penemuan hukum pembentuk undang-undang dalam kaitannya dengan keabsahan kontrak elektronik menurut...

43
PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW DISUSUN SEBAGAI PEMENUHAN TUGAS MATA KULIAH PENEMUAN HUKUM DISUSUN OLEH : ASMANUR ARUMSARI MAGISTER KENOTARIATAN

Upload: aro3ms4ri

Post on 08-Aug-2015

400 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Kontrak elektronik bisa memenuhi keabsahan kontrak apabila dia memenuhi syarat sahnya kontrak yang tercantum dalam Pasal 1320 BW, sehingga jika kontrak tersebut sudah memenuhi unsur syarat sahnya kontrak, maka kontrak tersebut telah sah dan dengan demikian unsur keabsahan suatu kontrak juga dapat terpenuhi.

TRANSCRIPT

Page 1: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK

ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

DISUSUN SEBAGAI PEMENUHAN TUGAS

MATA KULIAH PENEMUAN HUKUM

DISUSUN OLEH :

ASMANUR ARUMSARI

MAGISTER KENOTARIATANUNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG2010

Page 2: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam dunia hukum terdapat dua istilah yang sering digunakan apabila

berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau pelaksanaan

hukum itu sendiri. Istilah yang sering digunakan tersebut adalah penegakan dan

penerapan hukum. Di Indonesia, penerapan dan penegajan hukum seringkali

mengalami berbagai kendala jika dikaitkan dengan perkembangan masyarakat baik

di dunia maupun di Indonesia khususnya. Perkembangan masyarakat ini kemudian

memicu permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari yang belum diatur dalam sebuah perundang-undangan di

Indonesia. Hal ini membuktikan sulitnya para penegak hukum atau aparat hukum

mencari cara atau solusi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum

tersebut. Berbagai kasus yang terjadi pada masyarakat di Indonesia dapat

memnggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar

hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada.

Perkembangan masyarakat biasanya sedikit lebih cepat dibandingkan degan

perkembangan peraturan perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam

masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Sistem

Hukum di dalam masyarakat sangan diperlukan untuk menciptakan kehidupan

masyarakat yang harmonid, teratur, tertib, bermanfaat, dan mengandung kepastian

Page 3: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

sebagaimana yang dimaksud dalam tujuan adanya hukum di masyarakat. Tetapi,

pada kenyataan di masyarakat, hukum atau peraturan perundang-undangan yang

dibuat tidak mencakup seluruh permasalahan-permasalahan yang timbul dalam

masyarakat sehubungan dengan perkembangan masyarakat sehingga menyulitkan

bagi para penegak hukum maupun aparat hukum untuk menyelesaikan permasalahan

tersebut.

Perubahan atau perkembangan masyarakat yang lebih cepat dibandingkan

dengan aturan atau hukum yang mengaturnya menjadikan masalah karena asas

legalitas sebagai asas kepastian hukum yang menyentuh rasa keadilan masyarakat

tidak dapat dipenuhi. Perkembangan masyarakat ini termasuk juga perkembangan

dalam bidang teknologi. Perkembangan teknologi ini dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia belum diatur secara tuntas dan menyeluruh sehingga terdapat

kasus-kasus atau permasalahan yang terjadi berkaitan dengan penyelesaiannya

secara hukum. Oleh karenanya, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa suatu

peraturan perundang-undangan tidak mungkin dapat mengatur segala kehidupan

manusia secara tuntas sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan

tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di

masyarakat.

Menurut Kamus Hukum, recht secara obyektif berarti undang-undang atau

hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)” menyatakan bahwa

“hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan”.

Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie”

Page 4: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang

bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya

dengan gejala-gejala lainnya”. Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu

Hukum” memberikan pengertian mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan

peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan,

atau ijin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk

mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat”1. Dengan peraturan-peraturan

hidup disini dimaksudkan baik peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan maupun yang tidak tertulis (adat atau kebiasaan).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun 1989,

menguraikan arti dari kekosongan yaitu “Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat,

dan sebagainya) kosong atau kehampaan”2 yang dalam Kamus Hukum diartikan

dengan Vacuum yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau

lowong”.

Dari pengertian hukum dan kekosongan di atas, maka secara sempit

kekosongan hukum dapat diartikan sebagai suatu keadaan kosong atau ketiadaan

peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam

masyarakat, sehingga kekosongan hukum dalam Hukum positif lebih tepat dikatakan

sebagai kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan.

Seperti pada perkembangannya di masyarakat, kontrak atau perjanjian juga

telah mengalami berbagai perkembangan, salah satunya adalah dengan adanya

1 Surojo Wignjodipuro, “Pengantar Ilmu Hukum (Himpunan Kuliah)”, Alumni Bandung. Bandung : 1971.2 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta : 1989.

Page 5: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

kontrak atau perjanjian elektronik. Kontrak elektronik ini sudah berkembang di

masyarakat Indonesia. Perkembangan ini dikarenakan adanya kemajuan teknologi

informasi yang semakin hari semakin cepat menuntut adanya perkembangan yang

dinamis juga dalam bisang hukum yang mengaturnya. Kebutuhan masyarakat yang

meningkat dan semakin mendesak membutuhkan waktu yang relatif cepat untuk

terjadinya sebuah transaksi bisnis.

Transaksi bisnis secara elektronik di Indonesia akhir-akhir ini semakin banyak

diminati oleh masyarakat, misalnya dengan adanya e-commerce, atau biasa disebut

dengan transaksi jual beli elektronik. Dengan semakin digunakannya transaksi

bisnis elektronik ini, maka untuk melindungi masyarakat harus juga dibuat sebuah

kontrak elektronik supaya nantinya transaksi ini tetap dinilai aman bagi masyarakat

karena adanya sebuah kesepakatan yang terjadi yang dalam bentuk tertulis meskipun

dibuat dalam bentuk elektronik. Dalam pelaksanaan transaksi bisnis yang

menggunakan kontrak elektronik ini perlu dilindungi. Perlindungan ini sangat

penting bagi masyarakat supaya masyarakat tidak gampang dibodohi dan dibohongi.

Keberadaan kontrak elektronik ini merupakan perkembangan baru dalam jenis

kontrak yang modern sehingga membutuhkan pengaturan yang tepat dan berdasar

hukum jelas. Oleh karenanya perlu adanya kajian lebih lanjut tentang keabsahan

dari kntrak elektronik ini jika ditinjau dari BW sebagai Undang-Undang Pokok dan

solusi Pembuat Undang-undang dalam melahirkan Undang-undang yang baru yang

khusus melindungi transaksi yang dilakukan secara elektronik tersebut.

Page 6: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

Oleh karenanya dalam makalah ini, penulis akan mengkaji mengenai

keabsahan dari kontrak elektronik berdasarkan BW dan solusinya dari pembuat

Undang-Undang dalam penemuan hukum sehingga membuat sebuah Undang-

undang yang melindungi adanya transaksi bisnis elektronik tersebut dengan judul

makalah “Penemuan Hukum Pembentuk Undang-undang Dalam Kaitannya Dengan

Keabsahan Kontrak Elektronik Menurut UU ITE dan BW”

B. Perumusan Masalah

Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas dalam latar belakang masalah

tersebut di atas, maka Penulis mencoba merumusakan permasalahan sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah keabsahan kontrak elektronik menurut BW?

2. Apakah solusi dari pembentuk undang-undang untuk mengatasi adanya kontrak

elektronik?

3. Penemuan Hukum yang bagaimanakan yang digunakan oleh Pembentuk

Undang-undang?

BAB II

TEORI DAN PEMBAHASAN

Page 7: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

A. Teori

A.1. Pengertian Penemuan Hukum

Dalam praktik tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam

hukum atau peraturan perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak

lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau peraturan perundang-

undangan yang sangat lengkap atau jelas sejelas-jelasnya. Fungsi hukum adalah

untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia.

Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan

jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang

masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang

kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan

hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. 3

Oleh karenanya, ada pendapat para ahli yang mengemumakan tentang

pengertian penemuan hukum yaitu sebagai berikut :4

a. Menurut Paul Scholten, penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang

lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-

kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan,

baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun

pengkonkretan hukum.

3 Sudikno Mertokusumo, “Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum Yang pasti dan Berkeadilan”, Cetakan Kedua, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta : 2007. Hal. 284 Ibid.

Page 8: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

b. John Z Laudoe, mengemukakan bahwa penemuan hukum adalah penerapan

ketentuan pada fakta dan ketentuan tersebut kadangkala harus dibentuk karena

tidak selalu terdapat dalam undang-undang yang ada.

c. N.E. dan Van Duyvendjk, mengartikan penemuan hukum sebagai menemukan

hukum untuk suatu kejadian konkret, dalam konteks ini hakim atau seorang

pemutus yuridis lainnya harus dapat member penyelesaian yuridis.

Selanjutnya dikemukakan bahwa penemuan hukum sebagai kegiatan hakim

untuk mempergunakan berbagai macam teknik penafsiran, dan cara

menguraikan dengan mempergunakan berbagai macam alas an yang tidak

terdapat di dalam aturan hukum yang ada pada kejadian yang disampaikan

kepadanya. Ia juga tidak hanya membuat hukum untuk persoalan yang ada di

depannya, tetapi juga untuk kejadian yang sama, yang akan dating.

d. Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses

pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya yang diberi tugas

menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret.

Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan

hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret tertentu.

Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau

menemukan hukum untuk peristiwa konkret.

e. Muhammad Busyro Muqoddas, berpendapat bahwa dengan bertitik tolak dari

berbagai pendapat mengenai arti penemuan hukum dapat dikemukakan bahwa

penemuan hukum dalam hal ini yang dilakukan oleh hakim ada dua macam,

Page 9: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

yaitu pertama penemuan hukum dalam arti penerapan suatu peraturan pada

suatu peristiwa konkret, untu peristiwa mana telah tersedia peraturannya secara

jelas. Hal ini menunjukan suatu metode yang lebih bersifat sederhana, dalam

arti bahwa hakim hanya terbatas pada menerapkan suatu aturan hukum

(undang-undang), yang sesuai dengan faktanya atau peristiwa konkretnya;

kedua, penemuan hukum dalam arti pembentukan hukum, dimana untuk suatu

peristiwa konkret tidak tersedia suatu peraturannya yang jelas/lengkap untuk

diterapkan. Dalam hal ini hakim tidak menemukan aturan hukumnya (undang-

undangnya) yang sesuai dengan fakta atau peristiwa konkretnya, sehingga ia

harus membentuknya melalui suatu metode tertentu.

A.2. Subyek Atau Pelaku Penemuan Hukum

Penemuan Hukum pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat

luas cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu),

Ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum (hakim. Jaksa, polisi, dan

pengacara), direktur perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun. Namun,

dalam diskursus penemuan hukum, lebih banyak dibicarakan pada upaya penemuan

hukum oleh hakim, pembentuk Undang-Undang, dan penelit hukum. Penemuan

hukum oleh hakim, tidak semata-mata menyangkut penerapan peraturan-peraturan

hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi juga penciptaan hukum dan pembentukan

hukum sekaligus.5

Hakim melakukan penemuan hukum, karena dia dihadapkan pada peristiwa

konkret atau konflik untuk diselesaikan, jadi sifatnya konklitif. Hasil penemuan 5 Jazim Hamidi, “Hermeneutika Hukum”, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta : 2005, Hal. 56

Page 10: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

hukumnya merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai

hukum yang dituangkan dalam bentuk putusan. Hakim penemuan hukum oleh

hakim itu sekaligus merupakan sumber hukum juga.6

Pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan hukum, meskipun tidak

menghadapi peristiwa konkret atau konflik seperti hakim, tetapi untuk

menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu (belum terjadi, tapi

besar kemungkinan akan terjadi di waktu mendatang). Jadi sifatnya adalah

preskriptif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena dituangkan

dalam bentuk Undang-Undang dan sekaligus juga merupakan sumber hukum.

Sedangkan peneliti hukum melakukan penemuan hukum tapi sifatnya teoritis,

sehingga hasil penemuan hukumnya bukan merupakan hukum, melainkan hanya

sebagai sumber hukum (doktrin).7 Dalam konteks tulisan ini, terutama lebih

difokuskan pada penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang, yaitu

bagaimana pembentuk undang-undang memecahkan peristiwa terutama dalam

tulisan ini adalah peristiwa terjadinya kontrak elektronik dalam transaksi bisnis.

A.3. Sumber-sumber Penemuan Hukum

Sumber Utama dalam penemuan hukum secara hierarkis dimulai dari ;

a. Peraturan Perundang-undangan (tertulis);

b. Hukum tidak tertulis (kebiasaan);

c. Yurisprudensi;

d. Perjanjian Internasional;

6 Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hal. 417 Ibid.

Page 11: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

e. Doktrin (pendapat ahli hukum);

f. Putusan Desa;

g. Perilaku manusia.

Jadi, ada hirearki atau tingkatan-tingkatan dari atas ke bawah dalam

memposisikan sumber hukum. Hirearki ini juga menentukan sumber hukum utama

yang digunakan antara sumber hukum satu dengan yang lain. Tetapi, harus diingat

meskipun peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber

penemuan hukum lebih diutamakan penggunaannya, bukan berarti sumber-sumber

penemuan hukum yang lain seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, dan

lain-lain boleh diabaikan begitu saja, karena semua sumber-sumber penemuan

hukum pada prinsipnya saling melengkapi dan bersinergi satu sama lain.8

A.4. Metode Penemuan Hukum

Metode penemuan hukum dibagi sebagai berikut :9

1. Metode Interpretasi (penafsiran)

Metode Interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-

undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan

terhadap peristiwa konkret tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini

sudah lama dikenal, yang disebut dengan hermeneutika yuridis.

Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode

interpretasi yaitu sebagai berikut :

a. Interpretasi subsumptif

8 Ibid. hal. 42-439 Ibid.

Page 12: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

Metode subsumptif adalah penerapan suatu teks perundang-undangan terhadap

kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan

penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan silogisme. Silogisme

adalah bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang

bersifat umum (premis mayor atau peraturan perundang-undangan) dan hal-hal

yang bersifat khusus (premis minor atau peristiwanya).

b. Interpretasi Gramatikal

Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam

perundang-undangan sesuai kaidah bahasa (hukum tata bahasa) yang berlaku.

c. Interpretasi Sistematis (Logis)

Interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-

undangan dengan menghubungkanya dengan peraturan hukum (undang-undang

lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum.

d. Interpretasi Historis

Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya

dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah hukumnya, maupun sejarah terjadinya

Undang-Undang.

e. Interpretasi teleologis/sosiologis

Dengan interpretasi teleologis (sosiologis), hakim menafsirkan UU sesuai dengan

tujuan pembentk undang-undang, sehingga tujuan lebih diperhatikan dari bunyi

kata-katanya.

f. Interpretasi komparatif

Page 13: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

Interpretasi komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan

membandingkan antara berbagai sistem hukum.

g. Interpretasi Antisipatif/Futuristik

Interpretasi futuristik atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi

adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-

undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

h. Interpretasi ekstensif

Interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi

melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Jadi interpretasi ekstensif

digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan melampaui

batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.

i. Interpretasi otentik atau secara resmi

Otentik berasal dari kata asing authentiek, yang di dalam bahasa Belanda

dijelaskan sebagai vodellig bewijs opleverend, maksudnya memberikan

keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah atau yang resmi. .

j. Interpretasi Interdisipliner

Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang

menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum.

k. Interpretasi Multidisipliner

Dalam interpretasi multidisipliner, seorang hakim harus juga mempelajari suatu

atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.

l. Interpretasi Dalam Kontrak/Perjanjian

Page 14: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

Interpretasi terhadap kontrak atau perjanjian dalam praktik hukum mengalami

perkembangan, mengingat perjanjian merupakan kumpulan kata dan kalimat yang

sifatnya interpretable (dapat ditafsirkan), baik oleh para pihak yang

berkepentingan, undang-undang meupun oleh hakim.

m. Interpretasi Dalam Perjanjian Internasional

Proses untuk menemukan hukum melalui berbagai cara penafsiran juga sudah

sejak lama dikenal dalam lapangan hukum internasional, khususnya berbagai cara

penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur

dalam konvensi, pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan

(nasional maupun intenasional).

2. Metode Argumentasi

Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redenering atau

reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-undangnya tidak lengkap, maka

untuk melengkapinya dipergunakan metode argumentasi.

Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi atau penalaran

hukum dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

a. Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam)

Metode analogi berarti memperluas peraturan perundang-undangan yang terlalu

sempit ruang lingkupnya, kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa,

sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang.

Page 15: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

b. Metode A Contrario (Argumentum a Contrario)

Metode a contrario merupakan cara menjelaskan makna undang-undang dengan

didasarkan pada pengertian yang sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi

dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

c. Metode Rechtsvervijning (penyempitan hukum)

Terkadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum

atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa

tertentu.

d. Metode Fiksi Hukum

Di dalam ilmu hukum adakalanya kita menggunakan istilah-istilah yang fiktif

(khayal) yang berbentuk kata kiasan, untuk memberikan suatu pengertian atau

suatu abstraksi, suatu gambaran semu, yang tidak sebenarnya, tetapi yang

bermaksud agar dianggap benar.

3. Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)

Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum, yaitu metode untuk

menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum), bukan untuk

menjelaskan barang.

a. Metode Eksposisi Verbal

a.1. Metode Eksposisi Verbal Prinsipal

Metode eksposisi verbal principal dibagi menjadi dua, yaitu metode individuasi

dan metode paraphrase dan definisi

Page 16: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

Metode individuasi adalah penjelasan nama-nama kesatuan individual. Metode

ini diterapkan pada kata-kata individual. Suatu nama dijelaskan dengan

individuasi, apabila diberi suatu indikasi dengan membedakan nama yang

bersangkutan dari nama lain yang mungkin mengacaukan. Pada individuasi

sering digunakan tempat dan waktu.

Sedangkan metode eksposisi verbal principal yang kedua, yaitu metode-metode

paraphrase dan definisi diterapkan pada kata-kata lain.

a.2. Metode eksposisi verbal melengkapi

a.2.1. Sinonimasi

Dengan sinonimasi, sebuah kata “X” dijelaskan apabila sebuah kata

“Y” disebut yang mempunyai arti sama. Metode paraphrase menuju

kepada sinonimasi kalimat-kalimat penuh.

a.2.2. Antitese

Dengan antitese, kata “X” dijelaskan apabila kata “Y” yang artinya

conctradictoir dengan “X”. Metode paraphrase menuju kepada antitese

kalimat-kamilat penuh.

a.2.3. Terjemahan

Terjemahan merupakan bentuk khusus sinomisasi kata “X” dan “Y”

yang berasal dari dua bahasa.

a.2.4. Restriksi dan Amplikasi

Dengan restriksi, kata “X” dijelaskan apabila kepada “X” diberi arti

yang lebih sempit daripada kepada “Y”. Sebaliknya dengan ampliasi,

Page 17: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

kata “X” dijelaskan apabila kepada “X” diberi arti yang lebih luas

daripada kepada “Y”.

Restriksi dan ampliasi banyak digunakan baik dalam ilmu hukum

maupun dalam praktik hukum. Terjadi restriksi apabila sebuah

“barang” ini disebut “benda” apabila mempunyai nilai bagi manusia

dan oleh hukum dianggap sebagai satu kesatuan. Sebaliknya terjadi

ampliasi apabila termasuk benda adalah “hak”.

a.2.5. Paraleli

Dengan parareli kata “X” dijelaskan apabila dibandingkan dengan kata

“Y” dan ditunjukkan perbedaan dan persamaannya. Parareli banyak

digunakan untuk menjelaskan kata-kata dengan arti materiil.

a.2.6. Deskripsi

Dengan deskripsi suatu kata dijelaskan apabila genus yang tertinggi

dan terdekat disebutkan dan suatu rangkaian sifat-sifat yang

membedakan dari klas yang sama. Bedanya dengan definisi hanyalah

dalam definisi hanya disebut satu sifat, sedangkan dalam deskripsi

lebih banyak. Definisi adalah deskripsi singkat, sedangkan deskripsi

adalah definisi yang diperluas. Deskripsi digunakan juga sebagai

metode tambahan pada individuasi.

a.2.7. Enumerasi

Dengan enumerasi sebuah kata dijelaskan apabila klas atau individu

disebutkan semuanya yang termasuk di dalamnya.

Page 18: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

a.2.8. Archetipasi

Dengan archetipasi sebuah kata dengan arti immaterial dijelaskan

apabila ditambahkan gambaran tertentu tentang dunia benda.

a.2.9. Ilustrasi dan Eksemplifikasi

Ilustrasi adalah setiap metode verbal untuk menjelaskan arti kata.

Sedangkan metode eksemplifikasi digunakan untuk menjelaskan

sesuatu dengan member contoh-contoh.

b. Metode Eksposisi Tidak Verbal

Yang termasuk dalam metode ini adalah metode representasi. Dengan metode

representasi ini, seseorang menjelaskan suatu kata kepada orang lain, apabila ia

menyebutkan kata sedang yang lain memperoleh suatu gambaran melalui

panca indranya.

B. Pembahasan

B.1. Keabsahan Kontrak Elektronik Menurut BW

Dalam hal ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang keabsahan kontrak

elektronik menurut BW atau KUHPerdata. BW merupakan produk hukum yang

berasal dari negeri Belanda yang menerapkan sistem hukum Civil Law. Dalam

sistem ini, keabsahan suatu kontrak diukur dari terpenuhinya kehendak para pihak

pada klausula-klausula yang di sepakati (expression of will). Itu sebabnya, Pasal

1320 BW dengan tegas menyebutkan kesepakatan para pihak sebagai unsur

perjanjian yang pertama dan utama. Para pihak dalam membuat kontrak harus

sama-sama memberikan dan meminta di penuhinya hak dan kewajibannya pada

Page 19: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

pihak yang lain sehingga di dapatkan pemenuhan kebutuhan. Kontrak merupakan

suatu ‘piagam’ yang menjadi dasar sekaligus pedoman bagi para pihak dalam

melakukan perjanjian itu. Hal ini sangatlah berbeda dengan sistem hukum common

law yang menekankan syarat sah kontrak pada proses negosiasi, yang hanya

menekankan pada bisa atau tidaknya kebutuhan itu di penuhi secara maksimal dan

menghindarkan kerugian. Sistem common law ini memandang kontrak sebagai

hasil dari proses negosiasi bukan hasil kesepakatan yang benar-benar lahir dari dua

belah pihak secara penuh. Jadi sudah terdapat ketentuan baku yang mengatur

kontrak ini pada sistem common law. Syarat sahnya perjanjian yang kedua adalah

kecakapan untuk membuat suatu perikatan, ini berarti para pihak tersebut tidak

boleh di bawah umur (minderjarig) atau belum menikah. Dua syarat di atas

merupakan syarat subyektif untuk sahnya perjanjian, jika ada pelanggaran

terhadapnya maka pada kontrak tersebut berlaku akibat hukum dapat di batalkan

(vernitegbar).

Dua syarat berikutnya merupakan syarat obyektif yang memberikan batasan

terhadap obyek perjanjian yang di perbolehkan, yaitu suatu hal tertentu dan suatu

causa halal (sebab yang halal). Obyek kontrak harus jelas disebutkan dalam

kontrak, menyangkut identifikasinya (shape, form & colour) tidak boleh terlalu

abstrak apalagi kabur. Obyek ini pun harus di perbolehkan oleh hukum yang belaku

(baik tertulis maupun tidak tertulis).

Keberadaan kontrak elektronik sebenarnya merupakan perwujudan inisiatif

para pihak untuk membuat suatu perikatan. Hal ini sangat dilindungi pasal 1338

Page 20: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

BW yang memberlakukan asas kebebasan berkontrak. Setiap pihak sangatlah terikat

pada kontrak yang dibuat dalam bentuk kontrak elektronik sekalipun seperti

undang-undang (pasal 1338 jo pasal 1340 BW). Oleh karena itu jelas sekali kontrak

elektronik telah mendapatkan perlindungan hukum. Mengenai keabsahan kontrak

elektronik di tinjau dari BW, maka harus di kaji satu persatu menurut 4 syarat sah

kontrak seperti di atur dalam Pasal 1320 BW. Kontrak elektronik itu harus

memenuhi syarat subyektif, yang mewujudkan kesepakatan para pihak untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu guna memenuhi suatu tujuan. Para pihak

juga harus cakap berbuat, dalam arti memiliki kewenangan berbuat untuk

melakukan keputusan dan selanjutnya melakukan tanggung jawab atas perikatan

yang disetujuinya. Sedangkan syarat obyektif, pada kontrak elektronik itu harus

menyatakan obyek perjanjian yang jelas, tidak boleh kabur atau abstrak. Sebagai

syarat terakhir kontrak tersebut haruslah berisikan hal-hal yang diperbolehkan oleh

hukum, tidak melanggar norma susila, kesopanan dan peraturan perundang-

undangan. Apabila kontrak elektronik ini memenuhi keempat syarat ini maka

kontrak tersebut dapat dinyatakan sah.

Oleh karena pemaparan yang sudah disampaikan di atas, maka akan dapat

ditarik sebuah kesimpulan bahwa kontrak elektronik bisa memenuhi keabsahan

kontrak apabila dia memenuhi syarat sahnya kontrak yang tercantum dalam Pasal

1320 BW, sehingga jika kontrak tersebut sudah memenuhi unsur syarat sahnya

kontrak, maka kontrak tersebut telah sah dan dengan demikian unsur keabsahan

suatu kontrak juga dapat terpenuhi. Dan jika unsur keabsahan ini terpenuhi, maka

Page 21: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

dapat pula disimpulkan bahwasanya perlindungan hukum bagi para pihak yang

membuat kontrak elektronik ini adalah terpenuhi. Dan mengenai bentuknya pun,

kontrak elektronik diperbolahkan berdasarkan pada Pasal 1338 BW yang

menyatakan bahwa para pihak bebas untuk membuat kontrak apapun dan dalam

bentuk bagaimanapun asalkan tidak melanggar norma ketertiban, kesopanan, dan

norma kesusilaan.

B.2. Pengaturan Tentang Kontrak Eektronik Dalam UU ITE

Selain pengaturan pada BW sebagaimana tersebut di atas, ternyata pembentuk

undang-undang membuat sebuah aturan yang baru mengenai transaksi elektronik

ini. Pengaturan mengenai transaksi elektronik ini terdapat pada Undang-Undang

Nomor : 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU ini

diatur berbagai macam hal mengenai transaksi yang dilakukan dengan elektronik

dan diatur pula mengenai bukti elektronik.

UU ITE memberikan pengakuan Kontrak Elektronik ini pada pasal 1 angka 17

dengan ‘perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik’, selanjutnya

mengenai sistem elektronik di sebutkan ‘serangkaian perangkat dan prosedur

elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,

menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau

menyebarkan Informasi Elektronik.’ (pasal 1 angka 5). Pada hakekatnya kontrak

elektronik ini adalah perjanjian yang di sepakati para pihak yang membuatnya

hanya medium atau sarananya sangat berbeda, menggunakan sistem elektronik.

Keabsahan suatu kontrak elektronik ini ternyata ditegaskan UU ITE pada pasal 5

Page 22: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

ayat (3) dengan mensayaratkan keabsahan kontrak (dokumen elektronik) bila

menggunakan Sistem Elektronik yang sudah disertifikasi sebagaimana di atur dalam

pasal 13-16 UU ITE. Persyaratan menggunakan sarana sistem elektronik yang

sudah di sertifikasi ini agaknya merupakan suatu usaha preventif bagi orang yang

ingin berdalih atau berbuat curang setelah membuat perikatan dengan beralasan

kontrak elektronik itu tidak sah dan mengikat karena tidak diakui secara spesifik

oleh undang-undang. Sebenarnya tanpa dinyatakan seperti ini pun, setiap kontrak

yang dibuat melalui sistem elektronik tetap saja sah (bila memenuhi 4 syarat

kontrak) meskipun tidak menggunakan sistem elektronik yang sudah diwajibkan.

Adanya itikad baik merupakan faktor utama yang dilihat dan dipertimbangkan

dalam suatu pembuatan kontrak. Oleh karena sulitnya mengukur itikad baik itu di

dalam transaksi elektronik maka keberadaan pasal 5 ayat (3) UU ITE sangat baik

apalagi berkaitan dengan keabsahan alat bukti nantinya.

Kontrak elektronik ini ternyata berisikan transaksi elektronik yang sudah

memperoleh kesepakatan dari masing-masing pihak (pasal 18 ayat (1) UU ITE).

Berikut di atur pula kejelasan tentang hukum yang akan berlaku dan di anut dalam

kontrak ini (choice of law). Mengenai kapan adanya waktu penawaran dan

permintaan UU ITE memberikan ketentuan yang bersifat mengatur. Selama tidak

diperjanjikan lain oleh kedua belah pihak maka waktu pengiriman adalah saat

Informasi itu telah dikirim ke alamat tujuan (pasal 8 ayat (1) UU ITE). Sedangkan

mengenai waktu penerimaan informasi elektronik adalah saat Informasi tersebut

memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali si penerima. Dapat di simpulkan,

Page 23: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

adanya perbedaan waktu pengiriman dan penerimaan adalah hal yang bisa terjadi

dalam proses transaksi perikatan atau terbentuknya kontrak. Hanya saja pasal 8 ayat

(2) UU ITE memberikan tanggung jawab bagi si penerima informasi untuk

melakukan inisiatif pengawasan atas sistem elektroniknya apakah informasi

elektronik yang dimaksud sudah di terima ataukah belum.

Dengan demikian, kontrak elektronik merupakan suatu wujud inisiatif dari para

pihak dalam membuat perikatan melalui sistem elektornik (internet). Baik BW

maupun UU ITE telah memberikan dasar yang jelas bagi keabsahan kontrak

elektronik ini. BW memberikan 4 syarat sah kontrak sebagai dasar pembuatan

kontrak elektronik yang sah dimana harus dilandasi dengan itikad baik. Sedangkan

UU ITE memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat preventif mengingat

karakteristik kontrak elektronik begitu beragam dan unik.

B.3. Pembentuk Undang-undang menggunakan Metode Interpretasi

antisipatif/Futuristik Dalam Menentukan Keabsahan Kontrak Elektronik

Menilik tentang penemuan hukum yang dilakukan oleh Pembentuk Undang-

undang dalam hal ini adalah penemuan hukum Interpretasi antisipatif/futuristik.

Penulis berpendapat demikian karena dalam metode ini bersifat antisipasi yaitu

penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang

yang belum mempunyai kekuatan hukum. Seperti suatu rancangan undang-undang

yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa RUU itu

akan diundangkan (dugaan politis). Jadi interpretasi antisipatif adalah penafsiran

dengan menggunakan sumber hukum (peraturan perundang-undangan) yang belum

Page 24: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

resmi berlaku, misalnya dalam Rancangan Undang-Undang yang nantinya akan

diberlakukan sebagai undang-undang.

Pada awalnya dalam menetukan hukum bagi kontrak elektronik, subjek hukum

akan selalu menilai dan menyelesaikan permasalahan mengenai kontrak elektronik

ini dengan BW, tetapi dalam BW tidak disebutkan apakah pembuktian secara

elektronik seperti tanda tangan para pihak yang dibuat digital itu sah atau tidak atau

bisa tidak membuktikan bahwasanya kontrak tersebut telah sah secara hukum.

Dengan adanya penyempitan hukum seperti ini, para pembentuk undang-undang

kemudian merumusakan dan memberlakukan adanya Undang-undang mengenai

Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur mengenai alat bukti elektronik.

Dalam UU ITE ini alat bukti elektronik menjadi sah atau dapat dijadikan alat bukti.

Alat bukti yang dimaksud dalam UU ITE termasuk juga adanya tanda tangan yang

dibuat secara elektronik dan sebagainya.

Pembentuk Undang-undang dalam hal ini melakukan metode

antisipatif/futuristik, karena menurut pendapat penulis pembentuk undang-undang

telah dapat melihat ke depan mengenai adanya kemungkinan permasalahan-

permasalahan yang terjadi dengan adanya transaksi elektronik, misalkan adanya

gugatan atas kontrak elektronik yang dibuat oleh para pihak apabila ternyata salah

satu pihaknya wan prestasi. Pembentuk undang-undang mempunyai langkah

antisipasi terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan tersebut. Dalam hal ini

juga pembentuk undang-undang berpikir maju ke depan atau berpikiran ke masa

depan atau futuristic tidak hanya berpikir sekarang saja. Pembentuk undang-

Page 25: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

undang membuat UU ITE karena mereka berpikir suatu saat akibat perkembangan

manusia, maka akan makin ada permasalahan yang berhubungan dengan

pelaksanaan kontrak elektronik tersebut, sehingga perlu dibuat sebuah solusi yaitu

dengan dibuatnya UU ITE ini.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas, maka penulis dapat membuat kesimpulan sebagai

berikut :

1. Bahwa Pembentuk Undang-undang juga dapat melakukan penemuan hukum

tidak hanya hakim saja. Pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan

hukum, meskipun tidak menghadapi peristiwa konkret atau konflik seperti

hakim, tetapi untuk menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu

(belum terjadi, tapi besar kemungkinan akan terjadi di waktu mendatang). Jadi

sifatnya adalah preskriptif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum,

Page 26: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

karena dituangkan dalam bentuk Undang-Undang dan sekaligus juga merupakan

sumber hukum.

2. Bahwa kontrak elektronik bisa memenuhi keabsahan kontrak apabila dia

memenuhi syarat sahnya kontrak yang tercantum dalam Pasal 1320 BW,

sehingga jika kontrak tersebut sudah memenuhi unsur syarat sahnya kontrak,

maka kontrak tersebut telah sah dan dengan demikian unsur keabsahan suatu

kontrak juga dapat terpenuhi.

3. Bahwa UU ITE memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat preventif

mengingat karakteristik kontrak elektronik begitu beragam dan unik.

4. Bahwa Pembentuk Undang-undang dalam hal ini melakukan metode

antisipatif/futuristik, karena menurut pendapat penulis pembentuk undang-

undang telah dapat melihat ke depan mengenai adanya kemungkinan

permasalahan-permasalahan yang terjadi dengan adanya transaksi elektronik,

misalkan adanya gugatan atas kontrak elektronik yang dibuat oleh para pihak

apabila ternyata salah satu pihaknya wan prestasi.

B. Saran

Dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut :

1. Perlu dibuat Peraturan Pemerintah dari UU ITE tersebut yang mengatur

bagaimana tata cara pelaksanaan UU ITE yang sebenarnya., sehingga tidak

hanya berupa peraturan sebagaimana telah tercantum di UU ITE tetapi juga

pelaksanaannya secara konkrit misalkan mengenai tanda tangan dalam kontrak

elektronik, dan sebagainya.

Page 27: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Jazim Hamidi, “Hermeneutika Hukum”, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta : 2005

Sudikno Mertokusumo, “Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum Yang pasti dan Berkeadilan”, Cetakan Kedua, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta : 2007.

Page 28: PENEMUAN HUKUM PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEABSAHAN KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UU ITE DAN BW

Surojo Wignjodipuro, “Pengantar Ilmu Hukum (Himpunan Kuliah)”, Alumni Bandung. Bandung : 1971.

KAMUS :

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta : 1989.