sindrom neuroleptik maligna
Post on 26-Oct-2015
116 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense
of reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan
pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku
penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat
dimengerti oleh orang normal, sehingga orang awam menyebut penderita sebagai
orang gila. Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat
penggunaan oabat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek samping
dapat berupa : sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun), gangguan
otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering, kesulitan miksi
dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang tinggi,
gangguan irama jantung), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom
parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas), gangguan Endokrin (amenorrhoe,
gynaecomastia) metabolik (jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya pada
pemakaian panjang, syndrome neuroleptik maligna.(13)
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan
mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.
(1)
Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan
antipsikotik, khususnya neuroleptik. Di Cina didapatkan insidensi SNM mencapai
0,12 % pada pasien dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian retrospektif di India
menunjukkan insidensi 0,14%.1 Sedangkan di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada
0,2% - 1,9% pasien.(2)
Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan
SNM, semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom
1
ini. Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine
(Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat
non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-
obat tersebut adalah metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium4.
Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting karena
komplikasi dari keadaan ini adalah kematian.(5) Kematian yang disebabkan oleh SNM
mencapai 21%.(3)
1.2. TUJUAN
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan
penulis khususnya mengenai Neuroleptik mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, diagnosis. Serta lebih khususnya mengenai ” Neuroleptic Maligna
Syndrome ”.
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan
mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.(1)
DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)
mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan
gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia, perubahan
tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah
meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan
dengan pengunaan pengobatan neuroleptik.(6)
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan
afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena
dimensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini
mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem
syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara
sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan
kesadaran juga terpengaruh.(7)
2.2. ETIOLOGI (1)
1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik
potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM
sering pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine.
2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),
antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik
injeksi long acting.
3
3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik yang
tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium,
dan juga terapi kejang.
2.3. FAKTOR RESIKO (1)
Faktor resiko dari SNM antara lain :
1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM
adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi.
2. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM
dapat terjadi pada kembar identik.
3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren.
Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode
SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik
dalam 2 minggu episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu,
persentasenya hanya 30%.
4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium,
riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan neuroleptik tidak
teratur.
5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis
neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.
2.4. PATOFISIOLOGI
Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan
pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi
terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin
yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothalamus,
sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis
SNM.(3)
4
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan
ketidak stabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di
sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran. Perubahan
status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan
mesokortikal.(7)
2.5. GAMBARAN KLINIS
Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang tidak
tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada
dosis tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal),
biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan
dengan neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah
pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan
dosis).(6) Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas
dari ringan sampai dengan berat.(7)
Gejalanya yaitu:(1)
a) Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi
dan tekanan darah meningkat atau labil.
b) Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur,
distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat
mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia
dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran.
2.6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
5
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan
nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan(3) :
1) Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/ L.
Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom
Neuroleptik Maligna.
2) Peningkatan Aminotransferase (aspartate aminotransferase [AST], alanine
aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ).
3) Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x 103/
mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat.
Konsentrasi serum besi dapat menurun.
2.7. DIAGNOSIS(7)
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu
kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan
rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan
otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis
banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM
ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan
demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status
mental dan ketidakstabilan otonom.
Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders) :
Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2.
Kriteria A
1. Rigiditas otot
2. Demam
Kriteria B
6
1. Diaphoresis
2. Disfagia
3. Tremor
4. Inkontinensia
5. Perubahan kesadaran
6. Mutisme
7. Takikardi
8. Tekanan darah meningkat atau labil
9. Leukositosis
10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot
Kriteria C
Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)
Kriteria D
Tidak ada gangguan mental
Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari
demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk
membedakan SNM dengan encephalitis virus atau encephalomyelitis post infeksi.10
SNM harus dibedakan dari sindrom yang disebabkan oleh pengobatan lain seperti
sindrom serotonin dan hipertermi maligna.
2.8. DIAGNOSIS BANDING(1)
1. Heat Stroke
7
Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan
hipotensi.
2. Letal Kataton
Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik
dapat memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal
kataton sulit, meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien
tidak meminum neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada
prodomal sedangkan SNM dimulai dengan rigiditas.
3. Sindrom Serotonin
Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan
menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak
adanya rigiditas berat.
2.9. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Suportif(1)
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik
dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu.
Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long
action dapat bertahan selama sebulan.
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan
memelihara fungsi organ yaitu:
1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.
3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
8
4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis
cairan serebrospinal, kultur urin dan darah.
2. Terapi Farmakologi(3)
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti
bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom
Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai
untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Peneliti lain
melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi
dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat tersebut.
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa
kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan
Sindrom Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi menjadi 2 – 3 hari.
2.10. KOMPLIKASI
Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang
paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus
dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia
aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated
intravascular coagulation, seizure, infark miocardial.(9)
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik
yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena
menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti
pskotik di hentikan.(1)
2.11. PROGNOSIS(1)
Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat
otot yang menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom Neuroleptik
9
Maligna dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan dengan jeda
waktu antara Sindrom Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali pengobatan
antipsikotik.
2.12. PENCEGAHAN(6)
Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom
ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek samping
ekstra piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek
samping ekstra piramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih
lanjut Sindroma Neuroleptik Maligna dan komplikasinya.
10
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik
seperti hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor
resiko dari SNM antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien
dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak
organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT,
penggunaan neuroleptik tidak teratur, penggunaan neuroleptik potensi tinggi,
neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan
neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom mencakup demam,
diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala
ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan
diskinesia. Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti
psikotik dan terapi suportif. Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis
dopamin seperti bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati
Sindrom Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi
yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus
menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian
besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome,
http://www.emedicine.com (diakses pada 18.30, 17 September 2013)
2. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant
Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55
3. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,
http://www.emedicine.com (diakses pada 19.00, 18 September 2013)
4. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the
Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and
Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-
45
5. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,
http:://www.turner-white.com (diakses pada 19.30, 18 September 2013)
6. Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics
August 2004 Volume 59, Number 8. Page 38-40
7. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,
http://www.emedicine.com (diakses pada 20.30, 18 September 2013)
8. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,
http:://www.turner-white.com (diakses pada 16.00, 19 September 2013)
9. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the
Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and
Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-
45
10. Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.
11. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant
Syndrome, Hospital Physician. Page 51-55
12
12. Khan, N.A., 2011, Atypical neuroleptic malignant syndrome: reversible
encephalopathy. http://www.docstoc.com/docs/79675578/Programme-P2T-10.
(diakses pada 15.30, 19 September 2013)
13. Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya : Airlangga
University. Page 180
14. Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik .
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Pp:5-9
13
top related