perkembangan hukum islam dalam lintasan · pdf file6 obyek pembahasan ushul fiqh adalah hukum...
Post on 31-Jan-2018
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
20
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
DALAM LINTASAN SEJARAH
sugiri permana1
A. Pemahaman Terhadap Hukum Islam
Diskursus mengenai hukum Islam2 dan sumbernya tidak terlepas dari
pemahaman tentang Syari’ah, hukum Islam, us}ul fiqh dan fiqh. Mahmud
Shaltut (1893-1963 M) berpendapat bahwa makna syari’ah lebih luas daripada
hukum. Hukum merupakan bagian dari syari’at yang memuat berbagai
ketentuan dan hukum bagi manusia. Mahmud Shaltut membagi syari’ah
kepada dua bagian yang besar. Pertama yang berhubungan dengan cara
mendekatkan diri kepada Allah seperti shalat, zakat, haji yang dikenal
dengan ‘ibadah. Kedua berhubungan dengan perbuatan manusia untuk
menjaga kemaslahatannya, menghilangkan dari hal yang tidak baik, menjaga
ketentraman di antara sesama, seperti yang berubungan dengan hukum
keluarga, waris maupun bentuk hukuman lainnya dalam bidang mu’amalah. 3
Senada dengan Mahmud Shaltut}, menurut Mustafa> Ahmad Al Zarqa
(1904-1999), hukum merupakan bagian dari syari’at Islam yang bermakna
luas, yang mengandung perintah, hukum, ‘aqidah, dan peraturan yang harus
diterapkan untuk mencapai kemaslahatan.4 Oleh karenanya membagi
syari’ah pada tiga bentuk, yang pertama syari’ah yang berhubungan dengan
akhlakul karimah untuk meningkatan kepribadian yang lebih baik, tidak
berhubungan dengan bentuk-bentuk peraturan dalam perundang-undangan
seperti yang disampaikan kepada Nabi Isa as. Kedua adalah syari’ah yang
diturunkan berkenaan dengan kondisi ruang dan waktu serta dalam bentuk
1Hakim Pengadilan Agama Tanggamus, tulisan ini merupakan tahapan awal proses
pencapaian tulisan berikutnya. 2Hukum Islam dalam pandangan orientalis selain dikenal dengan Islamic law juga
dengan Islamic jurisprudence, Joseph Schacht misalnya menjelaskan bahwa hukum Islam merupakan lambang pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari pandangan hidup Islam serta merupakan inti dan titik sentral Islam itu sendiri, lihat Joseph Schacth, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendon Press, 1971), 1.
3Mahmu>d Shaltut, Al-Isla>m ‘Aqi>dah wa Shari>’ah (Mesir: Da>r al-Shuru>q, 1968), 73 4Mus}t}afa> Ahmad Al Zarqa, Al Fiqh Al-Islamiy fi> Thaubihi al Jadi>d Al-Madkhalu al
Fiqhiyyu al’a>mu Bitat}wi>ri wa Tarti>bi wa Ziya>dat (Damaskus, Da>r al Qolam), 48
21
hukum seperti yang disampaikan kepada umat Bani Israil. Ketiga adalah
syari’ah dalam bentuk prinsip-prinsip yang memungkinkan adanya
pengembangan dari prinsip tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat dan
budaya. Syari’at ini adalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.5
Pembahasan mengenai hukum Islam berarti membahas dari sudut
pandang us}ul fiqh sebagai media untuk menemukan hukum. Hukum Islam itu
sendiri diklaim oleh para ulama us}ul fiqh sebagai hasil dari ushul fiqh dan
fiqh.6 Para ulama us}ul fiqh mendefinisikan hukum sebagai bentuk petunjuk
bagi orang mukalaf baik yang berupa iqtid}a, takhyir maupun wad}’i.7 Ulama
sunni8 menganggap bahwa hukum berasal dari Allah, tidak ada kesempatan
bagi aqal untuk dijadikan sebagai sumber hukum. Ketika tidak ditemukan
hukum tersebut secara langsung dari Allah (Quran maupun hadits), akan
ditempuh dengan metode yang lain untuk menemukan (instinbat}) hukum
tersebut. Hal ini berbeda dengan Syi’ah9 yang menganggap bahwa ‘akal
menjadi sumber hukum ketika tidak ada nas}10.
Adapun fiqh, maknanya adalah ‘ilm atau mengetahui. Pada zaman
Rasulullah tidak dikenal istilah fiqh. Zaman Rasulullah fiqh mengandung
makna terhadap pengetahuan akan nas} baik dari al-Quran maupun hadits
5 Mus}t}afa> Ahmad Al Zarqa, Al Fiqh Al-Islamiy fi> Thaubihi al Jadi>d Al-Madkhalu al
Fiqhiyyu al’a>mu Bitat}wi>ri wa Tarti>bi wa Ziya>dat , 47 6 Obyek pembahasan ushul fiqh adalah hukum syar’i, hakim (Allah), mahkum fih
(pekerjaan orang mukallaf) dan mahkum ‘alaih (orang mukallaf) Muhammad Abu Zahrah, Us}u>l Fiqh, (Mesir: Da>r Fik Al ‘Araby, 1958), 25-26
7 Bentuk iqtid}}}}}}}a (permintaan) adalah wajib, sunnah, mubah (takhyir, pilihan), haram dan makruh, ulama Hanafiyah membedakan antara perintah yang berasal dari AlQuran atau hadits mutawari hukumnya wajib, sedangkan yang bersumber pada hadits ahad hukumnya wajib, namun tidak berarti membedakan kedudukannya hanya sekedar perbedaan lafad saja, lihat Muhammad al Khud}ari Bek, Us}ul al Fiqh, (Mesir, Maktabah Tijariyah Kubra:1969), 34. Bentuk wad}’i menghubungan antara suatu keadaan dengan suatu hukum yakni sharat, sabab, mani’. Khud}ari Bek tidak membagi pada tiga bentuk seperti yang lainnya dengan tidak memasukan takhyi>r sebagai bentuk tersendiri tetapi iqtid}a dan takhyir membagi pada t}alab dan wad}’i, yakni iqtid}a dan takhyi>r termasuk pada t}alab.
8 Ulama sunni adalah ulama yang berada diantara empat imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Abu Hanifah). Secara politik ulama ini mengakui terhadap keberadaan empat khalifah (khulafaur Rasyidin) hal ini berbeda dengan ulama Syi’ah yang tidak mengakui khalifah kecuali Ali ra.
9Pemahaman tentang syi’ah kebalikan dari sunni. Syi’ah muncul di akhir pemerintahan Utsman bin Affan ra. dan berkembang pada masa Ali ra. Golongan ini tidak mengakui terhadap kepemimpinan dari tiga khalifah karena menganggap Ali ra adalah yang berhak untuk menjadi pemimpin. Muhammad Abu Zahrah, Muhad}arah fi> Ta>ri>kh al-Madhahib al-Fiqhiyyah, (Madani: Jam’iyyah dirosa>t Islamiyah), 53
10 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, (Berut: Da>r fikr al’Araby, 1958), 70
22
yang berkenaan dengan ‘aqidah, syari’at maupun akhlak. Al-fiqh dan al’ilmu
bermakna sama yaitu pengetahuan terhadap berbagai permasalahan yang
cukup banyak. Pada zaman sahabat sendiri, orang yang mengetahui banyak
tentang hukum Islam dikenal dengan qurra’ jamak dari qa>ri’. 11 Makna fiqh
dan ilmu baru terpisah pada abad ke dua, ketika berkembangnya mazhab-
mazhab fiqh12. Seorang ‘alim adalah mereka yang memahami terhadap nas}
Al Quran maupun sunnah. Sedangkan fa>qih adalah mereka yang memahami
sumber hukum dalam Islam dikenal dengan mas}adiru al ahka>m yang juga
merupakan adilah al Shar’iyyah. Istilah terakhir cenderung merujuk pada
sumber hukum Islam pada Al Quran dan hadits, sedangkan yang pertama
lebih bersifat umum menyangkut produk pemikiran ijtihad manusia
(ijma’qiyas dst yang merupakan metode pengambilan hukum).
Menurut Mahmud Shaltut, kalaulah diringkas dari sumber-sumber
hukum yang dipegang oleh para fuqoha, secara garis besar ada tiga.13
Pertama al-Quran, kedua al-hadits dan ketiga ro’yu (akal pikiran) dalam
memahami al-Quran dan hadits atau terhadap hal-hal yang belum ditetapkan
hukumnya oleh al-Quran dan hadits. Selain itu ro’yu juga digunakan dalam
penerapan berbagai kaidah hukum yang ada terhadap berbagai permasalahan
hukum yang muncul.
Dalam pandangan Wahbah al-Zuhaili14, terdapat sumber hukum Islam
yang disepakati jumhur ulama dan terdapat sumber hukum yang tidak
disepakati. Adapun yang disepakati adalah alQuran, hadits, ijma’ dan qiyas15
sedangkan sumber hukum yang tidak disepakati adalah istihsan, mas}lahah
11 Mus}t}afa> Ahmad Al Zarqa, Al Fiqh Al-Islamiy fi> Thaubihi al Jadi>d Al-Madkhalu al
Fiqhiyyu al’a>mu Bitat}wi>ri wa Tarti>bi wa Ziya>dat, 165 12 Pada abad kedua Imam Abu Hanifah menulis kitab dengan judul fiqh akbar, kitab ini
berisi tentang ‘aqidah, berbeda dengan perkembangan berikutnya yang mengarahkan pemahaman fiqh sebagai bentuk hukum Islam.
13 Mahmu>d Shaltut, Al-Isla>m ‘aqi>dah wa Shari>’ah, 490-92 14 Wahbah az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria
pada 6 Maret 1932 M/1351 ia merupakan murid dari Abu Zahrah dan Mahmud Syalt}ut, bukunya mencapai 133 buah dengan lebih 500 buah tulisan kecilnya. Lihat, Biografi Singkat Wahbah Zuhaili, http://denchiel78.blogspot.com/2010/05/biografi-singkat-wahbah-zuhaili.html
15‘Abdu Wahab Khalaf menyebut qaul s}ahabi dengan madhhabdi s}ahabi, ‘Abd al-Wahab Khalaf,Us}u>l al fiqh (Kairo, Syabab al Azha}r: tt), 21
23
mursalah atau istis}lah, is}tishab, ‘urf, qaul s}ahaby, syar’ man qoblana dan sad
dhari’ah.16
Menurut ‘Abd al-Wahhab Khalaf (1888 M -1956M) sumber hukum
Islam yang lebih sering menjadi pertentangan diantara ulama adalah enam
jenis (tidak memasukan sad zhari’ah sebagai sumber hukum).17 Dari semua
sumber hukum Islam tersebut menurut Abdul Wahhab Khalaf terbagi dua,
yaitu yang bersifat naqliyah dan ‘aqliyah. Adapun yang bersifat naqliyah
adalah kitab, sunnah, ‘urf, shar’u man qablana dan mazhhab s}ahabiy. Adapun
yang bersifat ‘aqliyah adalah qiyas, mas}alih al mursalah, istihsa>n, is}tis}hab
dan sadd al zhara’i.18
Apabila dilihat dari sudut pandang sejarah menurut Mustafa Ahmad Al
Zarqa tidak semua sumber hukum tersebut terjadi secara bersamaan19. Pada
awal turunya risalah kenabian, al-Quran dan haditslah yang menjadi sumber
hukum Islam. Setelah masa kenabian munculah kesepakatan para sahabat
dalam beberapa hal yang dipandang sebagai ijtihad ataupun ijma’ sahabat.
Pendapat para sahabat ini didasarkan pada qiyas maupun adanya
kemaslahatan. Pada masa berikutnya, seiring dengan permasalahan yang
muncul membutuhkan pertimbangan kebiasaan ‘urf masyarakat.
Berkenaan dengan sumber hukum Islam, menurut Imam Syafi’i20,
sumber hukum Islam yang berasal dari dalil-dalil syar’i, setidaknya dapat
dibagi dua pertama yang z}ohir dan yang bat}in yaitu yang hukum yang
diambil dari al Quran ataupun hadits mutawatir. Sedangkan yang z}ohir saja
adalah hukum yang bersumber dari hadits a>had baik yang ditetapkan
berdasarkan ijma ataupun qiyas.21
16 Wahbah al Zuhaily, al-Waji>z fi> Ushu>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al fikr, 1999), 21 17 ‘Abdu al Wahab Khalaf,Us}u>l al fiqh, 22 18 Wahbah al Zuhaily, al-Waji>z fi> Us}u>l al-Fiqh, 22 19Mus}t}afa> Ahmad Al Zarqa, Al Fiqh Al-Islamiy fi> Thaubihi al Jadi>d Al-Madkhalu al
Fiqhiyyu al’a>mu Bitat}wi>ri wa Tarti>bi wa Ziya>dat,149-150 20 Nama lengkapnya adalah Muh}ammad ibn Idri>s ibn al ‘Abba>s ibn ‘Uthma>n ibn Sha>fi’
ibn al Sa>ib ibn Ubaid ibn Ubaid ibn ‘Abd Yazi>d ibn Ha>shim ibn al Mut}t}alib ibn ‘Abdi Manaf, lahir di Gazzah, ‘Asqalan Palestina 150 H dan meninggal di Mesir tahun 204 H., Ahmad Nahrowi Abd al-Sala>m al Indonesia, al-Ima>m al Shafi’ fi Mazhhabaihi al Qadim> wa al Jadi>d (Mesir: 1998), 17-28, Akram Yusuf al Qowasimi, al-Madkhal ila> al Ima>m al-Shafi’i (Damaskus: Da>r al Nafa>is, 2002), 22-44. Pembahasan mengenai Syafi’i akan diuraikan lebih mendalam pada bab ke tiga.
21 Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, 199
24
B. Konsep Perubahan Dalam Hukum Islam
Konsep perubahan hukum dalam Islam erat kaitannya dengan
pembahasan nasikh mansukh, karena nasakh itu sendiri berarti menunjukkan
adanya perubahan dari suatu hukum terhadap hukum lain.22 Para ahli ushul
berbeda pendapat mengenai definisi nasaskh, seperti pendapat Abu Bakar Al
Bakilani berbeda dengan pendapat Baid}awi. Al Bakilani menekankan
pengertian nasakh pada penggantian (dengan bahasa rof’u mengangkat)
sebuah hukum, sedangkan Baid}awi menekankan pada berakhirnya sebuah
hukum.23 Imam Haramain (419-478H) memberikan pengertian pada
hilangnya hukum karena adanya nasakh, sebaliknya hukum sebelumnya akan
tetap kalau tidak ada nasakh.24 Bentuk lain yang dijelaskan Imam Haramain
adalah hilangnya teks namun hukumnya tetap ada, hilangnya hukum namun
teksnya ada.
Nasakh dalam pandangan jumhur ulama merupakan sesuatu kenyataan
dalam hukum Islam, hal ini berbeda dengan pandangan Abu Muslim Al-
As}faha}ni25 yang menolak keberadaan nasakh. Jumhur ulama selain
memandang nasakh sebagai hal yang sudah terjadi, juga didasarkan pada
surat Al Baqarah ayat 106.26 Sementara itu Abu Muslim menyandarkan
pendapatnya pada surat Al Fus}ilat ayat 46, tidak mungkin ada nasakh
mansukh karena tidak ada kebatilan dalam ayat-ayat al-Quran. Sedangkan
jumhur ulama menganggap bahwa kebatilan yang dimaksudkan pada surat al
22 Para ahli bahasa berbeda pendapat mengenai makna dari nasikh mansukh yang
bermakna rof’u (mengangkat), izalat (menghilangkan), naql (memindahkan). Demikian halnya dengan ahli ushul fiqh. Menurut Abu Ja’far al Nuhas, nasakh berasal dari kata matahari menghilangkan bayangan, dikatakan demikian نسخت الشمس الظل اذااأزالتھ وحلت محلھapabila bayangan itu hilang dan sinar matahari menggantikan bayangannya. Makna lain dipakai untuk menghapus buku dan menggantikannya dengan tulisan lain. Berbeda dengan Abu Ja’far, menurut Abu Bakar Makki Abu T}alib, makna nasakh dalam Al quran mungkin saja dengan makna naql akan tetapi tidak bermakna menasakh Al-Quran dengan nasikh, tetapi dengan hukum yang lain, lihat Sya’ban ibn Muhammad Isma’i>l, Nad}ariyat al-Nasakh fi> Shara’i Sama>wiyah (Da>r al Sala>m, 1988), 10
23 Sya’ban ibn Muhammad Isma’i>l, Nad}ariyat al-Nasakh fi> Shara’i Sama>wiyah, 11 24 Imam al Juwainy Al Haramain, 13 25 Nama aslinya Muhammad ibn Bahr Al-As}faha>ni, seorang mufasir yang mengarang
kitab tafsir ja>mi’ al ta’wi>l lihukmi al tanzi>l yang disusun 14 jilid dengan memakai mazhab Mu’tazilah, lahir pada tahun 254 wafat pada tahun 332, lihat Sya’ban ibn Muhammad Isma’i>l, Nad}ariyat al-Nasakh fi> Shara’i Sama>wiyah (Da>r al Sala>m, 1988), 24
ت بخیرمنھآ أومثلھا ألم تعلم أن اللھ علىكل شيء قدیرماننسخ من ءایة أو ننسھا نأ 26
25
Fus}ilat ayat 46 adalah kebatilah yang melanggar hak, sedangkan nasakh itu
sendiri adalah sesuatu yang benar adanya.27
Terlepas dari adanya yang setuju dan tidak setuju dengan adanya
nasakh, ternyata pembahasan nasakh telah menunjukkan adanya dinamisasi
hukum dari sebuah bentuk hukum terhadap bentuk hukum lainnya. Seperti
halnya perintah untuk mendera orang yang berbuat zina baik itu jejaka, gadis
ataupun yang sudah nikah. Namun hadits mutawatir ternyata menasakhnya
dan tidak memberlakukan dera terhadap orang yang sudah menikah seperti
halnya dilakukan kepada Ma’iz dan Ghomidiyah.28
Bentuk nasakh (bukan dalam bentuk nasakh yang sebenarnya) sebagai
pola perkembangan hukum Islam terjadi juga pada masa empat khalifah.
Dalam permulaan Islam datang di tanah Mekkah selama kurang lebih
13 tahun, syari’at Islam ditujukan untuk membangun aqidah para
pengikutnya. Membaca syahadat merupakan syarat pertama untuk
menyatakan keIslaman seseorang. Fase Makkah merupakan upaya untuk
membangun aqidah seperti halnya yang Allah syari’atkan kepada umat
sebelumnya yaitu untuk menyatakan bahwa tiada tuhan selain Allah. 29
Momen hijrah menjadi sejarah penting bagi perkembangan hukum Islam.
Islam yang hanya diperkenalkan dalam bentuk aqidah, sholat dan puasa
‘ashuro, kemudian berkembang pada tatanan hukum Rasulullah melakukan
hijrah ke Madinah. Dari kilas sejarah tentang perkembangan hukum Islam,
Manna’ al Qat}a>n tentang sejarah pemberlakuan hukum keluarga:
1. Pada tahun permulaan Hijrah, terdapat perintah untuk menjaga kemaluan,
membatalkan bentuk pernikahan pra Islam yang tidak sesuai,
27 Sya’ban ibn Muhammad Isma’i>l, Nad}ariyat al-Nasakh fi> Shara’i Sama>wiyah (Da>r al
Sala>m, 1988), 39 28 Bagi ulama yang menganggap bahwa nasakh hanya terjadi terhadap ayat dengan ayat,
bukan dengan hadits, maka ketentuan tidak adanya dera bagi yang muhs>an adalah takhs>is>, sedangkan bagi yang menganggap nasakh dapat saja terjadi oleh hadits, karena menganggap bahwa hadits juga kehendak Alllah seperti disebutkan pada surat an Najm ayat
إن ھو إالوحي یوحى} 3{وماینطق عن الھوى 29 Penegasan tentang aqidah yang sama antara umat Nabi Muhammad dengan umat
sebelumnya dijelaskan dalam Al Quran surat al Anbiya ayat 25 رسول إالنوحي إلیھ أنھ آل إلھ إآل أنا فاعبدون ومآأرسلنا من قبلك من
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".Lihat Manna’ al Qat}aan, Ta>rikh al-Tashri>’ al-Isla>mi, 45
26
menganjurkan pernikahan dan melarang tabatul (membujang tidak
menikah) seperti yang disebutkan pada surat an Nisa ayat 3.
2. Masih pada awal tahun Hijrah, Rasulullah menjadikan orang Muhajirin
dan Anshor menjadi bersaudara sehingga mereka saling mewarisi seperti
disebutkan pada Surat al Anfal ayat 72.
3. Hukum waris ditetapkan setelah perang Uhud yaitu pada tahun 3 H.
4. Pada tahun 3 h disyari’atkan hukum yang berhubungan dengan rumah
tangga, yaitu talak, ruju’ dan iddah. Salah satunya adalah didasarkan pada
surat at}t}alaq.
5. Ila sebagai sumpah seorang suami terhadap istrinya untuk tidak bergaul
disyari’atkan pada tahun 5 H.30
6. Pada tahun 6 H, disyari’atkan z}ihar, di mana Islam tidak menganggap
zhihar sebagai talak hal ini berbeda dengan zihar pada masa Jahiliah yang
menyatakan bahwa apabila seseorang sudah mengatakan kepada istrinya,
badan kamu seperti badan ibuku, harus dianggap bahwa laki-laki itu telah
mentalaknya. Dalam surat al Mujadalah dijelaskan bahwa zhihar bukanlah
bentuk telak tetapi apabila ternyata melakukan zhiar ia harus kifarat
dengan puasa 60 hari, atau member makan kepada 60 orang miskin.
7. Nikah mut’ah31 awalnya dihalalkan karena terpaksa seperti perang
maupun dalam sebuah perjalan, kemudian nikah ini dilarang lalu
diperbolehkan pada perang khaibar, kemudian diharamkan setelah fath
Makkah.
8. Pada tahun 10 H disyari’atkan wasiat tidak melebihi dari 1/3 harta.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat wasiat telah dinasakh oleh ayat
mirats, namun sebagian menganggapnya tidak karena wasiat bukan
kepada ahli waris tetapi kepada aqrabi>n yang maknanya lebih luas
daripada ahli waris.
30 Pada zaman Jahiliah seorang suami dapat mengila istirnya dengan bersumpah tidak
akan menggaulinya untuk jangka setahun atau lebih, Islam membatalkan praktek tersebut dan memberi batasan hingga empat bulan, seirang suami harus menentukan sikap setelah empat bulan apakah akan meneruskan pernikahannya atau kah akan menjatuhkan talaknya.
31 Nikah mut’ah adalah pernikahan yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu, golongan syi’ah memperbolehkan jenis nikah ini.
27
C. Peralihan Mazhab Di Dunia Muslim
Keberadaan hukum pada masa turunnya risalah kenabian, berada pada
Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah swt. Permasalahan hukum dapat
diselesaikan baik dengan turunya Al Quran maupun dengan penjelasan
Rasulllah sendiri. Hukum yang berkembang zaman Rasulullah terjadi dalam
tatanan praktis, bukan dalam tatanan pemikiran.32 Pada masa sahabat tidak
ada jaminan (otoritas kebenaran seperti zaman Nabi) tentang penyelesaian
suatu masalah, sehingga memerlukan pemikiran yang cukup untuk
menetapkan sebuah hukum yang berkembang saat itu, maupun untuk
melakukan perubahan.
Terjadinya peralihan hukum, sudah ditandai sejak zaman para
shabahat. Umar ibn Khat}ab33 adalah sosok sahabat yang banyak mengadakan
perubahan hukum. Salah satu diantaranya adalah usaha untuk
mengumpulkan ayat-ayat quran dalam satu mushaf. Umar berhasil
meyakinkan Abu Bakar S}iddiq34 bahwa pengumpulan mushaf adalah hal
yang baik meskipun sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw.35 Selain itu terdapat beberapa bentuk perubahan hukum sebagai
“produk” dari pemikiran Umar ibn Khatab.
Dalam penerapan hukum waris, hasil ijtihad Umar banyak menghiasi
hukum waris berkenaan dengan gharawain, ‘aul, mushtarokah. Garawain
adalah permasalahan waris di mana seorang istri meninggal dunia atau suami
meninggal dunia dengan meninggalkan suami/istri serta ayah dan ibu. Istri
mendapatkan ¼ atau suami mendapatkan ½, ibu mendapatkan 1/6 sedangkan
ayah mendapatkan sisa atau as}abah. Apabila perhitungannya demikian, tidak
memenuhi ketentuan perimbangan laki-laki mendapatkan dua kali bagian
32 Mus}t}afa> Ahmad Al Zarqa, Al Fiqh Al-Islamiy fi> Thaubihi al Jadi>d Al-Madkhalu al fiqhiyyu al’a>mu bitat}wi>ri wa tarti>bi wa ziya>dat, 166
33Umar Ibn Khatab adalah khalifah ke dua sejak tanggal 13 Jumadil Akhir 13H, Umar ra meninggal pada hari Rabu tanggal 25 Dzulhijjah tahun 23 H setelah melakukan ibadah haji. Ia ditikam oleh seorang budah kafir bernama Abu Lu’lu’ah yang menikamnya 3 kali saat Umar mau mengimami shalat, lihat Ibnu Katsir, Tarti>b wa alTahdhi>b al Bidayah wa al Nihayah, diterjemahkan al Bidayah wa al Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin, diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al Atsari (Jakarta: Darul haq, 2004), 180.
34 Abu Bakar ra adalah khalifah pertama, ia wafat pada usia 63 tahun di tahun ke 13 H bulan Jumadil Akhir. Ia menjadi khalifah selama 2 tahun 3 bulan, Ibnu Katsir, Tarti>b wa alTahdhi>b al Bidayah wa al Nihayah, 42
35 Manaa’ al Qat}t}an, Maba>hith fi> ‘ulu>m al Qura>n (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), 120
28
dari perempuan seperti pada surat an Nisa ayat 12. Oleh karenanya ibu
mendapatkan 1/6 dari sisa setelah diambil oleh suami atau istri dan ayah
mendapatkan sisanya. G}arawain yang berarti jelas seperti jelasnya bintang
juga disebut umaryatain, karena kasus ini ditetapkan oleh Umar ibn
Khatab.36
Pendapat Umar ini berbeda dengan pendapat Ibn ‘Abbas37 yang
menjelaskan bahwa ibu tetap mendapatkan bagian sesuai dengan furudnya.
Adapun alasannya adalah karena ibu lebih utama dari ayah seperti yang
tertera pada berbagai keutamaan dalam memberikan penghormatan kepada
ibu dibandingkan kepada Bapak. Perselisihan pendapat antara Ibn ‘Abbas
dan Umar juga terjadi pada ‘Aul yang merupakan proses perhitungan yang
terjadi sejak masa khalifah Umar. Aul terjadi apabila bilangan pembilang
lebih besar daripada penyebut seperti ahli waris yang terdiri dari seorang
suami dan dua orang saudara. Suami mendapatkan ½ bagian, dua saudara
mendapatkan 2/3 bagian. Pada saat menetapkan ‘aul, Umar terlebih dahulu
meminta pendapat kepada para sahabat kemudian Zaid bin Tsabit38
memberikan saran dengan cara meng’aul menjadi suami mendapatkan 3/7,
dua saudara mendapatkan 4/7.
Mushtarokah atau musharakah juga disebut yammiah, hajariyah atau
himariyah merupakan kasus yang juga ditetapkan oleh Umar bin Khatab.
Kasus ini terjadi ketika seorang suami sebagai ahli waris bersama dengan
seorang ibu, dua orang saudara seibu atau lebih dan seorang saudara seayah
atau lebih. Suami mendapatkan ½ bagian, ibu mendapat 1/6 bagian, saudara
seibu 1/3 bagian, sedangkan saudara seayah tidak mendapatkan bagian
36 Jumu’ah Muhammad Barraj, Ahka>m al Mawa>rith fi> Shari’ah al Islamiyah, (Beirut: Da>r
al Fikr, 1981), 617, Disertasi Doktor pada FiqhMuqaraan Universitas al Azhar, 37 Namanya ‘Abdullah ibn ‘Abbas ibn ‘abdul Muthalib ibn Ha>shim ibn ‘Abdi Manaf,
lihat Abu al Husain ibn Baqi ibn Qa>ni’, Mu’jam al S}ahabat Jilid II, (maktabah Guroba Athariah), hal. 66. Beliau adalah anak paman Rasulullah, ibunya bernama Lubabah al Kubra binti al Harits bin Hazan al Hilaliyah Ia dilahirkan 3 tahun sebelum hijrah dan meninggal di tahun 68 H di usia 70 tahun. Pemikirannya di bidang hadits lebih dikenal yang kemudian dikumpulkan oleh Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub al Fairuzzabady alSyafi’i dalam sebuah kitab tafsir Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Muhammad Husain al-Dhahabi, al Tafsir wal mufassirun, Jld. 1, (Kairo, :Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 62
38 Sekretaris Rasulullah terutama dalam menghapal al-Quran nama aslinya Abu Sa’i>d zaid ibn Thabit ibn al-D}aha>k al-Nija>ri al-Ans}ari.
29
karena as}abah habis bagian. Pada tahun pertama kekhalifahan Umar ra
menetapkan pembagian seperti tersebut di atas. Pada tahun ke tiga masa
pemerintahannya kemudian Umar merubah jalan pemikirannya karena ada
yang protes bahwa baik saudara seibu maupun saudara seayah berasal dari
satu ibu sehingga kurang adil apabila berasal dari ibu yang sama tetapi
saudara seayah tidak mendapatkan bagian. Oleh karena itu Umar merubah
hukum yang ditetapkan sebelumnya dan menetapkan bahwa bagian saudara
seibu dan seayah masing-masing mendapatkan hak yang sama dalam bagian
1/3.39 Menurut Ali al-S}abuni40 pendapat Umar juga sependapat dengan
pendapat Zaid bin Thabit, Uthman bin Affan dan Ibn Mas’ud41, pendapat ini
kemudian menjadi mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i. Sedangkan pendapat
Umar yang pertama merupakan pendapat Abu Bakar ra. Ali ra dan Ibn
‘abbas yang kemudian menjadi mazhab Hanafi dan Hanbali42.
Selain Umar bin Khatab, sahabat lain juga banyak melakukan
improvisasi dalam hukum waris, seperti halnya dalam hukum waris, ketika
terjadi ahli waris antara kakek dengan saudara. Tidak ada nas} al-Quran
maupun hadits yang menjelaskan keadaan ahli waris seperti ini. Pendapat
pertama dikemukakan oleh Abu Bakar ra, Ibnu ‘Abbas dan Ibn Mas’ud yang
menyatakan bahwa saudara tidak mempunyai hak atas harta waris bila
bersama dengan kakek. Karena kedudukan kakek sebagai ahli waris yang
dapat menghijab kepada saudara, sebagaimana ketentuan as}abah, yang
39 Jumu’ah Muhammad Barraj, Ahka>m al Mawa>rith fi> Shari’ah al Islamiyah, (Beirut: Da>r al Fikr), 618-19
40 Muhammad ‘Ali al-S}abuni, al-Mawarith fi> Syari’at al Islamiyah fi> d}au al-Kitab wa al-Sunnah (Mesir: Da>r al Hadi>th), 89-90
41Nama lengkapnya ‘Abdullah Ibn Mas’ud ibn ‘Aqil ibn Shamah ibn Makhzu>m Ibn S}ahilah ibn Ka>hil ibn Harith ibn Tami>m ibn Sa’ad ibn Huzail ibn Mudrikah ibn Mud}ar, lihat Abu al Husain ibn Baqi ibn Qa>ni’, Mu’jam al S}ahabat Jilid II, (maktabah Guroba Athariah), 62
42Ahmad bin Hanbal pendiri mazhab Hanbali, 164-241 H. Ahmad pertama kali mendapatkan hadits (menimba ilmu) dari Qa>di Abu Yusuf sahabat Abu Hanifah, sehingga pola pemikirannya berawal dari ahli ro’yu. Fiqh Ahmad dapat ditemukan dari fatwa-fatwa semasa hidupnya atau dengan melihat hadits yang disandarkan pada hadits yang diriwayatkannya. Dari sudut pandang metodologi, Ahmad mensandarkan metodenya pada nash, qaul s}ahabi, hadits mursal dan qiyas. Berbeda dengan Syafi’i, Ahmad tidak memberikan kritik terhadap qaul sahabi, sehingga kalaupun bertentang dengan qiyas (seperti Syafi’i), Ahmad tetap mengambil qaul Sahabi. Ahmad mendahulukan hadits d}aif daripada memakai qiyas seperti Imam Syafi’i, yakni hadits yang salah satu perawinya tidak termasuk tsiqah (kuat hafalan) dan bukan hadits munkar, maudlu’., lihat Muhammad Abu Zahrah, Muhad}arah fi> ta>ri>kh al madhahib al fiqhiyyah, 303-57.
30
didahulukan adalah dari pihak anak, pihak orang tua (ayah kakek) dan pihak
ke samping (saudara). Maka ketika terdapat kakek, saudara tidak
mendapatkan bagian. Pendapat ini kemudian menjadi pendapat mazhab
Hanafi.43
Pendapat kedua dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Ali ra dan pendapat
ahli Madinah yang menetapkan saudara bersama dengan kakek mendapatkan
bagiann. Alasannya hubungan kakek dengan saudara mempunyai kesamaan
yaitu terhalang oleh satu orang. Kakek terhalang oleh ayah, demikian halnya
saudara terhalang oleh ayah atau ibu. Di samping itu kebutuhan seorang
saudara terhadap harta jauh lebih terlihat bila dibandingkan dengan kakek
yang sudah mempunyai usia jauh dari saudara (cucu kakek tersebut).
Pendapat ini juga menjadi pegangan mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali.44
Selain pembaharuan hukum sudah terjadi sejak masa sahabat yang
banyak dicontohkan oleh sikap Umar ra, demikian pula pembaharuan hukum
dilakukan oleh empat mazhab dengan metodenya masing-masing. Peta
pengembangan metode perubahan hukum yang dilakukan oleh Abu Hanifah
mempergunakan istihsan sebagai metode antisifatif terjadinya perubahan
hukum. Metode ini didukung oleh Imam Malik sedangkan Syafi’i menolak
metode istihsan. Imam Malik selain mendukung keberadaan istihsan, juga
mengembangkan maslahah mursalah dalam ranga memberikan kemungkinan
terjadinya perkembangan hukum. Teori ini kemudian didukung oleh mazhab
Hanbali. Sebaliknya mazhab Hanafi dan Syafi’i tidak mempergunakan
maslahah mursalah sebagai metode yang berdiri sendiri.
Imam Syafi’i meskipun tidak menunjukkan adanya teori tersendiri
untuk mengantisipasi perubahan hukum Islam, namun Syafi’i memberikan
contoh praktis tentang terjadinya perubahan hukum yaitu dengan adanya
qaul qadim dan qaul jadid. Selepas wafatanya imam Malik pada tahun 179
H, Syafi’i untuk kedua kalinya perig ke Bagdad pada tahun 195 H. Dalam
kurun waktu 4 tahun, Syafi’i membangun mazhabnya di Bagdad yang
43 Muhammad ‘Ali al-S}abuni, al-Mawarith fi> Syari’at al Islamiyah fi> d}au al-Kitab wa al-
Sunnah (Mesir: Da>r al Hadi>th), 97 44 Muhammad ‘Ali al-S}abuni, al-Mawarith fi> Syari’at al Islamiyah fi> d}au al-Kitab wa al-
Sunnah, 98
31
dikenal dengan qaul qadim. Pada tahun 199 H Syafi’i mengembara ke Mesir
yang kemudian ia membangun mazhab barunya yang dikenal dengan qaul
jaded. 45
Salah satu contoh perubahan mazhab Syafi’i dalam hukum keluarga
adalah berkenaan dengan hukum bersetubuh pada saat istri sedang haid.
Tidak ada perbedaan antara qaul qadi>m dan qail jadi>d apabila bersetubuh
saat haid, karena tidak disengaja. Namun terjadi perbedaan ketika perbuatan
tersebut disengaja. Dalam mazhab yang lama qaul qadi>m, Syafi’ menetapkan
keharusan membayar satu dinar atau setengah dinar bagi yang
melakukannya. Satu dinar pada saat haidnya masih banyak, atau setengah
ketika haidnya ternyata haidnya akan berhenti. Dalam qaul jadid, Syafi’i
tidak mengharamkannya dan tidak mengharuskannya kifarat, akan tetapi
menganggapnya perbuatanu dosa dan pelakunya harus bertobat.46 Pendapat
Syafi’i dalam qaul qadi>m ternyata mempergunakan hadits mud}tarib,
sehingga Syafi’i memilih pendapat yang kedua.47
Nahrowi menjelaskan, bahwa terjadinya perbedaan hasil ijtihad pada
qaul qadi>m dan jadi>d lebih disebabkan karena adanya alasan hukum yang
belum ditemukan pada waktu sebelumnya (masa qaul qadi>m) atau karena ada
perkembangan dan perubahan zaman pada saat itu. 48
Dengan melihat keberadaan para imam mazhab selama hidupnya,
secara sederhana peta mazhab fiqh dapat digambarkan dari sudut pandang di
mana peletak mazhab itu berada. Imam Malik yang semasa hidup di
Madinah berkembanglah mazhab Maliki, di Baghdad berkembang mazhab
Hanafi, di Mesir berkembang mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali
45 Ahmad Nahrowi ‘abd Sala>m al-Indonesia, Al Ima>m al Shafi’i fi> madhhabai al qadi>m
wa al Jadi>d, (Mesir: 1988),435 46 Ahmad Nahrowi ‘abd Sala>m al-Indonesia, Al Ima>m al Shafi’i fi> madhhabai al qadi>m
wa al Jadi>d,,499 47 Meskipun terjadi perbedaan antara qaul qadi>m dan qaul jadi>d tentang hukumannya,
nampaknya pendapat ini perlu dikaji ulang dari sisi kesehatan. Jika si perempuan menderita salah satu dari banyak penyakit STD (Sexually Transmitted Diseases) seperti herpes dan gonorrhea, maka darah haid merupakan medium yang sangat baik untuk berpindahnya virus atau bakteri penyebab penyakit tersebut kepada pasangannya., lihat Bahaya Bercinta|Bersetubuh Saat Wanita Sedang Haid http:// makalah-kesehatan-online.blogspot. com /2009/05/bahaya-bercintabersetubuh-saat-wanita.html.
48 Ahmad Nahrowi ‘Abd Sala>m al-Indonesia, Al Ima>m al Shafi’i fi> Madhhabai al Qadi>m wa al Jadi>d, 604
32
berkembang di sebagian Iraq. Para ulama cenderung melihat perkembangan
fiqh dari sudut pandang sejarah dan tidak dilihat dari sudut geografis,
sehingga sulit untuk menelusuri perkembangan sebuah mazhab dalam peta
wilayah Negara-negara berpenduduk muslim secara menyeluruh.
Mustafa misalnya, menjelaskan tentang perkembangan mazhab-
mazhab fiqh mulai dari masa abad pertama hingga masa keberanjakan fiqh
menjadi sebuah undang-undang. Perkembangan fiqh, diawali dengan
berkembangnya wilayah Islam yang juga menyebarnya para sahabat Nabi ke
berbagai tempat wilayah penaklukan. Ibnu Mas’ud berada di ‘Iraq, Zaid bin
Thabit dan Ibn ‘Umar di Madinah serta Ibn ‘Abbas di Makkah. Kemudian
berkembang generasi berikutnya, Sa’id bin Musayyab di Madinah, ‘At}a bin
Abi> Rabah di Makkah, Ibrahi>m al Nakha’I di Kufah, Hasan Bas}ri di Bas}rah,
Makhul di Sham serta T}awus di Yaman.
Pada abad ke dua Hijriah, muncul dua pemikiran tentang Islam (fiqh
diantaranya) yaitu antara ahlu hadits dan ahlu ro’yu atau madrasatul
Madinah dan Kufah atau madrosah ‘Iraq dan Kufah. Ahlu hadits
menekankan sebuah pengamalan dari nas}-nas} quran dan hadits, sedangkan
ahlu ‘iraq tidak menutup diri terhadap pembahasan alasan hukum ‘illah dari
sebuah nas} yang ada.49 Sebagai contoh kecil, kewajiban zakat fitrah dengan
mengeluarkan sebagian bahan makanan pokok di akhir bulan Ramadan
menjadi pemahaman yang sempit bagi ahlu hadits, karena menganggap
Rasulullah menghendaki zakatnya dari makanan pokok. Sebaliknya ahlu
‘Iraq menekankan terhadap jaminan kehidupan bagi fakir miskin pada saat
hari Raya, sehingga pembayaran zakat fitrah dengan uang pun tidak menjadi
kendala.
Pada abad kedua muncul 3 mazhab besar. Pertama empat mazhab sunni
yang terdiri dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Kedua mazhab
Al Z}ahiri yang hampir sama dengan empat mazhab sunni lainnya, namun
cara pemahan terhadap nas} yang tertutup, sehingga tidak menerima
pemahaman metode ahli hadits terlebih lagi terhadap ahlu ro’yu, keadaan ini
49 Mus}t}afa> Ahmad Al Zarqa, Al Fiqh Al-Islamiy fi> Thaubihi al Jadi>d Al-Madkhalu al
fiqhiyyu al’a>mu bitat}wi>ri wa tarti>bi wa ziya>dat, 185-86
33
pula yang menyebabkan mazhab ini menjadi hilang. Ketiga adalah mazhab
Syi’ah yang terdiri dari zaidiyah, Ibadiyah dan Imamiyah. Pada awal abad ke
tiga munculah proses penyusunan kitab dalam berbagai mazhab. Muhamad
bin Hasan al-Shaibani menyusun kitab untuk gurunya Abu Hanifah, al
Muwatha karya Imam Malik merupakan kitab hadits yang didalamnya
mengandung hukum-hukum (fiqh) dalam mazhab Maliki, Imam Syafi’i juga
mengarang kitabnya dengan judul al-Umm50.
Masa berikutnya adalah masa di mana para ulama lebih memfokuskan
pada upaya mentakhrij dan mentarjih mazhabnya terutama pada mazhab
yang empat. Upaya memberikan syarah (penjelasan) atau meringkas terjadi
pada masa ini. Masa ini terjadi pada abad pertengahan ke empat hingga abad
ke tuju.
Abu Zahrah merupakan salah satu ulama yang menjelaskan
perkembangan mazhab dari sudut pandang geografi. Perkembangan mazhab
fiqh lebih ditekankan sejak abad pemerintahan ‘Abbasiah. Dalam sejarahnya
pemberlakuan suatu mazhab seringkali menyertakan pemerintah untuk
menetapkannya secara resmi, meskipun di kalangan masyarakat secara
praktis banyak yang mempergunakan mazhab di luar mazhab resmi terlebih
lagi dalam hal yang menyangkut ‘ubudiyah.51
Mazhab Hanafi, termasuk yang banyak dianut oleh pemerintah
‘Abbasiah, karena menjadi mazhab resmi pemerintahan ‘Abbasiah. Iraq dan
Syam52 termasuk wilayah yang secara hukum (pemerintahan) maupun
praktek masyarakat mempergunakan mazhab Hanafi. Mazhab ini
berkembang lebih dari 500 tahun lamanya dalam tatanan pemerintahan
‘Abbasiah53. Salah satu yang mendukung perkembangan mazhab ini adalah
50 Mus}t}afa> Ahmad Al Zarqa, Al Fiqh Al-Islamiy fi> Thaubihi al Jadi>d Al-Madkhalu al
fiqhiyyu al’a>mu bitat}wi>ri wa tarti>bi wa ziya>dat (Damaskus, Da>r al Qolam), 190-01 51 Muhammad Abu Zahrah, Muhad}arah fi> Ta>ri>kh al-Madhahib al-Fiqhiyyasah, 188 52 Syria, Palestina, Yordania dan Libanon dahulu termasuk wilayah Syam lihat Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta:Logos Wacana Ilmu), 142 53 Khalifah Bani Abbasiah yang mengambil alih dari Bani Umayah, mulai memegang
pemerintahan pada tahun 132 H hingga tahun 656 H (749-125M). Khalifah pertama bernama Abul Abbas as Saffah, lihat Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 98
34
pengangkatan Abu Yusuf54 sebagai q}ad}i di Bagdad oleh Harun al Rasyid55 di
akhir abad ke II, kemudian disertai dengan pengangkatan qad}i di tempat
lainnya yang “sama” dengan mazhab Iraq.56
Demikian pula dengan daerah penaklukan wilayah Barat, diterapkan
mazhab Hanafi. Selain mazhab Hanafi, di Mesir secara praktek banyak yang
mempergunakan mazhab Maliki karena banyaknya murid Imam Malik.
Setelah Syafi’i datang ke wilayah Mesir (tahun 201 H), mazhab Syafi’i pun
berkembang di samping dua mazhab lainnya.
Mazhab Hanafi terus berlanjut pada pemerintahan ‘Abasiah hingga
pemerintahan Fathimiyah yang menetapkan Syi’ah Imamiah sebagai mazhab
resmi Negara57. Pada masa pemerintahan Ayubiyyun, penggunaan mazhab
Syi’ah diganti dengan mazhab Syafi’i. hingga selesai pemerintahan Nur al
Din58, dikembangkan kembali mazhab Hanafi. Sementara itu di wilayah
Maroko dan Andalusia (Spanyol) hanya berkembang mazhab Maliki,
sedangkan mazhab Hanafi baru muncul pada pemerintahan Asad bin Farat,
itupun dalam waktu yang tidak terlalu lama karena kemudian berkembang
lagi mazhab Maliki.59
54 Nama aslinya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Habib>b al-Ans}ari, dilahirkan di Kufah tahun 113
H. Ia adalah murid Abu Hanifah yang menjadi qad}i di wilayah Timur dan Barat, waktu itu tidak ada yang diangkat menjadi qad}I kecuali bermazhab Hanafi, lihat Nasir ibn ‘Aqil ‘b Jasir al-Tarifi, Ta>ri}kh Fiqh al-Islami, (Riyad}: Taubah, 1997), 124-125
55 Abu Ja’far Harun al Rasyid yang lebih dikenal Harun al-Rasyid, merupakan khalifah ke lima Bani Abbasiah yang memerintah dari tahun 170-193 H/786-809M, termasuk khalifah ‘Abbasiah yang berhasil mengembangkan keilmuan di zamannya, lihat Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu), 98
56 Muhammad Abu Zahrah, Muhad}arah fi> Ta>ri>kh al-Madhahib al-Fiqhiyyah, (Madani: Jam’iyyah dirosa>t Islamiyah) , 188
57 Dinasti Fatimiyah adalah dinasti Syiah Ismailiyyah pendirinya Ubaidillah alMahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang berdiri pada tahun 909-1171 M (262 tahun). Universitas Al-Azhar yang tadinya berupa mesjid dan berubah menjadi sebuah perguruan tinggi merupakan peninggalan terpenting dari dinasti ini. Dinasti ini berakhir pada masa Al-‘Adid pada tahun 1171M. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Fatimiyah, Arif Setiawan ttp://ariefboy.co.cc/download/Islam-masa-Dinast-Fatimiyah.pdf
58 Dinasti Ayubiyyah didirikan oleh Salahuddin Al-Ayubbi yang bersama Shirkuh menaklukan Mesir untuk Raja Zengiyyah Nuruddin dari Damaskus pada 1169. Pada tahun 1171, Salahuddin menggulingkan Khalifah Fatimiyyah terakhir dari pemimpin terakhirnya ‘Ahd. Salahuddin berhasil menguasai Suriah dan Jazirah di Irak Utara Keberhasilan dari dinasti ini adalah mengalahkan tentara salib dalam Pertempuran Hattin dan penaklukan Baitulmuqaddis pada 1187.Sejarah Islam 'Dinasti Al-Ayyubiyah' Dinasti Ayyubiyyah http://zuhdimasterz7.blogspot.com/2011/02/sejarah-islam-dinasti-al-ayyubiyah.html
59 Muhammad Abu Zahrah, Muhad}arah fi> Ta>ri>kh al Madhahib al Fiqhiyyah, 189
35
Mazhab Malik, berkembang di wilayah Hijaz, jazirah Arabia (Mekah,
Madinah Riyadh). Sewaktu Imam Malik masih hidup, mazhab ini sudah
berkembang hingga ke Mesir yang dibawa oleh muridnya yaitu ‘Abd
alRahman bin Qa>sim, Ibn al Hakam, ‘Abd alRohi>m Ashhab serta murid
lainnya yang menetap di Mesir. Mazhab ini dianut oleh orang Mesir hingga
imam Syafi’i datang pada tahun 201H hingga akhirnya dua mazhab ini
berkembang bergandengan di samping terdapat mazhab Hanafi. Apabila
mazhab Hanafi berkembang di wilayah Timur (Iraq), sebaliknya mazhab
Maliki berkembang di wilayah Barat, yaitu Tunisia, Andalusia. Di Tunisia
berkembang mazhab Maliki, hingga pemerintahan Hasan bin Farat yang
semula bermazhab Maliki kemudian pindah ke Mazhab Hanafi karena
mempelajari fiqh Muhammad bin Hasan Hasan al Syaibani. Mazhab Maliki
kemudian menggantikan mazhab Hanafi pada masa Mu’id bin Idris.60 Di
Andalusia yang awalnya bermazhab al’Auza’i, kemudian berkembang
mazhab Maliki sebagai mazhab resmi pemerintahan saat itu. Salah satu yang
mengembangkannya adalah Qad}i Yahya ibn Yahya yang kemudian
mengangkat qadi lain bermazhab Maliki.
Mazhab Syafi’i mulai muncul di Iraq yaitu dengan qaul qadi>mnya,
kemudian berkembang di Mesir dengan qaul jadi>dnya. Baik sewaktu di Iraq
maupun di Mesir, sebenarnya yang menjadi mazhab resmi Negara waktu itu
adalah mazhab Hanafi, namun dalam prakteknya sebagian masyarakat
mengikuti mazhab Syafi’i. Sejak masa pemerintah Ayubiyyi>n, mazhab
Syafi’i menjadi mazhab Negara. Pada masa Mamalik muncul ide untuk
mengangkat qadi dari empat mazhab. Meskipun terdapat empat mazhab
dalam lembaga peradilan, namun mazhab Syafi’ mempunyai kedudukan di
atas yang lain, kemudian menyusul mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali
terakhir. Kedudukan mazhab Syafi’i ini berakhir sejak pemerintahan
Utsmaniah yang mengedepankan mazhab Hanafi, bahkan sejak Muhammad
Ali, melarang mazhab selain mazhab Hanafi sehingga mazhab Syafi’i dan
Maliki hanya dipraktekan di kalangan masyarakat saja. Masyarakat Syam
awalnya bermazhab ‘Auza’i, setelah ada hakim yang diangkat di sana dari
60 Muhammad Abu Zahrah, Muhad}arah fi> ta>ri>kh al madhahib al Fiqhiyyah, , 242
36
mazhab Syafi’i yaitu Abu Zar’ah al Dimashqiy (w 306 H) telah memberikan
corak mazhab Syafi’i di wilayah Syam.
Mazhab Hanbali berkembang di Jazirah Arab setelah penguasaan Najd
oleh Bani Su’ud61, di mana sebelumnya semenanjung jazirah arab lebih
banyak menganut mazhab Maliki. Minimnya penganut mazhab Hanabilah
lebih disebabkan karena Mazhab Hanbali berkembang setelah ketiga mazhab
sebelumnya menyebar ke seluruh umat muslimin. Kedua, mazhab ini tidak
mempunyai qad}i seperti halnya mazhab lain yang mempunyai peran ganda
disamping sebagi hakim juga menyebarkan mazhabnya seperti Abu Yusuf
dan Muhammad bin Hasan al Shaibani yang bertindak sebagai hakim dan
menyebarkan mazhab ‘Iraq (Hanafi). Ketiga mazhab Hanbali sangat keras
pendiriannya dan memunculkan berbagai pertentangan dengan mayoritas
mazhab lainnya. 62
D. Keberanjakan Hukum Islam Menjadi Hukum Modern
Keberanjakan hukum Islam ke dalam wadah hukum modern dalam
bentuk peraturan perundang-undangan mulai terlihat pada akhir abad 19 di
kerajaan Turki Usmani dan mulai terlihat meluas pada beberapa Negara
berpenduduk muslim pada awal abad 20, yaitu sejak memisahkan diri
beberapa wilayah dari kerajaan Turki Usmani. Must}afa menjelaskan masa
pertumbuhan hukum Islam terakhir adalah pada abad ke 7 hingga munculnya
majallah al ahkam al’adaliah63 1286 H/ 1876M. Pada masa ini hampir tidak
ada pembahasan hukum yang baru kecuali mengambil berbagai pandangan
ulama dari kitab yang ada. Meskipun tidak muncul keilmuan bidang fiqh,
pada masa ini tumbuh berbagai kitab fatwa pada mazhabnya masing-masing
dengan metode tanya jawab yang merupakan permasalahan hukum baru. Di
61 Mazhab Hanbali di wilayah ini disebarkan melalui pergerakan Muhammad bin Abdul Wahhab (lahir tahun 2225/1703 di Nejd Arabia Tengah) yang mengadakan perjanjian politik dengan Muhammad ibn Sa’ud pada tahun 1744 M. lihat Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu), 151-152. Meskipun mengadakan perjanjian politik, Abdul Wahhab tetap dengan misi awalnya yaitu berupaya melakukan pemurnian aqidah dengan mempergunakan fiqh mazhab Hanbali.
62 Muhammad Abu Zahrah, Muhad}arah fi> ta>ri>kh al madhahib al Fiqhiyyah, ,372-373 63 Majallah adalah istilah yang dipergunakan oleh pemerintahan Turki Uthmani terhadap
bentuk peraturan hukum perundang-undangan yang diambil dari model Eropa. Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal.
37
sisi lain muncul kesadaran dari penguasa Utsmani untuk menetapkan hukum
tertentu, sehingga mempunyai daya paksa yang cukup untuk dilaksanakan.
Pertimbangan maslahah mursalah dan beberapa kaidah fiqh telah
mendorong keadaan ini, seperti berubahnya hukum sesuai dengan perubahan
zaman.64 Keistimewaan terakhir dari masa ini, adanya semangat untuk
menjadikan fiqh dalam bentuk perundang-undangan.65 Adanya perubahan
paradigma dalam membangun hukum di dunia Islam, sangat dipengaruhi
oleh titik singgung pemerintahan Islam saat itu dengan dunia Barat, yaitu
Prancis dengan Mesir setelah adanya ekspedisi Napoleon Bonaparte tahun
1798 yang kemudian setelah Prancis hengkang, Turki Usmani melakukan
modernisasi yang diawali dalam bidang militer.66
N.J. Coulson67 menjelaskan tentang banyak perkembangan hukum
Islam pada masa akhir kerajaan Turki Usmani68 yang banyak mengambil dan
mempergunakan sistem hukum Eropa dengan kodifikasi hukum melalui
peraturan perndang-undangan yang merupakan cirri khas dari sistem Eropa
continental bila dibandingkan dengan sistem hukum Anglo Saxon. Masa
pembentukan peraturan perundang-undangan terjadi pada antara tahun 1839-
1876M. Pada tahun 1850 diundangkan peraturan hukum dagang yang
sebagian merupakan terjemahan dari hukum dagang Prancis. Pada tahun
1858 mengambil alih hukum pidana Prancis dan menggantikan hukum yang
sudah ada kecuali mengenai peraturan tentang murtad. Pada tahun 1861
dibuat undang-undang tentang hukum acara perdagangan dan pada tahun
تبدل االحكام بتبدل االزمان 6465 Mus}t}afa> Ahmad Al Zarqa, Al Fiqh Al-Islamiy fi> Thaubihi al Jadi>d Al-Madkhalu al
Fiqhiyyu al’a>mu bi Tat}wi>ri wa Tarti>bi wa Ziya>dat, 214-216 66 Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu), 141 67 N.J. Coulson merupakan orientalist yang menggeluti bidang hukum Islam dan tertarik
dengan stuti positivisasi hukum Islam, ia belajar hukum Islam dari gurunya Joseph Schact. Salah satu bukunya A. Hitory of Islamic Law, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Ahmad Sira>j, Fi> Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Islami.
68 Kerajaan Turki Uthmani berdiri pada tahun 1281 M dengan raja pertama bernama Uthman hingga pemerintahan terakhir pada tahun 1926 yakni berdirinya Republik Turki. Di satu sisi penjajahan Prancis dan Inggris telah memberikan dampak lain pada system hukum yang dipakai oleh kerajaan Turki Uthami. Adanya perubahan system hukum dengan mempergunakan system perundang-undangan seperti halnya di Negara Eropa dimulai pada pemerintahan Abdul Aziz (pengangkatan 1861), hingga Abdul Majid II (1914), lihat Sejarah Peradaban Islam Masa Turki Usmani (1294-1924), http://musafir1412.blogspot.com /2011/05/ sejarah-peradaban- islam-masa-turki.html, diakses tanggal 5 Juni 2011
38
1863 ditetapkan hukum perdagangan laut di mana keduanya mengambil
sumber dari hukum Prancis.69
Adapun majallah ahkam al ‘adaliyah disusun mulai tahun 1869-1876
dengan mempergunakan mazhab Hanafi. Penyusunan hukum keluarga ini
untuk mempermudah dalam pengambilan hukum terutama dalam
menyelesaikan di tingkat pengadilan. Majallah ini terus berlanjut menjadi
sumber hukum hingga akhirnya at-Turk menggantinya pada tahun 1926, di
Libanon penggunaan Majallah berakhir pada tahun 1932, di Suriah hingga
tahun 1949, di Iraq sampai tahun 1953.70
Apabila dilihat tentang sejarah “bertaqlidnya” umat Islam setelah
pertengahan abad ke empat Hijriah, maka menurut N.J. Coulson, setelah
akhir abad ke Sembilan Belas Masehi, pola taqlid berubah menjadi suatu
keharusan untuk mengikuti kodifikasi hukum Islam dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh beberapa Negara berpenduduk
muslim yang diawali oleh Turki sebagai ibukota dari kerajaan Turki
Uthmani. Bentuk kodifikasi hukum ini merupakan hukum keluarga yang
termasuk di dalamnya hukum waris, wakaf dan hibah.71 Pengecualian
terhadap pola kodifikasi hukum ini yakni kerajaan Saudi dan beberapa
wilayah lainnya yang masih mempergunakan hukum Islam secara tradisional.
Dalam klasifikasi yang dlakukan oleh Taheer Mahmood negara-negara
muslim kaitannya dengan pembaruan hukum keluarga yang dilakukannya
menjadi tiga kategori yakni:72
69N.J.Coulson, A. Hitory of Islamic Law, diterjemahkan dan diberi catatan oleh
Muhammad Ahmad Sira>j, Fi> Ta>ri>kh al-Tashri>’ al-Islami, (Beirut: Muassasah Jami’ah dirasa>t wa tashri, wa tauzi’, 1992), 202
70 N.J. Coulson, A. Hitory of Islamic Law, 202, M. Atho Muzhar mencatat terjadinya kodifikasi hukum keluarga di mulai pada tahun 1917 yang dipelopori oleh Negara Turki, kemudian menyusul Mesir pada tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan pada tahun 1961 dan Indonesia pada tahun 1974 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, M. Atho Mudzhar menyebutnya dengan pembaharuan hukum dalam bentuk undang-undang bukan kodifikasi, lihat M. Atho Mudzhar (ed), Hukum Keluarga di Dunia Muslim Modern studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari kitab-kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 1.
71 N.J. Coulson, A. Hitory of Islamic Law, 207 72 Tahir Mahmood, Family law Reform in The Muslim World, ( New Delhi: The Indian
Law Institute, 1972), h. 2 – 8. H.M. Atho’ Mudzhar, Wanita dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, dalam Atho’ Mudhar & Khairuddin Nasution (Ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Cet. I, ( Jakarta : Ciputat Press, 2003), h.204-205.
39
1. Negeri muslim yang masih tetap mempertahankan hukum keluarganya
secara apa adanya sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fiikih klasik
seperti negara Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Bahrain dan Kuwait.
2. Negeri muslim yang telah meninggalkan hukum fikih klasik dan
mengantikannya dengan hukum sipil Eropa seperti yang dilakukan oleh
Turki dan Albania.
3. Negeri muslim yang dalam memberlakukan hukum keluarga Islam
melakukan modifikasi dan perubahan di sana-sini agar sesuai dengan
kemaslahatan warganya ini adalah yang dilakukan oleh kebanyakan
negara-negara muslim seperti, Sudan, Irak, Aljazair, Maroko, Tunisisa,
Pakistan, Indonesia, Yordania dll.
Keberanjakan hukum keluarga menjadi sebuah kodifikasi hukum
disadari oleh JND. Anderson karena dianggap sebagai inti dari syari’ah Islam
dan sudah beratus-ratus tahu diakui sebagai landasan pembentukan
masyarakat muslim, sehingga dalam aplikasinya menjadi sebuah peraturan
hukum serng menjadi sasaran perdebatan kelompok konservatif dan
modernis di dunia Islam.73
Pembentukan undang-undang dalam bidang hukum ahwal al-
shakhs}iyyah tidak berarti meninggalkan hukum Islam itu sendir. Beberapa
metode yang digunakan dalam pembentukan Sedang metode Pembaruan
yang ditempuh digunakan cara-cara :
1. Melalui metode talfiq.
2. Melalui metode takhayyur.
3. Melalui kebijakan politik hukum ( siyasah syar’iyyah).
4. Melalui reinterpretasi nash untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan
tuntutan zaman modern.74
Sementara menurut Tahir Mahmood menjelaskan mengenai bentuk
reformasi hukum Islam menlalui dua yakni intra-doctrinal dan extra-
73 JND Anderson, Islamic Law in the Modern World, ( New York : New York University Press, 1975), 39.
74 HM. Atho’ Mudzhar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, 2-3.
40
doctrinal. Intra-doctrinal dilakukan dengan melakukan talfiq sedang extra-
doctrinal melalui kajian reintrepretasi terhadap nash-nash al-Qur’an maupun
as-Sunnah.75
75 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, ( Bombay : The Indian
Law Institute, 1972), 270.
top related