT B40

dan PT B41 sebesar Rp32.593.020.211,00

Hasil pemeriksaan atas daftar penetapan SPPT Minerba menunjukkan bahwa Kanwil

DJP Kalimantan Timur tidak menetapkan SPPT PBB Minerba atas PT B40 dan PT

B41 yang merupakan Pengusaha pemegang kontrak PKP2B Generasi I. Kontrak

antara Pemerintah RI dan PT B40 Nomor J2/Ji.DU/45/81 tanggal 2 November 1982

dan Pemerintah RI dan PT B40 Nomor J2/Ji.DU/12/83 tanggal 26 April 1983

menyatakan bahwa Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) dan pajak-pajak daerah

lainnya, imbalan atau pembayaran dalam bentuk pembayaran tahunan sekaligus,

jumlah mana hanyalah sebesar USD100,000 atau yang setara dalam Rupiah setiap

tahun yang dimulai sejak Periode Konstruksi. Angka USD100,000 didasarkan pada

nilai tukar Dolar Tahun 1982 dan harus disesuaikan setiap dua tahun sekali sesuai

dengan deflator yang diterbitkan oleh IBRD.

Namun demikian, perjanjian antara DJP dengan PT B40 dan PT B41 menyatakan

bahwa pembayaran PBB Minerba hanya sebesar 50% dari kontrak. Selanjutnya PT

B40 dan PT B41 harus membayarkan 50% sisanya kepada Pemerintah Daerah

setempat terkait dengan pungutan daerah lainnya.

Page 18: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 11

Oleh karena itu, penetapan SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk PT B40 dan PT

B41 seharusnya sebesar Rp34.755.675.000,00 atau masing-masing sebesar

Rp17.377.837.500,00 (USD50.000 x 28,43 x Rp12.225/USD). Atas nilai tersebut,

PT B40 telah melakukan pembayaran sebesar Rp2.162.654.789,00.

Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa DJP belum menetapkan SPPT PBB

Minerba atas PT B40 sebesar Rp15.215.182.711,00 dan PT B41 sebesar

Rp17.377.837.500,00. Atas temuan BPK ini, DJP menindaklanjuti dengan

menerbitkan SPPT PBB Minerba atas nama PT B40 sebesar Rp15.215.182.711,00

pada 24 April 2015 dan SPPT PBB Minerba atas nama PT B41 sebesar

Rp17.377.837.500,00 pada 24 April 2015.

b. DJP kurang menetapkan PBB sektor Pertambangan Mineral dan Batubara sebesar

Rp216.276.143.764,33

Hasil pemeriksaan atas dokumen daftar penetapan SPPT PBB Minerba, SPT

Tahunan PPh Badan dan Laporan Keuangan WP menunjukkan terdapat Pajak

Terutang PBB Minerba yang kurang ditetapkan atas 16 WP sebesar

Rp210.558.615.009,36 dan yang belum ditetapkan atas 2 WP sebesar

Rp5.717.528.754,97 dengan rincian dalam Lampiran 1.2.1 dan Lampiran 1.2.2.

Selain informasi tersebut, DJP telah menetapkan SPPT PBB Minerba sebanyak

1.597 WP atau hanya 20% dari seluruh perusahaan pertambangan yang terdaftar

pada Kementerian ESDM sebanyak 7.926 Perusahaan.

c. Penatausahaan PBB Minerba pada DJP tidak memadai

BPK telah meminta data dan dokumen terkait PBB Minerba, diantaranya SPOP,

SPPT, SPT Tahunan Badan, dan Laporan Keuangan. Namun demikian, sampai

berakhirnya pemeriksaan pihak DJP tidak memberikan sebagian besar data dan

dokumen yang diminta.

Menteri Keuangan hanya mengizinkan pemberian data dan dokumen terkait PBB

Minerba untuk 1.168 WP. Sampai dengan pemeriksaan lapangan berakhir, DJP

hanya memberikan data dan dokumen secara lengkap sejumlah 62 WP, sehingga

BPK tidak dapat melakukan pengujian atas 1.106 WP.

DJP menyatakan terdapat kesulitan teknis dalam memenuhi permintaan dokumen

pemeriksaan yang diadministrasikan di KPP Pratama dalam jangka waktu yang

ditentukan. Hal tersebut disebabkan penatausahaan PBB Minerba di KPP Pratama

masih dilakukan secara manual dan tersebar di seluruh Indonesia. Atas 1.106 WP,

DJP telah menetapkan SPPT PBB Minerba untuk 350 WP dengan nilai ketetapan

sebesar Rp288.988.341.860,00 dan belum menetapkan untuk 756 WP.

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sttd UU Nomor 12

Tahun 1994;

b. Kontrak Karya Perusahaan Pertambangan Mineral;

c. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B);

d. Perdirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2012 tentang Tata Cara Pengenaan PBB sektor

Pertambangan Mineral dan Batubara; dan

e. Kepdirjen Pajak Nomor KEP-132/PJ/2013 yang mengatur diantaranya tentang

Angka Kapitalisasi untuk penghitungan NJKP PBB Pertambangan Mineral dan

Batubara.

Page 19: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 12

Permasalahan tersebut mengakibatkan:

a. Kekurangan potensi penerimaan negara sebesar Rp248.869.163.975,33

(Rp32.593.020.211,00 + Rp210.558.615.009,36 + Rp5.717.528.755,97);

b. Penetapan SPPT dan Penerimaan PBB Minerba sebesar Rp288.988.341.860,00 tidak

dapat diyakini kewajarannya;

c. Potensi penerimaan PBB Minerba dari 756 WP tidak dapat segera direalisasikan; dan

d. Potensi penerimaan PBB Minerba yang belum tergali dari 80% jumlah perusahaan

pertambangan secara nasional.

Permasalahan ini disebabkan:

a. Pelaksana penilai tidak menetapkan SPPT sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

b. Belum adanya integrasi data dari KPP Lokasi dengan KPP tempat WP terdaftar,

khususnya dalam informasi mengenai Laporan Keuangan WP; dan

c. Pengawasan berjenjang dari Kepala Seksi dan Kepala KPP terkait kurang memadai.

Atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah

menanggapi sebagai berikut.

a. DJP telah menerbitkan SPPT PBB Minerba 2014 atas nama:

1) PT B40 sebesar Rp15.215.182.711;

2) PT B41 sebesar Rp17.377.837.500;

3) PT B59 sebesar Rp611.250.000.;

b. DJP akan melakukan koordinasi internal dengan pertukaran data antara KPP Pratama

dengan KPP tempat WP terdaftar dalam rangka menghitung kembali PBB Minerba

atas 17 WP yang menurut BPK kurang dan/atau belum ditetapkan sebesar

Rp215.664.893.764,00;

c. Dalam hal hasil perhitungan kembali sebagaimana huruf b di atas kurang ditetapkan,

DJP akan menindaklanjutinya sesuai ketentuan yang berlaku;

d. DJP telah membangun aplikasi SIDJP NINE yang baru diimplementasikan di Tahun

2015; dan

e. DJP akan melakukan penyempurnaan aplikasi SIDJP NINE secara berkelanjutan.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar menginstruksikasn Direktur Jenderal Pajak untuk:

a. meneliti kembali perhitungan PBB Pertambangan Sektor Minerba sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dan segera menerbitkan ketetapan pajak dalam hal PBB

kurang ditetapkan;

b. membangun sistem informasi yang memadai terkait PBB Pertambangan Sektor

Minerba dan mengintegrasikan data menyangkut PBB Pertambangan Sektor

Minerba antara KPP Lokasi dengan KPP tempat WP terdaftar; dan

c. memberikan pembinaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada penilai,

kepala seksi, dan kepala kantor terkait pengelolaan PBB Pertambangan Sektor

Minerba.

Page 20: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 13

1.3 Temuan - PNBP pada 44 Kementerian/Lembaga (KL) Terlambat/Belum Disetor

Sebesar Rp361,41 Miliar, Kurang/Tidak Dipungut Sebesar Rp132,67 Miliar,

Digunakan Langsung di Luar Mekanisme APBN Sebesar Rp304,53 Miliar serta

Belum Dikelola dengan Tertib Sebesar Rp317,86 Miliar dan USD28.24 Juta

LKPP Tahun 2014 (audited) menyajikan realisasi PNBP Lainnya yang dikelola

oleh KL TA 2014 sebesar Rp87.746.767.296.051,00. Realisasi tersebut meningkat

25,94% atau sebesar Rp18.074.911.405.549,00 dari Tahun 2013 (audited) sebesar

Rp69.671.855.890.502,00.

LHP BPK atas LKPP Tahun 2013 mengungkapkan: (1) adanya PNBP yang

terlambat dan belum disetor ke kas negara sebesar Rp206.514.826.918,51,00 serta PNBP

Kurang/Tidak Dipungut Sebesar Rp10.210.604.178,02 dan USD1,000,000.00; dan (2)

adanya PNBP dan pungutan lainnya yang digunakan langsung sebesar

Rp166.471.915.080,85 serta terdapat indikasi setoran PNBP fiktif sebesar

Rp1.572.279.500,00. Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada

Pemerintah agar memperbaiki peraturan PNBP terkait mekanisme penyetoran PNBP ke

Kas Negara, meningkatkan penyelesaian revisi DIPA, mengatur sanksi yang tegas atas

keterlambatan penyetoran dan penggunaan langsung, merevisi UU PNBP terutama yang

menyangkut kewenangan penetapan jenis dan penyesuaian tarif PNBP yang memudahkan

pelaksanaannya, dan melakukan pendataan dan pemantauan atas potensi PNBP di seluruh

KL.

Atas permasalahan PNBP tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan

Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan

Elektronik, serta Peraturan Dirjen Anggaran Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Cara

Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Non Anggaran

Secara Elektronik. Pemerintah akan mengatur sanksi yang tegas atas keterlambatan

penyetoran dan penggunaan langsung PNBP dalam Revisi UU Nomor 20 Tahun 1997

Tentang PNBP. Selain itu, Pemerintah juga telah menyempurnakan pengaturan tentang

penyelesaian Revisi DIPA PNBP dalam PMK 257/PMK.02/2014 tentang Tata Cara

Revisi Anggaran TA 2015. Terkait PNBP yang melebihi tarif, Pemerintah melakukan

pendataan dan memproses Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP

yang berlaku pada KL, serta melakukan pemantauan realisasi PNBP dengan

menggunakan aplikasi Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI) sesuai dengan

Peraturan Dirjen Anggaran Nomor 1 Tahun 2014.

Namun demikian, pada pemeriksaan LKPP Tahun 2014, BPK masih menemukan

permasalahan pengelolaan PNBP pada 44 KL sebesar Rp1.116.485.382.722,70 dan

USD28,243,719.92 dengan rincian sebagai berikut.

a. PNBP Terlambat Disetor Sebesar Rp297.085.112.249,39 dan Belum Disetor ke

Kas Negara Sebesar Rp64.325.794.908,18 pada 20 KL

Permasalahan PNBP yang terlambat dan belum disetor ke Kas Negara diantaranya

terjadi pada:

1) Kementerian Agama berupa keterlambatan penyetoran PNBP yang bersumber

dari pengurusan nikah rujuk sebesar Rp255.942.318.667,00 selama 8 s.d. 74 hari

dan PNBP yang bersumber dari jasa giro dan penerimaan swakelola kebun sawit

sebesar Rp365.002.134,66 belum disetor;

2) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berupa PNBP yang

bersumber dari pendapatan sisa dana beasiswa dan pendapatan jasa giro yang

Page 21: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 14

belum disetor sebesar Rp49.052.882.815,00;

3) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi berupa keterlambatan penyetoran

selama 1 s.d. 105 hari atas pendapatan jasa teknologi sebesar

Rp25.744.003.737,00;

4) Kementerian Kehutanan berupa PNBP yang bersumber dari pemanfaatan aset

(sewa BMN) sebesar Rp6.601.800.700,12 belum disetor;

5) Kejaksaan Agung berupa keterlambatan penyetoran PNBP yang bersumber dari

uang rampasan sebesar Rp4.087.231.831,00 selama 1 s.d. 501 hari dan PNBP

yang bersumber dari uang pengganti, uang rampasan dan denda tilang verstek

sebesar Rp1.664.270.780,00 belum disetor;

6) Badan Pertanahan Nasional berupa keterlambatan penyetoran selama 1 s.d. 330

hari atas jasa pelayanan pertanahan sebesar Rp3.613.803.172,00;

7) Kementerian Perindustrian berupa PNBP yang bersumber dari pendapatan

angsuran pokok pinjaman sebesar Rp3.040.402.774,00 belum disetor; dan

8) Kementerian Pertanian berupa keterlambatan selama 1 s.d. 150 hari atas

penyetoran PNBP yang bersumber dari jasa karantina penjualan hasil sebesar

Rp2.934.412.613,00.

Rincian KL dapat dilihat pada Lampiran 1.3.1.

b. PNBP Kurang/Tidak Dipungut Sebesar Rp132.675.951.013,69 pada 19 KL

Adanya PNBP yang kurang/tidak dipungut sebesar Rp132.675.951.013,69 yang

terjadi pada 19KL, dengan rincian sebagai berikut.

1) PNBP kurang pungut sebesar Rp9.574.417.066,24 terjadi pada 17 KL.

Permasalahan PNBP kurang pungut diantaranya terjadi pada Kementerian

Komunikasi dan Informatika yang bersumber dari kontribusi Kewajiban

Pelayanan Universal/Universal Service Obligation (KPU/USO) sebesar

Rp1.085.617.789,66, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang

bersumber dari pendapatan KSO Gedung Sapta Pesona B sebesar

Rp3.216.538.530,00 dan Badan Pertanahan Nasional yang bersumber dari jasa

pelayanan pertanahan sebesar Rp2.531.321.585,00; dan

2) PNBP yang tidak dipungut sebesar Rp123.101.533.947,45 terjadi pada sembilan

KL antara lain pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebesar

Rp116.238.116.000,00 dan Arsip Nasional Republik Indonesia sebesar

Rp3.730.977.200,00.

Rincian pada Lampiran 1.3.2.

c. PNBP Digunakan Langsung Sebesar Rp45.502.769.444,53

Terdapat PNBP yang digunakan langsung sebesar Rp45.502.769.444,53 pada tiga

KL diantaranya merupakan penggunaan langsung sebesar Rp44.199.668.795,53 pada

Kementerian Pertahanan berupa pendapatan dari sewa BMN dan penggunaan

langsung sebesar Rp1.074.697.149,00 pada Badan Pengusahaan Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang berupa jasa kepelabuhan.

Rincian pada Lampiran 1.3.3

d. PNBP yang Belum Didukung dengan Dasar Hukum Sebesar

Rp484.947.710.685,00

Terdapat PNBP yang belum didukung dengan dasar hukum (PP Penetapan Jenis dan

Page 22: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 15

Tarif PNBP) sebesar Rp484.947.710.685,00 yang terjadi pada 14 KL, dengan rincian

sebagai berikut.

1) Pungutan yang belum didukung dengan dasar hukum dan sudah disetorkan ke

kas negara sebesar Rp225.911.390.186,00 pada tujuh KL diantaranya berupa

pendapatan dari jalan tol pada Kementerian Pekerjaan Umum sebesar

Rp222.625.892.335,00.

2) Pungutan yang belum didukung dengan dasar hukum digunakan langsung oleh

KL sebesar Rp259.036.320.499,00 terjadi pada sembilan KL. Permasalahan

penggunaan langsung diantaranya terjadi pada LPP TVRI yaitu pungutan Tahun

2014 atas jasa siaran dan non siaran (jasinonsi) sebesar Rp184.889.731.990,00

dan penggunaan langsung Tahun 2014 sebesar Rp199.094.817.324,00

(termasuk sisa pungutan tahun sebelumnya) dan pada Kementerian Pertanian

berupa pungutan atas jasa kerjasama penelitian/pelatihan dan pengujian

substantif untuk perijinan sebesar Rp3.542.032.236,00 yang digunakan

langsung sebesar Rp3.523.351.736,00.

Rincian pada Lampiran 1.3.3.

e. Permasalahan PNBP Lainnya Sebesar Rp91.948.044.421,91 dan

USD28,243,719.92

Permasalahan PNBP Lainnya pada 13 KL sebesar Rp91.948.044.421,91 dan

USD28,243,719.92, diantaranya adalah permasalahan ketidaksesuaian dengan

ketentuan yang berlaku. Permasalahan tersebut antara lain terjadi pada Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar USD28,243,719.92 berupa kewajiban dua

kontraktor KKKS serta iuran tetap Tahun 2013 dan 2014 yang berindikasi kurang

diterima negara, Badan Pengawas Tenaga Nuklir sebesar Rp3.504.094.000,00

berupa surat izin bekerja dan penggunaan alat fasilitas radiasi dan zat radioaktif yang

telah habis masa berlakunya namun belum diperpanjang, dan Badan Pusat Statistik

sebesar Rp1.909.125.000,00 berupa biaya ujian masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistik

(STIS) yang dipungut melebihi tarif PP dan telah disetor ke kas negara. Rincian pada

Lampiran 1.3.4.

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP:

1) Pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

Terutang adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dibayar pada suatu

saat, atau dalam suatu periode tertentu menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

2) Pasal 2:

a) ayat (2) menyatakan bahwa kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

yang ditetapkan dengan Undang-Undang, jenis Penerimaan Negara Bukan

Pajak yang tercakup dalam kelompok ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah; dan

b) ayat (3) menyatakan bahwa jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum

tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah.

3) Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan

Pajak ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang

Page 23: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 16

menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan;

4) Pasal 4 menyatakan bahwa seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib

disetor langsung secepatnya ke Kas Negara; dan

5) Pasal 5 menyatakan bahwa seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak dikelola

dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

b. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara:

1) Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa setiap kementerian negara/lembaga/satuan

kerja perangkat daerah yang mempunyai sumber pendapatan wajib

mengintensifkan perolehan pendapatan yang menjadi wewenang dan tanggung

jawabnya; dan

2) Pasal 16 ayat (3) menyatakan bahwa penerimaan kementerian

negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah tidak boleh digunakan langsung

untuk membiayai pengeluaran;

c. PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Pasal

22 ayat (3) yang menyatakan bahwa penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan

dengan ketentuan BMN oleh pengelola barang.

Permasalahan tersebut mengakibatkan:

a. Pemerintah terlambat menerima PNBP sebesar Rp361.410.907.157,57;

b. Kekurangan penerimaan negara dari PNBP sebesar Rp132.675.951.013,69;

c. Penggunaan langsung PNBP sebesar Rp304.539.089.943,53 (Rp45.502.769.444,53

+ Rp259.036.320.499,00) tidak akuntabel dan transparan; dan

d. Pengelolaan PNBP sebesar Rp317.859.434.607,91 (Rp225.911.390.186,00 +

Rp91.948.044.421,91) dan USD28,243,719.92 tidak tertib dan diantaranya

berindikasi kerugian negara sebesar Rp139.140.000,00.

Permasalahan tersebut disebabkan:

a. Satker pengelola PNBP KL tidak mematuhi peraturan yang berlaku;

b. Pendataan dan pemantauan atas potensi PNBP pada setiap KL belum memadai; dan

c. Pemerintah belum mengimplementasikan sistem informasi PNBP secara memadai.

Atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah

menanggapi bahwa ketentuan mengenai penyetoran PNBP telah diatur dalam berbagai

peraturan yaitu sebagai berikut.

a. PP yang mengatur tentang tarif PNBP pada masing-masing KL;

b. PP Nomor 73 Tahun 1999 tentang tata cara penggunaan PNBP yang bersumber dari

kegiatan tertentu Pasal 4:

1) ayat (1) menyatakan sebagian dana dari suatu Penerimaan Negara Bukan Pajak

dapat digunakan oleh Instansi yang bcrsangkutan untuk kegiatan tertentu yang

berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut dengan tetap

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3;

2) ayat (2) menyatakan besarnya bagian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan oleh Menteri.

c. PMK Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan

Pajak oleh Bendahara Penerimaan Pasal 2: Seluruh PNBP wajib disetor langsung

secepatnya ke Kas Negara;

d. Perdirjen Nomor PER-17/PB/2013 tentang Ketentuan Lebih Lanjut Tata Cara

Pembayaran PNBP atas Beban APBN; dan

Page 24: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 17

e. Perdirjen Bersama DJA dan DJPBN Nomor PER-26/PB/2013 dan PER-02/AG/2013

tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Tugas Kanwil DJPBN di Bidang

Penganggaran dan PNBP.

Disamping itu,untuk meningkatkan penerimaan negara, Pemerintah telah melakukan

upaya untuk memberikan kemudahan dalam penyetoran penerimaan negara melalui

elektronik yang diatur dalam PMK Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan

Negara Secara elektronik. Dengan kemudahan tersebut diharapkan akan dapat

meningkatkan kepatuhan satker untuk segera menyetorkan penerimaan

negara.Selanjutnya dalam rangka meningkatkan efektivitas atas pengelolaaan PNBP,

Pemerintah telah mengambil langkah melalui pelaksanaan monitoring dan evaluasi atas

pengelolaan PNBP oleh satker khususnya terkait kepatuhan satker dalam penyetoran,

penggunaan dan pelaporan PNBP. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi PNBP tersebut

merupakan bentuk sinergi Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan dengan

melibatkan Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Hal ini telah diatur dalam PMK Nomor

169/PMK.05/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Ditjen

Perbendaharaan.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar memerintahkan Direktur Jenderal Anggaran untuk

melakukan inventarisasi, kajian dan evaluasi atas permasalahan pengelolaan PNBP di KL

sesuai temuan BPK dan menetapkan kebijakan perbaikan sesuai hasil kajian dan evaluasi.

1.4 Temuan - KL Belum Tertib Melaksanakan Rekonsiliasi Penerimaan Hibah Tahun

2014 dan 14 KL Belum Melaporkan Realisasi Pendapatan Hibah Secara Akuntabel

Sebesar Rp1,45 Triliun dan USD77.96 Juta

LKPP Tahun 2014 (audited) menyajikan realisasi pendapatan hibah TA 2014

sebesar Rp5.034.520.904.737,00 atau sebesar 216,53% dari anggaran yaitu sebesar

Rp2.325.114.000.000,00. Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan hibah, pihak KL

melakukan rekonsiliasi dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

(DJPPR) setiap triwulan.

Hasil pemeriksaan lebih lanjut terhadap pelaksanaan rekonsiliasi hibah dan

pelaporan hibah langsung KL TA 2014 menunjukkan permasalahan sebagai berikut.

a. Rekonsiliasi hibah antara KL dengan DJPPR belum memadai

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor

230/PMK.05/2011 tentang Sistem Akuntansi Hibah, KL melakukan rekonsiliasi

dengan DJPPR atas realisasi pendapatan hibah secara triwulanan. Apabila ditemukan

ketidakcocokan pada saat rekonsiliasi tersebut, maka pihak KL bersama-sama

dengan pihak DJPPR melakukan penelusuran lebih lanjut terkait selisih tersebut.

DJPPR menjelaskan bahwa pihak DJPPR telah mengundang 73 KL untuk

melakukan rekonsiliasi melalui Surat Nomor S-642/PU/2014 tanggal 4 September

2014 dan mengundang kembali 15 KL untuk melakukan rekonsiliasi tanggal 20

November 2014 melalui surat Nomor UND-205/PU/2014, UND-206/PU/2014,

UND-207/PU/2014, UND-208/PU/2014, dan UND-209/PU/2014.

Pengujian lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 73 KL yang diundang, yang

melakukan rekonsiliasi hanya 22 KL dan hanya 16 KL yang melakukan rekonsiliasi

sampai dengan Desember 2014 sebagaimana diuraikan pada Lampiran 1.4.1.

Page 25: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 18

Sebagai upaya dalam penyelesaian masalah rekonsiliasi dan penatausahaan hibah,

DJPPR telah beberapakali mengadakan pertemuan dengan pihak pemberi hibah luar

negeri serta KL penerima hibah. Berdasarkan beberapa pertemuan tersebut diketahui

bahwa sebagian besar permasalahan terkait konfirmasi dikarenakan minimnya

informasi yang diterima serta terbatasnya pemahaman pemberi hibah dan KL

mengenai mekanisme pengelolaan hibah serta tata cara penyelesaian dari

permasalahan yang timbul dalam pengelolaan hibah.

Pengujian lebih lanjut menunjukkan bahwa DJPPR selaku pengelola hibah belum

memiliki mekanisme yang komprehensif dan terstruktur dalam mengelola informasi,

pertanyaan dan permasalahan terkait rekonsiliasi, konfirmasi dan pencatatan hibah.

DJPPR selama ini telah berusaha memfasilitasi penyelesaian masalah rekonsiliasi

hibah yang ada, tetapi masih bersifat parsial atau case by case sehingga berpotensi

membutuhkan lebih banyak waktu dalam pelaksanaannya. Selain itu, belum terdapat

mekanisme yang mempermudah distribusi informasi serta sarana penyelesaian

masalah terkait konfirmasi dan rekonsiliasi.

Sebagai upaya dalam melakukan validasi atas pencatatan hibah, Tim pemeriksa

melakukan pengujian lebih lanjut melalui analisa pengungkapan pada masing-

masing Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) penerima hibah. Hasil

pengujian menunjukkan belum seluruh LKKL menyajikan data yang cukup

informatif dan akurat atas penyajian hibah dan tidak terdapat suatu standar

pengungkapan yang memadai atas pendapatan hibah yang diterima pada masing-

masing LKKL sehingga menyulitkan pengguna laporan dalam memperoleh

informasi yang akurat dan valid atas pendapatan hibah yang dikelola oleh KL.

b. Terdapat Realisasi Pendapatan Hibah Langsung TA 2014 yang belum dilaporkan

secara akuntabel sebesar Rp1.445.727.122.168,50 dan USD77,960,070.00

Pendapatan/belanja yang bersumber dari hibah di luar mekanisme APBN merupakan

hibah berupa uang, barang, dan jasa yang langsung diterima oleh KL. Kelengkapan

pencatatan penerimaan/belanja hibah di luar mekanisme APBN sangat tergantung

kepada kelengkapan data dan informasi yang disampaikan KL kepada Menteri

Keuangan selaku BUN dhi. DJPPR. Oleh karena itu, untuk mendukung kelengkapan

data dan informasi, KL yang menerima hibah dalam bentuk uang, barang, dan jasa

wajib mengajukan register dan/atau pengesahan kepada DJPPR. KL penerima hibah

dalam bentuk uang, barang, dan jasa yang tidak mengajukan register dan/atau

pengesahan akan diberikan sanksi administrasi sesuai PMK Nomor

191/PMK.05/2011 tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah.

LHP atas LKPP Tahun 2012 dan 2013 telah mengungkapkan kelemahan kepatuhan

atas pengelolaan pendapatan hibah yaitu terdapat rekonsiliasi dan konfirmasi

pendapatan hibah Tahun 2012 oleh BUN belum memadai dan masih terdapat 15 KL

yang belum melaporkan pendapatan hibah sebesar Rp499.619.600.440,70 serta

penatausahaan pendapatan hibah Tahun 2013 belum memadai atas 19 KL sebesar

Rp2.689.471.429.913,62 yang belum dilaporkan kepada BUN.

Rekomendasi BPK atas temuan tersebut adalah menyempurnakan peraturan

pemberian sanksi yang diatur dalam PMK Nomor 191/PMK.05/2011 mengenai

Mekanisme Pengelolaan Hibah dengan memperjelas pengaturan kewenangan dan

mekanisme pemberian sanksi dari Pimpinan KL selaku Pengguna Anggaran kepada

Page 26: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 19

kepala satker yang tidak tertib dalam melaporkan hibah langsung yang diterimanya

sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku.

Atas permasalahan tersebut, Pemerintah menyampaikan usulan revisi PMK tersebut

kepada DJPB yang mengakomodasi usulan one gate policy pengesahan hibah di

KPPN dan penetapan sanksi yang jelas dan tegas terhadap KL yang tidak

melaporkan hibah langsung yang diterimanya melalui Surat Nomor S-595/PU/2013

tanggal 30 Agustus 2013 perihal Penyampaian Usulan Revisi PMK Nomor

191/PMK.05/2011. Pokok-pokok perubahan antara lain: 1) penyederhanaan

mekanisme registrasi hibah dan pengesahan hibah langsung, 2) pemberian sanksi

yang lebih tegas terhadap KL yang tidak melaporkan hibah ke Kementerian

Keuangan, dan 3) penambahan ketentuan mengenai kriteria hibah, perjanjian hibah,

dan konsultasi hibah. Berdasarkan hasil pemantauan tindak lanjut, sampai dengan

akhir Tahun 2014 revisi PMK Nomor 191/PMK.05/2011 tersebut belum selesai dan

draf revisi masih berada di DJPB serta belum mendapatkan tanggapan.

Namun demikian, dalam pemeriksaan atas LKPP Tahun 2014, BPK masih

menemukan permasalahan pertanggungjawaban hibah pada 14 KL sebesar

Rp1.445.727.122.168,50 dan USD77,960,070.00 dengan penjelasan sebagai berikut.

1) Terdapat penerimaan hibah langsung berupa uang pada delapan KL yang telah

dibelanjakan sebesar Rp238.499.900.857,50 belum dilaporkan atau diminta

pengesahannya kepada Kementerian Keuangan selaku BUN dengan rincian

sebagai berikut.

Tabel 4 Hibah Langsung Uang yang Belum Dilaporkan oleh KL Tahun 2014

(dalam rupiah)

No Kementerian/

Lembaga BA Nilai Penerimaan Keterangan

1 Komisi Pemilihan Umum 076 78.692.661.622,50 hibah pemilukada Rp60.866.306.590,50 dan lainnya Rp17.826.355.032,00

2 Kementerian Pertanian 018 22.057.000,00 Hibah Langsung uang

3 Komnas HAM 074 36.533.654,00 Hibah Langsung uang

4 Kementerian Kelautan dan Perikanan

032 662.185.133,00 Hibah Langsung Uang

5 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

026 6.696.519.250,00 Hibah Langsung Uang

6 Kejaksaan Agung 006 601.050.000,00 Hibah Langsung Uang

7 Kementerian Pertahanan 012 151.517.545.078,00 Hibah Langsung Uang

8 Badan Pengusahaan Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS)

025 271.349.120,00 Hibah Langsung Uang

Jumlah 238.499.900.857,50

2) Terdapat hibah langsung berupa barang pada sepuluh KL sebesar

Rp1.199.209.835.612,00 yang belum dilaporkan atau diminta pengesahannya

kepada Kementerian Keuangan selaku BUN dengan rincian sebagai berikut.

Page 27: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 20

Tabel 5 Hibah Langsung Barang yang Belum Dilaporkan oleh KL Tahun 2014 (dalam rupiah)

Nomor Kementerian/

Lembaga BA Nilai Penerimaan

1 Kejaksaan Agung 006 42.917.110.000,00

2 Komisi Pemilihan Umum 076 9.808.760.000,00

3 Kementerian Pertanian 018 7.393.780.281,00

4 Lembaga Administrasi Negara 086 31.347.000,00

5 BMKG 075 4.003.002.375,00

6 Badan Pertanahan Nasional 056 379.349.323,00

7 Perpustakaan Nasional 057 2.203.013.600,00

8 Kementerian Pertahanan 012 15.220.283.867,00

9 Mahkamah Agung 005 382.760.000,00

10 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 023 1.116.870.429.166,00

Jumlah 1.199.209.835.612,00

3) Terdapat hibah langsung berupa jasa pada tiga KL sebesar Rp8.017.385.699,00

dan USD77,960,070.00 yang belum dilaporkan atau diminta pengesahannya

kepada Kementerian Keuangan selaku BUN dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 6 Hibah Langsung Jasa yang Belum Dilaporkan oleh KL Tahun 2014

(dalam rupiah/USD)

No Kementerian/

Lembaga BA Nilai Penerimaan Keterangan

1 Kementerian Pertanian 018 Rp8.017.385.699,00 Hibah langsung jasa

2 Kementerian Pertahanan 012 USD77,538,070.00 Hibah langsung jasa

3 Kementerian Kelautan dan Perikanan

032 USD422,000.00 Hibah langsung jasa

Jumlah Rp8.017.385.699,00

USD77,960,070.00

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. PMK Nomor 230/PMK.05/2011 tentang Sistem Akuntansi Hibah Pasal 25 pada:

1) ayat (1) menyatakan bahwa KL melakukan rekonsiliasi dengan Direktorat

Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), sebelum pengelolaan hibah dialihkan kepada

DJPPR, atas realisasi pendapatan hibah langsung secara triwulanan;

2) ayat (2) menyatakan bahwa rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dilakukan dari tingkat UAPA sampai dengan UAKPA; dan

3) ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal terjadi ketidakcocokan pada saat

rekonsiliasi kedua belah pihak melakukan penelusuran.

b. PMK Nomor 191/PMK.05/2011 tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah

1) Pasal 5 menyatakan bahwa mekanisme pelaksanaan dan pelaporan atas hibah

langsung dalam bentuk uang dan belanja yang bersumber dari hibah langsung,

dilaksanakan melalui pengesahan oleh BUN/Kuasa BUN;

Page 28: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 21

2) Pasal 6 huruf (a) menyatakan bahwa pengesahan pendapatan dan belanja

sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, dilakukan melalui tahapan pengajuan

permohonan nomor register; dan

3) Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa KL yang menerima hibah dalam bentuk

uang, barang, jasa dan surat berharga yang tidak mengajukan register dan/atau

pengesahan diberikan sanksi administrasi.

Permasalahan tersebut mengakibatkan Kementerian Keuangan selaku pengelola

hibah kesulitan memantau realisasi penerimaan dan belanja hibah untuk setiap KL

penerima hibah sehingga terdapat potensi penerimaan hibah yang tidak tercatat.

Permasalahan tersebut disebabkan:

a. Tidak terdapat sanksi yang tegas dalam mengatur KL agar melaksanakan rekonsiliasi

hibah secara tertib;

b. Pengungkapan hibah terencana dan langsung pada LKKL belum informatif untuk

pengguna laporan; dan

c. Pemahaman KL dan pemberi hibah belum memadai terkait mekanisme pengelolaan

hibah serta tata cara penyelesaian dari permasalahan yang timbul dalam pengelolaan

hibah.

Atas permasalahan di atas, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah

menanggapi bahwa permasalahan yang terjadi selama ini lebih pada permasalahan di

internal KL sendiri. DJPPR telah menyelenggarakan forum komunikasi dan konsultasi

bagi KL secara terbuka dan luas. Seandainya BPK berpendapat pembentukan helpdesk

merupakan jalan keluar yang tepat, DJPPR akan siap membentuk helpdesk terkait

pengelolaan hibah.

Atas Permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar menginstruksikan:

a. Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk:

1) segera menyelesaikan revisi PMK Nomor 191/PMK.05/2011 mengenai

Mekanisme Pengelolaan Hibah dalam rangka pengaturan sanksi pada KL yang

tidak melaksanakan dan menindaklanjuti hasil rekonsiliasi hibah;

2) melakukan kajian mengenai one gate policy atas pengesahan hibah; dan

3) berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

dalam menyusun pengaturan mengenai template sehingga pengungkapan hibah

terencana dan langsung pada LKKL dapat lebih informatif, akurat, dan

transparan;

b. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk membentuk helpdesk

dalam rangka mempermudah koordinasi mengenai penatausahaan hibah baik dengan

KL maupun dengan pemberi hibah.

2. Belanja

2.1 Temuan - Penganggaran, Pelaksanaan, dan Pertanggungjawaban Belanja Barang

dan Belanja Modal pada 69 KL Sebesar Rp1,03 Triliun Tidak Sesuai Ketentuan

LKPP Tahun 2014 (audited) menyajikan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat TA

2014 sebesar Rp1.203.577.167.222.861,00, diantaranya berupa Belanja Barang sebesar

Rp176.622.265.435.276,00 dan Belanja Modal sebesar Rp147.347.928.326.528,00.

Page 29: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 22

Belanja barang telah direalisasikan 90,48% dari anggarannya sebesar

Rp195.206.755.356.000,00, sedangkan belanja modal telah direalisasikan 91,64% dari

anggarannya sebesar Rp160.790.466.559.000,00.

LHP BPK atas LKPP Tahun 2013 telah mengungkapkan ketidakpatuhan atas

pengunaan anggaran Belanja Barang dan Belanja Modal, yaitu ketidaksesuaian

penganggaran Belanja Barang dan Modal, kelebihan bayar, realisasi belanja tidak

didukung keberadaan kegiatannya (indikasi fiktif), denda keterlambatan belum dipungut,

penyimpangan realisasi biaya perjalanan dinas, dan belanja tidak didukung

pertanggungjawaban. Permasalahan ini juga telah diungkap dalam LHP BPK atas LKPP

Tahun 2012.

Terkait ketidakpatuhan atas penggunaan anggaran Belanja Barang dan Belanja

Modal tersebut di atas, BPK merekomendasikan kepada Presiden untuk memerintahkan

para Menteri/Kepala Lembaga agar:

a. menginventarisasi dan mencatat seluruh Aset Tetap yang diperoleh dari belanja

selain Belanja Modal;

b. melakukan pengenaan dan penagihan denda atas kerugian negara kepada pihak yang

bertanggung jawab dan memberikan sanksi dan melakukan upaya hukum terkait

indikasi tindakan melawan hukum dan merugikan negara;

c. mengoptimalkan verifikasi dalam penyusunan anggaran KL dan penetapan jenis

belanja sesuai dengan jenis kegiatan yang akan dibiayai dan melaksanakan

sosialisasi PP Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN serta

ketentuan pelaksanaannya; dan

d. meningkatkan peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam mereviu

Rencana Kerja dan Anggaran KL.

Atas permasalahan tersebut, Pemerintah telah menindaklanjuti temuan BPK

dengan melakukan inventarisasi dan pencatatan seluruh aset tetap yang diperoleh selain

dari Belanja Modal dan memasukkan ke dalam SIMAK BMN. Pemerintah juga

memberikan teguran dan sanksi terhadap Pejabat/Pegawai yang melakukan pelanggaran,

dan meningkatkan peran APIP dalam reviu RKA-KL sesuai dengan PMK Nomor

136/PMK.02/2014 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL. Pemerintah

telah mengoptimalkan verifikasi dalam penyusunan anggaran dan memperhatikan jenis

belanja sesuai dengan Bagan Akun Standar menurut PMK Nomor 136/PMK.02/2014

tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL.

Hasil pemeriksaan BPK RI atas LKPP Tahun 2014 menunjukkan terdapat

permasalahan pengganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban Belanja Barang

serta Belanja Modal pada 69 KL sebesar Rp1.034.123.056.379,12

(Rp182.673.780.205,75 + Rp851.449.276.173,37) yang tidak sesuai ketentuan, dengan

rincian sebagai berikut.

a. Ketidaksesuaian antara klasifikasi anggaran Belanja Barang dan Belanja Modal

dengan realisasinya sebesar Rp103.663.043.298,58 pada 38 KL dengan rincian

sebagai berikut.

1) Anggaran Belanja Barang direalisasikan untuk Belanja Modal sebesar

Rp33.150.761.294,58 pada 30 KL;

2) Anggaran Belanja Barang direalisasikan untuk Belanja Bantuan Sosial sebesar

Rp31.871.625.544,00 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan

Page 30: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 23

sebesar Rp1.675.000.000,00 pada Kementerian Kehutanan, serta Belanja Barang

direalisasikan untuk Belanja Hibah sebesar Rp8.166.069.927,00 pada

Kementerian KUKM;

3) Anggaran Belanja Modal yang direalisasikan untuk Belanja Barang sebesar

Rp22.424.480.483,00 pada 15 KL; dan

4) Anggaran Belanja Modal Peralatan dan Mesin direalisasikan untuk Belanja

Modal Tanah sebesar Rp6.056.050.000,00 pada Kementerian ESDM, serta

kesalahan penganggaran lainnya sebesar Rp319.056.050,00.

Rincian permasalahan-permasalahan tersebut disajikan dalam Lampiran 2.1.1

b. Kelebihan pembayaran pada Belanja Barang sebesar Rp53.657.457.452,59 dan

Belanja Modal sebesar Rp679.962.808.763,91 pada 57 KL dengan rincian sebagai

berikut.

1) Kekurangan volume pekerjaan atas Belanja Barang sebesar Rp10.728.321.193,93

pada 26 KL dan atas Belanja Modal sebesar Rp294.865.017.508,22 pada 39 KL;

2) Perbedaan spesifikasi yang ditetapkan dalam kontrak atas Belanja Barang sebesar

Rp1.740.930.285,58 pada tiga KL dan atas Belanja Modal sebesar

Rp174.478.101.946,49 pada 19 KL;

3) Pemahalan harga dari prosedur pengadaan yang tidak sesuai ketentuan pada

Belanja Barang sebesar Rp397.062.079,00 pada tiga KL dan atas Belanja Modal

sebesar Rp94.200.756,00 pada dua KL;

4) Pembayaran 100% atas pekerjaan yang belum selesai pada akhir tahun tidak

didukung dengan Bank Garansi dan/atau Surat Keterangan Tanggung Jawab

Mutlak (SKTJM) sebesar Rp2.999.562.128,00 terjadi pada Kementerian KUKM,

dan terdapat pemutusan kontrak tanpa ada pencairan jaminan pelaksanaan

dan/atau jaminan uang muka sebesar Rp14.924.393.647,00 pada lima KL;

5) Terdapat kelebihan bayar pada Belanja Barang sebesar Rp40.791.143.894,08

yang pada 25 KL serta kelebihan bayar lainnya pada Belanja Modal sebesar

Rp19.644.327.101,20 pada 24 KL; dan

6) Selain permasalahan-permasalahan tersebut, terdapat Bank Garansi yang tidak

dieksekusi sesuai ketentuan sebesar Rp90.317.569.707,00 pada tiga KL serta

pencairan belanja 100% melalui pembuatan BAPP fiktif (hasil cek fisik belum

selesai) sehingga bank garansinya telah ditarik dari KPPN sebesar

Rp82.639.635.970,00 pada dua KL.

Rincian permasalahan-permasalahan tersebut disajikan dalam Lampiran 2.1.2 s.d.

2.1.7.

c. Anggaran Belanja Barang tidak sesuai peruntukannya sebesar Rp1.427.269.300,00.

Permasalahan tersebut terjadi pada Badan Pusat Statistik sebesar

Rp1.407.660.000,00 yang terdiri dari Belanja Barang Penambah Daya Tahan Tubuh

sebesar Rp1.140.480.000,00 untuk pembelian paket Ramadhan dan Idul Fitri

pegawai BPS dan Belanja Pemeliharaan Kendaraan Dinas sebesar Rp267.180.000,00

untuk pembelian BBM mobil nondinas BPS, serta pada Kejaksaan Agung sebesar

Rp19.609.300,00 berupa pembayaran biaya listrik untuk rumah pribadi;

d. Denda keterlambatan pada Belanja Barang sebesar Rp9.806.657.164,69 terjadi pada

14 KL dan denda keterlambatan pada Belanja Modal sebesar Rp50.259.574.756,87

terjadi pada 31 KL dengan rincian yang disajikan dalam Lampiran 2.1.8;

Page 31: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 24

e. Terdapat realisasi Belanja Barang belum dibayarkan kepada pihak yang berhak

sebesar Rp3.713.582.017,40 terjadi pada tujuh KL dengan rincian yang disajikan

dalam Lampiran 2.1.9;

f. Terdapat realisasi Belanja Barang atas pekerjaan yang sebenarnya tidak dilaksanakan

sebesar Rp3.619.197.434,00 terjadi pada delapan KL dengan rincian disajikan dalam

Lampiran 2.1.10;

g. Penyimpangan realisasi biaya perjalanan dinas sebesar Rp9.193.484.261,42 terjadi

pada 25 KL disebabkan belum ada bukti pertanggungjawaban sebesar

Rp2.918.404.835,00, nama dan nomor tiket tidak sesuai dengan manifest sebesar

Rp1.317.268.540,31, harga tiket tidak sesuai dengan yang sebenarnya sebesar

Rp2.636.514.475,57, perjalanan dinas rangkap sebesar Rp446.293.350,00,

perjalanan dinas fiktif sebesar Rp101.660.000,00, dan kelebihan bayar perjalanan

dinas sebesar Rp1.773.343.060,54 dengan rincian disajikan dalam Lampiran

2.1.11a – Lampiran 2.1.11c;

h. Terdapat Belanja Barang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp1.917.340.153,00 yang

terjadi pada 10 KL serta Belanja Barang yang belum didukung bukti

pertanggungjawaban sebesar Rp17.715.240.223,00 pada sembilan KL. Rincian

mengenai temuan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.1.12;

i. Pemborosan belanja modal sebesar Rp17.633.211.089,87 yang terjadi pada dua KL

serta pemborosan pada belanja barang sebesar Rp4.554.681.727,74 yang terjadi pada

11 KL. Rincian mengenai temuan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.1.13;

j. Terdapat permasalahan signifikan lain terkait Belanja Modal sebesar

Rp74.943.344.079,72 pada 17 KL. Permasalahan tersebut antara lain adanya belanja

yang tidak sesuai/melebihi ketentuan sebesar Rp110.312.000,00 pada dua KL,

penyusunan HPS yang tidak wajar sebesar Rp6.505.500.239,34 pada

Kemenkominfo, indikasi pemecahan kontrak sebesar Rp7.796.849.899,00 pada tiga

KL, serta pembelian aset melalui Belanja Modal yang belum dimanfaatkan sebesar

Rp44.883.649.653,14 pada tiga KL, serta pelaksanaan pekerjaan mendahului kontrak

sebesar Rp613.843.000,00 pada dua KL. Selain itu, terdapat permasalahan-

permasalahan signifikan lainnya terkait belanja modal dengan nilai total sebesar

Rp15.033.189.288,24 yang terjadi pada sembilan KL, antara lain belanja modal

tanah yang belum didukung dokumen yang memadai sebesar Rp4.070.292.350,00

pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

Sabang. Rincian mengenai temuan-temuan tersebut dapat dilihat pada Lampiran

2.1.14; dan

k. Pada belanja barang terdapat permasalahan-permasalahan signifikan lainnya dengan

nilai total sebesar Rp2.056.164.656,33 yang terjadi pada tujuh KL, diantaranya aset

yang belum dimanfaatkan dari belanja barang sebesar Rp791.459.466,33 pada Badan

Pusat Statistik. Rincian mengenai temuan tersebut dapat dilihat pada Lampiran

2.1.15.

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 menyatakan bahwa

Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,

efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan;

b. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 54:

Page 32: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 25

1) ayat (1) menyatakan bahwa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara

formal dan material kepada Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atas

pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya; dan

2) ayat (2) menyatakan bahwa Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab

secara formal dan material kepada pengguna anggaran atas pelaksanaan

kegiatan yang berada dalam penguasaannya.

c. Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 6 huruf f

menyatakan bahwa para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan

barang/jasa harus mematuhi etika menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan

dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa;

d. Perpres Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN menyatakan:

1) Pasal 57 ayat (2) menyatakan bahwa Anggaran yang sudah terikat komitmen

tidak dapat digunakan untuk kebutuhan lain;

2) Pasal 87 ayat (1) menyatakan bahwa Belanja Barang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 86 paling sedikit meliputi: belanja barang dan/atau jasa; belanja

pemeliharaan; belanja perjalanan dinas; dan belanja barang untuk diserahkan ke

masyarakat; dan

3) Pasal 93 ayat (1) menyatakan bahwa Belanja Modal sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 86 merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh atau

menambah nilai aset tetap dan/atau aset lainnya.

e. PMK Nomor 214/PMK.05/2013 Tahun 2013 tentang Bagan Akun Standar

menyatakan bahwa :

1) Belanja Barang merupakan pengeluaran untuk menampung pembelian barang

dan jasa yang habis dipakai untuk memproduksi barang dan jasa yang

dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang

dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja

perjalanan; dan

2) Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran dalam rangka memperoleh

atau menambah aset tetap dan/atau aset lainnya yang memberi manfaat

ekonomis lebih dari satu periode akuntansi (12 (dua belas) bulan) serta melebihi

batasan nilai minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan

pemerintah.

f. PMK Nomor 190/PMK.05/2012 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam

Rangka Pelaksanaan APBN Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa dalam melakukan

tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara, PPK

memiliki tugas dan wewenang: ”...h. membuat dan menandatangani SPP;”

g. PMK Nomor 113/PMK.05/2012 Tahun 2012 tentang Perjalanan Dinas menyatakan:

1) Pasal 34 ayat (2) menyatakan bahwa pertanggungjawaban biaya Perjalanan

Dinas Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melampirkan

dokumen pendukung pertanggungjawaban;

2) Pasal 34 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal bukti pengeluaran transportasi

dan/atau penginapan tidak diperoleh, pertanggungjawaban biaya Perjalanan

Dinas Jabatan dapat hanya menggunakan Daftar Pengeluaran Riil; dan

Page 33: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 26

3) Pasal 36 menyatakan bahwa pihak-pihak yang melakukan pemalsuan dokumen,

menaikkan dari harga sebenarnya (mark up), dan/atau Perjalanan Dinas rangkap

(dua kali atau lebih) dalam pertanggungjawaban Perjalanan Dinas yang

berakibat kerugian yang diderita oleh negara, bertanggung jawab sepenuhnya

atas seluruh tindakan yang dilakukan.

h. PMK Nomor 72/PMK.02/2013 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran

2014 menyatakan bahwa Kementerian Negara/Lembaga bertanggung dalam

melaksanakan ketentuan standar biaya masukan agar melakukan langkah-langkah

efisiensi anggaran sebagai berikut:

1) pembatasan dan pengendalian biaya perjalanan dinas;

2) pembatasan dan pengendalian biaya rapat di luar kantor; dan

3) penerapan sewa kendaraan operasional sebagai salah satu alternatif.

i. PMK Nomor 136/PMK.02/2014 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga:

1) Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka penyusunan APBN,

Menteri/Pimpinan Lembaga menyusunRKA-KL untuk Kementerian/Lembaga

yang dipimpinnya; dan

2) Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung

jawab atas kebenaran dan kelengkapan RKA-KL beserta dokumen

pendukungnya.

Permasalahan tersebut mengakibatkan:

a. Risiko tidak tercatatnya aset tetap yang diperoleh dari belanja barang;

b. Indikasi kerugian negara atas kelebihan pembayaran, ketidaksesuaian spesifikasi

pekerjaan, pemahalan harga, pembayaran 100% atas pekerjaan yang belum selesai

pada akhir tahun, pemutusan kontrak tanpa pencairan jaminan pelaksanaan,

penyimpangan realisasi perjalanan dinas, realisasi biaya perjalanan dinas tidak sesuai

kebenaran pertanggungjawaban, dan realisasi Belanja Barang dan Belanja Modal

melebihi ketentuan serta realisasi belanja barang atas pekerjaan yang sebenarnya

tidak dilaksanakan sebesar Rp665.901.415.877,92;

c. Terdapat potensi kerugian negara atas pencairan belanja 100% melalui pembuatan

BAPP fiktif (hasil cek fisik belum selesai) sehingga bank garansinya sudah ditarik

dari KPPN dan berisiko merugikan negara apabila pekerjaan tersebut tidak

diselesaikan sebesar Rp82.639.635.970,00 dan potensi kerugian negara disebabkan

pekerjaan yang terindikasi pengarahan pemenang sebesar Rp694.826.000,00;

d. Anggaran yang digunakan tidak tepat sasaran sebesar Rp1.427.269.300,00;

e. Kekurangan penerimaan negara yang berasal dari denda keterlambatan sebesar

Rp60.150.700.171,56;

f. Belanja barang tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya sebesar

Rp4.391.872.696,40;

g. Pemborosan belanja barang dan modal sebesar Rp22.981.250.811,77;

h. Aset hasil dari Belanja Barang dan Belanja Modal belum dapat dimanfaatkan untuk

mencapai tujuan organisasi sebesar Rp45.675.109.119,47;

i. Penggunaan belanja yang tidak akuntabel atas belanja yang belum memiliki bukti

pertanggungjawaban sebesar Rp28.495.292.995,08; dan

Page 34: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 27

j. Belanja tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp18.102.640.138,34.

Permasalahan tersebut disebabkan:

a. Pemerintah tidak optimal dalam melakukan verifikasi kesesuaian anggaran dan

kegiatan yang dianggarkan; dan

b. Pimpinan KL tidak optimal dalam mengawasi penggunaan anggaran belanja di

lingkungan kerjanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah

menanggapi sebagai berikut.

a. Ketidaksesuaian Klasifikasi Anggaran.

Penggunaan klasifikasi anggaran telah diatur lebih lanjut dalam PMK

91/PMK.05/2007 tentang BAS dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan

Nomor 80/PB/2011 tentang Penambahan dan Perubahan Akun Pendapatan, Belanja

dan Transfer Pada Bagan Akun Standar. Peraturan tersebut mengatur secara rinci

tentang klasifikasi anggaran yang dipergunakan dalam proses penganggaran,

pelaksanaan maupun pertanggungjawaban. Kesalahan penggunaan klasifikasi

anggaran terjadi karena kurangnya pemahaman dalam implementasi peraturan

tersebut oleh KL dalam proses perencanaan yang diikuti proses pelaksanaan maupun

pertanggungjawaban sebagai lanjutan dari proses perencanaan. Contoh-contoh

penerapan klasifikasi anggaran telah diberikan melalui Buletin Teknis yang

diterbitkan oleh KSAP, tetapi dalam praktek dilapangan contoh tersebut mungkin

belum memuat seluruh jenis kegiatan yang ada di kementerian/lembaga karena

banyaknya variasi kegiatan yang ada.

Selanjutnya dalam proses penyusunan RKA-KL (penganggaran) untuk meningkatkan

kualitas perencanaan penganggaran KL, Pemerintah telah menerbitkan PMK Nomor

194/PMK.05/2013 sebagai Perubahan PMK Nomor 94/PMK.02/2013. Berdasarkan

PMK tersebut, APIP KL perlu melakukan reviu atas RKA-KL dan Sekretariat

Jenderal up. Biro Perencanaan KL melakukan penelitian atas RKA-KL.

Reviu dan penelitian RKA-KL tersebut diantaranya meliputi kelayakan anggaran dan

kepatuhan dalam penerapan kaidah-kaidah penganggaran seperti penerapan standar

biaya masukan dan keluaran, jenis belanja, hal-hal yang dibatasi dan dilarang dan lain

sebagainya. Dengan demikian, Pemerintah telah melakukan upaya agar dalam

pengalokasian anggaran sesuai dengan klasifikasi anggarannya melalui proses yang

berlapis dengan melibatkan Setjen KL untuk melakukan penelitian atas RKA-KL dan

APIP KL untuk melakukan reviu atas RKA-KL.

b. Ketidaksesuaian dalam pelaksanaan Anggaran

Sesuai dengan PMK Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam

Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, proses pembayaran

atas tagihan pengadaan barang/jasa telah diatur dalam suatu mekanisme dan

dilakukan verifikasi dalam tahapan-tahapan yang harus dilalui. Keseluruhan proses

tersebut tercermin dalam pelaksanaan tugas dan wewenang PPK dan PPSPM.

Pemahaman atas tugas dan wewenang para pejabat perbendaharaan tersebut akan

sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan anggaran pada masing-masing satker.

Selanjutnya apabila dalam pelaksanaannya terdapat hal yang tidak sesuai dengan

ketentuan, perjanjian, atau kontrak misalnya pekerjaan belum selesai 100% tetapi

sudah diterbitkan BAST, adanya belanja barang yang tidak didukung keberadaannya

Page 35: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 28

(fiktif), penyimpangan realisasi perjalanan dinas dan pemborosan belanja barang,

maka pengujian atas hal tersebut merupakan tanggung jawab dan wewenang di satker

yang bersangkutan sesuai dengan tugas dan wewenang PPK dan PPSPM dan perlu

ditindaklanjuti sesuai ketentuan.

Untuk pelaksanaan perjalanan dinas, PMK Nomor 113/PMK.05/2012 Pasal 36

menyatakan bahwa pihak-pihak yang melakukan pemalsuan dokumen, menaikkan dari

harga sebenarnya, dan/atau perjalanan dinas rangkap dalam pertanggungjawaban

perjalanan dinas yang berakibat kerugian yang diderita negara, bertanggung jawab

sepenuhnya atas seluruh tindakan yang dilakukan.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar:

a. menginstruksikan Direktur Jenderal Anggaran untuk melakukan kajian dan evaluasi

atas permasalahan kesalahan klasifikasi penganggaran dan pelaksanaan Belanja

Barang dan Belanja Modal sesuai temuan BPK serta menetapkan kebijakan

perbaikan sesuai hasil kajian dan evaluasi;

b. meminta para Menteri/Kepala Lembaga menginstruksikan APIP melakukan reviu

Rencana Kerja dan Anggaran KL untuk menjamin klasifikasi anggaran sesuai

dengan ketentuan dan menjadikan hasil reviu sebagai dasar penyusunan anggaran;

dan

c. meminta para Menteri/Kepala Lembaga untuk mengoptimalkan verifikasi dalam

penyusunan anggaran KL dan penetapan jenis belanja sesuai dengan jenis kegiatan

yang akan dibiayai dan melaksanakan sosialisasi PP Nomor 45 Tahun 2013 tentang

Tata Cara Pelaksanaan APBN serta ketentuan pelaksanaannya.

2.2 Temuan – Kesalahan Klasifikasi pada Belanja Bantuan Sosial Sebesar Rp845,15

Miliar, Realisasi Belanja Bantuan Sosial Masih Mengendap di Rekening Pihak

Ketiga Sebesar Rp3,35Triliun serta Penyaluran dan Pertanggungjawaban Realisasi

Belanja Bantuan Sosial Sebesar Rp11,38 Triliun Tidak Sesuai Ketentuan

LKPP Tahun 2014 (audited) menyajikan realisasi Belanja Bantuan Sosial

(Bansos) TA 2014 sebesar Rp97.924.676.539.384,00 atau 8,14% dari Belanja Pemerintah

Pusat. Realisasi Belanja Bansos tersebut melebihi anggaran sebesar

Rp1.269.297.678.384,00 atau 101,31% dari yang telah ditetapkan sebesar

Rp96.655.378.861.000,00.

LHP BPK atas LKPP Tahun 2013 telah mengungkapkan kelemahan SPI atas

penyaluran dana Bansos, yaitu penganggaran Bansos yang tidak tepat, dana Bansos KL

yang masih mengendap di rekening pihak ketiga (bank penyalur/kantor

pos/koperasi/lembaga penyalur lainnya) dan rekening penampungan KL, Bansos tidak

sesuai sasaran dan tidak sesuai peruntukan, serta lemahnya pelaksanaan

pertanggungjawaban Bansos. Permasalahan ini telah diungkap juga dalam LHP BPK atas

LKPP Tahun 2006, 2007, 2008, 2010, dan 2012.

Atas permasalahan tersebut, Pemerintah menindaklanjuti temuan BPK dengan

menyampaikan surat Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah Nomor S-

798/MK.05/2014 kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. Dengan surat tersebut,

Menteri/Pimpinan Lembaga harus menyusun RKA-KL/DIPA sesuai klasifikasi anggaran

yang ditetapkan, meningkatkan peran APIP dalam melakukan pengawasan dan

Page 36: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 29

pelaksanaan belanja bansos, serta menindaklanjuti setiap pelanggaran atau penyimpangan

dalam pengelolaan belanja bansos sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Menteri

Keuangan selaku BUN telah menetapkan PMK Nomor 277/PMK.05/2014 tentang

Rencana Penarikan Dana dan Perencanaan Kas yang bertujuan untuk memperbaiki pola

penyerapan anggaran sehingga meminimalisasi penumpukan pencairan anggaran di akhir

tahun anggaran. Menteri Keuangan juga sedang menyusun draf Revisi PMK

81/PMK.05/2012 tentang Belanja Bansos pada KL untuk memperbaiki definisi Belanja

Bansos, memperbaiki mekanisme dan meningkatkan akuntabilitas penggunaan bansos,

dan merevisi Pasal 11 yang menyatakan bahwa sisa dana bansos yang tidak tersalurkan

dalam waktu 30 hari atau sampai akhir tahun anggaran, harus disetor ke kas negara.

Namun demikian, dalam pemeriksaan atas LKPP Tahun 2014, BPK masih

menemukan permasalahan penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban Bansos

pada tujuh KL sebesar Rp15.580.735.128.220,40 sebagai berikut.

a. Adanya kesalahan pengklasifikasian Belanja Bansos pada Kementerian Agama

sebesar Rp845.152.601.692,00

Permasalahan ini sudah diungkap dalam LHP atas LKPP Tahun 2013. Pembebanan

belanja tidak sesuai klasifikasi anggaran pada Kementerian Agama Tahun 2013 telah

ditindaklanjuti oleh Kementerian Keuangan dengan menerbitkan surat dari Dirjen

Perbendaharaan Kemenkeu Nomor S-8245/PB/2014 tanggal 28 November 2014

perihal jenis belanja untuk kegiatan bantuan Kementerian Agama terkait dengan

tugas dan fungsi kepada mitra kerja Kementerian Agama. Surat tersebut menjelaskan

perubahan akun yang ditandatangani oleh Direktur Akuntansi dan Pelaporan

Keuangan Kemenkeu.

Hasil pemeriksaan atas penganggaran Belanja Bantuan Sosial Tahun 2014

menunjukkan bahwa masih terdapat kesalahan pengklasifikasian penganggaran

Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp845.152.601.692,00 karena belanja bantuan

tersebut dialokasikan bukan untuk penerima bantuan yang mempunyai risiko sosial.

b. Adanya Belanja Bansos yang masih mengendap di rekening pihak ketiga (bank

penyalur/kantor pos/koperasi/lembaga penyalur lainnya) per 31 Desember 2014

sebesar Rp3.352.322.848.916,85 pada empat KL dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 7 Bansos yang Masih Mengendap di Rekening Pihak Ketiga per 31 Desember 2014

(dalam rupiah)

No Nama KL BA Nilai

1 Kementerian Pertanian 018 17.741.600.000,00

2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 023 2.820.165.276.815,85

3 Kementerian Sosial 029 512.496.279.125,00

4 Kementerian Perumahan Rakyat 091 1.919.692.976,00

Total 3.352.322.848.916,85

Pemeriksaan atas Realisasi Belanja Bansos menunjukkan Kemendikbud

merealisasikan belanja bantuan sosial melalui beberapa lembaga/bank penyalur.

Hasil pemeriksaan atas realisasi Belanja Bansos yang dilakukan melalui

lembaga/bank penyalur menunjukkan masih terdapat dana bansos yang belum

tersalurkan kepada penerima per 31 Desember 2014 sebesar

Rp2.820.165.276.815,85 pada enam lembaga/bank penyalur. Rincian atas saldo dana

Page 37: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 30

bansos yang masih terdapat pada lembaga/bank penyalur dengan rincian sebagai

berikut.

Tabel 8 Rincian Saldo Bansos per 31 Desember 2014 yang Terdapat pada Lembaga/Bank Penyalur

(dalam rupiah)

Nomor

Lembaga Penyalur

Saldo Bansos belum diterima oleh Penerima

per 31/12/2014

Saldo Bansos belum ada

pertanggungjawab-an dari bank

Total Saldo Bansos per 31/12/2014

(1) (2) (3) (4) (5) = (3) + (4)

1 Bank Mandiri 28.243.582.298,39 0,00 28.243.582.298,39

2 BNI 26.421.808.659,00 0,00 26.421.808.659,00

3 BPD 403.041.673.734,83 359.084.372.076,00 762.126.045.810,83

4 BRI 1.907.300.471.057,00 0,00 1.907.300.471.057,00

5 BTN 480.718.990,63 0,00 480.718.990,63

6 PT POS 95.592.650.000,00 0,00 95.592.650.000,00

Jumlah 2.461.080.904.739,85 359.084.372.076,00 2.820.165.276.815,85

Saldo pada Lembaga/Bank Penyalur tersebut merupakan saldo bansos per 31

Desember 2014 pada empat satker Kemendikbud dengan rincian disajikan pada tabel

berikut.

Tabel 9 Rincian Saldo Bansos per 31 Desember 2014 pada Kemendikbud

(dalam rupiah)

Nomor

Satker Saldo Bansos belum

diterima oleh Penerima per 31/12/2014

Saldo Bansos belum ada

pertanggung-jawaban dari bank

Total Saldo Bansos per 31/12/2014

(1) (2) (3) (4) (5) = (3) + (4)

1 Paudni 41.789.665.050,00 0,00 41.789.665.050,00

2 Dikdas 1.762.506.579.980,00 317.885.164.257,00 2.080.391.744.237,00

3 Dikmen 604.336.777.413,83 41.199.207.819,00 645.535.985.232,83

4 Dikti 52.447.882.296,02 0,00 52.447.882.296,02

Jumlah 2.461.080.904.739,85 359.084.372.076,00 2.820.165.276.815,85

Sampai dengan pemeriksaan berakhir, rekening penampungan dana Bantuan Sosial

pada Kementerian Pertanian dan Kementerian Perumahan Rakyat telah disetor ke

Kas Negara masing-masing sebesar Rp467.400.000,00 dan Rp1.912.595.200,00

serta dana bansos pada Kementerian Sosial telah disalurkan kepada penerima bansos

sebesar Rp512.496.279.125,00 atau total sebesar Rp514.876.274.325,00

(Rp467.400.000,00 + Rp1.912.595.200,00 + Rp512.496.279.125,00) sehingga masih

terdapat belanja bansos yang mengendap di rekening pihak ketiga sebesar

Rp2.837.446.574.591,85 (Rp3.352.322.848.916,85 - Rp514.876.274.325,00).

c. Belanja Bansos disalurkan kepada yang tidak berhak atau tidak tepat sasaran,

penggunaan tidak sesuai peruntukan pada dua KL, dan kekurangan volume pada dua

KL sebesar Rp2.703.319.405,35 dengan rincian sebagai berikut.

1) Dana Bansos disalurkan kepada yang tidak berhak sebesar Rp1.631.000.000,00

pada Kementerian Koperasi dan UKM.

Kementerian Koperasi dan UKM telah merealisasikan Belanja Bantuan Sosial

sebesar Rp227.745.650.000,00, diantaranya untuk pemberian bansos kepada

lima koperasi dan satu wirausaha pemula yang tidak tepat sasaran sebesar

Rp917.000.000,00 dan Bansos yang tidak boleh diberikan sebesar

Page 38: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 31

Rp714.000.000,00 karena termasuk kategori yang tidak diperbolehkan dalam

Peraturan Menteri Koperasi;

2) Dana Bansos digunakan tidak sesuai peruntukan sebesar Rp550.000.000,00,

yang terdiri dari sebesar Rp500.000.000,00 pada Kementerian Pertanian dan

sebesar Rp50.000.000,00 pada Kementerian Koperasi dan UKM; dan

3) Kekurangan volume sebesar Rp522.319.405,35, yaitu pada Kementerian

Pertanian sebesar Rp218.877.500,00 dan Kementerian Pembangunan Daerah

Tertinggal sebesar Rp303.441.905,35. Selama proses pemeriksaan,

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal telah menyetor ke Kas Negara

sebesar Rp303.441.905,35.

d. Seleksi penerima bansos tidak akurat sebesar Rp33.044.713.819,00 pada

Kementerian Agama.

Berdasarkan petunjuk teknis Bantuan Siswa Miskin (BSM) Tahun 2014, tujuan

pemberian BSM adalah mendukung program pemerintah dalam penuntasan wajib

belajar 12 tahun. Sasaran program BSM di madrasah adalah siswa Madrasah

Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) yang

berasal dari keluarga kurang mampu/miskin. Besaran BSM yang diterima untuk

masing-masing tingkat pendidikan berbeda, yaitu untuk MI sebesar

Rp450.000,00/siswa/tahun, MTs sebesar Rp750.000,00/siswa/tahun dan MA sebesar

Rp1.000.000,00/siswa/tahun.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, perencanaan BSM tidak berjalan dengan baik.

Dalam pelaksanaannya, bank tidak berhasil membuatkan rekening karena tidak

cukupnya dokumen pendukung siswa penerima bantuan yang diterima oleh bank

penyalur seperti alamat siswa, nama ibu kandung siswa, nama sekolah siswa, data

ganda dan, data tidak lengkap. Hal ini mengakibatkan bank penyalur tidak dapat

menyalurkan BSM ke rekening siswa.Bank penyalur telah menyetor dana tersebut ke

kas negara sebesar Rp33.044.713.819,00 yaitu pada tanggal 30 Desember 2014

sebesar Rp1.435.291.671,00 dan Bulan Februari 2015 sebesar Rp31.609.422.148,00.

e. Belanja Bansos yang belum dipertanggungjawabkan oleh penerima bansos sebesar

Rp9.784.913.501.385,62 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Laporan Realisasi APBN pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan TA 2014

menyajikan anggaran Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp33.354.841.593.000,00

dengan realisasi sebesar Rp32.875.073.789.025,00. Hasil pemeriksaan atas realisasi

Belanja Bansos pada Kemendikbud terdapat Belanja Bantuan Sosial yang masih

belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp9.784.913.501.385,62 dengan rincian

sebagai berikut.

1) Belanja Bansos pada Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah dalam bentuk

dana BOS digunakan untuk biaya kegiatan operasional sekolah belum

dipertanggungjawabkan oleh 55.979 penerima bantuan sebesar

Rp7.705.217.016.777,82;

2) Belanja Bansos pada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar untuk pekerjaan

fisik sebesar Rp1.255.546.682.446,80 belum didukung dengan laporan

pertanggungjawaban;

Page 39: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 32

3) Belanja Bansos pada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar untuk pengadaan

buku kurikulum 2013 belum dipertanggungjawabkan sebesar

Rp123.278.559.761,00;

4) Belanja Bansos pada Biro Keuangan Sekretariat Jenderal dalam bentuk sarana

dan prasarana pada 7.751 lembaga sebesar Rp131.050.000.000,00 belum

dipertanggungjawabkan;

5) Pengelola Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Koordinasi Perguruan Tinggi

Swasta (Kopertis) pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tidak

menyampaikan laporan penggunaan dana bantuan biaya kedatangan

(resettlement) sebesar Rp18.772.782.000,00; dan

6) Belanja Bansos pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,

Nonformal, dan Informal belum didukung dengan laporan pertanggungjawaban

sebesar Rp551.048.460.400,00.

f. Terdapat duplikasi bansos pada Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah

sebesar Rp2.966.000.000,00

Hasil pemeriksaan atas penerima dana bergulir pada Kementerian KUKM ditemukan

adanya duplikasi penerima bantuan sosial di tahun yang sama pada dua program

bantuan sosial yang berbeda sebesar Rp2.912.000.000,00. Hal ini mengindikasikan

penyaluran dana bantuan sosial tidak selektif dan kurang adanya koordinasi antar

Deputi. Selain itu, juga ditemukan penerima bantuan sosial program wirausaha

pemula yang memiliki alamat yang sama sebesar Rp54.000.000,00.

g. Terdapat pemotongan dana BSPS sebesar Rp543.000.000,00 pada Kementerian

Perumahan Rakyat

Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) merupakan bantuan sosial

pemerintah kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)/penerima bantuan

yang memiliki keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapatkan dukungan

pemerintah untuk memperoleh rumah layak huni. Hasil pemeriksaan secara uji petik

terhadap penyaluran BSPS di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur

diketahui terdapat potongan dana bantuan sebesar Rp543.000.000,00.

h. Realisasi Belanja Bansos untuk pekerjaan fisik pada Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan sebesar Rp1.559.089.143.001,60 belum diserahterimakan

Bansos fisik pada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar sebesar

Rp2.898.879.510.537,00 disalurkan kepada sekolah-sekolah berbentuk uang dan

pembangunan/pekerjaan fisiknya dilaksanakan secara swakelola oleh sekolah/pihak

ketiga penerimanya. Berdasarkan pemeriksaan diketahui terdapat bansos yang belum

diserahterimakan dan dituangkan dalam berita acara serah terima sebanyak 8.901

unit/sekolah/ruang sebesar Rp1.559.089.143.001,60.

Penjelasan secara rinci atas permasalahan Belanja Bansos pada KL dapat dilihat

pada LHP LKKL terkait.

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. Buletin Teknis SAP Nomor 04 tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja

Pemerintah Bab I yang menyatakan bahwa sesuai dengan isi paragraf 19 sampai

dengan 21 PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran, akuntansi

pemerintahan menganut sistem akuntansi anggaran (budgetary accounting).

Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa klasifikasi pendapatan dan belanja dalam

Page 40: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 33

pelaporan keuangan negara/daerah harus sudah ditentukan pada saat menyusun

perencanaan dan penganggaran; dan

b. Buletin Teknis SAP Nomor 10 tentang Belanja Bantuan Sosial Pemerintah, yaitu:

1) Belanja Bantuan Sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan oleh

Pemerintah Pusat/Daerah kepada masyarakat guna melindungi dari

kemungkinan terjadinya risiko sosial. Transfer uang/barang/jasa tersebut

memiliki ketentuan berikut ini.

a) Belanja Bantuan Sosial dapat langsung diberikan kepada anggota

masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya

bantuan untuk lembaga nonpemerintah bidang pendidikan dan keagamaan;

b) Belanja Bantuan Sosial bersifat sementara atau berkelanjutan;

c) Belanja Bantuan Sosial ditujukan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi

sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial,

penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana; dan

d) Belanja Bantuan Sosial bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan,

kualitas, kelangsungan hidup, dan memulihkan fungsi sosial dalam rangka

mencapai kemandirian sehingga terlepas dari risiko sosial.

2) Belanja Bantuan Sosial diberikan dalam bentuk bantuan langsung penyediaan

aksesibilitas, dan/atau penguatan kelembagaan.

Penerima Belanja Bantuan Sosial adalah seseorang, keluarga, kelompok,

dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat

dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan fenomena alam agar

dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, termasuk di dalamnya bantuan

untuk lembaga nonpemerintah bidang pendidikan, keagamaan dan bidang lain

yang berperan untuk melindungi individu, kelompok dan/atau masyarakat dari

kemungkinan terjadinya risiko sosial.

c. PMK Nomor 81/PMK.05/2012 tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian

Negara/Lembaga, yaitu pada:

1) Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka menentukan penerima

bantuan sosial, Pejabat Pembuat Komitmen melakukan seleksi penerima

bantuan sosial sesuai kriteria/persyaratan yang ditentukan dalam pedoman

umum pengelolaan dan pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial yang

ditetapkan oleh Pengguna Anggaran dan petunjuk teknis pengelolaan Belanja

Bantuan Sosial yang ditetapkan oleh KPA;

2) Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan penyaluran

dana Belanja Bantuan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b,

PPK melakukan pemilihan Bank/Pos Penyalur sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah;

3) Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal hasil penelitian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), terdapat dana Belanja Bantuan Sosial yang belum

tersalurkan sampai dengan batas waktu yang tercantum dalam

kontrak/perjanjian kerja sama, PPK menerbitkan surat perintah penyetoran dana

Belanja Bantuan Sosial ke Rekening Kas Umum Negara;

4) Pasal 16 ayat (2) menyatakan bahwa PPK bertanggung jawab atas pelaksanaan

penyaluran dana belanja bantuan sosial kepada penerima bantuan sosial untuk

Page 41: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 34

menjamin bantuan sosial telah sesuai dengan peruntukan dan tepat sasaran

dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Kuasa PA;

5) Pasal 16 ayat (4) menyatakan untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi

penyaluran dana belanja bantuan sosial, Kuasa PA harus menyusun laporan

pertanggungjawaban; dan

6) Pasal 16 ayat (5) menyatakan laporan pertanggungjawaban paling sedikit

memuat jumlah pagu bantuan sosial yang disalurkan, realisasi bantuan sosial

yang telah disalurkan dan sisa dana bantuan sosial yang disetorkan ke rekening

kas umum Negara.

Permasalahan tersebut mengakibatkan:

a. Indikasi kerugian negara atas dana BSPS yang dipotong sebesar Rp543.000.000,00;

b. Potensi kerugian negara atas bansos yang termasuk kategori tidak diperbolehkan

dalam Peraturan Menteri Koperasidan UKM, dan kekurangan volume sebesar

Rp932.877.500,00 (Rp714.000.000,00 + Rp218.877.500,00);

c. Realisasi Belanja Bansos yang salah klasifikasi sebesar Rp845.152.601.692,00 tidak

menggambarkan pengeluaran Bansos yang sebenarnya;

d. Potensi terjadi penyaluran yang tidak efektif atas dana Bansos yang tidak dapat

segera dimanfaatkan, penyaluran dana bansos tidak tepat sasaran, dana bansos yang

tidak didasarkan seleksi dan penyaluran yang memadai, serta dana yang masih

tersimpan di pihak ketiga sebesar Rp2.874.924.288.410,85 (Rp917.000.000,00 +

Rp2.837.446.574.591,85 + Rp33.044.713.819,00 + Rp550.000.000,00 +

Rp2.966.000.000,00);

e. Dana Bansos yang belum dipertanggungjawabkan penerima sebesar

Rp9.784.913.501.385,62 berpotensi disalahgunakan;

f. Penyaluran bansos fisik kurang diawasi pelaksanaannya serta status kepemilikan dan

pencatatan aset dari bansos fisik pada Kemendikbud sebesar

Rp1.559.089.143.001,60 belum jelas.

Permasalahan tersebut disebabkan:

a. KL Pengelola Bansos tidak mematuhi peraturan perundang-undangan dalam

penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja bantuan sosial; dan

b. APIP kurang berperan dalam melakukan pengawasan terhadap penganggaran,

pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja bantuan sosial.

Atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah

menanggapi sebagai berikut.

a. Adanya kesalahan pengklasifikasian Belanja Bansos pada Kementerian Agama

Dalam rangka membenahi Belanja Bansos pada KL, Ditjen Perbendaharaan telah

menyampaikan surat Nomor S-8245/PB/2014 kepada Kementerian Agama untuk

mengalihkan Belanja Bansos yang tidak sesuai karakteristik ke belanja pegawai,

Belanja Barang dan Belanja Modal (sesuai karakteristiknya). Surat Ditjen

Perbendaharaan tersebut diterbitkan untuk menindaklanjuti rekomendasi KPK

mengenai upaya perbaikan kebijakan Belanja Bansos pada KL dan hasil Reviu

BPKP atas anggaran Bansos pada KL. Semenjak surat tersebut disampaikan kepada

Kementerian Agama, Kementerian Agama tidak melakukan realisasi Belanja Bansos

yang tidak sesuai karakteristiknya.

b. Belanja Bansos masih mengendap di rekening pihak ketiga (bank penyalur/kantor

pos/koperasi/lembaga penyalur lainnya), dengan penjelasan sebagai berikut.

Page 42: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 35

1) Belanja Bansos masih mengendap di rekening pihak ketiga pada Kemendikbud,

merupakan Bantuan Siswa Miskin, tunjangan profesi guru, yang tetap

disalurkan kepada yang berhak pada Tahun 2015. Saldo Bansos yang masih

mengendap tersebut telah dicatat pada LK Kemendikbud sebagai Kas Lainnya

di Bendahara Pengeluaran (Kas dan Setara Kas Lainnya) dan akun pasangannya

Utang pada Pihak Ketiga.

2) Belanja Bansos yang masih mengendap di rekening pada Kemensos,

berdasarkan konfirmasi kepada Kemensos angka tersebut sedang proses

klarifikasi dengan PT Pos Indonesia.

c. Adanya seleksi dan penyaluran yang tidak memadai pada Kementerian Agama,

dapat dijelaskan bahwa sebagian besar dana Bansos digunakan untuk BSM.

Penerima BSM tidak memiliki rekening dan kurang memahami tata cara pembukaan

rekening. Disamping itu, penerima BSM menyebar di seluruh Indonesia dengan

kondisi geografis yang jauh dari Kementerian Agama, sehingga Belanja Bansos ini

tidak tersalurkan tepat waktu. Permasalahan ini tidak bisa dihindarkan karena

kondisi di atas.

Terkait dengan seleksi penerima BSM, Kementerian Agama telah menetapkan

kriteria dan mempunyai petunjuk teknis BSM Tahun 2014 serta telah melakukan

seleksi penerima BSM sesuai dengan petunjuk teknis yang telah ditetapkan.

d. Dalam hal terjadi kesalahan klasifikasi anggaran, hal tersebut lebih disebabkan

kurangnya pemahaman para pengelola keuangan terkait Belanja Bantuan Sosial.

Sedangkan terhadap penyimpangan dana belanja bantuan sosial perlu ditindaklanjuti

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar:

a. menginstruksikan Direktur Jenderal Anggaran untuk melakukan kajian dan evaluasi

atas permasalahan kesalahan klasifikasi penganggaran dan pelaksanaan Belanja

Bantuan Sosial sesuai temuan BPK serta menetapkan kebijakan perbaikan sesuai

hasil kajian dan evaluasi;

b. meminta para Menteri/Kepala Lembaga menginstruksikan APIP melakukan reviu

Rencana Kerja dan Anggaran KL untuk menjamin klasifikasi anggaran sesuai

dengan ketentuan dan menjadikan hasil reviu sebagai dasar penyusunan anggaran;

dan

c. meminta para Menteri/Kepala Lembaga mengoptimalkan verifikasi dalam

penyusunan anggaran KL dan penetapan jenis belanja sesuai dengan jenis kegiatan

yang akan dibiayai dan melaksanakan sosialisasi PP Nomor 45 Tahun 2013 tentang

Tata Cara Pelaksanaan APBN serta ketentuan pelaksanaannya.

3. Aset

3.1 Temuan - DJP Kurang Menetapkan Nilai Pajak Terutang kepada WP Sebesar

Rp309,93 Miliar

LKPP Tahun 2014 (audited) menyajikan nilai Penerimaan Perpajakan neto Tahun

Anggaran (TA) 2014 sebesar Rp1.146.865.769.098.252,00 dan saldo Piutang Pajak per

31 Desember 2014 sebesar Rp91.774.168.360.216,00. Nilai realisasi Penerimaan

Perpajakan neto masih dibawah target anggarannya yaitu sebesar

Rp1.246.106.955.600.000,00 atau 92,04% dari anggaran. Sementara Piutang Pajak

Page 43: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 36

menurun sebesar Rp11.466.081.073.617,00 atau 11,11% dari saldo Piutang Pajak Tahun

2013 (audited) yang disajikan sebesar Rp103.240.249.433.833,00.

Penerimaan pajak berasal dari pembayaran pajak oleh WP dan pembayaran atas

ketetapan pajak yang diterbitkan oleh DJP. Sementara piutang pajak berasal dari

ketetapan pajak yang diterbitkan oleh DJP, tetapi masih belum dilakukan pembayaran/

pelunasan oleh WP.

Ketetapan pajak oleh DJP diantaranya berasal dari hasil pemeriksaan oleh

pemeriksa pajak maupun hasil keputusan upaya hukum yang dilakukan oleh WP.

Ketetapan pajak hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh pemeriksa pajak dapat

berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Lebih

Bayar (SKPLB), atau Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

Hasil pemeriksaan pada Kanwil DJP atas penetapan pajak baik yang berasal dari

hasil pemeriksaan maupun keputusan upaya hukum menunjukkan bahwa DJP masih

kurang menetapkan jumlah pajak terutang sebanyak delapan permasalahan sebesar

Rp309.936.372.098,47. Rincian permasalahan di atas dapat dilihat pada Lampiran 3.1.1.

Tiga permasalahan signifikan terkait kekurangan tersebut diuraikan sebagai berikut.

a. Kegiatan pemeriksaan terhadap PT B1 Tahun Pajak 2012 oleh KPP WP Besar Satu

dan PT B2 Tahun Pajak 2011 oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN)

tidak sesuai dengan ketentuan sehingga terdapat potensi kekurangan Piutang Pajak

sebesar Rp112.078.095.744,48.

Berdasarkan pengujian terhadap dokumen LHP dan KKP atas PT B1 diketahui

bahwa atas WP tersebut telah dilakukan pemeriksaan oleh KPP Wajib Pajak Besar

Satu berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Nomor PRIN-

00672/WPJ.19/KP.0105/RIK.SIS/2013 tanggal 29 Desember 2013. Pemeriksaan

dilakukan untuk Tahun Pajak 2012. Hasil pemeriksaan pajak atas WP tersebut

dilaporkan dalam LHP dengan Nomor LAP-00292/WPJ.19/KP.0105/RIK.SIS/2014

tanggal 5 September 2014.

Pemeriksaan dilakukan untuk Tahun Pajak 2011. Hasil pemeriksaan pajak atas WP

tersebut dilaporkan dalam LHP dengan Nomor LAP-0023/TOPN/PJ.0401/2014

tanggal 5 Juni 2014. Selain itu, berdasarkan pengujian terhadap dokumen LHP dan

KKP atas PT B2 diketahui juga bahwa atas WP tersebut telah dilakukan pemeriksaan

oleh TOPN berdasarkan SP2 Nomor PRIN-0030/PJ.0401/OPN/2012 tanggal 26

Desember 2012.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap LHP dan KKP perusahaan tambang, diketahui

bahwa WP setiap tahun selalu membebankan biaya pengupasan lapisan tanah.

Perlakuan akuntansi komersil terkait biaya pengupasan lapisan tanah diatur dalam

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 33 tentang Pertambangan

Umum.

1) Paragraf 40, kegiatan produksi penambangan meliputi: pengupasan lapisan

tanah (stripping), pengambilan bahan galian, pencucian dan pemurnian, serta

pengangkutan bahan galian ke stasiun pengumpul. Pengupasan lapisan tanah

selama masa produksi meliputi kegiatan penggaruan/dorong, gali/muat, dan

pengangkutan tanah dari lokasi penggalian ke lokasi penimbunan atau lokasi

lainnya.

2) Paragraf 41, jenis-jenis biaya penambangan yang pokok, baik yang mempunyai

hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi tersebut

Page 44: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 37

adalah pengupasan lapisan tanah (stripping) selama masa produksi. Biaya yang

terjadi dalam pengupasan lapisan tanah antara lain:

a) biaya pengupasan tanah;

b) biaya penyediaan lahan untuk penimbunan tanah; dan

c) biaya penimbunan tanah hasil pengupasan.

3) Paragraf 46, biaya pengupasan tanah penutup dibedakan antara pengupasan

tanah awal untuk membuka tambang, yaitu pengupasan tanah yang dilakukan

sebelum produksi dimulai dan pengupasan tanah lanjutan yang dilakukan

selama masa produksi. Biaya pengupasan tanah awal merupakan bagian dari

biaya pengembangan yang ditangguhkan, sedangkan biaya pengupasan tanah

lanjutan dibebankan sebagai biaya produksi.

Sebelum produksi dilaksanakan, dihitung terlebih dahulu rasio rata-rata tanah

penutup (average stripping ratio), yaitu perbandingan antara taksiran kuantitas

lapisan batuan/tanah penutup terhadap taksiran ketebalan bahan galian (seperti

batubara) yang juga dinyatakan dalam satuan unit kuantitas.

4) Paragraf 47, biaya pengupasan tanah lanjutan pada dasarnya dibebankan sebagai

biaya produksi berdasarkan Rasio Rata-Rata Tanah Penutup. Dalam keadaan di

mana rasio aktual tanah penutup (yaitu rasio antara kuantitas tanah/batuan yang

dikupas pada periode tertentu terhadap kuantitas bagian cadangan yang

diproduksi untuk periode yang sama) tidak berbeda jauh dengan rasio rata-

ratanya, maka biaya pengupasan tanah yang timbul pada periode tersebut

seluruhnya dapat dibebankan sebagai biaya produksi.

Dalam hal rasio aktual berbeda jauh dengan rasio rata-ratanya, maka bila rasio

aktual lebih besar dari rasio rata-ratanya, kelebihan biaya pengupasan

ditangguhkan pembebanannya dan dibukukan sebagai biaya pengupasan yang

ditangguhkan. Selanjutnya, biaya yang ditangguhkan ini dibebankan sebagai

biaya produksi pada periode di mana rasio aktual jauh lebih kecil dari rasio rata-

ratanya.

Uraian di atas menjelaskan perlakuan akuntansi mengenai penangguhan biaya

pengupasan tanah berdasarkan estimasi rasio rata-rata tanah penutup (stripping ratio)

jika rasio tanah penutup aktual lebih besar dari rasio rata-ratanya (estimasi standar),

maka akuntansi akan melakukan penangguhan biaya pengupasan tanah sebesar

selisih antara rasio aktual (biaya aktual) dengan rasio rata-rata yang kemudian biaya

yang ditangguhkan tersebut akan dibebankan pada periode dimana rasio aktual lebih

kecil dari rasio rata-ratanya. Demikian pula sebaliknya dapat terjadi, pembebanan

biaya berdasarkan estimasi stripping ratio rata-rata/standar yang lebih tinggi dari

rasio aktual (biaya aktual) yang terjadi, sehingga dalam hal ini pembebanan biaya

menurut akuntansi didasarkan biaya perkiraan/estimasi dan bukan merupakan biaya

yang sesungguhnya terjadi untuk memproduksi batu bara tahun berjalan.

Pemeriksaan terhadap berkas pemeriksaan tiga WP bidang pertambangan diketahui

terdapat perbedaan perlakuan pemeriksa terhadap biaya pengupasan tanah. Adapun

WP yang dilakukan pemeriksaan adalah sebagai berikut.

Page 45: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 38

Tabel 10 Perbedaan Perlakuan Pemeriksa terhadap Biaya Pengupasan Tanah

No Nama WP

Tahun Pajak

Laporan Pemeriksaan Unit Pemeriksa

Perlakuan Pemeriksa Nomor Tanggal

1 PT B2 2012 LAP-00186/WPJ.19/KP.0105/RIK.SIS/2014 28 April 2014 KPP WP Besar I Dikoreksi

2 PT B3 2012 LAP-00235/WPJ.19/KP.0105/RIK.SIS/2014 23 Juni 2014 KPP WP Besar I Dikoreksi

3 PT B2 2011 LAP-23/TOPN/PJ.0401/2014 5 Juni 2014 TOPN Tidak Dikoreksi

4 PT B1 2012 LAP-292/WPJ.19/KP.0105/RIK.SIS/2014 5 Sept 2014 KPP WP Besar I Tidak Dikoreksi

Hasil pemeriksaan oleh DJP atas ke tiga WP tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pemeriksaan terhadap PT B2 Tahun Pajak 2012 dan PT B3 Tahun Pajak 2012

Berdasarkan KKP dan LHP atas kedua WP tersebut diketahui bahwa di Tahun

Pajak 2012 Stripping Ratio (SR) aktual kedua WP tersebut lebih besar daripada

SR rata-rata sehingga secara komersil muncul biaya ditangguhkan sebesar

selisih antara SR aktual dikurangi SR rata-rata. Nilai selisih tersebut adalah

USD43,692,411.00 untuk PT B2 dan sebesar USD14,774,551.00 untuk PT B3.

Biaya ditangguhkan tersebut dibebankan secara fiskal oleh WP dengan cara

melakukan koreksi negatif biaya sebesar nilai tersebut.

Koreksi negatif dari WP tersebut dikoreksi oleh pemeriksa sehingga menurut

pemeriksa atas biaya tersebut tidak boleh dibiayakan.

2) Pemeriksaan terhadap PT B2 Tahun Pajak 2011 dan PT B1 Tahun Pajak 2012

Berdasarkan KKP dan LHP atas kedua WP tersebut diketahui bahwa SR aktual

kedua WP tersebut lebih besar daripada SR rata-rata sehingga secara komersil

muncul biaya ditangguhkan sebesar selisih antara SR aktual dikurangi SR rata-

rata. Nilai selisih tersebut adalah USD150,647.00 untuk PT B2 dan sebesar

USD46,038,953.99 untuk PT B1. Biaya ditangguhkan tersebut dibebankan

secara fiskal oleh WP dengan cara melakukan koreksi negatif biaya sebesar

nilai tersebut. Pemeriksa pajak tidak melakukan koreksi sehingga pemeriksa

menyetujui koreksi negatif dari WP.

Dari dua perlakuan di atas, diketahui bahwa terdapat perbedaan perlakuan terhadap

biaya pengupasan tanah. Ada pemeriksa yang memperbolehkan koreksi negatif atas

biaya pengupasan tanah dan ada juga pemeriksa yang tidak memperbolehkan koreksi

negatif atas biaya pengupasan tanah.

Menurut BPK, koreksi negatif biaya pengupasan tanah tersebut seharusnya tidak

boleh diakui. Sesuai dengan laporan keuangan komersil, biaya tersebut masih

ditangguhkan sehingga perlakuan atas biaya pengupasan tanah tersebut seharusnya

masih ditangguhkan dan belum dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan

bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak. Selain itu, biaya pengupasan tanah

merupakan biaya dengan manfaat lebih dari satu tahun sehingga tidak memenuhi

syarat Pasal 6 UU PPh dan harus mengikuti PSAK 33 tentang Pertambangan Umum.

Dari perhitungan yang dilakukan oleh BPK, diketahui masih terdapat potensi

kekurangan penerimaan negara atas koreksi negatif biaya pengupasan tanah. Rincian

perhitungannya adalah sebagai berikut.

Page 46: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 39

Tabel 11 Potensi Kekurangan Penerimaan Negara atas Koreksi Negatif Biaya Pengupasan Tanah

PT B2

kelebihan koreksi negatif (USD) USD150,647.00

kelebihan koreksi negatif (USD150,647.00 x Rp9.069,00) Rp1.366.217.643,00

Pajak terutang (25% x Rp1.366.217.643,00) Rp341.554.410,75

PT B1

kelebihan koreksi negatif (USD) USD46,038,953.99

kelebihan koreksi negatif (USD46,038,953.99 x Rp9.708) Rp446.946.165.334,92

Pajak terutang (25% x Rp446.946.165.334,92) Rp111.736.541.333,73

Dengan demikian, terdapat potensi penerimaan negara sebesar

Rp112.078.095.744,48 dari kekurangan penetapan pajak terutang oleh DJP.

b. Kegiatan pemeriksaan terhadap PT B4 Tahun Pajak 2009 oleh TOPN belum sesuai

ketentuan sehingga mengakibatkan potensi kekurangan Piutang Pajak sebesar

Rp70.560.215.864,46

Berdasarkan pengujian terhadap dokumen LHP dan KKP atas WP PT B4, TOPN

telah melakukan pemeriksaan khusus (all taxes) berdasarkan Surat Perintah

Pemeriksaan (SP2) Nomor PRIN-024/PJ.0401/KP.0105/OPN/2012 tanggal 26

September 2012. Pemeriksaan dilakukan untuk Tahun Pajak 2009 terhadap seluruh

kewajiban pajak. Hasil pemeriksaan pajak atas WP tersebut dilaporkan dalam LHP

dengan Nomor LAP.40/TOPN/PJ.0401/2014 tanggal 27 Agustus 2014.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap KKP pemeriksa diketahui bahwa pemeriksa

pajak tidak melakukan pengujian kewajaran harga penjualan batubara kepada

perusahaan afiliasi.

UU PPh Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak memiliki

wewenang untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's

length principle) pada transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak afiliasinya

(affiliated transactions) yang juga dinyatakan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor

Per-22/PJ/2013.

Pada Tahun 2009, WP melakukan penjualan batubara kepada perusahaan afiliasi

yakni B5. Atas penjualan kepada B5, pemeriksa tidak melakukan pengujian

kewajaran harga sehingga tidak bisa diketahui apakah nilai penjualan tersebut sudah

wajar atau belum.

BPK mencari harga wajar atas transaksi penjualan kepada B5 dengan menggunakan

harga acuan yakni Harga Batubara Acuan (HBA). HBA merupakan harga acuan

yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam. Di dalam HBA

terdapat beberapa jenis batubara yang diproduksi PT B4 dengan kandungan kalori

yang bermacam-macam. Semakin tinggi kandungan kalori maka harga jual batubara

tersebut semakin tinggi. Rincian jenis batubara B4 adalah sebagai berikut.

Page 47: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 40

Tabel 12 Rincian Jenis Batubara yang Diproduksi B4

No Merek

Dagang/Brand Kandungan Kalori

(kcal/kgGAR)

1 Ecocoal 4.200

2 A5000 5.000

3 A5700 5.700

4 A5900 5.900

5 A6100 6.100

6 A6250 6.250

7 Senakin 6.250

8 Satui 10 6.300

Di dalam KKP diketahui terdapat data rekapitulasi penjualan batubara selama Tahun

2009, namun tidak dicantumkan jenis batubara yang dijual beserta kandungan

kalorinya, sehingga tidak diketahui jenis maupun kandungan kalorinya. Karena tidak

adanya data tersebut, BPK melakukan pengujian kewajaran harga batubara tersebut

dengan menggunakan harga penjualan batubara dengan merek dagang B4 Ecocoal.

Merek dagang tersebut merupakan harga termurah dengan kandungan kalori

terendah. Hasil pengujian atas perbandingan harga jual kepada B5 diketahui terdapat

selisih harga penjualan. Harga penjualan kepada B5 lebih murah daripada harga

HBA. Rincian perhitungannya adalah sebagai berikut.

Tabel 13 Rincian Perhitungan Harga Penjualan kepada B5

Bulan Penjualan Cfm WP

(USD) Penjualan Cfm BPK

(USD) Selisih (USD)

Kurs PMK

Selisih (Rp)

Februari 4,400,742.41 6,813,687.22 2,412,944.81 11.965,20 28.871.367.240,61

Maret 6,112,165.41 8,654,160.00 2,541,994.59 11.538,20 29.330.041.978,34

April 6,498,385.65 8,144,278.80 1,645,893.15 10.836,00 17.834.898.173,40

Mei 8,462,169.30 10,360,650.00 1,898,480.70 10.334,40 19.619.658.946,08

Juni 2,742,062.38 3,563,459.57 821,397.19 10.324,00 8.480.104.589,56

September 4,492,942.82 6,083,662.50 1,590,719.68 9.698,00 15.426.799.456,64

Oktober 2,172,463.17 2,691,948.00 519,484.83 9.450,80 4.909.547.231,36

November 6,210,445.14 7,841,159.56 1,630,714.42 9.445,00 15.402.097.696,90

Desember 4,763,431.97 6,544,737.42 1,781,305.45 9.502,00 16.925.964.385,90

Jumlah 14,842,934.82 156.800.479.698,79

Ket: Kurs PMK setiap akhir bulan penjualan

Dari tabel di atas diketahui masih terdapat selisih harga penjualan sebesar

USD14,841,763.83 atau setara dengan Rp156.800.479.698,79 dengan rincian pada

Lampiran 3.1.2. Atas selisih ini, mengakibatkan adanya potensi kekurangan

penerimaan pajak sebesar Rp70.560.215.864,46 (45% x Rp156.800.479.698,79).

Potensi kekurangan piutang pajak dapat menjadi lebih besar apabila jenis batubara

yang dijual ke B5 dapat diketahui.

c. Terdapat transaksi pengalihan Participating Interest KKKS sebesar

USD102,340,000.00 yang belum dikenai pajak dengan potensi pajak

USD5,117,000.00

Page 48: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 41

Participating interest (PI) KKKS adalah tingkat kepemilikan perusahaan KKKS

sektor migas atas suatu wilayah kerja/blok yang telah ditetapkan oleh pemerintah

untuk dapat melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi migas. Wilayah kerja tersebut

dapat dimiliki oleh satu atau lebih perusahaan KKKS, dan diperbolehkan untuk

dialihkan antar perusahaan yang telah tergabung dalam penguasaan wilayah kerja

tersebut maupun kepada perusahaan lainnya sehingga akan mengubah komposisi

kepemilikan atas wilayah kerja tersebut. Pengalihan tersebut dapat dilakukan pada

tahap eksplorasi maupun pada tahap eksploitasi dan harus dengan persetujuan

pemerintah.

Sesuai ketentuan yang berlaku maka kontraktor yang menerima pengalihan PI harus

melaporkan nilai pengalihan kepada KPP Migas paling lambat 14 hari kerja sejak

perjanjian pengalihan PI ditandatangani, dan Direktur Jenderal Pajak dapat

menetapkan secara jabatan nilai pengalihan PI apabila tidak dilaporkan oleh

kontraktor.

Penghasilan dari pengalihan PI tersebut dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang

bersifat final dengan tarif sebesar 5% dari jumlah bruto pengalihan PI selama masa

eksplorasi dan 7% dari jumlah bruto pengalihan PI selama masa eksploitasi. Masa

eksplorasi sebagaimana dimaksud terhitung sejak tanggal efektif kontrak kerja sama

sampai dengan tanggal persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama pada

suatu wilayah kerja kontraktor. Sementara masa eksploitasi terhitung dari

berakhirnya masa eksplorasi sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak kerja sama.

Saat terutangnya PPh atas penghasilan dari pengalihan PI adalah pada saat

pembayaran, pada saat pengalihan PI, atau pada saat diberikannya persetujuan

pengalihan PI oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, tergantung peristiwa

mana yang lebih dahulu terjadi. PPh tersebut wajib dipotong oleh kontraktor yang

menerima pengalihan PI. Jika kontraktor yang menerima pengalihan PI belum

terdaftar sebagai WP pada saat terutangnya PPh, PPh yang terutang wajib disetor

sendiri oleh kontraktor yang menerima pengalihan PI dengan menggunakan Surat

Setoran Pajak (SSP) atas nama kontraktor yang mengalihkan PI.

Untuk menguji pembayaran pajak dari transaksi pengalihan PI, BPK melakukan

konfirmasi kepada SKK Migas untuk mengetahui wilayah kerja mana saja yang

mengalami pengalihan PI pada Tahun 2013 dan 2014. BPK mengirimkan surat

kepada SKK Migas dengan Nomor 01/ST-09/II.3/02/2015 tanggal 15 Februari 2015.

Atas permintaan konfirmasi tersebut, SKK Migas menjawab melalui surat Nomor

SRT-0079/SKKF3000/2015/SO tanggal 18 Februari 2015. Dari jawaban konfirmasi

tersebut, SKK Migas belum dapat menyajikan seluruh data permintaan konfirmasi

dan meminta tambahan waktu untuk melengkapi permintaan konfirmasi dimaksud.

Selanjutnya SKK Migas melengkapi jawaban konfirmasi dengan surat Nomor SRT-

0083/SKKF3000/2015/SO tanggal 12 Maret 2015. Dari jawaban konfirmasi tersebut

dapat disimpulkan bahwa terdapat lima wilayah kerja yang pengalihannya bernilai

total USD237,449,073.20, tujuh wilayah kerja yang tidak ada nilainya, satu wilayah

kerja yang belum diproses ijinnya, dan 32 wilayah kerja dimana SKK Migas tidak

menemukan nilai pengalihannya. Rinciannya terdapat pada Lampiran 3.1.3.

Terhadap pengalihan PI yang diketahui nilainya oleh SKK Migas, BPK melakukan

perhitungan kewajiban perpajakan dari transaksi tersebut. Dari perhitungan tersebut,

Page 49: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 42

BPK menemukan adanya potensi penerimaan pajak sebesar USD14,119,335.38,

dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 14 Perhitungan Pajak Penghasilan atas Transaksi PI

(dalam USD)

No Wilayah Kerja Nama Pemegang Partisipasi Interes

Sebelum Setelah Nilai

Pengalihan PI Potensi Pajak

1 SRT-0273/SKKO0000/2014/S0 02 Apr 2014

Skg B6 100,00% 10,00% 22,500,000.00 1,125,000.00

Eksplorasi B7 * - 90,00%

2 SRT-0796/SKKO0000/2014/S0 12-Sep-14

SU B8 * 65,54% 65,54% 36,000,000.00 2,520,000.00

Eksploitasi B9 13,07% 20,55%

B10 8,91% 8,91%

B11 5,00% 5,00%

B12 3,77%

B13 2,08%

B14 1,63%

3 SRT-0820/SKKD3000/2014/S0 24 Apr 2014

BS B15 * 100,00% 85,00% 264,987.20 13,249.36

Eksplorasi B16 - 15,00%

4 0097/SKKO0000/2013/S0 28-Feb-13

Ktg B17 * 50,00% 50% 76,344,086.00 5,344,086.02

Eksploitasi B18 30,00% 30,00%

B19 20,00%

B20 20,00%

5 0394/SKKO0000/2013/S0 30-Mei-13

Tn B21 * 65,00% 65,00% 102,340,000.00 5,117,000.00

Eksplorasi B22 20,00% 20,00%

B23 15,00%

B24 15,00%

JUMLAH 237,449,073.20 14,119,335.38

*) Operator Setelah Pengalihan PI

Selanjutnya, BPK melakukan konfirmasi kepada KPP Migas untuk mengetahui

apakah pajak atas transaksi pengalihan tersebut telah dibayarkan. BPK mengirimkan

surat Nomor 02/ST-09/II.3/02/2015 tanggal 26 Februari 2015 dan ditanggapi oleh

KPP Migas melalui surat Nomor SP-543/WPJ.07/KP.10/2015 tanggal 3 Maret 2015.

Adapun jawaban dari KPP Migas menunjukkan terdapat kewajiban pajak dari

pengalihan PI yang telah dibayarkan dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 15 Pembayaran Pajak Penghasilan atas Pengalihan PI

No Wilayah Kerja Nilai

Pengalihan PI (USD)

Potensi Pajak (USD)

Penyetor Nilai Pembayaran

1 Skg 22,500,000.00 1,125,000.00 B7 USD 1,125,000.00

2 SU 36,000,000.00 2,520,000.00 B9 Rp 30.663.360.000,00

3 BS 264,987.20 13,249.36 B16 Rp 161.191.713,76

4 Ktg 76,344,086.00 5,344,086.02 B20 Rp 51.784.193.533,80

5 Tn 102,340,000.00 5,117,000.00 -

-

Jumlah 237,449,073.20 14,119,335.38 Jumlah USD 1,125,000.00

Rp 82.608.745.247,56

Page 50: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 43

Wilayah kerja Skg telah dibayarkan oleh B7 sebagai pembeli PI pada tanggal 8 April

2014 sebesar USD1,125,000. Sementara itu, wilayah kerja SU dengan potensi pajak

USD2,520,000 telah dibayarkan oleh PT B9 pada tanggal 10 November 2014

sebesar Rp30.663.360.000,00 dengan kurs rupiah terhadap dolar Rp12.168,00.

Wilayah kerja BS dengan potensi pajak sebesar USD13,249.36 telah dibayarkan oleh

B16 pada tanggal 12 Mei 2014 sebesar Rp161.191.713,76 dengan kurs sebesar

Rp12.166,00. Adapun Wilayah kerja Ktg dengan potensi pajak sebesar

USD5,344,086.02 telah dibayarkan oleh B20 pada tanggal 9 April 2013 sebesar

Rp51.784.193.533,80 dengan kurs sebesar Rp9.690,00. Sementara PPh atas transaksi

pengalihan PI untuk wilayah kerja Tn belum dibayarkan.

Dengan demikian, terdapat potensi kekurangan piutang pajak minimal sebesar

USD5,117,000.00 ekuivalen Rp63.660.597.000,00 (dengan kurs Rp12.441,00).

Potensi kekurangan piutang pajak dapat menjadi lebih besar jika SKK Migas dapat

menemukan nilai pengalihan atas 32 wilayah kerja lainnya.

d. Terdapat kekurangan penetapan pajak terutang oleh DJP atas lima WP dengan total

sebesar Rp63.637.463.489,53

Hasil pengujian atas pemeriksaan dan/atau pemrosesan Keberatan oleh DJP

menunjukkan DJP kurang menetapkan pajak terutang atas lima WP dengan nilai

total kekurangan sebesar Rp63.637.463.489,53. Rincian permasalahan dapat dilihat

pada Lampiran 3.1.1.

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun

1983 tentang Pajak Penghasilan:

1) Penjelasan Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa beban-beban yang dapat

dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu

beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun

dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang

mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada

tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya

rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan

melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam

suatu Tahun Pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih

kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;

2) Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa harga perolehan atau harga penjualan

dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang

sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan

istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima; dan

3) Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk

menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan

utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi

Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya

sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh

hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara

Page 51: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 44

pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus,

atau metode lainnya.

b. UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983

tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah:

1) Pasal 16D yang menyatakan bahwa “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas

penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak

untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan

aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c”; dan

2) Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%

(sepuluh persen).

c. PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan

Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi:

1) Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa penghasilan kontraktor dari pengalihan

participating interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf b

dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif:

a) 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest

selama masa eksplorasi; atau

b) 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating

interest selama masa eksploitasi.

2) Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa dalam ha1 terjadi pengalihan participating

interest atau pengalihan saham, kontraktor wajib melaporkan nilainya kepada

Direktur Jenderal Pajak.

d. PMK Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor

620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain

Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang

telah mengubah batasan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa hunian

mewah.

Hunian mewah yang merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah

rumah dan town house dari jenis non-strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau

lebih yang diserahkan sejak tanggal 10 Juni 2009 atau apartemen,

kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan luas

bangunan 150 m² atau lebih, yang diserahkan sejak tanggal 10 Juni 2009.

e. Perdirjen Pajak Nomor Per-22/PJ/2013 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak

memiliki wewenang untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman

usaha (arm's length principle) pada transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak

afiliasinya (affiliated transactions).

f. Perdirjen Pajak Nomor PER-51/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian dan Penetapan

Besaran Kupon Makanan dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria dan Tata Cara

Penetapan Daerah Tertentu, dan Batasan Mengenai Sarana dan Fasilitas di Lokasi

Kerja:

1) Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “Wajib Pajak yang melakukan kegiatan

usaha di daerah tertentu dapat mengajukan permohonan penetapan daerah

Page 52: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 45

tertentu kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor

Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar....”; dan

2) Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemberian natura dan kenikmatan yang

merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan

kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 huruf c Peraturan Menteri Keuangan meliputi pakaian

dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan

(satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan

sejenisnya”.

Permasalahan tersebut mengakibatkan terjadinya potensi kekurangan Piutang

Pajak dari SKP sebesar Rp309.936.372.098,47.

Permasalahan tersebut disebabkan:

a. pemeriksa pajak terkait tidak cermat dalam menjalankan tugas dan menerapkan

ketentuan yang berlaku dalam pemeriksaan;

b. KPP Migas kurang cermat dalam mengawasi kewajiban perpajakan KKKS yang

melakukan pengalihan participating interest; dan

c. proses pengawasan berjenjang dari supervisor dan Kepala Kantor; atau dari

supervisor sampai dengan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan tidak optimal.

Atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah

menanggapi sebagai berikut:

a. Kegiatan pemeriksaan terhadap PT B1 Tahun Pajak 2012 oleh Kantor Pelayanan

Pajak Wajib Pajak Besar Satu serta PT B2 Tahun Pajak 2011 oleh TOPN tidak

sesuai dengan ketentuan sehingga terdapat potensi kekurangan penerimaan negara

sebesar Rp112.078.095.744,48

1) PT B3 2012

Pemeriksa pajak tidak mengakui koreksi negatif atas strippping cost (SC) yang

ditangguhkan karena stripping cost yang dikeluarkan oleh B3 merupakan bagian

dari Asset Under Construction yang dikelompokkan oleh PT B3 sebagai

Development Cost. Pemeriksa mengakui aset Under contruction tersebut tidak

sebagai Development cost tetapi sebagai aktiva tetap sehingga stripping cost

yang menjadi bagian asset under contruction tersebut diakui sebagai aktiva

tetap yang pembebanannya melalui penyusutan aktiva tetap.

Oleh karena itu, koreksi negatif atas SC yang ditangguhkan oleh PT B3 tidak

dapat dibenarkan karena harus menjadi aktiva tetap dan tidak dibebankan pada

tahun bersangkutan.

2) PT B1

Berkaitan dengan koreksi fiskal negatif (Tahun 2012) sebesar

USD46,038,953.99 yang berupa biaya pengupasan tanah (Overburden

Removal), dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Wajib Pajak (PT B1) secara komersil di Tahun 2012 telah melakukan

penangguhan atas Overburden Removal diatas Stripping Rasio.

Penangguhan tersebut sesuai dengan PSAK 33.

b) Wajib Pajak mengadopsi PSAK 33 mulai Tahun Pajak 2011.

Page 53: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 46

c) Untuk Tahun Pajak 2009 Wajib pajak belum mengadopsi PSAK 33,

sehingga antara laporan keuangan komersil dengan laporan keuangan fiskal

tidak ada perbedaan, pada akhirnya tidak ada koreksi fiskal positif ataupun

negatif.

d) Sejak Tahun 2011 Wajib Pajak telah mengadopsi PSAK 33, sedangkan

atas produksi Overburden Removal secara fiskal Wajib Pajak melakukan

pembebanan sekaligus saat terjadinya biaya tersebut. Pembebanan tersebut

sesuai Pasal 6 ayat 1 UU PPh dan dilakukan secara konsisten (secara taat

azas dari tahun ke tahun). Karena Wajib pajak sudah mengadopsi PSAK 33

atas laporan keuangan komersilnya, sedangkan secara fiskal pembebanan

biaya overburden dilakukan sekaligus pada saat tahun timbulnya biaya

Overburden, maka perbedaan penerapan tersebut (komersil dan fiskal)

wajib pajak melakukan koreksi fiskal positif atau negatif (tergantung

kondisi Produksi OB diatas Stripping Rasio (SR) atau di bawah Stripping

Rasio (SR). Perlakukan secara konsisten (taat azas) atas Overburden

Removal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Laporan Keuangan Tahun Pajak 2011 (SPT PPh Badan Tahun Pajak

2011)

Secara komersial, Wajib Pajak telah melakukan koreksi atas

Overburden Removal di atas Stripping Ratio (SR) dari pos Laba/Rugi

ke pos neraca (ditangguhkan) karena produksi OB diatas Stripping

Rasio (SR). Akan tetapi, secara fiskal Wajib Pajak melakukan kembali

koreksi fiskal negatif (atas produksi OB Removal) di Laporan SPT

tahunan PPh Badan Tahun 2011. Koreksi fiskal negatif (penyesuaian

fiskal negatif lainnya) di SPT Tahun Pajak 2011 adalah sebesar

Rp142.659.040.439 dimana dari total koreksi fiskal negatif tersebut

sebesar Rp108.681.811.263 berasal dari koreksi fiskal negatif atas

Overburden Removal (dengan akun 581230).

(2) Laporan Keuangan Tahun Pajak 2012 (SPT PPh Badan Tahun 2012)

Tahun Pajak 2012, Wajib Pajak juga melakukan hal yang sama

terhadap kebijakan pembebanan biaya atas OB Removal di atas

Stripping Ratio (SR) seperti Tahun Pajak 2011, dimana secara

komersial ditangguhkan (produksi OB diatas Stripping Rasio), akan

tetapi secara fiskal (OB Yang diproduksi) dibebankan sekaligus sesuai

dengan biaya produksi yang terjadi pada tahun tersebut (Pasal 6 ayat

(1) UU PPh). Pemeriksa sudah menanyakan hal tersebut kepada Wajib

Pajak bahwa metode pembebanan atas biaya Overburden Removal

(OB Removal dibebankan pada saat terjadinya pengeluaran. Hal

tersebut dilakukan secara konsisten (taat azas).

(3) Penerapan secara taat azas atas OB Removal tersebut juga dilakukan

di Tahun 2013, dimana secara komersial telah dilakukan adjustment

negatif, akan tetapi secara fiskal Wajib Pajak melakukan koreksi fiskal

positif sebesar USD52,468,402.00.

Koreksi fiskal positif di SPT tahunan PPh Badan Tahun 2013 sebesar

USD52,468,402.00 karena adanya pembebanan secara komersil atas

amortisasi biaya overburden dari Tahun 2011 dan 2012.

Page 54: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 47

Perhitungan koreksi fiskal positif atas biaya yang ditangguhkan

pengakuannya (lampiran SPT Tahunan PPh badan (5k)) di SPT PPh

Badan Tahun Pajak 2013 dapat dijelaskan bahwa Akun Nomor

645170 Amortisasi OB Removal sebesar USD52,468,402.00 dikurangi

Akun Nomor 581231 Contractor OB sebesar USD15,828,424.00

sehingga jumlah koreksi fiskal positif Tahun 2013 sebesar

USD36,639,978.00.

Pemerintah tidak sependapat dengan BPK terkait dengan temuan PT B1

sebagaimana tanggapan yang telah disampaikan di atas. Pemerintah juga

menggunakan dasar hasil pemeriksaan pajak PT B1 Tahun 2011 yang telah

diaudit oleh BPK sebagai dasar untuk pemeriksaan Tahun Pajak 2012. Sesuai

dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, Biaya OB Removal tersebut termasuk dalam

pengertian biaya untuk memperoleh, memelihara dan mempertahankan

penghasilan sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh.

Berdasarkan uraian diatas, Wajib Pajak telah konsisten menerapkan perlakuan

atas stripping cost dan Pemeriksa telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

3) PT B2

Terdapat ketidakkonsistenan perlakuan stripping cost untuk PT B2 Tahun Pajak

2011 dan 2012 yang diterapkan oleh Pemeriksa. DJP berpendapat bahwa sesuai

dengan ketentuan perpajakan atas SC tersebut seharusnya dibebankan sesuai

dengan actual cost yang terjadi berdasarkan Pasal 6 ayat (1). Hal ini juga

konsisten dengan hasil pemeriksaan BPK untuk B1 Tahun 2011 yang juga

termasuk dalam sampel BPK untuk pemeriksaan LKPP 2013 dan tidak ada

temuan terkait tidak dilakukannya koreksi negatif atas biaya SC yang

ditangguhkan B1 2011.

Pembebanan SC secara aktual untuk usaha pertambangan pada masa produksi

menurut perpajakan konsisten dengan prinsip matching cost againts revenue

dimana disebabkan stripping cost pada masa produksi yang terjadi akan

disandingkan dengan jumlah produksi batubara pada tahun yang bersangkutan,

sehingga SC dibebankan seluruhnya secara fiskal. Stripping cost yang terjadi

pada masa pra produksi akan ditangguhkan dan menjadi aktiva tetap serta

pembebanannya dilakukan melalui amortisasi pada saat sudah berproduksi.

Stripping Cost pada PT B2 adalah terjadi pada masa produksi sehingga

seharusnya dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran SC dimaksud.

Atas perbedaan perlakuan tersebut di atas dan untuk menghindari terjadinya

perbedaan yang serupa, akan dibuat surat penegasan dari Direktur P2 terkait

dengan perlakuan SC tersebut paling lambat bulan Juli 2015.

b. Kegiatan pemeriksaan terhadap PT B4 Tahun Pajak 2009 oleh TOPN belum sesuai

ketentuan sehingga mengakibatkan potensi kekurangan penerimaan negara sebesar

Rp70.560.215.864,46

Sesuai dengan tanggapan yang disampaikan sebelumnya, DJP tidak sependapat

dengan temuan pemeriksaan oleh BPK. Pemeriksa telah melakukan pemeriksaan

sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Nilai penjualan B4 yang diakui

oleh pemeriksa pajak telah sama dengan nilai penjualan yang diakui oleh Hasil Audit

BPK untuk pemeriksaan sebelumnya terkait royalti yaitu “Pemeriksaan atas

Page 55: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 48

Pengelolaan Pertambangan Batubara (Perijinan, PNBP, Bagi Hasil, dan Pengelolaan

Lingkungan Pertambangan) Tahun Anggaran (TA) 2008 sampai dengan Semester I

TA 2010 pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Provinsi,

Kabupaten/Kota, Kontraktor PKP2B dan Pemegang Kuasa Pertambangan di Provinsi

Kalimantan Selatan serta Instansi Terkait Lainnya di Jakarta dan Banjarmasin”

Nomor 11/KT-Kalsel/PKP2B/12/2010 tanggal 16 Desember 2010.

c. Terdapat transaksi pengalihan PI sebesar USD102,340,000.00 yang belum dikenai

pajak

1) Data yang diperoleh DJP berdasarkan surat hasil konfirmasi dari surat Direktur

Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 1468/13/DME/2015 tanggal 30 Januari

2015 yang menyatakan nilai pengalihan blok Tn sebesar USD12,7 juta.

2) BPK menggunakan DPP sebesar USD102,340,000.00 yang didasarkan pada

surat SKK Migas kepada Tim Pemeriksa BPK RI Nomor SRT-

0083/SKKF3000/2015/SO tanggal 12 Maret 2015 yang menyatakan nilai

pengalihan blok Tn sebesar USD102,34 juta.

3) Atas dispute ini KPP Migas telah mengirimkan surat konfirmasi nilai

pengalihan particapting interest kepada:

a.) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dengan surat Nomor S-

4608/WPJ.0-7/KP.10/2015 tanggal 24 April 2015; dan

b.) Kepala SKK Migas dengan surat Nomor S-4609/WPJ.07/KP.10/2015

tanggal 24 April 2015.

4) KPP akan segera menerbitkan SKPKB jika berdasarkan jawaban surat

konfirmasi dari Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan dari Kepala SKK

Migas beserta dokumen pendukung lainnya dinyatakan nilai pengalihan interest

blok Tn adalah sebesar USD102,340,000.00.

Atas tanggapan tersebut, BPK berpendapat sebagai berikut.

a. Untuk tanggapan poin a, berdasarkan LHP atas pemeriksaan PT B3 Tahun 2012 hal

20, disebutkan bahwa pemeriksa melakukan koreksi atas Grasberg Striping Cost

karena sesuai dengan laporan keuangan komersil, biaya atas Grasberg Striping Cost

tersebut masih ditangguhkan sehingga menurut pemeriksa pajak perlakuan atas biaya

Grasberg Striping Cost juga masih ditangguhkan dan belum dapat dibebankan

sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak.

Koreksi negatif biaya pengupasan tanah tidak boleh diakui. Sesuai dengan laporan

keuangan komersiil, biaya tersebut masih ditangguhkan sehingga seharusnya

perlakuan atas biaya pengupasan tanah tersebut masih ditangguhkan dan belum

dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung

penghasilan kena pajak.Terkait konsistensi perlakuan biaya over burden secara

komersiil oleh Wajib Pajak, BPK belum bisa menyakini. Masih dibutuhkan

dokumen berupa SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 s.d. 2014 beserta Laporan

Keuangan audited.

b. Untuk tanggapan poin b:

1) Pengujian yang dilakukan oleh BPK sesuai dengan LHP tersebut adalah terkait

dengan pengujian biaya royalti. Pengujian tidak dilakukan dalam rangka

pemeriksaan pajak sehingga tidak bisa dijadikan dasar oleh DJP untuk tidak

Page 56: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 49

melakukan pengujian transaksi penjualan kepada perusahaan afiliasi yakni B5;

dan

2) Data HBA Tahun 2009 didapat dari Kementerian ESDM sehingga secara

substansi data tersebut bisa digunakan sebagai data pembanding untuk

penjualan kepada afiliasi.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar menginstruksikan Direktur Jenderal Pajak untuk:

a. melakukan penelitian kembali dan/atau mengupayakan penagihan atas potensi

kekurangan piutang pajak sebesar Rp309.936.372.098,47; dan

b. memberikan pembinaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada pemeriksa

pajak, supervisor, kepala kantor terkait, dan pejabat terkait kegiatan pemeriksaan.

Rincian rekomendasi atas masing-masing permasalahan dapat dilihat pada

Lampiran 3.1.1.

3.2 Temuan - DJP Belum Menagih Sanksi Administrasi Berupa Bunga dan/atau Denda

Sebesar Rp3,14 Triliun

LKPP Tahun 2014 (audited) menyajikan saldo Piutang Pajak per 31 Desember

2014 yang dikelola oleh DJP sebesar Rp67.750.716.880.930,00 dengan nilai Piutang

Pajak yang disisihkan sebesar Rp45.161.401.732.445,00 sehingga nilai Piutang Pajak

yang diperkirakan dapat direalisasikan adalah sebesar Rp22.589.315.148.485,00. Piutang

Pajak tersebut merupakan piutang negara kepada Wajib Pajak berdasarkan peraturan

perundang-undangan perpajakan yang berlaku, tetapi sampai dengan berakhirnya Tahun

Anggaran 2014 belum dilakukan pelunasan oleh WP.

Berdasarkan Pasal 9 dan Pasal 19 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU

Nomor 5 Tahun 2008 menjadi UU dinyatakan hal-hal sebagai berikut.

a. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran

pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis

pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau

berakhirnya Masa Pajak. Pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah

tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana telah

ditentukan oleh Menteri Keuangan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar

2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran

sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.

b. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan

(SPT) Tahunan PPh harus dibayar lunas sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan.

Atas pembayaran atau penyetoran pajak tersebut, apabila dilakukan setelah tanggal

jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga

sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu

penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari

bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

c. Atas Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang:

1) tidak membuat faktur pajak,

Page 57: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 50

2) membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu,

3) tidak mengisi faktur pajak secara lengkap, dan

4) melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak

wajib menyetor pajak terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar

2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

d. Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, dan Surat Keputusan (SK)

Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali,

yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi

dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Sesuai dengan Pasal 19,

apabila pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak

yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar

2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh

tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya STP, dan bagian

dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda dilakukan dengan

penerbitan STP oleh DJP. STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau

sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP yang terkait dengan pengenaan

sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pembayaran SKPKB, SKPKBT, SK

Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang

menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah biasa disebut dengan STP

Bunga Penagihan (STPBP).

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan tersebut, prosedur yang berlaku di DJP

sebagai berikut:

a. Account Representative (AR) dan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi

(Waskon) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar, melakukan

pengawasan pembayaran setoran masa dan tahunan. Apabila AR menemukan

keterlambatan pembayaran, maka AR melakukan identifikasi terhadap data-data

yang akan diterbitkan STP kemudian membuat Nota Penghitungan dan STP. Kepala

Seksi Waskon meneliti dan menandatangani nota penghitungan serta meneliti dan

memberikan persetujuan penerbitan STP yang selanjutnya diteliti oleh Kepala Seksi

Pelayanan untuk kemudian ditandatangani oleh Kepala KPP.

b. Kepala Seksi Penagihan beserta stafnya di KPP tempat WP terdaftar, melakukan

pengawasan pembayaran SKPKB, SKPKBT SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan

Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang

harus dibayar bertambah. Atas dokumen yang dapat diterbitkan STPBP, Pelaksana

Seksi Penagihan menyusun konsep nota penghitungan STPBP untuk kemudian

diteliti dan ditandatangani oleh Kepala Seksi Penagihan dan selanjutnya diterbitkan

STPBP oleh Seksi Pelayanan untuk kemudian ditandatangani oleh Kepala KPP.

c. Fungsional Pemeriksa melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Dalam hal

ditemukan potensi sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda, Fungsional

Pemeriksa menuangkan dalam LHP dan nota penghitungan pajak. Nota

penghitungan pajak diteliti dan disetujui oleh Ketua Tim Pemeriksa, Ketua

Kelompok Pemeriksa, dan Kepala KPP.

Page 58: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 51

Prosedur di atas hanya menjelaskan tata cara penerbitan STP tanpa menjelaskan

kapan STP harus diterbitkan oleh KPP. Dengan demikian penerbitan STP sangat

bergantung dengan tingkat keaktifan SDM pada masing-masing KPP.

Hasil pemeriksaan secara uji petik atas kepatuhan pembayaran setoran masa, PPh

Pasal 29 (tahunan), SKPKB, dan SKPKBT, serta Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan

Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) diketahui bahwa DJP belum menagih sanksi

administrasi berupa bunga atas pembayaran setoran masa, tahunan, SKPKB, dan

SKPKBT pada Tahun 2014 yang melewati tanggal jatuh tempo dan belum menagih

sanksi administrasi berupa denda terhadap PKP yang tidak membuat faktur pajak,

membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu, tidak mengisi faktur pajak secara lengkap,

dan melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak dengan

potensi sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda sebesar Rp3.147.374.525.879,16

dengan rincian permasalahan sebagai berikut.

a. DJP belum menagih sanksi administrasi berupa bunga atas pembayaran/pelunasan

pajak yang melewati jatuh tempo sebesar Rp3.117.240.129.893,38. Perinciannya

adalah sebagai berikut.

1) Pembayaran PPh, PPN, dan PPnBM pada Tahun 2014 yang melewati jatuh

tempo belum dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar

Rp2.532.680.977.464,38.

Hasil pengujian melalui data tanggal setor dan data masa pajak pada MPN G1

dan MPN G2 Tahun 2014 diketahui terdapat pembayaran pajak yang terutang

untuk suatu masa pajak yang melewati tanggal jatuh tempo sebanyak 45.950

transaksi dengan total nilai setor sebesar Rp20.086.538.372.804,00 belum

dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp2.532.680.977.464,38

dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 16 Rekapitulasi Potensi Sanksi Administrasi Berupa Bunga per Jenis Pajak

(dalam rupiah)

No Uraian Jumlah

Transaksi Nilai Pembayaran

Nilai Sanksi Administrasi

Berupa Bunga

A PPh 18.777 10.094.905.497.108,00 1.236.493.296.941,04

1) PPh Pasal 4 ayat (2) 2.440 823.572.888.096,00 99.940.894.384,48

2) PPh Pasal 21 8.400 3.179.073.547.684,00 177.925.767.698,66

3) PPh Pasal 23 1.471 543.731.989.543,00 53.045.425.122,00

4) PPh Pasal 26 640 376.885.299.605,00 47.996.594.131,88

5) PPh Pasal 25 OP 72 11.260.263.269,00 1.920.556.246,00

6) PPh Pasal 25 Badan 2.129 1.806.883.740.518,00 83.475.723.757,04

7) PPh Pasal 29 OP 734 278.330.503.720,00 98.146.602.986,66

8) PPh Pasal 29 Badan 2.891 3.075.167.264.673,00 674.041.732.614,32

B PPN dan PPnBM 18.659 6.623.728.309.674,00 1.082.414.582.373,90

1) PPN Dalam Negeri Membangun Sendiri

165 32.136.635.936,00 8.095.432.781,54

2) PPN Dalam Negeri Masa 18.441 6.545.208.014.135,00 1.065.255.033.282,00

3) PPnBM Dalam Negeri Masa 53 46.383.659.603,00 9.064.116.310,36

Page 59: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 52

No Uraian Jumlah

Transaksi Nilai Pembayaran

Nilai Sanksi Administrasi

Berupa Bunga

C PPN DN dipungut oleh Pemungut 8.514 3.367.904.566.022,00 213.773.098.149,44

1) PPN Dalam Negeri dipungut oleh Pemungut Pengeluaran

6.474 2.415.738.749.490,00 118.275.781.605,44

2) PPN Dalam Negeri BKP Tidak Berwujud

374 203.513.457.748,00 10.227.877.043,00

3) PPN Dalam Negeri JKP dari Luar Daerah Pabean

1.666 748.652.358.784,00 85.269.439.501,00

Jumlah (A+B+C) 45.950 20.086.538.372.804,00 2.532.680.977.464,38

Belum dikenakannya sanksi adminsitrasi berupa bunga atas pembayaran pajak

yang melewati jatuh tempo di antaranya dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

a) DJP belum memiliki regulasi yang secara jelas dan tertulis mengatur saat

terbitnya STP, sehingga saat penerbitan STP berbeda-beda sesuai dengan

tingkat keaktifan masing-masing KPP.

b) Surat Setoran Pajak atas PPN Dalam Negeri yang dipungut oleh

Pemunguttidak memuat informasi pemungut pajak PPN dan aplikasi MPN

tidak menyediakanmenu penginputan data pemungut sehingga tidak

tersedia informasi pemungut pajak PPN. Dengan demikian KPP akan

kesulitan menemukan NPWP pemungut yang terlambat menyetorkan PPN.

2) Pembayaran PPh Minyak dan Gas Bumi yang melewati jatuh tempo belum

dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar USD2,882,266.85 ekuivalen

Rp35.855.399.614,00.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas penerimaan PPh Migas periode Januari s.d.

Desember 2014 dengan membandingkan tanggal valuta diterima di Rekening

Bank Indonesia (BI) dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran

PPh Migas, yaitu paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak

atau berakhirnya Masa Pajak, diketahui terdapat keterlambatan penyetoran PPh

Masa dan Tahunan sebanyak 175 transaksi dengan total nilai setor sebesar

USD19,048,834.25 ekuivalen Rp236.967.498.070,00. Atas keterlambatan

penyetoran tersebut seharusnya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga

sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo

pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung

penuh 1 (satu) bulan. Pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa DJP belum

menerbitkan STP atas keterlambatan sebesar USD2,882,266.85 ekuivalen

Rp35.855.399.614,00 (kurs tengah BI per 31 Desember 2014 sebesar

Rp12.440,00).

3) Pembayaran SKPKB/SKPKBT pada Tahun 2014 yang melewati jatuh tempo

pelunasan belum dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar

Rp548.703.752.815,00.

Pemeriksaan secara uji petik atas pembayaran SKPKB/SKPKBT melalui MPN

G1 (kode setor 310, 311, 312, 313, 314, 320, 321, 322, 323, dan 324) diketahui

terdapat pembayaran SKPKB/SKPKBT yang melewati tanggal jatuh tempo

sebanyak 5.417 transaksi dengan total nilai setor sebesar

Rp3.574.920.185.163,00 belum dikenai sanksi administrasi berupa bunga

sebesar Rp548.703.752.815,00 dengan rincian sebagai berikut.

Page 60: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 53

Tabel 17 Nilai STP BP yang Belum Diterbitkan atas Pembayaran SKPKB/SKPKBT Melalui MPN per Jenis SKP

(dalam rupiah)

No Jenis SKP Jumlah

Transaksi Nilai Setor

Jumlah Sanksi berupa Bunga

1 SKPKB 5.363 3.534.423.759.504,00 540.729.228.467,00

2 SKPKBT 54 40.496.425.659,00 7.974.524.348,00

Total 5.417 3.574.920.185.163,00 548.703.752.815,00

b. DJP belum menagih sanksi administrasi berupa denda atas penerbitan/pelaporan

faktur pajak yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp30.134.395.985,78.

Berdasarkan hasil pemeriksaan secaraujipetik terhadap LHP dan KKP diketahui

bahwa DJP belum menagih sanksi administrasi berupa denda terhadap PKP yang

tidak membuat faktur pajak, membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu, tidak

mengisi faktur pajak secara lengkap, dan melaporkan faktur pajak tidak sesuai

dengan masa penerbitan faktur pajak dengan potensi sanksi administrasi berupa

denda sebesar Rp30.134.395.985,78 dengan uraian sebagai berikut:

1) PKP yang tidak melaporkan faktur pajak belum dikenai sanksi administrasi

berupa dendasebesar Rp5.975.251.280,00 dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 18 Nilai Sanksi Administrasi Berupa Denda Atas PKP yang Tidak Melaporkan Faktur Pajak

(dalam rupiah)

No KPP Nama WP Tahun

Pajak

Nilai Faktur Pajak

(Dasar Pengenaan

Pajak)

Nilai STP

1 KPP Madya Jakarta Timur PT B60 2010 51.582.556.553,00 1.031.651.131,00

2 KPP Madya Jakarta Timur PT B61 2010 1.035.518.537,00 20.710.371,00

3 KPP Pratama Jakarta Kembangan PT B63 2013 194.780.042.412,00 3.895.600.848,00

4 KPP Pratama Pati PT B64 2009 8.364.446.510,00 167.288.930,00

5 KPP Pratama Jakarta Setiabudi

Tiga PT B65 2010 43.000.000.000,00 860.000.000,00

Jumlah 298.762.564.012,00 5.975.251.280,00

2) PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap belum dikenai sanksi

administrasi berupa denda sebesar Rp24.058.112.396,00 dengan rincian sebagai

berikut:

Tabel 19 Nilai Sanksi Administrasi Berupa Denda Atas PKP yang Tidak Mengisi Faktur Pajak Secara Lengkap

(dalam rupiah)

No KPP Nama WP Tahun Pajak

Nilai Faktur Pajak

(Dasar Pengenaan

Pajak)

Nilai STP

1 KPP Wajib Pajak Besar Empat PT B66 2011 1.194.146.338.881,00 23.882.926.777,00

2 KPP Madya Jakarta Timur PT B67 2012 dan 2013 381.200.000,00 7.624.000,00

3 KPP Madya Jakarta Timur PT B68 2010 4.492.500.000,00 89.850.000,00

4 KPP Madya Jakarta Timur PT B69 2011 3.885.580.954,00 77.711.619,00

Jumlah 1.202.905.619.835,00 24.058.112.396,00

Page 61: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 54

3) PKP yang melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur

pajak belum dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar

Rp101.032.309,78 dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 20 Nilai Sanksi Administrasi Berupa Denda Atas PKP yang Melaporkan Faktur Pajak Tidak Sesuai dengan Masa Penerbitan Faktur Pajak

(dalam rupiah)

No KPP Nama WP Tahun

Pajak

Nilai Faktur Pajak

(Dasar Pengenaan

Pajak)

Nilai STP

1 KPP Madya Jakarta Timur PT B70 2009 2.278.902.241,00 45.578.045,00

2 KPP Pratama Karawang Selatan PT B71 2013 2.772.713.239,00 55.454.264,78

Jumlah 5.051.615.480,00 101.032.309,78

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2009.

1) Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa (1) Menteri Keuangan menentukan tanggal

jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat

atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas)

hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.

2) Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa (2) kekurangan pembayaran pajak yang

terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus

dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

3) Pasal 9 ayat (2a) menyatakan bahwa apabila pembayaran atau penyetoran pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh

tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa

bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh

tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan

dihitung 1 (satu) bulan.

4) Pasal 9 ayat (2b) menyatakan bahwa (2b) atas pembayaran atau penyetoran

pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh

tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi

berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari

berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai

dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)

bulan.

5) Pasal 14 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa DJP dapat menerbitkan Surat

Tagihan Pajak apabila Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau

kurang dibayar.

6) Pasal 14 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah kekurangan pajak yang terutang

dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan

huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua

persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak

saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau

Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

b. PMK Nomor 80/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas PMK Nomor

184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan

Page 62: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 55

Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara

Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan

Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan

Pembayaran Pajak.

1) Pasal 2.

a) ayat (2) menyatakan bahwa “PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar

sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas)

bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh

Menteri Keuangan”;

b) ayat (5) menyatakan bahwa “PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong

PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya

setelah Masa Pajak berakhir”;

c) ayat (6) menyatakan bahwa “PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong

oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan

berikutnya setelah Masa Pajak berakhir”;

d) ayat (7) menyatakan bahwa “PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama

tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir”;

e) ayat (13) menyatakan bahwa “PPN yang terutang atas kegiatan

membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang

melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama tanggal 15 (lima

belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir”;

f) ayat (13a) menyatakan bahwa “PPN yang terutang atas pemanfaatan

Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar

Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang

memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena

Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan

berikutnya setelah saat terutangnya pajak”;

g) ayat (14) menyatakan bahwa “PPN atau PPN dan PPnBM yang

pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut

PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah

Masa Pajak berakhir”;

h) ayat (15) menyatakan bahwa “PPN atau PPN dan PPnBM yang

pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara

Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima

belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

2) Pasal 2A menyatakan bahwa PPN atau PPnBM yang terutang dalam satu Masa

Pajak harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak

berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.

c. PMK Nomor 79/PMK.02/2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan

Penerimaan Negara Dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi

dan Penghitungan Pajak Penghasilan Untuk Keperluan Pembayaran Pajak

Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi

dan/atau Gas Bumi Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal Kontraktor tidak

memenuhi ketentuan mengenai pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana diatur

dalam Pasal 9 dan Pasal 10, Kontraktor dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-

Page 63: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 56

undangan di bidang perpajakan.

d. Perdirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan pada:

1) Pasal 1 ayat (14) menyatakan bahwa “Supervisor adalah Pemeriksa Pajak yang

bertugas membuat Rencana Pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan

kewajiban perpajakan, membuat Program Pemeriksaan, melakukan

pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan Pemeriksaan, melakukan telaah

atas KKP serta memberikan bimbingan kepada Pemeriksa Pajak yang berada

dalam suatu kelompok Pemeriksa Pajak”.

2) Pasal 1 ayat (15) menyatakan bahwa “Ketua Tim adalah Pemeriksa Pajak yang

bertugas membantu Supervisor dalam menyusun Program Pemeriksaan,

mengarahkan dan mengoordinasikan pelaksanaan Pemeriksaan serta sekaligus

melaksanakan Pemeriksaan bersama-sama dengan Anggota Tim yang berada

dalam suatu tim Pemeriksa Pajak.

3) Pasal 4 huruf b menyatakan bahwa pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji

kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar

pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan

pengujian berdasarkan Metode Pemeriksaan dan Teknik Pemeriksaan sesuai

dengan Program Pemeriksaan (audit program) yang telah disusun.

Permasalahan tersebut mengakibatkan:

a. Potensi kekurangan piutang pajak dari STP sebesar Rp3.147.374.525.879,16; dan

b. Hak Negara yang telah timbul atas sanksi administrasi berupa bunga belum dapat

disajikan dalam neraca per 31 Desember 2014 sebagai piutang pajak.

Permasalahan tersebut disebabkan:

a. AR, Pelaksana Seksi Penagihan, dan fungsional pemeriksa yang terkait tidak optimal

dalam melaksanakan tugasnya;

b. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi dan Kepala Seksi Penagihan serta Kepala

KPP tidak optimal dalam melakukan pengawasan secara berjenjang;

c. DJP belum mengakomodir informasi pemungut pajak PPN dalam Surat Setoran

Pajak dan belum menyediakan menu penginputan data pemungut dalam aplikasi

MPN; dan

d. DJP belum memiliki regulasi terkait saat penerbitan STP atas pembayaran pajak

yang melewati jatuh tempo untuk diakui sebagai piutang pajak per 31 Desember.

Atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah melalui

DJP menanggapi bahwa terkait keterlambatan pembayaran pajak sebesar

Rp3.128.041.094.423,00 Kementerian Keuangan dhi. DJP telah melakukan tindak lanjut

sebagai berikut.

Tabel 21 Tindak Lanjut Atas Keterlambatan Pembayaran Pajak

(dalam rupiah)

Nomor Uraian Nilai

1 STP terbit Tahun 2014 dan tahun sebelumnya 848.265.213.198,00

2 STP terbit Tahun 2015 902.403.071.494,00

3 Tidak seharusnya terbit STP 480.146.747.051,00

4 Proses Penelitian STP (masih ditelusuri) 897.226.062.680,00

Total 3.128.041.094.423,00

Page 64: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 57

Adapun terkait penerbitan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan

pembayaran SKPKB/SKPKBT yang melewati tanggal jatuh tempo pelunasan yang belum

diterbitkan STP Pasal 19 ayat (1) UU KUP (STP Bunga Penagihan), DJP akan

menerbitkan dengan skala prioritas sebagaimana ditegaskan dalam Surat Direktur

Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-192/PJ.04/2014 dan S-734/PJ.04/2015.

Atas tanggapan tersebut, BPK berpendapat sebagai berikut:

a. Atas potensi STP dari keterlambatan masa dan tahunan yang dinyatakan oleh DJP

telah diterbitkan STP, BPK melakukan validasi dengan melakukan pengecekan

nomor STP yang sudah diterbitkan. Nomor STP yang sudah dikompilasi tersebut

akan dijadikan bahan rekonsiliasi dengan register penerbitan STP pada SIDJP.

b. Atas potensi STPBP yang dinyatakan oleh DJP telah diterbitkan STPBP, BPK

melakukan validasi dengan melakukan pengecekan nomor STP yang sudah

diterbitkan. Nomor STP yang sudah dikompilasi tersebut, nantinya akan dijadikan

bahan rekonsiliasi dengan register penerbitan STP pada SIDJP. Selain itu, atas alasan

bukan prioritas, BPK tetap akan melakukan pemantauan atas tindak lanjut DJP

terhadap data yang bukan prioritas tersebut.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar menginstruksikan Direktur Jenderal Pajak untuk:

a. memberikan pembinaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada AR,

Pelaksana Seksi Penagihan, fungsional pemeriksa, Kepala Seksi Pengawasan dan

Konsultansi, dan Kepala Seksi Penagihan serta Kepala KPP yang terkait;

b. menyempurnakan informasi pemungut PPN dalam Surat Setoran Pajak dan

menyediakan menu penginputan data pemungut dalam aplikasi MPN;

c. menetapkan regulasi terkait saat penerbitan STP atas pembayaran pajak yang

melewati jatuh tempo untuk diakui sebagai piutang pajak per 31 Desember; dan

d. melakukan upaya-upaya yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

untuk mengenakan sanksi administrasi pajak sebesar Rp3.147.374.525.879,16.

Atas rekomendasi tersebut, DJP telah menindaklanjuti sebelum LHP diterbitkan

dengan rincian sebagai berikut.

a. KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga telah menindaklanjuti dengan menerbitkan STP

PPN Nomor 00019/107/10/063/15 sebesar Rp860.000.000,00 pada tanggal 6 Mei

2015;

b. KPP Pratama Pati menindaklanjuti dengan menerbitkan STP PPN Nomor

00001/107/09/507/15 Rp167.288.930,00 pada tanggal 17 April 2015; dan

c. KPP Pratama Karawang Selatan telah menerbitkan STP PPN Nomor

00196/107/13/431/15 sebesar Rp35.122.460,00 dan STP PPN Nomor

00197/107/13/431/15 sebesar Rp20.331.803,00 tanggal 11 Mei 2015.

Page 65: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 58

3.3 Temuan – Skema Pengelolaan Iuran Dana Pensiun (IDP) pada PT Taspen (Persero)

Tidak Dijalankan Sesuai Ketentuan dan Berpotensi Membebani Nilai Dana Titipan

IDP di Masa yang Akan Datang serta Terdapat Ketidakjelasan Ketentuan yang

Mengatur tentang Status IDP yang Dikelola PT Asabri (Persero) dan Mekanisme

Pengelolaannya

LKPP Tahun 2014 menyajikan akun terkait iuran dana pensiun pada akun aset

lainnya pada sub-akun Dana yang Dibatasi Penggunaannya dengan saldo per 31

Desember 2014sebesar Rp73.164.928.938.007,00. Namun demikian, LKPP tidak

menyajikan IDP TNI dan Polri yang dikelola oleh PT Asabri (Persero) baik dalam face

maupun CaLK, sedangkan secara substansi IDP yang dikelola oleh PT Asabri (Persero)

adalah sama dengan IDP yang dikelola oleh PT Taspen (Persero). Pengakuan IDP yang

dikelola PT Taspen sebagai Dana yang Dibatasi Penggunaannya tersebut didasarkan pada

PP Nomor 20 Tahun 2013 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 1981 tentang

Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil Pasal 6B yang menyatakan bahwa akumulasi iuran

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a merupakan dana milik peserta

secara kolektif yang dikuasai oleh Pemerintah.

Pengertian pensiun menurut UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap Pegawai Negeri

yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya kepada negara. Pada pokoknya adalah

menjadi kewajiban dari setiap orang untuk berusaha menjamin hari tuanya, dan setiap

Pegawai Negeri wajib menjadi peserta dari suatu badan asuransi sosial yang dibentuk

oleh Pemerintah. Karena pensiun bukan saja sebagai jaminan hari tua, tetapi juga adalah

sebagai balas jasa, maka Pemerintah memberikan sumbangannya kepada Pegawai Negeri.

Iuran pensiun Pegawai Negeri dan sumbangan Pemerintah tersebut dipupuk dan dikelola

oleh badan asuransi sosial.

Pemerintah dhi. Kementerian Keuangan melalui Subdit Pengembangan Profesi

dan Program Pensiun Direktorat Sistem Perbendaharaan (DSP) menanggung seluruh

beban pembayaran pensiun kepada penerima pensiun sampai dengan terbentuknya dana

pensiun baik atas penerima pensiun PNS maupun TNI dan Polri melalui pengeluaran

belanja pensiun. Realisasi belanja pensiun Tahun 2014 adalah sebesar

Rp81.423.075.996.096,00. Sementara dana titipan IDP dipupuk dan dikembangkan oleh

PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero).

Pemeriksaan lebih lanjut atas pengelolaan dan pelaporan IDP pada PT Taspen

(Persero) dan PT Asabri (Persero) ditemukan permasalahan sebagai berikut.

a. Penyajian nilai IDP dalam laporan keuangan PT Taspen masih memuat komponen

diluar pengelolaan dana IDP dan adanya pembebanan biaya dalam penyelenggaraan

IDP yang berpotensi membebani dana IDP di masa mendatang, dengan penjelasan

sebagai berikut.

1) Penitipan IDP pada PT Taspen (Persero) didasarkan pada Surat Nomor S-

244/MK.011/1985 tanggal 21 Februari 1985 yang menyatakan bahwa dana

pensiun PNS yang selama ini dititipkan kepada pemerintah dan ditempatkan pada

bank-bank pemerintah dialihkan penitipannya kepada PT Taspen (Persero).

Selanjutnya melalui Surat Nomor S-199/MK.11/1985 tanggal 10 April 1985

menyatakan bahwa sampai dilaksanakannya sebagian atau seluruh program

pensiun oleh PT Taspen (Persero), pengalihan dana sebagaimana dimaksud

dalam surat Menteri Keuangan Nomor S-244/MK.011/1985 merupakan

Page 66: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 59

pengalihan administratif dan bukan pengalihan fisik, sehingga sebagai

konsekuensinya PT Taspen (Persero) tidak diperkenankan melakukan hal-hal

sebagai berikut.

a) Menarik atau mempergunakan dana pensiun yang terhimpun selama ini;

b) Memindahkan dana yang telah ditempatkan selama ini dari/ke bank lain;

c) Mengubah bentuk penempatan dana serta merubah tingkat suku bunga atas

penempatan yang telah dilakukan; dan

d) Membebankan biaya administratif atau biaya apapun atas dana pensiun.

2) Berkenaan dengan pengelolaan pensiun PNS pada PT Taspen (Persero), Menteri

Keuangan melalui surat Nomor S-41/MK.04/2009 tanggal 21 Januari 2009

menyatakan bahwa terkait dengan penggunaan IDP PNS dan biaya

penyelenggaraan pensiun PNS disampaikan hal-hal sebagai berikut.

a) Formula biaya penyelenggaran pensiun ditetapkan dengan rumus (5% x hasil

investasi dana pensiun PNS) + (65% x total biaya usaha PT Taspen); dan

b) PT Taspen tidak diperkenankan untuk membebankan biaya lain pada IDP

pensiun PNS selain biaya penyelenggaraan pensiun sebagaimana dimaksud

pada angka (1) di atas.

Selanjutnya pada Tahun 2013, Menteri Keuangan melakukan perubahan atas

skema biaya penyelenggaraan melalui surat Nomor S-559/MK.02/2013 tanggal

12 Agustus 2013 yang di dalamnya menambahkan poin yang berbeda dari surat

sebelumnya yaitu bahwa renovasi aset dalam rangka penyelenggaraan program

pensiun PNS yang dapat menambah nilai manfaat aset, dapat dilakukan dengan

menggunakan dana akumulasi iuran Pensiun PNS.

3) Nilai dana program pensiun PNS yang disajikan dalam laporan keuangan PT

Taspen (Persero) merupakan IDP titipan pemerintah sebesar

Rp73.164.928.938.007,00, di dalamnya ternyata memuat beban yang ditanggung

pemerintah atas pembayaran pensiun kepada penerima pensiun, sehingga

pembaca laporan keuangan PT Taspen (Persero) tidak dapat mengetahui jumlah

IDP yang sebenarnya;

4) Terdapat pengurangan nilai IDP berupa beban operasional sebesar

Rp1.009.568.396.894,00 yang di dalamnya terdiri dari:

a) Beban investasi ....................................................... Rp6.434.612.816,00

b) Beban penyelenggaraan pensiun ........................ Rp994.208.853.245,00

c) Beban penyusutan dan amortisasi .......................... Rp5.201.259.822,00

d) Beban lain-lain ....................................................... Rp3.723.671.011,00

Dari uraian tersebut, hanya beban penyelenggaraan pensiun sebesar

Rp994.208.853.245,00 yang sesuai dengan perhitungan dan ketentuan surat

Menteri Keuangan Nomor S-41/MK.04/2009 dan S-559/MK.02/2013, sedangkan

beban yang lain tidak terakomodir dalam surat tersebut.

5) Berdasarkan surat Nomor S-41/MK.04/2009, formula biaya penyelenggaraan

pensiun ditetapkan dengan rumus (5% x hasil investasi dana pensiun PNS) +

(65% x total biaya usaha PT Taspen) sehingga diperoleh nilai dalam Laporan

Keuangan PT Taspen (Persero) Tahun 2014 sebesar Rp994.208.853.245,00. Dari

nilai tersebut, diantaranya bersumber dari 65% dikalikan dengan total biaya

usaha PT Taspen (Persero), bukan atas biaya usaha pengelolaan IDP.Beban usaha

PT Taspen akan semakin besar seiring dengan perkembangan usaha PT Taspen,

sedangkan pengembangan IDP akan cenderung lambat mengingat pengembangan

Page 67: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 60

IDP hanya diperbolehkan pada sektor yang tidak berisiko sehingga margin relatif

lebih kecil. Oleh karena itu, penggunaan skema perhitungan biaya pengelolaan

IDP justru akan cenderung membebani pengembangan dana IDP.

Selain itu, pemeriksaan lebih lanjut atas LK PT Taspen (Persero) menunjukkan

kemungkinan adanya penurunan nilai investasi pada pengembangan IDP

sehingga nilai hasil pengembangan menjadi negatif dan akan membebani nilai

IDP. Hal tersebut dapat dilihat pada rincian hasil pengembangan IDP Tahun 2012

s.d. 2014 sebagai berikut.

Tabel 22 Rincian Nilai Pengembangan IDP PT Taspen TA 2012-2014

(dalam rupiah)

No Uraian Pengembangan 2012 2013 2014

1 Hasil Investasi atas Dana Program Pensiun PNS

3.491.792.421.189,00 4.177.569.486.083,00 5.839.608.224.268,00

2 Kenaikan (penurunan) nilai investasi

2.315.140.845.113,00 (8.463.568.799.478,00) 2.072.995.927.317,00

3 Pendapatan Lain-lain 25.865.387.231,00 31.693.172.999,00 22.731.335.864,00

Jumlah 5.832.798.653.533,00 (4.254.306.140.396,00) 7.935.335.487.449,00

6) Atas penyelenggaraan pensiun oleh PT Taspen (Persero), Pemerintah belum

memperhitungkan biaya penyelenggaraan pensiun atas penyaluran dana pensiun

yang dilakukan oleh PT Taspen (Persero) kepada pensiunan yang bersumber dari

APBN (pay as you go). Biaya penyelenggaraan ini seharusnya ditanggung oleh

pemerintah dan tidak menggunakan Dana IDP yang selama ini diterapkan.

b. Pemerintah belum melakukan pengaturan pengelolaan IDP pada PT Asabri (Persero)

seperti pengelolaan IDP pada PT Taspen (Persero).

Dari hasil pemeriksaan atas pengelolaan dana IDP PT Asabri diketahui hal-hal

sebagia berikut.

1) IDP TNI dan Polri yang dititipkan pada PT Asabri (Persero) per 31 Desember

2014 berdasarkan hasil konfirmasi kepada PT Asabri (Persero) adalah sebesar

Rp15.131.656.818.691,00. Dasar penitipan IDP tersebut adalah Instruksi Menteri

Pertahanan dan Keamanan Nomor Ins/1/II/X/1983 tanggal 21 Oktober 1983

tentang Pengelolaan Dana Pensiun Pasal 2 yang menyatakan bahwa dana pensiun

yang diserahkan pengelolaannya oleh Departemen Pertahanan Keamanan

(Dephankam) kepada Perum Asabri sepenuhnya adalah milik Dephankam.

2) Keppres Nomor 56 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (1) poin b menyatakan bahwa bagi

Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil

dalam lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan, dilakukan oleh

Departemen Pertahanan Keamanan. Hal ini berarti fungsi Dephankam adalah

sebagai pemungut, dan bukan sebagai pemilik IDP TNI dan POLRI seperti yang

dinyatakan dalam Instruksi Menteri Pertahanan dan Keamanan Nomor

Ins/1/II/X/1983.

3) Pemerintah belum mengatur secara jelas status, mekanisme pengelolaan, dan

pelaporan atas IDP TNI dan Polri;

c. Belum terdapat kebijakan atas pelaksanakan pemantauan dan evaluasi pengelolaan

IDP.

Page 68: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 61

Pengawasan atas pengelolaan akumulasi IDP baik yang dititipkan pada PT Taspen

(Persero) maupun PT Asabri (Persero) oleh Pemerintah sebagai pemberi kerja

sebelumnya dilaksanakan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga

Keuangan (Bapepam LK). Namun sejak Tahun 2013 setelah Bapepam LK beralih

kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengawasan beralih kepada Direktorat

Jenderal Anggaran (DJA) berdasarkan KMK Nomor 210/KMK.01/2013 tanggal 19

Juni 2013 tentang Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Eks Bapepam LK. Namun, KMK

tersebut tidak menginstruksikan DJA untuk melaksanakan pemantauan/pengawasan,

tetapi menginstruksikan Dirjen Anggaran untuk melaksanakan perumusan kebijakan

program pensiun dan program tabungan hari tua pegawai negeri sipil (PNS dan

TNI/Polri) serta pemantauan dan evaluasi pelaporan pengelolaan dana program

pensiun PNS dan TNI/Polri. Untuk menindaklanjuti KMK Nomor 210/KMK.01/2013

tanggal 19 Juni 2013, Menteri Keuangan telah membentuk Seksi Evaluasi Kinerja

Penganggaran IV pada Subdirektorat Evaluasi Kinerja Penganggaran, Direktorat

Sistem Penganggaran berdasarkan PMK No.206/PMK.01/2014 tanggal 17 Oktober

2014 yang akan menjalankan fungsi pelaksanaan evaluasi pelaporan dana iuran

program pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara yang dikelola PT Taspen

(Persero) serta TNI/Polri yang dikelola PT Asabri (Persero). Namun demikian,

ketentuan tentang penugasan belum diatur lebih lanjut oleh Dirjen Anggaran sesuai

dengan ketentuan PMK, sehingga sejak itu pengawasan atas IDP PT Taspen (Persero)

dan PT Asabri (Persero) menjadi vakum karena belum ada kejelasan pelaksanaan

pemantauan dan evaluasi serta kebijakannya.

Pemerintah sebagai pemberi kerja seharusnya melaksanakan pengawasan

terhadap pengelolaan akumulasi IDP karena sesuai dengan ketentuan UU Nomor 8 Tahun

1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bahwa sumber dana pelaksanaan dana pensiun

tidak hanya bersumber dari iuran pegawai tetapi juga dari sumbangan Pemerintah.Oleh

karena itu, Pemerintah perlu memastikan bahwa IDP yang dititipkan pada PT Taspen

(Persero) dan PT Asabri (Persero) dikelola dan dikembangkan sesuai dengan ketentuan

dan dapat berkembang sehingga di masa yang akan datang tidak akan membebani

Pemerintah sebagai pemberi kerja. Selain itu, pengawasan juga dapat memantau

mekanisme pengelolaan, pembebanan biaya dan nilai IDP yang seharusnya.

Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:

a. UU Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara yaitu:

1) Pasal 1 angka 1, yang menyatakan bahwa , “Keuangan Negara adalah semua hak

dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”; dan

2) Pasal 2, yang menyatakan bahwa , “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 angka 1 meliputi diantaranya adalah kekayaan pihak lain yang

dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan

dan/atau kepentingan umum”;

b. KMK Nomor 210/KMK.01/2013 tanggal 19 Juni 2013 tentang Pelaksanaan Tugas

dan Fungsi Eks Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Keputusan

Kedua yang menyatakan bahwa menugaskan Direktur Jenderal Anggaran untuk

melaksanakan perumusan kebijakan program pensiun dan program tabungan hari tua

pegawai negeri sipil (PNS dan TNI/Polri) serta pemantauan dan evaluasi pelaporan

pengeloaan dana program pensiun PNS dan TNI/Polri;

Page 69: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 62

c. Surat Nomor S-244/MK.011/1985 dan Surat Nomor S-199/MK.11/1985 perihal

Penempatan Dana Pensiun Pegawai Negeri Sipil Pada PT Taspen (Persero);

d. Surat Nomor S-41/MK.04/2009 perihal Formula Biaya Penyelenggaraan Dana

Pensiun Pegawai Negeri Sipil; dan

e. Surat Nomor S-559/MK.02/2013 perihal Biaya Penyelenggaraan Program Pensiun

PNS Tahun 2013.

Permasalahan tersebut mengakibatkan:

a. Nilai IDP yang disajikan dalam LKPP belum mencakup nilai IDP TNI dan Polri; dan

b. Biaya-biaya yang dibebankan tidak sesuai dengan ketentuan pelaksanaan

pengelolaan IDP berpotensi membebani dan menghambat pengembangan akumulasi

IDP PNS yang dititipkan pada PT Taspen (Persero).

Permasalahan tersebut disebabkan:

a. Tidak ada peninjauan kembali terhadap mekanisme pengawasan atas skema

pengelolaan akumulasi IDP baik pada PT Taspen (Persero) maupun PT Asabri

(Persero) setelah Bapepam LK melebur menjadi OJK; dan

b. Pemerintah tidak menerapkan aturan yang setara dan seragam terkait pengeloaan

IDP Pegawai Negeri baik PNS maupun TNI dan Polri.

Atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah

menanggapi sebagai berikut.

a. Belum ada dasar hukum yang mengatur mengenai penggunaan, pengelolaan, dan

pengembangan iuran pensiun PNS sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 20

Tahun 2013 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi

Sosial PNS;

b. Terkait biaya penyelenggaraan pensiun, akan ditindaklanjuti dengan klarifikasi

kepada pihak PT Taspen (Persero) sekaligus menindaklanjuti rekomendasi BPK; dan

c. Belum terdapat regulasi yang mengatur tentang status, mekanisme pengelolaan, dan

pelaporan atas IDP TNI dan Polri yang setara dan seragam dengan pengaturan yang

diterapkan pada IDP PNS.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan

selaku Wakil Pemerintah agar:

a. Menginstruksikan PT Taspen (Persero) untuk menyajikan secara terpisah pencatatan

atas transaksi yang membebani dan/atau menambah IDP dalam Laporan Keuangan

PT Taspen (Persero);

b. Menginstruksikan Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk melakukan kajian dan

evaluasi atas penetapan biaya penyelenggaraan pensiun dan pembebanan biaya ke

dalam IDP serta biaya-biaya lain yang dapat dibebankan dalam IDP, kemudian

menetapkan kebijakan perbaikan sesuai hasil kajian dan evaluasi; dan

c. Menetapkan kebijakan mengenai status, mekanisme pengelolaan, dan pelaporan atas

IDP TNI dan Polri yang setara dan seragam dengan pengaturan yang diterapkan pada

IDP PNS.

Page 70: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 63

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

SINGKATAN KEPANJANGAN

A

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APIP Aparat Pengawas Intern Pemerintah

AR Account Representative

B

BA Bagian Anggaran

Bansos Bantuan Sosial

Bapepam LK Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

BAPP Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan

BAS Bagan Akun Standar

BAST Berita Acara Serah Terima

BBM Bahan Bakar Minyak

BI Bank Indonesia

BKP Barang Kena Pajak

BMKG Badan Meteorologi, Klimatologi Dan Geofisika

BMN Barang Milik Negara

BNI Bank Negara Indonesia

BOS Bantuan Operasional Sekolah

BPD Bank Pembangunan Daerah

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BPK Badan Pemeriksa Keuangan

BPKP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

BPKS Badan Pengusahaan Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang

BPS Badan Pusat Statistik

BRI Bank Rakyat Indonesia

BSM Bantuan Siswa Miskin

BSPS Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya

BTN Bank Tabungan Negara

BUN Bendahara Umum Negara

C

CaLK Catatan atas Laporan Keuangan

Cfm Cubic feet per minute

Page 71: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 64

D

Dephankam Departemen Pertahanan Keamanan

dhi dalam hal ini

DIPA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Dirjen Direktur Jenderal

Ditjen Direktorat Jenderal

DJA Direktorat Jenderal Anggaran

DJBC Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

DJP Direktorat Jenderal Pajak

DJPBN Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara

DJPPR

DJPU

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang

DSP Direktorat Sistem Perbendaharaan

E

ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral

F

FQR Financial Quarterly Report

H

HBA Harga Batubara Acuan

HPS Harga Perkiraan Sementara

I

IBRD International Bank for Reconstruction and Development

IDP Iuran Dana Pensiun

IPEDA Iuran Pembangunan Daerah

J

Jasinonsi Jasa Siaran dan Non Siaran

JKP Jasa Kena Pajak

K

Kanwil Kantor Wilayah

KAP Kantor Akuntan Publik

Kemendikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kemenkeu Kementerian Keuangan

Kemensos Kementerian Sosial

Page 72: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 65

Keppres Keputusan Presiden

KKKS/K3S Kontraktor Kontrak Kerja Sama

KKP Kertas kerja Pemeriksaan

KL Kementerian Negara/Lembaga

KMK Keputusan Menteri Keuangan

Kopertis Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta

KPA Kuasa Pengguna Anggaran

KPBC Kantor Pelayanan Bea Cukai

KPK Komisi Pemberantasan Korupsi

KPP Kantor Pelayanan Pajak

KPPN Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara

KPU/USO Kewajiban Pelayanan Universal/Universal Service Obligation

KSAP Komite Standar Akuntansi Pemerintah

KSO Kerjasama Operasional

KUKM Koperasi Usaha Kecil dan Menengah

KUP Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan

L

LAK Laporan Arus Kas

LHP Laporan Hasil Pemeriksaan

LKKL Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga

LKPP Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

LPP TVRI Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia

M

MA Madrasah Aliyah

MBR Masyarakat Berpenghasilan Rendah

MI Madrasah Ibtidaiyah

Migas Minyak dan Gas Bumi

Minerba Mineral dan Batubara

MPN G1 Modul Penerimaan Negara Generasi 1

MPN G2 Modul Penerimaan Negara Generasi 2

MTs Madrasah Tsanawiyah

N

NJKP Nilai Jual kena Pajak

NTPN Nomor Transaksi Penerimaan Negara

NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak

Page 73: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 66

O

OB Removal Overburden Removal

ORI Obligasi Ritel

OJK Otoritas Jasa Keuangan

P

PA Pengguna Anggaran

PBB Pajak Bumi dan Bangunan

Perdirjen Peraturan Direktur Jenderal

Perpres Peraturan Presiden

PI Participating Interest

PIB Pemberitahuan Impor Barang

PKP Pengusaha Kena Pajak

PKP2B Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

PMK Peraturan Menteri Keuangan

PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak

PNS Pegawai Negeri Sipil

POLRI Kepolisian Negara Republik Indonesia

PP Peraturan Pemerintah

PPh Pajak Penghasilan

PPK Pejabat Pembuat Komitmen

PPN Pajak Pertambahan Nilai

PPnBM Pajak Penjualan atas Barang Mewah

PPSPM Pejabat Penguji dan Penandatangan Surat Perintah Membayar

PSAK Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

PSAP Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah

PT Perseroaan Terbatas

PTN Perguruan Tinggi Negeri

R

RI Republik Indonesia

RKA-KL Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga

Rp Rupiah

S

SAP Standar Akuntansi Pemerintah

Satker Satuan Kerja

Setjen Sekretariat Jenderal

Page 74: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 67

SIDJP Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak

SIMAK BMN Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara

SIMPONI Sistem Informasi PNBP Online

SK Surat Keputusan

SKK MIGAS Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi

SKK Migas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan

Gas Bumi

SKPKB Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

SKPKBT Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

SKPLB Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

SKPN Surat Ketetapan Pajak Nihil

SKTJM Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak

SP2 Surat Perintah Pemeriksaan

SPHP Surat Pemberitahuan hasil Pemeriksaan

SPI Sistem Pengendalian Internal

SPKN Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

SPMKP Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak

SPOP Surat Pemberitahuan Objek Pajak

SPP Surat Perintah Pembayaran

SPPT Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

SPT Surat Pemberitahuan

SR Stripping Rasio

STIS Sekolah Tinggi Ilmu Statistik

STP Surat Tagihan Pajak

STPBP Surat Tagihan Pajak Bunga Penagihan

Sttd Sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan

SUN Surat Utang Negara

T

TA Tahun Anggaran

TNI Tentara Nasional Indonesia

TOPN Tim Optimalisasi Penerimaan Negara

U

UAKPA Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran

UAPA Unit Akuntansi Pengguna Anggaran

UKM Usaha Kecil dan Menengah

US United States

USD United State Dollar

Page 75: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 68

UU Undang-Undang

W

Waskon Pengawasan dan Konsultasi

WP Wajib Pajak

Page 76: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 69

LAMPIRAN

Page 77: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.2.1

No.Nama Wajib

PajakKeterangan JENIS IZIN SPPT

PENGHITUNGAN

KEMBALISELISIH

1 B42 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 6.413.215.944 85.254.024.499 78.840.808.555

2 B43 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 5.068.096.824 54.183.246.619 49.115.149.795

3 B44 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 4.898.334.680 47.399.219.266 42.500.884.586

4 B45 KPP Wajib Pajak Besar Satu IUP 4.649.933.620 19.269.606.787 14.619.673.167

5 B46 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 6.924.554.089 16.146.889.598 9.222.335.509

6 B47 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 922.256.812 7.953.167.604 7.030.910.792

7 B48 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 1.834.877.145 5.767.661.854 3.932.784.709

8 B49 KPP Madya Jakarta Pusat PKP2B 3.130.795.854 4.742.315.655 1.611.519.801

9 B50 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 2.389.135.182 3.413.207.602 1.024.072.420

10 B51 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 2.573.444.656 3.296.469.248 723.024.592

11 B52 KPP Wajib Pajak Besar Satu IUP 1.993.706.880 2.358.227.015 364.520.135

12 B53 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 969.204.508 1.179.179.581 209.975.073

13 B54 KPP Pratama Jakarta Kern bangan IUP 196.818.240 366.169.613 169.351.373

14 B55 KPP Perusahaan Masuk Bursa PKP2B 71.648.393 809.371.775 737.723.382

15 B56 KPP Pratama Pekanbaru Tampan IUP 224.561.400 572.612.177 348.050.777

16 B57 KPP Madya Batam IUP 227.240.000 335.070.343 107.830.343

210.558.615.009

DAFTAR PENGHITUNGAN KEMBALI PBB SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA YANG KURANG DITETAPKAN

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 1.2.1.1

Page 78: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.2.2

No. Nama Wajib Pajak Keterangan JENIS IZINPENGHITUNGAN PBB

TERUTANG

1 B58 KPP Wajib Pajak Besar Satu IUP 5.106.278.755

2 B59 KPP Wajib Pajak Besar Satu PKP2B 611.250.000

5.717.528.755

DAFTAR PENGHITUNGAN PBB SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA YANG BELUM DITETAPKAN

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 1.2.2.1

Page 79: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.3.1

Pemanfaatan Aset (Sewa

Gedung)

51.582.100,00 terlambat 1 s.d. 42 hari

38.071.760,00

Uang Rampasan 4.087.231.831,00 terlambat 1 s.d. 501 hari

Uang Pengganti, uang

rampasan, barang rampasan,

denda tilang verstek

1.664.270.780,00

3 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 Pendapatan pendidikan

(IPDN)

114.000.000,00 Belum disetor

Pemanfaatan Aset 62.766.712,00 Terlambat 10 hr s.d. 11 Bulan

Pemanfaatan Aset 1.542.779.172,40 Sisa pokok belum disetor

Rp1.007.500.504 dan sisa denda

Rp535.278.668,4

Jasa Karantina, Penjualan

hasil pertanian, pengujian,

sewa

2.934.412.613,00 Terlambat 1-150 hari

Jasa giro BB Padi 22.297.583,00 22.297.583

Jasa layanan teknis 104.793.500,00 7 s.d. 63 hari

Pendapatan dari angsuran

pokok pinjaman

3.040.402.774,00

7 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 023 Pendapatan Pengelolaan

BMN (Hotel), Sisa Dana

Beasiswa BPPDN, Sisa Dana

Beasiswa Sandwich, Sewa

BMN (Wisma), Dana

Beasiswa, Sewa Peralatan

Laboratorium, Pendapatan

Jasa Giro

49.052.882.815,00

Nikah dan rujuk 255.942.318.667,00 terlambat 8 s.d. 74 hari

Jasa giro dan swakelola sawit 365.002.134,66 MTSn Balikpapan, IAIN Bengkulu

9 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 026 Jasa pengujian dan

pemeriksaan keselamatan

dan kesehatan kerja, jasa

pelatihan keselamatan dan

kesehatan kerja

736.047.704,39 disetor pada 29 Januari 2015

Daftar PNBP yang Terlambat/Belum disetor

No. Kementerian/Lembaga BASumber Dana/ Jenis

PungutanNilai Temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah 31

Desember 2014Keterangan

1 MAHKAMAH AGUNG 005

2 KEJAKSAAN AGUNG 006

4 KEMENTERIAN PERTAHANAN 012

5 KEMENTERIAN PERTANIAN 018

6 KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 019

8 KEMENTERIAN AGAMA 025

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 1.3.1.1

Page 80: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.3.1

No. Kementerian/Lembaga BASumber Dana/ Jenis

PungutanNilai Temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah 31

Desember 2014Keterangan

10 KEMENTERIAN KEHUTANAN 029 Pemanfaatan Aset 6.601.800.700,12 3.136.056.239

11 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 Jasa pelayanan pertanahan 3.613.803.172,00 terlambat 1 s.d.330 hari

12 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 057 PNBP Diklat, pendapatan

jasa foto

10.507.900,00 10.507.900

13 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA

NASIONAL

068 Pemanfaatan Aset (sewa

BMN)

28.061.323,00

14 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 Penerbitan ISSN, Jasa

pelatihan diklat, Sewa BMN

2.146.799.443,00 terlambat antara 1 s.d. 162

15 BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 081 Jasa Teknologi 25.744.003.737,00 Terlambat antara 1 s.d. 105 hari

16 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN

PEMBANGUNAN

089 Biaya Pelaksanaan diklat 355.605.000,00 Jumlah hari terlambat 4 s.d.21 hari

Pendapatan jasa 932.100.000,00 Jumlah hari terlambat 2 s.d.31 hari

Pendapatan jasa pada Satker

Bina Usaha Perdagangan

7.535.000,00

18 BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN

PERLINDUNGAN TKI

104 Pemanfaatan Aset (sewa

BMN)

320.147.770,00 Jumlah hari terlambat 6 s.d. 181 hari

19 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 108 Keterlambatan Pengembalian

Biaya Deposit Sewa

Apartemen

53.500.000,00 53.500.000 Terlambat 6 s.d. 68 hari

20 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN

BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

118 Pendapatan Pelabuhan dan

Alat Berat, pelayanan, sewa

dan jasa bank

1.838.182.966,00

361.410.907.157,57

17 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 090

Total

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 1.3.1.2

Page 81: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.3.2

1 MAHKAMAH AGUNG 005 Pemanfaatan Aset (Sewa BMN) 217.697.146,83

2 KEMENTERIAN LUAR NEGERI 011 Pungutan Dokumen imigrasi 184.899.794,00 Perwakilan RI di luar negeri terlambatmenerbitkan SK perubahan tarif

3 KEMENTERIAN PERTAHANAN 012 Pemanfaatan Aset (sewa BMN) 306.090.524,26 Penetapan tarif tidak vsesuai denganPMK

4 KEMENTERIAN KEUANGAN 015 Pemanfaatan Aset (Sewa BMN) 189.956.000,00

5 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 Pemanfaatan Aset (Sewa BMN) 629.863.720,00 132.961.800

6 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 020 PNBP Jasa layanan Teknologi 28.474,00

7 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 023 Sewa gedung, Profit sharing, dendaketerlambatan profit sharing

622.391.516,00

8 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 026 Pemanfaatan Aset (Sewa BMN) 114.992.919,00 Sewa ruangan oleh Telkomsel danBanK Mandiri

9 KEMENTERIAN KEHUTANAN 029 PNBP Lainnya 55.754.031,00

10 KEMENTERIAN SOSIAL 027 Pemanfaatan Aset (sewa BMN) 19.222.220,49

11 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 032 KSO Gedung penunjang KegiatanNelayan, Pemanfaatan Aset (sewaBMN)

64.342.816,00

12 KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF 040 KSO Gedung Sapta Pesona B 3.216.538.530,00 Kekurangan PNBP sebesarRp623.726.000,00 dan dendaketerlambatan sebesarRp2.592.812.530,00

13 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 Jasa pelayanan pertanahan 2.531.321.585,00

14 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 057 PNBP Diklat 17.200.000,00

15 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 059 Kontribusi Kewajiban Pelayanan

Universal/Universal Service

Obligation (KPU/USO)

1.085.617.789,66

16 BADAN INFORMASI GEOSPASIAL 083 Biaya Pelatihan SIG 114.000.000,00 Tidak sesuai dengan tarif yang baru

17 ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 087 Sewa Ruang 204.500.000,00

9.574.417.066,24 132.961.800,00

1 MAHKAMAH AGUNG 005 Pemanfaatan Aset (Sewa Gedung) 1.609.011,00 Pemanfaatan Aset (Sewa Gedung)

2 SEKRETARIAT NEGARA 007 Pemanfaatan BMN 48.793.348,13 Denda keterlambatan pembayaransewa lahan

3 KEMENTERIAN PERTAHANAN 012 Pemanfaatan Aset (sewa BMN) 1.768.371.672,32 Denda keterlambatan pembayaransewa lahan, PNBP kurang dipungut,pokok belum disetor

Daftar PNBP yang Kurang Dipungut dan Belum Dipungut

No. Kementerian/Lembaga BA Sumber Dana/ Jenis Pungutan Nilai Temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah

31 Desember 2014 (Rp)Keterangan

A. PNBP Kurang dipungut

Total PNBP Kurang dipungut

B. PNBP Belum dipungut

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 1.3.2.1

Page 82: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.3.2

No. Kementerian/Lembaga BA Sumber Dana/ Jenis Pungutan Nilai Temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah

31 Desember 2014 (Rp)Keterangan

4 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 020 Iuran Badan Usaha 1.168.833.460,00 Iuran Badan Usaha SebesarRp395.651.714,00 dan DendaKeterlambatan atas PembayaranIuran Badan Usaha SebesarRp773.181.746,00

5 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 Pemanfaatan Aset (Sewa BMN) 93.500.000,00 4.485.000 Pemanfaatan Aset (Sewa BMN)

6 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 026 Dana Kompensasi Penggunaan TenagaKerja Asing atas IMTA DahsuskimJanuari s.d. Juli 2014

116.238.116.000,00 Dana Kompensasi PenggunaanTenaga Kerja Asing atas IMTADahsuskim Januari s.d. Juli 2014

7 BADAN INFORMASI GEOSPASIAL 083 Penjualan Peta Digital 47.500.000,00 Penjualan Peta Digital

8 ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 087 Jasa Diklat 3.730.977.200,00 Potensi PNBP tidak dipungut (JasaDiklat)

9 BADAN SAR NASIONAL 107 pemanfaatan aset (sewa BMN) 3.833.256,00 pemanfaatan aset (sewa BMN)

123.101.533.947,45 4.485.000,00

132.675.951.013,69 137.446.800,00TOTAL (A + B)

Total PNBP Belum dipungut

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 1.3.2.2

Page 83: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.3.3

No. Kementerian/Lembaga BA Sumber dana/Jenis Pungutan Penggunaan (Rp)Sisa Kas per 31/12/2014

(Rp)Keterangan

1 KEMENTERIAN PERTAHANAN 012 Pemanfaatan Aset (Sewa BMN) 44.199.668.795,53 - Sisa Kas disetorkan ke kas negara secara periodik

2 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN 089 Biaya Kerja sama diklat 228.403.500,00 -

3 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS

DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

118 Jasa Kepelabuhan 1.074.697.149,00 1.838.182.966,00 THR, insentif manajemen, BPJS dan Jamsostek,dan asuransi manajemen

45.502.769.444,53 1.838.182.966,00

1 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 Biaya Kerjasama Penelitian/Pelatihan dan pengujian

substantif untuk perijinan

3.523.351.736,00 18.680.500,00

2 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 023 15.683.955.856,00 -

3 KEMENTERIAN KEHUTANAN 029 27.237.500,00 2.902.500,00

4 KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF 040 Pemanfaatan BMN 263.900.000,00 - Digunakan untuk pembayaran OB, Teknisi dan Keamanan

5 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 042 Merupakan 1) Pendapatan hidangan, 2) Pendapatan Fee

Catering, 3) Pendapatan sewa Puri, 4) Pendapatan sewa

ruang rapat, 5) Pendapatan Jasa Service, 6)Penerimaan dari

sewa GOR dan lapangan tenis, 7) Penerimaan yang

diperoleh dari penjualan obat bagi pasien selain pegawai

PUSPIPTEK pada Balkes

6.161.175.193,00 108.144.385,00 Penggunaan sebelum tahun 2014 sebesar Rp4.161.604.503,00, pada tahun

2014 sebesar Rp1.721.239.057,00 dan pada tahun 2015 sebesar

Rp278.331.633,00

6 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 Jasa Tempat Penitipan Anak (TPA) 37.335.363,00 7.795.000,00

7 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 Penjualan Bibit, penjualan susu sapi bioteknologi 203.690.420,00 54.480.000,00

8 LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK 116 Jasa siaran dan non siaran 34.040.857.107,00 26.612.494.419,00 Dasar penggunaan langsung yang dimiliki berupa PP 12 Tahun 2005

tentang LPP RRI, sedangkan PP PNBP belum ada

9 LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK

INDONESIA

117 jasa pelaksanaan diklat, pendapatan jasa siaran dan non

siaran (jasinonsi)

199.094.817.324,00 54.850.932.968,00 Dasar penggunaan langsung yang dimiliki berupa PP 13 Tahun 2005

tentang LPP TVRI, sedangkan PP PNBP belum ada

Penggunaan pada tahun 2014 termasuk di dalamnya penggunaan dari sisa

kas TA 2013, Penerimaan TA 2014 sebesar Rp184.889.731.990,00

Total B 259.036.320.499,00 81.655.429.772,00

304.539.089.943,53 83.493.612.738,00

No. Kementerian/Lembaga BA Sumber Dana/ Jenis Pungutan Nilai Temuan (Rp)

Pertanggungjawaban

setelah 31 Desember 2014

(Rp)

Keterangan

1 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 Pemanfaatan Aset (sewa BMN) 1.299.745.563,00 762.021.896 Belum ada izin kemenkeu

2 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 023 Pemanfaatan Aset (sewa BMN) 726.690.961,00 Belum ada izin kemenkeu

3 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 Pendapatan Jalan Tol 222.625.892.335,00 Telah disetor ke kas negara namun belum ada kejelasan hak PU atau BPDS

4 KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS 055 Pemanfaatan Aset (sewa BMN) 41.000.000,00 Belum ada izin kemenkeu

5 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 jasa pelayan pertanahan 9.700.000,00

6 MAHKAMAH KONSTITUSI RI 077Sewa ruang gedung MK dan gedung serba guna di

perumahan dinas MK Bekasi705.834.112,00 Belum ada izin kemenkeu

7 BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI 104 Pemanfaatan Aset (sewa BMN) 502.527.215,00 Belum ada izin kemenkeu

225.911.390.186,00 762.021.896,00Total

A. Daftar PNBP yang Digunakan Langsung

A. Didukung dengan Dasar Hukum

Total A

B. Belum Didukung dengan Dasar Hukum berupa PP PNBP

Total A + B

B. Pungutan yang Belum Memiliki Dasar Hukum dan Disetor Ke Kas Negara

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 1.3.3.1

Page 84: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.3.4

No. Kementerian/Lembaga BA PermasalahanSumber Dana/ Jenis

PungutanNilai Temuan

Pertanggungjawaban

setelah 31 Desember

2014

Keterangan

1 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 001 PNBP Tidak dipungut - -Rp Belum ada tarif

2 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 PNBP tidak diketahui mahasiswa penyetornya Penerimaan mahasiswa

IPDN

Rp 187.933.126,00 Rp 187.933.126

3 KEMENTERIAN KEUANGAN 015 PNBP yang seharusnya sudah tidak diterima namun

tetap disetor oleh pengguna jasa

Jasa PEB, PIB, BC 25 dan

PIBK

Rp 466.286.435,00 Rp 466.286.435 Sudah disetor ke KN

Indikasi kekurangan penerimaan Pendapatan Bonus Tanda

Tangan

USD 2.000.000,00 2 kontraktor KKKS belum membayar

kewajiban kepada negara sebesar

USD1,000,000.00

Indikasi kekurangan penerimaan PNBP Minerba USD 26.243.719,92 Indikasi kekurangan penerimaan atas iuran

tetap Tahun 2013 dan 2014

5 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN 022 PNBP Tidak dipungut Sewa perairan pada dua

terminal khusus

Rp - Tarif PNBP Belum ada karena belum ada

perjanjian antara Kepala UPP Kelas III

Indramayu dengan Pengelola Teknis

6 KEMENTERIAN KEHUTANAN 029 Potensi denda keterlambatan Rp544.765.255,

USD95,388, PNBP belum didukung dokumen yang

valid Rp82.514.093.755,00 dan Belum punya dasar

pemungutan Rp57950000

Rp 83.116.809.010,00

7 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 032 Perhitungan PNBP tidak memadai Pendapatan jasa lainnya Rp 353.810.900,00

Pungutan PNBP melebhi tarif PP Biaya ujian masuk STIS Rp 1.909.125.000,00 Telah disetor ke kas negara pada tahun 2014

Administrasi PNBP belum memadai Rp 402.652.551,95 Klasifikasi PNBP belum jelas

9 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 PNBP melebihi tarif & setor ke kas negara Jasa pelayanan kesehatan Rp 4.820.511,00

10 BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN

TEKNOLOGI

081 PNBP Tidak disetor (penggelapan PNBP) Sewa Ruangan Rp 139.140.000,00

11 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR 085 Surat izin telah habis masa berlakunya (potensi

pendapatan)

Izin Bekerja dan penggunaan

alat & fasilitas radiasi dan zat

radioaktif

Rp 3.504.094.000,00

12 BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA 088 PNBP Tidak dipungut Rp - Belum ada tarif

Potensi pendapatan izin reklame pendapatan ijin reklame Rp 1.257.900.000,00 Reklame telah dipasang namun belum ada

izin, belum memperpanjang izin,melanggar

master plan, ijin dibatalkan

Royalti atas pembebasan biaya parkir bandara parkir Rp 605.472.887,96

PNBP Tidak dipungut Rp - Belum ada tarif

91.948.044.421,91Rp 654.219.561Rp

USD 28.243.719,92

13 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN

PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS

BATAM

112

Jumlah

Daftar Permasalahan PNBP Lainnya

4 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA

MINERAL

020

8 BADAN PUSAT STATISTIK 054

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 1.3.4.1

Page 85: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 1.4.1

BPK LHP KEPATUHAN – LKPP TAHUN 2014 1.4.1.1

Daftar KL yang Melaksanakan Rekonsiliasi Pendapatan Hibah Dengan DJPPR

Sampai Dengan Desember Tahun 2014

(dalam rupiah)

No. Nama Satker Nilai Pengesahan Keterangan BAR

1 BPS 11.120.180.427,00 Match s.d. Desember 2014

2 Kejagung 5.815.227.159,00 Match s.d Desember 2014

3 Kemenkes 4.168.258.520,00 Match s.d September 2014

4 Kemenhan 26.377.600.000,00 Match s.d Desember 2014

5 KPK 1.514.503.850,00 Match s.d Desember 2014

6 LIPI 3.551.196.889,00 Match s.d. Desember 2014

7 Kementerian Pekerjaan Umum 57.960.848.077,50 Match s.d. Desember 2014

8 BATAN 716.563.663,00 Match s.d. Desember 2014

9 Komnas HAM 14.121.034.252,00 Match s.d. Desember 2014

10 Kementerian PemberdayaanPerempuan dan PerlindunganAnak

955.455.812,00 Match s.d. Desember 2014

11 Kementerian Perindustrian 131.199.960.810,00 Match s.d. Desember 2014

12 BPN 100.000.000,00 Match s.d. Desember 2014

13 ESDM - Match s.d. Desember 2014

14 Bapeten - Nihil s.d. Desember 2014

15 BNPB-

Nihil s.d Desember 2014

16 Kemenlu-

Nihil s.d Desember 2014

17 Kominfo-

Nihil s.d Desember 2014

18 Kementan 267.139.426.613,00 Nilai barang/jasa sudahdisahkan oleh DJPPRsebesarRp249.695.714.328,20, nilaikas belum disahkanRp.18.043.712.285,08

s.d september 2014

19 Kemenhut 17.934.723.099,00 nilai sudah disahkansebesarRp17.482.917.479,00sehingga selisihRP.451.805.620,00

s.d juni 2014

20 KLH 23.157.810.504,53 Sisa yang masih dalamproses pencatatan di KPPN

s.d September 2014

21 Setneg - Nihil s.d September 2014

22 Kementerian PAN & RB Match s.d Maret 2014

Jumlah 565.832.789.676,03

Page 86: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.1

Seharusnya 53 Seharusnya 57 Hibah Lainnya Keterangan * Seharusnya 52Seharusnya BM

MesinLainnya Keterangan *

1 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 002 4.026.677.153,00

2 MAHKAMAH AGUNG 005 215.962.151,58 33.000.000,00

3 SEKRETARIAT NEGARA 007 1.424.265.350,00 22.880.000,00

4 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 490.140.000

5 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 99.416.100,00 MAK 526 dianggarkan pada MAK 521 911.733.670,00

6 KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 019 4.093.712.369,00

7 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 020 49.832.950,00 Belanja barang penembah daya tahan

tubuh menggunakan belanja barang

langganan air

6.056.050.000,00 Belanja modal peralatan mesin

menggunakan belanja modal tanah

8 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 023 31.871.625.544,00

9 KEMENTERIAN KEHUTANAN 028 1.675.000.000,00

11 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 043 244.261.000,00

12 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 8.166.069.927,00 belanja modal Rp4.669.169.927,00 belanja

hibah Rp3.496.900.000,00

255.325.000,00

13 KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

DAN REFORMASI BIROKRASI

048 719.922.393,00

14 KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS 055 6.097.024.776,00 169.807.000,00 Belanja modal lainnya (536)

menggunakan belanja modal

peralatan dan mesin (532)

15 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 1.640.593.552,00

16 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 059 750.040.000,00 55.963.600,00

17 LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL 064 375.906.300

18 KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL 067 331.342.400

19 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA 075 4.461.325.000,00

20 KOMISI PEMILIHAN UMUM 076 505.065.950,00

21 PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI

KEUANGAN

078 86.000.000,00

22 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 129.831.000,00 2.126.901.000,00

57 LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL 082 109.112.605,00 109.112.605,00

23 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR 085 25.863.750,00

24 LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA 086 567.161.000,00

25 BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA 088 226.942.240,00

26 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN 089 519.119.776,00 109.571.549,00

27 KOMISI YUDISIAL RI 100 56.617.000,00

28 BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA 103 572.650.000,00

29 BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN

TKI

104 158.343.140,00 285.006.590,00

30 LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA

PEMERINTAH

106 1.109.683.380,00

31 BADAN SAR NASIONAL 107 3.691.630.400,00 49.200.000,00

32 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 108 409.309.449,00

33 BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU 109 6.106.130.000,00

34 BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME 113 198.522.000 22.098.000,00

35 BADAN PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM 115 580.500.000,00 1.172.600.000,00

36 LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK 116 122.145.750,00

37 LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK

INDONESIA

117 123.135.779,00

38 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN

BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

118 3.238.285.000,00 7.014.629.100,00

33.150.761.294,58 33.546.625.544,00 8.166.069.927,00 149.249.050,00 22.424.480.483,00 6.056.050.000,00 169.807.000,00

Belanja Barang Belanja Modal

Total

Kesalahan Pengklasifikasian Belanja Barang dan Belanja Modal

Kementerian/LembagaNo. BA

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.1.1

Page 87: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.2

Sudah Belum Sudah Belum

1 MAHKAMAH AGUNG 005 3.803.058,00 771.939.162,69

2 KEJAKSAAN AGUNG 006 75.713.420,00 378.104.659,31

3 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 14.650.000,00 463.188.304,00

4 KEMENTERIAN KEUANGAN 015 242.027.739.864,86 238.392.512.687,32 3.635.227.177,54

5 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 86.902.542,00 8.872.600,00 78.029.942,00

7 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA

MINERAL

020 14.869.094.153,49

8 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN 022 587.256.701,54 328.420.702,00 258.835.999,54 4.681.738.742,31 3.839.987.419,96 841.751.322,35

9 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 023 54.005.937,63 2.283.398.505,04

10 KEMENTERIAN KESEHATAN 024 178.500.546,37 3.800.184.224,65

11 KEMENTERIAN AGAMA 025 2.061.138.614,49

12 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN

TRANSMIGRASI

026 48.700.000,00 2.355.151.424,97 167.123.271,20 2.188.028.153,77 kas negara 1 april

13 KEMENTERIAN KEHUTANAN 029 28.551.427,36 5.312.500,00 23.238.927,36 kas negara 169.054.548,11

14 KEMENTERIAN SOSIAL 027 203.489.558,00

15 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 032 783.431.536,78 789.715.253,42

16 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 12.185.769.106,16 4.613.427.947,94 7.572.341.158,22

17 KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI

KREATIF

040 212.369.281,00 238.141.636,74

18 KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA 041 192.214.416,00 11.887.840,00

19 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 042 117.869.925,00 263.936.501,03

20 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 043 642.228.227,00 642.228.227,00 - 40.575.750,00

21 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 108.102.190,60 131.024.473,66 77.243.309,00 53.781.164,66

22 KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN

PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

047 763.342.063,95

23 BADAN PUSAT STATISTIK 054 323.075.411,51 25.701.291,40 297.374.120,11

24 KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS 055 239.439.000,00

25 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 80.270.909,00

26 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK

INDONESIA

057 128.735.000,00

27 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN

INFORMATIKA

059 78.761.450,35 11.116.687,00 67.644.763,35

28 LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL 064 18.815.341,00 18.815.341,00

29 KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH

TERTINGGAL

067 1.530.400.138,74 1.352.950.565,61 177.449.573,13 kas negara

30 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA

NASIONAL

068 147.382.446,21 35.078.202,21 112.304.244,00

31 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA 074 8.229.545,00

32 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN

GEOFISIKA

075 414.000.000,00

Kekurangan volume pekerjaan pada Belanja Barang

Kekurangan Volume pada Belanja Barang dan Belanja Modal

Kekurangan volume pada belanja modal

Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

Keterangan Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

KeteranganNo. Kementerian/Lembaga BA

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.1.1

Page 88: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.2

Sudah Belum Sudah Belum

Kekurangan volume pekerjaan pada Belanja Barang Kekurangan volume pada belanja modal

Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

Keterangan Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

KeteranganNo. Kementerian/Lembaga BA

33 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 30.795.225,45 5.914.216,00 24.881.009,45

34 BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL 080 123.410.530,70

35 BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN

TEKNOLOGI

081 37.730.000,00 37.730.000,00 70.226.580,39

36 LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA

NASIONAL

082 53.973.867,50

37 BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA 088 264.266.322,82 7.494.723,82 256.771.599,00 39.533.104,27 34.019.291,29 5.513.812,98

38 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN

PEMBANGUNAN

089 85.739.934,82

39 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 090 45.853.134,70

40 KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT 091 43.357.879,71 2.551.429.134,26

41 DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) 095 1.601.182.878,00 1.601.182.878,00

42 LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN

BARANG/JASA PEMERINTAH

106 161.939.024,21

43 BADAN SAR NASIONAL 107 81.712.200 103.723.549,00 7.000.000,00 96.723.549,00

44 BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH

SURAMADU

109 1.031.327.909,62 35.799.579,00 995.528.330,62

45 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN

PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

BEBAS BATAM

112 232.242.292,18

46 BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN

TERORISME

113 83.960.000

47 BADAN PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM 115 2.771.104.297,55 2.771.104.297,55

48 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN

PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

BEBAS SABANG

118 1.587.807.999,00

10.728.321.193,93 2.407.284.499,64 6.234.145.849,20 294.865.017.508,22 247.182.918.721,11 14.880.111.514,43 -Total

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.1.2

Page 89: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.3

Sudah Belum Sudah Belum

1 MAHKAMAH AGUNG 005 197.907.142,90

2 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 14.683.962,00

3 KEMENTERIAN KEUANGAN 015 1.284.365.500,00 439.312.500,00 845.053.000,00 2.162.743.982,70 1.173.089.240,54 989.654.742,16

4 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN 022 16.571.164.103,37 16.571.164.103,37

5 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 023 1.891.148.800,00

6 KEMENTERIAN KESEHATAN 024 2.353.680.592,00

7 KEMENTERIAN AGAMA 025 676.209.325,52

8 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN

TRANSMIGRASI

026 27.764.165,00

9 KEMENTERIAN KEHUTANAN 029 40.705.002,04 36.318.892,00 36.318.892,00

10 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 985.525.897,50

11 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 042 80.319.360,00

12 KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK

047 149.628.484,00

13 BADAN INFORMASI GEOSPASIAL 083 139.590.000.000,00

14 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN

PEMBANGUNAN

089 46.807.425,00

15 LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN

BARANG/JASA PEMERINTAH

106 470.868.387,00

16 BADAN SAR NASIONAL 107 498.941.600,00 86.000.000,00 412.941.600,00

17 BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU 109 415.859.783,54 18.200.000,00 397.659.783,54

18 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN

PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS

BATAM

112 163.650.352,50

19 LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI

REPUBLIK INDONESIA

117 52.779.048,00

20 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN

PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS

SABANG

118 8.507.960.427,00

1.740.930.285,58 457.512.500,00 1.242.712.783,54 174.478.101.946,49 1.259.089.240,54 18.010.079.337,53 -

Perbedaan Spesifikasi atas Belanja Barang dan Belanja Modal

Total

No. Kementerian/Lembaga

Belanja Barang Belanja Modal

Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah 31 Des

2014 Keterangan Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah 31 Des 2014

KeteranganBA

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.3.1

Page 90: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.4

Sudah Belum Sudah Belum

1 MAHKAMAH AGUNG 005 26.198.520,00

2KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010

68.002.236,00

3KEMENTERIAN PENDIDIKAN

NASIONAL 02318.001.079,00

4KEMENTERIAN LINGKUNGAN

HIDUP 04319.250.000,00

5BADAN INFORMASI GEOSPASIAL 083

359.811.000,00 260.000.000,00 99.811.000,00

397.062.079,00 260.000.000 99.811.000 94.200.756,00 - - -

Pertanggungjawaban setelah tanggal

31 Desember 2014 (Rp) Keterangan

Total

Rincian Pemahalan Harga atas Realisasi Belanja Barang dan Modal TA 2014

No. Kementerian/Lembaga BA

Pemahalan harga dari prosedur pengadaan belanja barang yang tidak sesuai

ketentuan

Pemahalan harga dari prosedur pengadaan belanja modal yang tidak sesuai

ketentuan

Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

Desember 2014 (Rp) Keterangan Nilai temuan (Rp)

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.4.1

Page 91: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.5

Sudah Belum Sudah Belum

1 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 023 2.210.870.300,00

2 KEMENTERIAN SOSIAL 027 170.010.000,00

3 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 9.870.990.847,00

4 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 2.999.562.128,00

5 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 090 617.830.100,00 617.830.100,00

6 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN

PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

BEBAS SABANG

118 2.054.692.400,00

Jumlah 2.999.562.128,00 - - - 14.924.393.647,00 - 617.830.100,00 -

Pemutusan Kontrak Tanpa Ada Pencairan Jaminan Pelaksanaan serta Pembayaran 100% atas Pekerjaan Yang Belum Selesai Pada Akhir Tahun Tidak Didukung Dengan Bank

Garansi/SKTJM atau Nilai Bank Garansi/SKTJM Kurang dari Nilai Sisa Pekerjaan Yang Belum Selesai

Pertanggungjawaban

setelah tanggal 31

Desember 2014 (Rp)Keterangan

No. Kementerian/Lembaga BA

Pembayaran 100% atas pekerjaan yang belum selesai pada

akhir tahun tidak didukung dengan Bank Garansi/SKTJM

atau Nilai Bank Garansi/SKTJM Kurang dari Nilai Sisa

Pekerjaan yang belum selesai

Pemutusan kontrak tanpa ada pencairan Jaminan pelaksanaan

dan/atau jaminan uang muka

Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban

setelah tanggal 31

Desember 2014 (Rp)Keterangan Nilai temuan (Rp)

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.5.1

Page 92: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.6

Sudah Belum Sudah Belum

1 MAHKAMAH AGUNG 005 1.106.154.293,05

2 KEJAKSAAN AGUNG 006 455.098.100,00

3 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 7.529.724.063,00

4 KEMENTERIAN KEUANGAN 015 914.724.153,56 150.000.000,00 764.724.153,56 6.127.519.393,00 1.431.167.083,00 4.696.352.310,00 Pembayaran ganda gaji dan kelebihan

bayar berlangganan internet

5 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 2.120.718.250,00

6 KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 019 1.101.383.615,37 2.802.268.271,81

7 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 020 1.929.935.147,64

8 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN 022 120.500.000,00 120.500.000,00 84.000.000,00 Kelebihan bayar biaya konsultan

9 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 023 54.043.664,40 Tumpang tindih

pekerjaan

804.891.504,00

10 KEMENTERIAN KESEHATAN 024 765.413.200,44

11 KEMENTERIAN AGAMA 025 2.409.495.998,67

12 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 026 857.291.370,00 Jasa konsultan

13 KEMENTERIAN KEHUTANAN 029 5.000.000,00 3.002.979.471,63

14 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 032 60.000.000,00 60.000.000,00 99.167.912,00

15 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 2.185.664.862,69 1.659.311.019,78 526.353.842,91 4.932.269.200,00 3.384.985.000,00 1.547.284.200,00

16 KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN

KEAMANAN

034 110.436.548,00

17 KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN 035 142.217.500,00

18 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 042 71.000.000,00

19 KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN

PERLINDUNGAN ANAK

047 1.546.999.597,42

20 BADAN PUSAT STATISTIK 054 296.312.002,20 296.312.002,20

21 KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS 055 326.922.086,81 Kelebihan pembayaran tunjangan biaya

hidup dan biay a buku

22 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 257.182.091,86

23 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 060 6.732.455.519,19 dan USD19,150.00

24 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL 065 70.686.000,00

25 KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL 067 32.606.000,00 32.606.000,00 -

26 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL 068 53.788.417,00

27 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA 075 57.540.000,00 57.540.000,00

28 MAHKAMAH KONSTITUSI RI 077 86.382.920,00

29 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 119.965.909,00 667.536.950,00 Kelebihan pembayaran honor

30 BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 081 513.600.859,66 373.294.240,00

31 BADAN INFORMASI GEOSPASIAL 083 5.790.212.140,00

32 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN 089 218.299.177,67

33 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 090 239.967.407,31

34 LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH 106 10.972.137,00 10.972.137,00 Harga timpang

35 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 108 27.776.271,00

36 BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU 109 1.469.167.052,75 62.334.187,00 1.406.832.865,75 Kelebihan

pembayaran biaya

personil dan non

personil

439.147.983,00

37 BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN 111 995.176.776,00

38 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN

PELABUHAN BEBAS BATAM

112 54.016.965,15

39 LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA 117 263.565.973,00

19.644.327.101,20 1.992.145.206,78 3.065.195.001,42 - 40.791.143.894,08 4.906.298.083,00 6.243.636.510,00 -

Kelebihan Pembayaran Selain Kekurangan Volume Pada Belanja Modal Serta Kelebihan Pembayaran Pada Belanja Barang

Keterangan

Total

No. Kementerian/Lembaga BA

Kelebihan Pembayaran selain kekurangan volume pada Belanja Modal Kelebihan Pembayaran Belanja Barang

Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

Keterangan Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.6.1

Page 93: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.7

Sudah Belum Sudah Belum

1 KEMENTERIAN AGAMA 025 662.858.250,00 Bukan Bank Garansi, tetapi

jaminan pelaksanaan

2 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 1.351.545.007,00 Pekerjaan telah selesai 100%

3 LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL 064 49.362.135.970,00 49.362.135.970,00

4 LEMBAGA PENERBANGAN DAN

ANTARIKSA NASIONAL

082 33.277.500.000,00 88.303.166.450,00

82.639.635.970,00 - 49.362.135.970,00 - 90.317.569.707,00 - - -

Pencairan Belanja 100% Melalui Pembuatan BAPP Fiktif (Bank Garansi Telah Ditarik dari KPPN) dan Bank Garansi Tidak Dieksekusi Sesuai Ketentuan

Keterangan

Total

No. Kementerian/Lembaga BA

Pencairan belanja 100% melalui pembuatan BAPP fiktif (hasil cek fisik belum

selesai) sehingga bank garansinya telah ditarik dari KPPNBank Garansi (jaminan pembayaran akhir tahun) tidak dieksekusi sesuai ketentuan

Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

Desember 2014 (Rp) Keterangan Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah

tanggal 31 Desember 2014

(Rp)

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.7.1

Page 94: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.8

Sudah Belum Sudah Belum

1 MAHKAMAH AGUNG 005 917.315.116,68

2 KEJAKSAAN AGUNG 006 7.875.900,00

3 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 362.651.391,00

4 KEMENTERIAN KEUANGAN 015 48.405.500,00 58.273.686,62 - 58.273.686,62

5 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 33.839.845,00

6 KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 019 639.578.950,00

7 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 020 8.010.225.925,63 13.819.892.109,23

8 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN 022 144.766.532,34 100.063.399,00 44.703.133,34 1.136.917.258,65 61.986.240,45 1.074.931.018,20

9 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 023 274.348.750,63 3.350.807.053,59

10 KEMENTERIAN KESEHATAN 024 39.977.939,66 39.977.939,66 - 2.314.648.476,74 1.632.444.495,84 682.203.980,90

11 KEMENTERIAN AGAMA 025 3.154.125.658,93

12 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 026 62.861.070,00

13 KEMENTERIAN KEHUTANAN 029 90.247.550,00 90.247.550,00 51.868.900,00

14 KEMENTERIAN SOSIAL 027 583.717.468,95

15 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 032 44.164.692,00 210.611.837,21

16 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 7.241.746.557,29 1.256.006.981,52 5.985.739.575,77

17 KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA 041 410.142.650,00

18 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 042 62.670.541,72

19 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 313.304.896,00 130.204.896,00 183.100.000,00

20 KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK 047 17.891.535,31

21 BADAN PUSAT STATISTIK 054 233.755.280,34 233.755.280,34

22 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 16.362.500,00

23 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 057 46.519.600,00

24 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 059 73.914.579,60 26.250.000,00 47.664.579,60

25 LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL 064 1.709.186.485,00

26 KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL 067 97.782.666,44 91.020.427,42 6.762.239,02 Setor ke kas

negara

27 PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN 078 13.050.950 258.500,00 Time Stamp

28 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 631.304.623,98

29 BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 081 36.766.950,00 36.766.950,00

30 LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL 082 11.936.076.139,00

31 ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 087 20.550.760,00 20.550.760,00

32 KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT 091 542.139.640,53

33 KOMISI YUDISIAL RI 100 4.498.487,50

34 BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI 104 786.080.000,00 786.080.000,00

35 BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU 109 69.160.072,99 68.914.864,20 245.208,79 Setor ke kas

negara

36 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

BEBAS SABANG

118 109.223.015,00 336.723.878,00

9.806.657.164,69 1.086.056.630,28 141.958.131,15 50.259.574.756,87 3.127.443.373,81 8.302.435.071,43 -

Denda Keterlambatan Belanja Barang dan Modal

No. Kementerian/Lembaga BA

Belanja Barang Belanja Modal

Keterlambatan pengadaan barang/jasa belum dikenakan denda

Total

Keterlambatan penyelesaian pekerjaan belum dikenakan denda

Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

Keterangan ** Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

Keterangan

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.8.1

Page 95: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.9

Sudah Belum

1 KEMENTERIAN KESEHATAN 024 632.576.300,00 632.576.300,00

2 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 2.393.000.000,00 Belanja Beasiswa masih berada

di rekening penampungan

3 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL 065 47.854.000,00

4 PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI

KEUANGAN

078 27.549.500,00 Belum ada tagihan dari pihak

terkait

5 BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 081 554.652.000,00 Selisih gaji satpam antara

kontrak dengan riil diterima

6 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR 085 20.150.217,40 Kurang Setoran Iuran Jamsostek

7 BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA 088 37.800.000,00 15.000.000,00 22.800.000,00 Paket fullboard

3.713.582.017,40 15.000.000,00 655.376.300,00

Realisasi Belanja Barang Belum Dibayarkan Kepada Pihak yang Berhak

Total

No. Kementerian/Lembaga BA

Realisasi Belanja Barang belum dibayarkan kepada pihak yang berhak

Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal 31

Keterangan

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.9.1

Page 96: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.10

Sudah Belum Sudah Belum

1 KEMENTERIAN KEHUTANAN 028 665.915.056,00 665.915.056,00 Setor ke kas negara

2 KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF 040 302.900.000,00

3 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 042 21.800.000,00

4 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 49.500.000,00 49.500.000,00

5 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL 068 27.000.000,00 27.000.000,00

6 BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 081 934.296.000,00

7 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 090 1.601.182.878,00

8 BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN 111 16.603.500,00

3.619.197.434,00 715.415.056,00 27.000.000,00 - - - -

Realisasi Belanja Barang Atas Pekerjaan Yang Sebenarnya Tidak Dilaksanakan

Keterangan *

Total

No. Kementerian/Lembaga BA

Belanja Barang Belanja Modal

Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah 31 Des 2014

Keterangan * Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah

31 Des 2014

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.10.1

Page 97: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.11a

Sudah Belum Sudah Belum Sudah Belum

1 KEJAKSAAN AGUNG 006 130.313.836,00 tidak terdaftar dalam

manifest

649.380.518,00

2 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 - bukti kurang

memadai

3 KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 019 13.855.000,00 13.855.000,00 kas negara 62.603.281,00 62.603.281,00 kas negara

4 KEMENTERIAN KEHUTANAN 028 2.459.321.802,000 22.918.250,00 92.842.350,00

5 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 55.303.000,00 55.303.000,00 33.759.743,00

6 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 042 52.949.375,20

7 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 043 13.351.200,000 11.431.200,000

8 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 54.735.533,000 1.073.268.162,31 64.388.466,71 1.008.879.695,60 367.608.016,47 32.001.520,00 335.606.496,47

9 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 131.140.466,00

10 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 057 34.238.971,00

11 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA

NASIONAL

068 6.077.292,00 43.398.092,00

12 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA 074 11.424.000,00 11.424.000,00 -

13 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN

GEOFISIKA

075 861.570.883,00 201.706.683,00 659.864.200,00

14 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 375.473.700,000 96.338.200,00

16 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 090 792.400,00 95.650.232,30 - 95.650.232,30

17 BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN

PERLINDUNGAN TKI

104 9.100.000,000 3.359.200,00 1.665.000,00 1.694.200,00 5.074.200,00 5.074.200,00 -

18 BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN 113 6.422.600,000 11.381.400,00 51.688.011,60

19 LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK

INDONESIA

117 46.848.136,00

2.918.404.835,000 11.431.200,000 - 1.317.268.540,31 135.211.466,71 1.010.573.895,60 2.636.514.475,57 312.809.684,00 1.091.120.928,77Total

No. Kementerian/Lembaga BA

Belum ada bukti pertanggungjawaban

Realisasi Perjalanan Dinas Belum Ada Bukti Pertanggungjawaban, Nama dan Nomor Tiket Tidak Sesuai dengan Manifest serta Harga Tiket Tidak Sesuai dengan yang Sebenarnya

Nama dan nomor tiket tidak sesuai dengan manifest Harga Tiket tidak sesuai dengan yang sebenarnya

Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban

setelah tanggal 31 Keterangan ** Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah tanggal

31 Desember 2014 (Rp) Keterangan ** Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah tanggal

31 Desember 2014 (Rp) Keterangan **

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.11a.1

Page 98: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.11b

Sudah Belum Sudah Belum Sudah Belum

1 KEMENTERIAN KEHUTANAN 028 10.545.200,00 600.000,00

2 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 4.000.000,00

3 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 45.221.000,00

4 KOMISI PEMILIHAN UMUM 076 197.250.000,00 140.205.000,00 57.045.000,00

5 KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT 091 4.020.000,00 13.899.800,00

6 KOMISI YUDISIAL RI 100 9.125.000,00

7 BADAN SAR NASIONAL 107 45.210.000,00 45.210.000,00 106.222.350,00 100.380.650,00 5.841.700,00

8 BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN 111 10.200.000,00

69.955.200,00 45.210.000,00 - 316.617.350,00 240.585.650,00 62.886.700,00 59.720.800,00 - -

Perjalanan Dinas Rangkap

No. Kementerian/Lembaga BA

Perjalanan dinas rangkap

Satu orang dibiayai dua anggaran dalam waktu bersamaan Satu orang melakukan perjalanan kedua tempat dalam waktu bersamaan Pelaksanaan kegiatan yang berbeda dalam waktu bersamaan

Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban

setelah tanggal 31

Desember 2014 (Rp)Keterangan **Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban

setelah tanggal 31

Desember 2014 (Rp)

Total

Keterangan Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah tanggal

31 Desember 2014 (Rp) Keterangan

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.11b.1

Page 99: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.11c

Sudah Belum Sudah Belum

1 KEJAKSAAN AGUNG 006 46.514.300,00

2 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 379.469.695,00

3 KEMENTERIAN KEHUTANAN 028 33.549.400,00 1.355.000,00 32.194.400,00 Setor kas negara

4 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM 033 338.549.000,00 15.588.100,00

5 KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA 041 189.879.792,00

6 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 043 13.351.200,00

7 KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN

REFORMASI BIROKRASI

048 7.698.000,00 7.698.000,00

8 BADAN PERTANAHAN NASIONAL 056 80.475.000,00

9 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 090 20.120.000,00 725.104.073,54

10 BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI 104 16.661.700,00 3.890.600,00 12.771.100,00

11 BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME 113 23.630.900,00

101.660.000,00 12.943.600,00 44.965.500,00 1.773.343.060,54 15.588.100 -

Perjalanan Dinas Fiktif dan Lebih Bayar Perjalanan Dinas

Keterangan

Total

No. Kementerian/Lembaga BA

Perjalanan Dinas Fiktif Lebih Bayar Perjalan Dinas

Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah tanggal

Keterangan Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.11c.1

Page 100: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.12

..

Sudah Belum Sudah Belum

1 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 12.374.100.000,00 Belanja bahan dan

konsultan tidak

diyakini

kebenarannya

2 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 831.820.000,00

3 KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 019 77.318.000,00

4 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN

TRANSMIGRASI

026 794.430.300,00

5 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 032 24.000.000,00

6 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 043 187.963.637,00

7 KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 044 1.310.221.008

8 BADAN PUSAT STATISTIK 054 465.850.000,00

9 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK

INDONESIA

057 72.770.000,00 * kekurangan SPJ sebesar

Rp25.882.000,00 dan

biaya konsumsi melebihi

SBU Rp46.888.000,00

10 LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL 064 1.103.705.000,00 Jasa profesi

11 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA

NASIONAL

068 39.310.000,00 Uang harian fullboard

12 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA 074 5.485.578,00 5.485.578,00

13 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 680.963.273,00

14 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN

PEMBANGUNAN

089 214.287.905,00 28.256.800,00

15 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 090 291.362.500,00

16 KOMISI YUDISIAL RI 100 129.157.025,00

17 LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN

BARANG/JASA PEMERINTAH

106 855.604.100,00

Pertanggungjawaban setelah

tanggal 31 Desember 2014 Keterangan

Belanja Barang dan Tidak/Belum Dipertanggungjawabkan dan Tidak Sesuai/Melebihi Ketentuan

No. Kementerian/Lembaga BA

Belanja Barang Belum Dipertanggungjawabkan Belanja Barang Tidak Sesuai/Melebihi ketentuan

Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah

tanggal 31 Desember 2014 (Rp) Keterangan Nilai temuan (Rp)

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.12.1

Page 101: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.12

Sudah Belum Sudah Belum

Pertanggungjawaban setelah

tanggal 31 Desember 2014 Keterangan

No. Kementerian/Lembaga BA

Belanja Barang Belum Dipertanggungjawabkan Belanja Barang Tidak Sesuai/Melebihi ketentuan

Nilai temuan (Rp)

Pertanggungjawaban setelah

tanggal 31 Desember 2014 (Rp) Keterangan Nilai temuan (Rp)

18 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 108 1.000.000,00

19 BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN

PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

BEBAS SABANG

118 173.232.050,00

17.715.240.223,00 28.256.800,00 - 1.917.340.153,00 5.485.578,00 -Total

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.12.2

Page 102: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.13

No Kementerian BA Nilai Temuan No Kementerian BA Nilai Temuan

1 KEJAKSAAN AGUNG 006 859.414.000,00

2 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 354.187.000,00 1 KEMENTERIAN KEUANGAN 015 2.909.422.089,87

3 KEMENTERIAN KEUANGAN 015 478.157.255,23 2 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK

INDONESIA

057 14.723.789.000,00

4 KEMENTERIAN PERTANIAN 018 2.204.558.430,00 17.633.211.089,87

5 KEMENTERIAN ENERGI DAN

SUMBER DAYA MINERAL

020 108.770.687,00

6 KEMENTERIAN LINGKUNGAN

HIDUP

043 181.062.200,00

7 BADAN KOORDINASI KELUARGA

BERENCANA NASIONAL

068 8.250.000,00

8 KOMISI NASIONAL HAK ASASI

MANUSIA

074 13.013.016,00

9 BADAN PENGKAJIAN DAN

PENERAPAN TEKNOLOGI

081 143.285.448,60

10 KOMISI YUDISIAL RI 100 42.226.190,91

11 KOMISI PENGAWAS

PERSAINGAN USAHA

108 161.757.500,00

4.554.681.727,74

Belanja Barang Belanja Modal

Total

Total

Pemborosan Belanja Barang dan Belanja Modal

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.13.1

Page 103: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.14

a Kementerian Perindustrian 019 81.780.000,00

b BATAN 080 28.532.000,00

Total 1 110.312.000,00

a Kemenkominfo 059 6.505.500.239,34

Total 2 6.505.500.239,34

a Kejaksaan Agung 006 314.407.699,00

b Kemenakertrans 026 3.983.024.000,00

c LIPI 079 3.499.418.200,00

Total 3 7.796.849.899,00

a Kementerian Keuangan 015 24.299.858.000,00

b BPPT 081 19.729.933.453,14

c

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak

047 853.858.200,00

Total 4 44.883.649.653,14

a Kejaksaan Agung 006 42.238.000,00

b Kementerian Pendidikan Nasional 023 571.605.000,00

Total 5 613.843.000,00

a KEMENTERIAN KEUANGAN 015 6.420.776.525,08 Tidak ada bukti pembayaran terhadap sub-kontrak

b KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 019 257.439.212,16 Kemahalan harga karena konsultan perencana tidak cermat dalam menyusun EE dan PPK belum optimal dalam melakukan pengendalian

atas perencanaan dan pelaksanaan dan pertanggungjawaban biaya non personil tidak diyakini kebenarannya

c KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI

KREATIF

040 87.910.000,00 Realisasi pembayaran biaya langsung non personil atas pekerjaan jasa konsultasi belum didukung bukti pengeluaran yang sah

d KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA 041 208.953.636,00 Kurang potong PPh23

e KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR

NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

048 535.918.782,00 Belanja modal tidak efisien

f LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL 064 80.451.783,00 Penggunaan fasilitas listrik dan air milik Lemhanas oleh rekanan

g LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 079 37.500.000,00 Biaya administrasi pengurusan sertifikat tanah tidak dapat diyakini kewajarannya

h LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA

PEMERINTAH

106 185.000.000,00 Pekerjaan pengurusan izin AMDAL-LALIN dikerjakan tidak sesuai kontrak (oleh orang ketiga)

i BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU 109 3.148.947.000,00 Biaya personil tidak dapat diyaini kewajarannya karena terdapat tenaga ahli yang belum melampirkan bukti pajak

j BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN

BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG

118 4.070.292.350,00 Kurang dokumen pendukung atas pembelian tanah

Total 6 15.033.189.288,24

Total 1 + 2 + 3 + 4 + 5 + 6 74.943.344.079,72

5. Pelaksanaan pekerjaan mendahului kontrak/ lelang proforma

6. Lainnya

3. Indikasi Pemecahan Kontrak

4. Aset Belum Dimanfaatkan

Nilai

1. Belanja Tidak Sesuai/Melebihi Ketentuan

2. Penyusunan HPS Tidak Wajar

Keterangan

Permasalahan Belanja Modal Signifikan Lainnya

No. Kementerian /Lembaga BA

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 2.1.14.1

Page 104: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 2.1.15

Sudah Belum

1 KEMENTERIAN DALAM NEGERI 010 84.468.250,00 Jaminan pelaksanaan belum dicairkan

2 KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK

NEGARA

041 53.782.229,00 Saldo belum setor

3 BADAN PUSAT STATISTIK 054 791.459.466,33 Pengadaan renewal antivirus yang tidak dimanfaatkan

4 PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK

INDONESIA

057 694.826.000,00 Potensi kerugian dari selisih nilai penawaran oleh rekanan yang terindikasi

pengarahan pemenang dengan yang dikalahkan padahal telah sesuai kualifikasi

5 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN

INDONESIA

079 56.000.000,00 Pencetakan tujuh judul Laporan Penelitian tidak sesuai ketentuan

6 KOMISI YUDISIAL RI 100 5.060.000,00 Belanja mendahului kontrak

99.160.928,00 Penentuan pemenang tanpa proses pengadaan dan tidak didukung HPS

201.073.897,00 Pembayaran cadangan premi untuk peserta bayi dan cadangan biaya ekses

klaim tidak dilengkapi jaminan bank

70.333.886,00 Nilai premi asuransi yang tercakup pada nilai kontrak tidak sesuai persyaratan

manfaat asuransi

2.056.164.656,33 -

Permasalahan Belanja Barang Lain-lain

Total

No. Kementerian/Lembaga BA

Lain-lain

Nilai temuan (Rp)Pertanggungjawaban setelah

Keterangan

7 KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN

USAHA

108

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2015 2.1.15.1

Page 105: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.1

1 Kanwil DJP Wajib

Pajak Besar

KPP Wajib Pajak

Besar Satu

Kegiatan pemeriksaan terhadap PT

B1 Tahun Pajak 2012 oleh Kantor

Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar

Satu Serta PT B2 Tahun Pajak 2011

oleh Tim Optimalisasi Penerimaan

Negara (TOPN) tidak sesuai dengan

ketentuan sehingga mengakibatkan

potensi kekurangan penerimaan

negara sebesar

Rp112.078.095.744,48

Hasil pemeriksaan oleh DJP atas ke tiga WP tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pemeriksaan terhadap PT B2 Tahun 2012 dan PT B3 Tahun 2012.

Berdasarkan KKP dan LHP atas kedua WP tersebut diketahui bahwa ditahun 2012

Stripping Ratio (SR) aktual kedua WP tersebut lebih besar daripada SR rata-rata

sehingga secara komersil muncul biaya ditangguhkan sebesar selisih antara SR

aktual dikurangi SR rata-rata. Adapun nilai selisih tersebut adalah

USD43,692,411.00 untuk PT B2 dan sebesar USD14,774,551.00 untuk PT B3.

Biaya ditangguhkan tersebut dibebankan secara fiskal oleh WP dengan cara

melakukan koreksi negatif biaya sebesar nilai tersebut.

Koreksi negatif dari WP tersebut dikoreksi oleh pemeriksa sehingga menurut

pemeriksa atas biaya tersebut tidak boleh dibiayakan.

2) Pemeriksaan terhadap PT B2 Tahun 2011 dan PT B1 Tahun 2012

Berdasarkan KKP dan LHP atas kedua WP tersebut diketahui bahwa SR aktual

kedua WP tersebut lebih besar daripada SR rata-rata sehingga secara komersil

muncul biaya ditangguhkan sebesar selisih antara SR aktual dikurangi SR rata-

rata. Adapun nilai selisih tersebut adalah USD150,647.00 untuk PT B2 dan sebesar

USD46,038,953.99 untuk PT B1 . Biaya ditangguhkan tersebut dibebankan secara

fiskal oleh WP dengan cara melakukan koreksi negatif biaya sebesar nilai tersebut.

Pemeriksa pajak tidak melakukan koreksi sehingga pemeriksa menyetujui koreksi

negatif dari WP.

Dari dua perlakuan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan perlakuan

terhadap biaya pengelupasan tanah. Ada pemeriksa yang memperbolehkan

koreksi negatif atas biaya pengelupasan tanah dan ada juga pemeriksa yang tidak

memperbolehkan koreksi negatif atas biaya pengelupasan tanah.

112.078.095.744,48 PT B3 2012

Pemeriksa Pajak tidak mengakui koreksi negatif atas strippping cost (SC) yang ditangguhkan karena

stripping cost yang dikeluarkan oleh B3 merupakan bagian dari Asset Under Construction yang

dikelompokkan oleh PT B3 sebagai Development Cost. Pemeriksa mengakui aset Under contruction

tersebut tidak sebagai Development cost tetapi sebagai aktiva tetap sehingga stripping cost yang

menjadi bagian asset under contruction tersebut diakui sebagai aktiva tetap yang pembebanannya

melalui penyusutan aktiva tetap.

Oleh karena itu, koreksi negatif atas SC yang ditangguhkan oleh PT B3 tidak dapat dibenarkan karena

harus menjadi aktiva tetap dan tidak dibebankan pada tahun bersangkutan.

PT B1

Berkaitan dengan koreksi fiskal negatif (tahun 2012) sebesar USD 46.038.953,99 yang berupa biaya

pengelupasan tanah (Overburden Removal), dapat kami jelaskan sebagai berikut:

1. Wajib Pajak secara komersil di tahun 2012 telah melakukan penangguhan atas Overburden Removal

diatas Stripping Rasio. Penangguhan tersebut sesuai dengan PSAK 33.

2. Wajib Pajak mengadopsi PSAK 33 mulai tahun Pajak 2011.

3. Untuk tahun Pajak 2009 Wajib pajak belum mengadopsi PSAK 33, sehingga antara laporan keuangan

komersil dengan laporan keuangan fiskal tidak ada perbedaan, pada akhirnya tidak ada koreksi fiskal

positif ataupun negatif.

(1) Berdasarkan LHP atas pemeriksaan PT B3

tahun 2012 hal 20, disebutkan bahwa pemeriksa

melakukan koreksi atas GB Striping Cost karena

sesuai dengan laporan keuangan komersil, biaya

atas GB Striping Cost tersebut masih ditangguhkan

sehingga menurut pemeriksa pajak perlakuan atas

biaya GB Striping Cost juga masih ditangguhkan

dan belum dapat dibebankan sebagai pengurang

penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan

kena pajak.

(2) Koreksi negatip biaya pengelupasan tanah

tidak boleh diakui. Sesuai dengan laporan

keuangan komersiil, biaya tersebut masih di

tangguhkan sehingga seharusnya perlakuan atas

biaya pengelupasan tanah tersebut masih di

tanguhkan dan belum dapat dibebankan sebagai

pengurang penghasilan bruto dalam menghitung

penghasilan kena pajak. Terkait konsistensi

perlakuan biaya over burdden secara komersiil

oleh Wajib Pajak, BPK belum bisa menyakini.

Masih dibutuhkan dokumen berupa SPT Tahunan

PPh Badan tahun 2009 s.d. 2014 beserta Laporan

Keuangan audited.

a. mengupayakan penagihan atas

kekurangan penerimaan negara

sebesar Rp112.078.095.744,48;

dan

b. memberikan pembinaan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

kepada pemeriksa pajak,

supervisor, kepala kantor terkait,

dan pejabat terkait kegiatan

pemeriksaan.

Menurut BPK, seharusnya atas koreksi negatif biaya pengelupasan tanah tidak

boleh diakui. Sesuai dengan laporan keuangan komersil, biaya tersebut masih di

tangguhkan sehingga seharusnya perlakuan atas biaya pengelupasan tanah

tersebut masih di tangguhkan dan belum dapat dibebankan sebagai pengurang

penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak. Selain itu, biaya

pengelupasan tanah merupakan biaya dengan manfaat lebih dari satu tahun

sehingga tidak memenuhi syarat pasal 6 UU PPh dan harus mengikuti PSAK 33

tentang pertambangan umum.

Dari perhitungan yang dilakukan oleh BPK, diketahui masih terdapat potensi

kekurangan penerimaan Negara atas koreksi negatif biaya pengelupasan tanah.

Dengan demikian, terdapat potensi penerimaan negara sebesar

Rp112.078.095.744,48 dari kekurangan penetapan pajak terutang oleh DJP.

4. Sejak tahun 2011 Wajib Pajak telah mengadopsi PSAK 33, sedangakan atas produksi Overburden

Removal secara fiskal Wajib Pajak melakukan pembebanan sekaligus saat terjadinya biaya tersebut.

Pembebanan tersebut sesuai Pasal 6 ayat 1 UU PPh dan dilakukan secara konsisten (secara taat azas

dari tahun ke tahun). Karena Wajib pajak sudah mengadopsi PSAK 33 atas laporan keuangan

komersilnya, sedangkan secara fiskal pembebanan biaya overburden dilakukan sekaligus pada saat

tahun timbulnya biaya Overburden, maka perbedaan penerapan tersebut (komersil dan fiskal) wajib

pajak melakukan koreksi fiskal positif atau negatif (tergantung kondisi Produksi OB diatas Stripping

Rasio (SR) atau di bawah Stripping Rasio (SR). Perlakukan secara konsisten (taat azas) atas

Overburden Removal tersebut dapat kami jelaskan sebagai berikut:

o Laporan Keuangan Tahun Pajak 2011 (SPT PPh Badan Tahun Pajak 2011)

Secara komersial, Wajib Pajak telah melakukan koreksi atas Overburden Removal di atas Stripping Ratio

(SR) dari pos Laba/Rugi ke pos neraca (ditangguhkan) karena produksi OB diatas Stripping Rasio ( SR).

Akan tetapi, secara fiskal Wajib Pajak melakukan kembali koreksi fiskal negatif (atas produksi OB

Removal) di Laporan SPT tahunan PPh Badan Tahun 2011. Koreksi fiskal negatif (penyesuaian fiskal

negatif lainnya) di SPT Tahun Pajak 2011 adalah sebesar Rp. 142.659.040.439 dimana dari total koreksi

fiskal negatif tersebut sebesar Rp. 108.681.811.263 berasal dari koreksi fiskal negatif atas Overburden

Removal (dengan akun 581230).

o Laporan Keuangan Tahun Pajak 2012 (SPT PPh Badan Tahun 2012)

Tahun Pajak 2012, Wajib Pajak juga melakukan hal yang sama terhadap kebijakan pembebanan biaya

atas OB Removal di atas Stripping Ratio (SR) seperti Tahun Pajak 2011, dimana secara komersial

ditangguhkan (produksi OB diatas Stripping Rasio), akan tetapi secara fiskal (OB Yang diproduksi)

dibebankan sekaligus sesuai dengan biaya produksi yang terjadi pada tahun tersebut (Pasal 6 ayat (1)

UU PPh). Pemeriksa sudah menanyakan hal tersebut kepada Wajib Pajak bahwa metode pembebanan

atas biaya Overburden Removal (OB Removal dibebankan pada saat terjadinya pengeluaran. Hal

tersebut dilakukan secara konsisten (Taat azas).

Rincian Kekurangan Penetapan Pajak oleh DJP

RekomendasiNo

Nama Kanwil

DJP dan Nama

KPP

Judul Temuan Resume Kondisi

Nilai Temuan

(akibat/potensi)

(Rp)

Resume Tanggapan Kontra Tanggapan

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 3.1.1.1

Page 106: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.1

RekomendasiNo

Nama Kanwil

DJP dan Nama

KPP

Judul Temuan Resume Kondisi

Nilai Temuan

(akibat/potensi)

(Rp)

Resume Tanggapan Kontra Tanggapan

o Penerapan secara taat azas atas OB Removal tersebut juga dilakukan di tahun 2013, dimana secara

komersial telah dilakukan adjustment negatif, akan tetapi secara fiskal Wajib Pajak melakukan koreksi

fiskal positif sebesar USD 52.468.402,00.

Koreksi fiskal positif di SPT tahunan PPh Badan tahun 2013 sebesar USD.52.468.402,00 karena adanya

pembebanan secara komersil atas amortisasi biaya overburden dari tahun 2011 dan 2012.

Perhitungan koreksi fiskal positif atas biaya yang ditangguhkan pengakuannya (lampiran SPT tahunan

PPh badan (5k)) di SPT PPh Badan tahun Pajak 2013 dapat kami jelaskan sebagai berikut:

Akun Nomor 645170 Amortisasi OB Removal.......................USD.52.468.402,00

Akun Nomor 581231 Contractor OB................................... (USD.15.828.424,00)

Jumlah koreksi fiskal positif tahun 2013..............................USD.36.639.978,00

• Kami tidak sependapat dengan BPK terkait dengan temuan PT B1 sebagaimana tanggapan yang telah

disampaikan di atas.

• Kami juga menggunakan dasar hasil pemeriksaan pajak PT B1 tahun 2011 yang telah diaudit oleh Tim

Pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan sebagai dasar untuk pemeriksaan tahun pajak 2012.

• Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, Biaya OB Removal tersebut termasuk dalam pengertian biaya

untuk memperoleh, memelihara dan mempertahankan penghasilan sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh

• Berdasarkan uraian diatas, Wajib Pajak telah konsisten menerapkan perlakuan atas stripping cost dan

Pemeriksa telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

PT B2

Terdapat ketidakkonsistenan perlakuan stripping cost untuk PT B2 tahun pajak 2011 dan 2012 yang

diterapkan oleh Pemeriksa. DJP berpendapat bahwa sesuai dengan ketentuan perpajakan atas SC

tersebut seharusnya dibebankan sesuai dengan actual cost yang terjadi berdasarkan Pasal 6 ayat (1).

Hal ini juga konsisten dengan hasil pemeriksaan BPK untuk B1 tahun 2011 yang juga termasuk dalam

sample BPK untuk pemeriksaan LKPP 2013 dan tidak ada temuan terkait tidak dilakukannya koreksi

negatif atas biaya SC yang ditangguhkan B1 2011.

Pembebanan SC secara aktual untuk usaha pertambangan pada masa produksi menurut perpajakan

konsisten dengan prinsip matching cost againts revenue dimana disebabkan stripping cost pada masa

produksi yang terjadi akan disandingkan dengan jumlah produksi batubara pada tahun yang

bersangkutan, sehingga SC dibebankan seluruhnya secara fiskal. Stripping cost yang terjadi pada masa

pra produksi akan ditangguhkan dan menjadi aktiva tetap serta pembebanannya dilakukan melalui

amortisasi pada saat sudah berproduksi.

Stripping Cost pada PT B2 adalah terjadi pada masa produksi sehingga seharusnya dibebankan pada

tahun terjadinya pengeluaran SC dimaksud.

Atas perbedaan perlakuan tersebut di atas dan untuk menghindari terjadinya perbedaan yang serupa,

akan dibuat surat penegasan dari Direktur P2 terkait dengan perlakuan SC tersebut paling lambat bulan

Juli 2015.

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 3.1.1.2

Page 107: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.1

RekomendasiNo

Nama Kanwil

DJP dan Nama

KPP

Judul Temuan Resume Kondisi

Nilai Temuan

(akibat/potensi)

(Rp)

Resume Tanggapan Kontra Tanggapan

2 Kanwil DJP Wajib

Pajak Besar

KPP Wajib Pajak

Besar Satu

Kegiatan Pemeriksaan Terhadap PT

B4 Tahun Pajak 2009 Oleh Tim

Optimalisasi Penerimaan Negara

Belum Sesuai Ketentuan Sehingga

Mengakibatkan Potensi Kekurangan

Penerimaan Negara Sebesar

Rp70.560.215.864,45

Berdasarkan pemeriksaan terhadap KKP pemeriksa diketahui permasalahan yaitu

pemeriksa pajak tidak melakukan pengujian kewajaran harga penjualan batubara

kepada perusahaan afiliasi.

Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-22/PJ/2013 menyatakan bahwa Direktur

Jenderal Pajak memiliki wewenang untuk menguji penerapan prinsip kewajaran

dan kelaziman usaha (arm's length principle) pada transaksi antara Wajib Pajak

dengan pihak afiliasinya (affiliated transactions) yang juga dinyatakan dalam Pasal

18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pada tahun 2009, WP melakukan penjualan batubara kepada perusahaan afiliasi

yakni B5. Atas penjualan kepada B5, pemeriksa tidak melakukan pengujian

kewajaran harga sehingga tidak bisa diketahui apakah nilai penjualan tersebut

sudah wajar atau belum.

BPK mB5ari harga wajar atas transaksi penjualan kepada B5 dengan

menggunakan harga acuan yakni Harga Batubara Acuan (HBA). HBA merupakan

harga acuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Di dalam HBA terdapat beberapa jenis batubara B4 dengan kandungan kalori yang

bermacam-macam. Semakin tinggi kandungan kalori maka harga jual batubara

tersebut semakin tinggi.

Di dalam KKP diketahui data rekapitulasi penjualan batubara selama tahun 2009.

Dalam rekapitulasi tersebut tidak dapat diketahui jenis batubara yang dijual beserta

kandungan kalorinya. Karena tidak ada data tersebut, BPK memakai harga

penjualan dengan merek dagang B4 Ecocoal. Merek dagang ini dipilih karena ini

merupakan merek dagang dengan harga paling murah dengan kandungan kalori

paling sedikit. Hasil pengujian perbandingan harga jual kepada B5 diketahui

terdapat selisih harga penjualan. Harga penjualan kepada B5 lebih murah

daripada harga HBA.

70.560.215.864,46 a. Penjualan yang dilaporkan oleh PT B4 telah diakui BPK pada hasil “Pemeriksaan atas Pengelolaan

Pertambangan Batubara (Perijinan, PNBP, Bagi Hasil, dan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan)

Tahun Anggaran (TA) 2008 sampai dengan Semester I TA 2010 pada Kementerian Energi dan Sumber

Daya Mineral, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, Kontraktor PKP2B dan Pemegang Kuasa

Pertambangan di Provinsi Kalimantan Selatan serta Instansi Terkait Lainnya di Jakarta dan Banjarmasin”

Nomor 11/KT-Kalsel/PKP2B/12/2010 tanggal 16 Desember 2010, yang disampaikan kepada PT B4.

Nilai penjualan yang dilaporkan PT Arutmin Indonesia tahun 2009 dan penjualan yang diakui dalam

Laporan BPK adalah sama maka pemeriksa menilai risiko pengalihan laba (profit shifting) dari transaksi

penjualan ke pihak afiliasi adalah rendah.

b. Kebijakan penetapan harga patokan batubara baru diatur pada tahun 2010 dengan Peraturan Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan

Penjualan Mineral dan Batubara. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu tanggal 23

September 2010. Dasar hukum penerbitan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini

adalah Pasal 85 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Penggunaan Harga Batubara

Acuan sebagai dasar penghitungan iuran produksi (royalty) dimulai sejak tanggal 23 September 2010

sehingga ketentuan tersebut belum dapat diterapkan untuk tahun 2009

a. Pengujian yang dilakukan oleh BPK sesuai

dengan LHP tersebut adalah terkait dengn

pengujian biaya royalti. Pengujian tidak dilakukan

dalam rangka pemeriksan pajak sehingga tidak

bisa dijadikan dasar oleh DJP untuk tidak

melakukan pengujian transaksi penjualan kepada

perusahaan afiliasi yakni B5. Pengujian yang

dilakukan oleh BPK pada pemeriksaan saat ini

menggunakan data harga batubara kandungan

kalori paling rendah.

b. Data HBA tahun 2009 didapat dari ESDM

sehingga secara substansi data tersebut bisa

digunakan sebagai data pembanding untuk

penjualan kepada afiliasi.

a. melakukan penelitian kembali

atas kekurangan penerimaan

negara sebesar

Rp70.560.215.864,45; dan

b. memberikan pembinaan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

kepada pemeriksa pajak,

supervisor, kepala kantor terkait,

dan pejabat terkait kegiatan

pemeriksaan.

Dari tabel di atas diketahui masih terdapat selisih harga penjualan sebesar

Rp156.786.468.569,25. Atas selisih ini, mengakibatkan adanya potensi

kekurangan penerimaan negara sebesar Rp70.553.910.856,16 (45% x

Rp156.786.468.569,25). Potensi kekurangan penerimaan negara dapat menjadi

lebih besar jika jenis batubara yang dijual ke B5 dapat diketahui.

Pemeriksa telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Nilai

penjualan B4 yang diakui oleh pemeriksa pajak telah sama dengan nilai penjualan yang diakui oleh Hasil

Audit BPK untuk pemeriksaan sebelumnya terkait royalti yaitu “Pemeriksaan atas Pengelolaan

Pertambangan Batubara (Perijinan, PNBP, Bagi Hasil, dan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan)

Tahun Anggaran (TA) 2008 sampai dengan Semester I TA 2010 pada Kementerian Energi dan Sumber

Daya Mineral, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, Kontraktor PKP2B dan Pemegang Kuasa

Pertambangan di Provinsi Kalimantan Selatan serta Instansi Terkait Lainnya di Jakarta dan Banjarmasin”

Nomor 11/KT-Kalsel/PKP2B/12/2010 tanggal 16 Desember 2010.

3 Kanwil DJP

Jakarta Khusus

KPP Migas

Terdapat Transaksi Pengalihan

Participating Interest Senilai

USD102,340,000.00 yang Belum

Dikenai Pajak

Pengalihan PI atas wilayah kerja Tuna sesuai surat SKK Migas nomor

0394/SKKO0000/2013/S0 senilai USD102,340,000.00 dengan nilai potensi

USD5,117,000.00 belum dibayarkan.

63.660.597.000,00 KPP Migas

TN

a. Data yang diperoleh DJP berdasarkan surat hasil konfirmasi dari surat Direktur Jenderal Minyak dan

Gas Bumi nomor 1468/13/DME/2015 tanggal 30 Januari 2015 yang menyatakan nilai pengalihan blok

Tuna sebesar USD12,7 million

b. BPK menggunakan DPP sebesar USD102,340,000.00 yang di dasarkan pada surat SKK Migas

kepada Tim Pemeriksa BPK RI Nomor SRT-0083/SKKF3000/2015/SO tanggal 12 Maret 2015 yang

menyatakan nilai pengalihan biok Tuna sebesar USD102,34 million

c. Atas dispute ini KPP Migas telah mengirimkan surat konfirmasi nilai pengalihan particapting interest

kepada:

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dengan surat nomor S-4608/WPJ.0-7/KP.10/2015 tanggal 24

April 2015; dan

Kepala SKK Migas dengan surat nomor S-4609/WPJ.07/KP.10/2015 tanggal 24 April 2015.

KPP akan segera menerbitkan SKPKB jika berdasarkan jawaban surat konfirmasidari Direktur Jenderal

Minyak dan Gas Bumi dan dari Kepala SKK Migas beserta dokumen pendukung Iainnya dinyatakan nilai

pengalihan interest blok Tuna adalah sebesar USD102,340,000.00.

a. mengupayakan penagihan atas

kekurangan penerimaan negara

sebesar Rp63.660.597.000,00; dan

b. memberikan pembinaan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

kepada pemeriksa pajak,

supervisor, kepala kantor terkait,

dan pejabat terkait kegiatan

pemeriksaan.

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 3.1.1.3

Page 108: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.1

RekomendasiNo

Nama Kanwil

DJP dan Nama

KPP

Judul Temuan Resume Kondisi

Nilai Temuan

(akibat/potensi)

(Rp)

Resume Tanggapan Kontra Tanggapan

4 Kanwil DJP Wajib

Pajak Besar

KPP Wajib Pajak

Besar Satu

Kegiatan Pemeriksaan Terhadap PT

B25 Tahun Pajak 2010 dan 2012

Oleh Tim Optimalisasi Penerimaan

Negara dan KPP Wajib Pajak Besar

Satu Belum Sesuai Ketentuan

Sehingga Mengakibatkan Potensi

Kekurangan Penerimaan Negara

Sebesar Rp32.070.972.768,00.

a. Pemeriksa Pajak kurang menetapkan nilai PPh Badan Terutang PT B25 sebesar

USD1,042,180 atau sebesar Rp11.912.117.400,00

Hasil pemeriksaan atas kertas kerja pemeriksaan diketahui bahwa pemeriksa pajak

tidak melakukan pengujian atas kewajaran harga jual produk kepada pihak yang

terafiliasi.

Pemeriksaan lebih lanjut atas penjualan diketahui terdapat penjualan Cobalt

dengan harga dibawah 48,7% dari harga LME Cobalt . Dengan demikian terdapat

penjualan kepada pihak yang berelasi yang tidak dikoreksi sebesar

USD4,168,760.00.

b. Pemeriksa Pajak melakukan reclass langsung kredit pajak PPh pasal 4 ayat 2

menjadi PPh pasal 23

Pemeriksa Pajak melakukan koreksi positif obyek PPh Pasal 23 atas dividen

kepada orang pribadi sebesar Rp45.405.824.889,00 dan koreksi negatif obyek PPh

Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp45.405.824.889,00. Atas koreksi tersebut, pemeriksa

juga melakukan koreksi positif atas kredit PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar

Rp4.540.792.612,00 dan koreksi negatif kredit PPh Pasal 23 Rp4.540.792.612,00

Pemeriksa melakukan reclass langsung dari kredit PPh Pasal 4 ayat (2) menjadi

PPh Pasal 23. Sesuai ketentuan, seharusnya Pemeriksa Pajak tidak melakukan

reclass langsung dari kredit PPh Pasal 4 ayat (2) menjadi PPh Pasal 23. Kelebihan

pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) harus diselesaikan melalui mekanisme yang

diatur dalam PMK Nomor 10/PMK.03/2013

c. Pemeriksa Pajak tidak melakukan reclass objek PPh Pasal 23 berupa Dividen

yang diterima oleh orang pribadi sebesar Rp104.120.418.375,00

Sesuai dengan Pasal 9 angka 5 Persetujuan mengenai Modifikasi dan

Perpanjangan Kontrak Karya, seharusnya dividen bukan objek PPh Pasal 4 ayat

(2) namun objek PPh Pasal 23. Atas dividen tersebut harus dikenakan PPh pasal

23 sebesar Rp15.618.062.756,25 (Rp104.120.418.375,00 X 15%).

32.070.972.768,00 Terkait dengan huruf a, pemeriksa sudah melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perpajakan

yang berlaku.

Terkait dengan temuan huruf b dan c tentang perlakuan perpajakan untuk pemotongan dan pemungutan

Pajak Penghasilan pada prinsipnya adalah sesuai dengan ketentuan perpajakan pada saat dilakukan

pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan (prevailing law ).

Atas perbedaan perlakuan penerapan ketentuan perpajakan tersebut di atas dan untuk menghindari

terjadinya perbedaan yang serupa, akan dibuat surat penegasan dari Direktur P2 terkait dengan

perlakuan perpajakan untuk pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan tersebut paling lambat

bulan Juli 2015.

Dalam penjualan Nickle Matte yang mengandung

Cobalt, sudah seharusnya WP

memperhitungankan nilai penjualan untuk Cobalt.

Hal ini dikarenakan harga jual antara Nickel dan

Cobalt memiliki perbedaan yang signifikan.

Diperlukan data tambahan yang menunjukkan

bahwa harga jual Vale berada di rentang atas

harga nikel setengah jadi dunia

a. melakukan penelitian kembali

atas kekurangan penerimaan

negara sebesar

Rp32.070.972.768,00; dan

b. memberikan pembinaan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

kepada pemeriksa pajak,

supervisor, kepala kantor terkait,

dan pejabat terkait kegiatan

pemeriksaan.

5 Kanwil DJP Wajib

Pajak Besar

KPP Wajib Pajak

Besar Satu

Kegiatan Pemeriksaan Terhadap

PT. B27 Tahun Pajak 2012 Belum

Sesuai Ketentuan Sehingga

Mengakibatkan Potensi Kekurangan

Penerimaan Negara Sebesar

Rp22.343.374.278,13

1. Pengujian Biaya Usaha Lainnya

Berdasarkan informasi yang diperoleh di dalam LHP salah satu komponen dari

biaya usaha lainnya adalah biaya community infrastructure development. Di tahun

2012, WP membebankan biaya tersebut sebesar US$8,767,780.83.

Pasal 4 Lampiran H Kontrak Karya disebutkan bahwa penyusutan (depresisasi)

dalam satu tahun berarti pengurangan dari pendapatan dengan suatu jumlah yang

berhubungan dengan aktiva yang dapat disusutkan atas dasar penyusutan

menurun secara berimbang (declining balance basis) dihitung dengan tarip 25%

per tahun.

Aktiva yang dapat disusutkan terdiri dari aktiva nyata dengan lama pemakaian

lebih dari satu tahun termasuk, sebagai contoh gedung-gedung, mesin-mesin, alat-

alat, kapal-kapal keruk, kapal-kapal lainny, jalan-jalan kereta api, kendarana-

kendaraan, jembatan-jembatan,…………,ditambah dengan segala sesuatu yang

disediakan oleh perusahaan untuk kepentingan umum seperti antara lain,jalan-

jalan,sekolah-sekolah, dan rumah sakit-rumah sakit beserta peralatanya.

Dari aturan diatas biaya yang boleh dibebankan adalah sebesar US$2,191,945,2

(25% x US$8,767,780.8) sehingga harus dilakukan koreksi sebesar US$

6,575,835.6 sehingga mengakibatkan potensi kekurangan penerimaan sebesar

Rp22.343.374.278,13

22.343.374.278,13 Pengujian Biaya Usaha Lainnya

Biaya community infrastructure development merupakan biaya yang dikeluarkan oleh PT B27 dalam

rangka menjalankan amanah pasal 25 Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT B27

yaitu kerjasama daerah dalam pengadaan prasarana tambahan. Perusahaan berkewajiban untuk

membantu Pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana untuk kepentingan masyarakat

disekitar tambang.

Berdasarkan perjanjian kontrak karya antara pemerintah Indonesia dan PT B27 pasal 13 ayat 4 jo.

Lampiran H dan pasal 11 UU PPh, pemeriksa berpendapat bahwa Prinsip dasar aset yang wajib

disusutkan oleh wajib pajak adalah yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun dan yang dimiliki oleh

wajib pajak. Artinya Aset tersebut hak kepemilikannya ada pada wajib pajak.

Berdasarkan pasal 4 lampiran H kontrak karya pemeriksa berkesimpulan bahwa kondisi aset yang

disusutkan diatas apabila kepemilikannya ada pada wajib pajak termasuk segala sesuatu yang

disediakan untuk kepentingan umum. Berdasarkan hal tersebut pemeriksa berkesimpulan bahwa PT

B27 berhak mengurangkan biaya bantuan atas peningkatan sarana dan prasarana bagi Pemerintah

Daerah secara sekaligus bukan dengan penyusutan karena kepemilikan atas sarana dan

prasarana ada pada Pemerintah Daerah.

Belum didapatkan detail rincian dan bukti

pendukung Biaya community infrastructure

development dan apakah biaya tersebut

merupakan aset tetap PT B27 atau sudah

diserahkan ke Pemda.

a. mengupayakan penagihan atas

kekurangan penerimaan negara

sebesar Rp23.076.639.904,93; dan

b. memberikan pembinaan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

kepada pemeriksa pajak,

supervisor, kepala kantor terkait,

dan pejabat terkait kegiatan

pemeriksaan.

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 3.1.1.4

Page 109: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.1

RekomendasiNo

Nama Kanwil

DJP dan Nama

KPP

Judul Temuan Resume Kondisi

Nilai Temuan

(akibat/potensi)

(Rp)

Resume Tanggapan Kontra Tanggapan

6 Kanwil DJP

Sumatera Utara I

KPP Madya

Medan

Terdapat Potensi PPnBM yang

Belum Dikenakan Atas Penyerahan

Rumah Mewah Oleh PT B25

Hunian mewah yang merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

adalah rumah dan town house dari jenis non-strata title dengan luas bangunan

350m² atau lebih yang diserahkan sejak tanggal 10 Juni 2009 atau apartemen,

kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan luas

bangunan 150m² atau lebih, yang diserahkan sejak tanggal 10 Juni 2009.

Permasalahan perpajakan atas hunian mewah adalah atas PT B25 Tahun Pajak

2012. Pemeriksaan dilaksanakan sesuai SP2 Nomor : PRIN-

00256/WPJ.01/KP.0705/RIK.SIS/2013 tanggal 19 Agustus 2013. Berdasarkan LHP

Nomor LAP- 00162/WPJ.01/KP.0705/RIK.SIS/2014 tanggal 26 juni 2014 dan KKP

diketahui terdapat potensi PPnBM yang belum dikenakan atas penyerahan rumah

mewah berdasarkan hasil konfirmasi oleh pemeriksa pajak.

Atas penyerahan rumah tersebut termasuk sebagai penyerahan barang mewah

dengan nilai Rp36.566.000.000,00 yang belum dikenakan PPnBM senilai

Rp7.313.200.000,00 dengan penghitungan sebagai berikut: 20% x

Rp36.566.000.000,00.

7.313.200.000,00 Core Business Wajib Pajak, PT. B25 adalah penjualan kavling. Koreksi peredaran usaha/penyerahan

yang dilakukan pemeriksa berdasarkan surat jawaban dari bank atas permintaan konfirmasi KPR.

Berdasarkan data tersebut pemeriksa berkesimpulan ada uang masuk ke PT. B25 sehingga dapat

dijadikan sebagai dasar koreksi.

Pemeriksa berusaha untuk memperoleh keterangan lebih lanjut ke bank antara lain terkait dengan objek

bangunan pada hari Kamis, 06 Februari 2014, namun pihak bank tidak bersedia memberikan keterangan

lebih lanjut karena berkaitan dengan rahasia nasabah. Berdasarkan hal tersebut, pemeriksa tidak dapat

memastikan objek BKP nya (nomor rumah, luas bangunan, letak) karena tidak ada bukti pendukung

(Sertifikat, Akta Jual Beli Tanah/Bangunan) yang dipinjamkan Wajib Pajak.

Pemeriksa telah mendatangani lokasi Sesuai ST-256/WPJ.01/KP.07/2015 dan telah mendapatkan Akte

Jual Beli terkait nama Pembeli tersebut.

Dokumen berupa empat Akta Jual Beli yang

disampaikan oleh DJP belum dapat menjelaskan

transaksi yang digunakan oleh Pemeriksa Pajak

sebagai dasar untuk menetapkan pajak terutang

karena :

a. Nilai yang digunakan dalam transaksi bank

dengan nilai AJB berbeda

b. AJB menunjukkan bukan hanya jual beli tanah,

namun termasuk bangunan diatasnya.

Sehingga atas empat transaksi tersebut

seharusnya tetap terutang PPnBM.

a. mengupayakan penagihan atas

kekurangan penerimaan negara

sebesar Rp7.313.200.000,00; dan

b. memberikan pembinaan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

kepada pemeriksa pajak,

supervisor, kepala kantor terkait,

dan pejabat terkait kegiatan

pemeriksaan.

Berdasarkan Akte Jual Beli dapat diperoleh kesimpulan penjualan dilakukan bukan oleh PT B25. Terkait

dengan data tersebut diatas yang menyatakan bahwa pihak penjual bukanlah PT B25 yang sudah

dilakukan koreksi oleh KPP Madya Medan. Saat ini Wajib Pajak sedang mengajukan keberatan ke

Kanwil Sumut I. Data tersebut akan disampaikan ke Kanwil Sumut I untuk menguji apakah koreksi KPP

Madya Medan dapat dipertahankan atau tidak.

Sedangkan terdapat satu penjualan dimana objek yang diserahkan adalah sebidang tanah dan berikut

segala sesuatu yang terdapat dan didirikan serta ditanam diatas tanah tersebut, baik yang ada sekarang

maupun yang akan ada dikemudian hari satu dan lain menurut ketentuan hukum dan undang-undang

adalah menjadi bilangannya. Jadi tidak memenuhi kriteria sebagai objek PPnBM.

7 Kanwil DJP Wajib

Pajak Besar

KPP Wajib Pajak

Besar Tiga

Terdapat Pembebanan Biaya

Penggantian/ Imbalan Pekerjaan/

Jasa dalam bentuk natura dan

kenikmatan oleh B28 yang Tidak

Sesuai dengan Ketentuan

Perundang-undangan Sebesar

Rp3.812.612.664,00 Sehingga

Berakibat Berkurangnya Potensi

Penerimaan Negara Sebesar

Rp1.067.531.546,00

• Atas koreksi pemeriksa pajak terkait item pakaian seragam untuk karyawan dan

staf sebesar Rp2.330.624.663,00, B28 memberikan tanggapan bahwa pakaian

seragam dapat dibebankan sebagai penghasilan bruto karena pakaian seragam

adalah suatu keharusan bagi seluruh karyawan untuk memakainya sebagai

identitas karyawan B28. Sebagai perusahaan yang padat karya, tentunya tidak

dapat mengenali satu per satu orang yang keluar masuk areal kebun, sehingga

dibutuhkan pakaian seragam untuk mengamankan/ menyelamatkan produksi dan

aset di kebun;

• Atas koreksi pemeriksa pajak terkait item rumah dinas sebesar

Rp4.292.571.400,00, B28 memberikan tanggapan bahwa penggantian dalam

bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan

pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk

mendorong pembangunan di daerah tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan

bruto.

Atas tanggapan yang diberikan oleh B28, pemeriksa pajak setuju untuk mengakui

penggantian/ imbalan pekerjaan/ jasa dalam bentuk natura sebesar

Rp3.812.612.664,00 yaitu atas beban seragam, beban rumah dinas PT MPB,

beban gaji MBT Mumbul dan beban rumah dinas di kebun karet yang masuk dalam

beban rumah dinas sebagai pengurang penghasilan bruto. Namun rincian dari

masing-masing item yang disetujui oleh pemeriksa pajak sebagai pengurang

penghasilan bruto tersebut tidak dapat diketahui dari KKP yang disampaikan

kepada BPK. Selain itu apakah Direktorat Jenderal Pajak telah setuju mengenai

suatu wilayah ditetapkan sebagai daerah tertentu sehingga pengeluaran

perusahaan kepada karyawan yang bersifat natura dapat dijadikan sebagai

pengurang penghasilan bruto juga tidak dapat diketahui dari KKP yang

disampaikan kepada BPK

1.067.531.546,00 Pemeriksa pajak setuju atas tanggapan Wajib Pajak bahwa beban sebesar Rp3.812.612.664,00 yang

sebelumnya dimasukkan dalam koreksi penggantian/ imbalan pekerjaan/ jasa dalam bentuk natura

merupakan biaya yang dapat dibebankan.

a. Beban Pakaian Seragam Unit Kebun Sadap Karet.

Beban pakaian seragam yang diperuntukkan untuk unit-unit kebun dimana seragam tersebut dibutuhkan

dan merupakan keharusan bagi karyawan kebun untuk mengamankan dan menyelamatkan produksi dan

aset kebun mengingat sifat areal kebun. Areal kebun B28 tidak memiliki pagar/tembok pembatas

sehingga sangat riskan terhadap pencurian hasil produksi, dan B28 sebagai perusahaan yang padat

karya, tentunya tidak dapat mengenali satu per satu orang yang keluar masuk areal kebun sehingga

merupakan keharusan setiap pegawai untuk memakai seragam kebun.

Maka berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009 dan mempertimbangkan sifat

areal kebun, maka pemeriksa setuju dengan tanggapan Wajib Pajak bahwa biaya tersebut dapat

dibebankan sebagai pengurang penghasilan pajak.

b. Beban Pakaian Seragam Unit Kebun Malangsari.

PT B29 adalah anak perusahaan B28, yang statusnya sedang dalam proses pembatalan status hukum

sebagai badan sendiri. Dimana perlakuan atas pembukuannya (kewajiban dan haknya) disamakan

dengan kebun lain yang ada dalam B28 ini, yaitu secara pembukuan/pB5atatan tidak terpisah dari B28,

namun untuk pelaporan karena masih berbentuk badan maka dilaporkan sendiri secara terpisah.

Sehingga dalam pemeriksaan Tahun 2009 ini pemeriksa mengeluarkan Penjualan maupun beban untuk

PT B29 dari pembukuan B28.

WP dapat membebankan pembebanan biaya

penggantian/ imbalan pekerjaan/ jasa dalam

bentuk natura dan kenikmatan yang telah

diberikan kepada karyawannya pada suatu daerah

sebagai pengurang penghasilan kena pajak

dengan syarat adanya persetujuan penetapan

daerah tertentu dari kepala kantor wilayah DJP

yang membawahi KPP tempat WP terdaftar atas

nama Dirjen Pajak. Sampai dengan berakhirnya

saat pemeriksaan, surat persetujuan tersebut

belum dapat diberikan kepada BPK.

a. mengupayakan penagihan atas

kekurangan penerimaan negara

sebesar Rp1.067.531.546,00; dan

b. memberikan pembinaan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

kepada pemeriksa pajak,

supervisor, kepala kantor terkait,

dan pejabat terkait kegiatan

pemeriksaan.

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 3.1.1.5

Page 110: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.1

RekomendasiNo

Nama Kanwil

DJP dan Nama

KPP

Judul Temuan Resume Kondisi

Nilai Temuan

(akibat/potensi)

(Rp)

Resume Tanggapan Kontra Tanggapan

c. Beban Rumah Dinas Unit Kebun Sadap Karet.

Biaya rumah dinas Unit kebun Sadap karet, dimana unit-unit kebun tersebut berada di daerah pelosok

(remote area). Selain itu untuk kebun sadap karet dibutuhkan rumah tinggal untuk karyawan karena

berhubungan dengan kebutuhan pekerjaan yaitu dimana jadwal sadap karet dilakukan pada dini hari jam

01.00 WIB.

Mengingat hal-hal tersebut maka merupakan keharusan perusahaan untuk menyelenggarakan sarana

rumah tinggal bagi karyawan kebun.

Maka Pemeriksa setuju dengan Wajib Pajak bahwa biaya tersebut dapat dibiayakan. Karena beban

tersebut bukanlah biaya untuk pengeluaran rumah dinas dan tidak termaksud dalam penggantian dalam

bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan kepada karyawan sehingga dapat dibiayakan.

d. Beban Rumah Dinas Unit Kebun Malangsari.

Wajib Pajak memberikan tanggapan bahwa koreksi beban sebesar Rp146.299.227,00

adalah beban rumah dinas Unit Kebun Malangsari, yaitu unit kebun milik PT B29, sehingga harus

dikeluarkan dari beban B28.

Pemeriksa setuju dengan tanggapan Wajib Pajak tersebut karena PT B29 adalah anak perusahaan B28,

yang statusnya sedang dalam proses pembatalan status hukum sebagai badan sendiri. Dimana

perlakuan atas pembukuannya (kewajiban dan haknya) disamakan dengan kebun lain yang ada dalam

B28 ini, yaitu secara pembukuan/pB5atatan tidak terpisah dari B28, namun untuk pelaporan karena

masih berbentuk badan maka dilaporkan sendiri secara terpisah. Sehingga dalam pemeriksaan Tahun

2009 ini pemeriksa mengeluarkan Penjualan maupun beban untuk PT B29 dari pembukuan B28.

e. Beban Gaji MBT Mumbul

Wajib Pajak memberikan tanggapan bahwa koreksi beban sebesar Rp 14.531.517 adalah beban Gaji

MBT Mumbul yang salah membuku nomor rekening sehingga tercatat dalam biaya rumah dinas.

Pemeriksa setuju dengan tanggapan Wajib Pajak dan atas biaya tersebut dapat dibebankan sebagai

pengurang penghasilan pajak.

Mengingat hal-hal tersebut maka merupakan keharusan perusahaan untuk menyelenggarakan sarana

rumah tinggal bagi karyawan kebun.

Maka Pemeriksa setuju dengan Wajib Pajak bahwa biaya tersebut dapat dibiayakan. Karena beban

tersebut bukanlah biaya untuk pengeluaran rumah dinas dan tidak termaksud dalam penggantian dalam

bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan kepada karyawan sehingga dapat dibiayakan.

d. Beban Rumah Dinas Unit Kebun Malangsari.

Wajib Pajak memberikan tanggapan bahwa koreksi beban sebesar Rp146.299.227,00

adalah beban rumah dinas Unit Kebun Malangsari, yaitu unit kebun milik PT B29, sehingga harus

dikeluarkan dari beban.

Pemeriksa setuju dengan tanggapan Wajib Pajak tersebut karena PT B29 adalah anak perusahaan WP,

yang statusnya sedang dalam proses pembatalan status hukum sebagai badan sendiri. Dimana

perlakuan atas pembukuannya (kewajiban dan haknya) disamakan dengan kebun lain yang ada dalam

WP ini, yaitu secara pembukuan/pB5atatan tidak terpisah dari WP, namun untuk pelaporan karena

masih berbentuk badan maka dilaporkan sendiri secara terpisah. Sehingga dalam pemeriksaan Tahun

2009 ini pemeriksa mengeluarkan Penjualan maupun beban untuk PT B29 dari pembukuan PT B28.

e. Beban Gaji MBT Mumbul

Wajib Pajak memberikan tanggapan bahwa koreksi beban sebesar Rp14.531.517,00 adalah beban Gaji

MBT Mumbul yang salah membuku nomor rekening sehingga tercatat dalam biaya rumah dinas.

Pemeriksa setuju dengan tanggapan Wajib Pajak dan atas biaya tersebut dapat dibebankan sebagai

pengurang penghasilan pajak.

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 3.1.1.6

Page 111: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.1

RekomendasiNo

Nama Kanwil

DJP dan Nama

KPP

Judul Temuan Resume Kondisi

Nilai Temuan

(akibat/potensi)

(Rp)

Resume Tanggapan Kontra Tanggapan

8 Kanwil DJP

Jakarta Khusus

KPP PMA Lima

Kekurangan Penetapan PPN

Terutang dan Pembebanan Biaya

Dari Luar Usaha Berupa Finance

Cost yang tidak Didukung Dengan

KKP Yang Memadai Atas PT B30

Berdasarkan data ekualisasi peredaran tersebut diketahui bahwa unsur sms

premium charges dan ring back tone charges belum diperhitungkan dalam

ekualisasi antara peredaran usaha PPh Badan dengan peredaran PPN, sehingga

seharusnya peredaran PPN masih lebih rendah atau kurang dilaporkan sebesar

peredaran usaha senilai unsur sms premium charges dan ring back tone charges

yaitu sebesar Rp8.423.848.974,00 (Rp8.030.986.013,00 + Rp392.862.961,00).

Selain itu, berdasarkan rincian pada pos penghasilan diluar usaha terdapat

penghasilan WP dari gain on fixed asset sebesar Rp196.395.347,00. Atas

penghasilan ini dalam pelaporan PPh badan masuk ke dalam pos Penghasilan dari

luar usaha, dalam hal atas penghasilan dari pengalihan aset tetap dilaporkan di

dalam SPT Masa PPN maka ekualisasi peredaran usaha PPh Badan dan PPN

akan terjadi tambahan selisih kurang dilaporkan peredaran usaha PPN sebesar

nilai jual aset tetap tersebut. Adapun nilai jual aset tetap tersebut belum dikatahui

karena yang tercatat dalam penghasilan dari luar usaha hanya nilai keuntungan

saja dan tidak ada KKP pendukung atas hal tersebut.

842.384.897,40 1. Tidak setuju dengan temuan BPK karena sms premium charges dan ring back tones dalam pulsanya

telah termasuk unsur PPN sehingga tidak lagi dikenakan PPN.

2. Tidak setuju karena penjualan fixed asset tidak ada dalam audit program pemeriksa sehingga tidak

dilakukan pemeriksaan. Pemeriksa lebih fokus pada hal lain yang lebih material dan tercantum dalam

audit plan.

3. Tidak setuju karena Finance Cost merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak terkait

hutang pinjaman Wajib Pajak sehingga secara ketentuan dapat dibebankan secara fiskal (detil GL

Finance Cost telah diberikan ke pemeriksa BPK).

Dalam hal sms premium charge dan rbt adalah

bagian dari peredaran usaha pph badan, maka

seharusnya saat dilakukan equalisasi dengan

peredaran PPN maka sms premium charge dan rbt

masuk sebagai peredaran usaha PPh badan, yaitu

peredaran usaha pph badan sebesar nilai net

peredaran hasil equalisasi dengan laporan

peredaran jasa komunikasi ke kominfo ditambah

nilai sms premium charge dan rbt. Sehingga masih

ada PPn yang kurang ditetapkan sebesar

Rp842.384.897,40 (10% x Rp8.423.848.974,00)

a. mengupayakan penagihan atas

kekurangan penerimaan negara

sebesar Rp842.384.897,40; dan

b. memberikan pembinaan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

kepada pemeriksa pajak,

supervisor, kepala kantor terkait,

dan pejabat terkait kegiatan

pemeriksaan.

309.936.372.098,47Jumlah

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 3.1.1.7

Page 112: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.2

Volume (MT) Harga Jual (US$)Harga per MT

(US$)Volume (MT) Harga Jual (US$)

1 05-Feb-09 8.137,00 218.403,54 43,37 8.137,00 352.901,69 134.498,15

2 05-Feb-09 50.060,00 1.356.269,60 43,37 50.060,00 2.171.102,20 814.832,60

3 25-Feb-09 44.695,00 1.199.649,27 43,37 44.695,00 1.938.422,15 738.772,88

4 25-Feb-09 12.194,00 365.820,00 43,37 12.194,00 528.853,78 163.033,78

5 25-Feb-09 15.241,00 457.230,00 43,37 15.241,00 661.002,17 203.772,17

6 25-Feb-09 17.822,00 534.660,00 43,37 17.822,00 772.940,14 238.280,14

7 25-Feb-09 8.957,00 268.710,00 43,37 8.957,00 388.465,09 119.755,09

8 01-Mar-09 17.582,00 485.979,71 40,44 17.582,00 711.016,08 225.036,37

9 01-Mar-09 37.418,00 1.034.261,68 40,44 37.418,00 1.513.183,92 478.922,24

10 16-Mar-09 13.628,00 388.942,97 40,44 13.628,00 551.116,32 162.173,35

11 16-Mar-09 13.372,00 381.636,73 40,44 13.372,00 540.763,68 159.126,95

12 17-Mar-09 14.200,00 402.777,38 40,44 14.200,00 574.248,00 171.470,62

13 17-Mar-09 12.800,00 363.066,94 40,44 12.800,00 517.632,00 154.565,06

14 17-Mar-09 12.609,00 354.438,99 40,44 12.609,00 509.907,96 155.468,97

15 17-Mar-09 37.391,00 1.051.061,01 40,44 37.391,00 1.512.092,04 461.031,03

16 30-Mar-09 161,00 4.830,00 40,44 161,00 6.510,84 1.680,84

17 30-Mar-09 39.442,00 1.183.260,00 40,44 39.442,00 1.595.034,48 411.774,48

18 30-Mar-09 15.397,00 461.910,00 40,44 15.397,00 622.654,68 160.744,68

19 07-Apr-09 40.052,00 1.087.987,13 34,8 40.052,00 1.393.809,60 305.822,47

20 07-Apr-09 14.873,00 404.015,59 34,8 14.873,00 517.580,40 113.564,81

21 10-Apr-09 688,00 18.939,77 34,8 688,00 23.942,40 5.002,63

22 10-Apr-09 13.024,00 358.534,25 34,8 13.024,00 453.235,20 94.700,95

23 10-Apr-09 43.988,00 1.210.934,01 34,8 43.988,00 1.530.782,40 319.848,39

24 19-Apr-09 50.386,00 1.445.444,63 34,8 50.386,00 1.753.432,80 307.988,17

25 19-Apr-09 18.247,00 523.459,46 34,8 18.247,00 634.995,60 111.536,14

26 25-Apr-09 30.609,00 840.479,19 34,8 30.609,00 1.065.193,20 224.714,01

27 25-Apr-09 22.164,00 608.591,62 34,8 22.164,00 771.307,20 162.715,58

28 01-Mei-09 36.278,00 999.179,22 34,68 36.278,00 1.258.121,04 258.941,82

29 01-Mei-09 10.322,00 284.291,53 34,68 10.322,00 357.966,96 73.675,43

30 11-Mei-09 49.486,00 1.436.000,48 34,68 49.486,00 1.716.174,48 280.174,00

31 11-Mei-09 26.971,00 782.653,06 34,68 26.971,00 935.354,28 152.701,22

32 20-Mei-09 51.500,00 1.386.814,69 34,68 51.500,00 1.786.020,00 399.205,31

33 29-Mei-09 60.037,00 1.758.702,21 34,68 60.037,00 2.082.083,16 323.380,95

34 29-Mei-09 14.038,00 411.224,11 34,68 14.038,00 486.837,84 75.613,73

35 29-Mei-09 50.118,00 1.403.304,00 34,68 50.118,00 1.738.092,24 334.788,24

36 13-Jun-09 798,00 21.530,04 35,17 798,00 28.065,66 6.535,62

37 13-Jun-09 50.472,00 1.361.734,56 35,17 50.472,00 1.775.100,24 413.365,68

38 16-Jun-09 50.051,00 1.358.797,78 35,17 50.051,00 1.760.293,67 401.495,89

39 05-Sep-09 10.801,00 300.807,85 38,25 10.801,00 413.138,25 112.330,40

40 05-Sep-09 44.199,00 1.230.942,15 38,25 44.199,00 1.690.611,75 459.669,60

41 15-Sep-09 7.482,00 211.265,59 38,25 7.482,00 286.186,50 74.920,91

42 15-Sep-09 47.518,00 1.341.742,60 38,25 47.518,00 1.817.563,50 475.820,90

43 24-Sep-09 1.726,00 49.552,02 38,25 1.726,00 66.019,50 16.467,48

Selisih Harga Penjualan Kepada B5

Perhitungan BPK

Selisih (US$)No Tanggal Penjualan

Perhitungan WP

BPK LHP Keptuhan - LKPP Tahun 2014 3.1.2.1

Page 113: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.2

Volume (MT) Harga Jual (US$)Harga per MT

(US$)Volume (MT) Harga Jual (US$)

Perhitungan BPK

Selisih (US$)No Tanggal Penjualan

Perhitungan WP

44 24-Sep-09 47.324,00 1.358.632,61 38,25 47.324,00 1.810.143,00 451.510,39

45 19-Okt-09 23.500,00 679.153,17 36,5 23.500,00 857.750,00 178.596,83

46 20-Okt-09 3.336,00 98.178,48 36,5 3.336,00 121.764,00 23.585,52

47 20-Okt-09 21.664,00 637.571,52 36,5 21.664,00 790.736,00 153.164,48

48 29-Okt-09 184,00 5.520,00 36,5 184,00 6.716,00 1.196,00

49 29-Okt-09 4.265,00 127.950,00 36,5 4.265,00 155.672,50 27.722,50

50 29-Okt-09 20.803,00 624.090,00 36,5 20.803,00 759.309,50 135.219,50

51 01-Nov-09 1.086,00 31.991,25 37,57 1.086,00 40.801,02 8.809,77

52 01-Nov-09 728,00 21.434,88 37,57 728,00 27.350,96 5.916,08

53 01-Nov-09 47.441,00 1.397.626,17 37,57 47.441,00 1.782.358,37 384.732,20

54 06-Nov-09 714,00 21.203,39 37,57 714,00 26.824,98 5.621,59

55 06-Nov-09 289,00 8.565,65 37,57 289,00 10.857,73 2.292,08

56 06-Nov-09 45.372,00 1.346.640,96 37,57 45.372,00 1.704.626,04 357.985,08

57 11-Nov-09 7.325,00 222.094,00 37,57 7.325,00 275.200,25 53.106,25

58 11-Nov-09 37.184,00 1.127.418,86 37,57 37.184,00 1.397.002,88 269.584,02

59 25-Nov-09 489,00 14.533,08 37,57 489,00 18.371,73 3.838,65

60 25-Nov-09 53.411,00 1.587.374,92 37,57 53.411,00 2.006.651,27 419.276,35

61 25-Nov-09 14.669,00 431.561,98 37,57 14.669,00 551.114,33 119.552,35

62 01-Des-09 55.000,00 1.623.050,00 40,17 55.000,00 2.209.350,00 586.300,00

63 05-Des-09 56.076,00 1.659.849,60 40,17 56.076,00 2.252.572,92 592.723,32

64 23-Des-09 376,20 10.742,07 40,17 376,20 15.111,95 4.369,88

65 23-Des-09 250,80 7.161,38 40,17 250,80 10.074,64 2.913,26

66 23-Des-09 51.223,00 1.462.628,92 40,17 51.223,00 2.057.627,91 594.998,99

14.842.934,82Jumlah

BPK LHP Keptuhan - LKPP Tahun 2014 3.1.2.2

Page 114: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan

Lampiran 3.1.3

Nilai Pengalihan PI dariPembeli

Status

(RP/ US $) Nomor Tanggal

Tahun 2014

1 SS tidak dapat ditemukan SRT-0115/SKKO0000/2014/S0 06 Feb 2014 Eksplorasi

2 SV tidak dapat ditemukan SRT-0193/SKKO0000/2014/S0 03 Mar 2014 Eksplorasi

3 Skg USD 22.500.000 SRT-0273/SKKO0000/2014/S0 02 Apr 2014 Eksplorasi

4 Kf tidak bernilai SRT-0364/SKKO0000/2014/S0 08-Mei-14 Eksplorasi

5 WT tidak dapat ditemukan SRT-0511/SKKO0000/2014/S0 30-June-2014 Eksplorasi

6 GBB II tidak bernilai SRT-0531/SKKO0000/2014/S0 07 July2014 Eksplorasi

7 TSS tidak dapat ditemukan SRT-0538/SKKO0000/2014/S0 08-Jul-14 Eksplorasi

8 GBB I tidak bernilai SRT-0531/SKKO0000/2014/S0 07 July 2014 Eksplorasi

9 GBT tidak bernilai SRT-0550/SKKO0000/2014/S0 11 July 2014 Eksplorasi

10 GB tidak bernilai SRT-0551/SKKO0000/2014/S0 11 July 2014 Eksplorasi

11 CB II tidak dapat ditemukan SRT-0565/SKKO0000/2014/S0 17 July 2014 Eksplorasi

12 WMO tidak dapat ditemukan SRT-0622/SKKD3000/2014/S0 27-Mar-14 Eksploitasi

13 SS US$ 18.116.259.27 SRT-0796/SKKO0000/2014/S0 12-Sep-14 Eksploitasi

US$ 7.868.827.06

US$ 10.014.913.67

14 BS US$ 264.987.20 SRT-0820/SKKD3000/2014/S0 24 Apr 2014 Eksplorasi

15 Ct 0 SRT-0450/SKKO0000/2014/S0 10 June 2014 Eksplorasi

16 SS tidak dapat ditemukan SRT-0538/SKKO0000/2014/S0 08-Jul-14 Eksplorasi

17 SES 0 SRT-0606/SKKO0000/2014/S0 07 Aug 2014 Eksplorasi

Tahun 2013

18 NGbelum diproses karena dokumen tidak

lengkap sesuai ketentuanEksplorasi

19 Ktg US$76,344,086.00 0097/SKKO0000/2013/S0 28-Feb-13 Eksploitasi

20 Cw tidak dapat ditemukan 0531/SKKO0000/2013/S0 23 Juli 2013 Eksplorasi

21 GBT tidak dapat ditemukan 0220/SKKO0000/2013/S0 09-Apr-13 Eksplorasi

22 ONWv tidak dapat ditemukan 0258/SKKO0000/2013/S0 22-Apr-13 Eksploitasi

23 WP IV tidak dapat ditemukan 0354/SKKO0000/2013/S0 17-Mei-13 Eksplorasi

24 Bb tidak dapat ditemukan 0304/SKKO0000/2013/S0 06-Mei-13 Eksplorasi

25 Lsw tidak dapat ditemukan 0350/SKKO0000/2013/S0 17-Mei-13 Eksplorasi

26 SB II tidak dapat ditemukan 0297/SKKO0000/2013/S0 03-Mei-13 Eksplorasi

27 Tn US$102.340,000.00 0394/SKKO0000/2013/S0 30-Mei-13 Eksplorasi

28 O tidak dapat ditemukan 0640/SKKD3000/2013/S0 23-Mei-13 Eksplorasi

29 SBH tidak dapat ditemukan 0641/SKKD3000/2013/S0 23-Mei-13 Eksplorasi

30 Bk tidak dapat ditemukan 0667/SKKO0000/2013/S0 11-Sep-13 Eksploitasi

31 Cw tidak dapat ditemukan 0531/SKKO0000/2013/S0 23-Jul-13 Eksplorasi

32 Ms tidak dapat ditemukan 0453/SKKO0000/2013/S0 24-Jun-13 Eksploitasi

33 HK tidak dapat ditemukan 0551/SKKO0000/2013/S0 29-Jul-13 Eksplorasi

34 BI tidak dapat ditemukan 0618/SKKO0000/2013/S0 30-Agu-13 Eksploitasi

35 Bg tidak dapat ditemukan 0667/SKKO0000/2013/S0 11-Sep-13 Eksploitasi

36 Sg tidak dapat ditemukan 0599/SKKO0000/2013/S0 23-Agu-13 Eksploitasi

37 GS tidak dapat ditemukan 0631/SKKO0000/2013/S0 03-Sep-13 Eksplorasi

38 Bk tidak dapat ditemukan 0665/SKKO0000/2013/S0 11-Sep-13 Eksploitasi

39 WMO tidak dapat ditemukan 0917/SKKD0000/2013/S0 14-Jun-13 Eksploitasi

40 Pk tidak dapat ditemukan 1308/SKKD3000/2013/S0 10-Sep-13 Eksplorasi

41 Gr tidak dapat ditemukan 1398/SKKD3000/2013/S0 20-Sep-13 Eksplorasi

42 Cl tidak dapat ditemukan 1476/SKKD3000/2013/S0 30-Sep-13 Eksplorasi

43 Bo tidak dapat ditemukan 1477/SKKD3000/2013/S0 30-Sep-13 Eksplorasi

44 Ka tidak dapat ditemukan 0971/SKKO0000/2013/S0 15-Nov-13 Eksplorasi

45 NN tidak dapat ditemukan 0941/SKKO0000/2013/S0 07-Nov-13 Eksploitasi

US$237,449,073.20

Rangkuman Jawaban Konfirmasi dari SKK Migas

Jumlah

Jawaban KonfirmasiWilayah KerjaNo

Surat Penetapan

BPK LHP KEPATUHAN - LKPP TAHUN 2014 3.1.3.1

Page 115: Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan