analisis ayat-ayat tentang zikir dalam tafsÎr al imÂm...
TRANSCRIPT
-
ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG ZIKIR
DALAM TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ KARYA AL-RÎHÂNÎ
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister
Dalam Bidang Tafsir
Oleh:
KHAIRUL UMAM
NIM. 21150340000015
PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
-
ii
-
iii
PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini,
Nama : Khairul Umam
Nomor Induk Mahasiswa : 21150340000015
Program Studi : Tafsir Hadis
Tempat dan Tgl. Lahir : Jakarta, 29 April 1990
Alamat : Jl. Kapuk Muara Rt. 006/05 No. 12
Kel. Kapuk Muara Kec. Penjaringan
Jakarta Utara
Menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG ZIKIR
DALAM TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ KARYA AL-RÎHÂNÎ
Adalah asli (bukan jiplakan) dan belum pernah digarap oleh penulis/peneliti lain.
Semua pendapat atau ide orang lain yang diambil dalam tesis ini dilakukan
melalui langkah-langkah ilmiah dan dicantumkan di dalam daftar pustaka.
Jakarta, 03 Mei 2019
-
iv
KATA PENGANTAR
َماِء بُ ُروحًجا َوَجَعلَ ًرا، تَ َباَرَك الَِّذيح َجَعَل ِف السَّ رًا َبِصي ح ُد لِلَِّو الَِّذيح َكاَن ِبِعَباِدِه َخِبي ح مح َها ِسرَاًجا َاْلَح ِفي حرًا ًرا .َوَقَمرًا ُمِني ح قِّ َبِشي ح ًدا َعبحُدُه ُوَرُسولُُو الَِّذيح بَ َعَثُو بِاْلَح َهُد اَنَّ ُُمَمَّ َهُد اَنح اَل إِلََو ِإالَّ اهلُل وَأشح َوَنِذي حًرا، َأشح
ًرا. اَللَُّهمَّ َصلِّ عَ قِّ بِِإذحنِِو َوِسرَاًجا ُمِني ح رًاَوَداِعَيا ِإََل اْلَح ِليحًما َكِثي ح ِبِو َوَسلِّمح َتسح دُ .َليحِو َوَعَلى آلِِو َوَصحح ا بَ عح أَمَّSegala puji bagi Allah Swt yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat
hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang di
langit, dan dijadikan padanya penerang dan Bulan yang bercahaya. Aku bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya
dan Rasul-Nya, yang diutus dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira
dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dengan izin-Nya, dan cahaya
penerang bagi umatnya. Ya Allah, curahkan sholawat dan salam bagi nya dan
keluarganya, yaitu doa dan keselamatan yang berlimpah.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan tesis ini banyak sekali
mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai
pihak dan terutama berkah dari Allah swt., rahmat, taufik dan hidayah-Nya,
penyusunan tesis yang berjudul Analisis Ayat-Ayat tentang Zikir dalam Tafsîr
Al-Imâm Al-Ghazâlî Karya Al-Rîhânî dapat diselesaikan dengan baik, sehingga
kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh pihak yang
telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga
kepada penulis selama menyusun tesis. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis
sampaikan pula kepada:
-
v
1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc., MA., selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku penguji I (Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pasca Sarjana), Ibu Dr. Wiwi
Siti Sajaroh, M.A., dan Bapak Dr. Edwin Syarif, M.Ag., selaku penguji II
yang telah memberikan saran dan masukan komprehensif yang sangat
membantu serta membangun pemikiran penulis untuk menjadi lebih baik.
3. Ibu Dr. Sri Mulyati, M.A., dan Bapak Dr. M. Suryadinata, M.A., selaku
pembimbing yang selalu memberikan didikasinya kepada penulis, bersabar
memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis berada di bawah
bimbingannya. Juga melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru,
sehingga penulis ada gairah semangat dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Seluruh dosen dan staf Civitas Akademik Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan didikasinya mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman,
serta pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan.
5. Keluarga besar Pondok Pesantren Terpadu Khairul Ummah Khususnya
istriku tercinta Arnia Kalbu yang sedang mengandung putra kami yang
ketiga, anak-anakku sayang Kakak Ratu dan Fathimah, serta Abi KH. Oman
Syahroni (Ayahanda yang mulya) dan Umi tercinta Hj. Haryanti (Ibunda
tercinta), adinda tersayang Nenk Intan Zakiyyah, Malik, Nenk Nadwah;
umumnya seluruh dewan guru Khairul Ummah Terpadu spesial thanks to
Mas Wahyudin, MM (Kepsek MTs Khairul Ummah), Pak Rahmatullah, SE
(Kepsek MA Khairul Ummah), Bang A. Cecep Damanhuri, M.Pd, Mas
Tabiin, M.Pd, Bapak Drs. Nur Zabidi, M.Pd dan KH. Mahfud Qâsim, saya
ucapkan beribu-ribu terima kasih atas nasihat-nasihat dan doanya sehingga
-
vi
penulis bisa menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada guru besar saya Alm. Abuya KH. Ruyani al-Muktafa,
berkat ilmu-ilmu beliau lah sehingga tesis ini berjalan dengan lancar
meskipun banyak rintangan yang sangat berat.
6. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses
penyelesaian tesis ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa
mengurangi rasa terima kasih penulis.
Harapan penulis semoga tesis ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi
pembaca dan semoga Allah Swt selalu memberkahi dan membalas semua kebaikan
pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian tesis ini.
Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.
Jakarta , 18 Juli 2019
-
vii
Abstrak
Dalam penelitian ini, penulis telah menganalisa kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî
karya al-Rîhânî yang digunakan sebagai referensi untuk mendeskripsikan
metodologi penafsiran yang berfokus pada aspek zikir. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan penelitian yang bersumber dari
pustaka. Selanjutnya dalam penelitian ini menggambarkan bagaimana konsep
pemikiran dari al-Ghazâlî dalam kitab tafsîr al-Ghazâlî? Banyak ayat-ayat al-
Qur`ân menjelaskan masalah zikir. Penelitian ini akan dilakukan dengan
pemilihan ayat-ayat al-Qur`ân yang membahas tentang topik zikir. Dalam
mekanismenya, setiap ayat yang secara eksplisit atau implisit menggunakan istilah
zikir ini, telah ditafsirkan lebih lanjut sesuai dengan metode penafsiran al-Ghazâlî
yang termuat dalam komentar al-Rîhânî. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
gaya penafsiran al-Ghazâlî banyak mengadopsi konsep-konsep para Sahabat
seperti Ibnu `Abbâs dan Ibnu Mas`ûd, sementara jika dari jalur Tabiin, al-Ghazâlî
mengikuti model interpretasi Mujâhid, Hasan al-Basry dan al-Qatadah. Di satu
sisi al-Ghazâlî menyampaikan pendapat teman-temannya dan Tabiin dengan
maksud untuk menjelaskan kalimat atau interpretasi teks. Tetapi di sisi lain,
penafsiran berfungsi untuk membantu menjelaskan hukum Islam (fiqh), dengan
mengutip pengetahuan asbâb al-Nuzûl, dan lain-lain.
Kata Kunci: Al-Ghazâlî, Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî, Penafsiran Terhadap al-
Qur`ân.
-
viii
ملخص البحث
ِف ىذه الدراسة ، قام املؤلف بتحليل كتاب اإلمام الغزايل تأليف الرحياين الذي يستخدم مرجعا لوصف منهجية التفسري اليت تركز على جانب الذكر. تستخدم ىذه الدراسة املنهج الوصفي النوعي
وم التفكري مع البحث املستمد من االدب. عالوة على ذلك ، ِف ىذه الدراسة توضح كيف مفهمن الغزايل ِف كتاب تفسري الغزايل؟ تفسر العديد من آيات القرآن مشكلة الذكر. سيتم إجراء ىذا البحث مع اختيار آيات من القرآن الكرمي اليت تناقش موضوع الذكر. ِف اآللية ، مت تفسري كل آية
الواردة ِف تعليقات صراحة أو ضمنًيا باستخدام املصطلح "ذكر" ، وفًقا لطريقة تفسري الغزايلالرحياين. تشري نتائج ىذه الدراسة إَل أن أسلوب تفسري الغزايل تبىن العديد من مفاىيم الصحابة مثل ابن عباس أو ابن مسعود. بينما من خط التابعني ، اتبع الغزايل منوذج التفسري للمجاىد وحسن
وتابعني بقصد شرح اجلملة أو تفسري البصري والقتادة. من ناحية ، عرب الغزايل عن آراء أصدقائوالنص. ولكن من ناحية أخرى ، فإن التفسري يساعد ِف تفسري الشريعة اإلسالمية ، مستشهدا
مبعرفة اسباب النزول وغريىا
الغزالي ، تفسير اإلمام الغزالي ، تفسير القرآن :كلمات مفتاحية
-
ix
Abstract
In this research, I’ve analyzed kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî by al-
Rîhânî that used as a reference to describe the methodology of interpretation that
is focused on the aspect of zikir. This research using descriptive-qualitative
method with library research. Next, how to describe the zikir concept of al-
Ghazali’s perspective in Kitâb Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî? Many verses of the
Qur’an explain the matter of zikir. This research will be conducted with the
selection of verses from the Qur’an that discuss the topic of zikir. In the
mechanism, every verse that explicitly or implicitly uses the terms of zikir has
further interpreted according to the method of al-Ghazâlî’s interpretation which
is contained in the commentary of al-Rîhânî. The results of this study indicate that
the interpretation style of al-Ghazâlî many adopting to the concepts of the
companions such as Ibn ‘Abbâs and Ibn Mas’ûd, while if from the tabi’in path, al-
Ghazâlî followed the interpretation model of Mujâhid, Hasan al-Basri and al-
Qatadah. On the one hand, al-Ghazâlî presented the opinions of the Friends and
Tabiin with the intention to explain the sentence or interpretation of the text. But
on the other hand, the interpretation serves to help explain Islamic law (fiqh),
citing the knowledge of asbâb al-Nuzûl, etc.
Key words: Al-Ghazâlî, Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî, Islamic interpretation of the
Qur`ân.
-
x
PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)
Tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-Latin sebagai berikut:
A. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan Es ث
J Je ج
H Ha dengan garis di bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan Zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
S Es dengan garis di bawah ص
D De dengan garis di bawah ض
T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
-
xi
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh Ge dan Ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ى
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong).
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
--- َ A Fathah
َ--- I Kasra
-
xii
َ--- U Dammah
C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong
Arab Nama Latin Keterangan
ي--- Fathah dan Ya Ai a dan i
و--- Fathah dan Waw Au a dan u
D. Vokal Panjang (Madd)
Arab Nama Latin Keterangan
ى---ا--- Fathah diikuti oleh
alif atau ya Â
a dengan tanda di
atas
و--- Dlammah diikuti
oleh waw Û
u dengan tanda di
atas
ي--- Kasrah diikuti ya Î i dengan tanda di
atas
E. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan ال
ditransliterasikan menjadi -al- baik diikuti oleh huruf syamsiyyah, maupun huruf
qamariyyah. Misalnya الفيل (al-fîl) dan الشمس (al-Syams bukan asy-Syams), al-
Rijâl bukan ar-Rijâl, al-Diwân bukan aḍ-Diwân.
F. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab yang dilambangkan
dengan sebuah tanda ( _ّ__ (, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,
-
xiii
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ة ْور ر tidak الضَّ
ditulis aḍ-Darûrah, melainkan al-Darûrah, demikian seterusnya.
G. Ta Marbûṭah
Berkaitan dengan transliterasi ini, jika huruf ta marbûṭah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh no.1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṭah tersebut
diikuti oleh kata sifat (naʻt) (lihat contoh no.2). Namun, jika huruf ta marbūṭah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh no.3).
Contoh:
No. Kata Arab Transliterasi
ṭarîqah طريقة 1
al-Jâmiʻah al-Islâmiyyah الجامعة اإلسالميّة 2
waḥdat al-Wujûd وحدة الوجود 3
H. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital dikenal, dalam
transliterasi ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî,
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
-
xiv
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan ........................................................................................................... ii
Lembar Pernyataan ........................................................................................................... iii
Kata Pengantar .................................................................................................................. iv
Abstract/abstrak ................................................................................................................ vii
Pedoman Transliterasi (Arab-Latin) .................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................................................. 19
1. Identifikasi Masalah ............................................................................................ 19
2. Pembatasan Masalah ........................................................................................... 20
3. Perumusan Masalah ............................................................................................. 20
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 21
D. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 21
E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 22
F. Metodologi Penelitian ............................................................................................. 26
1. Deskriptif-Kualitatif ............................................................................................ 26
a. Sumber Data .................................................................................................... 30
1. Sumber Primer ............................................................................................. 30
2. Sumber Sekunder ......................................................................................... 31
2. Teknik Pengumpulan Data .................................................................................. 31
a. Studi Literatur (Library Research) ................................................................... 31
1. Metode Dokumentasi ................................................................................... 32
2. Metode Analisis Data ................................................................................... 32
G. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 32
BAB II: LATAR BELAKANG INTELEKTUAL AL-RÎHÂNÎ DAN SEKELUMIT
KITAB TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ.................................................................... 35
A. Sekilas Tentang Al-Rîhânî dan Latar Belakang Intelektualnya .............................. 35
-
xv
B. Sumbangsih pemikiran Al-Rîhanî dan Karyanya ................................................... 36
C. Latar Belakang Intelektual Al-Ghazâlî ................................................................... 37
1. Sumbangsih pemikiran Al-Ghazâlî dan Karya-Karyanya ................................... 37
2. Murid-murid Imâm Al-Ghazâlî ........................................................................... 43
D. Kitab Tafsîr Al-Imâm Al-Ghazâlî ............................................................................ 44
BAB III: TEMA-TEMA UTAMA DALAM KITAB TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ
.......................................................................................................................................... 47
A. Wawasan Islam Tentang Tafsir .............................................................................. 47
1. Pengertian Tafsir ................................................................................................ 47
2. Tafsir dan Perkembangannya ............................................................................. 49
B. Sumber Kumpulan Tafsir Al-Imâm Al-Ghazâlî ..................................................... 53
C. Metodologi/Manhaj Al-Ghazâlî dalam Tafsir Al-Qur’ân ........................................ 61
1. Penafsiran dengan Al-Qur’ân al-Karîm (Tafsîr Qur’ân bi al-Qur’ân / مِ يِ رِ كِ الِ ِآنِ رِ ق ِاالِ ب ِ ) 61
2. Tafsîr Al-Qur’ân dengan Hadîts Nabawî Syarîf ( فِ ي ِرِ الشِ ِيِ وِ ب ِالن ِث ِيِ دِ حِ الِ ب ِ ) ................... 66
3. Tafsîr Al-Qur’ân dengan Pendekatan Pendapat Sahabat dan Tabiin .................... 69
D. Metodologi Tafsîr bi Ra’yi ....................................................................................... 73
1.Pemahaman Tafsîrِbi al-Ra’yi Menurut Al-Ghazâlî ............................................. 73
2.Tafsîr bi al-Ra’yi yang dilarang ............................................................................ 76
E. ِIjtihad Al-Ghazâlî dalam Tafsir ............................................................................... 78
ِ1. Istinbat Hukum Fikih ........................................................................................... 78
ِ2. Istinbat Makna-Makna Isyarat .............................................................................. 81
ِ3. Istinbat Makna-Makna Nasihat ............................................................................ 83
BAB IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN TEMA ZIKIR DALAM AL-QUR’AN DAN
AL-HADITS .................................................................................................................... 85
A. Pengertian Zikir ...................................................................................................... 85
B. Ayat-Ayat Zikir dalam Al-Qur’ân ........................................................................... 88
C. Hadis-Hadis Zikir ................................................................................................... 106
D. Analisis (Pemetaan) Ayat-Ayat Zikir dalam Al-Qur’ân dan Al-Hadîts Berdasarkan
Karya-Karya Al-Ghazâlî ......................................................................................... 111
-
xvi
E. Pembahasan ............................................................................................................ 134
1. Ayat Zikir dengan Al-Qur’ân al-Karîm (Tafsir Qur’ân bi al-Qur’ân) ................. 134
a. Anjuran Berzikir dan Berdoa ........................................................................... 134
b. Zikir Pencegah Kerusakan .............................................................................. 139
c. Zikir Perisai Orang-Orang Takwa ................................................................... 142
d. Derajat Manusia yang Berzikir … .................................................................. 146
e. Zikir Berarti Menanam Tauhid ....................................................................... 150
f. Keutamaan Zikir .............................................................................................. 152
2. Tafsîr Qur’ân dengan Hadîts Nabawî Syarîf ...................................................... 156
3. Tafsîr Qur’ân dengan Pendekatan Pendapat Sahabat dan Tabiin ......................... 160
a. Perintah Zikir ................................................................................................... 160
b. Fadilat Zikir .................................................................................................... 163
c. Zikir sebagai Perenungan Terhadap Penciptaan .............................................. 163
d. Anjuran Berzikir dalam Pelbagai Situasi ........................................................ 168
e. Zikir Merupakan Maqam dan Lisan para Nabi as ............................................ 170
f. Zikir sebagai Pengingat bahwa Allah Selalu Mengawasi Setiap Perbuatan
Manusia ............................................................................................................ 174
g.Zikir Sebagai Komunikasi Antara Pecinta dan
yang Dicintai (al-‘Âsyiq wa al-Ma’syûq) .......................................................... 176
F. Hasil Pembahasan ................................................................................................... 179
G. Kritik atas Pemahaman al-Ghazâlî Terhadap Hadis ................................................ 188
H. Kritik atas Pemikiran al-Ghazâlî Yang Mempengaruhi Gaya
Penafsirannya ......................................................................................................... 190
I. Pujian Ulama Terhadap Al-Ghazâlî ........................................................................ 192
BAB V: PENUTUP ......................................................................................................... 194
A. Kesimpulan............................................................................................................. 194
B. Saran ....................................................................................................................... 196
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 197
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................. 202
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seseorang yang memiliki nama harum berkat sejumlah karyanya yang
mampu mengubah dunia dalam pelbagai bidang kehidupan, tentu sangatlah sulit
untuk kita berikan cap bahwa dia pakar hanya satu bidang saja. Seorang
budayawan, misalnya, ia kerap menciptakan sejumlah karya di bidang humaniora
yang mencakup bidang sastra, sejarah, antropologi, linguistik, dan sebagainya,
sehingga kita sulit untuk menentukan apakah ia seorang sejarawan, sastrawan,
penyair, ataukah seorang linguis.
Barangkali gambaran di atas juga berlaku untuk figur sekaliber Imâm al-
Ghazâlî, yang notabene dianggap sebagai teolog (mutakallim) dan juga pakar etika
(baca: akhlak) yang melahirkan sejumlah magnum opus yang hingga kini
dijadikan rujukan para intelektual muslim di dunia. Tentu agak sulit untuk
berbicara hal-ihwal ketokohan al-Ghazâlî hanya dalam satu bidang tertentu saja.1
Namun demikian, referensi ketokohan beliau dalam bidang tafsir ditengarai masih
kurang dalam khazanah ilmu tafsir di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam penelitian
ini peneliti memfokuskan pandangan al-Ghazâlî dalam konteks tafsir. Sebab,
tidak dipungkiri lagi bahwa al-Ghazâlî sendiri telah memberikan kontribusi besar
dalam bidang tersebut dengan menulis sebuah kitab berjudul Yâqût al-Ta‘wîl
Tafsîri al-Tanzîl, Qânûnu al-Ta‘wîl, Fahmu al-Qur‘ân wa Tafsîru bi al-Ra‘yi min
Ghairi al-Naql (dituangkan dalam Ihyâ` ‗Ulûm al-Dîn).
1 Al-Ghazâlî, Kerancauan Filsafat (Tahafut al-Falasifah) terj. Achmad Maimun,
(Yogyakarta: Forum, 2015), hlm. Xxvii.
-
2
Bukti tambahan guna meneguhkan kapasitas al-Ghazâlî sebagai mufasir,
belakangan ini ditulis oleh Muhammad al-Rîhânî berjudul Tafsîr al-Imâm al-
Ghazâlî, yang diterbitkan oleh Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir pada 2010 silam. Buku
ini adalah karya al-Rîhânî yang di dalamnya termaktub kumpulan penafsiran-
penafsiran al-Ghazâlî terhadap ayat-ayat al-Qur‘ân.
Menurut Quraish Shihab, Tafsir adalah penjelasan tentang maksud firman-
firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.2 Namun demikian, menurut
hemat peneliti pengertian ini belum menemukan maksudnya secara jelas. Tafsir
memiliki kesepadanan dengan arti ―penyingkapan‖ atau ―penjelasan‖ (al-Kasyf
wa al-Ibânah). Sementara itu, dalam ―Lisân al-‗Arab‖ kata ―tafsir‖ berarti
―menyingkap sesuatu yang terselubung‖ (kasyf al-Mughatâ), sehingga tafsir jika
dikaitkan dengan teks, maka yang dimaksud adalah menyingkap sesuatu yang
dikehendaki dari lafaz yang absurd.3
Abû Hayyan mendefinsikan tafsir sebagai ilmu yang menjelaskan
mengenai tata-cara pengucapan al-Qur‘ân, dalalah-nya, hukum-hukumnya yang
bersifat satuan (afrâdiyyah), maupun susunan (tarkîbiyyah), makna-makna yang
dikandung oleh struktur kalimatnya, serta hal-hal yang berkorelasi dengannya.
Istilah teknis di atas mencakup pemaknaan yang bersifat komprehensif seperti
ilmu qirâ‘at, ilmu sastra, dan gramatika bahasa Arab, dalalah hakiki dan majâzi,
nasakh-mansûkh, asbâb al-Nuzûl, dan kisah yang semuanya menjelaskan
kesamaran dalam al-Qur`ân.4
2 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), hlm. 9. 3 Manna‘ al-Qattân, Mabâhits fī Ulûm al-Qur‘ân......., hlm. 316. 4 Jalâl al-Dîn al-Suyûti, Al-Itqân fī ‗Ulûm al-Qur‘ân......, hlm. 759. Baca juga Muhammad
Sayid Jibrîl, Madkhal ilâ Manâhij al-Mufassirîn, (Kairo: al-Risālah, 1987), hlm. 11.
-
3
Penafsiran terhadap al-Qur`ân memiliki peranan yang sangat vital bagi
progresivitas dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu, sangat besar
perhatian para ulama untuk mengeksplorasi dan memahami (verstehen) makna-
makna yang terkandung dalam teks kitab suci ini. Dari situasi ini, kemudian
lahirlah berbagai macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang berbeda-
beda. Hal ini tidak perlu diperdebatkan mengingat penafsir tunggal pada saat al-
Qur`ân diturunkan hanyalah Rasulullah Saw.
Al-Qur`ân yang mulia menegaskan di beberapa ayat, bahwa ia adalah
Kalam Allah yang Maha Agung, yakni bahwa ia bersumber dari Allah Swt dengan
kata-kata yang saat ini dapat kita baca. Rasulullah Saw telah menerima kata-kata
tersebut melalui wahyu untuk membuktikan bahwa ia adalah Kalam (firman)
Allah yang sebenarnya dan bukan hasil karya manusia, al-Qur`ân menantang
manusia untuk menghadirkan, walaupun satu ayat yang serupa dengannya. Hal ini
membuktikan bahwa al-Qur`ân adalah mukjizat yang tak seorang pun sanggup
mendatangkan/membuat satu ayat yang serupa dengannya.
ِدِقنَي أَم ۦفَلَيأتُواْ ِِبَِديث مِّثِلوِ ُىُم ٱلََِٰلُقوَن َغرِي َشيٍء أَمُخِلُقواْ ِمن ِإن َكانُواْ صََٰ
Artinya: ―Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran
itu jika mereka orang-orang yang benar. Ataukah mereka mengatakan: "Dia
(Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman.‖ (QS. al-
Tûr: 34—35).
Sejumlah ayat lainnya tercatat memiliki arti sama (menantang) meskipun
dengan redaksi yang berbeda, seperti dimuat pada surat al-Isrâ ayat 88, surat Hûd
ayat 13, dan surat al-Baqarah ayat 23. Dengan tantangan-tantangannya itu, al-
Qur`ân menegaskan bahwa ia adalah benar-benar Kalam Allah dan ia menjelaskan
di dalam banyak ayatnya, bahwa Muhammad itu adalah seorang rasul dan nabi
-
4
yang diutus Allah Swt. Oleh karena itu, al-Qur`ân merupakan sandaran bagi
kenabian. Namun demikian, kendati al-Qur`ân diturunkan dengan Bahasa arab di
tengah-tengah bangsa Arab, tidak berarti al-Qur`ân dan kandungannya hanya
dikhususkan bagi bangsa tertentu saja. Begitu juga ia tidak mengkhususkan
pembicaraannya kepada satu kelompok saja (seperti kepada kaum Muslim saja),
melainkan ia juga mengarahkan pembicaraannya kepada orang-orang non-
Muslim, sebagaimana ia berbicara kepada kaum muslimin.5 Di antaranya adalah
pembicaraan al-Qur`ân kepada kaum musyrik, Ahlul Kitab, Yahudi, Bani Israil,
dan Nasrani karena ia memuat tujuan utama yang dituju oleh umat manusia
dengan penjelasan yang sempurna (tibyânun li kulli syai). Dalam konteks al-
Qur`ân sebagai penjelas yang meliputi segala sesuatu, Allah ta‘ala berfirman,
―Dan kami turunkan kepadamu al-Kitâb (al-Qur`ân) untuk menjelaskan segala
sesuatu.‖ (QS. al-Nahl ayat 89).6 Kesimpulan dari ayat ini adalah bahwa al-
Qur`ân mengandung kebenaran-kebenaran seperti yang dijelaskan di dalam kitab-
kitab samawi (Taurat, Injil, dan Zabur).
Karena al-Qur`ân tidak hanya dikhususkan untuk bangsa tertentu saja,
maka tidak benar bahwa al-Qur`ân berbicara kepada manusia dengan perkataan
yang tidak jelas dan tidak dipahami. Allah Swt berfirman:
َوَلْو َكاَن ِمْن ِعْنِد َغرْيِ اللَِّو َلَوَجُدوا ِفيِو اْخِتََلفًا َكِثريًا ۚ أََفََل يَ َتَدب َُّروَن اْلُقْرآَن
Artinya: ―Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur‘an?
Seandainya al-Qur‘an itu bukan dari sisi Allah, tentulah merka menaati
pertentangan yang banyak di dalamnya.‖ (QS. al-Nisâ`: 82).
5 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis, 2010), hlm. 54. 6 Amir Syarifuddin, Usûl Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 65.
-
5
Ayat di atas menunjukkan keharusan merenungkan kandungan al-Qur‘ân,
dalam arti memahaminya. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa seandainya ayat-
ayat al-Qur`ân tidak memunyai arti yang dapat dimengerti, tentu perintah untuk
merenungkan dan memikirkan al-Qur`ân itu merupakan sesuatu yang sia-sia
belaka. Dalam konteks ini, dasar kenabian mesti ditetapkan dengan al-Qur`ân
sehingga eksistensi Rasul sebagai petugas yang menjelaskan undang-undang dan
hukum-hukum syariat secara rinci, yang tidak kita temukan dalam makna-makna
lahiriah al-Qur‘ân, di samping menjadi pembimbing untuk memahami
pengetahuan-pengetahuan kitab suci. Allah ta‘ala berfirman:
َ ٱلذِّكرَ ِإلَيكَ ۚ َوأَنَزلَنا... يَ تَ َفكَُّرونَ َوَلَعلَُّهم ِإلَيِهم نُ زِّلَ َما لِلنَّاسِ لِتُبَ نيِّ
Artinya: ―…dan Kami turunkan al-Qur`ân kepadamu agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.‖
(QS. al-Nahl ayat 44).7
ُلو َعَلْيِهْم آيَاتِِو َويُ زَكِّيِهْم َويُ َعلُِّمُهُم اْلِكَتابَ ُهْم يَ ت ْ ِْْْكَم ََ ُىَو الَِّذي بَ َعَث ِف اْْلُمِّيِّنَي َرُسوًًل ِمن ْ َوا
Artinya: ―Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
menyucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmat.‖(QS. al-
Jumu‘ah ayat 2).8
Kedua ayat di atas memberikan pemahaman bahwa hanya Nabi
Muhammad Saw yang berhak menjelaskan bagian-bagian dan detail-detail syariat.
Dialah pengajar yang dipilih Tuhan untuk mengajarkan al-Qur`ân al-Karîm.9
Saat itu, salah satu tugas Rasulullah adalah sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan) kepada sahabat-sahabatnya hal-ihwal arti dan kandungan al-Qur‘ân,
7 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Hidâyah al-Qur‘ân Tafsir Per Kata Tajwid
Kode Angka, (Ciputat Timur: Kalim, 2011), hlm. 273. 8 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Hidâyah al-Qur‘ân Tafsir Per Kata Tajwid
Kode Angka, hlm. 554. 9 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 36—37.
-
6
terlebih ayat-ayat yang tidak dipahami (samar) artinya. Namun, hal ini
berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah Saw. Dalam konteks ini, apabila
pada masa Rasulullah Saw para sahabat mempertanyakan sejumlah persoalan
kepada beliau secara langsung, maka pasca wafatnya Rasul Saw mereka pun mesti
melakukan ijtihad. Khususnya, mereka yang mempunyai kemampuan seperti
Sayyidina ‗Alî bin Abî Tâlib, Ibnu ‗Abbâs, Ubay bin Ka‘ab, dan Ibnu Mas‘ûd.
Selanjutnya, tokoh-tokoh tafsir dari kalangan Sahabat tersebut di atas
mempunyai murid-murid dari para Tabiin, khususnya di tiap kota tempat mereka
tinggal, sehingga memicu kelahiran sejumlah tokoh tafsir baru dari kalangan
tabiin di tempat-tempat tersebut mereka di antaranya adalah: (a) Sa`îd bin Jubair,
Mujâhid bin Jabr, di Mekkah (berguru kepada Ibnu ‗Abbâs); (b) Muhammad bin
Ka‘ab, Zaid bin Aslâm, di Madinah (berguru kepada Ubay bin Ka‘ab); dan (c) al-
Hasan al-Basrî, Amîr al-Sya‘bi di Irak (berguru kepada ‗Abdullâh bin Mas‘ûd).
Pada perkembangan selanjutnya, sejalan dengan kemajuan masyarakat
maka berkembang besar pula peranan ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-
Qur`ân, sehingga bermunculan pelbagai kitab atau produk penafsiran yang
beragam ciri khasnya. Keberagaman tersebut, diperkuat dengan anggapan bahwa
eksistensi al-Qur‘ân seperti diumpamakan oleh Quraish Shihab sebagai ―permata
yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang
masing-masing.‖10
Artinya, kondisi objektif dari kata-kata dalam al-Qur‘ân
memang berpeluang bagi beragamnya penafsiran mengingat kerap ditemukannya
satu kata yang mempunyai banyak arti.
10 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‘ân; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hlm. 3.
-
7
Menurut Izzan, para ahli bahasa sepakat bahwa bahasa Arab itu sangat
kaya makna. Bahkan, satu kata saja kerap mengalami perkembangan arti yang
sangat banyak.11
Dengan demikian, penafsiran tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang, kecuali bagi para mufasir yang benar-benar telah memiliki
kompetensi dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan seluk-beluk ilmu tafsir.
Seorang mufasir yang hendak menafsirkan al-Qur`ân, maka ia terikat
dengan kode etik dan persyaratan tertentu. Dengan bahasa lain, ia memerlukan
sebuah regulasi dengan sejumlah syarat dan etika. Hal ini dimaksudkan agar
produk tafsirnya dapat dipertanggungjawabkan dan terhindar dari kesalahan serta
penyimpangan dalam penafsiran. Dalam beberapa literatur kitab tafsir, para ulama
telah memformulasikan kaidah-kaidah penafsiran dan memberlakukan syarat-
syarat yang ketat bagi orang yang melakukan penafsiran terhadap al-Qur`ân.
Dalam konteks penelitian ini, ayat-ayat al-Qur‘ân yang membahas seputar zikir
akan menjadi perhatian utama.
Konsep zikir memiliki makna yang sangat mendalam dan melampaui dari
tafsir biasa. Secara leksikologis12
, zikir berarti ingat, renungan, pengajaran,
menyebut, memuji, menyucikan, atau mengagungkan.13
Dalam pandangan Ibn
Mundzȋr, zikir berarti memelihara atau menjaga sesuatu dengan cara menyebut
11 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), hlm. 50. 12 Cabang linguistik yang menyelidiki kosa kata dan maknanya atau maksud di dalam
kata tersebut, lihat KBBI V oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud-RI. 13 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), hlm. 512; Lihat juga, Mawardi Labay El-Sulhani, Zikir dan Do‘a Dalam Kesibukan,
(Jakarta: Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI,
1992), hlm. 15; Baca juga Joko S. Kahhar & Gilang Cita Madinah, Berzikir kepada Allah Kajian
Spiritual Masalah Zikir dan Majelis Zikir, (Yogyakarta: Sajadah_press, 2007) hlm. 10.
-
8
atau mengingatnya.14
Zikir juga bisa berarti menyebut nama Allah dengan
membaca tasbîh, tahlîl, tahmîd, taqdîs, takbîr, hauqoalah, dan membaca doa
mastûr, yaitu doa-doa yang diterima dari Nabi Muhammad Saw.15
Menurut Abû al-Qâsim al-Qusyairî (w. 465 H.) zikir merupakan bagian
rukun yang kokoh sekaligus menjadi pilar (penopang) dalam meningkatkan jalan
menuju kebenaran Allah. Seseorang tidak akan sukses menempuh jalan menuju
Allah kecuali melakukan zikir secara kontinu kepada-Nya. Zikir menurutnya
terbagi menjadi dua, pertama, zikir lisan, dan kedua, zikir hati (qalb). Jika
seseorang ingin membatasi salahsatunya, maka yang lebih utama adalah zikir hati,
namun idealnya adalah memadukan zikir lisan dan hati semata-mata ditujukan
karena Allah, terlepas itu dianggap pamer (riyâ‘) atau pun tidak.
Zikir kepada Allah dalam hati merupakan ―pedang‖ para murid yang
dengannya bisa membunuh musuh-musuh mereka dan mampu menolak
marabahaya yang menimpa mereka.16
Dzû Nûn al-Misrî mengatakan, ―siapa yang
zikir kepada Allah secara hakikat (yaitu zikir sempurna dengan melarutkan
dirinya pada Zat yang diingat), ia akan mencapai kondisi ekstase, hingga
melupakan segala sesuatu (selain Allah), dan Allah menjamin segala sesuatu
(yang dilalaikan) itu dengan pengganti.‖17
14 Ibn Mundzîr, Lisân al-‗Arab, (Bairut: Dâr al-Ma‘ârif, 1990), Jilid III , hlm.1507—
1509. 15 Sudirman Tebba, Nikmatnya Zikir dan Doa, (Ciputat: Kalam Pustaka, 2004), hlm. 07. 16 Abî al-Qâsim ‗Abd al-Karîm Hawâzin bin ‗Abd al-Mâlik al-Qusyairî al-Naisâburî,
Latâ‘if al-Isyârât, (Beirut: Dâr al-Kaf al-‗Ilmiyyah, 1971), Jilid I, hlm. 77—78. 17 Zain al-Dîn Abî al-Qâsim al-Qusyairî, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah, (Kairo: Dâr al-
Jawâmi‘ al-Kalîm, tt.), hlm. 252.
-
9
Al-Ghazâlî, dalam Ihyâ` ‗Ulûm al-Dîn, menyatakan bahwa Allah Swt
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memperbanyak berdoa dan meminta
hanya kepada-Nya, sebagaimana Allah berfirman,
اُْدُعْوِنْ َأْسَتِجْب َلُكمْ
Artinya: ―Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan doa
kalian,‖ (QS. Ghâfir: 60).
Al-Ghazâlî menjelaskan, para ulama yang taat, para pendosa, orang-orang
yang dekat maupun mereka yang jauh kepada Allah Swt sangat dianjurkan untuk
mendekatkan diri, berdoa, serta meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Sebab,
untuk memenuhi keinginan maupun hasratnya, seorang hamba hanya
membutuhkan bantuan dari sisi-Nya, sebagaimana Allah Swt Berfirman:
انِ َع ا َد َذ ِإ اِع َوَة الدَّ ْع يبُ َد ِج رِيٌب ُأ ِنِّ َق ِإ ...َف
Artinya: ―Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,‖ (QS. al-Baqarah: 186).
Dengan demikian, tidak ada amalan maupun ibadah yang lebih baik
daripada berzikir (ingat) kepada Allah ‗Azza wa Jalla, dan menghampiri-Nya
dengan meminta atau mengharapkan bantuan-Nya.18
Sayyid Mahmûd Syukrî al-Alûsî membagi zikir menjadi tiga, yakni
dengan lisan, hati, dan anggota badan (jawârih). Zikir pertama, seperti menyebut
bacaan tahmîd, tasbîh, dan membaca al-Qur‘ân. Kedua, adalah dengan melakukan
refleksi mendalam tentang tanda-tanda yang menunjukan pesan-pesan, janji,
ancaman, sifat-sifat ketuhanan, dan segala rahasia Allah. Ketiga, anggota badan
melakukan amal pebuatan yang diperintahkan dan menghindari segala larangan-
18 Al-Ghazâlî, Ihyâ‘‗Ulûm al-Dîn, Terj. Ibnu Ibrâhîm Ba‘adillâh, (Jakarta: Republika,
2011), hlm. 279—280. Selanjutnya disebut sebagai: al-Ghazâlî, Ihyâ‘‗Ulûm al-Dîn.
-
10
Nya.19
Salat adalah bentuk komunikasi antara manusia dengan Tuhannya yang
dikategorikan sebagai zikir yang sempurna. Sebab, salat merupakan ibadah yang
mencakup dari ketiga hal di atas. Manusia yang menyibukkan diri untuk
melakukannya akan menghasilkan ketenangan, pengetahuan, dan penglihatan
dalam dirinya.20
Al-Qusyairî dalam kitabnya memaknai zikir sebagai tenggelamnya subjek
(zâkir) pada penyaksian zat yang diingat (disebut), lalu ia sirna ke dalam dekapan
(Wujûd) Zat yang disebut hingga tidak tersisa kesan (efek) yang dizikirkan itu.
Dalam surat al-Baqarah ayat: 152 Allah berfirman:
فَاذُْكُروِن أَذُْكرُْكْم َواْشُكُرْوا ِل َوًَل َتْكُفُرْونِ Artinya: ―Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)
kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku.‖(QS. al-Baqarah: 152).
Mengenai lafaz ― ْفَاذُْكُروِن أَذُْكرُْكم ―diintepretasi menjadi: ― مْ كُ نْ عَ مْ كُ اءِ نَ ف َ دَ عْ ب َ مْ ركُ كُ ذْ ا نَ نَ دِ وْ جُ وُ ِف نْيَ كِ لِ هْ ت َ سْ ا مُ وْ ن ُ وْ كُ ”
(jadikanlah dirimu orang yang sirna dalam wujud kami, maka kami akan
mengingatmu setelah fanamu). Kode interpretasi ayat di atas mengisyaratkan
bahwa pelaku zikir hendaknya melepas segala atribut materialnya (yang menjadi
tabir antara dirinya dengan Allah), sehingga ia akan larut dan menyatu dalam
asma Allah. Ketika subjek zikir telah mencapai kondisi kefanaannya maka ia
berada dalam ingatan Allah.21
19 Sayyid Mahmûd Syukrî al-Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma‘âni fî Tafsir al-Qur‘ân al-
‗Adzîm wa Sab‘i al-Matsâni, (Beirut: Ihyâ‘ Turâts al-‗Arâbî, tt.), jilid II, hlm. 19—20. 20 R. W. J Austin dkk, Salat dan Perenungan (Dasar–dasar Kehidupan Ruhani Menuurut
Ibnu `Aràbi), (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2001), cet 1, hlm. 36—37. 21 Abî al-Qâsim ‗Abd al-Karîm Hawâzin bin ‗Abd al-Mâlik al-Qusyairî al-Naisâburî,
Latâ‘if al-Isyârât....., Jilid I, hlm. 78.
-
11
Pada sebuah ayat yang berbeda, Allah juga berfirman dalam QS. al-
Dzâriyât 16:
ِلَك ُُمِسِننيَ ... ِإن َُّهم َكانُواْ قَبَل ذََٰ
Artinya: ―Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang
yang berbuat kebaikan.‖(QS. al-Dzâriyât: 16).
Ayat ini kemudian ditafsiri menjadi: ― امً ائِ وا دَ انُ بَ مْ هُ ن َّ كِ لَ ا وَ تً ق ْ ا وَ وْ ان ُ كَ “ Artinya:
―Mereka adalah waktu, tetapi mereka tampak selamanya‖. Interpretasi ayat di
atas menjelaskan bahwa mereka adalah waktu, artinya mereka terikat oleh
berbagai peristiwa (baik-buruk) yang silih berganti terjadi pada dirinya, namun
mereka tetap tampak (eksis) selamanya karena kebaikannya. Ayat kedua memiliki
relasi dengan ayat sebelumnya (yang menjelaskan zikir) karena adanya tujuan
zikir itu untuk menempa seseorang dalam menempuh jalan Allah agar menjadi
pribadi ihsan (mukhsinîn). Dan orang-orang yang berzikir adalah mereka yang
telah siap mengejawantahkan asma-asma baik Tuhan pada dirinya dalam
menjalani kehidupan.
Terdapat perbedaan pandangan dalam melakukan interpretasi ayat di atas.
Menurut ahli ibarat (frasa), kata ―fadzkurûnî‖ dihubungkan dengan kata
―muwâfaqât‖ yaitu sesuatu yang mencocoki dengan kehendak orang yang zikir,
dan kata ―adzkurkum‖ dikorelasikan dengan kemuliaan atau martabat yang
diperoleh dari Allah. Hal ini berbeda menurut cara pandang ahli isyarat yang
menghubungkan kata ―fadzkurûnî‖ dengan ―tarku kulli hadzin‖ anjuran untuk
meninggalkan sesuatu yang bersifat pragmatis (keuntungan dunia), dan kata
―adzkurkum‖ dikaitkan dengan kehendak Tuhan dalam melaksanakan haknya
-
12
setelah pelaku zikir mencapai kondisi kefanaan.22
Orientasi zikir kepada Allah
dalam isyarat yang tersirat dalam tafsir tersebut adalah memutus mata-rantai
ketergantungan dengan selain Allah melalui zikir kepada-Nya secara konstan dan
kontinu, sehingga Allah akan mengingatnya dengan sifat-sifat hakiki-Nya.
Penafsiran lain tentang zikir adalah mahabbah. Allah menganjurkan bagi
manusia agar banyak melakukan zikir, dan banyak berzikir mengindikasikan
bahwa dirinya berada dalam kondisi ingat dan ingatan cenderung menghantarkan
seseorang untuk menyebut objeknya. Selain itu, menurut Nâsiruddîn al-Tûsî, salah
satu faktor tercapainya kesempurnaan manusia adalah cinta. Seseorang tidak akan
dapat menggapai kesempurnaan tanpa eksistensi yang lain. Dalam konteks ini,
diperlukan sebuah ikatan yang menyatukan segenap manusia dalam proses
riyâdhah-nya. Karena secara fitrah manusia melangkahkan kakinya menuju
kesempurnaan, maka mereka pasti merindukan ikatan tersebut. Menurut al-Tûsî,
kerinduan terhadap ikatan semacam ini disebut sebagai cinta. Sebab, hakikat cinta,
menurutnya, adalah kehendak untuk menyatu dengan sesuatu.
اذُْكُروا اللََّو ذِْكًرا َكِثريًا
Artinya: ―Ingatlah kepada Allah dengan menyebut (nama-Nya) sebanyak-
banyaknya‖. (QS. al-Ahzâb:41).
Dengan perumpamaan berdasarkan hadis Nabi, al-Ghazâlî dalam Ihyâ‘
‗Ulûm al-Dîn mengutip redaksi,
ِف اْلَغاِفِلنْيَ َكَمَثِل الشََّجرَِة الَْْضرَاِء ِفْ َوَسِط الشََّجِر الَِّذْي َقْد ُُتَاتَّ وَذاِكُر اهلِل
22 Abî al-Qâsim ‗Abd al-Karîm Hawâzin bin ‗Abd al-Mâlik al-Qusyairî al-Naisaburî,
Latâ‘if al-Isyârât....., Jilid I, hlm.78.
-
13
Artinya: ―Orang yang berzikir kepada Allah di tengah komunitas orang-
orang yang lalai berzikir sama seperti pohon hijau di tengah-tengah pepohonan
yang layu dan kering‖.23
Subjek zikir yang selalu ingat dan menyebut sesuatu mengindikasikan
bahwa dirinya sedang berada dalam situasi mahabbah. Oleh karena itu, zikir
berarti juga mahabbah. Interpretasi ini merupakan isyarat yang disinyalir kuat
oleh penafsir berdasarkan hadis ― هُ رَ كْ ذِ رَ ث َ كْ اَ أً يْ شَ بَ حَ أَ نْ مَ ‖. Artinya, ―Orang yang
mencintai sesuatu, banyak menyebutnya‖. Dalam hal ini, perintah zikir
diidentifikasi sebagai perintah untuk mahabbah, sehingga ayat ― َْفاذُْكُروِن أَذُْكرُْكم‖
dalam tafsir diinterpretasikan menjadi ―ahibbûni uhibbukum atau ahbibnî
uhibbuka‖ yang berarti ―Cintailah aku maka aku akan mencintamu‖.24
Zikir memiliki beberapa implikasi, dalam artian ada konsekuensi yang
didapatkan oleh pelaku zikir tergantung dari motivasinya. Allah akan membalas
segala sesuatu pada manusia yang berzikir kepada-Nya, sesuai motif (niat) atau
kecenderungan cita-citanya. Dalam latâ‘if al-Isyârât, misalnya, al-Qusyairî
menyebutkan (1) ―Siapa yang zikir kepada-Ku dengan penuh rendah hati, maka
aku akan mengingatnya dengan keutamaan. (2) siapa yang menyebut-Ku dengan
hatinya, maka aku menyebutnya dengan hakikat permohonannya, (3) siapa yang
zikir kepada-Ku penuh dedikasi, maka Aku akan mengingatnya dengan
kemudahan, kedekatan dan kesempurnaan nikmat, (4) siapa yang zikir kepada-Ku
secara sungguh-sungguh dan susah payah, maka Aku akan mengingatnya dengan
23 Al-Ghazâlî, Ihyâ‘‗Ulûm al-Dîn, hlm. 282. 24 Abî al-Qâsim ‗Abd al-Karîm Hawâzin bin ‗Abd al-Mâlik al-Qusyairî al-Naisaburî,
Latâ‘if al-Isyârât........, Jilid I, hlm.78.
-
14
dermadan pemberian, (5) siapa yang mengingat-Ku dengan rasa kekaguman,
maka Aku akan mengingatnya dengan hakikat cinta, dan seterusnya. Berdasarkan
ragam motivasi zikir di atas, akhirnya para ulama menganjurkan bahwa
melakukan zikir harus dikaitkan dengan kepatuhan atau ketaatan terhadap Allah‖.
Sehubungan dengan makna zahir dan batin dalam konteks tafsir, al-
Ghazâlî memberi tanggapan terhadap sebagian orang yang mengkritik corak
tafsir. Menurut beliau, orang yang mengatakan bahwa al-Qur‘ân tidak mempunyai
pengertian lain selain tafsiran zahirnya saja, itu artinya sama saja dengan
mencerminkan kedangkalan dirinya. Dengan kata lain, dia menganggap dirinya
yang benar padahal dia salah meletakkan orang lain sama dengan dirinya.
Pernyataan al-Ghazâlî itu dapat dipahami mengingat dalam menafsirkan ayat al-
Qur‘ân tidak cukup hanya mengetahui makna zahir saja, melainkan juga
memerlukan makna batin, karena al-Qur‘ân disamping mempunyai makna zahir
juga mempunyai makna batin, seperti telah dijelaskan sebelumnya.25
Al-Ghazâlî berpendapat, bahwa antara makna esoteris (bâtin) al-Qur`ân
dan makna eksoterisnya (zâhir) tidaklah saling bertentangan. Makna esoterik
dipandangnya sebagai puncak pencapaian dan kesempurnaan dari makna
eksoteris. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika al-Ghazâlî dinilai oleh banyak
kalangan sebagai tokoh yang berjasa besar dalam mengintegrasikan antara
dimensi eksoteris ajaran Islam dengan dimensi esoterisnya. Dalam konteks ini,
25 Kategorisasi makna al-Qur‘ân secara eksoteris (zâhir) dan esoteris (bâtin) merupakan
konsep yang mendasar dalam tradisi tafsir-sufistik. Tradisi ini, baik itu sufi nazârî maupun isyârî
berpangkal dari pemahaman bahwa al-Qur‘ân memiliki beberapa lapis makna. Dalam konteks ini,
manusia berpotensi dalam menyingkap makna tersebut di mana tugas penafsiran merupakan suatu
aktivitas yang tidak terbatas. Lih: Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on the Qurʼân in
Classical Islam (London: New York: Routledge, 2006), hlm 7.
-
15
menurut Madjid, al-Ghazâlî sangat berjasa dalam menstabilkan pemahaman umat
kepada agamanya.26
Selanjutnya, al-Ghazâlî juga secara tersirat menyatakan persyaratan yang
mesti diperhatikan bagi siapa saja yang hendak menafsirkan ayat al-Qur‘ân.
Sebagaimana dipaparkan oleh Abd Wahid, menurut al-Ghazâlî,
―Orang-orang yang menyatakan dirinya bisa dan memiliki pemahaman yang baik terhadap makna-makna yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-
Qur‘ân tanpa terlebih dahulu memperhatikan secara sungguh-sungguh
tafsiran secara zahiriyah, mereka ini menurut al-Ghazâlî diibaratkan
seseorang yang mengaku bisa memasuki sebuah rumah tanpa terlebih
dahulu melalui pintunya, atau bagaikan orang yang bisa memahami
maksud ungkapan dalam bahasa Turki padahal dia sendiri tidak mengerti
bahasa Turki itu sendiri‖.27
Lebih lanjut, Abd Wahid memaparkan bahwa penafsiran secara zahir perlu
diakui dan mendapat perhatian. Bahkan, pengertian ayat-ayat al-Qur‘ân secara
zahir merupakan persyaratan yang harus dipatuhi agar mendapatkan pengetahuan
tentang makna dari ayat-ayat yang tersembunyi agar lebih mendalam. Dengan
kata lain, dalam sudut pandang al-Ghazâlî, seseorang akan dianggap layak setelah
menyimpulkan dan mengeluarkan pengertian ayat-ayat al-Qur‘ân secara isyârî,
apabila telah menguasai sepenuhnya pengertian dan tafsiran ayat secara zahir.28
Allah Swt berfirman:
َيْسَمُعونَ ًَل آَذانٌ َوََلُمْ ِِبَا يُ ْبِصُرونَ ًَل َأْعنُيٌ َوََلُمْ ِِبَا يَ ْفَقُهونَ ًَل قُ ُلوبٌ ََلُمْ َواإلْنسِ اِلِْنِّ ِمنَ َكِثريًا ِلََِهنَّمَ َذَرْأنَا َوَلَقدْ اْلَغاِفُلونَ ُىمُ أُولَِئكَ َأَضل ُىمْ َبلْ َكاْلنْ َعامِ أُولَِئكَ ِِبَا
26 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.
35. 27 Wahid Abd. (2010), Tafsir Isyari dalam Pandangan Al-Ghazâlî, Jurnal Ushûluddin,
Vol. XVI No. 2, hlm. 133. Selanjutnya disebut sebagai: Wahid Abd., Tafsir Isyari dalam
Pandangan Al-Ghazâlî. 28 Wahid Abd, Tafsîr Isyârî dalam Pandangan Al-Ghazâlî, hlm. 133.
-
16
Artinya: ―Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.‖ (QS. al-A‘râf:
179).
Menanggapi ayat di atas, Tabâtabâ‘î menjelaskan bahwa pada saat
merenungi ayat-ayat mulia itu, sepintas kilas ayat yang berbunyi, ―janganlah
kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun‖, tampak oleh kita bahwa ayat itu
melarang penyembahan berhala. Namun, setelah kita renungkan secara lebih
mendalam, akan tampak oleh kita bahwa ayat itu melarang penyembahan selain
Allah. Apabila direnungkan lebih mendalam lagi, maka akan tampak oleh
seseorang bahwa ia melarang dari penyembahan terhadap diri-sendiri dengan jalan
mengikuti hawa nafsu. Adapun jika kita lebih perdalam lagi, maka akan
tampaklah larangan melupakan Allah dan berpaling kepada selain-Nya.29
Penahapan di atas, yakni munculnya makna awal dari suatu ayat, lalu
muncul makna yang lebih luas, dan begitu seterusnya—berlaku bagi semua ayat
al-Qur‘ân tanpa terkcuali. Dengan mmahami masalah ini, maka jelaslah maksud
dari sabda Nabi Saw dalam kitab hadis dan tafsir yang berbunyi, ―Sesungguhnya
al-Qur‘ân itu mempunyai arti lahir dan batin. Dan batinnya terdiri atas satu
sampai tujuh arti.‖30
Atas dasar inilah, al-Qur‘ân dikatakan mempunyai makna zahir dan makna
batin, dan kedua makna tersebut sama-sama merupakan maksud dari ayat-ayat
29 Sayyid M. H. Tabâtabâ‘i, Memahami Esensi al-Qur‘ân (Jakarta: Lentera, 2000), hlm.
35. Selanjutnya disebut sebagai, Sayyid M. H. Tabâtabâ‘i, Memahami Esensi al-Qur‘ân. 30 Lih: Sayyid M. H. Tabâtabâ‘i, Memahami Esensi al-Qur‘ân.
-
17
yang bersangkutan. Hanya saja, keduanya terjadi secara memanjang, bukan
melebar, karena maksud makna lahir tidak menafikan maksud makna batin, dan
maksud makna batin tidak menafikan maksud makna zahir. Dengan demikian,
dari pemaparan di atas kiranya terdapat gambaran bahwa Imâm Ghazâlî menaruh
perhatian serius pada disiplin ilmu tafsir. Hal inilah yang menjadi salah satu
motivasi al-Rîhânî dalam memublikasikan karyanya yang berjudul Tafsîr al-Imâm
al-Ghazâlî.31
Tentang kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî, penulisnya yakni al-Rîhânî,
dilatarbelakangi oleh tiga motivasi, yakni (a) motivasi umum ( عُ افِ وَ دَ َِ امَّ عَ ), (b)
motivasi khusus ( عُ افِ وَ دَ َِ يَ اتِ ذَ ), dan (c) motivasi tematik ( عُ افِ وَ دَ َِ يَّ عِ وْ ضُ وْ مَ ).32 Motivasi
umumnya berangkat dari upaya menghimpun kitab-kitab turâts para ulama
terdahulu, motivasi khususnya berpijak dari pribadi Rihani yang sudah sejak dini
mencintai keilmuan Islam, dan terakhir, motivasi tematiknya berpangkal dari
ketokohan Imam al-Ghazâlî dalam kapasitasnya sebagai mufasir produktif yang
andal dalam segala bidang: fikih, teologi, tasawuf, dan tafsir. Maka, tidak heran
jika Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî memuat tafsir al-Qur‘ân secara umum. Dalam
31 Sebuah tinjauan tafsir yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Dâr al-
Salâm, Kairo, pada 2010. Buku ini menyajikan keluasan penjelasan dengan metode ijmâli, yaitu
hanya terbatas pada makna-makna secara global, dan tidak sampai pada pembahasan aspek lainnya
semisal pembahasan bahasa, asbâb al-Nuzûl, dan sebagainya. Selain itu, Rîhânî juga menggunakan
metode tahlîlî di mana keseluruhan tafsir dilakukan secara tertib dari surat al-Baqarah sampai
dengan surat al-Ikhlâsh. Berbeda dengan Rîhânî, penelitian ini dilakukan dengan membatasi
pemilihan ayat-ayat al-Qur‘ân yang khusus membahas seputar tema-tema zikir. Karya Muhammad
al-Rîhânî tersebut merupakan bukti tambahan guna meneguhkan kapasitas al-Ghazâlî sebagai
mufasir. 32 Al-Rîhânî, Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2010), hlm. 9—10. Teks
aslinya termaktub dalam Muqaddimah Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî tersebut.
-
18
konteks penelitian ini, kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî dijadikan acuan sebagai
metodologi tafsir yang difokuskan pada aspek zikir.
Selanjutnya, bagaimana menyingkap konsep zikir perspektif al-Ghazâlî
yang diuraikan dalam Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî? Sebagaimana telah
dideskripsikan sebelumnya, bahwa banyak ayat-ayat al-Qur‘ân yang menjelaskan
ihwal zikir. Dikarenakan belum maraknya pemahaman serta kajian ilmiah
terhadap analisis mengenai ayat-ayat zikir tersebut, maka dalam hal ini diperlukan
adanya penafsiran lebih mendalam guna menyingkap konsep zikir dalam
perspektif al-Ghazâlî dengan acuan kitab tafsir al-Rîhânî. Pengkajian akan
dilakukan dengan pemilihan ayat-ayat al-Qur‘ân yang membahas seputar topik
zikir. Dalam mekanismenya, setiap ayat yang secara eskplisit maupun implisit
menggunakan term-term zikir akan ditafsir-jelaskan lebih jauh sesuai metode
tafsir al-Ghazâlî yang termaktub dalam kitab tafsir al-Rîhânî. Hal ini berangkat
dari harapan, bahwa melalui penelitian ini kiranya akan ditemukan bagaimana
zikir dalam al-Qur‘ân perspektif al-Ghazâlî .
Dengan demikian, penelitian ini perlu didukung untuk dapat menyingkap
bagaimana pemaknaan ayat-ayat zikir dalam al-Qur‘ân dan hadis melalui metode
tafsir al-Ghazâlî dengan mengacu pada kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-
Rîhânî. Selanjutnya, bagaimana penjelasan konsep zikir al-Ghazâlî yang
termaktub dalam kitab-kitab al-Ghazâlî lainnya? pertanyaan tersebut akan
dirangkai dalam suatu penelitian yang berjudul ―Analisis Ayat-Ayat Tentang Zikir
Dalam Tafsîr Al-Imâm Al-Ghazâlî Karya Al-Rîhânî‖.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
-
19
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalahnya
dengan sejumlah pernyataan berikut:
a. Belum maraknya pemahaman serta kajian ilmiah terhadap analisis
mengenai ayat-ayat zikir, sehingga diperlukan adanya penafsiran
lebih mendalam guna menyingkap konsep zikir dalam perspektif
al-Ghazâlî dengan acuan kitab tafsir karya al-Rîhânî. Dengan
demikian, penelitian ini akan dilakukan dengan pemilihan ayat-
ayat al-Qur‘ân dan hadis yang membahas seputar topik zikir.
b. Kurangnya pembahasan ihwal ketokohan al-Ghazâlî dalam konteks
tafsir. Padahal, al-Ghazâlî sendiri telah memberikan kontribusi
besar dalam bidang tersebut dengan menulis sebuah kitab berjudul
Yâqût al-Ta‘wîl Tafsîri al-Tanzîl, Qanûnu al-Ta‘wîl, Fahmu al-
Qur‘ân wa Tafsîru bi al-Ra‘yi min Ghairi al-Naql (dituangkan
dalam Ihyâ` ‗Ulûm al-Dîn). Dengan mengacu kepada Kitâb Tafsîr
al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî kiranya akan semakin
megukuhkan ketokohan Imâm al-Ghazâlî sebagai mufasir.
Dalam tesis ini, pembahasan berada dalam ruang lingkup yang terkait
dengan bagaimana tema-tema zikir yang disajikan dalam al-Qur‘ân dianalisis
melalui metode tafsir al-Ghazâlî yang mengacu kepada kitab Tafsîr al-Imâm al-
Ghazâlî karya al-Rîhânî. Dengan demikian, tesis ini akan menyingkap bagaimana
zikir dalam al-Qur‘ân perspektif al-Ghazâlî dengan studi analisis ayat-ayat zikir
-
20
yang metodenya merujuk pada kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî
yang belum ada dan juga belum dikembangkan oleh para peneliti sebelumnya.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka inti pembahasan tesis ini
peneliti batasi pada analisis ayat-ayat zikir dalam al-Qur‘ân dan hadis
berlandaskan pada metode tafsir al-Ghazâlî yang mengacu kepada kitab Tafsîr al-
Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî. Kehadiran penelitian ini sekaligus hendak
mempertegas relevansinya dengan konsep zikir al-Ghazâlî yang terdapat dalam
kitab-kitab tafsirnya.
3. Perumusan Masalah
Dengan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, penelitian ini
akan menjawab pertanyaan:
a. Bagaimanakah aspek zikir dalam kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya
al-Rîhânî?
b. Bagaimanakah penjelasan ayat-ayat al-Qur‘ân dan hadis terkait zikir
mengacu kepada kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Mendeskripsikan aspek zikir dalam kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya
al-Rîhânî,
2. Mendeskripsikan ayat-ayat al-Qur‘ân dan hadîs terkait zikir mengacu
kepada kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî,
-
21
3. Adapun tujuan akademis dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan
karya dalam bidang penelitian ilmu tafsir sekaligus sebagai salah satu hasil
sumbangsih pemikiran dari proses pembelajaran yang telah ditempuh.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi penelitian tafsir hadis.
2. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan khazanah
intelektual tentang zikir dalam corak metode tafsir al-Ghazâlî melalui kitab
Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî.
3. Penelitian ini diharapakan dapat dijadikan sumber/rujukan penulis lain
dalam penelitian yang berbeda.
E. Tinjauan Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada penelitian yang memiliki
kesamaan dengan judul penelitian dan permasalahan yang penulis ajukan.
Meskipun ada beberapa literatur yang berkaitan tentang zikir secara umum
seperti:
1. Judul Disertasi: ―Intensitas Zikir, Religiusitas, Makna Hidup dengan
Subjective Well Being Santri Spiritual Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah
oleh Saliyo program studi S3 Psikologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2015. Tujuan penelitian tersebut digambarkan dalam
abstraksinya untuk mengeksplorasi pendidikan spiritual tarekat
Naqsabandiyah Kholidiyah dan pengaruh intensitas zikir yang
-
22
dilaksanakan oleh santri spiritual tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah
terhadap subjective well being dengan memperhatikan variabel religiusitas
dan makna hidup.
2. Judul Tesis: ―Tafsir Imam al-Ghazali (Studi Bidang Akidah, Fiqih dan
Tashawwuf dalam Kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî‖, oleh Abdullah
Mubarok Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Konsentrasi Tafsir Hadis
Program Pascasarjana, Surabaya, 2014. Dalam pembahasan Tesis tersebut
mengkaji kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî yang secara
khusus menganalisa pemikiran al-Ghazâlî yang bersumber dari metode
penafsirannya dalam disiplin ilmu akidah, fiqih dan tashawwuf. Adapun
Tesis yang penulis teliti ini dikhususkan dalam menganalisa penafsiran al-
Ghazâlî tentang ayat-ayat zikir.
3. Judul Tesis: ―Konsep Dzikir Allah dalam Perspektif Al-Qur`ân‖, oleh Toni
Victor Mandawiri Wanggai Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2002. Dalam Tesis ini menjelaskan secara global
bahwa bukan hanya makhluk yang berzikir kepada Khalik, melainkan
Sang Khalik pun senantiasa berzikir kepada makhluk-Nya sebab itu tanda-
tanda daripada Maha Pengasih dan Penyayangnya Khalik (Allah) kepada
makhluk tersebut.
4. Judul Tesis: ―Hubungan antara Dzikir Allah dengan Kesehatan Fisik dan
Kesehatan Mental: Studi Kasus Jamaah Dzikir di bawah Bimbingan
Usatdz Haryono di Kota Bekasi‖, oleh Nur Arfiyah Febrian Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Inti dari Tesis ini
http://tulis.uinjkt.ac.id/detail.jsp?id=644&lokasi=lokalhttp://tulis.uinjkt.ac.id/detail.jsp?id=644&lokasi=lokalhttp://tulis.uinjkt.ac.id/detail.jsp?id=644&lokasi=lokal
-
23
berkesimpulan bahwa manfaat utama zikir kepada Allah adalah untuk
menjaga suasana kejiwaan yang tenang, aman, damai, dan terkendali, serta
dapat menumbuh-buahkan ketenangan batin dan memberi pengaruh pada
peningkatan kekebalan tubuh/fisik manusia tersebut.
5. Judul Tesis: ―Pengaruh Terapi Zikir Asmâ` al-Husnâ dan Kalimat
Thoyyibah untuk Menurunkan Kecemasan dan Nyeri pada Pasien Kanker
Payudara yang Menjalani Program Kemoterapi di RSUD dr. Soehadi
Prijonegoro Sragen‖,oleh Eka Novitayanti, Program Magister
Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017. Intisari dari
Tesis tersebut adalah implementasi zikir sifat-sifat Allah yang termaktub
dalam Asmâ` al-Husnâ sangat berpengaruh kepada tingkat prosentase
menurunnya kecemasan dan nyeri pada pasien tersebut, sehingga lambat
laun akan menyebabkan kesembuhan meski tidak signifikan.
6. Judul Tesis: ―Pengaruh Terapi Zikir Terhadap Penurunan Kecemasan
pada Pasien Kanker‖, oleh Ririn Afrian Sulistyawati, Fakultas Kedokteran
Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2018. Dalam tesis tersebut hampir memiliki keserupaan
dengan tesis di awal, tetapi memiliki perbedaan yang mendasar bahwa
tesis di awal dikhususkan zikir-zikir dengan kumpulan Asmâ` al-Husnâ;
namun tidak demikian dengan tesis yang ditulis oleh Ririn bahwasanya
semua zikir (bukan hanya zikir Asmâ al-Husnâ) mampu menurunkan
tingkat kecemasan pada setiap pasien kanker.
-
24
Penelitian kedua penulis tersebut di atas, merupakan penelitian studi kasus
dengan penelitian lapangan (field research) sebagai konsistensi mereka dalam
bidang non-Humaniora. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
penelitian kepustakaan (library research) dengan langkah-langkah analisis data.
Adapun beberapa buku yang sudah diterbitkan dan hampir memiliki
kesamaan dalam judul yang dikaji oleh peneliti adalah sebagai berikut;
1. ―Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî‖, oleh Muhammad al-Rîhânî, yakni sebuah
disertasi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul yang
sama, oleh penerbit Dâr al-Salâm, Kairo, pada 2010. Buku ini menyajikan
keluasan penjelasan dengan metode ijmâli, yaitu hanya terbatas pada
makna-makna secara global, dan tidak sampai pada pembahasan aspek
lainnya semisal pembahasan bahasa, asbâb al-Nuzûl, dsb. Selain itu,
Rîhânî juga menggunakan metode tahlili di mana keseluruhan tafsir
dilakukan secara tertib dari surat al-Baqarah sampai dengan surat al-
Ikhlâs. Berbeda dengan Rîhânî, penelitian ini dilakukan dengan membatasi
pemilihan ayat-ayat al-Qur‘ân yang khusus membahas seputar tema-tema
zikir.
2. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy yang berjudul Pedoman Zikir
dan Doa. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai hukum dan
kedudukan zikir dalam rangka iman dan islam. Berzikir dan berdoa
-
25
sebagai sarana berkomunikasi dengan Allah Swt, aspek-aspek ibadah dan
keutamaan waktu dalam melakukan zikir.33
3. Javad Nurbakhs judul bukunya Tenteram Bersama Sufi: Zikir, Tafakur,
Murâqabah, Muhâsabah, dan Wirid. Karya ini membahas tentang
keutamaan berzikir, syarat, rukun, dan aturan berzikir serta implikasinya,
kemudian tentang keutamaan doa dan keutamaan berkumpul dalam
kelompok Sufi.34
4. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur‘ân tentang Zikir dan
Doa. Pembahasan dalam karya ini diawali dengan makna dan subtansi
zikir. Kemudian media dan waktu berzikir, bacaan zikir, dampak zikir bagi
kehidupan dan uraian selanjutnya membahas tentang kandungan doa dan
tata cara berdoa dan selawat.35
5. Buku karya Sudirman Tebba, yang berjudul Meditasi Sufistik
menjelaskan tentang zikir dan doa dalam Islam.36
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini memiliki perbedaan pokok
bahasan kendati memiliki kesamaan dalam tema yang dibahas. Misal, berbeda
dengan al-Rîhânî yang membahas keseluruhan topik yang ditafsirkan (tak terbatas
hanya dari aspek zikir saja), penelitian ini dilakukan dengan membatasi pemilihan
ayat-ayat al-Qur‘ân dan hadis yang khusus membahas seputar tema-tema zikir.
Demikian pula halnya dengan karya Sudirman Tebba yang memfokuskan kajian
33 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zikir dan Doa, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2002). 34 Javad Nurbakhsh, Tenteram Bersama Sufi: Zikir, Tafakur, Muraqabah, Muhasabah,
dan Wirid, (Jakarta: Serambi, 2004). 35 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‘ân Tentang Zikir dan Doa, (Jakarta: Lentera Hati,
2008), Cet. III. 36 Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik, (Ciputat: Kalam Pustaka, 2004)
-
26
pada ranah zikir dalam konteks mistisisme, atau Javad Nurbakhs yang
menekankan keutamaan zikir dan implikasinya, atau Quraish Shihab dengan adab
zikir secara umum. Dengan demikian, peneliti belum pernah menjumpai karya
ilmiah dan penelitian-penelitian seperti yang akan peneliti lakukan. Maka, Tesis
dengan judul ―Analisis Ayat-Ayat Tentang Zikir Dalam Tafsîr Al-Imâm Al-
Ghazâlî Karya Al-Rîhânî‖, peneliti ajukan untuk diadakan penelitian lebih lanjut.
Hal ini merupakan kemurnian dalam Tesis ini, karena belum ada yang membahas
dalam penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan zikir yang
merujuk kepada Kitâb Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî yang ditulis oleh al-Rîhânî,
khususnya dalam memahami konsep zikir al-Ghazâlî.
F. Metodologi Penelitian
1. Deskriptif-Kualitatif
Penelitian yang berjudul Analisis Ayat-Ayat Tentang Zikir Dalam Tafsîr Al-
Imâm Al-Ghazâlî Karya Al-Rîhânî ini, menggunakan metode deskriptif-kualitatif.
Menurut Ratna, metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah,
data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang
mendorong metode kualitatif dianggap sebagai multimetode. Sebab, penelitian
pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan.37
Lebih lanjut, Nyoman menjelaskan (menguraikan unsur-unsurnya) ciri
terpenting dalam metode kualitatif, yaitu:38
37 Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 47.
Selanjutnya disebut sebagai: Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra:
dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. 38 Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme, hlm. 47—48.
-
27
1. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan
hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural;
2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian,
sehingga makna selalu berubah;
3. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian. Dalam hal
ini, subjek peneliti sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi
langsung di antara keduanya;
4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara. Sebab, penelitian
bersifat terbuka; dan
5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya
masing-masing.
Sedangkan menurut Moleong,39
penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya; perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan,
wawancara, atau penelaahan dokumen.
Penelitian tafsir hadis sebagai ilmu pengetahuan, pasti memerlukan
perangkat keilmiahan. Untuk itu, pendekatan, metode, objek yang jelas dan
menggunakan langkah-langkah akurat tentu akan menghasilkan aspek keilmiahan.
39 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Offset, 2006), hlm. 6. Selanjutnya disebut sebagai: Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian
Kualitatif.
-
28
Metode penelitian merupakan kerangka aktivitas guna melakukan suatu tindakan
atau penelitian. Dalam melakukan penelitian ihwal Analisis Ayat-Ayat Tentang
Zikir Dalam Tafsîr Al-Imâm Al-Ghazâlî Karya Al-Rîhânî, peneliti melakukannya
dengan metode deskriptif-kualitatif sekaligus riset berbasis pustaka (library
research) yaitu mengumpulkan data baik data primer maupun sekunder dan
meneliti referensi-referensi dengan objek yang dikaji.
Dalam perkembangan metodologi terkini, bidang ilmu humaniora (filsafat,
bahasa, sastra, seni, sejarah, dan agama) serta bidang ilmu sosial sesuai dengan
sifat keilmuannya telah mengembangkan deskriptif-kualitatif sebagai payung
besar metodisnya. Hal yang patut digarisbawahi, paradigma metode penelitian
deskriptif-kualitatif sebenarnya sudah lama dicobakembangkan oleh para ahli
pikir, paling tidak oleh John Dewey ketika menulis How We Think (1930-an).
Definisi metode ini adalah penggambaran secara kualitatif fakta, data, atau
objek material yang bukan berupa rangkaian angka, melainkan berupa wacana
(apa pun itu bentuknya) melalui interpretasi yang tepat dan sistematis.
Penggunaan deskriptif-kualitatif sebagai payung besar metodis amatlah
diperlukan. Sebab, paradigma tersebut sedang berkembang dan dijadikan payung
besar metode di dunia penelitian bidang ilmu humaniora. Di samping itu, terutama
dalam hal analisis data, metode ini dapat meminta bantuan pelbagai metode lain
yang relevan sepanjang dibutuhkan, seperti metode induktif, metode deduktif,
metode historis, metode analitika bahasa, metode grounded, metode
hermeneutika, metode komparatif, metode semiotika, tindakan bahasa (Speech-
act) atau metode framing.
-
29
Menurut Moleong, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati.40
Lebih khusus, Miles dan Huberman
mengemukakan bahwa metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan
yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat, dan/atau organisasi dalam
kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, mendalam, dan dapat
dipertanggungjawabkan.41
Adapun langkah-langkah yang peneliti tempuh dalam melaksanakan
penelitian kualitatif ini adalah sebagai berikut:
(1) menetapkan fokus penelitian: dalam tahap ini peneliti merumuskan
pertanyaan yang berlandaskan pada permasalahan penelitian yang hendak
dicari jawabannya.
(2) menentukan subjek penelitian: subjek penelitian merupakan suatu kesatuan
yang telah ditentukan sejak awal. Subjek penelitian ini merupakan data
primer yang akan diolah berdasarkan fokus penelitiannya.
(3) tahap pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data: tahap
pengolahan dan analisis data dilakukan secara bersamaan dengan proses
penelitian ini. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan kategorisasi
untuk mempermudah pengolahan data. Pengolahan atau analisis data
dilakukan secara bersamaan. Hal ini dilakukan mengingat saat proses
40 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 6. 41 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D, (Bandung:
Alfabeta, 2009), hlm. 16—21.
-
30
analisis data, peneliti kembali membuka referensi-referensi tambahan yang
dianggap perlu lalu mengolahnya kembali.
(4) tahap penyajian data: hasil temuan, pemahaman, serta penelitian ini
disajikan dalam bentuk laporan yang diwujudkan dalam format tesis.
a. Sumber Data
1. Sumber Primer
Sumber data yang dijadikan pokok pada penelitian ini adalah data-data
primer dan data-data sekunder. Primernya sebuah data didasarkan pada
relevansinya dengan konsep zikir sebagai objek yang dikaji. Yang dimaksud
dengan data primer dalam penelitian ini adalah sumber pokok yang diambil dari
karya Muhammad al-Rîhânî berjudul ―Tafsîr Al-Imâm Al-Ghazâlî‖. Kitab yang
dirujuk sebagai data primer ini tidak diambil dari tafsir karya Imâm al-
Ghazâlî secara langsung karena tidak adanya karya khusus hal-ihwal tafsir Imâm
Ghazâlî yang dapat ditemukan dewasa ini. Oleh karenanya, Muhammad al-Rîhânî
mengumpulkan al-Ghazâlî dari karya-karyanya dengan jumlah data tafsir 1303
yang tersebar dalam 41 buku karya al-Ghazâlî . Dari pengumpulan data-data
tersebut tentu sudah mencakup referensi dari buku-buku pokok al-Ghazâlî seperti
Ihyâ‘ ‗Ulûm al-Dîn dan al-‗Arba‘în fi Usûl al-Dîn. Data primer yang akan dikaji
berdasarkan konteks ayat-ayat al-Qur‘ân (sebagai sumber utama penelitian) yang
berhubungan dengan topik zikir.
2. Sumber Sekunder
-
31
Sumber sekunder yaitu sumber yang biasanya telah tersusun dalam
bentuk dokumen-dokumen.42
Biasanya data yang diperoleh dari buku tafsir, hadis,
buku-buku dan dokumentasi yang relevan dengan penelitian ini. Data ini
biasanya digunakan untuk melengkapi data primer, dalam hal ini buku-buku
tafsir, hadis dan buku-buku yang berkaitan dengan konsep zikir dan metode tafsir
al-Ghazâlî .
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Literatur (Library Research)
Studi literatur adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan
mempergunakan bahan-bahan tertulis sebagai dokumen-dokumen bentuk
lainnya seperti buku-buku, koran, majalah, artikel, dan sejenisnya. Dengan kata
lain, tahap pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dengan teknik
catat. Data-data primer dan sekunder dikumpulkan dari buku maupun jurnal-jurnal
penelitian. Data-data yang memberikan sumbangan bagi pendalaman tesis akan
diklasifikasi, sementara data-data yang kurang mendukung digunakan sebagai
informasi tambahan sejauh dibutuhkan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan berbagai metode di antaranya:
1. Metode Dokumentasi
Peneliti menggunakan metode dokumentasi untuk memperoleh data-data
yang diperlukan dalam penelitian ini. Metode dokumentasi adalah pengumpulan
bukti-bukti dan keterangan-keterangan seperti kutipan-kutipan dari buletin, surat
kabar, gambar-gambar, dan lain sebagainya.
42 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif , hlm. 157.
-
32
2. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka selanjutnya peneliti akan menganalisis data
tersebut secara kualitatif. Dari data-data yang telah diklasifikasi kemudian peneliti
akan melakukan telaah dan penyajian. Pertama, memaparkan pemikiran para
tokoh dan ulama terkait dengan topik zikir yang terdapat dalam sumber primer.
Lalu, peneliti akan memetakan ayat-ayat zikir yang mengacu kepada metode tafsir
al-Ghazâlî yang dirujuk melalui karya al-Rîhânî. Setelah itu, peneliti akan
memaparkan hasil analisis untuk mengemukakan benang merah/simpulan dari
keseluruhan penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, peneliti membagi paparan menjadi bab-bab dan
subbab. Secara singkat, tesis ini akan dibagi menjadi lima Bab beserta subbabnya.
Setiap bab dipandang sebagai satu-kesatuan yang dekat. Antara bab sendiri
merupakan satu-kesatuan dalam rangka memecahkan pokok masalah yang telah
ditetapkan sebelumnya. Adapun sistematika penulisan atau pembagian bab tulisan
ini dapat dirinci sebagai berikut:
Bab I, bagian pendahuluan, memuat Latar Belakang Masalah, yang
berisikan informasi tersusun & sistematis berkaitan dengan fenomena dan
problematika yang menarik untuk diteliti; Identifikasi Masalah, berisi proses hasil
pengenalan masalah yang dibenangmerahkan melalui latar belakang masalah;
Rumusan dan Batasan Masalah, rumusan masalah disajikan dalam bentuk
pertanyaan yang dibatasi ruang-lingkupnya. Sehingga, diharapkan penelitian ini
dapat menghasilkan penarikan simpulan yang jelas dan tegas sesuai tujuan
-
33
penelitian; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Kajian Pustaka; Metode
Penelitian yang memuat: 1) Pengumpulan Data yang memuat: (a) Jenis dan
Sumber Data, (b) Teknik Pengumpulan Data; 2) Pengolahan Data: yang memuat
(a) Langkah-langkah Penyajian, (b) Pendekatan/Metode Analisis Data yang
memuat deskripsi singkat mengenai aktivitas memetakan serta menganalisis data.
Selanjutnya, pada Bab II, peneliti akan membahas latar belakang
i