the discourse - nulisbuku.com fileviii spontan. yang jelas, waktu luang menjadi kata kunci mengapa...
Post on 27-Apr-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
THE DISCOURSE
Kritik Sosial Anak Nongkrong
Sidiq Hari Madya
Ferdi Arifin
Satria Aji Imawan
ii
THE DISCOURSE: KRITIK SOSIAL ANAK NONGKRONG
Penulis: Sidiq Hari Madya, Ferdi Arifin, Satria Aji Imawan
Editor: Rifki Amelia Fadlina
Desain Sampul: Farhan Ismail
Tata Letak: Adhistya Virdhiayani Yudhanti
Penerbit
LeisureTalks@gmail.com
Copyright © 2014
Hak cipta dilindungi Undang-undang
ISBN: 978-602-7709-76-8
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
iii
Seandainya kami musisi, maka kami memainkan musik.
Seandainya kami pelukis, maka kami melukis.
Namun kami sarjana dengan pengalaman jurnalis kampus,
maka kami menulis.
iv
v
vi
SEKAPUR SIRIH
enomena anak nongkrong identik dengan anak muda
yang suka menghabiskan waktu sambil berkumpul dan
ngobrol sana-sini meskipun sebenarnya tidak begitu
jelas tujuannya. Bagi sebagian orang, nongkrong dianggap
tidak ada gunanya karena jauh dari aktivitas produktif dan
cenderung hanya membuang-buang waktu. Barangkali,
faktanya memang demikian karena nongkrong biasanya diisi
dengan serangkaian aktivitas yang bersifat konsumtif. Tidak
hanya waktu luang yang dikonsumsi, melainkan juga topik
obrolan dan makanan atau mungkin juga camilan. Apalagi di
era gadget, anak nongkrong sering kali ber-gadget ria ketika
nongkrong. Inilah potret bahwa teknologi pun ikut
dikonsumsi.
Nongkrong—atau kami lebih sering menyebutnya kongko-
kongko—begitu lekat dengan kesan negatif walaupun pada
kenyataannya tidak selalu demikian. Bagi manusia dengan
segudang waktu luang yang hobi ngobrol sana-sini seperti
kami, nongkrong bisa ada gunanya, bisa pula tidak,
tergantung pada topik obrolan. Kita semua paham, tulisan
mampu mengabadikan ucapan. Tulisan ini merupakan ikhtiar
kami untuk mengabadikan ide-ide yang pernah berseliweran
dalam obrolan kami ketika nongkrong. Mengompilasinya ke
dalam sebuah buku sebenarnya merupakan gagasan yang
sudah lama terpendam.
Kami menyeleksi topik obrolan ketika nongkrong, lalu
menuangkannya kembali dalam bentuk tulisan. Bagaikan
ucapan yang membeku, obrolan nongkrong pun kami harap
bisa menjadi sebuah buku. Tentunya, kami bersyukur akhirnya
F
vii
dapat mendokumentasikannya ke dalam buku ini. Inilah buah
hasil obrolan kami selama kongko-kongko yang sengaja kami
kemas menjadi sebuah opini lepas. Jadi, siapa bilang
menghabiskan waktu dengan nongkrong sama sekali enggak
ada gunanya?
Sejak bergabung dengan sebuah komunitas pers mahasiswa
SKM UGM Bulaksumur, nongkrong menjadi cara lumrah kami
untuk sekadar menghabiskan malam di akhir pekan. Saat itu,
status sebagai mahasiswa sekaligus jurnalis kampus memantik
rasa haus kami untuk berkumpul dan mengobrol. Kami gemar
berdiskusi mencurahkan hampir segala hal yang
bergentayangan di dalam pikiran. Sampai sekarang,
sepertinya nongkrong sambil ngobrol ngalor-ngidul telah
menjadi sebuah kebiasaan.
Semuanya berawal pada tahun 2012, ketika sekomplotan
awak SKM UGM Bulaksumur sering kali menghabiskan waktu
luang dengan berkumpul sambil makan dan ngobrol. Kami,
yang pada waktu itu menyandang status sebagai mahasiswa
tingkat akhir, tak terbantahkan lagi memiliki tingkat waktu
luang yang begitu tinggi. Puncaknya, kongko-kongko menjadi
agenda yang paling rutin. Terlebih di Yogyakarta, ruang publik
yang menyediakan fasilitas untuk orang-orang seperti kami
tersebar di mana-mana. Lengkaplah sudah perpaduan antara
keinginan dan harapan meskipun sebenarnya lebih tepat
didukung oleh kondisi dan keadaan.
Kami kumpul bareng sekadar untuk menghabiskan malam.
Saking asyiknya, sesekali tanpa sadar kami kumpul sampai
menembus pagi. Segala hal diobrolkan mulai dari persoalan
yang paling berat sampai yang paling sepele nyaris tanpa
mutu. Tak perlu ditutup-tutupi karena memang tak ada alur
narasi yang direncanakan. Semua obrolan berlangsung
viii
spontan. Yang jelas, waktu luang menjadi kata kunci mengapa
kami lakukan semua ini.
Pada tahun 2013, kami lulus kuliah sehingga mau tak mau
menyandang gelar sarjana. Pasca divonis sebagai sarjana,
kami berkiprah di jalan masing-masing. Intensitas kongko
menurun drastis, hanya segelintir saja yang tersisa. Namun,
spirit kami untuk berwacana dan bertukar gagasan tetap
hidup. Terima kasih media sosial dan semua aplikasi online
yang memungkinkan kami untuk terus menjalin komunikasi
meski dengan segala keterbatasan. Kongko-kongko yang
nyaris tinggal kenangan itu untungnya masih bisa berlanjut
meski dengan segelintir orang. Saat itulah muncul ide untuk
menyulap obrolan yang sudah-sudah menjadi sebuah
tulisan—tentunya, kami sengaja menyingkirkan obrolan yang
tak bermutu.
Kami mulai mengingat-ingat kembali topik-topik yang pernah
menjadi bahan obrolan, lalu menuangkannya ke dalam
sebuah tulisan. Kami tambah pula tulisan tentang
pengalaman-pengalaman yang kami alami pascaturun dari
menara gading. Ibarat orang awam dinaungi kegelisahan,
begitulah yang kami rasakan ketika pertama kali melihat
dunia sekitar secara langsung. Jika biasanya kami curahkan
melalui obrolan, di sini kami urai kegelisahan ke dalam tulisan.
Akhirnya, terkumpullah 37 artikel.
Buku ini merupakan kompilasi artikel yang berhasil kami
himpun. Secara struktural, buku ini terdiri atas tiga bagian,
yakni sosial, budaya, dan politik. Tiap bagian ditulis oleh
seorang penulis dengan perspektif dan gaya bahasa masing-
masing. Bagian pertama berkaitan dengan fenomena sosial
sehari-hari yang dilihat dari sudut pandang ilmu sosial, ditulis
oleh Sidiq Hari Madya. Bagian kedua berisi tentang fenomena
ix
budaya masyarakat, ditulis dengan pendekatan ilmu
kebudayaan, oleh Ferdi Arifin. Bagian ketiga berisi tentang
fenomena politik dan ekonomi dengan pendekatan ilmu
politik, ditulis oleh Satria Aji Imawan.
Ketiga penulis merupakan sarjana Universitas Gadjah Mada
yang memiliki kesamaan minat pada kegiatan nongkrong,
diskusi, dan menulis. Sidiq Hari Madya saat ini aktif sebagai
asisten peneliti dalam program riset “Youth-based
Environmental Organization in Indonesia” oleh Youth Studies
Centre UGM. Ferdi Arifin saat ini merupakan mahasiswa
Pascasarjana Ilmu Linguistik UGM, penerima beasiswa dari
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Satria Aji Imawan saat ini bekerja
sebagai asisten rektor UGM.
Tak luput dalam kesempatan ini kami berterima kasih kepada
para pendidik, ibu serta bapak dosen UGM yang telah
membimbing kami, terutama atas materi kuliah yang sengaja
ataupun tanpa sengaja kami jadikan sajian kongko-kongko
kami. Terima kasih pula sebanyak-banyaknya kepada kawan-
kawan seperjuangan yang telah bersama-sama merintis
agenda fenomenal berupa kongko-kongko. Juga kepada
kawan-kawan jurnalis kampus lainnya. Berikut orang-orang
yang berjasa dalam penulisan buku ini:
Cah-cah kongko yang inspiratif: Remo, Donne,
Beryl, Itok, Adityo, Afrianda, Chilmi, Imam Sadewa,
Pandu Wira, Rizky Ketjap, Rizky Cabuca, Reza,
Bayu, Luthfirahman Prem, Risa, Tiwi, Etha, Dian Kur,
Hanum, Juned, Anggi Lubis.
x
Para awak jurnalis kampus seperjuangan: Didi,
Syefi, Rifki, Aghnia, Eka, Hale, Salsa, Mayang, Gina,
Indi, Uli, Vita, Febri, Lulu, Arso, Rohman, Yogi, Aldi,
Aziz, Erik, Izuddin, Kiki, Tyas, Shabrina, Wandi,
Irene, Rina, Isna, Mukhanif, Afif, Zaki, Kautsar,
Sekar, Sonny, Dinda, Nastiti Ute, Oki, Keumala,
Hasna, Talitha, Novan, Winnalia, Anzu, Irma, Lin I,
Esti E, Sisil, Nisa TL, Wedar, Andin, Amanda Deby,
Hamada, Irsa NP, Damar, Destrianita, Farhan, serta
segenap awak jurnalis kampus yang saat ini masih
aktif berkiprah di SKM UGM Bulaksumur.
Terima kasih pula kepada tempat kongko kami:
B21, Djendelo Cafe, Angkringan Bunderan UGM,
Angkringan UNY, Burjo Samiasih, Burjo Palm
Kuning, Kedai 24, dan Mister Berger Sudirman.
Buku ini tentu terbuka untuk segala saran, kritik, dan masukan
lainnya. Silakan menikmati buku sederhana ini. Semoga dapat
membuat Anda tersenyum, tertawa, dan bertanya-tanya.
Enjoy!
Yogyakarta, Agustus 2014
xi
DAFTAR ISI
SEKAPUR SIRIH ................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................... xi
BAGIAN SOSIAL .................................................................... 1
PENGANTAR ............................................................................................ 2
Kota Tanpa Filsafat ............................................................................... 4
Borjuis Kampus....................................................................................... 8
Foucault dan Media Sosial ..............................................................11
Ibu-ibu Blackberry ...............................................................................15
Peran Marginal Keluarga ..................................................................18
Akar Krisis Lingkungan ......................................................................21
Ekologi dan Filosofi ............................................................................22
Primordialisme Almamater ..............................................................27
Hidangan Elit Politik ...........................................................................31
Kabut Peradaban .................................................................................34
BAGIAN II BUDAYA ........................................................... 39
PENGANTAR ..........................................................................................40
The Power of Words ............................................................................42
Agama Sosial.........................................................................................46
Pengikisan Bahasa Daerah ...............................................................50
Di Balik Eksistensi Burjo ....................................................................53
Angker .....................................................................................................57
Manusia Delman ..................................................................................61
xii
Mempertanyakan Eksistensi Hantu Lokal .................................. 65
Hutan Beton di Jakarta...................................................................... 69
Bahasamu Harimaumu ...................................................................... 72
Alih Fungsi Pendidikan Seks oleh Google ................................. 75
PNS: Sistem Keamanan Finansial .................................................. 78
Kehilangan Jalan di Yogyakarta! ................................................... 81
Tukang Serobot ................................................................................... 84
Menuju Kebenaran Indonesia ........................................................ 79
Simbolisme Agama dalam Kehidupan........................................ 92
Sinkretisme Kejawen dan Agama KTP ........................................ 95
Value dalam Tataran Proses Kehidupan .................................... 99
Demokrasi? ......................................................................................... 103
Fraternity of Kongko ....................................................................... 106
Jogja Berhenti Nyaman .................................................................. 110
BAGIAN III POLITIK ......................................................... 117
PENGANTAR ....................................................................................... 118
Koneksitas Nusantara atau Eksploitasi? .................................. 121
Ancaman Rekayasa Genetika Sosial ......................................... 127
Kebijakan Pendidikan Serampangan ........................................ 133
Merana di Negeri Sendiri .............................................................. 139
Pegawai Tidak Perlu Kritis! ........................................................... 144
Jebakan Kerja Sama Selatan-Selatan........................................ 148
Massive Capitalization Development ....................................... 153
TENTANG PENULIS ......................................................... 160
xiii
BAGIAN I SOSIAL
2 | THE DISCOURSE
PENGANTAR
Bagi ilmuwan sosial, setiap jengkal peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari begitu sarat akan
makna. Baik yang dialami sendiri maupun yang dialami
oleh orang lain, kehidupan sehari-hari sejatinya berisi
tentang „sekumpulan pengalaman‟ yang luar biasa.
Namun tentu saja, tidak semua orang mau
menyadarinya sehingga cenderung melihat kehidupan
sehari-hari tampak sangat biasa dan berlangsung
begitu saja, atau dalam bahasa nge-tren diistilahkan
sebagai taken-for-granted reality. Padahal jika mau
sedikit saja mengambil waktu untuk menyadari, ada
banyak peristiwa sosial menarik yang dapat dijadikan
bahan refleksi.
Bagian ini akan menampilkan sejumlah opini lepas yang
berangkat dari peristiwa kehidupan sehari-hari, baik
yang dialami secara langsung, diamati, maupun dari
cerita-cerita yang disampaikan selama kongko-kongko.
Penggalan fenomena sosial dalam kehidupan sehari-
hari direfleksikan secara kritis dalam bentuk narasi
berpadu imajinasi. Tentunya, tiap-tiap tulisan berupaya
dikontekskan dengan realitas sosial di sekitar, yakni
realitas keseharian yang dirasakan. Pada prinsipnya,
seluruh opini pada bagian ini dikemas dengan nuansa
subjektif penulis.
Tulisan pertama berjudul Kota Tanpa Filsafat, sebuah
kritik mengenai suatu kota yang sibuk tetapi nyaris
tanpa makna. Berikutnya adalah Borjuis Kampus,
tentang gejala-gejala pembedaan kelas sosial di
lingkungan kampus. Berikutnya, berkaitan dengan
KRITIK SOSIAL ANAK NONGKRONG | 3
fenomena gadget, ada tulisan Foucault dan Media Sosial
dan Ibu-ibu Blackberry. Sebuah keprihatinan melihat
peran keluarga sebagai sebuah institusi sosial terkecil
tertuang dalam Peran Marginal Keluarga. Tulisan
berikutnya bersingggungan dengan lingkungan, yakni
Akar Krisis Lingkungan serta Ekologi dan Filosofi.
Sedangkan isu politik tertuang dalam tulisan
Primordialisme Almamater dan Hidangan Elit Politik.
Terakhir, sebuah refleksi sosiologis berjudul Kabut
Peradaban. Selamat membaca!
4 | THE DISCOURSE
Kota Tanpa Filsafat
ebagian orang memilih tetap terjaga hingga larut
malam untuk sekadar minum kopi dan berdiskusi
dengan teman-temannya. Mereka sering kali
menggunakan kebebasan waktu malamnya untuk
bercakap dan berdebat, dari urusan personal sampai
sosial. Tak jarang pula perdebatan diisi dengan
sejumlah argumentasi yang mengutuk negara. Mereka
bicara politik, agama, filsafat, sampai menelisik moral
mana yang dianggap paling baik. Sering kali,
perdebatan berhenti pada sebuah kesadaran bahwa
masing-masing memiliki pandangan yang berbeda.
Di sini, di Yogyakarta, diskusi dari yang paling berat
sampai yang paling ringan lumrah mengisi malam-
malam di berbagai sudut kota. Saya merupakan salah
satu orang yang beruntung bisa merasakannya. Teman-
teman saya di kota ini mungkin juga demikian. Sesekali
di malam hari, kami berkumpul untuk sekadar sharing
tentang apa yang bergejolak di kepala kami. Memang
terkadang terlalu berat untuk menyimpannya sendiri.
Menyampaikannya kepada orang lain merupakan salah
satu ikhtiar untuk meringankannya.
Akan tetapi, hal yang paling penting dalam setiap
diskusi adalah adanya ruang untuk mencari makna.
Apapun yang didiskusikan, kami selalu punya
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
penting perihal makna kehidupan. Pelanggaran hukum,
kejahatan moral, intrik politik, dogma agama, apa
maknanya? Segala persoalan personal, masalah sosial,
S
KRITIK SOSIAL ANAK NONGKRONG | 5
apa maknanya? Apa makna semua ini? Apa maknanya
bagi kehidupan ini? Pertanyaan bernada filosofis
tersebut sering kali bergentayangan di pikiran, bahkan
meski malam telah usai dan diskusi telah selesai.
Yogyakarta merupakan kota intelektual, selain juga
sebagai kota budaya dan seni. Di kota ini, mimbar
kebebasan dibuka lebar. Faktor utama pendukung
kebebasan berpendapat dan berdiskusi, bagi saya,
bukan sekadar keberadaan ruang publik, melainkan
orang-orangnya. Pertanyaan filosofis seputar pencarian
makna menyelingi setiap diskusi. Tak jarang pertanyaan
tersebut berujung pada pertanyaan lain tanpa jawaban.
Itu bukan suatu kekecewaan, sebab pertanyaan selalu
berguna bagi upaya refleksi dan membangkitkan
kesadaran. Beruntung sekali, Yogyakarta menyediakan
ruang untuk hal ini.
Setiap kota memiliki karakternya masing-masing.
Belakangan, saya sering mendengar pendapat teman-
teman saya yang tinggal di suatu kota yang sering
disebut metropolitan tentang nihilnya „ruang filsafat‟ ini.
Menurutnya, kota seperti yang diceritakannya itu
memiliki tempo dan tensi yang sangat tinggi.
Sedemikian tingginya hingga orang-orang yang tinggal
di dalamnya harus mengikuti iramanya. Jika tidak,
seseorang tentu akan tertinggal. Di kota itu, semua
orang bergerak sangat cepat. Kompetisi yang tinggi
membuat semua orang bersemangat untuk
memperoleh prestasi. Namun efek sampingnya,
semangat itu sering kali dilampiaskan dengan wujud
saling sikut. Tentu saja yang lemah akan terjatuh.
Bahkan jika sudah terjatuh, bisa terinjak dan tergilas.
6 | THE DISCOURSE
Diskusi yang berisi percakapan dan perdebatan
merupakan ruang refleksi. Tempo dan tensi yang begitu
tinggi cenderung membuat orang lupa akan refleksi. Di
kota itu, manusia hampir tidak memiliki waktu untuk
sekadar berdiam diri, apalagi bercakap dan berdiskusi.
Jika digambarkan secara ekstrem, kota itu tidak
menyediakan orang-orang yang mau diajak duduk
bersama, memikirkan esensi kehidupan ini dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan esensial tentang
kehidupan. Hampir tidak ada orang yang mau
mendengar keluhan orang lain dengan sukarela, apalagi
ikut merasakan penderitaannya. Kota itu tidak pernah
tidur. Siang dan malam begitu berisik dan bising. Saya
menamakan kota tanpa permenungan itu sebagai „Kota
Tanpa Filsafat‟.
Kota itu tanpa filsafat sebab hampir tidak ada
percakapan, perdebatan, dan diskusi tentang pencarian
makna kehidupan. Di kota tanpa filsafat, diskusi sekilas
tampak di ruang-ruang publik. Namun setelah diamati
dari dekat, tidak ada pencarian makna. Orang-orang di
kota itu membawa apa yang ditontonnya untuk
diceritakan kembali tanpa penyelidikan makna yang
lebih serius. Kata filsafat hampir tak terdengar di kota
itu. Kalaupun terdengar, orang segera menutup telinga
karena merasa tidak ada gunanya.
Hidup di kota tanpa filsafat mungkin seperti hidup
dalam kesunyian di tengah keramaian. Kehidupan
sehari-hari di kota tanpa filsafat memperlihatkan praktik
kesibukan meskipun sebenarnya hanya ada kehampaan
di dalamnya. Sesungguhnya, yang menciptakan kota
KRITIK SOSIAL ANAK NONGKRONG | 7
seperti itu adalah orang-orangnya karena yang dapat
membentuk „peradaban‟ suatu kota adalah orang-
orangnya. Semoga saja, kita sebagai manusia terus
memberi kehidupan terutama di tempat di mana kita
berada. Tentu saja, salah satunya mengadakan diskusi
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis
seputar pencarian makna.
top related