penemuan hukum pembentuk undang-undang dalam kaitannya dengan keabsahan kontrak elektronik menurut...
Post on 08-Aug-2015
400 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK
ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW
DISUSUN SEBAGAI PEMENUHAN TUGAS
MATA KULIAH PENEMUAN HUKUM
DISUSUN OLEH :
ASMANUR ARUMSARI
MAGISTER KENOTARIATANUNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia hukum terdapat dua istilah yang sering digunakan apabila
berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau pelaksanaan
hukum itu sendiri. Istilah yang sering digunakan tersebut adalah penegakan dan
penerapan hukum. Di Indonesia, penerapan dan penegajan hukum seringkali
mengalami berbagai kendala jika dikaitkan dengan perkembangan masyarakat baik
di dunia maupun di Indonesia khususnya. Perkembangan masyarakat ini kemudian
memicu permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari yang belum diatur dalam sebuah perundang-undangan di
Indonesia. Hal ini membuktikan sulitnya para penegak hukum atau aparat hukum
mencari cara atau solusi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum
tersebut. Berbagai kasus yang terjadi pada masyarakat di Indonesia dapat
memnggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar
hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada.
Perkembangan masyarakat biasanya sedikit lebih cepat dibandingkan degan
perkembangan peraturan perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam
masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Sistem
Hukum di dalam masyarakat sangan diperlukan untuk menciptakan kehidupan
masyarakat yang harmonid, teratur, tertib, bermanfaat, dan mengandung kepastian
sebagaimana yang dimaksud dalam tujuan adanya hukum di masyarakat. Tetapi,
pada kenyataan di masyarakat, hukum atau peraturan perundang-undangan yang
dibuat tidak mencakup seluruh permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
masyarakat sehubungan dengan perkembangan masyarakat sehingga menyulitkan
bagi para penegak hukum maupun aparat hukum untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Perubahan atau perkembangan masyarakat yang lebih cepat dibandingkan
dengan aturan atau hukum yang mengaturnya menjadikan masalah karena asas
legalitas sebagai asas kepastian hukum yang menyentuh rasa keadilan masyarakat
tidak dapat dipenuhi. Perkembangan masyarakat ini termasuk juga perkembangan
dalam bidang teknologi. Perkembangan teknologi ini dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia belum diatur secara tuntas dan menyeluruh sehingga terdapat
kasus-kasus atau permasalahan yang terjadi berkaitan dengan penyelesaiannya
secara hukum. Oleh karenanya, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa suatu
peraturan perundang-undangan tidak mungkin dapat mengatur segala kehidupan
manusia secara tuntas sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan
tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di
masyarakat.
Menurut Kamus Hukum, recht secara obyektif berarti undang-undang atau
hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)” menyatakan bahwa
“hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan”.
Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie”
mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang
bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya
dengan gejala-gejala lainnya”. Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu
Hukum” memberikan pengertian mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan
peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan,
atau ijin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk
mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat”1. Dengan peraturan-peraturan
hidup disini dimaksudkan baik peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan maupun yang tidak tertulis (adat atau kebiasaan).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun 1989,
menguraikan arti dari kekosongan yaitu “Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat,
dan sebagainya) kosong atau kehampaan”2 yang dalam Kamus Hukum diartikan
dengan Vacuum yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau
lowong”.
Dari pengertian hukum dan kekosongan di atas, maka secara sempit
kekosongan hukum dapat diartikan sebagai suatu keadaan kosong atau ketiadaan
peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam
masyarakat, sehingga kekosongan hukum dalam Hukum positif lebih tepat dikatakan
sebagai kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan.
Seperti pada perkembangannya di masyarakat, kontrak atau perjanjian juga
telah mengalami berbagai perkembangan, salah satunya adalah dengan adanya
1 Surojo Wignjodipuro, “Pengantar Ilmu Hukum (Himpunan Kuliah)”, Alumni Bandung. Bandung : 1971.2 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta : 1989.
kontrak atau perjanjian elektronik. Kontrak elektronik ini sudah berkembang di
masyarakat Indonesia. Perkembangan ini dikarenakan adanya kemajuan teknologi
informasi yang semakin hari semakin cepat menuntut adanya perkembangan yang
dinamis juga dalam bisang hukum yang mengaturnya. Kebutuhan masyarakat yang
meningkat dan semakin mendesak membutuhkan waktu yang relatif cepat untuk
terjadinya sebuah transaksi bisnis.
Transaksi bisnis secara elektronik di Indonesia akhir-akhir ini semakin banyak
diminati oleh masyarakat, misalnya dengan adanya e-commerce, atau biasa disebut
dengan transaksi jual beli elektronik. Dengan semakin digunakannya transaksi
bisnis elektronik ini, maka untuk melindungi masyarakat harus juga dibuat sebuah
kontrak elektronik supaya nantinya transaksi ini tetap dinilai aman bagi masyarakat
karena adanya sebuah kesepakatan yang terjadi yang dalam bentuk tertulis meskipun
dibuat dalam bentuk elektronik. Dalam pelaksanaan transaksi bisnis yang
menggunakan kontrak elektronik ini perlu dilindungi. Perlindungan ini sangat
penting bagi masyarakat supaya masyarakat tidak gampang dibodohi dan dibohongi.
Keberadaan kontrak elektronik ini merupakan perkembangan baru dalam jenis
kontrak yang modern sehingga membutuhkan pengaturan yang tepat dan berdasar
hukum jelas. Oleh karenanya perlu adanya kajian lebih lanjut tentang keabsahan
dari kntrak elektronik ini jika ditinjau dari BW sebagai Undang-Undang Pokok dan
solusi Pembuat Undang-undang dalam melahirkan Undang-undang yang baru yang
khusus melindungi transaksi yang dilakukan secara elektronik tersebut.
Oleh karenanya dalam makalah ini, penulis akan mengkaji mengenai
keabsahan dari kontrak elektronik berdasarkan BW dan solusinya dari pembuat
Undang-Undang dalam penemuan hukum sehingga membuat sebuah Undang-
undang yang melindungi adanya transaksi bisnis elektronik tersebut dengan judul
makalah “Penemuan Hukum Pembentuk Undang-undang Dalam Kaitannya Dengan
Keabsahan Kontrak Elektronik Menurut UU ITE dan BW”
B. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas dalam latar belakang masalah
tersebut di atas, maka Penulis mencoba merumusakan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah keabsahan kontrak elektronik menurut BW?
2. Apakah solusi dari pembentuk undang-undang untuk mengatasi adanya kontrak
elektronik?
3. Penemuan Hukum yang bagaimanakan yang digunakan oleh Pembentuk
Undang-undang?
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Teori
A.1. Pengertian Penemuan Hukum
Dalam praktik tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam
hukum atau peraturan perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak
lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau peraturan perundang-
undangan yang sangat lengkap atau jelas sejelas-jelasnya. Fungsi hukum adalah
untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia.
Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan
jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang
masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang
kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan
hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. 3
Oleh karenanya, ada pendapat para ahli yang mengemumakan tentang
pengertian penemuan hukum yaitu sebagai berikut :4
a. Menurut Paul Scholten, penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang
lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-
kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan,
baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun
pengkonkretan hukum.
3 Sudikno Mertokusumo, “Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum Yang pasti dan Berkeadilan”, Cetakan Kedua, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta : 2007. Hal. 284 Ibid.
b. John Z Laudoe, mengemukakan bahwa penemuan hukum adalah penerapan
ketentuan pada fakta dan ketentuan tersebut kadangkala harus dibentuk karena
tidak selalu terdapat dalam undang-undang yang ada.
c. N.E. dan Van Duyvendjk, mengartikan penemuan hukum sebagai menemukan
hukum untuk suatu kejadian konkret, dalam konteks ini hakim atau seorang
pemutus yuridis lainnya harus dapat member penyelesaian yuridis.
Selanjutnya dikemukakan bahwa penemuan hukum sebagai kegiatan hakim
untuk mempergunakan berbagai macam teknik penafsiran, dan cara
menguraikan dengan mempergunakan berbagai macam alas an yang tidak
terdapat di dalam aturan hukum yang ada pada kejadian yang disampaikan
kepadanya. Ia juga tidak hanya membuat hukum untuk persoalan yang ada di
depannya, tetapi juga untuk kejadian yang sama, yang akan dating.
d. Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya yang diberi tugas
menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret.
Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret tertentu.
Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau
menemukan hukum untuk peristiwa konkret.
e. Muhammad Busyro Muqoddas, berpendapat bahwa dengan bertitik tolak dari
berbagai pendapat mengenai arti penemuan hukum dapat dikemukakan bahwa
penemuan hukum dalam hal ini yang dilakukan oleh hakim ada dua macam,
yaitu pertama penemuan hukum dalam arti penerapan suatu peraturan pada
suatu peristiwa konkret, untu peristiwa mana telah tersedia peraturannya secara
jelas. Hal ini menunjukan suatu metode yang lebih bersifat sederhana, dalam
arti bahwa hakim hanya terbatas pada menerapkan suatu aturan hukum
(undang-undang), yang sesuai dengan faktanya atau peristiwa konkretnya;
kedua, penemuan hukum dalam arti pembentukan hukum, dimana untuk suatu
peristiwa konkret tidak tersedia suatu peraturannya yang jelas/lengkap untuk
diterapkan. Dalam hal ini hakim tidak menemukan aturan hukumnya (undang-
undangnya) yang sesuai dengan fakta atau peristiwa konkretnya, sehingga ia
harus membentuknya melalui suatu metode tertentu.
A.2. Subyek Atau Pelaku Penemuan Hukum
Penemuan Hukum pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat
luas cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu),
Ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum (hakim. Jaksa, polisi, dan
pengacara), direktur perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun. Namun,
dalam diskursus penemuan hukum, lebih banyak dibicarakan pada upaya penemuan
hukum oleh hakim, pembentuk Undang-Undang, dan penelit hukum. Penemuan
hukum oleh hakim, tidak semata-mata menyangkut penerapan peraturan-peraturan
hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi juga penciptaan hukum dan pembentukan
hukum sekaligus.5
Hakim melakukan penemuan hukum, karena dia dihadapkan pada peristiwa
konkret atau konflik untuk diselesaikan, jadi sifatnya konklitif. Hasil penemuan 5 Jazim Hamidi, “Hermeneutika Hukum”, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta : 2005, Hal. 56
hukumnya merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai
hukum yang dituangkan dalam bentuk putusan. Hakim penemuan hukum oleh
hakim itu sekaligus merupakan sumber hukum juga.6
Pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan hukum, meskipun tidak
menghadapi peristiwa konkret atau konflik seperti hakim, tetapi untuk
menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu (belum terjadi, tapi
besar kemungkinan akan terjadi di waktu mendatang). Jadi sifatnya adalah
preskriptif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena dituangkan
dalam bentuk Undang-Undang dan sekaligus juga merupakan sumber hukum.
Sedangkan peneliti hukum melakukan penemuan hukum tapi sifatnya teoritis,
sehingga hasil penemuan hukumnya bukan merupakan hukum, melainkan hanya
sebagai sumber hukum (doktrin).7 Dalam konteks tulisan ini, terutama lebih
difokuskan pada penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang, yaitu
bagaimana pembentuk undang-undang memecahkan peristiwa terutama dalam
tulisan ini adalah peristiwa terjadinya kontrak elektronik dalam transaksi bisnis.
A.3. Sumber-sumber Penemuan Hukum
Sumber Utama dalam penemuan hukum secara hierarkis dimulai dari ;
a. Peraturan Perundang-undangan (tertulis);
b. Hukum tidak tertulis (kebiasaan);
c. Yurisprudensi;
d. Perjanjian Internasional;
6 Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hal. 417 Ibid.
e. Doktrin (pendapat ahli hukum);
f. Putusan Desa;
g. Perilaku manusia.
Jadi, ada hirearki atau tingkatan-tingkatan dari atas ke bawah dalam
memposisikan sumber hukum. Hirearki ini juga menentukan sumber hukum utama
yang digunakan antara sumber hukum satu dengan yang lain. Tetapi, harus diingat
meskipun peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber
penemuan hukum lebih diutamakan penggunaannya, bukan berarti sumber-sumber
penemuan hukum yang lain seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, dan
lain-lain boleh diabaikan begitu saja, karena semua sumber-sumber penemuan
hukum pada prinsipnya saling melengkapi dan bersinergi satu sama lain.8
A.4. Metode Penemuan Hukum
Metode penemuan hukum dibagi sebagai berikut :9
1. Metode Interpretasi (penafsiran)
Metode Interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-
undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan
terhadap peristiwa konkret tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini
sudah lama dikenal, yang disebut dengan hermeneutika yuridis.
Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode
interpretasi yaitu sebagai berikut :
a. Interpretasi subsumptif
8 Ibid. hal. 42-439 Ibid.
Metode subsumptif adalah penerapan suatu teks perundang-undangan terhadap
kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan
penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan silogisme. Silogisme
adalah bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat umum (premis mayor atau peraturan perundang-undangan) dan hal-hal
yang bersifat khusus (premis minor atau peristiwanya).
b. Interpretasi Gramatikal
Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam
perundang-undangan sesuai kaidah bahasa (hukum tata bahasa) yang berlaku.
c. Interpretasi Sistematis (Logis)
Interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-
undangan dengan menghubungkanya dengan peraturan hukum (undang-undang
lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum.
d. Interpretasi Historis
Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya
dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah hukumnya, maupun sejarah terjadinya
Undang-Undang.
e. Interpretasi teleologis/sosiologis
Dengan interpretasi teleologis (sosiologis), hakim menafsirkan UU sesuai dengan
tujuan pembentk undang-undang, sehingga tujuan lebih diperhatikan dari bunyi
kata-katanya.
f. Interpretasi komparatif
Interpretasi komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan
membandingkan antara berbagai sistem hukum.
g. Interpretasi Antisipatif/Futuristik
Interpretasi futuristik atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi
adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-
undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
h. Interpretasi ekstensif
Interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi
melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Jadi interpretasi ekstensif
digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan melampaui
batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.
i. Interpretasi otentik atau secara resmi
Otentik berasal dari kata asing authentiek, yang di dalam bahasa Belanda
dijelaskan sebagai vodellig bewijs opleverend, maksudnya memberikan
keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah atau yang resmi. .
j. Interpretasi Interdisipliner
Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang
menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum.
k. Interpretasi Multidisipliner
Dalam interpretasi multidisipliner, seorang hakim harus juga mempelajari suatu
atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.
l. Interpretasi Dalam Kontrak/Perjanjian
Interpretasi terhadap kontrak atau perjanjian dalam praktik hukum mengalami
perkembangan, mengingat perjanjian merupakan kumpulan kata dan kalimat yang
sifatnya interpretable (dapat ditafsirkan), baik oleh para pihak yang
berkepentingan, undang-undang meupun oleh hakim.
m. Interpretasi Dalam Perjanjian Internasional
Proses untuk menemukan hukum melalui berbagai cara penafsiran juga sudah
sejak lama dikenal dalam lapangan hukum internasional, khususnya berbagai cara
penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur
dalam konvensi, pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan
(nasional maupun intenasional).
2. Metode Argumentasi
Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redenering atau
reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-undangnya tidak lengkap, maka
untuk melengkapinya dipergunakan metode argumentasi.
Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi atau penalaran
hukum dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam)
Metode analogi berarti memperluas peraturan perundang-undangan yang terlalu
sempit ruang lingkupnya, kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa,
sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang.
b. Metode A Contrario (Argumentum a Contrario)
Metode a contrario merupakan cara menjelaskan makna undang-undang dengan
didasarkan pada pengertian yang sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi
dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
c. Metode Rechtsvervijning (penyempitan hukum)
Terkadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum
atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa
tertentu.
d. Metode Fiksi Hukum
Di dalam ilmu hukum adakalanya kita menggunakan istilah-istilah yang fiktif
(khayal) yang berbentuk kata kiasan, untuk memberikan suatu pengertian atau
suatu abstraksi, suatu gambaran semu, yang tidak sebenarnya, tetapi yang
bermaksud agar dianggap benar.
3. Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)
Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum, yaitu metode untuk
menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum), bukan untuk
menjelaskan barang.
a. Metode Eksposisi Verbal
a.1. Metode Eksposisi Verbal Prinsipal
Metode eksposisi verbal principal dibagi menjadi dua, yaitu metode individuasi
dan metode paraphrase dan definisi
Metode individuasi adalah penjelasan nama-nama kesatuan individual. Metode
ini diterapkan pada kata-kata individual. Suatu nama dijelaskan dengan
individuasi, apabila diberi suatu indikasi dengan membedakan nama yang
bersangkutan dari nama lain yang mungkin mengacaukan. Pada individuasi
sering digunakan tempat dan waktu.
Sedangkan metode eksposisi verbal principal yang kedua, yaitu metode-metode
paraphrase dan definisi diterapkan pada kata-kata lain.
a.2. Metode eksposisi verbal melengkapi
a.2.1. Sinonimasi
Dengan sinonimasi, sebuah kata “X” dijelaskan apabila sebuah kata
“Y” disebut yang mempunyai arti sama. Metode paraphrase menuju
kepada sinonimasi kalimat-kalimat penuh.
a.2.2. Antitese
Dengan antitese, kata “X” dijelaskan apabila kata “Y” yang artinya
conctradictoir dengan “X”. Metode paraphrase menuju kepada antitese
kalimat-kamilat penuh.
a.2.3. Terjemahan
Terjemahan merupakan bentuk khusus sinomisasi kata “X” dan “Y”
yang berasal dari dua bahasa.
a.2.4. Restriksi dan Amplikasi
Dengan restriksi, kata “X” dijelaskan apabila kepada “X” diberi arti
yang lebih sempit daripada kepada “Y”. Sebaliknya dengan ampliasi,
kata “X” dijelaskan apabila kepada “X” diberi arti yang lebih luas
daripada kepada “Y”.
Restriksi dan ampliasi banyak digunakan baik dalam ilmu hukum
maupun dalam praktik hukum. Terjadi restriksi apabila sebuah
“barang” ini disebut “benda” apabila mempunyai nilai bagi manusia
dan oleh hukum dianggap sebagai satu kesatuan. Sebaliknya terjadi
ampliasi apabila termasuk benda adalah “hak”.
a.2.5. Paraleli
Dengan parareli kata “X” dijelaskan apabila dibandingkan dengan kata
“Y” dan ditunjukkan perbedaan dan persamaannya. Parareli banyak
digunakan untuk menjelaskan kata-kata dengan arti materiil.
a.2.6. Deskripsi
Dengan deskripsi suatu kata dijelaskan apabila genus yang tertinggi
dan terdekat disebutkan dan suatu rangkaian sifat-sifat yang
membedakan dari klas yang sama. Bedanya dengan definisi hanyalah
dalam definisi hanya disebut satu sifat, sedangkan dalam deskripsi
lebih banyak. Definisi adalah deskripsi singkat, sedangkan deskripsi
adalah definisi yang diperluas. Deskripsi digunakan juga sebagai
metode tambahan pada individuasi.
a.2.7. Enumerasi
Dengan enumerasi sebuah kata dijelaskan apabila klas atau individu
disebutkan semuanya yang termasuk di dalamnya.
a.2.8. Archetipasi
Dengan archetipasi sebuah kata dengan arti immaterial dijelaskan
apabila ditambahkan gambaran tertentu tentang dunia benda.
a.2.9. Ilustrasi dan Eksemplifikasi
Ilustrasi adalah setiap metode verbal untuk menjelaskan arti kata.
Sedangkan metode eksemplifikasi digunakan untuk menjelaskan
sesuatu dengan member contoh-contoh.
b. Metode Eksposisi Tidak Verbal
Yang termasuk dalam metode ini adalah metode representasi. Dengan metode
representasi ini, seseorang menjelaskan suatu kata kepada orang lain, apabila ia
menyebutkan kata sedang yang lain memperoleh suatu gambaran melalui
panca indranya.
B. Pembahasan
B.1. Keabsahan Kontrak Elektronik Menurut BW
Dalam hal ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang keabsahan kontrak
elektronik menurut BW atau KUHPerdata. BW merupakan produk hukum yang
berasal dari negeri Belanda yang menerapkan sistem hukum Civil Law. Dalam
sistem ini, keabsahan suatu kontrak diukur dari terpenuhinya kehendak para pihak
pada klausula-klausula yang di sepakati (expression of will). Itu sebabnya, Pasal
1320 BW dengan tegas menyebutkan kesepakatan para pihak sebagai unsur
perjanjian yang pertama dan utama. Para pihak dalam membuat kontrak harus
sama-sama memberikan dan meminta di penuhinya hak dan kewajibannya pada
pihak yang lain sehingga di dapatkan pemenuhan kebutuhan. Kontrak merupakan
suatu ‘piagam’ yang menjadi dasar sekaligus pedoman bagi para pihak dalam
melakukan perjanjian itu. Hal ini sangatlah berbeda dengan sistem hukum common
law yang menekankan syarat sah kontrak pada proses negosiasi, yang hanya
menekankan pada bisa atau tidaknya kebutuhan itu di penuhi secara maksimal dan
menghindarkan kerugian. Sistem common law ini memandang kontrak sebagai
hasil dari proses negosiasi bukan hasil kesepakatan yang benar-benar lahir dari dua
belah pihak secara penuh. Jadi sudah terdapat ketentuan baku yang mengatur
kontrak ini pada sistem common law. Syarat sahnya perjanjian yang kedua adalah
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, ini berarti para pihak tersebut tidak
boleh di bawah umur (minderjarig) atau belum menikah. Dua syarat di atas
merupakan syarat subyektif untuk sahnya perjanjian, jika ada pelanggaran
terhadapnya maka pada kontrak tersebut berlaku akibat hukum dapat di batalkan
(vernitegbar).
Dua syarat berikutnya merupakan syarat obyektif yang memberikan batasan
terhadap obyek perjanjian yang di perbolehkan, yaitu suatu hal tertentu dan suatu
causa halal (sebab yang halal). Obyek kontrak harus jelas disebutkan dalam
kontrak, menyangkut identifikasinya (shape, form & colour) tidak boleh terlalu
abstrak apalagi kabur. Obyek ini pun harus di perbolehkan oleh hukum yang belaku
(baik tertulis maupun tidak tertulis).
Keberadaan kontrak elektronik sebenarnya merupakan perwujudan inisiatif
para pihak untuk membuat suatu perikatan. Hal ini sangat dilindungi pasal 1338
BW yang memberlakukan asas kebebasan berkontrak. Setiap pihak sangatlah terikat
pada kontrak yang dibuat dalam bentuk kontrak elektronik sekalipun seperti
undang-undang (pasal 1338 jo pasal 1340 BW). Oleh karena itu jelas sekali kontrak
elektronik telah mendapatkan perlindungan hukum. Mengenai keabsahan kontrak
elektronik di tinjau dari BW, maka harus di kaji satu persatu menurut 4 syarat sah
kontrak seperti di atur dalam Pasal 1320 BW. Kontrak elektronik itu harus
memenuhi syarat subyektif, yang mewujudkan kesepakatan para pihak untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu guna memenuhi suatu tujuan. Para pihak
juga harus cakap berbuat, dalam arti memiliki kewenangan berbuat untuk
melakukan keputusan dan selanjutnya melakukan tanggung jawab atas perikatan
yang disetujuinya. Sedangkan syarat obyektif, pada kontrak elektronik itu harus
menyatakan obyek perjanjian yang jelas, tidak boleh kabur atau abstrak. Sebagai
syarat terakhir kontrak tersebut haruslah berisikan hal-hal yang diperbolehkan oleh
hukum, tidak melanggar norma susila, kesopanan dan peraturan perundang-
undangan. Apabila kontrak elektronik ini memenuhi keempat syarat ini maka
kontrak tersebut dapat dinyatakan sah.
Oleh karena pemaparan yang sudah disampaikan di atas, maka akan dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa kontrak elektronik bisa memenuhi keabsahan
kontrak apabila dia memenuhi syarat sahnya kontrak yang tercantum dalam Pasal
1320 BW, sehingga jika kontrak tersebut sudah memenuhi unsur syarat sahnya
kontrak, maka kontrak tersebut telah sah dan dengan demikian unsur keabsahan
suatu kontrak juga dapat terpenuhi. Dan jika unsur keabsahan ini terpenuhi, maka
dapat pula disimpulkan bahwasanya perlindungan hukum bagi para pihak yang
membuat kontrak elektronik ini adalah terpenuhi. Dan mengenai bentuknya pun,
kontrak elektronik diperbolahkan berdasarkan pada Pasal 1338 BW yang
menyatakan bahwa para pihak bebas untuk membuat kontrak apapun dan dalam
bentuk bagaimanapun asalkan tidak melanggar norma ketertiban, kesopanan, dan
norma kesusilaan.
B.2. Pengaturan Tentang Kontrak Eektronik Dalam UU ITE
Selain pengaturan pada BW sebagaimana tersebut di atas, ternyata pembentuk
undang-undang membuat sebuah aturan yang baru mengenai transaksi elektronik
ini. Pengaturan mengenai transaksi elektronik ini terdapat pada Undang-Undang
Nomor : 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU ini
diatur berbagai macam hal mengenai transaksi yang dilakukan dengan elektronik
dan diatur pula mengenai bukti elektronik.
UU ITE memberikan pengakuan Kontrak Elektronik ini pada pasal 1 angka 17
dengan ‘perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik’, selanjutnya
mengenai sistem elektronik di sebutkan ‘serangkaian perangkat dan prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.’ (pasal 1 angka 5). Pada hakekatnya kontrak
elektronik ini adalah perjanjian yang di sepakati para pihak yang membuatnya
hanya medium atau sarananya sangat berbeda, menggunakan sistem elektronik.
Keabsahan suatu kontrak elektronik ini ternyata ditegaskan UU ITE pada pasal 5
ayat (3) dengan mensayaratkan keabsahan kontrak (dokumen elektronik) bila
menggunakan Sistem Elektronik yang sudah disertifikasi sebagaimana di atur dalam
pasal 13-16 UU ITE. Persyaratan menggunakan sarana sistem elektronik yang
sudah di sertifikasi ini agaknya merupakan suatu usaha preventif bagi orang yang
ingin berdalih atau berbuat curang setelah membuat perikatan dengan beralasan
kontrak elektronik itu tidak sah dan mengikat karena tidak diakui secara spesifik
oleh undang-undang. Sebenarnya tanpa dinyatakan seperti ini pun, setiap kontrak
yang dibuat melalui sistem elektronik tetap saja sah (bila memenuhi 4 syarat
kontrak) meskipun tidak menggunakan sistem elektronik yang sudah diwajibkan.
Adanya itikad baik merupakan faktor utama yang dilihat dan dipertimbangkan
dalam suatu pembuatan kontrak. Oleh karena sulitnya mengukur itikad baik itu di
dalam transaksi elektronik maka keberadaan pasal 5 ayat (3) UU ITE sangat baik
apalagi berkaitan dengan keabsahan alat bukti nantinya.
Kontrak elektronik ini ternyata berisikan transaksi elektronik yang sudah
memperoleh kesepakatan dari masing-masing pihak (pasal 18 ayat (1) UU ITE).
Berikut di atur pula kejelasan tentang hukum yang akan berlaku dan di anut dalam
kontrak ini (choice of law). Mengenai kapan adanya waktu penawaran dan
permintaan UU ITE memberikan ketentuan yang bersifat mengatur. Selama tidak
diperjanjikan lain oleh kedua belah pihak maka waktu pengiriman adalah saat
Informasi itu telah dikirim ke alamat tujuan (pasal 8 ayat (1) UU ITE). Sedangkan
mengenai waktu penerimaan informasi elektronik adalah saat Informasi tersebut
memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali si penerima. Dapat di simpulkan,
adanya perbedaan waktu pengiriman dan penerimaan adalah hal yang bisa terjadi
dalam proses transaksi perikatan atau terbentuknya kontrak. Hanya saja pasal 8 ayat
(2) UU ITE memberikan tanggung jawab bagi si penerima informasi untuk
melakukan inisiatif pengawasan atas sistem elektroniknya apakah informasi
elektronik yang dimaksud sudah di terima ataukah belum.
Dengan demikian, kontrak elektronik merupakan suatu wujud inisiatif dari para
pihak dalam membuat perikatan melalui sistem elektornik (internet). Baik BW
maupun UU ITE telah memberikan dasar yang jelas bagi keabsahan kontrak
elektronik ini. BW memberikan 4 syarat sah kontrak sebagai dasar pembuatan
kontrak elektronik yang sah dimana harus dilandasi dengan itikad baik. Sedangkan
UU ITE memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat preventif mengingat
karakteristik kontrak elektronik begitu beragam dan unik.
B.3. Pembentuk Undang-undang menggunakan Metode Interpretasi
antisipatif/Futuristik Dalam Menentukan Keabsahan Kontrak Elektronik
Menilik tentang penemuan hukum yang dilakukan oleh Pembentuk Undang-
undang dalam hal ini adalah penemuan hukum Interpretasi antisipatif/futuristik.
Penulis berpendapat demikian karena dalam metode ini bersifat antisipasi yaitu
penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang
yang belum mempunyai kekuatan hukum. Seperti suatu rancangan undang-undang
yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa RUU itu
akan diundangkan (dugaan politis). Jadi interpretasi antisipatif adalah penafsiran
dengan menggunakan sumber hukum (peraturan perundang-undangan) yang belum
resmi berlaku, misalnya dalam Rancangan Undang-Undang yang nantinya akan
diberlakukan sebagai undang-undang.
Pada awalnya dalam menetukan hukum bagi kontrak elektronik, subjek hukum
akan selalu menilai dan menyelesaikan permasalahan mengenai kontrak elektronik
ini dengan BW, tetapi dalam BW tidak disebutkan apakah pembuktian secara
elektronik seperti tanda tangan para pihak yang dibuat digital itu sah atau tidak atau
bisa tidak membuktikan bahwasanya kontrak tersebut telah sah secara hukum.
Dengan adanya penyempitan hukum seperti ini, para pembentuk undang-undang
kemudian merumusakan dan memberlakukan adanya Undang-undang mengenai
Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur mengenai alat bukti elektronik.
Dalam UU ITE ini alat bukti elektronik menjadi sah atau dapat dijadikan alat bukti.
Alat bukti yang dimaksud dalam UU ITE termasuk juga adanya tanda tangan yang
dibuat secara elektronik dan sebagainya.
Pembentuk Undang-undang dalam hal ini melakukan metode
antisipatif/futuristik, karena menurut pendapat penulis pembentuk undang-undang
telah dapat melihat ke depan mengenai adanya kemungkinan permasalahan-
permasalahan yang terjadi dengan adanya transaksi elektronik, misalkan adanya
gugatan atas kontrak elektronik yang dibuat oleh para pihak apabila ternyata salah
satu pihaknya wan prestasi. Pembentuk undang-undang mempunyai langkah
antisipasi terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan tersebut. Dalam hal ini
juga pembentuk undang-undang berpikir maju ke depan atau berpikiran ke masa
depan atau futuristic tidak hanya berpikir sekarang saja. Pembentuk undang-
undang membuat UU ITE karena mereka berpikir suatu saat akibat perkembangan
manusia, maka akan makin ada permasalahan yang berhubungan dengan
pelaksanaan kontrak elektronik tersebut, sehingga perlu dibuat sebuah solusi yaitu
dengan dibuatnya UU ITE ini.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas, maka penulis dapat membuat kesimpulan sebagai
berikut :
1. Bahwa Pembentuk Undang-undang juga dapat melakukan penemuan hukum
tidak hanya hakim saja. Pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan
hukum, meskipun tidak menghadapi peristiwa konkret atau konflik seperti
hakim, tetapi untuk menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu
(belum terjadi, tapi besar kemungkinan akan terjadi di waktu mendatang). Jadi
sifatnya adalah preskriptif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum,
karena dituangkan dalam bentuk Undang-Undang dan sekaligus juga merupakan
sumber hukum.
2. Bahwa kontrak elektronik bisa memenuhi keabsahan kontrak apabila dia
memenuhi syarat sahnya kontrak yang tercantum dalam Pasal 1320 BW,
sehingga jika kontrak tersebut sudah memenuhi unsur syarat sahnya kontrak,
maka kontrak tersebut telah sah dan dengan demikian unsur keabsahan suatu
kontrak juga dapat terpenuhi.
3. Bahwa UU ITE memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat preventif
mengingat karakteristik kontrak elektronik begitu beragam dan unik.
4. Bahwa Pembentuk Undang-undang dalam hal ini melakukan metode
antisipatif/futuristik, karena menurut pendapat penulis pembentuk undang-
undang telah dapat melihat ke depan mengenai adanya kemungkinan
permasalahan-permasalahan yang terjadi dengan adanya transaksi elektronik,
misalkan adanya gugatan atas kontrak elektronik yang dibuat oleh para pihak
apabila ternyata salah satu pihaknya wan prestasi.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut :
1. Perlu dibuat Peraturan Pemerintah dari UU ITE tersebut yang mengatur
bagaimana tata cara pelaksanaan UU ITE yang sebenarnya., sehingga tidak
hanya berupa peraturan sebagaimana telah tercantum di UU ITE tetapi juga
pelaksanaannya secara konkrit misalkan mengenai tanda tangan dalam kontrak
elektronik, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Jazim Hamidi, “Hermeneutika Hukum”, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta : 2005
Sudikno Mertokusumo, “Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum Yang pasti dan Berkeadilan”, Cetakan Kedua, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta : 2007.
Surojo Wignjodipuro, “Pengantar Ilmu Hukum (Himpunan Kuliah)”, Alumni Bandung. Bandung : 1971.
KAMUS :
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta : 1989.
top related