syarifudin, problematika dakwah di maluku
Post on 30-Jul-2015
34 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 0
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 1
PENDAHULUAN
I. Latar belakang
Sejarah problematika dakwah Muhammad SAW sebagai peletak
dasar ajaran Islam merupakan Nabi yang terakhir, yang diutus Allah
SWT untuk menyempurnakan ajaran tauhid yang telah dibawa oleh para
Nabi sebelumnya. Di mana pada awalnya ajaran tauhid yang telah
dibawa para Nabi sebelumnya masih murni, namun karena jarak waktu
yang panjang atau pertemuan para Nabi dalam satu zaman berbeda-beda.
Maka pencampuran akidah tauhid yang tadinya murni, tercampur-aduk
oleh akidah khurafat, bid’ah, dan penyimpangan. Oleh karena itu,
dengan diutusnya Muhammad sebagai pengemban misi dakwah tauhid,
menjadi tugas utama dalam penyampaian risalah dakwahnya.
Dakwah merupakan jalan menuju Islam maksudnya adalah panggilan
dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia
agar menganut ajaran Islam (agama),1 dengan cara beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT bersikap sesuai dengan garis-garis aqidah
dan syariat serta akhlak Islamiyah, Islam adalah agama yang mencakup
dan mengatur segala aspek kehidupan manusia guna memperoleh ridha
dari Allah SWT.
1‘Abdul Kari>m Zaida>n, Us}u>l al-Da‘wah (Cet. 9; Libanon: Mu>assatur al-
Risa>lah, 2001), h. 7.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 2
Pada permulaan kenabian Muhammad SAW, mencanangkan ide-ide
pokok tentang Islam, kemudian tahap selanjutnya mengajarkan ibadah,
perundang-undangan sosial dan pidana atau hukum Alquran yang
diterapkan oleh Islam. di Mekah ajaran Islam masih bersifat semu, tetapi
dalam periode Madinah ajaran itu menjadi universal. Islam merupakan
kesatuan, keseluruhan, tidak merupakan aspek agama di satu pihak dan
aspek sosial dan politik di pihak lain. Jadi Islam di sini adalah agama
risalah yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW dan agama Islam
adalah agama dakwah artinya agama yang di dalamnya terdapat
kewajiban untuk menyebarluaskan kebenaran dalam mengatur segala
aspek kehidupan orang Mukmin.2
Bila dilihat dari hal tersebut, maka jelaslah bahwa perjuangan
dakwah Rasulullah di Madinah sudah meletakkan dasar-dasar
keagamaan, yang terdiri dari tatacara peribadatan, undang-undang
hukum pidana; sedangkan di Mekah masih dalam tahap pengenalan
tentang ajaran akidah Islam. Oleh karena itu, tantangan dakwah yang
dihadapi Muhammad di Mekah jauh lebih sulit ketimbang dakwah yang
dilakukan di Madinah.
Nah bagaimana kondisi dakwah hari ini khususnya provinsi Maluku
dimana Islam datang di Maluku melewati ruang, waktu, daratan budaya,
2Muhammad Haezan, ‚Dakwah Rasulullah SAW Menurut History Islam
(Periode Mekah-Madinah)‛ (Jurusan Dakwah dan Komunikasi STAIN Surakarta,
Surakarta 2008), h. 12.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 3
dan berbagai macam corak yang dilewati dalam perjalanan yang panjang
sehingga Islam Sampai di Maluku. Apakah problematika yang dihadapi
oleh umat yang ada di Mekah dan madina dengan di Maluku?
Problematika dakwah di Indonesia termasuk di Provinsi Maluku
sampai saat ini masih berada pada level perbedaan dalam cara
berdakwah, menerima pesan-pesan dakwah, dan pemahaman pada
agama masih sangat bervariasi. Problematika ini lahir adalah sebuah
keniscayaan karena manusia dilahirkan berbeda-beda suku, bahasa, dan
cara memandang sebuah objek sehingga berpotensi berbeda dalam
mengkomunikasikan bahasa agama.
Provinsi Maluku yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya,
bahasa, pemikiran, pemahaman, dan warisan-warisan ajaran agama yang
diproduksi pada masa lalu sampai saat ini masih sangat kental di kota
Ambon dan pelosok-pelosok yang ada di Maluku. Maluku yang memiliki
lima kabupaten kota antara kota Ambon Kabupaten Seram Bagian
Barat, Seram Bagian Timur, Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Buuru,
dan Buru Selatan. Semua kabupaten ini banyak didiami oleh komunitas
muslim dan bahkan ada kabupaten yang intensitas dakwahnya sangat
minim sehingga melahirkan kader-kader dan penduduk Islam yang sulit
diatur dalam berbagai aspek. Kondisi ini menjadi problematika dakwah
dewasa ini.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 4
Sebagai contoh di Komunitas Muallaf sampai saat ini
problematika sosial yang dihadapi umat yang ada di Seram bagian
Timur khususnya di komunitas Muallaf belum dapat pelayanan agama
yag maksimal dari mubalig sehingga kabuapten ini telah memberikan
sampah problematika dakwah di Maluku.
Masyarakat muallaf di Seram baian Timur dengan jumlah
penduduk kurang lebih 600 jiwa, tersebar di tiga dusun, yakni Dusun
Solang, Bonfia Pante, dan Bonfia Gunung. Menurut Kepala Desa Solang
Abu Bakar As-Shiddiq mengungkapkan bahwa warga Dusun Solang
semula 100% beragama Kristen Protestan belum mengetahui praktek
ibadah dengan benar sesuai syariat Islam. Hal itu tampak saat
mengambil air wudhu komunitas ini mendahulukan kaki duluan
sehingga membutuhkan pendampingan dan pemberdayaan.
Komunitas Kristiani di Desa Solang telah tinggal dan beranak-
pinak sejak tahun 1942 dengan menganut agama Kristen protestan.
Akibat dari tragedi kemanusiaan yang berujung pada isu SARA pada
tahun 1999 berdampak juga pada komunitas Kristen yang ada di Desa
Solang yang kemudian masuk Islam secara terpaksa, ketika perang yang
bernuansa SARA antara umat Islam dan Kristen terjadi di Maluku
melahirkan berdampak di Seram Bagian Timur Desa Solang. Untuk
menghindari korban kematian yang berjumlah besar dari komunitas
Kristen mereka berinisiatif masuk Islam demi mengamankan diri dari
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 5
serangan laskar jiha>d kaum muslimin di Kabupaten Seram Bagian Timur
(SBT).
Setelah komunitas Kristen ini memeluk Islam, salah satu
Problematika yang dihadapi komunitas muallaf di Desa Solang adalah
belum adanya pembinaan ajaran keislaman secara maksimal, tidak
adanya air bersih untuk beribadah, dan perumahannya belum memenuhi
syarat tinggal rumah sehat. Keadaan ini membutuhkan uluran tangan
dari pihak mubalig, pemberdayaan masyarakat Islam, motivator Islami,
dan BAZNAS. Dalam memberikan pemberdayaan dan pembinaan
melalui pendampingan aqidah, syari’ah, dan akhlaq. Prilaku keagamaan
secara syari’ah tidak maksimal sehingga praktek keagamaan banyak
yang keluar dari tata tertib ajaran Islam khusunya tata cara beribadah.
Hal itu tampak dalam penerapan ajaran aqidah, syari’ah, dan
akhlaq. Komunitas ini dikenal dengan komunitas kampung muallaf yang
tidak pernah dilakukan pembinaan agama Islam. Rumah ibadah
komunitas ini masih jauh dari kenyamanan beribadah karena pembuatan
masjid tidak sesuai dengan jumlah penduduk. Selain itu jalan menuju
komunitas muallaf ini masih sulit dijangkau. Hal ini juga disebabkan
oleh pemukiman yang jauh dari kota. Jarak dari kota Ambon ke Desa
Solang menggunakan waktu 32 jam menggunakan mobil avanza (sewa)
dengan biaya Rp. 3.900.000 pulang balik.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 6
Mata pencaharian warga muallaf di Desa Solang 98% sebagai
petani, ubi, kacang, dan warung penjual sembako. Fasilitas transportasi
untuk sampai pada desa ini menggunakan transportasi untuk darat dan
laut. Untuk trasportasi darat menggunakan motor, dan mobil, sedangkan
untuk transportasi laut menggunakan perahu dan kapal kayu (katinting).
Jarak tempuh menuju Desa Solang dari Kabupaten Bula selama lima jam
menggunakan bis dengan ongkos per/kepala sebesar Rp. 75.000.3
Transportasi laut per/orang Rp. 60.000,. salah satu aspek lemahnya
pembinaan agama di Desa muallaf ini akibat sulitnya dijangkau dan
minimnya trasnportasi menuju Desa Solang Kabupaten Seram Bagian
Timur. Minimnya transportasi tersebut menjadikan Desa ini semakin
terisolir dari berbagai informasi, hal ini berdampak pada minimnya
pemahaman ajaran Islam sehingga cenderung ajaran Kristen masih
mendominasi dalam pola prilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari.4
Hal tersebut tampak dalam prilaku keseharian mereka, seperti
kebiasaan melayat jenazah, perkawinan, dan kehidupan muamalah yang
masih diwarnai oleh prilaku yang sangat bertentangan dengan ajaran
Islam yaitu adanya kolaborasi pemahaman agama Islam dan Kristen.
3Hasan Pattikupang warga Desa Waru yang bertetangga dengan Desa
Solangwawancara oleh penulis di 17 Oktober 2012. 4Ibnu Jarir, Staf Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) IAIN Ambon,
mendeskripsikan ketika melakukan observasi awal di Desa Solang wawancara oleh
penulis di 20 Oktober 2012.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 7
Tidak adanya pembinaan ajaran Islam secara maksimal dari Instansi
yang berkepentingan sehingga tradisi kehidupan Ksisten masih
berpengaruh dalam proses ibadah dan prilaku sehingga sangat urget
perlunya pembinaan.
Desa Solang ini telah memiliki bangunan mushalla bantuan dari
pemerintah Kabupaten Seram bagian Timur (SBT), Sekolah Dasar 1
unit, Taman Pengajian Al-Qur’an (TPQ), 1 unit dengan jumlah santri 78
orang yang diajar oleh satu orang guru. Tenaga guru TPQ juga
merangkap sebagai imam. Sedangkan guru SD 3 orang dan 1 orang PNS.
Profil Desa ini sejak memeluk ajaran Islam sejak tahun 2000 belum
pernah diajarkan Islam secara kaffah, sehingga pemahaman tentang
agama Islam sangat sempit. Realitas struktur sosial komunitas seperti
ini tidak sehat dalam aspek interakasi sosial.
Hal ini jika dibairkan besar kemungkinan kembali pada agama
semula yakni Kristen. Permasalahan yang tampak pada komunitas
muallaf dari aspek pembinaan sosial keagamaan antara lain adalah
permasalahan akidah, syari’ah, akhlaq. Keadaan ini diperparah lagi
dengan belum adanya penerangan listrik, air bersih, yang menjadikan
daerah ini jauh dari sentuhan peradaban.5 Probematika lain yang sangat
memprihatinkan karena mereka belum mendapatkan perlakukan dan
5Muhammad Ilyas (Muallaf Desa Solang) wawancara oleh penulis di rumahnya
Desa Solang tanggal 18 Oktober 2012
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 8
pelayanan matriil dan pelayanan spiritual serta pemberdayaan dari
Pemerintah setempat maupun kementrian agama sebagai pencerah
Aqidah, syari’ah, dan akhlaq.
Pendampingan dan pemberdayaan komunitas muallaf ini
tergolong masih sangat minim di Maluku sehingga konsep dan konten
penerapan untuk mentrasformasikan model pembinaan agama masih
belum maksimal. Adapun yang telah memberikan sumbangan khazanah
pembinaan muallaf. Pada tahun 2005; pemberdayaan yang dilakukan
oleh Irene Handoyo komunitas Muallaf di SBT, Konsep pembinaannya
divokuskan pada masyarakat mencari bentuk pembinaan muallaf
sehingga kajiannya masih bentuk konsep sehingga belum ada pembinaan
yang langsung menyentuh komunitas muallaf di Desa Solang Kabupaten
Seram Bagian Timur.
Selain itu dari katalog Lembaga Penelitian IAIN Ambon sejak
lima tahun terakhir belum pernah melakukan penelitian dari tentang
pembinaan muallaf di Desa Solang Kabupaten Seram Bagian Timur
Sehingga pengabdian tentangnya dianggap Baru dan belum pernah ada
pendampingan dan pemberdayaan sebelumnya sehingga akan
memberikan kontribusi baru dan referensi pengabdian kepada
masyarakat di Provinsi Maluku dalam menghadapi pembinaan dan
pemberdayaan komunitas muallaf di Maluku di Desa Solang Kabupaten
Seram Bagian Timur.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 9
Komunitas muallaf di Desa sangat terisolasi dengan komunitas
Islam lainnya sehingga dikhawatirkan komunitas Muallaf ini kembali
menjadi agama kristen karena tidak ada pendampingan dan
pemberdayaan ibadah sehingga perlu pendampingan dan pemberdayaan
untuk mengingatkan pola pemahaman dan praktek beribadah dengan
baik dan benar. Desa muallaf ini tidak dicampur oleh komunitas Islam
lainnya sehingga tidak ada contoh atau teladan yang bisa menjadi
tempat bertanya tentang tata cara ibadah dengan baik dan benar.
Jika hal ini tidak dilakukan pendampingan dan pemberdayaan
aqidah, syari’ah, dan akhlaq maka ia akan terus menjalankan ibadah
shalat dan berwudhu tidak sesuai dengan syari’at yang telah disepakati
oleh para ulama. Misalnya mereka mengambil wudhu dari kaki duluan,
tata cara berkhutbah yang tidak sesuai dengan rukun khutbah, tata cara
melayat jenazah masih menggunakan tradisi kristiani.
Secara geografis Desa solang berada dalam Kecamatan Bula,
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Provinsi Maluku. Untuk sampai
di desa tersebut kami menempuh perjalanan darat menggunakan mobil
kurang lebih 60 KM dari Kota Bula. Perjalanan yang cukup jauh
memang dengan kondisi jalan yang belum di aspal.
Sebagian besar warga desa adalah mantan Nasrani. Solang sendiri
artinya ‘’hijrah’’ . Masyarakat Solan (di baca Solang) terdiri 83 Kepala
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 10
Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 500 jiwa, yang tersebar di tiga
dusun, yakni Dusun Solan, Bonfia Pante, dan Bonfia Gunung.
masyarakat Solang termasuk masyarakat pesisir dimana mata pecaharian
sehari-harinya adalah Petani. warga Dusun Solan semula beragama
Kristen Protestan, Sewaktu konflik Islam-Kristen meletus pada 1999,
masyarakat Solan terdesak. Namun Karena kecintaan mereka terhadap
tanah kelahiran mereka maka atas perintah kepala desa Mereka pun lalu
lari ke gunung.
Kepala desa yang nama islamnya Abu Bakar bemarga Ulialantutin
(nama aslinya Belvamar) ia mendapat tawaran dari pasukan Islam yang
menguasai Solan saat itu, untuk turun gunung secara damai. Menyadari
keadaan warganya, Abu Bakar Ulialantutin akhirnya setuju. Maka di
tahun 2002 Merekapun kembali ke kampung halaman dengan status baru
sebagai kaum Muslimin. Tak hanya itu. Setelah beberapa pekan
menikmati kebebasan dan keamanan sebagai umat Islam, Abu Bakar dan
para pemuka masyarakat lalu mengajak warga Bonfia untuk turun
gunung sebagaimana kaum Solang.
Probelmatika dakwah di Seram Bagian Timur sejak di Desa
Solang khususnya komunitas muallaf pada aspek pembinaan dan
pendampingan. Probematika ini yang dihadapi komunitas muallaf dalam
memahami Islam sekdar mengucapkan syahadat kemudian jarang
dilakukan pemberdayaan ajaran Islam secara komprehensip.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 11
Selain itu belum ada buku panduan Ibadah sebagai panduan dalam
melakukan shalat dan berwudhu dan cara memandikan janazah sehingga
membutuhkan pemdampiangan dan pemberdayaan tata cara pelaksanaan
shalat, menjadi imam, dan teknik pelaksanaan khitbah jumat. Selain itu
pembangunan rumah iabdah secara permanen untuk meningkatkan
kenyamanan dalam beribadah.
Secara syari’ah tampak dalam prilaku aqiqah, cara berwudu, dan
prinsip-prinsip kegamaan lainnya belum difahami secara maksimal
sehingga prilaku keagamaan masih seputar pengucapan syahadat saja.
Desain pendampiangan dan pemberdayaan akan difokuskan pada
pembinaan aqidah, syari’ah, dan akhlaq sehingga ada perbedaan disaat
memeluk agama Kristen dan memeluk ajaran Islam atau dari ibadah
menggunakan sepatu menuju ibadah melepaskan sepatu. Selain itu
mengajarkan tata cara berwudu, menjadi khatib, tata cara melayat
jenazah, dan ajaran rukun Islam dan rukun iman lainnya. Keprihatinan
Souwakil sebagai Imam di Desa Solang mengungkapkan bahwa adanya
ketidak seimbangan antara pembinaan ajaran Islam dengan jumlah
warga yang begitu besar. Selain itu lemahnya kementerian agama di
Kabupaten Bula mengjangkau Desa Solang sehingga perlu ada
pembinaan dengan berbagai strategis untuk menggerakkan pembinaan
agama Islam di Desa Muallaf (Solang) yang lebih kooperatif dengan
kondisi masyarakat di Desa Solang.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 12
No Uraian Jumlah
1 Jumlah Penduduk 125 KK
2 TPQ 1
3 Guru Mengaji 1 Orang
4 Sekolah Dasar 1 Unit
5 Guru PNS 1 Orang
6 Pekerjaan Tani 98 %
Dari diskusi tersebut tampak bahwa sejak ia menjadi tokoh agama
di Desa Solang pembinaan aqidah, syari’ah, dan akhlaq tidak pernah
dilakukan oleh kementrian agama.6 Adapun proses perkawinan di Desa
Solang ini di lakukan dengan cara nikah sirri oleh imam karena
kesadaran tertib administrasi membutuhkan waktu yang panjang dan
adanya kesulitan pada proses jangkauan kantor urusan agama di
Kabupaten Bula tidak mampu memenuhi kartu nikah akibat
keterbatasan kartu nikah yang ada di Kabupaten tersebut. Jarak yang
ditempuh dari Kabupaten tersebut ke Desa Solang lima sampai tujuh
jam naik mobil jika tidak hujan, tetapi jika hujan maka sulit ditempuh
6S. Swakil (Imam Masjid Desa Solang) wawancara oleh penulis di Desa Solang
tanggal 19 Oktober 2012
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 13
dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat, serta orang lebih
memilih jalan kaki.
Selain itu prilaku keagamaan dalam proses kematian di Desa
Solang juga dilakukan masih semi Islam dalam artian kerap kali
dimakamkan secara Islam dan juga dimakamkan secara Kristen akibat
sulitnya mendapatkan petugas jenazah. Salah satu tokoh masyarakat
muallaf mengungkapkan bahwa kami di Desa ini yang baru masuk Islam
100% belum tahu secara keseluruhan tata cara melayat jenazah secara
Islami.7 Hal ini tampak bahwa Desa Solong ini sebagai komunitas
muallaf yang permanen karena peningkatan pemahaman agama tidak
berkembang.
Pelajaran agama hanya didapatkan dari seorang imam dari Desa
Waru yang kebetulan mau tinggal dan mengajarkan agama tentang
Islam. Menurut Ilyas salah satu muallaf di Desa Solang mengungkapkan
bahwa pada umumnya komunitas Muallaf di Desa Solang ini 98% belum
tahun mengaji sehingga pada saat melakukan shalat belum ada surat
yang mampu dibaca. Selain itu tata cara berwudu, tata cara perkawinan,
dan tata cara memelihara nasab juga belum diaplikasikan secara Islami.
Keadaan ini ketika melakukan ibadah shalat tata cara shalat, wudu
kadang kali duluan, baru tangan yang terakhir baru tangan terakhir, tata
7Hadi Basalamah, Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat IAIN Ambon,
mendeskripsikan ketika melakukan observasi awal di Desa Solang wawancara oleh
penulis di 21 Oktober 2012.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 14
cara pernikahan kadang dihamili duluan baru dinikahi sebagaimana
waktu masih memeluk agama Kristen.8 Semua keadaan yang
memprihatinkan ini perlu adanya pembinaan secara komprehensif agar
mereka mampu merasakan cahaya Islam dari pihak yang terkait dengan
pembinaan agama Islam.
Informasi yang dikemukakan oleh Ilyas ini dapat digambarkan
bahwa Desa Solang ini termasuk masyarakat semi Islam karena praktik-
praktek ibadah secara Islami belum difahami secara maksimal. Hal ini
tampak saat melakukan perkawinan, aqikah, melayat jenazah, dan masih
banyak buta huruf aksara Arab. Selain itu pemahaman rukun Iman,
rukun Islam sampai saat ini belum difahami secara komprehensif
sehingga keyakinan mereka sangat rapuh tentang ajaran keislaman. Jika
mereka ini tidak dilakukan pembinaan keislaman maka lambat laun Desa
ini akan kembali pada agamanya semula karena mereka telah terbiasa
dengan pola hidup dalam ajaran kristiani.
A. Kondisi Dampingan yang Diharapkan.
1. Komunitas muallaf yang ada di desa Solang Kabupaten Seram
Bagian Timur dapat berubah secara permanen melakukan ibadah
sesuai syari’at agama Islam. Adanya perubahan signifikan dalam
8Ilyas, Tokoh masyarakat Desa Solang wawancara di rumahnya di Solang 20
Okotber 2012.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 15
pendampingan dan pemberdayaan melalui pembinaan aqidah,
syari’ah, dan akhlaq melalui komunikasi persuasif, empati, yang
dilakukan dalam bentuk praktikum Ibadah dengan tiga klaster
yaitu orang tua, remaja, dan anak-anak.
2. Dapat membaca panduan berupa kunci ibadah yang mudah dibaca
sesuai daya nalar komunitas muallaf di Desa Solang kawasan
pesisir di Kabupaten Seram Bagian Timur. Memberikan CD
panduan ibadah, buku khutbah, buku tata cara melayat jenazah,
dan buku penunjang lainnya yang berhubungan dengan ilmu
terapan keislaman.
3. Dari 125 KK jumlah komunitas muallaf 90 KK dapat memahami
tata cara beribadah dengan baik melalui pendampingan dan
pemberdayaan yang dilakukan melalui praktikum ibadah baik
secara langsung mapun dalam bentuk tayangan video atao
melalui CD player. Selain itu memberikan video tata cara
berwudhu dan pelaksaan ibadah shalat jumat, dan lima waktu
serta tata cara mengurus janazah dalam bentuk Compac Disk.
B. Strategi yang Dilakukan
Model pendampingan dan pemberdayaan yang akan dilakukan
pada komunitas muallaf di Desa Solang Kabupaten Seram Bagian Timur
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 16
yang berada dikawasan pesisir dilakukan dengan tiga model
pendampingan antara lain:
1. Memanfaatkan Sumber Daya Manusia yang ada disekitar Desa
Solang misalnya Penyuluh agama, Guru, Imam, dan Guru TPQ di
Kabupaten Seram Bagian Timur. Membuat ouline pendampingan
dan pemberdayaan tentang tata cara pembinaan praktek ibadah
sesuai syari’at agama Islam.
2. Strategi pendampingan dan pemberdayaan yang akan dilakukan
adalah memutar film praktikum ibadah, khubah jumat, cara
melayat jenazah, tata cara berwudhu, thahara pada orang tua,
remaja, dan anak-anak. Selain itu memebrikan buku panduan
berupa kunci ibadah yang mudah diakses dan dibaca sesuai daya
nalar komunitas muallaf di Desa Solang yang merupakan
masyarakat pesisir di Kabupaten Seram bagian Timur.
Memberikan CD panduan ibadah, buku khutbah, buku tata cara
melayat jenazah, dan buku penunjang lainnya yang berhubungan
dengan ilmu terapan keislaman.
3. Dari 125 KK jumlah komunitas muallaf 90 KK dapat memahami
tata cara beribadah dengan baik melalui pendampingan dan
pemberdayaan yang dilakukan melalui praktikum ibadah baik
secara langsung mapun dalam bentuk tayangan video atao
melalui CD player. Selain itu memberikan video tata cara
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 17
berwudhu dan pelaksaan ibadah shalat jumat, dan lima waktu
serta tata cara mengurus janazah dalam bentuk Compac Disk.
Selain pendampingan pada komunitas muallaf di Desa Solang
Kabupaten Seram Bagian Timur juga melakukan pemberdayaan
entrepreneuship untuk meningkatkan tarap hidup masyarakat miskin
pada komunitas muallaf di Desa Solang. Strategi pemberdayaan
kewirausahaan menggunakan konsep David C. Korten bahwa terapi
mental seseorang membutuhkan konten pembinaan material dan
spiritual sebagai spirit kebutuhan manusia. Paradigma ini juga sesuai
tujuan hidup manusia muslim dalam pandangan hidup menurut Al-
Gazali bahwa kehidupan di dunia itu adalah selamat di dunia dan
selamat di akhirat.9 Kesejahteraan dan ketaqwaan juga perlu
diberdayakan melalui pemberdayaan pembuatan mesin penetasan ayam
kampung dengan melakukan kerjasama dengan dinas peternakan di
Serang Bagian Timur.
Bentuk pemberdayaan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan
komunitas muallaf yang ada di Desa Solang yakni membuat penetasan
telur ayam kampung dan melakukan pembibitan kangkung cabut untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat muallaf di Desa Solang kabupaten
Seram bagian Timur.
9A. Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan dan Pemberdayaan Islam (Cet.
I; PT. Grafindo Persada, 2005), h. 230.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 18
Tulisan ini berusaha mendialogkan teks agama pada masyarakat
multikultural sebagai bentuk transformasi sosial. Untuk mendialogkan
agama tersebut membutuhkan epistemologi dakwah multikultural yang
selama ini ditafsirkan hanya sebatas tekstual. Pandangan ini sesuai
dengan Nashr terhadap sebagian ulama yang terkurung pada peradaban
teks Al-Quran. Hemat Nashr hanya didominasi oleh paradigma tekstual
belaka (monointerpretaif), sehingga diperlukan epistemologi tekstual,
kontekstual dan antartekstual untuk mendialogkan pesan-pesan Tuhan.10
Hal ini penting dikomunikasikan untuk mendapatkan metode
dakwah pada masyarakat multikultural terhadap problem marjinalisasi,
penindasan, dan ketidakadilan terhadap normatifitas paham
keagamaan.11
Problematika ini membutuhkan epistemology dakwah
pada masyarakat multikultural untuk membuka ruang bagi umat dari
kurungan teks yang ia pital sendiri untuk mengkomunikasikan pesan-
pesan agama pada masyarakat multikultural yang lebih komunikatif.
10
Marcel Danesi, Messages, Signs, and Meanings: A. Basic Textbook and Semiotics and Coomunication Theory Third Edition. (Canadian Press Inc, 2004). h. 17.
11Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Cet. I; Bandung: Pustaka Mizan, 2011), h. 64.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 19
Kurungan teks yang telah membudaya pada struktur masyarakat
multikultural menurut Max Weber yang dikutip Dede bahwa manusia
adalah hewan yang terkurung dalam jejaring makna-makna yang ia
pintal sendiri,12
Paradigma Weber dan Nasr ini hemat penulis perlu
penjelajahan makna dibalik teks. Dalam artian teks perlu dieksplorasi
maknanya.
Publikasi dakwah dewasa ini pada masyarakat multikultural masih
banyak kendala sehingga membutuhkan kajian filosofis-metodologis.
Problematika tersebut akibat dari tumpang tindih warisan teologi dan
aliran pemahaman, warisan kultural, kepentingan yang bercampur aduk
dengan agama sehingga sulit menyanring, kemurnian agama yang
sesungguhnya karena telah didoktrin oleh kebenaran yang dibentuk oleh
sejarah turun temurung yang mengkibatkan agama tidak berkembangan
secara natural. Hal ini berdampak pada aplikasi dakwah sehingga sulit
didialogkan karena telah terkontaminasi oleh problematika sejarah yang
panjang.13
Dalam konteks masyarakat multikultural yang hidup dalam satu
komunitas yang saling berhubungan dan ketergantungan antara satu
12
Dede Azwar Nurmansyah, Jurnal Al-huda: Kajian ilmiah ilmu-ilmu Islam
(Volume III tahun 2005). h. 39. 13
Ursula King, Historical Phenomenological Approach to the Study of religion
dalam Frank Whaling contemporary Approaches to the Studi of religion Vol.II The
Social Science (Berlin: Moutan Publishers, 1984) h. 106-109- 139, 140
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 20
dengan yang lain sangat urgent untuk melakukan dialog faham, aliran,
kredo, pedoman hidup, dan idiologi klasik tentang agama sehingga sulit
mendeteksi agama yang murnih dari warisan integrasi kultural dan
kepentingan.14
Ada kecendrungan paham yang tidak memiliki kekuasaan
terdegradasi oleh paham yang mengikuti pengikut besar, sehingga
paham lain cenderung disepelehkan.
Hemat penulis ini kurang berimbang dan tidak adail antara
menjaga keharmonisan dengan publikasi dari konstruksi media
membangun, dan menjual isu-isu yang dipublikasikan secara cepat oleh
media elektronik dan media cetak yang datanya mendadak, tekstual,
spontan tanpa disertai analisis mendalam apa dan bagaimana cara
mengkomunikasikan Al-Quran pada masyarakat multikultural yang
mudah diserap dan dicernah dengan menawarkan pilihan-pilihan bahasa
agama yang lebih komunikatif.
Problematika dari fenomena dakwah tersebut, penulis berusaha
mengeksplorasi Al-Quran Surah Al-Hujurat/49:13 sebagai inspirasi
epistemologi dakwah multikultural dalam pendekatan ilmu dakwah dan
komunikasi sebagai pijakan dalam mengekplorasi pesan-pesan agama
pada masyarakat multikultural. Fokus makalah ini secara spesifik
menelaah secara filosofis bagaimana mengkomunikasikan pesan-pesan
14Ibid., M. Amin Abdullah, h. 5
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 21
agama dalam teks Al-Quran pada masyarakat multikultural? Pertanyaan
inilah yang penulis akan eksplorasi dalam pembahasan makalah ini.
II. PEMBAHASAN
A. Landasan Normatif
Pengertian masyarakat multikultural yang dimaksudkan dalam
makalah ini adalah Komunitas masyarakat yang memiliki pemahaman
agama yang dikonstruksi dalam berbagai latarbelakang pendidikan,
etnis, budaya, faham, yang berbeda hidup saling ketergantungan, dan
saling mempengaruhi sesuai klaster sosial yang terbagung secara
natural.15
Definisi ini hemat penulis relevan dengan terjemahan atau
tafsiran kementrian agama tentang surah al-Hujurat/49: 13 yang
memberikan inspirasi tentang pola interaksi komunikasi antar berbagai
etnis.
Sehubungan dengan permasalahan itu penulis mengutip QS Al-
Hujurat/49:13 terjemahan kementerian Agama sebagai pijakan normatif
dalam mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat
multikultural. Tafsiran pada ayat ini Quraish tentang ( خلقنكنكم) bahwa
masyarakat itu saling ketergantungan antara satu dengan yang lain.16
15
Soejono Sukanto, Antropologi Budaya (Cet. III; Jakarta: Rineka cipta, 1987),
h. 99. 16
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir tematik atas Pelbagai Persoalan Agama (Cet. I; Mizan Media Utama, 2007), h. 437
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 22
Hal ini sesuai dengan pandangan Emile Durkheim ahli sosiolog yang
mengatakan bahwa manusia saling terintegrasi yang memiliki
kepentingan berdasarkan kebutuhan.17
Mengutip pandangan Basman yang dipahami dalam argumentasi
Arkoun bahwa idealnya Al-Quran itu sumber inspirasi teori. Dari
inspirasi Al-Quran inilah sebagai akademisi membangun epistemologi
dakwah yang relevan bagi komunitas masyarakat multikultural.18
Argumentasi Arkoun, pemikiran teologi klasik yang menggumpal dalam
sejarah peradaban Islam, membentuk format ortodoksi, pada gilirannya
mengimbas pada pola berekspresi dalam membahasakan agama.
Pemikiran tersebut tidak bergeming dari bentuk rumusan abad
pertengahan yang belum mengenal tatanan perubahan kehidupan sosial
kemasyarakatan serta perkembangan ilmu pengetahuan modern, baik
dalam bidang kealaman, maupun dalam bidang teknologi informasi
seperti yang dialami oleh masyarakat modern dewasa ini.19
Walaupun
harus diakui bahwa warisan pemikiran yang ada sekarang adalah
17
H.R. Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Moderen (Cet. I; Pustaka Pelajar, 2002), h. 44-45.
18Basman (45 tahun), Diskusi ilmiah dengan memperdebatkan persoalan
epistemologi dakwah di ruangan Lembaga penelitian IAIN Ambon tanggal 17 juni
2011 jam 09.32 wit.
19Arkoun, Tarikhiyyatu al-Fikri, al-‘arabi al-Islamy, (Beirut: Markaz al-Inma’al-
Qaumy, 1986), h. 87-89. Lihat pula M. Amin Abdullah, Falasafah Kalam, di Era Post Modernisme, (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 49.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 23
akumulasi dari beberapa pemikiran teologi klasik, dan pemikiran
Yunani.
Terminology Islamologi klasik saat ini sudah perlu didefinisikan
kembali karena Islamologi klasik tidak cukup memiliki fasilitas dalam
menterjemahkan persoalan sosial yang dihadapi masyarakat modern
dewasa ini. Untuk mengisi kekurangan ini, diperlukan ‚epistemology
dakwah‛ untuk mengkomunikasikan pesan-pesan agama dibalik
metateks yang selama ini diperdebatkan secara tekstual belaka. Praktek
ilmiah ini hemat penulis kurang memberikan kontribusi besar terhadap
perbaikan kehidupan manusia, karena itu pesan-pesan agama yang
terkurung dibalik teks sudah saatnya dieksplorasi untuk kebutuhan
manusia modern secara maksimal.
Hal ini telah dibuka gemboknya oleh Nashr Hamid Abu Zayd
yang menyatakan bahwa umat Islam harus keluar dari peradaban teks
jangan berhenti pada pemukaan teks saja.20
Untuk tidak terpenjara oleh
makna tekstual, begitupulan dan bertujuan untuk meciptakan kondisi-
kondisi yang menguntungkan dalam membebaskan pemikiran Islam dari
berbagai tatanan mitologi-mitologi yang menyesatkan.
Atas dasar dialog inilah sehingga penulis memilih paradigma
berpikir Arkoun dalam membangun metode dakwah untuk
20
Nashr Hamid Abu Zayd, Tesktualitas Al-Quran: Kritik terhadap ulumul Qur’an terjemahan (Cet. III; Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 1.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 24
mengkomunikasikan bahasa Al-Quran dengan menggunakan ilmu
hermenutika untuk memetakan informasi yang tersembunyi dibalik teks,
yang lebih relevan dengan fakta realitas masyarakat multikultural.21
Untuk mendialokkan ide-ide rahmatalli’alami dalam Al-Quran
khususnya pada masyarakat multikultural. Dalam tafsiran Kementrian
Agama QS al-Hujurat/49:13
Tafsirannya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.22
Dari tafsiran Kementerian Agama khususnya QS al-Hujurat/49:13
di atas, pada prinsipnya ayat tersebut telah terkurung oleh pemaknaan
satu bidang ilmu, tetapi jangan berhenti pada makna itu saja, perlu
dieksplorasi secara tekstual, kontekstual dan antar tektual dalam
berbagai macam pendekatan keilmuan untuk mengungkap, lapisan-
21
M. Arkoun, Al-Fikr al-Islamy: Naqad wa Ittihat, Terjemahan Hashim Salih
(London: Dar al-Saqi), h. 299. 22
Al-Quran Terjemahnya, Al-Juma>natul Ali> Yayasan Penejermah Al-Quran/pentafsir Kementrian Agama, (Bandung: CV. Penerbit J-Art, 2004), h. 518.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 25
lapisan makna untuk memperkaya khazanah, dan wawasan cara
membahasan atau mengkomunikasikan pesan Tuhan.23
pada masyarakat
multikultural dalam berbagai aspek, begitupula ayat lain. Ayat yang
perlu dieksplorasi adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
2. dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
3. menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
4. bersuku-suku
5. supaya kamu saling kenal-mengenal
Dari kelima pesan QS al-Hujurat/49:13 tersebut perlu diukngkap
secara tekstual, kontekstual dan antartekstual. Untuk
mengkomunikasikan makna dari kelima kalimat tersebut. Tapsiran
hanya sebagian kecil dari makna yang diungkap sementara makna
dibalik metateks tersebut, belum dieksplorasi secara profesionalisme
berdasarkan keilmuan yang memadai seperti disiplin ilmu tafsir, ilmu
hermeneutika, ilmu balagah, ilmu semiotika, dan berbagai macam ilmu
naskah/teks yang dianggap relevan untuk mengungkap pesan-pesan
agama dibalik teks Al-Quran.24
Semakin banyak infrastruktur keilmuan
23
Haidar Bagir, Bahasa Agama: Bahasa Tuhan Bahasa Manusia, kata pengantar
pada bukuKomaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Cet. I; Bandung: Pustaka Mizan, 2011), h. 64.
24op. cit., Marcel Danesi
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 26
dalam memahami ayat Al-Quran semakin banyak solusi dan informasi
yang akan dipublikasikan kepada masyarakat multikultural. Untuk
mengarungi luasnya samudra ilmu yang tersimpan rapih dan kokoh
dibalik teks Al-Quran sudah saatnya dibuka dan dieksplorasi rapi,
sistematis bagi kemasalahantan umat manusia dari penjara
ketidaktahuan.
B. Epistemologi Dakwah
Tak dapat dipungkiri rekaman peristiwa yang dikonstruksi oleh
para ilmuan masa lalu telah banyak memberikan kontribusi pemikiran
keilmuan yang tersebar keseluruh pelosok bumi ini, tetapi sebagai
ilmuan tidak cukup jika hanya mengandalkan pradigma klasik tersebut.
Kelemahan dari warisan keilmuan klasik bisa saja tidak relevan lagi
dengan situasi sekarang ini sehingga perlu redefinisi cara
mengkomunikasikan atau membahasakan pesan-pesan Tuhan dengan
berbagai macam pendekatan untuk mendapatkan banyak pilihan untuk
dijadikan epistemologi dakwah yang berdampak rahmatallilalamin
(rahmat bagi seluruh alam). Jika dipahami secara monointerpretasi tidak
terlalu relevan lagi dengan kondisi sosiologis masyarakatmultikultural
dewasa ini yang memiliki berbagai tantangan akibat akselerasi informasi
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 27
yang sangat kompleks.25
Maksudnya terminologi pesan agama pada
masa lalu seperti piqih, dan ushul piqih tidak sama kondisi sosiologisnya
dengan era teknologi informasi dewasa ini.
Era modern membutuhkan cara yang canggih untuk
mengkomunikasikan bahasa agama yang terkoneksi dengan berbagai
macam faham, aliran, idiologi, bahasa, tradisi keilmuan sebagai susunan
warana-warani yang memiliki keindahan dalam mengeksprsikan atau
membahasakan pesan-pesan Tuhan secara tekstual, kontekstual, dan
antartekstual. sebagai pondasi dalam mengkomunikasikan bahasa agama
yang lebih. Hal ini berimplikasi pada kekurangan epistemologi dakwah
multikultural membahasan pesan agama yang lebih komunikatif dalam
peradaban masyarakat moderen.
Pentingnya kajian epistemologi dakwah multikultural ini akan
menjadi dambaan bagi masyarakat modern khususnya praktisi dakwah
dalam mengkomunikasikan bahasa agama kepada manusia secara bijak
dan mudah diserap. Karena sebaik apapun pesan disampaikan tetapi
ditrasformasikan secara tidak bijak maka pesan yang disampaikan
terbuang dan bertengger dipersimpangan jalan. Melakukanm mediasi
adalah jalan tengah untuk menghormati orang lain yang memiliki cara
mengekspresikan agama berbeda dalam tingkatan memahami suatu
pesan teks agama. Perbedaan agama, aliran, faham, idiologi, dan
25
Amin Abdullah
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 28
latarbelakang pendidikan. Lapisan masyarakat yang multikultural
membutuhkan kemasan dakwah yang berbasis pada teologi humanis.
Mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat
multikultural Hemat penulis perlu kekayaan paradigma untuk
melakukan meidasi, dialog, untuk membangun pondasi berpikir dalam
memahami bahasa Tuhan yang tersirat dalam teks dan metateks. Dalam
artian memahami karakter pesan Tuhan secara ruhani dan non ruhani
yang bingkai oleh Aqidah, syari’ah dan Akhlaq.
Hemat penulis tidak relevan lagi mendakwakan agama dengan
gaya mendoktrin tetapi agama ini jika dianalogikan ia laksana mall yang
memiliki banyak fasilitas, kebutuhan manusia, dimana manusia siap
memilih berbagai macam perlengkapan hidup melalui pesan-pesan
agama dalam teks dan metateks untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia.
Pemaksaan kehendak ini dapat berbenturan secara fisik dan
psikologis masih terjadi antara organisasi agama Islam seperti, Jamaah
Islamiyah, NU, Muhammadiyah, HIT, Salafi, Wahda Islamiyah,
Annazir, NII, FPI(Front Pembela Islam) dan aliran Islam lainnya.26
Semua organisasi Islam ini kurang memiliki epistemologi dakwah
komprehensip sehingga terjadi kesenjangan dalam mengkomunikasikan
26
Amar Ahmad, Aliran-aliran Dakwah di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Prenada
Group, 2008), 29.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 29
pesan-pesan agama pada masyarakat multikultural. Memang harus
diakui hal ini juga tidak terlepas dari warisan teologi klasik yang
digagas oleh Mu’tazila, Asyari’ah, dan Maturidiyah. Tetapi idealnya
warisan itu menjadi kekayaan paradigma dan dijadikan sebagai
kekayaan perspektif untuk memberikan solusi terhadap problematika
sosial pada masyarakat multikultural yang diperhadapkan oleh berbagai
macam informasi yang mengelisahkan umat akibat konstruksi informasi
yang kurang memberikan perbaikan pada masyarakat multikultural.27
Dari fenomena ini kajian epistemology dakwah multikultural
membutuhkan trasformatif epistemologi yang lebih kaya dengan
perspektif untuk memudahkan para praktisi dakwah
mengkomunikasikan pesan-pesan Tuhan yang ada dalam teks agama,
sebagai pijakan metodologi dakwah yang relevan bagi masyarakat
multikulral.
Corak praktisi dakwah harus kayah dengan pendekatan dalam
membahasakan pesan-pesan Tuhan dalam Al-Quran dan Sunnah.
Pusaran kebenaran Al-Quran tetap menjadi otonom sehingga
kompetensi keilmuan manusia untuk mengungkap epistemology dari
buah ilmu sangat dibutuhkan sebagai metode dakwah baru yang lebih
relevan dengan kondisi masyarakat multikultural.
27
M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metode Studi Agama dalam masyarakat Multikultural dalam kumpulan Tulisan Pengukuhan Guru Besar Muhammadiyah
dengan judul Bengawan Muhammadiyah (Cet. I; Jakarta PSAP, 2005), h. 3.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 30
Sumber ilmu dakwah tidak bisa terlepas dari Al-Quran dan Sunnah
sebagai pijakannya indiologi sumber ilmu. Dengan berpedoman pada
sumber ilmu, tidak cukup dengan hanya satu mazhab tetapi
multimazhab yang lahir dari bangunan keilmuan dakwah untuk
mengkomunikasikan bahasa agama kepada umat manusia. Tetapi perlu
dipahami bahwa ‚dakwah‛ dan ‚ilmu dakwah‛ berbeda. Jika dakwah
selalu memilih kata sebaiknya, seharusnya, maka ilmu dakwah harus
tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah ilmu yang sifatnya netral dan
tidak memihak.28
Kajian Epistemologi Sultan memberikan gambaran
tentang epsitemologi ilmu dakwah, menurut Sultan objek matrill ilmu
dakwah adalah Al-Quran dan Sunnah sedangkan objek formalnya dalah
transformasi pesan-pesan agama dan prilaku umat.29
Dalam konteks ini
belum ada secara spesifik membangun epistemologi ilmu dakwah yang
secara spesifik menelaah epistemologi dakwah masyarakat
multikultural.
Proses transformasi agama kepada masyarakat multikultural
tentang aqidah, syari’ah dan akhlaq. Objek kajiannya pada masyarakat
multikultural, kecendrungan, faktor-faktor lingkungan, sarana yang
digunakan, sarana yang digunakan, dan metode penerapan. Hal inilah
28
Nasir Mahmud, Bunga Rapai epistemology dan Metode Studi Islam (Cet.I;
IAIN Alauddin Press, 1998), h. 39. 29
Sultan, Desain Epistemologi Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Prenada Group,
2007), h. 71.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 31
yang perlu dibangun epistemologinya dan diperdebatkan secara ilmiah
sehingga melahirkan sebuah teori khusus metode dakwah pada
masyarakat multikultural.
Ada dua metode berpikir yang selama ini mewarnai cara
membangun epistemologi ilmu dakwah yakni metode filosofis yang
berorientasi pada prophetic philosophy dan teologi berorientasi pada
priestly religion (pendekatan kebiksuan, kepausan, keualamaan, dan
sejenisnya).30
Pendekatan kefilsafatan lebih menekankan pada dimensi
being religion, sedangkan pendekatan keagamaan lebih menekankan
pada dimensi having a religion. Dalam realitas kehidupan sehari-hari
dapat diamati.31
Dalam tradisi membangun epsitemologi kedua
pemikiran ini terus bertarung dalam memberikan corak keilmuan untuk
mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat multikultural
Dari kedua pola berfikir tersebut terjadi polemic dalam melakukan
konstruksi epistemologi para mutakallimin (teolog) lebih menyukai
bahasa yang dapat difahami dengan rasio. Sedangkan para fhilosof lebih
menekankan pada makna. Bagi para teolog logika bukan cara berpikir
tetapi lebih pada cara berbicara dengan benar. Sedangkan para filosof
lebih menekankan pada apa yang ada dibelakang bahasa yang dapat
30
Karen Armstrong, A. History of Gat: The 4000 year Ques of Judaism, Cristianity and Islam (New York: Alfred A. Knof Inc, 1993), h. 173 dalam Tulisan
Amin Abdullah Rekonsktruksi Metodologis Studi Agama h. 14. 31Ibid., 15.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 32
difahami dengan rasio dan ia bersifat permanen sedangkan bahasa
sewaktu-waktu dapat berubah. Pandangan para teolog dan filosof ini
menunjukkan adanya perbedaan konstruksi epistemology dalam
mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat multikultural.
Hal ini hemat penulis merupakan kekayaan cara pandang memahami
sebuah teks dan metateks.
C. Terminologi Dakwah Multikultural
Terminologi epistemologi dakwah multikultural yang
dimaksudkan dalam makalah ini adalah cara membahasakan pesan
Tuhan yang sesuai dengan konteks masyarakat multikultural dalam
menyerap informasi untuk mendapatkan, menyusun informasi yang
relevan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat
multikultural. Dalam konteks ini Amin Abdullah menawarkan kembali
pada kaidah filsafat yang bersifat kritis, ereflektif, dan comprehensif.32
Sehingga dapat melahirkan epistemologi dakwah pada masyarakat
multikultural applicable dalam mengkomunikasikan pesan-pesan agama
pada masyarakat multikultural.
Epistemologi dakwah masyarakat multikultural dalam kajian ilmu,
proses ontologi adalah instrumen teori ilmu pengetahuan menelaah
32
M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metode Studi Agama dalam masyarakat Multikultural (Cet. I; Jakarta PSAP, 2005), h. 5. Dalam buku bengawan
Muhammadiyah.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 33
wujud yang ada dari teks Al-Quran dan Sunnah hemat penulis tidak
dapat dimaknai secara tekstual, tetapi pengembangan keilmuannya lebih
pada pemahaman tekstual, kontekstual dan antar tekstual yang ditelaah
secara philosofis sehingga tidak sekedar menerima hasilil pemahaman,
pemikiran, dan doktrin agama yang diwarisakan oleh pendahulu kita
tetapi seorang Mubalig perlu mengemasnya sehingga dapat disuguhkan
bagi jamaah pemahaman agama yang berbasis rahmatalil’alamin dalam
mengkomunikasikan, mengdialogkan, dan membahasakan pesan-pesan
Tuhan dengan bahasa yang lebih komunikatif.
Dalam menyusun epistemologi dakwah hemat penulis perlu
seorang ilmuan keluar dari doktrin teologis, kultural, yang dapat
mengganggu corak keilmuan yang akan dibentuk kemudian melakukan
akumulasi dari sumber-sumber pengetahuan, kemudian melakukan
konstruksi pengembangan epistemologi yang lebih relevan dengan
kondisi masyarakat multikultural dewasa ini.
Untuk mengkomunikasikan dakwah beberapa bentuk yang
digunakan oleh para ilmuan sebagai media pendeteksi pengetahuan
sebagai bentuk karunia Allah yang dapat digunakan oleh manusia dalam
mendapatkan pengetahuan yang akan dijadikan sebagai ilmu kemasan
dakwah dalam mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat
multikultural dengan bebera pola epistemology cara mendapat ilmu
antara lain adalah:
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 34
1. Menurut Muhammad Iqbal: Panca indra/akal, intuisi, sebagai
media pendeteksi ilmu dengan melihat fenomena sehingga lahirlah
pengetahuan kemudian siap diproses pada mesin epsitemologi.33
2. Menurut Mula Sadra: sumber ilmu pengetahuan itu melalui
pendekatan tasawuf, melalui mimpi, ego rendah melebur ke ego
ilahiah dari inspirasi ini dapat melahirkan pengetahuan.34
3. Fuad Rumi sumber ilmu itu berasal dari Allah melalui Al-Quran
dan Sunnah kemudian diferifikasi oleh akal untuk dijadikan
sebagai sumber pengetahuan.35
4. Nasir Mahmud, Al-Quran dan Sunnah, Fakta-fakta empirik, teori-
teori, pendapat, kaidah-kaidah yang sudah ada. Budaya, realitas
sosial, politik, ekonomi dan fakta-fakta sejarah masa lalu.36
5. C.A. Peursen sumber ilmu dakwah berasal dari Etika(nilai
normatif, termasuk nilai keagamaan, Heuristik dan ilmu.37
33
Syarifudin, Epistemologi komunikasi Islam: makalah dipresentasikan pada
program pasca sarjana strata S3 pada tanggal 19 November 2010 wit 09.30. 34
Dede Azwar Nurmansyah, Jurnal Al-huda: Kajian ilmiah ilmu-ilmu Islam
(Volume III tahun 2005). h. 39. 35
Fuad Rumi, Disertasi Epistemologi Berbasis Al-Quran diajukan untuk
mencapai gelar Doktor pada tahun 2010. 36
Nasir Mahmud, Bunga Rapai epistemology dan Metode Studi Islam (Cet.I;
IAIN Alauddin Press, 1998), h. 39 37ibid
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 35
Dari pandangan epistemologi di atas bangunan epistemology
untuk masyarakat multikultural harus gabungan antara kecerdasan
aklaq, intusi, empiris, dan rasional menjadi instrument dalam menyusun
kaidah keilmuan dakwah. Tetapi dalam mengkomunikasikan pesan
agama tersebut perlu dipahami pemahaman secara tekstual, kontekstual,
dan antar tekstual dalam mengkomunikasikan pesan-pesan agama yang
ada dibalik teks.
Kerangka berpikir ilmuan dakwah: Kerangka berpikir deduktif
berangkat dari ayat-ayat Al-Quran serta tafsirannya secara tekstual,
kontekstual dan antartekstual. Kerangka cara pandang inilah yang perlu
di gunakan dalam mengkomunikasikan pesan-pesan agama. Langkah
selanjutnya melakukan peneyedikan rasional dan fakta empiris.
Penyelidikan fakta empiris dan rasional yang dilakukan bukan untuk
menguji kebenaran konseptualisasi yang telah ada, tetapi peneyelidikan
itu untuk membuktikan kebenaran pesan teks dan metateks. Penalaran
deduktif ini tidak produktif karena hanya membuktikan apa yang
memang sudah benar(kandungan Al-Quran dan Sunnah). Kegunaannya
adalah untuk menambah keyakinan tetapi tidak memberikan terobosan-
terobosan baru.38
38
Nasir Mahmud, Bunga Rapai epistemology dan Metode Studi Islam (Cet.I;
IAIN Alauddin Press, 1998), h. 39
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 36
Kerangka berpikir induktif berangkat dari realitas empiric. Fakta
empirik dikumpulkan dengan ayat-ayat Al-Quran dan sunnah yang
relevan bukan Al-Quran dijadikan sebagai legitimasi untuk pembenaran
temuan ilmiah. Bila temuan tidak ilmiah tidak sejalan dengan
pemahaman terhadap Al-Quran yang selama ini berlaku, maka dilakukan
reinterpretasi untuk memberikan makna-makna baru terhadap ayat Al-
Quran sepanjang dapat dicakup oleh kata yang dimaknai. Akan tetapi,
temuan ilmiah tidak dimaksudkan untuk menghakmi Al-Quran dan
Sunnah.
Apakah berarti hal tersebut tidak ilmiah ? seorang muslim betapun
meyakini Al-Quran dan Sunnah sebagai pijakan tertinggi. Jika
kebenaran Al-Quran ternyata tidak dapat ditemukan berarti keterbatasan
manusia dalam membuktikan kebenaran dalam Al-Quran.39
Berikut ini
penulis berikan skema unt melahirkan sebuah epistemologi dakwah
multikultural.
39Ibid., Nasir Mahmud.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 37
Skema di atas adalah proses membahasakan agama dengan
mendialogkan dengan fakta empiris masyarakat multikultural.
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang memiliki lapisan-lapisan
kepercayaan dan budaya yang perlu dikenali strukturnya untuk
memudahkan praktisi Dai dan Muballigh mengkomunikasikan pesan-
pesan agama pada masyarakat multikultural. Jika berbicara tentang
masyarakat berarti bersentuhan dengan paradigma sosiolog dalam
mendefinisikan masyarakat yang terdiri dari kelas-kelas budaya
tersendiri membutuhkan cara mengkomunikasikan bahasa agama pada
masyarakat multikultural dalam klaster budaya.
Dalam paradigm para ahli sosiolog dalam mendefinisikan
masyarakat multikultural sebagai berikut: Karl Marx dikutip Riyadi
mendefinisikan manusia terdiri dari kelas-kelas yang memperjuangkan
sandang, pangan, dan papan. Kritis pemikiran Marx dikutip Riyadi
terhadap pemerintah sebagai bentuk perlawanan kaum proletar dalam
memperjuangkan nasib kaum buruh menjadi kapitalis dan berakhir
Al-Quran dan
Sunnah
Ide dan
Konsep
Prilaku agama
Kemungkinan
Reinterpretasi
Penyelidikan
Ilmiah
Pemahaman
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 38
menjadi komunis.40
Lain halnya dengan pemikiran Emile Durkhein yang
dikutip Riyadi melihat realitas masyarakat sebagai konstruksi organik
yang sangat independen terhadap hukum-hukum sendiri dan saling
terintegrasi antara satu dengan lain. Dalam konteks ini membutuhkan
keahlian mengkomunikasikan bahasa agama pada masyarakat
multikultural.
Pemikiran Durkhein ini, jika diperhatikan secara mendalam ada
kaitannya dengan pemikiran Max Weber dikutip Riyadi yang terkenal
dengan the protestanik etik kapitalis. Tesis Weber terhadap masyarakat
sangat penting dalam mendesain Masyarakat multikultural menjadi
capital sebagaimana mampu mencerahkan para pastor untuk meraih
sebanyak uang yang dapat digunakan sebagai alat interaksi penguasaan
terhadap masyarakat multikultural yang kurang memiliki uang sebagai
alat tukar yang menggerakkan manusia secara organik.41
Hal ini juga
membutuhkan strategi mengkomunikasikan bahasa agama pada
masyarakat multikultural secara organik.
Selain pandangan para tokoh sosiolog di atas tentang interaksi
masyarakat multikultural Thomas Hobbes juga memiliki definisi
tersendiri tentang masyarakat multikultural. Masyarakat multikultural
40
H.R. Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Moderen (Cet. I; Pustaka Pelajar, 2002), h. 39
41Ibid., H.R. Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Moderen. h. 52
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 39
menurut Hobbes dapat terbangun atas kesepakatan-kesepakatan untuk
mencapai kedamaian yang harus ada kekuasaan untuk merawat
masyarakat multikultural sehingga keharmonisan dapat dilestarikan.42
Karena potensi manusia sebagaimana pandangan Adam smith memiliki
kecendrungan individualis dengan membangun kelas-kelas produksi
untuk mendapat prestise pada sesamanya.
Pandangan metode dakwah Natsir bahwa pesan dakwah memiliki
metodologi hampir sama dengan menaburkan benih di ladang. Untuk
mendapatkan hasil padi yang baik membutuhkan pemilihan bibit(benih)
yang cocok dengan struktur tanah sehingga mendapatkan hasil yang
maksimal.43
Begitupula transformasi pesan-pesan dakwah dalam Al-
Quran dan Sunnah membutuhkan kemasan dakwah yang relevan dengan
daya serap dan struktur masyakarakat multikultural, idealnya perlu
memahami dan mengetahui struktur masyarakat multikultural. Pesan
dakwah yang akan disuguhkan perlu dikemas sehingga berdampak
positif pada objek dakwah yang terdiri dari lapisan-lapisan pemahaman,
doktrin, dan idiologi. Inilah pentingnya adanya epistemologi dakwah
multikultural dalam mengkomunikasikan pesan-pesan agama secara
baik.
42Ibid., H.R. Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi
Moderen, h. 55 43
M. Natsir, Metode Dakwah (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1987), h. 19.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 40
Dari gambaran masyarakat multikultural tersebut, maka telah
dipahami bahwa masyarakat multikultural dalam berbagai aspek
membutuhkan kemasan informasi tersendiri dalam mentransformasikan
pesan-pesan agama dalam teks dan metateks yang dipahami secara
tekstual, konstektual dan antar tekstual. Jika kerangka berpikir ini telah
diaplikasikan secara cermat abru kemudian melakukan trasforamasi
pesan-pesan agama pada masyarakat multikultural.
D. Transformasi dakwah multikultural
Beberapa paradigma metode dakwah multikultural yang penulis
perlu deskripsikan untuk menjadi metode perbandingan untuk
pengembangan metodologi dakwah pada era kontemporer. Dalam Al-
Quran yang dapat difahami adalah metode dakwah bil hikmah. Dakwah
bil hikmah adalah metode dakwah yang dilakukan dengan iklas, ihsan,
dengan menggunakan teknik komunikasi yang bijaksana dan
demokrastis dalam menyebarkan informasi.44
Sifat dakwah adalah
memperbaiki dengan menempatkan yang utama dengan mekanisme
mengedepankan rasa dan rasionalisme dalam memahami Al-Quran dan
Sunnah dan diaktualisasikan dalam bentuk amal.
44
Toto Tasmoro, Komunikasi Dakwah (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama,
1987), h. 37.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 41
Bentuk dakwah muaizatul hasanah yakni metode dakwah yang
dilakukan secara dialogis kepada mad’u baik individual, kelompok, dan
massa. Menghindari pemihakan pada satu paham tertentu dan
menyampaikan pesannya dilandasi budipekerti yang luhur dalam
mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat multikultural.
Mujadalah metode dakwah yang dilakukan dengan melakukan
diskusi dengan mengepankan sharing informasi dengan memaksimalkan
pendalam idea tau gagasan yang dikemas dengan cara komunikasi yang
santun tidak memojokkan sehingga dapat mengungkap inovasi dakwah
dalam Al-Quran dan Sunnah sehingga melahirkan ide dan argumentasi
yang baik.
Dalam konteks proses komunikasi yang efektif Sayyid Qutb
memberikan gambaran bahwa dalam proses diskusi perlu dikedepankan
rasa dan rasio dalam mengemukakan pendapat serta menghindari
merendahkan lawan dalam berkomunikasi, sehingga tidak ada kesan ada
yang kalah dalam proses komunikasi.45
Karena tujuan metode dakwah
adalah mencari ide dan gagasan untuk disepakati bersama sehingga
dapat memudahkan dalam melakukan penyebaran informasi kepada
masyarakat multikultural. Begitupula pendapat Yusuf Qardawi dalam
mengemukakan pendapat harus dilandasi prinsip ahsan dan hasan
45
Said bin Ali Wakif Al-Qahthani, Al-Hikmah wa fi al-Dakwah Ilallah Taaha di
Terjemahkan oleh Hasim Ibaidillah (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.21-33.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 42
dengan berusaha mencari titik persamaan dengan menganalisis
perbedaan sehingga melahirkan metode dakwah yang efektif.
Era sekarang adalah era kebebasan yang ditandai oleh semaraknya
konsep demokrasi, ini menunjukkan doktrin keilmuan tidak lagi populer
jika warisan ilmuan klasik difahami sebatas tekstual saja tanpa
memperhatikan kontesktualnya. epsitemologi ilmu yang dibagun oleh
para filosof, teologi, dan ahli piqih sudah saat diperbaharui coraknya
sehingga dapat dipahami dan dilengkapi jika ternyata banyak
kelemahanya untuk menterjemahkan persoalan yang dihadapi umat
desawa ini.46
Paradigma era klasik tidak pernah berhadapan dengan
teknologi komunikasi yang liberal dengan menyuguhkan berbagai
macam informasi tanpa batas mulai dari informasi pribadi yang bukan
pribadi. Media ini telah membentuk dan memengaruhi corak berpikir
manusia modern. Hal ini sesuai dengan pandangan Syekh Ali Mahfuz
yang dikutip oleh Muh. Ali Aziz yang mengatakan bahwa ekspresi
sesorang sangat tergantung pada intensitas informasi yang diterima.47
Semakin banyak informasi baik berarti ekspresi yang muncul setiap
melakukan komunikasi juga baik, begitupula sebaliknya Semakin
banyak input informasi negatif ekspresi yang muncul jika melakukan
46
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah: Edisi Revisi (Cet. I; Jakarta: Prenada Group,
2007), h. 99. 47Ibid
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 43
komunikasi lebih banyak bersifat menekan mengkomunikasikan pesan-
pesan agama pada masyarakat multikultural.
BAB III
PETA PROBLEMATIKA DAKWAH
Laju pertumbuhan sosial tidak sebanding dengan laju
perkembangan maind set penduduk sebagian masyarakat di kota
Ambon sehingga berimplikasi pada benturan pemikiran dalam
beragama, benturan sosial antara pendatang dan pribumi, benturan
politik antara daerah dan pusat, dan benturan antar umat beragama
dalam aspek segregasi pemukiman.
Selain itu ditemukan peran media massa baik elektronik dan
media cetak sebagai kendali sosial juga tidak maksimal mencerahkan
masyarakat menuju kehidupan yang sehat tetapi justru memberikan
ruang perdebatan secara krusial sehingga media sebagai
TEKS AGAMA
ANTARTEKSTUAL TEKSTUAL KONTEKSTUAL
MASYARAKAT
PEMAHAMAN AGAMA DAI
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 44
perpanjangan indra permasalahan sehingga diketahui oleh publik
yang idealnya belum pantas diketahui.
Keadaan ini akibat penemuan ilmu pengetahuan dan
Perkembangan sciense teknologi, terutama teknologi komunikasi
dan informasi, telah memberi dampak signifikan pada perubahan
struktur masyarakat perdesaan dan perkotaan yang di dalamnya
terdiri berbagai jenis etnis umat manusia termasuk umat Islam.
Perubahan ini disebut era globalisasi yang memiliki peran besar
merubah cara berpikir, berkomunikasi, dan berprilaku dalam
melakukan interaksi sosial. Hal ini telah tampak di bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, bahkan dibidang pertahanan dan keamanan.
Selain itu tingkat kemiskinan dan kesengsaraan umat manusia juga
semakin meningkat, yang berakses bagi timbulnya berbagai problem
sosial, budaya, migrasi penduduk, dan pemikiran keagamaan.
Problematika ini membutuhkan satu paradigma dakwah yang
memiliki daya pikir mampu memahami, menjelaskan, dan
membahasakan wahyu sesuai dengan problematika sosial dan
kebutuhan masyarakat sebagai pengguna informasi. Format yang
elegan sesuai kebutuhan masyarakat inilah yang urget
dipercakapkan dalam tulisan ini untuk menjaga masyarakat dari
benturan sosial, peradaban, dan pemikiran terhadap sebuah
perubahan dan penafsiran kembali tentang agama mereka masing-
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 45
masing. Hal ini bisa terjadi pada semua agama karena setiap imuan
di bidang agama masing-masing secara otomatis memiliki perubahan
keilmuan ketika ia mengkaji ilmu agamanya yang akan disesuaikan
dengan pertumuhan dan perkembangan science teknologi. Ketika hal
ini tidak diatur regulasinya dengan baik maka akan terjadi destruksi
dalam lapisan-lapisan antar agama, sesama agama, budaya, etnis dan
sistem sosial politik.
Berbagai penyakit masyarakat seperti pencurian, perampokan,
penodongan, korupsi, pelanggaran HAM dan sejenisnya merupakan
problema mendasar umat Islam saat ini. Ekses yang sangat mendasar
dari problema tersebut adalah timbulnya pendangkalan iman,
sebagaimana disinyalir dalam sebuah ungkapan“Hampir Saja
kefakiran itu menjadi kekafiran“. Dalam menghadapi serbuan
bermacam-macam nilai, keagamaan, pilihan hidup dan sejumlah janji
– janji kenikmatan duniawi, dakwah diharapkan bisa menjadi suluh
dengan fungsi mengimbangi dan pemberi arah dalam kehidupan
umat. Dakwah ke depan menempatkan perencanaan dan strategi
yang tepat dengan merujuk kepada metode dakwah Rasulullah SAW.
Para intelektual muslim dapat merumuskan konsep dan
metode dakwah untuk generasi muda, orang dewasa atau objek
dakwah bagi berbagai lapisan masyarakat yang tingkat pemahaman
keagamaannya tergolong rendah atau sebaliknya bagi masyarakat
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 46
yang tingkat pendidikannya tergolong tinggi, sehingga materi
dakwah sesuai dengan objeknya.
Materi dakwah yang tepat untuk menghadapi masyarakat
modern ini adalah materi kajian yang bersifat tematik. Artinya Islam
harus di kaji dengan cara mengambil tema – tema tertentu yang
sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan fasilitas yang tepat adalah
dengan menggunakan media cetak dan elektronik. Kenapa demikian?
Karena dengan menggunakan media cetak dan elektronik hasilnya
akan lebih banyak serta jangkauannya lebih luas. Sesuai dengan
uraian di atas, maka kami mencoba untuk membahasnya dalam
makalah dengan judul “Metode Dakwah: Solusi Untuk Menghadapi
Problematika Dakwah Masa Kini (Kontemporer)”.
Resep materi dakwah yang perlu dilakukan di kota Ambon
adalah; Dakwah menjaga Nasab, Keniscayaan Problematika Dakwah,
Dakwah Jama’ah (Kelompok/ Organisasi), Dakwah Syu’ubiyya
(Multikultural), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Islam, Materi
Pemberdayaan Masyarakat Islam.
Pada bab II ini, akan membahas landasan teori peta dakwah.
Dalam pembahasan ini, lebih menekankan pada konstruksi teori sebagai
landasan yang akan dijadikan sebagi instrumen analisis pada bab IV.
Paradigma teori pada bab ini, pada prinsipnya berisi dalil-dalil dari Al-
Quran, Sunnah, dan pandangan para ahli yang memiliki kompetensi
secara ilmiah di bidang dakwah dan ilmu-ilmu penunjang lainnya yang
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 47
erat kaitannya dengan kajian ini. Instrumen teori ini sebagai pijakan
ilmiah dalam memetakan, menganalisis probelmatika sistem informasi
dakwah di Pulau Ambon. Penjelasan teori-teori ini penting dipahami
lebih awal untuk mengetahui cara kerja pola pemetaan dakwah di Pulau
Ambon.
A. Pemilihan Teori.
Adapun pilihan teori dalam kajian ini adalah sebagai berikut: Teori
Dakwah Syekh ‘Ali Mahfuz}: Sistem dakwah amar ma’ruf nahimunkar
dan kesiqa>han informan (Kredibilitas Informan).48
Teori Informasi
Joseph DeVito tentang presepsi seseorang dalam menentukan
ekspresinya tergantung pada intensitas informasi yang dikonsumsi
setiap hari.49
Teori AGIL Talcott Parson yang dikutip oleh Larry May
tentang setting sosial lingkungannya.50
Perlu dicatat bahwa tidak ada aturan dan bahkan metoda tunggal
yang secara sistematik dianggap paling unggul dalam melakukan
pemetaan sosial keagamaan. Struktur sosial adalah jalinan unsur-unsur
yang pokok dalam masyarakat makin banyak melakukan pemetaan
48
Syekh ‘Ali Mahfuż, Hidayah Al-Mursyidin Ila Turuq al-Wa’zhwa al-Khitobah
(Beirut Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), h.93 Bandingkan dalam Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Cet. II; Jakarta: Prenada Group, 2009), h.83-87.
49Joseph DeVito, Human Communication (New York: Harper Collins Publishers
Inc,1996),h.75. 50
Larry May, Antirasism, Multicultural and Interacial Community: Three Educational Value For Multicultural Society (University Massachusets, Boston,
1991), h. 2.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 48
dakwah makin banyak interpretasi peristiwa cara pemetaan dakwah di
Pulau Ambon.
Unsur-unsur pemetaan sosial menurut Soerjono Soecanto yang
dikutip Wulansari adalah terdiri dari; kelompok sosial, kebudayaan,
lembaga sosial atau istitusi sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan
wewenang.51
Struktur sosial menurut Max Weber terdiri dari kasta,
suku, peringkat sosial, kelompok sosial, agama dan kasta tradisional.52
Paradigma Weber ini menujukkan bahwa realitas sosial keagamaan
termasuk kasta-kasta dalam masyarakat. Realitas ini perlu ditelaah
kondisi sosiologinya sehingga tidak keliru dalam melakukan pemetaan
dan entri pesan dakwah di tengah masyarakat.
Pada bab II ini teori AGIL Talcott Parsons yang akan menjadi
acuan standar dalam menelaah realitas sistem sosial keagamaan di Pulau
Ambon. Paradigma keteraturan sosial Talcot Parson ini sebagai tokoh
sosiolog abad ke-20 ini menjelaskan sistem keteraturan sosial jika
pemetaan sosial keagaman dapat diatur sesuai mekanisme naluri
masyarakat. Ada tiga aspek sub sistem penting dalam masyarakat yang
perlu ditelaah menurut Parson jika ingin mendesain keraturan sistem
masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama; Sistem sosial yang terbentuk dari interaksi antar
manusia. Ini adalah sebuah wilayah dimana manusia memiliki potensi
51
C. Dewi Wulansari, Sosiologi Konsep dan Teori (Cet. I; Bandung: Refika
Aditama, 2009), h.43 52
Max Weber, Essays in Sosiologi (Oxford University Press, 1946)
diterjemahkan oleh: Noorkholis dengan judul: Sosiologi (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 441.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 49
menciptakan konflik akibat perebutan sumber daya yang langkah, dan
memperjuangkan tujuan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini perlu
kebutuhan manusia untuk menciptakan stabilitas komunikasi antar
pemerintah dan masyarakat sehingga tercipta suatu komunikasi yang
efektif. Kedua : sistem kepribadian dimana setiap manusia memiliki
kebutuhan. Mereka adalah preferensi, hasrat, dan keinginan. Parson
menjelaskan bahwa disposisi kebutuhan ini dibentuk oleh proses
sosialisasi dalam masyarakat. Jika sistem ini dijaga dan diatur tata tertib
informasinya maka dapat membantu atau terjaganya tatanan sub sistem
sosial di tengah masyarakat.53
Ketiga ; sistem budaya (cuture system).
Sistem ini membuat orang saling berkomunikasi dan mengkoordinasikan
tindakan-tindakan mereka, dengan mempertahankan ekspresi peran
seperti: 1). Rana simbol-simbol kognitif (misalnya hitung-hitung
matamatis dan laporan keuangan), 2). Simbol-simbol ekspresif ( ekspresi
emosional dan estetika), 3). Standar moral yang berhubungan dengan
benar atau salah. Disini nilai-nilai ini memegan peranan pokok dalam
sebuah masyarakat dalam melakukan konstruksi nilai masing-masing.
Menurut parson sendi-sendi sosial ini perlu interpretasi ilmiah yang
tepat untuk melahirkan keteraturan sistem sosial.54
Teori untuk
memahami unsur-unsur sub sistem sosial kegamaan tersebut dikenal
53
Talcott Parson, The Social System: The Structure of Social Action ( First
published in England 1951 by Routledge & Kegan Paul Ltd New edition first published
1991 by Routledge 11 New Fetter Lane London EC4P 4EE Routledge is an imprint of
the Taylor & Francis Group This edition published in the Taylor & Francis e-Library,
2005) h. 45-46. 54
ibid
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 50
dengan teori AGIL(Adabtation, Goals, Integration, Laten). Kerangka
kerja untuk menelaah Peta dakwah.
A Adaptation Cara sub sistem masyarakat kota Ambon dalam
memenuhi kebutuhan (hidup) material untuk
bertahan hidup (Sandang, pangan, dan papan).
Ekonomi teramat penting dalam sub sistem ini.
Indikator ini yang akan dilihat, dan bagaimana
peran peta Dakwah untuk menjaga keteraturan
tersebut.
G Goal Pencapaian Tujuan. Sub sistem ini berusahan
dengan hasil atau produk (output) dari sistem
atau kepemimpinan. Politik menjadi panglima
dari sub sistem ini. Realitas sosial di kota
Ambon bagaimana peran peta dakwah dalam
mencapai tujuan dan visi dan misi perserikatan
di kota Ambon dalam melakukan bergaining
politik.
I Integration Penyatuan sub sistem ini berkenaan dengan
menjaga tatanan. Sistem hukum dan lembaga-
lembaga atau komunitas-komunitas yang
memperjuangkan tatanan sosial termasuk dalam
kelompok ini. Ingin menelaah bagaimana
berdakwah untuk menjadikan komunitas taat
pada hukum di kota Ambon
L Latent (latent pattern maintenance and tension management
Mengacu pada kebutuhan masyarakat untuk
mempunyai arah panduan yang jelas dan gugus
tujuan dari tindakan. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang ada dalam sub sistem ini
bertugas untuk memproduksi nilai-nilai budaya,
menjaga solidaritas, dan mensosialisasikan
nilai-nilai. Infrastruktur agama termasuk dalam
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 51
sub sistem ini.55
Hal inilah yang paling inti yang
perlu ditelaah dalam masyarkat di kota Ambon
yakni Organisasi dakwah sebagai sub sistem
dalam masyarakat di kota Ambon.
Teori ini sebagai panduan untuk menelaah fenomena serta dapat
menginterpretasi peta sosial keagamaan di kota Ambon. Teori ini
sifatnya media untuk mengantar peneliti memahami realitas di lapangan,
dan tidak menutup kemungkinan teori ini kurang presisi, tetapi
setidaknya dapat mengantar penulis untuk menginterpretasi pemetaan
sosial keagamaan di kota Ambon.
Menurut M. Natsir yang dikutip oleh Syarifudin dalam
menyampaikan pesan-pesan agama sebagai seorang Dai dan Mubalig
perlu memahami peta. Ia menganalogikan seperti menanam benih padi
di sawah. Sebelum menanamkan benih disawah tersebut terlebih dahulu
memahami struktur dan kondisi humus tanah, apakah ia cocok atau
tidak. Seorang petani harus cerdas mengolah tanah sehingga bibit yang
tanam bisa tumbuh, berkembang, dan berbuah.56
Analogi berpikir ini
menunjukkan pentinya peta dakwah untuk menghindari kekeliruan
menanam benih-benih kebenaran di tengah masyarakat.
Peta dakwah bisa efektif jika praktisi Dai dan Mubalig
memahami secara komprehensip infrastruktur sistem informasi dakwah
Sistem Perpanjangan Panca menurut Mc Luhan Indra Manusia, Gambar
55
Mudji Sutrisno dan Hendar Purtanto, Teori-Teori Kebudayaan (Cet. VIII;
Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 60 56
Syarifudin, Metode Penelitian Dakwah dan Komunikasi (Cet. I; UIN Alauddin
press, 2010), h. 17.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 52
Visual perpanjangan dari Mata, suara (audio) perpanjangan dari telinga,
fasilitas penunjang media perpanjangan, dari akumulasi dari ekspresi
manusia, melalui telekomunikasi.57
Saluran adalah media untuk
mengirimkan sinyal dari transmiter ke penerima dalam bentuk digital. 58
Media dakwah ini perlu disesuaikan dengan kondisi wilayah dakwah
baik secara demografi dan topografinya untuk meminimalisasi distorsi
informasi dakwah.
Setelah memahami teori pemetaan sistem dakwah tersebut,
selanjutnya pemetaan proses transformasi dakwah. Proses publikasi ini
menurut Hayyan perlu pendekatan pada mad’u antara lain:
a. Al-Hikmah Sistem Sentimental/Hati (al-Manh}aj al-At}ifi> ) menurut
pandangan Muhammad Abduh: hikmah adalah mengetahui
rahasia, peta keilmuan masyarakat majemuk, dan faedah dalam
tiap-tiap hal, serta menempatkan sesuatu pada tempatnya.59
Konsep ini dapat oleh lembaga Dakwah untuk membahasakan
agama dengan kemasan dakwah dalam berbagai bentuk dengan
memanfatakan teknologi informasi sebagai media publikasi sistem
informasi dakwah yang didesain secara professional demi
57
Marshal McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (New York:
McGrw Company, 1964). Dalam Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma Teori Aplikasi, Strategi Dan Komunikasi Politik Indonesia (Cet. I; PT. Balai Pustaka, 2003),
h. 93. 58
Saverin Werner J. Dan James W. Tankart, Communication Theories: Origins Methods, and Uses in the Mass Media, diterjemahkan oleh: Sugeng Haryanto, dengan
judul: Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa: Edisi V (Cet. II; Jakarta: Prenada Group, 2007), h. 12-13.
59Abu Hayyan, al-Bah}rul Mahit, jilid I h. 392. Juga Zaid Abdul karim al-
Da’wah al-H{ikmah, h. 26.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 53
memudahkan transformasi pesan kepada masyarakat Majemuk di
Kota Ambon.
b. Al-Muaizatul Hasanah Sistem Indrawi/Ilmiah (al-Manh}aj al-hissi )
Melakukan bimbingan, peringatan, nasihat, oleh lembaga dakwah
Muhammadiyah dengan menawarkan pilihan-pilihan kebenaran
yang mudah dijangkau oleh masyarakat majemuk di Kota
Ambon.60
Muaiz}a h}asanah} menurut K.H. Ali Mah}fuz} yang dikutip
oleh Hamid: Nasihat Atau Petua, bimbingan pelajaran perbaikan
hidup, Kisah-kisah, kabar gembira dan peringatan, Pesan-pesan
positif yang dapat menjadi pertimbangan bagi mad’u itu sendiri.61
Dalam hal ini masyarakat majemuk di Kota Ambon yang
dilakukan secara individual, kelompok, dan massa berdasarkan
ketepatan moment dan problematika sosial yang dibutuhkan
masyarakat majemuk.
c. Al-Muja>ddalah Sistem Rasional/dialogis (al-Manh}aj al-Aqli )
mendialogkan agama kepada masyarakat majemuk, sesuai tingkat
keilmuan dan kebutuhan informasi sesuai peta keilmuan dari
masyarakat majemuk, mulai dari kalangan professional (atas),
kalangan menengah, dan kalangan masyarakat awam. Ketiga
struktur masyarakat ini menggunakan ketiga teori di atas dalam
mentransformasikan bahasa agama yang lebih mudah dicerna oleh
60
Lois Ma’luf Munjid, fi al-Lughah wa A’lam (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), h.
907. Lihat Juga Ibnu Mans}ur Lisa>nul al-Arab, Jilid V (Beirut: Da>r Fikr, 1990), h. 466. 61
Abdul Hamid Al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi> Ingkar al-Mungkar (Kuwait: Da>r
al-Dakwah, 1989), h. 260.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 54
masyarakat majemuk baik secara tekstual, kontekstual, dan
antartekstual.
Profil di kota Ambon
Peta Dakwah pada masyarakat di kota Ambon tidak terpisahkan
dengan konfigurasi lapisan-lapisan masyarakat multikultural, karena
termasuk komponen sub sistem informasi dakwah majemuk. Karena
realitas sosial keagamaan konfigurasi masyarakat multikultural. Kota
Ambon sebagai daerah yang didiami oleh 137 etnis dan subetnis serta
135 bahasa etnis menggambarkan sebuah panorama keindahan dan
kekayaan budaya pada masyarakat multikultural di kota Ambon.
Dari struktur masyarakat majemuk tersebut, menggambarkan
adanya dinamika pergumulan sosial keagamaan dan pertukaran budaya
antar etinis yang dimiliki kemajemukan etinis dan cara melakukan
ekspresi komunikasi baik dalam melakukan penyebaran Informasi agama
maupun cara menerima informasi sebagai alat pital untuk
mengungkapkan perasaan, pikiran, dan kepentingan untuk
mempertahankan hidupnya masing-masing.
Pada masa lalu kota ini menjadi markas besar bangsa-bangsa asing
seperti; Portugis, Arab, India, Cina, Spanyol, dan Belanda. sehingga
banyak bahasa asing yang diserap kedalam bahasa pergaulan masyarakat
multikultural Kota Ambon dalam melakukan interaksi budaya. Bahasa
komunikasi pergaulan ini menjadi bahasa pemersatu yang digunakan
untuk melakukan interaksi yang berhubungan dengan penerimaan dan
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 55
penyebaran Informasi bagi komunitas masyarakat multikultural di Kota
Ambon.
B. Peta Struktur Wilayah Pulau Ambon
1. Topografi
Pulau Ambon, dari sudut topografi (wilayah), ia adalah sebuah sub
sistem, untuk mengetahui strategi yang akan digunakan dalam
melakukan peta dakwah. Karena pentingnya hal tersebut perlu di
informasikan topografi (wilayah) kota Ambon. Topografi kota Ambon
sebagian besar berada di daerah yang berbukit yang berlereng terjajal
seluas + 186,90 km2 atau 73 % dan daerah daratan dengan kemiringan
sekitar 10% seluas 55 km2 atau 17% dari luas seluruh wilayah daratan.
Wilayah daratan tersebar pada 3 kecamatan dan dikelompokkan pada
tuju lokasi. Kota Ambon memiliki sepuluh gunung di antaranya
tertinggi adalah gunung Nona yaitu 600 m dari pewrmukaan laut dialiri
oleh 15 sungai. Sungai yang terpanjang adalah sungai sikula(waisikula)
yaitu 15, 50 km2
2. Demografi
Penyebaran penduduk Pulau Ambon yang terdiri dari lima
Kecamatan. Kota Ambon sebelum dimekarkan wilayahnya pada tahun
1979 luasnya sekitar 4 km2 yang dihuni sekitar +100.000 jiwa. Dari
100.000 jiwa ini bertumpuk di kota sehingga Ambon dikenal sebagai
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 56
kota terpadat di dunia versi majalah Budaya pada tahun 1996.62
dan
perputaran regulasi pola hidup masyarakat di kota Ambon sangat
dinamis 24 jam nyaris ramai di pusat perkotaan. Setelah dimekarkan
luas kota Ambon bertambah 377 km2 dengan jumlah penduduk sbelum
konflik + 350.000, jiwa. Letak dan batas wilayah kota Ambon sampai
saat ini telah memiliki 5 kecamatan yang telah tersegregasi oleh
komunitas Muslim dan komunitas Kristen secara komunal yang
dipimpin oleh dua Raja secara garis besar yakni Raja Batumerah dan
Raja Soya.
Letak kota Ambon berada dalam wilayah Pulau Ambon. Secara
geografis terletak pada posisi 30–4
0 lintang selatan dan 128
0 – 129
0
bujur timur. Kota Ambon secara keseluruhan berbatasan dengan
Kabupaten Maluku Tengah, dengan rincian batasan wilayah Petuanan
desa Hitu, Hila, Kaitetu, dan sebelah Timur Desa Suli Kec. Salahutu
Kabupaten Maluku Tengah, dan sebelah barat petuanan Desa Hatu
Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah.
Selain peraturan Pemerintah RI Nomor 13 tahun 1979 luas
wilayah Kota Ambon seluruhnya 377 Km2 dan berdasarkan hasil surve
Tata Guna tahun 1980 Luas daratan Kota Ambon tercatat 359,45 Km2
yang terbagi menjadi tiga Kecamatan yakni kecamatan teluk Ambon
Baguala dengan luas wilayah 158, 79 Km2, diikuti Kecamatan Sirimau
seluas 112,31 Km2 dan Kecamatan Nusaniwe seluas 88,35 Km
2. Sejak
62
Majalah Budaya Indonesia, Vol/132/1996 di akses pada tanggal 12 Oktober
tahun 2011 jam 10: 30. wit
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 57
2007, Kota Ambon dimekarkan menjadi lima wilayah kecamatan,
sebagai berikut:
a) Kecamatan Sirimau yang Ibu Kota Kecamatan terletak di
Karang Panjang Ambon.
b) Kecamatan Nusaniwe yang Ibu Kota Kecamatan terletak di
Amahusu.
c) Kecamatan Teluk Ambon Baguala yang Ibu Kota
Kecamatan terletak di Passo
d) Kecamatan Teluk Ambon yang Ibu Kota Kecamatan
terletak di Wayame
e) Kecamatan Leitimur Selatan yang Ibu Kota Kecamatan
terletak di Leahari.
Kelima kecamatan ini, konsentrasi jumlah penduduk muslim di
Desa Batumerah, Desa Waringin, Batu Gantung, Kampung Jawa
Rumatiga dan Talake(tanah lapang kecil), dan Waihaong. Dari lima(5)
Kecamatan ini ditambah desa di Jezirah Leihitu yang menjadi fokus
pembuatan peta dakwah untuk melihat adanya keteraturan sistem
informasi dakwah di tengah masyarakat multikultural di Kota Ambon.
Teori yang digunakan untuk menelaah keteraturan sistem
pemetaan sosial keagamaan adalah Talcott Parsons sosiolog abad ke 20.
Gambaran cara kerja teori Parson ini misalnya akan mendeteksi cara
masyarakat beradabtasi dengan budaya dan agama, cara mencapai tujuan
yang dilakukan dengan cara berbeda-beda, cara melakukan interaksi
sosial, dan cara memahami agama sebagai media spirit untuk mengatur
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 58
tata tertib hidup di tengah masyarakat. Semua instumen ini difokuskan
untuk menelaah kondisi sosial keagamaan masyarakat di Pulau Ambon
dengan jumlah penduduk yang padat dan majemuk.
Pertumbuhan Pulau Ambon meningkat dalam periode tahun 2010
sebesar 284.809 jiwa.63
Pertumbuhan penduduk yang di iringi oleh
problematika sosial juga cukup tajam sehingga Mubalig memiliki peran
strategis melakukan konstruksi informasi agama sebagai media untuk
mengatur tatatertib hidup dan cara beragama yang baik untuk mencapai
keharmonisan dalam melakukan interaksi dengan sesama umat manusia
di Pulau Ambon. Untuk mencapai tata tertib hidup dan keharmonisan
dalam berbangsa dan beragama di Pulau Ambon peran Peta Dakwah
menjadi instumen yang sangat penting dilakukan untuk mengetahui peta
transformasi sumber informasi di Pulau Ambon.
Hal ini perlu dideteksi karena salah satu indikator dalam
menentukan kebijakan Pemerintah Kementrian agama di Daerah dalam
melakukan pelayanan sosial keagamaan di Pulau Ambon peta dakwah
adalah rujukan yang sangat substansial. Salah satu sub sistem
penyelidikan adalah melakukan pemetaan informasi (maping
information) yang dapat memperbaiki masyarakat di Pulau Ambon dan
sumber informasi yang dapat merusak maind set (Budaya berpikir)
masyarakat di Pulau Ambon yang berimplikasi pada lambatnya
perubahan untuk mencapai Maluku tanah Pusaka yang sejahteran dan
berkeadaban.
63
Badan Pusat Statistik (BPS) Privinsi Maluku (BPS), Maluku dalam Angka,
Diterbitkan oleh / Published by : BPS Provinsi Maluku BPS – Statisttic Provinsi Maluku. h. 51.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 59
Problematika kerap kali tidak seimbang dengan pelayanan agama
akibat rasio jumlah Mubalig tidak seimbang dengan problematika sosial
di kota Ambon. Hal ini membutuhkan sistem informasi dakwah yang
dapat melayani umat dengan memaksimalkan infrastruktur KEMENAG
di Daerah dengan memperbaiki sistem informasi dakwah.
4. Kondisi Masyarakat
Masyarakat di Pulau Ambon termasuk masyarakat majemuk
(heterogen) yang tinggal di Pusat Kota Ambon tersebar di lima
kecamatan, tetapi konsentarasi penduduk terbesar dikecamatan
Nusaniwe dan Kecamatan Sirimau sebagai pusat kota sementara di
jerizirah Leihitu cenderung homogen. Jumlah penduduk kota Ambon
478 jiwa/km2 wilayah. dari kepadatan penduduk komunitas masyarakat
multikultural tersebut sebanyak 934 jiwa km2.64
Berdasarkan hasil registrasi penduduk, jumlah penduduk Kota
Ambon pada tahun 2006 sebanyak 263.146 jiwa, meningkat 0,7 % dari
tahun sebelumnya. Sedangkan data tahun 2010 berjumlah 365.983 jiwa.
Jumlah ini terdistribusi pada lima kecamatan sebagaimana tergambar
pada table berikut ini.
No Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah
Pria Wanita
1 Teluk Ambon 14.154 13.337 27.491
2 Teluk Ambon Baguala 23.141 22.321 45.468
64op. cit., BPS Kota Ambon tahun 2010
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 60
3 Nusaniwe 40.993 41.747 82.740
4 Sirimau 50.993 50.563 101.388
5 Leitimur Selatan 4.284 4.612 8.896
Total Jumlah Penduduk 133.397 132.586 265.983
Sumber BPS kota Ambon tahun 2010.
Rasio jumlah penduduk pada tahun (2010:37) pertumbuhan
penduduk dari tahun ketahun sudah mencapai sekitar 3% meskipun
selama konflik kurang dari 1%. Kenaikan jumlah penduduk ini lebih
disebabkan karena imigran lokal dari berbagai dari Bugis, Makassar,
Lombok, Bima, Buton, Sumatra (Dominasi Padang), Jawa, Cina, dan
pendatang dari luar pulau Ambon tetapi masih lingkup provinsi Maluku.
Pertumbuhan jumlah penduduk ini sangat pesat sehingga lahan
pekerjaan di Kota diisi oleh pendantang dari lokal maupun imigran
lokal dari luar Provinsi Maluku.
Kondisi ini ketika dakwah kurang berjalan secara maksimal maka
akan melahirkan konflik psikologis yang cukup tinggi. Dalam aspek
interaksi sosial ketika peta dakwah dan rencana strategis dakwah tidak
jelas maka sulit mendambakan masyarakat yang maju pemikirannya
dalam memenuhi kebutuhan dasar, penunjang, dan kebutuhan lainnya.
Dari data rawan sosial ini termasuk struktur lapisan sosial
masyarakat multikultural yang memiliki dampak terhadap seluruh
aktifitas sosial sistem informasi Dakwah di Kota Ambon. Permasalahn
sosial ini termasuk permasalahan seluruh rakyat Indonesia untuk
meminimalisasi kerawanan sosial untuk menghindari konflik demi
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 61
merawat, menjaga, dan melestarikan keharmonisan dalam membangun
sebuah struktur masyarakat multikultural yang lebih kepada kedamaian.
5. Keamanan
Keamanan di kota Ambon bagi orang yang biasa tinggal di Ambon
faktor keamanan cukup kondusif tetapi riak-riak benturan sosial tetap
ada sehingga peran keamanan di Pulau Ambon sangat urget diperkuat
akibat pola kehiudpan yang sangat dinamis sehingga kerap kali terjadi
penturan psikologis dan fisik. Hal ini penting diperhatikan karena
pelaksanaan dakwah bisa maksimal jika keamanan ini dapat dijaga
dengan baik.
Keberhasilan sendi-sendi pereknomian, pelayanan jasa, serta
tugas-tugas pemerintahan lainnya sangat tergantung pada kondisi
keamanan dan ketertiban sebuah Kota. Dalam catatan POLRES Pulau
Ambon dan Pulau-pulau lease pada tahun 2010 data yang mengganggu
KAMTIBMAS sebanyak 369 orang pelaku yang terdiri dari 10 orang
wanita dan 377 laki-laki.65
Dari jumlah perkara ini menunjukkan bahwa, kota Ambon masih
rawan terjadi benturan informasi yang berakhir dengan konflik fisik dan
psikis. Hemat penulis hal tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh pola
hiudp sektarian dan sistem politik yang belum mapan. Semakin tinggi
materi informasi politik semakin besar peluang terjadinya konflik.
Informasi politik ini juga peran media di kota Ambon cukup signifikan
65Ibid., Badan Pusat Statistik (BPS) Privinsi Maluku (BPS), Maluku dalam
Angka, Diterbitkan oleh / Published by : BPS Provinsi Maluku BPS – Statisttic Provinsi Maluku. h. 51.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 62
dalam melakukan konstruksi informasi di tengah masyarakat.
Argumentasi ini di interpretasi dari hasil terbitan koran yang ada di kota
Ambon 81% materi berita yang diinformasikan kepada masyarakat di
kota Ambon adalah informasi politik.66
Inilah pentingnya dakwah untuk
memberikan keseimbangan informasi di tengah masyarakat.
Data BPS tersebut jumlah kriminal menunjukkan bahwa kota
Ambon masih berada pada tataran rawan konflik. Hal ini disebabkan
lemahnya sendi-sendi sistem informasi dakwah dalam masyarakat.
Publikasi dakwah lebih didominasi pada setiap hari jumat saja.
Ketertiban masyarakat sampai sekarang ini masih dijaga oleh aparat
keamanan baik dari pihak TNI maupun kepolisian khususnya
diperbatasan Islam dan kristen. Realitas sosial masyarakat seperti
menunjukkan jika terjadi kerusuhan belum sepenuhnya dapat
dikendalikan dengan baik.
6. Penyebaran Rumah Ibadah.
Penyebaran rumah ibadah di kota Ambon yang berjumlah 108
termasuk cukup meningkat akibat dari segregasi pemukiman penduduk
dari jumlah rumah ibadah juga yang dibangun baru sesuai jumlah
penduduk di komunitas muslim.
Sirimau yang Ibu Kota Kecamatan terletak di Karang Panjang
Ambon. Kecamatan Nusaniwe yang Ibu Kota Kecamatan terletak di
Amahusu. Kecamatan Teluk Ambon Baguala yang Ibu Kota Kecamatan
66
Hasil Penelitian Syarifudin, Pemberitaan Harian Pagi Ambon Ekspres terhadap fenomena politik di kota Ambon (Ambon: Tahun 2010), h. 19.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 63
terletak di Passo Kecamatan Teluk Ambon yang Ibu Kota Kecamatan
terletak di Wayame Kecamatan Leitimur Selatan yang Ibu Kota
Kecamatan terletak di Leahari.
7. Jumlah Mubalig dan Rasio penduduk
Jumlah Mubalig yang aktif di kota Ambon sebanyak 65 orang.
Mubalig ini setiap jumat dan pada bulan suci ramadhan mengisi
khotbah, ceramah, dan pengajian lainya. Jumlah Mubalig di kota Ambon
ini jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kurang seimbang.
Kondisi melahirkan problematika dakwah yang cukup signifikan karena
informasi agama didominasi oleh informasi materialisme, kapitalisme,
dan sosialisme.
Kondisi masyarakat seperti ini dapat dipastikan akan terjadi
potensi kriminal yang cukup tinggi, pencurian, aborsi, pemerkosaan,
minuman keras, Pesta sebagai biangnya konflik, mudah diadudomba,
perkelahian antar kampung sangat tinggi, cepat terkena isu-isu negatif.
Lemahnya pendidikan agama, TPQ tidak maksimal, Humas kementerian
Agama tidak berfungsi secara maksimal.
8. Lembaga Dakwah melalui pendidikan
1. Pendidikan Umum
Sektor pendidikan adalah indikator sebuah perubahan masyarakat
pada masyarakat multikultural dan lompatan perubahan itu sangat
tergantung pada kantong-kantong pendidikan yang dibangun dan
dikembangkan untuk mencerdaskan pola pikir masyarakat multikultural.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 64
Semua negara-negara yang mencetak peradaban investasi awalnya
adalah memperbaiki kultul pendidikan dengan baik. Wawasan ini
menjadi indikator sebuah kemajuan, semakin lemah kualitas pendidikan
semakin sulit sebuah perubahan muncul dari sebuah bangsa, masyarakat
tersebut. Dengan demikian pendidikan juga perlu dibenahi untuk meraih
sebuah lompatan perubahan yang cepat ke arah masyarakat yang lebih
baik.
Pendidikan adalah proses tranformasi informasi dakwah yang
dapat merubah cara berpikir masyarakat untuk lebih meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan diduni dan diakhirat. Kota Ambon dengan
jumlah pendidikan Islam 15 sekolah mulai dari TK sampai SD maka,
belum dimaksimalkan untuk melahirkan generasi-generasi yang lebih
baik dan bermartabat. Hal ini perlu sistem informasi dakwah untuk
mengatur regulasi informasi yang lebih produktif bagi kemakmuran
masyarakat Indonesia di Maluku dan kota Ambon secara khusus sebagai
barometer kemajuan di Provinsi Maluku.
Rasio gambaran pendidikan di Maluku mulai dari taman
pendidikan kanak-kanak sampai pada perguruan tinggi memiliki
perkembangan yang cukup baik. perkembangan ini dapat penulis
deskripsikan pada tabel berikut ini:
NO SEKOLAH
TAHUN 2005
JUMLAH
GEDUNG
MURID GURU
1 TK 54 2.941 226
2 SD 120 36.900 1.932
3 SMP, MTs 38 14.612 1.240
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 65
4 SMU
TSANAWIAH
24 13.430 910
5 PT(Perguruan
Tinggi)
9
6 Pascasarjana 1
Dari alumni perguruan tinggi yang dapat diandalkan untuk
melakukan dakwah kepada masyarakat multikultural pada sembilan
perguruan tinggi prsentasi untuk masuk pada jurusan dakwah baik
kristen maupun Islam sangat memprihatinkan. Hal inilah yang
menyebabkan publikasi dakwah di kota Ambon kurang berhasil sehingga
membutuhkan kajian baru tentang hal ini. Dalam konteks ini penulis
akan eksplorasi sistem informasi dakwah pada masyarakat multikultural
di Kota Ambon.
2. Pendidikan Islam
Media dakwah melalui dinamika pendidikan Islam di Pulau
Ambon terbagi menjadi dua bagian secara umum yakni pendidikan yang
berbasis madrasah dan pendidikan yang bersifat pesantren. Peran
pesantren dalam melakukan konstruksi dakwah termasuk sub sistem
yang memiliki peran strategis karena mendidik kalangan anak-anak dan
remaja yang akan menjadi harapan masyarakat Maluku kedepan yang
lebih baik.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 66
Jumlah Madrasah dan kepala sekolah
No Nama Madrasah Kepala sekolah
I MIN
1. Min I Ambon
2. Min II Poka
Kusnadi Hi. Umar, S.Ag
Ahmad Seknun
II MIS
1. MIS Nurul Ikhlas
2. MIS Attohiriyah
3. MIS Cokroaminoto
A.Siyauta
Ramli Kubal
Wuraidah Tuasikal
III MIT
1. MIT Assalam
2. MIT Ishaka
3. MIT Al-Madinah
4. MIT Al-Anshor
Johra Holle, M.Si
Thalha, MA
Rakmi Akohilo
Ansar Manaban, ST
IV MTs dan MTsN
1. MTsN Batu Merah
2. MTs Al-Fatah
3. MTs Al-Anshor
4. MTs Nurul Ikhlas
5. MTs Al-Muhajirin
6. MTs Al-Khairat
Drs. Moh. Fathoni, M.Pd.
Drs. Yamin Ipa
Zamrin Jamdin, S.Pd.
Hj. Nurhayati M, S.Pd.
Mahmut kasim
Hi. Ikram Ibrahim, Lc.
V MAN, MAS, RA.
1. MAN I Ambon
2. MAS Al-Fatah
3. RA Al-Manshura
4. RA As-Salam
5. RA Al-Mawadah
6. RA Ittaqullah
7. RA Perkasa
Drs. M.Shodik
Hj. Murni kabalmay, S.Pd.I
-------
Rugaya Mahulauw, S.Ag
FW Lating
Nurbia H/M A.M.Pd.
RA Rusna Talabuddin
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 67
8. RA Al-Hilal Karangjang
9. RA Darul Naim
10. RA Mutiara
Astiana Lagida
Khaerunnisa Karepesina, S.Hi
Siti Khadijah, S.Ag.
Total Jumlah Pendidikan
Islam
26 Duapuluh enam)
3. Jumlah Masjid
Selama ini ‚Masjid-masjid di kota Ambon dibangun megah
(mentereng), tetapi sepi dari pelaksanaan (aktivitas ta’mir masjid).
Karena itu masjid menempati posisi sentral (Islamic Centre), yaitu
sebagai kegiatan ibadah, pusat pembinaan umat Islam, sekretariat
pemerintah Islam, pusat dakwah, pusat pengembangan kebudayaan
Islam, mahkama Islam dan baitul mal (lembaga pemberdayaan ekonomi
umat Islam) sebagai pusat kesejahteraan ekonomi kerakyatan yang
dikembangkan oleh kelompok jama’ah masjid dalam mengatasi
kemiskinan dan buta aksara Al-Quran yang berbasis digital.
Kondisi sosial keagamaan di kota Ambon yang berada di kota
Ambon berada di pesisir pantai dan lereng gunung. Entitas dakwah dan
pembinaan di kota Ambon belum maksimal seperti layaknya masjid-
masjid moderen yang memiliki sumber daya dan fasilitas pengelolaan
masjid yang sudah profesional. Indikasi ini tampak karena rasio jumlah
Mubalig tidak sebanding dengan jumlah penduduk Islam di kota Ambon.
Selain itu belum adanya pembinaan yang sistematis secara kontinyu cara
memakmurkan masjid dengan berbagai aktifitas kegiatan masjid.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 68
Peta dakwah menjadi penelitian di kota Ambon tentang
pengelolaan management sistem informasi secara moderen termasuk di
dalamnya pembelajaran Al-Quran digital sangat urgent dilakukan karena
kota Ambon termasuk pusat kota yang masih rendah metode
pemahaman tentang ilmu pengelolaan management sistem informasi
masjid yang masih rendah.
Hal itu tampak dalam pelayanan umat kurang adanya data
perencaanan dakwah, tidak ada rencana strategis pemberdayaan buta
huruf aksara Al-Quran yang moderen, tema-tema dakwah belum disusun
sesuai kebutuhan umat, dan belum adanya peta dakwah di kota Ambon
berasumsi bahwa hal ini dapat menyulitkan para Mubalig
mentransformasikan dakwanya sesuai kebutuhan masyarakat di kota
Ambon.
Masjid di kota Ambon sebagian belum memiliki "Batiul Mal"
yang mendistribusikan harta zakat, sedekah, dan rampasan perang
kepada fakir miskin dan kepentingan Islam. Golongan lemah belum
diberdayakan ekonominya melaui masjid lewat tema-tema pembinaan
kewirausahaan misalnya adanya baitul mal yang bersumber dari Zakat,
Infaq, dan shadaqah.
Realitas ini masyarakat akademis perlu ada kepedulian dan
keprihatinan yang dalam serta adanya kepekaan sosial untuk
memberikan solusi melalui pemberdayaan. Atas dasar argumentasi inilah
sehingga diharapkan LPM kerjasama dengan Dosen, Mahasiswa IAIN
Ambon agar dapat menjadikan kota Ambon sebagai lokasi yang menjadi
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 69
pusat pengembangan dakwah, seperti taman baca al-Qur’an lewat
masjid-masjid. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi buta aksara Al-
Quran sebagai persoalan mendasar dalam ajaran Agama. Dari hasil
penelitian ini didapatkan kondisi realitas di kota Ambon adalah:
1. Umat Islam di kota Ambon menjadikan masjid sekedar dijadikan
ibadah ritual saja belum menjadi pusat aktifitas pemberdayaan
umat secara komprehensif.
2. Pemberdayaan dan pembinaan penghulu masjid tentang wawasan
pengelolaan masjid dengan management moderen dan
pemberdayaan Al-Quran Digital di kota Ambon.
3. Belum Adanya RENSTRADAK (Rencana Strategis Dakwah)
bagi masyarakat pesisir (khususnya di Desa larike dan Desa
Wakasihu) yang secara spesifik untuk mencapai target
Pembinaan cara pengurusan janazah, pengembangan TPQ
Digital, dan pembinaan pengelolaah wakaf, zakat, infaq, dan
shadaqah sebagai wadah untuk pembedayaan eknomi masjid
untuk lebih memaksimalkan pelayanan Jamaah di Desa Larike
dan Desa Wakasihu.
Kondisi yang diharapkan.
1. Masyarakat menyadari bahwa perlu ada Rencana Strategis dalam
pelananan Agama secara komprehensip pada umat di kota
Ambon. Masjid bukan saja untuk kegiatan ritual saja, tetapi
masjid adalah media silaturrahmi umat dan tempat penggalian
ide-ide yang dapat menjadikan sebuah Desa lebih maju dan pola
hidupnya lebih bersahaja.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 70
2. Memiliki management moderen, pengelolaan masjid dapat
memberikan sugesti melalui penghulu masjid yang profesional
dibidang pelayanan masjid antara lain: memiliki Imam yang
fasih bacaannya, muazzim, memiliki Guru ngaji yang dapat
mengajarkan Al-Quran dengan baik, serta masjid memiliki
pengurus janazah dan pekuburan yang baik.
3. Masyarakat di kota Ambon memiliki infrastruktur taman
pengajian yang berbasis Al-Quran digital sebagai wadah
penunjang tambahan untuk mempercepat daya serap memahami
Al-Quran yang telah dikemas dalam sebuah program
komputerais.
Realitas sosial keagamaan.
Data yang menggambarkan kota Ambon sebagai masyarakat
multikultural berdasarkan agama sulit didapatkan datanya secara akurat,
setiap kecamatan hanya memprediksi jumlah pemeluk agama. Situs
resmi pemerintah, tidak menyediakan informasi tentang jumlah
penduduk perkecamatan. Data yang penulis dapatkan pada BPS tahun
2007 tentang klaster pemeluk agama berdasarkan kecamatan sebagai
berikut:
No Kecamatan Agama
Islam Protestan Katolik Hindu Buhda Jumlah
1 Nusaniwe 26.146 52.645 4.550 54 26 83.421
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 71
2 Sirimau 45.247 54.879 7.332 92 70 107.647
3 T.A.Baguala 32.630 34.161 5.226 51 10 72.078
Sumber: BPS tahun 2010.
Adapun jumlah rumah ibadah sebagai publikasi informasi
keagamaan kepada pemeluk agama dapat dilihat pada tabel berikut:
Masjid Gereja
Protestan
Gereja
Katolik
Hindu Buhda
103 209 7 7 10
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kota Ambon terbagi menjadi lima kecamatan, komposisi
demografi (penduduk) di kota Ambon terkonsentrasi
dikecamatan Nusaniwe dan Kecamatan Sirimau yang merupakan
pusat kota 934 jiwa/km2. Wialyah terluas kecamatan teluk
Ambon Baguala namun jumlah penduduknya paling rendah
478/jiwa, topografi (struktur fisik) wilayah kota Ambon sebagian
besar berada didaerah berbukit, lereng gunung terjal + 186,90
km2 kemiringan 10% -17% dari luas wilayah daratan dan gunung
tertinggi adalah gunung nona 600 m dari permukaan laut. Peta
wilayah demografi dan topografi dakwah di kota Ambon.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 72
2. Rasio penyebaran rumah ibadah dari ke lima kecamatan cukup
merata dan setiap kali khotbah jumat masjid-masjid ini terisi
dengan baik. Adapun jumlah Mubalig tidak berimbang dengan
besarnya jumlah penduduk di kota Ambon. Mubalig yang aktif
sebanyak 68 menghadapi umat sebanyak 332.000 juta jiwa.
Teknologi penyebaran dakwah juga sangat manual lewat mimbar
dan pendidikan saja. Jumlah pendidikan madrasah 26 buah dan
pesantren 10 buah, semua pendidikan ini tetap tidak seimbang
dengan rasio jumlah penduduk dengan konstruksi informasi
dakwah. Regulasi informasi di kota Ambon 86,5 % didominasi
oleh berita politik yang menguasai alam pikiran Masyarakat di
kota Ambon. Kondisi ini hemat penulis kurang sehat sementara
kajian ilmu kurang berkembang, sehingga tantangan dakwah di
kota Ambon cukup memiliki tantangan yang cukup berat.
3. Efektifitas lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berjumlah
26 dan pesantren 10 buah ini juga masih belum efektif jika
menggunakan standar penyebaran teknologi informasi dakwah
secara moderen dalam menyelenggarakan kegiatan dakwah,
wawasan sebagian besar umat di kota Ambon bahwa dakwah
yang mereka kenal hanya di mimbar saja, atas dasar ini maka
pembinaan umat lebih menjadikan masjid sebagai tempat satu-
satunya media yang dapat membicarakan persoalan agama,
sementara di tengah masyarakat kurang menjadi media dakwah.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 73
B. Rekomendasi
1. Sangat urgent adanya RENSTRADAK (Recana Strategis
Dakwah) dikota Ambon untuk mencapai keseimbangan informasi
agama dan informasi politik, ekonomi yang selama ini menguasai
alam pikiran masyarakat di kota Ambon.
2. Perlunya pengembangan dakwah di daerah yang memiliki
komunitas Muslim di Kota Ambon yang kurang memiliki
infrastruktur pelayanan Agama. Perlunya kerjasama antara
penyuluh agama dan peneliti dari IAIN Ambon sehingga
penyuluh memiliki gambaran yang strategis melaksanakan
dakwah.
3. Manajemen sistem informasi dakwah kementrian agama perlu
menata, mengatur regulasi peredaran informasi di maluku, karena
diduga kuat telah merusak alam pikiran sebagian masayrakat
Maluku. Perlu kemasan dakwah yang sesuai problematika sosial
yang dihadapi umat dalam berdakwah. Informasi agama yang
dicermakan harus disesuaikan dengan kebutuhan jama’ah.
Adanya model dakwah yang secara spesifik Pemberdayaan
masyarakat Islam pesisir dan pegunungan yang selama ini kurang
sisentuh dakwah.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 74
III. Kesimpulan
1. Untuk mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat
multikultural dibutuhkan epistemologi dakwah multikultural dari
akumulasi kekayaan epistemology klasik dengan epistemologi
modern, yang ditafsirkan secara tekstual, kontekstual dan antar
tekstual dari Al-Quran dan sunnah.
2. Dalam mengkomunikasikan bahasa agama pada masyarakat
multikultural yang tersimpan dalam teks dan metateks perlu
kekayaan paradigma ilmu tafsir sebagai nalar bayani dan ilmu
hermeneutika dengann menggunakan kerangka piker tekstual,
kontekstual dan antar tekstual sebagai fasilitas untuk
mengetahui makna teks dan metateks dalam
mengkomunikasikan pesan-pesan agama pada masyarakat
multikultural.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 75
Pustaka
Abdullah, M. Amin. Rekonstruksi Metode Studi Agama dalam masyarakat Multikultural dalam kumpulan Tulisan Pengukuhan
Guru Besar Muhammadiyah dengan judul Bengawan
Muhammadiyah Cet. I; Jakarta PSAP, 2005.
Aziz, Mohammad Ali. Ilmu Dakwah: Edisi Revisi Cet. I; Jakarta:
Prenada Group, 2007.
Amar Ahmad, Aliran-aliran Dakwah di Indonesia Cet. I; Jakarta:
Prenada Group, 2008.
Arkoun, Tarikhiyyatu al-Fikri, al-‘arabi al-Islamy, (Beirut: Markaz al-
Inma’al-Qaumy, 1986), h. 87-89. Lihat pula M. Amin Abdullah,
Falasafah Kalam, di Era Post Modernisme, Cet. I, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995.
Danesi,Marcel, Messages, Signs, and Meanings: A. Basic Textbook and Semiotics and Coomunication Theory Third Edition. Canadian
Press Inc, 2004.
Hidayat. Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika. Cet. I; Bandung: Pustaka Mizan, 2011.
Mahmud. Natsir, Metode Dakwah Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1987.
M. Arkoun, Al-Fikr al-Islamy: Naqad wa Ittihat, Terjemahan Hashim Salih London: Dar al-Saqi, 1987.
Ibnu Mujib dan Yance Rumahuru, Paradigma Trasformatif Masyarakat Dialog: Membangun Pondasi Dialog Agama-agama berbasis Teologi Humanis (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 76
Nasir Mahmud, Bunga Rapai epistemology dan Metode Studi Islam
(Cet.I; IAIN Alauddin Press, 1998.
Sultan, Desain Epistemologi Ilmu Dakwah Cet. I; Jakarta: Prenada
Group, 2007.
Karen Armstrong, A. History of Gat: The 4000 year Ques of Judaism, Cristianity and Islam New York: Alfred A. Knof Inc, 1993.
Soeprapto, H.R. Riyadi. Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Moderen Cet. I; Pustaka Pelajar, 2002.
Ursula King, Historical Phenomenological Approach to the Study of religion dalam Frank Whaling contemporary Approaches to the
Studi of religion Vol.II The Sosial Science Berlin: Moutan
Publishers, 1984.
Problematika dakwah multikultural di Maluku Oleh: Syarifudin 77
top related