analisis ayat-ayat tentang zikir dalam tafsÎr al imÂm...

220
ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG ZIKIR DALAM TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ KARYA AL-RÎHÂNÎ Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Bidang Tafsir Oleh: KHAIRUL UMAM NIM. 21150340000015 PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG ZIKIR

    DALAM TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ KARYA AL-RÎHÂNÎ

    Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister

    Dalam Bidang Tafsir

    Oleh:

    KHAIRUL UMAM

    NIM. 21150340000015

    PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS

    FAKULTAS USHULUDDIN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1440 H/2019 M

  • ii

  • iii

    PERNYATAAN

    Yang bertandatangan di bawah ini,

    Nama : Khairul Umam

    Nomor Induk Mahasiswa : 21150340000015

    Program Studi : Tafsir Hadis

    Tempat dan Tgl. Lahir : Jakarta, 29 April 1990

    Alamat : Jl. Kapuk Muara Rt. 006/05 No. 12

    Kel. Kapuk Muara Kec. Penjaringan

    Jakarta Utara

    Menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

    ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG ZIKIR

    DALAM TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ KARYA AL-RÎHÂNÎ

    Adalah asli (bukan jiplakan) dan belum pernah digarap oleh penulis/peneliti lain.

    Semua pendapat atau ide orang lain yang diambil dalam tesis ini dilakukan

    melalui langkah-langkah ilmiah dan dicantumkan di dalam daftar pustaka.

    Jakarta, 03 Mei 2019

  • iv

    KATA PENGANTAR

    َماِء بُ ُروحًجا َوَجَعلَ ًرا، تَ َباَرَك الَِّذيح َجَعَل ِف السَّ رًا َبِصي ح ُد لِلَِّو الَِّذيح َكاَن ِبِعَباِدِه َخِبي ح مح َها ِسرَاًجا َاْلَح ِفي حرًا ًرا .َوَقَمرًا ُمِني ح قِّ َبِشي ح ًدا َعبحُدُه ُوَرُسولُُو الَِّذيح بَ َعَثُو بِاْلَح َهُد اَنَّ ُُمَمَّ َهُد اَنح اَل إِلََو ِإالَّ اهلُل وَأشح َوَنِذي حًرا، َأشح

    ًرا. اَللَُّهمَّ َصلِّ عَ قِّ بِِإذحنِِو َوِسرَاًجا ُمِني ح رًاَوَداِعَيا ِإََل اْلَح ِليحًما َكِثي ح ِبِو َوَسلِّمح َتسح دُ .َليحِو َوَعَلى آلِِو َوَصحح ا بَ عح أَمَّSegala puji bagi Allah Swt yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat

    hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang di

    langit, dan dijadikan padanya penerang dan Bulan yang bercahaya. Aku bersaksi

    bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya

    dan Rasul-Nya, yang diutus dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira

    dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dengan izin-Nya, dan cahaya

    penerang bagi umatnya. Ya Allah, curahkan sholawat dan salam bagi nya dan

    keluarganya, yaitu doa dan keselamatan yang berlimpah.

    Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan tesis ini banyak sekali

    mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai

    pihak dan terutama berkah dari Allah swt., rahmat, taufik dan hidayah-Nya,

    penyusunan tesis yang berjudul Analisis Ayat-Ayat tentang Zikir dalam Tafsîr

    Al-Imâm Al-Ghazâlî Karya Al-Rîhânî dapat diselesaikan dengan baik, sehingga

    kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis

    menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh pihak yang

    telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran

    memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga

    kepada penulis selama menyusun tesis. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis

    sampaikan pula kepada:

  • v

    1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc., MA., selaku Rektor UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku penguji I (Dekan Fakultas

    Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pasca Sarjana), Ibu Dr. Wiwi

    Siti Sajaroh, M.A., dan Bapak Dr. Edwin Syarif, M.Ag., selaku penguji II

    yang telah memberikan saran dan masukan komprehensif yang sangat

    membantu serta membangun pemikiran penulis untuk menjadi lebih baik.

    3. Ibu Dr. Sri Mulyati, M.A., dan Bapak Dr. M. Suryadinata, M.A., selaku

    pembimbing yang selalu memberikan didikasinya kepada penulis, bersabar

    memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis berada di bawah

    bimbingannya. Juga melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru,

    sehingga penulis ada gairah semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

    4. Seluruh dosen dan staf Civitas Akademik Fakultas Ushuluddin yang telah

    memberikan didikasinya mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman,

    serta pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan.

    5. Keluarga besar Pondok Pesantren Terpadu Khairul Ummah Khususnya

    istriku tercinta Arnia Kalbu yang sedang mengandung putra kami yang

    ketiga, anak-anakku sayang Kakak Ratu dan Fathimah, serta Abi KH. Oman

    Syahroni (Ayahanda yang mulya) dan Umi tercinta Hj. Haryanti (Ibunda

    tercinta), adinda tersayang Nenk Intan Zakiyyah, Malik, Nenk Nadwah;

    umumnya seluruh dewan guru Khairul Ummah Terpadu spesial thanks to

    Mas Wahyudin, MM (Kepsek MTs Khairul Ummah), Pak Rahmatullah, SE

    (Kepsek MA Khairul Ummah), Bang A. Cecep Damanhuri, M.Pd, Mas

    Tabiin, M.Pd, Bapak Drs. Nur Zabidi, M.Pd dan KH. Mahfud Qâsim, saya

    ucapkan beribu-ribu terima kasih atas nasihat-nasihat dan doanya sehingga

  • vi

    penulis bisa menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-

    besarnya kepada guru besar saya Alm. Abuya KH. Ruyani al-Muktafa,

    berkat ilmu-ilmu beliau lah sehingga tesis ini berjalan dengan lancar

    meskipun banyak rintangan yang sangat berat.

    6. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses

    penyelesaian tesis ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa

    mengurangi rasa terima kasih penulis.

    Harapan penulis semoga tesis ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi

    pembaca dan semoga Allah Swt selalu memberkahi dan membalas semua kebaikan

    pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian tesis ini.

    Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.

    Jakarta , 18 Juli 2019

  • vii

    Abstrak

    Dalam penelitian ini, penulis telah menganalisa kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî

    karya al-Rîhânî yang digunakan sebagai referensi untuk mendeskripsikan

    metodologi penafsiran yang berfokus pada aspek zikir. Penelitian ini

    menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan penelitian yang bersumber dari

    pustaka. Selanjutnya dalam penelitian ini menggambarkan bagaimana konsep

    pemikiran dari al-Ghazâlî dalam kitab tafsîr al-Ghazâlî? Banyak ayat-ayat al-

    Qur`ân menjelaskan masalah zikir. Penelitian ini akan dilakukan dengan

    pemilihan ayat-ayat al-Qur`ân yang membahas tentang topik zikir. Dalam

    mekanismenya, setiap ayat yang secara eksplisit atau implisit menggunakan istilah

    zikir ini, telah ditafsirkan lebih lanjut sesuai dengan metode penafsiran al-Ghazâlî

    yang termuat dalam komentar al-Rîhânî. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

    gaya penafsiran al-Ghazâlî banyak mengadopsi konsep-konsep para Sahabat

    seperti Ibnu `Abbâs dan Ibnu Mas`ûd, sementara jika dari jalur Tabiin, al-Ghazâlî

    mengikuti model interpretasi Mujâhid, Hasan al-Basry dan al-Qatadah. Di satu

    sisi al-Ghazâlî menyampaikan pendapat teman-temannya dan Tabiin dengan

    maksud untuk menjelaskan kalimat atau interpretasi teks. Tetapi di sisi lain,

    penafsiran berfungsi untuk membantu menjelaskan hukum Islam (fiqh), dengan

    mengutip pengetahuan asbâb al-Nuzûl, dan lain-lain.

    Kata Kunci: Al-Ghazâlî, Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî, Penafsiran Terhadap al-

    Qur`ân.

  • viii

    ملخص البحث

    ِف ىذه الدراسة ، قام املؤلف بتحليل كتاب اإلمام الغزايل تأليف الرحياين الذي يستخدم مرجعا لوصف منهجية التفسري اليت تركز على جانب الذكر. تستخدم ىذه الدراسة املنهج الوصفي النوعي

    وم التفكري مع البحث املستمد من االدب. عالوة على ذلك ، ِف ىذه الدراسة توضح كيف مفهمن الغزايل ِف كتاب تفسري الغزايل؟ تفسر العديد من آيات القرآن مشكلة الذكر. سيتم إجراء ىذا البحث مع اختيار آيات من القرآن الكرمي اليت تناقش موضوع الذكر. ِف اآللية ، مت تفسري كل آية

    الواردة ِف تعليقات صراحة أو ضمنًيا باستخدام املصطلح "ذكر" ، وفًقا لطريقة تفسري الغزايلالرحياين. تشري نتائج ىذه الدراسة إَل أن أسلوب تفسري الغزايل تبىن العديد من مفاىيم الصحابة مثل ابن عباس أو ابن مسعود. بينما من خط التابعني ، اتبع الغزايل منوذج التفسري للمجاىد وحسن

    وتابعني بقصد شرح اجلملة أو تفسري البصري والقتادة. من ناحية ، عرب الغزايل عن آراء أصدقائوالنص. ولكن من ناحية أخرى ، فإن التفسري يساعد ِف تفسري الشريعة اإلسالمية ، مستشهدا

    مبعرفة اسباب النزول وغريىا

    الغزالي ، تفسير اإلمام الغزالي ، تفسير القرآن :كلمات مفتاحية

  • ix

    Abstract

    In this research, I’ve analyzed kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî by al-

    Rîhânî that used as a reference to describe the methodology of interpretation that

    is focused on the aspect of zikir. This research using descriptive-qualitative

    method with library research. Next, how to describe the zikir concept of al-

    Ghazali’s perspective in Kitâb Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî? Many verses of the

    Qur’an explain the matter of zikir. This research will be conducted with the

    selection of verses from the Qur’an that discuss the topic of zikir. In the

    mechanism, every verse that explicitly or implicitly uses the terms of zikir has

    further interpreted according to the method of al-Ghazâlî’s interpretation which

    is contained in the commentary of al-Rîhânî. The results of this study indicate that

    the interpretation style of al-Ghazâlî many adopting to the concepts of the

    companions such as Ibn ‘Abbâs and Ibn Mas’ûd, while if from the tabi’in path, al-

    Ghazâlî followed the interpretation model of Mujâhid, Hasan al-Basri and al-

    Qatadah. On the one hand, al-Ghazâlî presented the opinions of the Friends and

    Tabiin with the intention to explain the sentence or interpretation of the text. But

    on the other hand, the interpretation serves to help explain Islamic law (fiqh),

    citing the knowledge of asbâb al-Nuzûl, etc.

    Key words: Al-Ghazâlî, Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî, Islamic interpretation of the

    Qur`ân.

  • x

    PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)

    Tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-Latin sebagai berikut:

    A. Padanan Aksara

    Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

    Tidak dilambangkan ا

    B Be ب

    T Te ت

    Ts Te dan Es ث

    J Je ج

    H Ha dengan garis di bawah ح

    Kh Ka dan Ha خ

    D De د

    Dz De dan Zet ذ

    R Er ر

    Z Zet ز

    S Es س

    Sy Es dan Ye ش

    S Es dengan garis di bawah ص

    D De dengan garis di bawah ض

    T Te dengan garis di bawah ط

    Z Zet dengan garis di bawah ظ

  • xi

    Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

    Gh Ge dan Ha غ

    F Ef ف

    Q Ki ق

    K Ka ك

    L El ل

    M Em م

    N En ن

    W We و

    H Ha ه

    Apostrof ` ء

    Y Ye ى

    B. Vokal

    Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

    vokal tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong).

    Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

    Tanda Vokal

    Arab

    Tanda Vokal

    Latin Keterangan

    --- َ A Fathah

    َ--- I Kasra

  • xii

    َ--- U Dammah

    C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong

    Arab Nama Latin Keterangan

    ي--- Fathah dan Ya Ai a dan i

    و--- Fathah dan Waw Au a dan u

    D. Vokal Panjang (Madd)

    Arab Nama Latin Keterangan

    ى---ا--- Fathah diikuti oleh

    alif atau ya Â

    a dengan tanda di

    atas

    و--- Dlammah diikuti

    oleh waw Û

    u dengan tanda di

    atas

    ي--- Kasrah diikuti ya Î i dengan tanda di

    atas

    E. Kata Sandang

    Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan ال

    ditransliterasikan menjadi -al- baik diikuti oleh huruf syamsiyyah, maupun huruf

    qamariyyah. Misalnya الفيل (al-fîl) dan الشمس (al-Syams bukan asy-Syams), al-

    Rijâl bukan ar-Rijâl, al-Diwân bukan aḍ-Diwân.

    F. Syaddah (Tasydīd)

    Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab yang dilambangkan

    dengan sebuah tanda ( _ّ__ (, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,

  • xiii

    yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal

    ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

    sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ة ْور ر tidak الضَّ

    ditulis aḍ-Darûrah, melainkan al-Darûrah, demikian seterusnya.

    G. Ta Marbûṭah

    Berkaitan dengan transliterasi ini, jika huruf ta marbûṭah terdapat pada kata

    yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

    contoh no.1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṭah tersebut

    diikuti oleh kata sifat (naʻt) (lihat contoh no.2). Namun, jika huruf ta marbūṭah

    tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi

    huruf /t/ (lihat contoh no.3).

    Contoh:

    No. Kata Arab Transliterasi

    ṭarîqah طريقة 1

    al-Jâmiʻah al-Islâmiyyah الجامعة اإلسالميّة 2

    waḥdat al-Wujûd وحدة الوجود 3

    H. Huruf Kapital

    Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital dikenal, dalam

    transliterasi ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

    berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain

    untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama

    diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata

    sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri

    tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî,

    bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

  • xiv

    DAFTAR ISI

    Lembar Persetujuan ........................................................................................................... ii

    Lembar Pernyataan ........................................................................................................... iii

    Kata Pengantar .................................................................................................................. iv

    Abstract/abstrak ................................................................................................................ vii

    Pedoman Transliterasi (Arab-Latin) .................................................................................. x

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

    A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

    B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................................................. 19

    1. Identifikasi Masalah ............................................................................................ 19

    2. Pembatasan Masalah ........................................................................................... 20

    3. Perumusan Masalah ............................................................................................. 20

    C. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 21

    D. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 21

    E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 22

    F. Metodologi Penelitian ............................................................................................. 26

    1. Deskriptif-Kualitatif ............................................................................................ 26

    a. Sumber Data .................................................................................................... 30

    1. Sumber Primer ............................................................................................. 30

    2. Sumber Sekunder ......................................................................................... 31

    2. Teknik Pengumpulan Data .................................................................................. 31

    a. Studi Literatur (Library Research) ................................................................... 31

    1. Metode Dokumentasi ................................................................................... 32

    2. Metode Analisis Data ................................................................................... 32

    G. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 32

    BAB II: LATAR BELAKANG INTELEKTUAL AL-RÎHÂNÎ DAN SEKELUMIT

    KITAB TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ.................................................................... 35

    A. Sekilas Tentang Al-Rîhânî dan Latar Belakang Intelektualnya .............................. 35

  • xv

    B. Sumbangsih pemikiran Al-Rîhanî dan Karyanya ................................................... 36

    C. Latar Belakang Intelektual Al-Ghazâlî ................................................................... 37

    1. Sumbangsih pemikiran Al-Ghazâlî dan Karya-Karyanya ................................... 37

    2. Murid-murid Imâm Al-Ghazâlî ........................................................................... 43

    D. Kitab Tafsîr Al-Imâm Al-Ghazâlî ............................................................................ 44

    BAB III: TEMA-TEMA UTAMA DALAM KITAB TAFSÎR AL-IMÂM AL-GHAZÂLÎ

    .......................................................................................................................................... 47

    A. Wawasan Islam Tentang Tafsir .............................................................................. 47

    1. Pengertian Tafsir ................................................................................................ 47

    2. Tafsir dan Perkembangannya ............................................................................. 49

    B. Sumber Kumpulan Tafsir Al-Imâm Al-Ghazâlî ..................................................... 53

    C. Metodologi/Manhaj Al-Ghazâlî dalam Tafsir Al-Qur’ân ........................................ 61

    1. Penafsiran dengan Al-Qur’ân al-Karîm (Tafsîr Qur’ân bi al-Qur’ân / مِ يِ رِ كِ الِ ِآنِ رِ ق ِاالِ ب ِ ) 61

    2. Tafsîr Al-Qur’ân dengan Hadîts Nabawî Syarîf ( فِ ي ِرِ الشِ ِيِ وِ ب ِالن ِث ِيِ دِ حِ الِ ب ِ ) ................... 66

    3. Tafsîr Al-Qur’ân dengan Pendekatan Pendapat Sahabat dan Tabiin .................... 69

    D. Metodologi Tafsîr bi Ra’yi ....................................................................................... 73

    1.Pemahaman Tafsîrِbi al-Ra’yi Menurut Al-Ghazâlî ............................................. 73

    2.Tafsîr bi al-Ra’yi yang dilarang ............................................................................ 76

    E. ِIjtihad Al-Ghazâlî dalam Tafsir ............................................................................... 78

    ِ1. Istinbat Hukum Fikih ........................................................................................... 78

    ِ2. Istinbat Makna-Makna Isyarat .............................................................................. 81

    ِ3. Istinbat Makna-Makna Nasihat ............................................................................ 83

    BAB IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN TEMA ZIKIR DALAM AL-QUR’AN DAN

    AL-HADITS .................................................................................................................... 85

    A. Pengertian Zikir ...................................................................................................... 85

    B. Ayat-Ayat Zikir dalam Al-Qur’ân ........................................................................... 88

    C. Hadis-Hadis Zikir ................................................................................................... 106

    D. Analisis (Pemetaan) Ayat-Ayat Zikir dalam Al-Qur’ân dan Al-Hadîts Berdasarkan

    Karya-Karya Al-Ghazâlî ......................................................................................... 111

  • xvi

    E. Pembahasan ............................................................................................................ 134

    1. Ayat Zikir dengan Al-Qur’ân al-Karîm (Tafsir Qur’ân bi al-Qur’ân) ................. 134

    a. Anjuran Berzikir dan Berdoa ........................................................................... 134

    b. Zikir Pencegah Kerusakan .............................................................................. 139

    c. Zikir Perisai Orang-Orang Takwa ................................................................... 142

    d. Derajat Manusia yang Berzikir … .................................................................. 146

    e. Zikir Berarti Menanam Tauhid ....................................................................... 150

    f. Keutamaan Zikir .............................................................................................. 152

    2. Tafsîr Qur’ân dengan Hadîts Nabawî Syarîf ...................................................... 156

    3. Tafsîr Qur’ân dengan Pendekatan Pendapat Sahabat dan Tabiin ......................... 160

    a. Perintah Zikir ................................................................................................... 160

    b. Fadilat Zikir .................................................................................................... 163

    c. Zikir sebagai Perenungan Terhadap Penciptaan .............................................. 163

    d. Anjuran Berzikir dalam Pelbagai Situasi ........................................................ 168

    e. Zikir Merupakan Maqam dan Lisan para Nabi as ............................................ 170

    f. Zikir sebagai Pengingat bahwa Allah Selalu Mengawasi Setiap Perbuatan

    Manusia ............................................................................................................ 174

    g.Zikir Sebagai Komunikasi Antara Pecinta dan

    yang Dicintai (al-‘Âsyiq wa al-Ma’syûq) .......................................................... 176

    F. Hasil Pembahasan ................................................................................................... 179

    G. Kritik atas Pemahaman al-Ghazâlî Terhadap Hadis ................................................ 188

    H. Kritik atas Pemikiran al-Ghazâlî Yang Mempengaruhi Gaya

    Penafsirannya ......................................................................................................... 190

    I. Pujian Ulama Terhadap Al-Ghazâlî ........................................................................ 192

    BAB V: PENUTUP ......................................................................................................... 194

    A. Kesimpulan............................................................................................................. 194

    B. Saran ....................................................................................................................... 196

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 197

    LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................. 202

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Seseorang yang memiliki nama harum berkat sejumlah karyanya yang

    mampu mengubah dunia dalam pelbagai bidang kehidupan, tentu sangatlah sulit

    untuk kita berikan cap bahwa dia pakar hanya satu bidang saja. Seorang

    budayawan, misalnya, ia kerap menciptakan sejumlah karya di bidang humaniora

    yang mencakup bidang sastra, sejarah, antropologi, linguistik, dan sebagainya,

    sehingga kita sulit untuk menentukan apakah ia seorang sejarawan, sastrawan,

    penyair, ataukah seorang linguis.

    Barangkali gambaran di atas juga berlaku untuk figur sekaliber Imâm al-

    Ghazâlî, yang notabene dianggap sebagai teolog (mutakallim) dan juga pakar etika

    (baca: akhlak) yang melahirkan sejumlah magnum opus yang hingga kini

    dijadikan rujukan para intelektual muslim di dunia. Tentu agak sulit untuk

    berbicara hal-ihwal ketokohan al-Ghazâlî hanya dalam satu bidang tertentu saja.1

    Namun demikian, referensi ketokohan beliau dalam bidang tafsir ditengarai masih

    kurang dalam khazanah ilmu tafsir di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam penelitian

    ini peneliti memfokuskan pandangan al-Ghazâlî dalam konteks tafsir. Sebab,

    tidak dipungkiri lagi bahwa al-Ghazâlî sendiri telah memberikan kontribusi besar

    dalam bidang tersebut dengan menulis sebuah kitab berjudul Yâqût al-Ta‘wîl

    Tafsîri al-Tanzîl, Qânûnu al-Ta‘wîl, Fahmu al-Qur‘ân wa Tafsîru bi al-Ra‘yi min

    Ghairi al-Naql (dituangkan dalam Ihyâ` ‗Ulûm al-Dîn).

    1 Al-Ghazâlî, Kerancauan Filsafat (Tahafut al-Falasifah) terj. Achmad Maimun,

    (Yogyakarta: Forum, 2015), hlm. Xxvii.

  • 2

    Bukti tambahan guna meneguhkan kapasitas al-Ghazâlî sebagai mufasir,

    belakangan ini ditulis oleh Muhammad al-Rîhânî berjudul Tafsîr al-Imâm al-

    Ghazâlî, yang diterbitkan oleh Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir pada 2010 silam. Buku

    ini adalah karya al-Rîhânî yang di dalamnya termaktub kumpulan penafsiran-

    penafsiran al-Ghazâlî terhadap ayat-ayat al-Qur‘ân.

    Menurut Quraish Shihab, Tafsir adalah penjelasan tentang maksud firman-

    firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.2 Namun demikian, menurut

    hemat peneliti pengertian ini belum menemukan maksudnya secara jelas. Tafsir

    memiliki kesepadanan dengan arti ―penyingkapan‖ atau ―penjelasan‖ (al-Kasyf

    wa al-Ibânah). Sementara itu, dalam ―Lisân al-‗Arab‖ kata ―tafsir‖ berarti

    ―menyingkap sesuatu yang terselubung‖ (kasyf al-Mughatâ), sehingga tafsir jika

    dikaitkan dengan teks, maka yang dimaksud adalah menyingkap sesuatu yang

    dikehendaki dari lafaz yang absurd.3

    Abû Hayyan mendefinsikan tafsir sebagai ilmu yang menjelaskan

    mengenai tata-cara pengucapan al-Qur‘ân, dalalah-nya, hukum-hukumnya yang

    bersifat satuan (afrâdiyyah), maupun susunan (tarkîbiyyah), makna-makna yang

    dikandung oleh struktur kalimatnya, serta hal-hal yang berkorelasi dengannya.

    Istilah teknis di atas mencakup pemaknaan yang bersifat komprehensif seperti

    ilmu qirâ‘at, ilmu sastra, dan gramatika bahasa Arab, dalalah hakiki dan majâzi,

    nasakh-mansûkh, asbâb al-Nuzûl, dan kisah yang semuanya menjelaskan

    kesamaran dalam al-Qur`ân.4

    2 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), hlm. 9. 3 Manna‘ al-Qattân, Mabâhits fī Ulûm al-Qur‘ân......., hlm. 316. 4 Jalâl al-Dîn al-Suyûti, Al-Itqân fī ‗Ulûm al-Qur‘ân......, hlm. 759. Baca juga Muhammad

    Sayid Jibrîl, Madkhal ilâ Manâhij al-Mufassirîn, (Kairo: al-Risālah, 1987), hlm. 11.

  • 3

    Penafsiran terhadap al-Qur`ân memiliki peranan yang sangat vital bagi

    progresivitas dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu, sangat besar

    perhatian para ulama untuk mengeksplorasi dan memahami (verstehen) makna-

    makna yang terkandung dalam teks kitab suci ini. Dari situasi ini, kemudian

    lahirlah berbagai macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang berbeda-

    beda. Hal ini tidak perlu diperdebatkan mengingat penafsir tunggal pada saat al-

    Qur`ân diturunkan hanyalah Rasulullah Saw.

    Al-Qur`ân yang mulia menegaskan di beberapa ayat, bahwa ia adalah

    Kalam Allah yang Maha Agung, yakni bahwa ia bersumber dari Allah Swt dengan

    kata-kata yang saat ini dapat kita baca. Rasulullah Saw telah menerima kata-kata

    tersebut melalui wahyu untuk membuktikan bahwa ia adalah Kalam (firman)

    Allah yang sebenarnya dan bukan hasil karya manusia, al-Qur`ân menantang

    manusia untuk menghadirkan, walaupun satu ayat yang serupa dengannya. Hal ini

    membuktikan bahwa al-Qur`ân adalah mukjizat yang tak seorang pun sanggup

    mendatangkan/membuat satu ayat yang serupa dengannya.

    ِدِقنَي أَم ۦفَلَيأتُواْ ِِبَِديث مِّثِلوِ ُىُم ٱلََِٰلُقوَن َغرِي َشيٍء أَمُخِلُقواْ ِمن ِإن َكانُواْ صََٰ

    Artinya: ―Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran

    itu jika mereka orang-orang yang benar. Ataukah mereka mengatakan: "Dia

    (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman.‖ (QS. al-

    Tûr: 34—35).

    Sejumlah ayat lainnya tercatat memiliki arti sama (menantang) meskipun

    dengan redaksi yang berbeda, seperti dimuat pada surat al-Isrâ ayat 88, surat Hûd

    ayat 13, dan surat al-Baqarah ayat 23. Dengan tantangan-tantangannya itu, al-

    Qur`ân menegaskan bahwa ia adalah benar-benar Kalam Allah dan ia menjelaskan

    di dalam banyak ayatnya, bahwa Muhammad itu adalah seorang rasul dan nabi

  • 4

    yang diutus Allah Swt. Oleh karena itu, al-Qur`ân merupakan sandaran bagi

    kenabian. Namun demikian, kendati al-Qur`ân diturunkan dengan Bahasa arab di

    tengah-tengah bangsa Arab, tidak berarti al-Qur`ân dan kandungannya hanya

    dikhususkan bagi bangsa tertentu saja. Begitu juga ia tidak mengkhususkan

    pembicaraannya kepada satu kelompok saja (seperti kepada kaum Muslim saja),

    melainkan ia juga mengarahkan pembicaraannya kepada orang-orang non-

    Muslim, sebagaimana ia berbicara kepada kaum muslimin.5 Di antaranya adalah

    pembicaraan al-Qur`ân kepada kaum musyrik, Ahlul Kitab, Yahudi, Bani Israil,

    dan Nasrani karena ia memuat tujuan utama yang dituju oleh umat manusia

    dengan penjelasan yang sempurna (tibyânun li kulli syai). Dalam konteks al-

    Qur`ân sebagai penjelas yang meliputi segala sesuatu, Allah ta‘ala berfirman,

    ―Dan kami turunkan kepadamu al-Kitâb (al-Qur`ân) untuk menjelaskan segala

    sesuatu.‖ (QS. al-Nahl ayat 89).6 Kesimpulan dari ayat ini adalah bahwa al-

    Qur`ân mengandung kebenaran-kebenaran seperti yang dijelaskan di dalam kitab-

    kitab samawi (Taurat, Injil, dan Zabur).

    Karena al-Qur`ân tidak hanya dikhususkan untuk bangsa tertentu saja,

    maka tidak benar bahwa al-Qur`ân berbicara kepada manusia dengan perkataan

    yang tidak jelas dan tidak dipahami. Allah Swt berfirman:

    َوَلْو َكاَن ِمْن ِعْنِد َغرْيِ اللَِّو َلَوَجُدوا ِفيِو اْخِتََلفًا َكِثريًا ۚ أََفََل يَ َتَدب َُّروَن اْلُقْرآَن

    Artinya: ―Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur‘an?

    Seandainya al-Qur‘an itu bukan dari sisi Allah, tentulah merka menaati

    pertentangan yang banyak di dalamnya.‖ (QS. al-Nisâ`: 82).

    5 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis, 2010), hlm. 54. 6 Amir Syarifuddin, Usûl Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 65.

  • 5

    Ayat di atas menunjukkan keharusan merenungkan kandungan al-Qur‘ân,

    dalam arti memahaminya. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa seandainya ayat-

    ayat al-Qur`ân tidak memunyai arti yang dapat dimengerti, tentu perintah untuk

    merenungkan dan memikirkan al-Qur`ân itu merupakan sesuatu yang sia-sia

    belaka. Dalam konteks ini, dasar kenabian mesti ditetapkan dengan al-Qur`ân

    sehingga eksistensi Rasul sebagai petugas yang menjelaskan undang-undang dan

    hukum-hukum syariat secara rinci, yang tidak kita temukan dalam makna-makna

    lahiriah al-Qur‘ân, di samping menjadi pembimbing untuk memahami

    pengetahuan-pengetahuan kitab suci. Allah ta‘ala berfirman:

    َ ٱلذِّكرَ ِإلَيكَ ۚ َوأَنَزلَنا... يَ تَ َفكَُّرونَ َوَلَعلَُّهم ِإلَيِهم نُ زِّلَ َما لِلنَّاسِ لِتُبَ نيِّ

    Artinya: ―…dan Kami turunkan al-Qur`ân kepadamu agar kamu

    menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.‖

    (QS. al-Nahl ayat 44).7

    ُلو َعَلْيِهْم آيَاتِِو َويُ زَكِّيِهْم َويُ َعلُِّمُهُم اْلِكَتابَ ُهْم يَ ت ْ ِْْْكَم ََ ُىَو الَِّذي بَ َعَث ِف اْْلُمِّيِّنَي َرُسوًًل ِمن ْ َوا

    Artinya: ―Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang

    rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,

    menyucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmat.‖(QS. al-

    Jumu‘ah ayat 2).8

    Kedua ayat di atas memberikan pemahaman bahwa hanya Nabi

    Muhammad Saw yang berhak menjelaskan bagian-bagian dan detail-detail syariat.

    Dialah pengajar yang dipilih Tuhan untuk mengajarkan al-Qur`ân al-Karîm.9

    Saat itu, salah satu tugas Rasulullah adalah sebagai mubayyin (pemberi

    penjelasan) kepada sahabat-sahabatnya hal-ihwal arti dan kandungan al-Qur‘ân,

    7 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Hidâyah al-Qur‘ân Tafsir Per Kata Tajwid

    Kode Angka, (Ciputat Timur: Kalim, 2011), hlm. 273. 8 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Hidâyah al-Qur‘ân Tafsir Per Kata Tajwid

    Kode Angka, hlm. 554. 9 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 36—37.

  • 6

    terlebih ayat-ayat yang tidak dipahami (samar) artinya. Namun, hal ini

    berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah Saw. Dalam konteks ini, apabila

    pada masa Rasulullah Saw para sahabat mempertanyakan sejumlah persoalan

    kepada beliau secara langsung, maka pasca wafatnya Rasul Saw mereka pun mesti

    melakukan ijtihad. Khususnya, mereka yang mempunyai kemampuan seperti

    Sayyidina ‗Alî bin Abî Tâlib, Ibnu ‗Abbâs, Ubay bin Ka‘ab, dan Ibnu Mas‘ûd.

    Selanjutnya, tokoh-tokoh tafsir dari kalangan Sahabat tersebut di atas

    mempunyai murid-murid dari para Tabiin, khususnya di tiap kota tempat mereka

    tinggal, sehingga memicu kelahiran sejumlah tokoh tafsir baru dari kalangan

    tabiin di tempat-tempat tersebut mereka di antaranya adalah: (a) Sa`îd bin Jubair,

    Mujâhid bin Jabr, di Mekkah (berguru kepada Ibnu ‗Abbâs); (b) Muhammad bin

    Ka‘ab, Zaid bin Aslâm, di Madinah (berguru kepada Ubay bin Ka‘ab); dan (c) al-

    Hasan al-Basrî, Amîr al-Sya‘bi di Irak (berguru kepada ‗Abdullâh bin Mas‘ûd).

    Pada perkembangan selanjutnya, sejalan dengan kemajuan masyarakat

    maka berkembang besar pula peranan ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-

    Qur`ân, sehingga bermunculan pelbagai kitab atau produk penafsiran yang

    beragam ciri khasnya. Keberagaman tersebut, diperkuat dengan anggapan bahwa

    eksistensi al-Qur‘ân seperti diumpamakan oleh Quraish Shihab sebagai ―permata

    yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang

    masing-masing.‖10

    Artinya, kondisi objektif dari kata-kata dalam al-Qur‘ân

    memang berpeluang bagi beragamnya penafsiran mengingat kerap ditemukannya

    satu kata yang mempunyai banyak arti.

    10 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‘ân; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

    Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hlm. 3.

  • 7

    Menurut Izzan, para ahli bahasa sepakat bahwa bahasa Arab itu sangat

    kaya makna. Bahkan, satu kata saja kerap mengalami perkembangan arti yang

    sangat banyak.11

    Dengan demikian, penafsiran tidak dapat dilakukan oleh

    sembarang orang, kecuali bagi para mufasir yang benar-benar telah memiliki

    kompetensi dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan

    dengan seluk-beluk ilmu tafsir.

    Seorang mufasir yang hendak menafsirkan al-Qur`ân, maka ia terikat

    dengan kode etik dan persyaratan tertentu. Dengan bahasa lain, ia memerlukan

    sebuah regulasi dengan sejumlah syarat dan etika. Hal ini dimaksudkan agar

    produk tafsirnya dapat dipertanggungjawabkan dan terhindar dari kesalahan serta

    penyimpangan dalam penafsiran. Dalam beberapa literatur kitab tafsir, para ulama

    telah memformulasikan kaidah-kaidah penafsiran dan memberlakukan syarat-

    syarat yang ketat bagi orang yang melakukan penafsiran terhadap al-Qur`ân.

    Dalam konteks penelitian ini, ayat-ayat al-Qur‘ân yang membahas seputar zikir

    akan menjadi perhatian utama.

    Konsep zikir memiliki makna yang sangat mendalam dan melampaui dari

    tafsir biasa. Secara leksikologis12

    , zikir berarti ingat, renungan, pengajaran,

    menyebut, memuji, menyucikan, atau mengagungkan.13

    Dalam pandangan Ibn

    Mundzȋr, zikir berarti memelihara atau menjaga sesuatu dengan cara menyebut

    11 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), hlm. 50. 12 Cabang linguistik yang menyelidiki kosa kata dan maknanya atau maksud di dalam

    kata tersebut, lihat KBBI V oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud-RI. 13 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,

    2008), hlm. 512; Lihat juga, Mawardi Labay El-Sulhani, Zikir dan Do‘a Dalam Kesibukan,

    (Jakarta: Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI,

    1992), hlm. 15; Baca juga Joko S. Kahhar & Gilang Cita Madinah, Berzikir kepada Allah Kajian

    Spiritual Masalah Zikir dan Majelis Zikir, (Yogyakarta: Sajadah_press, 2007) hlm. 10.

  • 8

    atau mengingatnya.14

    Zikir juga bisa berarti menyebut nama Allah dengan

    membaca tasbîh, tahlîl, tahmîd, taqdîs, takbîr, hauqoalah, dan membaca doa

    mastûr, yaitu doa-doa yang diterima dari Nabi Muhammad Saw.15

    Menurut Abû al-Qâsim al-Qusyairî (w. 465 H.) zikir merupakan bagian

    rukun yang kokoh sekaligus menjadi pilar (penopang) dalam meningkatkan jalan

    menuju kebenaran Allah. Seseorang tidak akan sukses menempuh jalan menuju

    Allah kecuali melakukan zikir secara kontinu kepada-Nya. Zikir menurutnya

    terbagi menjadi dua, pertama, zikir lisan, dan kedua, zikir hati (qalb). Jika

    seseorang ingin membatasi salahsatunya, maka yang lebih utama adalah zikir hati,

    namun idealnya adalah memadukan zikir lisan dan hati semata-mata ditujukan

    karena Allah, terlepas itu dianggap pamer (riyâ‘) atau pun tidak.

    Zikir kepada Allah dalam hati merupakan ―pedang‖ para murid yang

    dengannya bisa membunuh musuh-musuh mereka dan mampu menolak

    marabahaya yang menimpa mereka.16

    Dzû Nûn al-Misrî mengatakan, ―siapa yang

    zikir kepada Allah secara hakikat (yaitu zikir sempurna dengan melarutkan

    dirinya pada Zat yang diingat), ia akan mencapai kondisi ekstase, hingga

    melupakan segala sesuatu (selain Allah), dan Allah menjamin segala sesuatu

    (yang dilalaikan) itu dengan pengganti.‖17

    14 Ibn Mundzîr, Lisân al-‗Arab, (Bairut: Dâr al-Ma‘ârif, 1990), Jilid III , hlm.1507—

    1509. 15 Sudirman Tebba, Nikmatnya Zikir dan Doa, (Ciputat: Kalam Pustaka, 2004), hlm. 07. 16 Abî al-Qâsim ‗Abd al-Karîm Hawâzin bin ‗Abd al-Mâlik al-Qusyairî al-Naisâburî,

    Latâ‘if al-Isyârât, (Beirut: Dâr al-Kaf al-‗Ilmiyyah, 1971), Jilid I, hlm. 77—78. 17 Zain al-Dîn Abî al-Qâsim al-Qusyairî, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah, (Kairo: Dâr al-

    Jawâmi‘ al-Kalîm, tt.), hlm. 252.

  • 9

    Al-Ghazâlî, dalam Ihyâ` ‗Ulûm al-Dîn, menyatakan bahwa Allah Swt

    memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memperbanyak berdoa dan meminta

    hanya kepada-Nya, sebagaimana Allah berfirman,

    اُْدُعْوِنْ َأْسَتِجْب َلُكمْ

    Artinya: ―Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan doa

    kalian,‖ (QS. Ghâfir: 60).

    Al-Ghazâlî menjelaskan, para ulama yang taat, para pendosa, orang-orang

    yang dekat maupun mereka yang jauh kepada Allah Swt sangat dianjurkan untuk

    mendekatkan diri, berdoa, serta meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Sebab,

    untuk memenuhi keinginan maupun hasratnya, seorang hamba hanya

    membutuhkan bantuan dari sisi-Nya, sebagaimana Allah Swt Berfirman:

    انِ َع ا َد َذ ِإ اِع َوَة الدَّ ْع يبُ َد ِج رِيٌب ُأ ِنِّ َق ِإ ...َف

    Artinya: ―Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan

    orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,‖ (QS. al-Baqarah: 186).

    Dengan demikian, tidak ada amalan maupun ibadah yang lebih baik

    daripada berzikir (ingat) kepada Allah ‗Azza wa Jalla, dan menghampiri-Nya

    dengan meminta atau mengharapkan bantuan-Nya.18

    Sayyid Mahmûd Syukrî al-Alûsî membagi zikir menjadi tiga, yakni

    dengan lisan, hati, dan anggota badan (jawârih). Zikir pertama, seperti menyebut

    bacaan tahmîd, tasbîh, dan membaca al-Qur‘ân. Kedua, adalah dengan melakukan

    refleksi mendalam tentang tanda-tanda yang menunjukan pesan-pesan, janji,

    ancaman, sifat-sifat ketuhanan, dan segala rahasia Allah. Ketiga, anggota badan

    melakukan amal pebuatan yang diperintahkan dan menghindari segala larangan-

    18 Al-Ghazâlî, Ihyâ‘‗Ulûm al-Dîn, Terj. Ibnu Ibrâhîm Ba‘adillâh, (Jakarta: Republika,

    2011), hlm. 279—280. Selanjutnya disebut sebagai: al-Ghazâlî, Ihyâ‘‗Ulûm al-Dîn.

  • 10

    Nya.19

    Salat adalah bentuk komunikasi antara manusia dengan Tuhannya yang

    dikategorikan sebagai zikir yang sempurna. Sebab, salat merupakan ibadah yang

    mencakup dari ketiga hal di atas. Manusia yang menyibukkan diri untuk

    melakukannya akan menghasilkan ketenangan, pengetahuan, dan penglihatan

    dalam dirinya.20

    Al-Qusyairî dalam kitabnya memaknai zikir sebagai tenggelamnya subjek

    (zâkir) pada penyaksian zat yang diingat (disebut), lalu ia sirna ke dalam dekapan

    (Wujûd) Zat yang disebut hingga tidak tersisa kesan (efek) yang dizikirkan itu.

    Dalam surat al-Baqarah ayat: 152 Allah berfirman:

    فَاذُْكُروِن أَذُْكرُْكْم َواْشُكُرْوا ِل َوًَل َتْكُفُرْونِ Artinya: ―Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)

    kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari

    (nikmat)-Ku.‖(QS. al-Baqarah: 152).

    Mengenai lafaz ― ْفَاذُْكُروِن أَذُْكرُْكم ―diintepretasi menjadi: ― مْ كُ نْ عَ مْ كُ اءِ نَ ف َ دَ عْ ب َ مْ ركُ كُ ذْ ا نَ نَ دِ وْ جُ وُ ِف نْيَ كِ لِ هْ ت َ سْ ا مُ وْ ن ُ وْ كُ ”

    (jadikanlah dirimu orang yang sirna dalam wujud kami, maka kami akan

    mengingatmu setelah fanamu). Kode interpretasi ayat di atas mengisyaratkan

    bahwa pelaku zikir hendaknya melepas segala atribut materialnya (yang menjadi

    tabir antara dirinya dengan Allah), sehingga ia akan larut dan menyatu dalam

    asma Allah. Ketika subjek zikir telah mencapai kondisi kefanaannya maka ia

    berada dalam ingatan Allah.21

    19 Sayyid Mahmûd Syukrî al-Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma‘âni fî Tafsir al-Qur‘ân al-

    ‗Adzîm wa Sab‘i al-Matsâni, (Beirut: Ihyâ‘ Turâts al-‗Arâbî, tt.), jilid II, hlm. 19—20. 20 R. W. J Austin dkk, Salat dan Perenungan (Dasar–dasar Kehidupan Ruhani Menuurut

    Ibnu `Aràbi), (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2001), cet 1, hlm. 36—37. 21 Abî al-Qâsim ‗Abd al-Karîm Hawâzin bin ‗Abd al-Mâlik al-Qusyairî al-Naisâburî,

    Latâ‘if al-Isyârât....., Jilid I, hlm. 78.

  • 11

    Pada sebuah ayat yang berbeda, Allah juga berfirman dalam QS. al-

    Dzâriyât 16:

    ِلَك ُُمِسِننيَ ... ِإن َُّهم َكانُواْ قَبَل ذََٰ

    Artinya: ―Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang

    yang berbuat kebaikan.‖(QS. al-Dzâriyât: 16).

    Ayat ini kemudian ditafsiri menjadi: ― امً ائِ وا دَ انُ بَ مْ هُ ن َّ كِ لَ ا وَ تً ق ْ ا وَ وْ ان ُ كَ “ Artinya:

    ―Mereka adalah waktu, tetapi mereka tampak selamanya‖. Interpretasi ayat di

    atas menjelaskan bahwa mereka adalah waktu, artinya mereka terikat oleh

    berbagai peristiwa (baik-buruk) yang silih berganti terjadi pada dirinya, namun

    mereka tetap tampak (eksis) selamanya karena kebaikannya. Ayat kedua memiliki

    relasi dengan ayat sebelumnya (yang menjelaskan zikir) karena adanya tujuan

    zikir itu untuk menempa seseorang dalam menempuh jalan Allah agar menjadi

    pribadi ihsan (mukhsinîn). Dan orang-orang yang berzikir adalah mereka yang

    telah siap mengejawantahkan asma-asma baik Tuhan pada dirinya dalam

    menjalani kehidupan.

    Terdapat perbedaan pandangan dalam melakukan interpretasi ayat di atas.

    Menurut ahli ibarat (frasa), kata ―fadzkurûnî‖ dihubungkan dengan kata

    ―muwâfaqât‖ yaitu sesuatu yang mencocoki dengan kehendak orang yang zikir,

    dan kata ―adzkurkum‖ dikorelasikan dengan kemuliaan atau martabat yang

    diperoleh dari Allah. Hal ini berbeda menurut cara pandang ahli isyarat yang

    menghubungkan kata ―fadzkurûnî‖ dengan ―tarku kulli hadzin‖ anjuran untuk

    meninggalkan sesuatu yang bersifat pragmatis (keuntungan dunia), dan kata

    ―adzkurkum‖ dikaitkan dengan kehendak Tuhan dalam melaksanakan haknya

  • 12

    setelah pelaku zikir mencapai kondisi kefanaan.22

    Orientasi zikir kepada Allah

    dalam isyarat yang tersirat dalam tafsir tersebut adalah memutus mata-rantai

    ketergantungan dengan selain Allah melalui zikir kepada-Nya secara konstan dan

    kontinu, sehingga Allah akan mengingatnya dengan sifat-sifat hakiki-Nya.

    Penafsiran lain tentang zikir adalah mahabbah. Allah menganjurkan bagi

    manusia agar banyak melakukan zikir, dan banyak berzikir mengindikasikan

    bahwa dirinya berada dalam kondisi ingat dan ingatan cenderung menghantarkan

    seseorang untuk menyebut objeknya. Selain itu, menurut Nâsiruddîn al-Tûsî, salah

    satu faktor tercapainya kesempurnaan manusia adalah cinta. Seseorang tidak akan

    dapat menggapai kesempurnaan tanpa eksistensi yang lain. Dalam konteks ini,

    diperlukan sebuah ikatan yang menyatukan segenap manusia dalam proses

    riyâdhah-nya. Karena secara fitrah manusia melangkahkan kakinya menuju

    kesempurnaan, maka mereka pasti merindukan ikatan tersebut. Menurut al-Tûsî,

    kerinduan terhadap ikatan semacam ini disebut sebagai cinta. Sebab, hakikat cinta,

    menurutnya, adalah kehendak untuk menyatu dengan sesuatu.

    اذُْكُروا اللََّو ذِْكًرا َكِثريًا

    Artinya: ―Ingatlah kepada Allah dengan menyebut (nama-Nya) sebanyak-

    banyaknya‖. (QS. al-Ahzâb:41).

    Dengan perumpamaan berdasarkan hadis Nabi, al-Ghazâlî dalam Ihyâ‘

    ‗Ulûm al-Dîn mengutip redaksi,

    ِف اْلَغاِفِلنْيَ َكَمَثِل الشََّجرَِة الَْْضرَاِء ِفْ َوَسِط الشََّجِر الَِّذْي َقْد ُُتَاتَّ وَذاِكُر اهلِل

    22 Abî al-Qâsim ‗Abd al-Karîm Hawâzin bin ‗Abd al-Mâlik al-Qusyairî al-Naisaburî,

    Latâ‘if al-Isyârât....., Jilid I, hlm.78.

  • 13

    Artinya: ―Orang yang berzikir kepada Allah di tengah komunitas orang-

    orang yang lalai berzikir sama seperti pohon hijau di tengah-tengah pepohonan

    yang layu dan kering‖.23

    Subjek zikir yang selalu ingat dan menyebut sesuatu mengindikasikan

    bahwa dirinya sedang berada dalam situasi mahabbah. Oleh karena itu, zikir

    berarti juga mahabbah. Interpretasi ini merupakan isyarat yang disinyalir kuat

    oleh penafsir berdasarkan hadis ― هُ رَ كْ ذِ رَ ث َ كْ اَ أً يْ شَ بَ حَ أَ نْ مَ ‖. Artinya, ―Orang yang

    mencintai sesuatu, banyak menyebutnya‖. Dalam hal ini, perintah zikir

    diidentifikasi sebagai perintah untuk mahabbah, sehingga ayat ― َْفاذُْكُروِن أَذُْكرُْكم‖

    dalam tafsir diinterpretasikan menjadi ―ahibbûni uhibbukum atau ahbibnî

    uhibbuka‖ yang berarti ―Cintailah aku maka aku akan mencintamu‖.24

    Zikir memiliki beberapa implikasi, dalam artian ada konsekuensi yang

    didapatkan oleh pelaku zikir tergantung dari motivasinya. Allah akan membalas

    segala sesuatu pada manusia yang berzikir kepada-Nya, sesuai motif (niat) atau

    kecenderungan cita-citanya. Dalam latâ‘if al-Isyârât, misalnya, al-Qusyairî

    menyebutkan (1) ―Siapa yang zikir kepada-Ku dengan penuh rendah hati, maka

    aku akan mengingatnya dengan keutamaan. (2) siapa yang menyebut-Ku dengan

    hatinya, maka aku menyebutnya dengan hakikat permohonannya, (3) siapa yang

    zikir kepada-Ku penuh dedikasi, maka Aku akan mengingatnya dengan

    kemudahan, kedekatan dan kesempurnaan nikmat, (4) siapa yang zikir kepada-Ku

    secara sungguh-sungguh dan susah payah, maka Aku akan mengingatnya dengan

    23 Al-Ghazâlî, Ihyâ‘‗Ulûm al-Dîn, hlm. 282. 24 Abî al-Qâsim ‗Abd al-Karîm Hawâzin bin ‗Abd al-Mâlik al-Qusyairî al-Naisaburî,

    Latâ‘if al-Isyârât........, Jilid I, hlm.78.

  • 14

    dermadan pemberian, (5) siapa yang mengingat-Ku dengan rasa kekaguman,

    maka Aku akan mengingatnya dengan hakikat cinta, dan seterusnya. Berdasarkan

    ragam motivasi zikir di atas, akhirnya para ulama menganjurkan bahwa

    melakukan zikir harus dikaitkan dengan kepatuhan atau ketaatan terhadap Allah‖.

    Sehubungan dengan makna zahir dan batin dalam konteks tafsir, al-

    Ghazâlî memberi tanggapan terhadap sebagian orang yang mengkritik corak

    tafsir. Menurut beliau, orang yang mengatakan bahwa al-Qur‘ân tidak mempunyai

    pengertian lain selain tafsiran zahirnya saja, itu artinya sama saja dengan

    mencerminkan kedangkalan dirinya. Dengan kata lain, dia menganggap dirinya

    yang benar padahal dia salah meletakkan orang lain sama dengan dirinya.

    Pernyataan al-Ghazâlî itu dapat dipahami mengingat dalam menafsirkan ayat al-

    Qur‘ân tidak cukup hanya mengetahui makna zahir saja, melainkan juga

    memerlukan makna batin, karena al-Qur‘ân disamping mempunyai makna zahir

    juga mempunyai makna batin, seperti telah dijelaskan sebelumnya.25

    Al-Ghazâlî berpendapat, bahwa antara makna esoteris (bâtin) al-Qur`ân

    dan makna eksoterisnya (zâhir) tidaklah saling bertentangan. Makna esoterik

    dipandangnya sebagai puncak pencapaian dan kesempurnaan dari makna

    eksoteris. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika al-Ghazâlî dinilai oleh banyak

    kalangan sebagai tokoh yang berjasa besar dalam mengintegrasikan antara

    dimensi eksoteris ajaran Islam dengan dimensi esoterisnya. Dalam konteks ini,

    25 Kategorisasi makna al-Qur‘ân secara eksoteris (zâhir) dan esoteris (bâtin) merupakan

    konsep yang mendasar dalam tradisi tafsir-sufistik. Tradisi ini, baik itu sufi nazârî maupun isyârî

    berpangkal dari pemahaman bahwa al-Qur‘ân memiliki beberapa lapis makna. Dalam konteks ini,

    manusia berpotensi dalam menyingkap makna tersebut di mana tugas penafsiran merupakan suatu

    aktivitas yang tidak terbatas. Lih: Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on the Qurʼân in

    Classical Islam (London: New York: Routledge, 2006), hlm 7.

  • 15

    menurut Madjid, al-Ghazâlî sangat berjasa dalam menstabilkan pemahaman umat

    kepada agamanya.26

    Selanjutnya, al-Ghazâlî juga secara tersirat menyatakan persyaratan yang

    mesti diperhatikan bagi siapa saja yang hendak menafsirkan ayat al-Qur‘ân.

    Sebagaimana dipaparkan oleh Abd Wahid, menurut al-Ghazâlî,

    ―Orang-orang yang menyatakan dirinya bisa dan memiliki pemahaman yang baik terhadap makna-makna yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-

    Qur‘ân tanpa terlebih dahulu memperhatikan secara sungguh-sungguh

    tafsiran secara zahiriyah, mereka ini menurut al-Ghazâlî diibaratkan

    seseorang yang mengaku bisa memasuki sebuah rumah tanpa terlebih

    dahulu melalui pintunya, atau bagaikan orang yang bisa memahami

    maksud ungkapan dalam bahasa Turki padahal dia sendiri tidak mengerti

    bahasa Turki itu sendiri‖.27

    Lebih lanjut, Abd Wahid memaparkan bahwa penafsiran secara zahir perlu

    diakui dan mendapat perhatian. Bahkan, pengertian ayat-ayat al-Qur‘ân secara

    zahir merupakan persyaratan yang harus dipatuhi agar mendapatkan pengetahuan

    tentang makna dari ayat-ayat yang tersembunyi agar lebih mendalam. Dengan

    kata lain, dalam sudut pandang al-Ghazâlî, seseorang akan dianggap layak setelah

    menyimpulkan dan mengeluarkan pengertian ayat-ayat al-Qur‘ân secara isyârî,

    apabila telah menguasai sepenuhnya pengertian dan tafsiran ayat secara zahir.28

    Allah Swt berfirman:

    َيْسَمُعونَ ًَل آَذانٌ َوََلُمْ ِِبَا يُ ْبِصُرونَ ًَل َأْعنُيٌ َوََلُمْ ِِبَا يَ ْفَقُهونَ ًَل قُ ُلوبٌ ََلُمْ َواإلْنسِ اِلِْنِّ ِمنَ َكِثريًا ِلََِهنَّمَ َذَرْأنَا َوَلَقدْ اْلَغاِفُلونَ ُىمُ أُولَِئكَ َأَضل ُىمْ َبلْ َكاْلنْ َعامِ أُولَِئكَ ِِبَا

    26 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.

    35. 27 Wahid Abd. (2010), Tafsir Isyari dalam Pandangan Al-Ghazâlî, Jurnal Ushûluddin,

    Vol. XVI No. 2, hlm. 133. Selanjutnya disebut sebagai: Wahid Abd., Tafsir Isyari dalam

    Pandangan Al-Ghazâlî. 28 Wahid Abd, Tafsîr Isyârî dalam Pandangan Al-Ghazâlî, hlm. 133.

  • 16

    Artinya: ―Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)

    kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak

    dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan

    Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk

    mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan

    mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.‖ (QS. al-A‘râf:

    179).

    Menanggapi ayat di atas, Tabâtabâ‘î menjelaskan bahwa pada saat

    merenungi ayat-ayat mulia itu, sepintas kilas ayat yang berbunyi, ―janganlah

    kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun‖, tampak oleh kita bahwa ayat itu

    melarang penyembahan berhala. Namun, setelah kita renungkan secara lebih

    mendalam, akan tampak oleh kita bahwa ayat itu melarang penyembahan selain

    Allah. Apabila direnungkan lebih mendalam lagi, maka akan tampak oleh

    seseorang bahwa ia melarang dari penyembahan terhadap diri-sendiri dengan jalan

    mengikuti hawa nafsu. Adapun jika kita lebih perdalam lagi, maka akan

    tampaklah larangan melupakan Allah dan berpaling kepada selain-Nya.29

    Penahapan di atas, yakni munculnya makna awal dari suatu ayat, lalu

    muncul makna yang lebih luas, dan begitu seterusnya—berlaku bagi semua ayat

    al-Qur‘ân tanpa terkcuali. Dengan mmahami masalah ini, maka jelaslah maksud

    dari sabda Nabi Saw dalam kitab hadis dan tafsir yang berbunyi, ―Sesungguhnya

    al-Qur‘ân itu mempunyai arti lahir dan batin. Dan batinnya terdiri atas satu

    sampai tujuh arti.‖30

    Atas dasar inilah, al-Qur‘ân dikatakan mempunyai makna zahir dan makna

    batin, dan kedua makna tersebut sama-sama merupakan maksud dari ayat-ayat

    29 Sayyid M. H. Tabâtabâ‘i, Memahami Esensi al-Qur‘ân (Jakarta: Lentera, 2000), hlm.

    35. Selanjutnya disebut sebagai, Sayyid M. H. Tabâtabâ‘i, Memahami Esensi al-Qur‘ân. 30 Lih: Sayyid M. H. Tabâtabâ‘i, Memahami Esensi al-Qur‘ân.

  • 17

    yang bersangkutan. Hanya saja, keduanya terjadi secara memanjang, bukan

    melebar, karena maksud makna lahir tidak menafikan maksud makna batin, dan

    maksud makna batin tidak menafikan maksud makna zahir. Dengan demikian,

    dari pemaparan di atas kiranya terdapat gambaran bahwa Imâm Ghazâlî menaruh

    perhatian serius pada disiplin ilmu tafsir. Hal inilah yang menjadi salah satu

    motivasi al-Rîhânî dalam memublikasikan karyanya yang berjudul Tafsîr al-Imâm

    al-Ghazâlî.31

    Tentang kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî, penulisnya yakni al-Rîhânî,

    dilatarbelakangi oleh tiga motivasi, yakni (a) motivasi umum ( عُ افِ وَ دَ َِ امَّ عَ ), (b)

    motivasi khusus ( عُ افِ وَ دَ َِ يَ اتِ ذَ ), dan (c) motivasi tematik ( عُ افِ وَ دَ َِ يَّ عِ وْ ضُ وْ مَ ).32 Motivasi

    umumnya berangkat dari upaya menghimpun kitab-kitab turâts para ulama

    terdahulu, motivasi khususnya berpijak dari pribadi Rihani yang sudah sejak dini

    mencintai keilmuan Islam, dan terakhir, motivasi tematiknya berpangkal dari

    ketokohan Imam al-Ghazâlî dalam kapasitasnya sebagai mufasir produktif yang

    andal dalam segala bidang: fikih, teologi, tasawuf, dan tafsir. Maka, tidak heran

    jika Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî memuat tafsir al-Qur‘ân secara umum. Dalam

    31 Sebuah tinjauan tafsir yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Dâr al-

    Salâm, Kairo, pada 2010. Buku ini menyajikan keluasan penjelasan dengan metode ijmâli, yaitu

    hanya terbatas pada makna-makna secara global, dan tidak sampai pada pembahasan aspek lainnya

    semisal pembahasan bahasa, asbâb al-Nuzûl, dan sebagainya. Selain itu, Rîhânî juga menggunakan

    metode tahlîlî di mana keseluruhan tafsir dilakukan secara tertib dari surat al-Baqarah sampai

    dengan surat al-Ikhlâsh. Berbeda dengan Rîhânî, penelitian ini dilakukan dengan membatasi

    pemilihan ayat-ayat al-Qur‘ân yang khusus membahas seputar tema-tema zikir. Karya Muhammad

    al-Rîhânî tersebut merupakan bukti tambahan guna meneguhkan kapasitas al-Ghazâlî sebagai

    mufasir. 32 Al-Rîhânî, Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2010), hlm. 9—10. Teks

    aslinya termaktub dalam Muqaddimah Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî tersebut.

  • 18

    konteks penelitian ini, kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî dijadikan acuan sebagai

    metodologi tafsir yang difokuskan pada aspek zikir.

    Selanjutnya, bagaimana menyingkap konsep zikir perspektif al-Ghazâlî

    yang diuraikan dalam Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî? Sebagaimana telah

    dideskripsikan sebelumnya, bahwa banyak ayat-ayat al-Qur‘ân yang menjelaskan

    ihwal zikir. Dikarenakan belum maraknya pemahaman serta kajian ilmiah

    terhadap analisis mengenai ayat-ayat zikir tersebut, maka dalam hal ini diperlukan

    adanya penafsiran lebih mendalam guna menyingkap konsep zikir dalam

    perspektif al-Ghazâlî dengan acuan kitab tafsir al-Rîhânî. Pengkajian akan

    dilakukan dengan pemilihan ayat-ayat al-Qur‘ân yang membahas seputar topik

    zikir. Dalam mekanismenya, setiap ayat yang secara eskplisit maupun implisit

    menggunakan term-term zikir akan ditafsir-jelaskan lebih jauh sesuai metode

    tafsir al-Ghazâlî yang termaktub dalam kitab tafsir al-Rîhânî. Hal ini berangkat

    dari harapan, bahwa melalui penelitian ini kiranya akan ditemukan bagaimana

    zikir dalam al-Qur‘ân perspektif al-Ghazâlî .

    Dengan demikian, penelitian ini perlu didukung untuk dapat menyingkap

    bagaimana pemaknaan ayat-ayat zikir dalam al-Qur‘ân dan hadis melalui metode

    tafsir al-Ghazâlî dengan mengacu pada kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-

    Rîhânî. Selanjutnya, bagaimana penjelasan konsep zikir al-Ghazâlî yang

    termaktub dalam kitab-kitab al-Ghazâlî lainnya? pertanyaan tersebut akan

    dirangkai dalam suatu penelitian yang berjudul ―Analisis Ayat-Ayat Tentang Zikir

    Dalam Tafsîr Al-Imâm Al-Ghazâlî Karya Al-Rîhânî‖.

    B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

  • 19

    1. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalahnya

    dengan sejumlah pernyataan berikut:

    a. Belum maraknya pemahaman serta kajian ilmiah terhadap analisis

    mengenai ayat-ayat zikir, sehingga diperlukan adanya penafsiran

    lebih mendalam guna menyingkap konsep zikir dalam perspektif

    al-Ghazâlî dengan acuan kitab tafsir karya al-Rîhânî. Dengan

    demikian, penelitian ini akan dilakukan dengan pemilihan ayat-

    ayat al-Qur‘ân dan hadis yang membahas seputar topik zikir.

    b. Kurangnya pembahasan ihwal ketokohan al-Ghazâlî dalam konteks

    tafsir. Padahal, al-Ghazâlî sendiri telah memberikan kontribusi

    besar dalam bidang tersebut dengan menulis sebuah kitab berjudul

    Yâqût al-Ta‘wîl Tafsîri al-Tanzîl, Qanûnu al-Ta‘wîl, Fahmu al-

    Qur‘ân wa Tafsîru bi al-Ra‘yi min Ghairi al-Naql (dituangkan

    dalam Ihyâ` ‗Ulûm al-Dîn). Dengan mengacu kepada Kitâb Tafsîr

    al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî kiranya akan semakin

    megukuhkan ketokohan Imâm al-Ghazâlî sebagai mufasir.

    Dalam tesis ini, pembahasan berada dalam ruang lingkup yang terkait

    dengan bagaimana tema-tema zikir yang disajikan dalam al-Qur‘ân dianalisis

    melalui metode tafsir al-Ghazâlî yang mengacu kepada kitab Tafsîr al-Imâm al-

    Ghazâlî karya al-Rîhânî. Dengan demikian, tesis ini akan menyingkap bagaimana

    zikir dalam al-Qur‘ân perspektif al-Ghazâlî dengan studi analisis ayat-ayat zikir

  • 20

    yang metodenya merujuk pada kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî

    yang belum ada dan juga belum dikembangkan oleh para peneliti sebelumnya.

    2. Pembatasan Masalah

    Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka inti pembahasan tesis ini

    peneliti batasi pada analisis ayat-ayat zikir dalam al-Qur‘ân dan hadis

    berlandaskan pada metode tafsir al-Ghazâlî yang mengacu kepada kitab Tafsîr al-

    Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî. Kehadiran penelitian ini sekaligus hendak

    mempertegas relevansinya dengan konsep zikir al-Ghazâlî yang terdapat dalam

    kitab-kitab tafsirnya.

    3. Perumusan Masalah

    Dengan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, penelitian ini

    akan menjawab pertanyaan:

    a. Bagaimanakah aspek zikir dalam kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya

    al-Rîhânî?

    b. Bagaimanakah penjelasan ayat-ayat al-Qur‘ân dan hadis terkait zikir

    mengacu kepada kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî?

    C. Tujuan Penelitian

    Sehubungan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian

    ini adalah:

    1. Mendeskripsikan aspek zikir dalam kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya

    al-Rîhânî,

    2. Mendeskripsikan ayat-ayat al-Qur‘ân dan hadîs terkait zikir mengacu

    kepada kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî,

  • 21

    3. Adapun tujuan akademis dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan

    karya dalam bidang penelitian ilmu tafsir sekaligus sebagai salah satu hasil

    sumbangsih pemikiran dari proses pembelajaran yang telah ditempuh.

    D. Manfaat Penelitian

    Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:

    1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi penelitian tafsir hadis.

    2. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan khazanah

    intelektual tentang zikir dalam corak metode tafsir al-Ghazâlî melalui kitab

    Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî.

    3. Penelitian ini diharapakan dapat dijadikan sumber/rujukan penulis lain

    dalam penelitian yang berbeda.

    E. Tinjauan Pustaka

    Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada penelitian yang memiliki

    kesamaan dengan judul penelitian dan permasalahan yang penulis ajukan.

    Meskipun ada beberapa literatur yang berkaitan tentang zikir secara umum

    seperti:

    1. Judul Disertasi: ―Intensitas Zikir, Religiusitas, Makna Hidup dengan

    Subjective Well Being Santri Spiritual Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah

    oleh Saliyo program studi S3 Psikologi Universitas Gadjah Mada,

    Yogyakarta, 2015. Tujuan penelitian tersebut digambarkan dalam

    abstraksinya untuk mengeksplorasi pendidikan spiritual tarekat

    Naqsabandiyah Kholidiyah dan pengaruh intensitas zikir yang

  • 22

    dilaksanakan oleh santri spiritual tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah

    terhadap subjective well being dengan memperhatikan variabel religiusitas

    dan makna hidup.

    2. Judul Tesis: ―Tafsir Imam al-Ghazali (Studi Bidang Akidah, Fiqih dan

    Tashawwuf dalam Kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî‖, oleh Abdullah

    Mubarok Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Konsentrasi Tafsir Hadis

    Program Pascasarjana, Surabaya, 2014. Dalam pembahasan Tesis tersebut

    mengkaji kitab Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî karya al-Rîhânî yang secara

    khusus menganalisa pemikiran al-Ghazâlî yang bersumber dari metode

    penafsirannya dalam disiplin ilmu akidah, fiqih dan tashawwuf. Adapun

    Tesis yang penulis teliti ini dikhususkan dalam menganalisa penafsiran al-

    Ghazâlî tentang ayat-ayat zikir.

    3. Judul Tesis: ―Konsep Dzikir Allah dalam Perspektif Al-Qur`ân‖, oleh Toni

    Victor Mandawiri Wanggai Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, 2002. Dalam Tesis ini menjelaskan secara global

    bahwa bukan hanya makhluk yang berzikir kepada Khalik, melainkan

    Sang Khalik pun senantiasa berzikir kepada makhluk-Nya sebab itu tanda-

    tanda daripada Maha Pengasih dan Penyayangnya Khalik (Allah) kepada

    makhluk tersebut.

    4. Judul Tesis: ―Hubungan antara Dzikir Allah dengan Kesehatan Fisik dan

    Kesehatan Mental: Studi Kasus Jamaah Dzikir di bawah Bimbingan

    Usatdz Haryono di Kota Bekasi‖, oleh Nur Arfiyah Febrian Sekolah Pasca

    Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Inti dari Tesis ini

    http://tulis.uinjkt.ac.id/detail.jsp?id=644&lokasi=lokalhttp://tulis.uinjkt.ac.id/detail.jsp?id=644&lokasi=lokalhttp://tulis.uinjkt.ac.id/detail.jsp?id=644&lokasi=lokal

  • 23

    berkesimpulan bahwa manfaat utama zikir kepada Allah adalah untuk

    menjaga suasana kejiwaan yang tenang, aman, damai, dan terkendali, serta

    dapat menumbuh-buahkan ketenangan batin dan memberi pengaruh pada

    peningkatan kekebalan tubuh/fisik manusia tersebut.

    5. Judul Tesis: ―Pengaruh Terapi Zikir Asmâ` al-Husnâ dan Kalimat

    Thoyyibah untuk Menurunkan Kecemasan dan Nyeri pada Pasien Kanker

    Payudara yang Menjalani Program Kemoterapi di RSUD dr. Soehadi

    Prijonegoro Sragen‖,oleh Eka Novitayanti, Program Magister

    Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017. Intisari dari

    Tesis tersebut adalah implementasi zikir sifat-sifat Allah yang termaktub

    dalam Asmâ` al-Husnâ sangat berpengaruh kepada tingkat prosentase

    menurunnya kecemasan dan nyeri pada pasien tersebut, sehingga lambat

    laun akan menyebabkan kesembuhan meski tidak signifikan.

    6. Judul Tesis: ―Pengaruh Terapi Zikir Terhadap Penurunan Kecemasan

    pada Pasien Kanker‖, oleh Ririn Afrian Sulistyawati, Fakultas Kedokteran

    Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada,

    Yogyakarta, 2018. Dalam tesis tersebut hampir memiliki keserupaan

    dengan tesis di awal, tetapi memiliki perbedaan yang mendasar bahwa

    tesis di awal dikhususkan zikir-zikir dengan kumpulan Asmâ` al-Husnâ;

    namun tidak demikian dengan tesis yang ditulis oleh Ririn bahwasanya

    semua zikir (bukan hanya zikir Asmâ al-Husnâ) mampu menurunkan

    tingkat kecemasan pada setiap pasien kanker.

  • 24

    Penelitian kedua penulis tersebut di atas, merupakan penelitian studi kasus

    dengan penelitian lapangan (field research) sebagai konsistensi mereka dalam

    bidang non-Humaniora. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

    penelitian kepustakaan (library research) dengan langkah-langkah analisis data.

    Adapun beberapa buku yang sudah diterbitkan dan hampir memiliki

    kesamaan dalam judul yang dikaji oleh peneliti adalah sebagai berikut;

    1. ―Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî‖, oleh Muhammad al-Rîhânî, yakni sebuah

    disertasi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul yang

    sama, oleh penerbit Dâr al-Salâm, Kairo, pada 2010. Buku ini menyajikan

    keluasan penjelasan dengan metode ijmâli, yaitu hanya terbatas pada

    makna-makna secara global, dan tidak sampai pada pembahasan aspek

    lainnya semisal pembahasan bahasa, asbâb al-Nuzûl, dsb. Selain itu,

    Rîhânî juga menggunakan metode tahlili di mana keseluruhan tafsir

    dilakukan secara tertib dari surat al-Baqarah sampai dengan surat al-

    Ikhlâs. Berbeda dengan Rîhânî, penelitian ini dilakukan dengan membatasi

    pemilihan ayat-ayat al-Qur‘ân yang khusus membahas seputar tema-tema

    zikir.

    2. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy yang berjudul Pedoman Zikir

    dan Doa. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai hukum dan

    kedudukan zikir dalam rangka iman dan islam. Berzikir dan berdoa

  • 25

    sebagai sarana berkomunikasi dengan Allah Swt, aspek-aspek ibadah dan

    keutamaan waktu dalam melakukan zikir.33

    3. Javad Nurbakhs judul bukunya Tenteram Bersama Sufi: Zikir, Tafakur,

    Murâqabah, Muhâsabah, dan Wirid. Karya ini membahas tentang

    keutamaan berzikir, syarat, rukun, dan aturan berzikir serta implikasinya,

    kemudian tentang keutamaan doa dan keutamaan berkumpul dalam

    kelompok Sufi.34

    4. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur‘ân tentang Zikir dan

    Doa. Pembahasan dalam karya ini diawali dengan makna dan subtansi

    zikir. Kemudian media dan waktu berzikir, bacaan zikir, dampak zikir bagi

    kehidupan dan uraian selanjutnya membahas tentang kandungan doa dan

    tata cara berdoa dan selawat.35

    5. Buku karya Sudirman Tebba, yang berjudul Meditasi Sufistik

    menjelaskan tentang zikir dan doa dalam Islam.36

    Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini memiliki perbedaan pokok

    bahasan kendati memiliki kesamaan dalam tema yang dibahas. Misal, berbeda

    dengan al-Rîhânî yang membahas keseluruhan topik yang ditafsirkan (tak terbatas

    hanya dari aspek zikir saja), penelitian ini dilakukan dengan membatasi pemilihan

    ayat-ayat al-Qur‘ân dan hadis yang khusus membahas seputar tema-tema zikir.

    Demikian pula halnya dengan karya Sudirman Tebba yang memfokuskan kajian

    33 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zikir dan Doa, (Semarang: PT.

    Pustaka Rizki Putra, 2002). 34 Javad Nurbakhsh, Tenteram Bersama Sufi: Zikir, Tafakur, Muraqabah, Muhasabah,

    dan Wirid, (Jakarta: Serambi, 2004). 35 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‘ân Tentang Zikir dan Doa, (Jakarta: Lentera Hati,

    2008), Cet. III. 36 Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik, (Ciputat: Kalam Pustaka, 2004)

  • 26

    pada ranah zikir dalam konteks mistisisme, atau Javad Nurbakhs yang

    menekankan keutamaan zikir dan implikasinya, atau Quraish Shihab dengan adab

    zikir secara umum. Dengan demikian, peneliti belum pernah menjumpai karya

    ilmiah dan penelitian-penelitian seperti yang akan peneliti lakukan. Maka, Tesis

    dengan judul ―Analisis Ayat-Ayat Tentang Zikir Dalam Tafsîr Al-Imâm Al-

    Ghazâlî Karya Al-Rîhânî‖, peneliti ajukan untuk diadakan penelitian lebih lanjut.

    Hal ini merupakan kemurnian dalam Tesis ini, karena belum ada yang membahas

    dalam penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan zikir yang

    merujuk kepada Kitâb Tafsîr al-Imâm al-Ghazâlî yang ditulis oleh al-Rîhânî,

    khususnya dalam memahami konsep zikir al-Ghazâlî.

    F. Metodologi Penelitian

    1. Deskriptif-Kualitatif

    Penelitian yang berjudul Analisis Ayat-Ayat Tentang Zikir Dalam Tafsîr Al-

    Imâm Al-Ghazâlî Karya Al-Rîhânî ini, menggunakan metode deskriptif-kualitatif.

    Menurut Ratna, metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah,

    data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang

    mendorong metode kualitatif dianggap sebagai multimetode. Sebab, penelitian

    pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan.37

    Lebih lanjut, Nyoman menjelaskan (menguraikan unsur-unsurnya) ciri

    terpenting dalam metode kualitatif, yaitu:38

    37 Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari

    Strukturalisme hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 47.

    Selanjutnya disebut sebagai: Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra:

    dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. 38 Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari

    Strukturalisme hingga Postrukturalisme, hlm. 47—48.

  • 27

    1. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan

    hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural;

    2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian,

    sehingga makna selalu berubah;

    3. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian. Dalam hal

    ini, subjek peneliti sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi

    langsung di antara keduanya;

    4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara. Sebab, penelitian

    bersifat terbuka; dan

    5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya

    masing-masing.

    Sedangkan menurut Moleong,39

    penelitian kualitatif adalah penelitian yang

    bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

    penelitian misalnya; perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara

    holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu

    konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

    alamiah. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan,

    wawancara, atau penelaahan dokumen.

    Penelitian tafsir hadis sebagai ilmu pengetahuan, pasti memerlukan

    perangkat keilmiahan. Untuk itu, pendekatan, metode, objek yang jelas dan

    menggunakan langkah-langkah akurat tentu akan menghasilkan aspek keilmiahan.

    39 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya

    Offset, 2006), hlm. 6. Selanjutnya disebut sebagai: Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian

    Kualitatif.

  • 28

    Metode penelitian merupakan kerangka aktivitas guna melakukan suatu tindakan

    atau penelitian. Dalam melakukan penelitian ihwal Analisis Ayat-Ayat Tentang

    Zikir Dalam Tafsîr Al-Imâm Al-Ghazâlî Karya Al-Rîhânî, peneliti melakukannya

    dengan metode deskriptif-kualitatif sekaligus riset berbasis pustaka (library

    research) yaitu mengumpulkan data baik data primer maupun sekunder dan

    meneliti referensi-referensi dengan objek yang dikaji.

    Dalam perkembangan metodologi terkini, bidang ilmu humaniora (filsafat,

    bahasa, sastra, seni, sejarah, dan agama) serta bidang ilmu sosial sesuai dengan

    sifat keilmuannya telah mengembangkan deskriptif-kualitatif sebagai payung

    besar metodisnya. Hal yang patut digarisbawahi, paradigma metode penelitian

    deskriptif-kualitatif sebenarnya sudah lama dicobakembangkan oleh para ahli

    pikir, paling tidak oleh John Dewey ketika menulis How We Think (1930-an).

    Definisi metode ini adalah penggambaran secara kualitatif fakta, data, atau

    objek material yang bukan berupa rangkaian angka, melainkan berupa wacana

    (apa pun itu bentuknya) melalui interpretasi yang tepat dan sistematis.

    Penggunaan deskriptif-kualitatif sebagai payung besar metodis amatlah

    diperlukan. Sebab, paradigma tersebut sedang berkembang dan dijadikan payung

    besar metode di dunia penelitian bidang ilmu humaniora. Di samping itu, terutama

    dalam hal analisis data, metode ini dapat meminta bantuan pelbagai metode lain

    yang relevan sepanjang dibutuhkan, seperti metode induktif, metode deduktif,

    metode historis, metode analitika bahasa, metode grounded, metode

    hermeneutika, metode komparatif, metode semiotika, tindakan bahasa (Speech-

    act) atau metode framing.

  • 29

    Menurut Moleong, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang

    menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan

    perilaku yang dapat diamati.40

    Lebih khusus, Miles dan Huberman

    mengemukakan bahwa metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan

    yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat, dan/atau organisasi dalam

    kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, mendalam, dan dapat

    dipertanggungjawabkan.41

    Adapun langkah-langkah yang peneliti tempuh dalam melaksanakan

    penelitian kualitatif ini adalah sebagai berikut:

    (1) menetapkan fokus penelitian: dalam tahap ini peneliti merumuskan

    pertanyaan yang berlandaskan pada permasalahan penelitian yang hendak

    dicari jawabannya.

    (2) menentukan subjek penelitian: subjek penelitian merupakan suatu kesatuan

    yang telah ditentukan sejak awal. Subjek penelitian ini merupakan data

    primer yang akan diolah berdasarkan fokus penelitiannya.

    (3) tahap pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data: tahap

    pengolahan dan analisis data dilakukan secara bersamaan dengan proses

    penelitian ini. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan kategorisasi

    untuk mempermudah pengolahan data. Pengolahan atau analisis data

    dilakukan secara bersamaan. Hal ini dilakukan mengingat saat proses

    40 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 6. 41 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D, (Bandung:

    Alfabeta, 2009), hlm. 16—21.

  • 30

    analisis data, peneliti kembali membuka referensi-referensi tambahan yang

    dianggap perlu lalu mengolahnya kembali.

    (4) tahap penyajian data: hasil temuan, pemahaman, serta penelitian ini

    disajikan dalam bentuk laporan yang diwujudkan dalam format tesis.

    a. Sumber Data

    1. Sumber Primer

    Sumber data yang dijadikan pokok pada penelitian ini adalah data-data

    primer dan data-data sekunder. Primernya sebuah data didasarkan pada

    relevansinya dengan konsep zikir sebagai objek yang dikaji. Yang dimaksud

    dengan data primer dalam penelitian ini adalah sumber pokok yang diambil dari

    karya Muhammad al-Rîhânî berjudul ―Tafsîr Al-Imâm Al-Ghazâlî‖. Kitab yang

    dirujuk sebagai data primer ini tidak diambil dari tafsir karya Imâm al-

    Ghazâlî secara langsung karena tidak adanya karya khusus hal-ihwal tafsir Imâm

    Ghazâlî yang dapat ditemukan dewasa ini. Oleh karenanya, Muhammad al-Rîhânî

    mengumpulkan al-Ghazâlî dari karya-karyanya dengan jumlah data tafsir 1303

    yang tersebar dalam 41 buku karya al-Ghazâlî . Dari pengumpulan data-data

    tersebut tentu sudah mencakup referensi dari buku-buku pokok al-Ghazâlî seperti

    Ihyâ‘ ‗Ulûm al-Dîn dan al-‗Arba‘în fi Usûl al-Dîn. Data primer yang akan dikaji

    berdasarkan konteks ayat-ayat al-Qur‘ân (sebagai sumber utama penelitian) yang

    berhubungan dengan topik zikir.

    2. Sumber Sekunder

  • 31

    Sumber sekunder yaitu sumber yang biasanya telah tersusun dalam

    bentuk dokumen-dokumen.42

    Biasanya data yang diperoleh dari buku tafsir, hadis,

    buku-buku dan dokumentasi yang relevan dengan penelitian ini. Data ini

    biasanya digunakan untuk melengkapi data primer, dalam hal ini buku-buku

    tafsir, hadis dan buku-buku yang berkaitan dengan konsep zikir dan metode tafsir

    al-Ghazâlî .

    2. Teknik Pengumpulan Data

    a. Studi Literatur (Library Research)

    Studi literatur adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan

    mempergunakan bahan-bahan tertulis sebagai dokumen-dokumen bentuk

    lainnya seperti buku-buku, koran, majalah, artikel, dan sejenisnya. Dengan kata

    lain, tahap pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dengan teknik

    catat. Data-data primer dan sekunder dikumpulkan dari buku maupun jurnal-jurnal

    penelitian. Data-data yang memberikan sumbangan bagi pendalaman tesis akan

    diklasifikasi, sementara data-data yang kurang mendukung digunakan sebagai

    informasi tambahan sejauh dibutuhkan.

    Dalam penelitian ini penulis menggunakan berbagai metode di antaranya:

    1. Metode Dokumentasi

    Peneliti menggunakan metode dokumentasi untuk memperoleh data-data

    yang diperlukan dalam penelitian ini. Metode dokumentasi adalah pengumpulan

    bukti-bukti dan keterangan-keterangan seperti kutipan-kutipan dari buletin, surat

    kabar, gambar-gambar, dan lain sebagainya.

    42 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif , hlm. 157.

  • 32

    2. Metode Analisis Data

    Setelah data terkumpul, maka selanjutnya peneliti akan menganalisis data

    tersebut secara kualitatif. Dari data-data yang telah diklasifikasi kemudian peneliti

    akan melakukan telaah dan penyajian. Pertama, memaparkan pemikiran para

    tokoh dan ulama terkait dengan topik zikir yang terdapat dalam sumber primer.

    Lalu, peneliti akan memetakan ayat-ayat zikir yang mengacu kepada metode tafsir

    al-Ghazâlî yang dirujuk melalui karya al-Rîhânî. Setelah itu, peneliti akan

    memaparkan hasil analisis untuk mengemukakan benang merah/simpulan dari

    keseluruhan penelitian.

    G. Sistematika Penulisan

    Dalam penelitian ini, peneliti membagi paparan menjadi bab-bab dan

    subbab. Secara singkat, tesis ini akan dibagi menjadi lima Bab beserta subbabnya.

    Setiap bab dipandang sebagai satu-kesatuan yang dekat. Antara bab sendiri

    merupakan satu-kesatuan dalam rangka memecahkan pokok masalah yang telah

    ditetapkan sebelumnya. Adapun sistematika penulisan atau pembagian bab tulisan

    ini dapat dirinci sebagai berikut:

    Bab I, bagian pendahuluan, memuat Latar Belakang Masalah, yang

    berisikan informasi tersusun & sistematis berkaitan dengan fenomena dan

    problematika yang menarik untuk diteliti; Identifikasi Masalah, berisi proses hasil

    pengenalan masalah yang dibenangmerahkan melalui latar belakang masalah;

    Rumusan dan Batasan Masalah, rumusan masalah disajikan dalam bentuk

    pertanyaan yang dibatasi ruang-lingkupnya. Sehingga, diharapkan penelitian ini

    dapat menghasilkan penarikan simpulan yang jelas dan tegas sesuai tujuan

  • 33

    penelitian; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Kajian Pustaka; Metode

    Penelitian yang memuat: 1) Pengumpulan Data yang memuat: (a) Jenis dan

    Sumber Data, (b) Teknik Pengumpulan Data; 2) Pengolahan Data: yang memuat

    (a) Langkah-langkah Penyajian, (b) Pendekatan/Metode Analisis Data yang

    memuat deskripsi singkat mengenai aktivitas memetakan serta menganalisis data.

    Selanjutnya, pada Bab II, peneliti akan membahas latar belakang

    i