peluang dan tantangan ekonomi islam: hari ini dan masa yang akan datang
Post on 19-Oct-2015
429 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
PELUANG DAN TANTANGAN ILMU EKONOMI ISLAM:
HARI INI DAN YANG AKAN DATANG1
Oleh: Khairunnisa Musari
1. PENGANTAR
Rancang bangun ilmu ekonomi Islam menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah
sebagai pondasi. Al-Quran adalah kalamullah yang menjadi sumber ilmu pertama dan
utama dalam melakukan studi normatif. Dalam ilmu ekonomi Islam, Al-Quran adalah
permulaan dari segala ilmu pengetahuan. Pengetahuan dalam Al-Quran memiliki
kebenaran mutlak yang telah mencakup segala kehidupan secara komprehensif dan
karenanya tidak dapat dikurangi dan ditambah.
Namun demikian, Al-Quran pada dasarnya tidak selalu menyampaikan pengetahuan
yang praktis, tetapi lebih banyak pada prinsip atau norma atau kaidah umum. Nabi
Muhammad SAW yang kemudian menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran tersebut ke dalam
tataran implementasi. Oleh karena itu, berikutnya As-Sunnah yang merupakan perkataan
dan perbuatan serta diamnya Nabi Muhammad SAW menjadi sumber ilmu kedua dalam
studi ilmu ekonomi Islam.
Sebagai muslim, kita harus meyakini bahwa ilmu ekonomi Islam dapat menjadi solusi
bagi berbagai persoalan perekonomian. Namun harus diakui, ilmu ekonomi Islam saat ini
belum mampu menjawab sepenuhnya berbagai persoalan ekonomi dunia dan nasional.
Sebagai bidang ilmu baru dalam kurikulum pendidikan tinggi formal, ilmu ekonomi Islam
saat ini masih dalam tahap pencarian guna kristalisasi diri karena terlahir di tengah
sistem ekonomi mainstream. Meskipun ekonomi Islam sudah mulai diimplementasikan di
sedikit negara dan juga komunitas-komunitas tertentu, namun ekonomi Islam masih
menghadapi sejumlah persoalan mendasar pada tataran tertentu. Keberadaan ekonomi
Islam tidak cukup dengan hanya membeberkan fakta-fakta historis dengan berbagai filosofi
yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, perumusan teori dan praktek ekonomi
Islam kontemporer memerlukan rekonstruksi teori dan praktek ekonomi mainstream.
Berikut ini sejumlah artikel yang telah dimuat di media massa yang mencoba menampilan
berbagai sisi peluang dan tantangan ekonomi Islam saat ini dan yang akan datang.
1.1 Ekonomi Syariah, New Intitutional Economics?2
Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka di kalangan
para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi syariah merupakan solusi bagi masalah ini dan
apakah ekonomi syariah akan menjadi paradigma baru yang menggantikan sistem ekonomi kapitalis.
Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah terjadi saat ini merupakan
pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus menjadi momentum kebangkitan
1 Makalah ini disampaikan dalam Short Course of Islamic Economic yang diselenggarakan oleh Morning
Shine LAZ Rumah Itqon Zakat Infak (RIZKI) pada 15 Maret 2016 di Gedung RIZKI, Jl. Karimata 25B, Jember.
2 Artikel pribadi yang ditulis bersama Rifki Ismal, Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance, Durham
University, UK, (saat ini menjadi Peneliti Senior Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia) dan dimuat di
Harian Republika, 24 Januari 2009.
-
2
ekonomi syariah. Fenomena ini jika dikaji dengan pendekatan konsep new institutional
economics (NIE), maka pandangan tersebut mendekati kebenaran.
4 Elemen NIE
Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan kriteria atau syarat untuk
membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya terdiri dari empat
elemen.
Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan, kecenderungan, dan perilaku
individu atau kelompok masyarakat. Budaya antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan,
kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan suatu paradigma baru,
maka diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.
Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau regulasi, dukungan
pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada tidaknya institusi publik di
tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Ahmed, Habib, 2008). Dikaitkan dengan
pengembangan ekonomi syariah di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan
Syariah pada April 2008 lalu merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam
ekonomi syariah. Hal ini kian menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain
seperti sistem peradilan untuk perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan
ekonomi/perbankan syariah, legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak
biru pengembangan perbankan syariah, peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan
syariah, dan lainnya.
Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan individu/sekelompok
masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, Indonesia boleh dikatakan telah
berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk, dan perusahaan
pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset, simpanan, dan pembiayaan
bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini sekaligus menjadi salah satu
bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga syariah lainnya
yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi ternama pun telah membuka
jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di
bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.
Elemen keempat, pasar adalah keberadaan tempat/media untuk melakukan transaksi,
termasuk unsur-unsur penunjangnya seperti teknologi, infrastruktur, dan instrumen pasar
keuangan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah di Indonesia masih dalam tahap
pengembangan karena pasar uang syariah di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu,
ketergantungan perbankan syariah kepada pasar uang syariah masih minim karena aktifitas
pembiayaan yang cukup tinggi dengan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing
financing) yang rendah dan penarikan dana oleh deposan yang masih terkendali. Namun
demikian, tuntutan pengembangan pasar keuangan syariah ke depan merupakan suatu
keharusan seiring dengan semakin berkembangnya industri ini.
Menuju Paradigma Ekonomi Baru
Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi paradigma baru
atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, maka pendekatan NIE menunjukkan
arah yang demikian.
Kondisi Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat yang cenderung
meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih dominan. Tentu saja untuk
-
3
membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang sharia-based,
merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.
Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa melakukan
restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini sejatinya semakin menguatkan
kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap institusi ekonomi syariah.
Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan yang
berpenduduk muslim minoritas seperti China, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan
cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan sistem perbankan dan
keuangan syariah.
Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya bank syariah, juga
menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah dilakukan, khususnya
yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas pelayanan, dan pemenuhan
kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk mengimbangi pertambahan
institusi perbankan dan keuangan syariah baru.
Terakhir, perlahan namun pasti, pasar dari industri syariah terus menunjukkan
peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang semakin tinggi. Kondisi ini
semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan, regulator perbankan, dan
pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin intensifnya koordinasi
masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri perbankan dan
keuangan syariah di tanah air.
Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan
konsep NIE telah meletakkan pondasinya di Indonesia. Harus diakui, terlalu dini jika kita
meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini. Banyak sekali kendala dan
pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama proses tersebut berlangsung,
tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya nanti, tanpa harus memaksa,
ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di dalamnya dapat membuktikan
kebaikan dari sistem ini. Wallahualam bish showab.
1.2 Reorientasi Target Bank Syariah3
Untuk memacu pertumbuhan bank syariah, Bank Indonesia (BI) menargetkan pangsa aset bank
syariah sebesar 5 persen pada akhir 2008. Menjelang akhir semester I 2008, pangsa pasar bank
syariah belum mampu melampaui setengah target tersebut. Menyikapi hal tersebut, ke depan, BI
perlu melakukan muhasabah dan mereorientasi target.
Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah kini tinggal menunggu rapat paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan. Beberapa penyesuaian harus segera
dilakukan BI terhadap sejumlah peraturannya agar bisa kompatibel dengan UU tersebut.
Diperkirakan ada sekitar 26 peraturan BI (PBI) yang harus disesuaikan dengan Rancangan
UU (RUU) Perbankan Syariah.
Berkenaan dengan itu, fokus BI tampaknya akan banyak diserap oleh sejumlah
pekerjaan guna merevisi PBI. Ada 5 ketentuan yang ada di RUU Perbankan Syariah yang
belum diatur dalam PBI. Karenanya, jika target pangsa pasar bank syariah 5 persen tidak
tercapai tahun ini, hal tersebut boleh jadi harus dimaklumi. Namun demikian, hikmah
3 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Republika, 18 Juni 2008.
-
4
terbesar dari keadaan ini adalah hadirnya kesempatan bagi BI untuk bermuhasabah dan
mereorientasi target bank syariah.
BI dan Target-Targetnya
Tahun 2008 memang merupakan tahun terakhir dalam Fase Memperkuat Struktur
Industri Perbankan Syariah, sekaligus tahun awal dalam Fase Memenuhi Standar Keuangan
dan Kualitas Pelayanan Internasional. Fase-fase tersebut merupakan rangkaian
implementasi dan prioritas inisiatif-inisiatif strategis dalam Cetak Biru Pengembangan
Perbankan Syariah di Indonesia 2002-2011.
Untuk 2008, BI meyakini industri bank syariah masih menikmati periode high growth.
Oleh karena itu, BI mematok pangsa aset 5 persen sebagai direction dan anchor bagi industri
perbankan syariah. Dalam program akselerasinya tahun ini, BI menerbitkan sejumlah
kebijakan lanjutan. Dengan berbagai kebijakan tersebut, BI memproyeksikan pertumbuhan
aset, dana pihak ketiga (DPK), dan pembiayaan selama 2008 mampu mencapai masing-
masing sebesar Rp 91,6 triliun, Rp 73,3 triliun, dan Rp 68,9 triliun.
Lebih jauh, angka-angka yang dipatok BI memang bukanlah sesuatu yang mustahil
meskipun sebenarnya cukup sulit dicapai. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi dari
berbagai target tersebut adalah mewaspadai efek samping dari target tersebut. Hal ini
mengingat, sejumlah kelemahan fundamental dalam pengembangan perbankan syariah,
utamanya dalam penyediaan sumber daya insani (SDI), masih belum teratasi. Celakanya,
target-target yang ditetapkan BI berpotensi menjadi pemicu api dalam sekam.
Reorientasi Target
Memasyarakatkan syariah adalah langkah logis yang harus dilakukan untuk
mengatasi berbagai kelemahan yang ada. Dan untuk itu, edukasi merupakan keniscayaan.
Perlu kerja keras agar banyak pihak memahami konsep ekonomi dan perbankan serta
konsep syariah secara simultan dan terintegrasi.
BI selaku otoritas, sangat berkepentingan untuk memasyarakatkan ekonomi syariah,
secara eksternal maupun internal. Tanpa disadari, beberapa pihak memandang perbankan
syariah sekedar lembaga bisnis komersil semata. Akibatnya, value yang dibawa perbankan
syariah terlupakan dan sekedar menjadi hiasan belaka. Ini tercermin dari target yang
dipatok BI cenderung bersahabat dengan hal-hal komersial. Tuntutan atas materi lebih
dikedepankan daripada nilai-nilai moral yang diusung bank syariah.
Oleh karena itu, penting dalam hal ini bagi BI untuk mereorientasi target bank syariah.
Capaian keberhasilan harusnya mengedepankan pencapaian dalam mengusung nilai-nilai
syariah. Harus diakui, pengetahuan dan pemahaman SDI yang kurang memadai atas label
syariah yang diusung institusinya, kerap menimbulkan sejumlah penyimpangan dalam
operasional bank syariah. Banyak bank bernafaskan syariah, namun masyarakat di
dalamnya masih belum mampu memaknai konsep syariah. Padahal, konsep God Corporate
Governance (GCG) seharusnya menjadi senyawa yang meleburkan sikap jujur (shiddiq),
dapat dipercaya (amanah), menyampaikan (tabligh), pandai dan cerdas (fathonah), serta
selalu konsisten (istiqomah) dalam nilai-nilai yang dibawa bank syariah. Ketidakhati-hatian
untuk mengejar target otoritas dapat menjadi mesin penghancur bisnis perusahaan. Yang
paling menakutkan, label syariah sekedar menjadi alat untuk mengeduk keuntungan dan
kepentingan.
Dengan demikian, dalam program akselerasi bank syariah, yang harus dikejar
bukanlah target-target materi. Capaian edukasi dalam upaya meningkatkan kuantitas dan
-
5
kualitas SDI serta tercapainya tingkat pemahaman menjadi parameter utama. Masyarakat
sekaligus pelaku bank syariah perlu diberi edukasi yang tidak sekedar melulu
mengandalkan aspek religius atau aspek ekonomis semata. Perlu adanya pendekatan yang
obyektif, rasional, dan berwawasan ilmiah agar masyarakat terbuka dan dapat berpikir
cerdas dan arif. Dalam hal ini, program akselerasi memang dibutuhkan, tapi bukan sebagai
karbit ataupun pemanfaatan momen semata untuk mengejar pasar. Nilai-nilai moralitas
GCG seharusnya menjadi diferensiasi dan keunggulan bagi bank syariah untuk masuk
pada pasar yang begitu besar. Inilah pondasi kuat bagi bank syariah untuk tumbuh secara
alamiah dan tidak perlu dibiakkan dengan target-target komersil, yang justru berpotensi
mendegradasi nilai-nilai syariah.
1.3 Antara Stiglitz, Indonesia, dan Ekonomi Syariah4
Ada benang merah antara Stiglitz, pemenang Nobel ekonomi 2001, dengan Indonesia dan ekonomi
syariah. Melalui buku-bukunya, Stiglitz banyak mengungkap berbagai persoalan yang secara
langsung dan tidak langsung dihadapi Indonesia. Melalui bukunya pula, terkuak pemikiran Stiglitz
yang entah disadarinya atau tidak, memiliki sudut pandang yang sama dengan ekonomi syariah.
Joseph E. Stiglitz adalah pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 2001.
Kemenangannya diraih atas penciptaan cabang teori baru yang disebut The Economics of
Information yang banyak mengulas dampak asimetri informasi. Teori ini merupakan pionir
dalam konsep adverse selection dan moral hazard yang saat ini menjadi pedoman bagi para
teoritis dan analis kebijakan.
Selain sebagai pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom kontroversial.
Stiglitz kerap membela kepentingan negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan
kritiknya terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar, dan sejumlah lembaga
internasional. Stiglitz dengan berani mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan
Bank Dunia telah menjadi alat bagi kepentingan Amerika Serikat (AS) untuk menekan
negara-negara dunia ketiga melalui cengkeraman kapitalisme ekonomi.
Publikasi
Pandangan Stiglitz dalam setiap publikasinya menjadi penting karena ia pernah
menjadi bagian penting dari perancang dan pemegang kebijakan AS. Stiglitz memotret
kebijakan AS dalam mengelola agenda globalisasi. Buku-bukunya membuka mata dunia
tentang bagaimana resep kebijakan IMF dan Bank Dunia yang berpengaruh besar pada
ekonomi negara-negara berkembang ternyata tidak selalu benar.
Stiglitz berpendapat, terpuruknya perekonomian di negara-negara berkembang
banyak diakibatkan kepatuhan yang sangat kepada resep kebijakan Washington Consensus.
Untuk mengurai lebih dalam mengenai Washington Consensus, Stiglitz menulis Washington
Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002). Washington Consensus menyatakan, kinerja
perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, dan
penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir Washington Consensus
tidak dapat begitu saja diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Adanya
sejumlah negara yang mencapai keberhasilan pembangunan tanpa mengikuti sepenuhnya
rekomendasi Washington Consensus merupakan fakta yang tidak dapat diabaikan.
4 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni 2009.
-
6
Dalam The Roaring Nineties yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Dekade
Keserakahan: Era 90-an dan Awal Petaka Ekonomi Dunia (2006), Stiglitz mengangkat dampak
buruk kebijakan liberalisasi pasar yang menjadi konsekuensi sistem globalisasi, khususnya
di negara-negara miskin dan berkembang. Buku ini membongkar kemunafikan dan standar
ganda kebijakan ekonomi AS yang didesakkan ke negara-negara berkembang dalam paket
liberalisasi pasar perdagangan. Dalam buku ini, Stiglitz menegaskan pula keprihatinannya
terhadap korupsi dan kolusi yang menjamur di negara-negara miskin dan berkembang
akibat tingginya ketimpangan sosial.
Dalam Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik
(2006), Stiglitz mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi yang
mengakibatkan banyak ketimpangan. Stiglits menjadikan buku ini sebagai peta dalam
mewujudkan globalisasi yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di dunia. Ia
mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang. Ia
menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk mengatasi ketidakstabilan
keuangan internasional. Ia membahas perdagangan, paten, pengelolaan sumber daya,
pemanasan global, demokratisasi, hingga argumen tentang pentingnya reformasi lembaga-
lembaga dunia.
Dalam The Three Trillion Dollar War (2008), Stiglitz bersama Linda J. Bilmes mengulas
hitungan rinci biaya ekonomi dan manusia yang dikeluarkan AS untuk Perang Irak. Dengan
jargon ekonomi tentang opportunity cost, biaya yang dikeluarkan AS untuk membiayai
perang akan sangat berarti dalam mengatasi berbagai persoalan pelik terkait kemiskinan,
pengangguran, dan peningkatan kesejahteraan di AS sendiri dan berbagai negara di
belahan dunia. Meski AS tampak baik-baik saja, namun sesungguhnya dampak yang
dirasakan masyarakat sangat besar. Jika saja AS dapat memanfaatkan dana yang ada untuk
menciptakan kedamaian dunia, maka hal itu akan jauh lebih berarti.
Stiglitz dan Indonesia
Hampir di semua bukunya, Stiglitz mengulas tentang keterpurukan negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Diskusi tentang Indonesia lebih rinci terdapat dalam
Globalization and Its Discontents (2002). Perhatiannya yang besar pada Indonesia tentu bukan
sekedar karena kecintaannya pada Bali, tetapi karena keprihatinannya pada Indonesia.
Diungkapnya, penderitaan Indonesia lebih besar daripada banyak negara lain. Akibat
mengikuti kebijakan Washington Consensus, pemulihan ekonomi Indonesia paling lambat di
Asia Timur. Meski kemudian ekonomi Indonesia tumbuh, tetapi tetap lebih rendah
daripada yang seharusnya dapat dicapai. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih
rendah daripada negara-negara yang menolak kebijakan IMF.
Untuk kasus Indonesia, Stiglitz mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering
merugikan sebagian besar masyarakat lemah. Pemerintah hendaknya melakukan upaya
nyata untuk melindungi rakyatnya. Stiglitz menekankan peran pemerintah ini juga sebagai
kritik atas Washington Consensus yang diadopsi pemerintah Indonesia. Ia mengingatkan, AS
yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi proteksi atas
sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh karena itu, selayaknya negara-negara
berkembang juga memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Stiglitz juga banyak bicara mengenai masalah
politik pemerintah Indonesia di bidang penanaman modal asing. Dengan berani, Stiglitz
mengkritisi pemerintah Indonesia agar berani menegosiasi ulang kontrak-kontrak
pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat.
-
7
Stiglitz dan Ekonomi Syariah
Seorang rekan di bank sentral Indonesia bercerita, ketika Stiglitz mengunjungi
Jakarta, petinggi bank sentral Indonesia pernah menyampaikan kepada Stiglitz bahwa
konsep ekonomi yang digaungkan Stiglitz sebenarnya adalah konsep ekonomi syariah.
Stiglitz menjawab, "Memang benar, konsep saya tentang paradigma baru ekonomi moneter
itu adalah ekonomi syariah.
Sebelumnya, melalui buku Toward a New Paradigm in Monetary Economics (2003),
Stiglitz dan Bruce Greenwald memperkenalkan pendekatan baru dalam ilmu ekonomi.
Pendekatan inilah yang menjadi benang merah antara Stiglitz dengan ekonomi syariah,
selain seruan dalam setiap buku-bukunya yang selalu menuntut keadilan dan mengecam
ketimpangan.
Setidaknya ada tiga pendekatan Stiglitz dalam buku tersebut yang merupakan teori
ekonomi syariah bidang moneter. Pertama, Stiglitz mengemukakan bahwa efektivitas
kebijakan moneter sangat bergantung pada kondisi perbankan, terutama dalam penyaluran
kredit. Kredit lebih sesuai untuk mengukur transactional demand dan spending power yang
sesungguhnya. Penegasan Stiglitz tentang pentingnya kredit untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi selaras dengan teori ekonomi syariah yang berorientasi pada sektor
riil.
Kedua, Stiglitz menyatakan bank harus berperilaku netral dan risiko harus
terdistribusi efektif bagi seluruh pelaku ekonomi. Dalam teori ekonomi syariah, bank
diasumsikan tidak dapat memastikan keuntungan dan kerugian di masa depan serta harus
mengedepankan profit-loss sharing. Konsep ini memberi pesan bahwa bank harus diposisi
netral serta keuntungan dan risiko harus terdistribusi pada semua pelaku ekonomi.
Ketiga, Stiglitz menyatakan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur
suku bunga kini tidak efektif lagi dalam mempengaruhi kegiatan di sektor riil. Untuk itu,
penggunaan instrumen suku bunga untuk mempengaruhi jumlah uang beredar hendaknya
diubah menjadi kebijakan yang berdasarkan kepada mekanisme permintaan-penawaran
kredit. Hal ini selaras dengan prinsip ekonomi syariah yang mengharamkan penggunaan
instrumen bunga. Dalam teori ekonomi syariah, intisari kestabilan ekonomi bukan dengan
money creation, melainkan dengan money velocity. Wallahualam bishowab.
1.4 Mendesak Back-Up Rupiah5
Rancangan Undang-Undang (RUU) Mata Uang termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional
RUU prioritas Tahun 2010. Semua fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati RUU
dilanjutkan pembahasannya di tingkat panitia kerja (Panja).
Pada periode 2004-2009, RUU Mata uang sudah pernah digodok oleh DPR. Namun
RUU tersebut gagal di-UU-kan. Pada periode 2009-2014, RUU ini kembali masuk dalam
daftar Program Legislasi Nasional RUU prioritas Tahun 2010.
RUU Mata Uang merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal
23 B yang berbunyi macam dan harga mata uang ditetapkan dengan UU. RUU yang
terdiri dari 12 Bab dan 46 Pasal ini mengatur pengelolaan mata uang, mulai dari proses
perencanaan hingga proses pemusnahan. Selain itu, RUU ini juga mengatur kewajiban
penggunaan rupiah sebagai alat pembayaran dan penanganan peredaran uang palsu.
5 Artikel pribadi yang dimuat di Harian KONTAN, 29 September 2010.
-
8
Dari 172 daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU tersebut, sebanyak 52 DIM
disetujui DPR. Sisanya 120 DIM diusulkan untuk dibahas Panja. Dari DIM yang diajukan
pemerintah, tampaknya pembahasan lebih menyentuh pada siapa yang bertanggung jawab
dalam membuat perencanaan, pencetakan, pengeluaran, penandatanganan, pemberantasan
uang palsu, serta pengauditan secara periodik terhadap seluruh proses pelaksanaan.
Demi untuk menuntaskan dan melengkapi RUU Mata Uang, Panja pada Oktober ini
akan bertolak ke Kanada untuk studi banding. Kanada dipilih sebagai negara tujuan karena
dinilai berhasil mengimplemantasikan UU Mata Uang. Anggota dewan bermaksud
mempelajari proses pencetakan, distribusi, dan peleburan mata uang serta implementasi
UU tersebut. Sejauh ini, masukan-masukan yang hendak dipelajari anggota dewan lebih
pada teknis. Padahal, yang tidak kalah mendesak untuk dikaji adalah bagaimana
membangun sistem dan road map agar mata uang rupiah terjamin nilainya di masa depan.
Hard Currency
Untuk jangka panjang, RUU Mata Uang menyimpan harapan untuk menjadikan
rupiah tergolong sebagai hard currency. Misi ini patut diapresiasi. Untuk mewujudkannya,
tentu terdapat sejumlah persyaratan. Diantaranya, rupiah harus convertible dan tingkat
acceptability yang tinggi dalam lalu lintas perdagangan internasional. Secara politis,
pemerintah Indonesia mungkin akan sulit melakukannya. Namun yang terpenting dan
sering terabaikan adalah esensi dari keberadaan mata uang itu sendiri bagi perekonomian
domestik.
Dalam konteks ini, pemerintah seyogyanya berpikir untuk menjamin nilai mata uang
rupiah melalui dukungan aset berkualitas atas jumlah mata uang beredar (back-up currency).
Back-up currency sesungguhnya sejalan dengan kecenderungan kebijakan ekonomi banyak
negara beberapa tahun belakangan. Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah negara
tetangga yang sudah mulai menerapkannya.
Harus diakui, sistem mata uang yang berlangsung saat ini adalah salah satu biang
krisis ekonomi di Indonesia dan juga negara lain. Terikatnya nilai mata uang suatu negara
kepada mata uang negara lain dan tidak pada dirinya sendiri menyebabkan nilai suatu mata
uang tidak pernah stabil. Bergejolaknya nilai mata uang tertentu, dapat dipastikan akan
berpengaruh terhadap kestabilan mata uang yang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin terbukanya
perekonomian Indonesia, maka nilai tukar rupiah menjadi sangat rentan terhadap arus lalu
lintas modal internasional yang bergerak sedemikian dinamis.
Diversifikasi Cadangan Devisa
Agar bisa memberi manfaat bagi pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi,
maka dibutuhkan back-up currency. Adalah lebih penting menjadikan rupiah tidak mudah
tergerus inflasi dan diobrak-abrik mata uang lain daripada sekedar membangun citra yang
praktis, nyaman, dan bergengsi sebagaimana yang diharapkan dari redenominasi. Back-up
currency lebih berarti daripada redenominasi dalam mengatasi inflasi. Redenominasi justru
berpeluang untuk menghasilkan money illution yang pada gilirannya akan berbuah inflatoir
effect.
Tahap awal untuk menginisiasi back-up rupiah dapat dimulai salah satunya dengan
melakukan diversifikasi cadangan devisa. Sistem cadangan devisa yang berlaku saat ini
umumnya menjadikan USD sebagai instrumen penyimpan nilai. Sudah banyak yang
-
9
mengkritisi bahwa USD bukan penyimpan nilai yang baik. Beberapa negara bahkan
menggaungkan kebutuhan krusial akan sistem mata uang global baru.
Emas sesungguhnya layak menjadi instrumen penyimpan nilai. Meski kerap
dipersoalkan lantaran tidak likuid, namun nyatanya Amerika Serikat (AS) menjadi
penyimpan terbesarnya. Fort Knox dikenal sebagai tempat penyimpanan emas terbesar di
dunia. Cadangan emasnya diperkirakan mencapai 8.946,9 ton. Berikutnya adalah Jerman,
Italia, Perancis, China, Swiss, Jepang, Belanda, dan Rusia. Bahkan IMF termasuk pula yang
memiliki simpanan emas terbesar di dunia.
Ke depan, pemerintah perlu mempertimbangkan upaya-upaya untuk membangun
sistem penjaminan nilai mata uang rupiah. Pemerintah perlu keberanian untuk melakukan
back-up currency berupa cadangan emas atau cadangan devisa lain sesuai dengan jumlah
rupiah beredar. Dalam melakukan transaksi perdagangan bilateral atau multilateral,
pemerintah layak pula mempertimbangkan mata uang berbasis komunitas. Misalnya saja,
dengan menggunakan dinar seperti halnya yang dilakukan Malaysia, Iran dan Brunei
dalam perdagangannya dengan sejumlah negara Islam.
Yang tidak kalah penting, pemerintah hendaknya mulai sadar bahwa USD tidak bisa
dijadikan tolok ukur kepulihan, kemakmuran, dan juga pertumbuhan ekonomi. USD
bukanlah mata uang yang terjamin kestabilannya. Dibutuhkan diversifikasi cadangan
devisa untuk mengeliminir resiko nilai tukar rupiah terhadap hard currency tersebut.
Berikutnya, barulah kita melangkah pada back-up rupiah yang sesungguhnya agar terjamin
stabilitas nilainya di masa depan.
1.5 Ketika Wall Street Menceraikan Etika6
Sejak September, aksi protes warga Amerika Serikat (AS) semakin agresif. Protes menentang sistim
keuangan dan kebijakan pemerintah AS kian meluas. Kemarahan warga atas terjadinya rebound di
Wall Street yang tak diikuti dengan perbaikan tingkat pengangguran, menuai aksi demo yang terus
bermunculan.
Krisis keuangan dunia secara maraton terus bermunculan sejak 2008. Kasus subprime
mortgage, bangkrutnya bank-bank investasi besar, krisis utang, bailout, kegaduhan di pasar
finansial, terus saja saling mengekor. AS dan Eropa yang menjadi barometer perekonomian
dan keuangan dunia kini terus menjadi bulan-bulanannya.
Yang menarik untuk disimak saat ini adalah aksi protes warga AS terhadap rebound
di Wall Street yang terjadi disaat meningkatnya jumlah PHK di negara tersebut. Kebanyakan
dari mereka meyakini bahwa pemerintah telah dikendalikan oleh bank dan korporasi-
korporasi besar yang serakah sehingga mengabaikan kepentingan sebagian besar warga
negaranya.
Ya, AS kini sedang menguji kesolidan sistem dan kebijakan ekonomi mereka yang
selama ini menjadi jantung ekonomi dunia. Jika kekacauan ekonomi di Eropa banyak dipicu
oleh krisis utang dengan rasio utang yang mencengangkan, maka yang belakangan terjadi
di AS dipicu oleh krisis ketidakpercayaan akibat berbagai kecurangan dari pelaku ekonomi
dan keuangan.
Bush-Obama Paradox
6 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Republika, 19 Oktober 2011.
-
10
Pasca jatuhnya sejumlah perusahaan investasi keuangan di AS pada 2008 lalu,
Presiden Bush saat itu meminta konggres untuk menyetujui rencana penyelamatan sektor
finansial bernilai USD 700 miliar. Bush menyatakan, perekonomian dalam kondisi bahaya
sehingga perlu intervensi pemerintah untuk menyelamatkannya. Upaya Bush mendapat
banyak kritikan karena menyimpang dari ideologi pasar-bebas yang dianut AS. Terlebih
lagi, Bush dikenal memiliki keyakinan yang tinggi bahwa pasar-bebas adalah sebuah
prinsip moral yang harus diwujudkan karena merupakan hak asasi manusia dalam mencari
kebebasan penghidupan.
Jika disimak, pasar-bebas yang menjadi prinsip moral Bush sesungguhnya bertitik
tolak dari paham Adam Smith yang mengasumsikan mekanisme permintaan dan
penawaran mampu melakukan self-regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand.
Jika bertitik tolak dari paham ini, maka upaya Bush tersebut adalah paradox.
Mengingat kehancuran pasar finansial di AS, Bush Paradox ini sesungguhnya dapat
dipahami. Pada titik inilah, Bush mungkin baru merasa pentingnya campur tangan
pemerintah pada pasar meski hal itu bertentangan dengan paham yang ia anut.
Lebih jauh, Obama kemudian melanjutkan paradox ini. Obama menggelontorkan dana
untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada AS sebagai motor ekonomi dunia meski
harus menanggung konsekuensi defisit anggaran yang besar. Berbagai program
penanggulangan yang menghabiskan uang rakyat yang kebanyakan berasal dari kelas
menengah, nyatanya tak juga memulihkan perekonomian domestik. Yang ada, PHK terus
menyebar ke penjuru negeri.
Obama memang meminta pertanggungjawaban lembaga keuangan yang didonor
pemerintah. Obama mengingatkan, wajib pajak adalah yang paling dirugikan atas
keruntuhan keuangan jika pelaku pasar memanfaatkan masa pemulihan untuk keuntungan
pribadi. Sayang, aksi spekulan di Wall Street tampaknya tidak terbendung untuk mendapat
untung berlipat setelah sebelumnya mengalami kerugian besar. Meski masalah krisis utang
Eropa dan ketakutan resesi baru melanda AS terus menghantam bursa Wall Street dan
tekanan jual membuat indeks saham utama tergerus, tetapi Wall Street masih mampu
beberapa kali melanjutkan penguatannya. Hal inilah yang memicu kemarahan sebagian
warga AS.
Mengawinkan Etika pada Pasar Keuangan
Fenomena yang berkembang dan berujung pada munculnya Bush-Obama Paradox
semakin menguatkan kita bahwa intervensi pemerintah dibutuhkan dalam pasar. Pasar-
bebas sejatinya bukan dimaknai sebagai terbukanya pasar tanpa batas dan dibiarkan
mengatur dan memulihkan dirinya sendiri. Tidak bisa dimungkiri, pasar sesungguhnya
sarat dengan berbagai ketidakmampuan. Kapitalis berpotensi besar untuk mengendalikan
pasar sesuai dengan kepentingan. Kecurangan dan berbagai penyimpangan lain berpeluang
besar untuk terjadi. Uang yang dijadikan bulan-bulanan komoditi dan spekulasi ternyata
menyebabkan pasar tidak terkendali.
Sebagai suatu lembaga yang mempunyai kekuatan besar, daulat pasar dapat
menggusur daulat rakyat. Semua manusia di dalamnya dianggap memiliki kekuatan yang
sama. Kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis diarahkan untuk memenuhi keinginan para
pemilik modal daripada kebutuhan masyarakat yang lebih besar. Filsafat ekonomi
kapitalisme menceraikan etika sehingga perilaku manusia hilang arah karena terdorong
hasrat untuk menjadi greedy.
-
11
Sebagai sebuah norma yang tak tertulis, mengawinkan etika dengan pasar keuangan
diharapkan dapat menghantar pelaku di dalamnya menghindari praktek-praktek yang
menjatuhkan. Dengan etika pula, pelaku pasar diharapkan tidak lagi melakukan spekulasi
yang secara nyata bersifat predatorik. Spekulasi inilah yang menggoncang ekonomi
berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi
itu pula, jumlah uang yang beredar menjadi tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor
riil karena adanya penghisapan. Sejalan dengan itulah, etika diharapkan dapat
menjembatani sektor keuangan dan sektor riil untuk bertemu.
Dalam hal ini, jika kegiatan ekonomi dapat dikembalikan pada etika yang bersumber
dari religi, maka keadilan akan lebih jelas. Kegiatan ekonomi di sektor keuangan tidak lagi
memfasilitasi pelaku yang menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar
uang, bank atau pasar modal. Kegiatan ekonomi di sektor keuangan kelak hanya
memfasilitasi ketersediaan dana untuk modal usaha melalui mekanisme yang benar.
Dengan cara ini, sistem ekonomi yang bertumpu pada sinergi sektor riil dan keuangan akan
berjalan mantap, tidak mudah goyang atau digoyang seperti saat ini. Wallahualam bish
showab.
1.6 Luxembourg Menuju Pusat Keuangan Islam Eropa dan Dunia7
Selama 3 hari Islamic Finance News (IFN) Asia Forum 2011 berlangsung, setidaknya
terdapat 9 negara yang berkesempatan memberi paparan tentang potensi keuangan Islam di
negara masing-masing melalui beragam session. Negara-negara tersebut adalah Indonesia,
Qatar, Australia, Srilanka, Oman, Jepang, Pakistan, Iran, dan Luxembourg.
Country presentation dari negara Luxembourg cukup menarik perhatian peserta IFN
Asia Forum 2011. Selain karena tampaknya menjadi satu-satunya negara yang mewakili
kawasan Eropa, juga karena dihadiri langsung oleh Minister of Finance, Grand Duchy of
Luxembourg, Luc Frieden. Pada hari ketiga, Frieden menjadi pembuka acara melalui session
for keynote address yang dimanfaatkannya untuk bercerita tentang potensi keuangan Islam di
Luxembourg.
Mengawali paparannya di podium, Frieden memulai dengan sebuah pernyataan,
Saya yakin, anda semua bertanya-tanya mengapa saya hadir di tempat ini. Bukankah negara-negara
di Eropa sedang mengalami krisis, lalu mengapa saya masih bisa-bisanya muncul di sini, katanya
setengah berkelakar.
Ya, saya yakin pernyataan Frieden memang mewakili isi kepala hampir kebanyakan
peserta IFN Asia Forum 2011. Kawasan Eropa memang secara beruntun mengalami krisis
keuangan akibat utang Eurozone. Lalu mengapa Frieden masih sempat-sempatnya ke Kuala
Lumpur menghadiri acara ini?
Menjadi Pusat Keuangan Islam Eropa dan Dunia
Luxembourg memang tampak serius untuk mengundang investor keuangan Islam
masuk ke negara tersebut. Frieden mengatakan, Penting bagi kami untuk menghadiri
perhelatan ini. Pemerintah Luxembourg meyakini bahwa keuangan Islam adalah bagian tak
terpisahkan dari sistem keuangan internasional. Beberapa negara Eropa memang sudah banyak yang
7 Artikel pribadi yang dimuat di Majalah SHARING, Edisi 59 Tahun VI November 2011, Hlm. 42-43, dan
merupakan hasil liputan selama 3 hari mengikuti Islamic Finance News (IFN) Asia Forum di Kuala Lumpur pada
17-19 Oktober 2011 yang dikuti oleh peserta dari sejumlah negara dari Middle East, Europe, North Africa, Southeast
Asia, dan North America.
-
12
ingin menjadi pusat keuangan Islam dan Luxembourg juga memiliki potensi untuk menjadi bagian
dari pusat keuangan Islam di kawasan ini.
Frieden yang mengawali karir politiknya melalui Partai Demokrat Kristen (Christian
Social Party/CSV) ini pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Anggaran di
usia 34 tahun. Berikutnya, Frieden menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan kemudian
menjadi Menteri Keuangan sejak 2009 hingga saat ini. Beliau juga menjabat sebagai
Gubernur Bank Dunia serta menjadi wakil pemerintah Luxembourg dalam Council of
Minister of the European Union.
Meski krisis ekonomi global tengah terjadi, Frieden menegaskan bahwa
pemerintahnya meyakini industri keuangan Islam akan tetap tumbuh stabil. Hal ini
setidaknya tercermin dari minat investor yang terus tumbuh terhadap produk keuangan
Islam. Frieden mengatakan, Pemerintah Luxembourg melihat produk keuangan Islam sangat
inovatif dan adaptif bagi sistem keuangan internasional. Untuk itu, pemerintah Luxembourg ingin
mengintegrasikan produk keuangan Islam dengan produk keuangan yang sebelumnya telah ada di
Luxembourg.
Frieden memang tidak menyia-nyiakan kesempatan dalam IFN Asia Forum 2011
untuk mengundang para investor masuk ke Luxembourg. Panitia bahkan memberi agenda
khusus bagi pemerintah Luxembourg melalui breakout session untuk mengadakan
Luxembourg for Finance. Dalam kesempatan tersebut, Frieden menyampaikan paparan
khusus berjudul Kuala Lumpur and Luxembourg: Partners for Global Financial Services.
Dalam kesempatan yang sama, Chief Executive Officer (CEO) Luxembourg for Finance,
Fernand Grulms, juga membawakan paparan Luxembourg, An International Hub for Financial
Services. Sedangkan Marc Saluzzi, Chairman of Association of Luxembourg Fund Industry,
membawakan paparan Luxembourg, Your Gateway to Europe. Kedua lembaga ini adalah
tim kerja multidisipliner yang memang ditugaskan oleh pemerintah Luxembourg untuk
mengembangkan keuangan Islam di Luxembourg.
Lebih jauh, 2 mini seminar diselenggarakan pula dalam kesempatan yang sama
dengan tema How Can Asian Asset Managers Leverage The UCITs Products dan Luxembourg,
A First Mover in The European Islamic Finance Sector. Tema terakhir ini cukup menarik.
Meski klaim Luxembourg akan menjadi pusat keuangan Islam di Eropa dan dunia dirasa
terlambat, mengingat sudah banyak negara di Eropa yang telah lebih dahulu mengklaim hal
demikian, tapi tekat besar Luxembourg memang sangat jelas terlihat. Banyak pembenahan
regulasi, terutama pajak, yang terus digaungkan pemerintah Luxembourg untuk
menyambut para investor untuk masuk ke pasar keuangan Islam di Luxembourg, utamanya
dalam hal reksadana dan sukuk.
Menghilangkan Hambatan dan Ketidakpastian
Wilayah Luxembourg berada di pegunungan dengan kotanya yang berbukit-berbukit
dan berjurang-jurang. Banyak peninggalan benteng, gereja, dan kastil-kastil tua dari abad
pertengahan yang menjadi saksi kejayaan peradaban di masa lalu. Meski negeri ini
mayoritas dihuni oleh penganut Katolik, namun Luxembourg sangat terbuka untuk menjadi
pusat keuangan Islam Eropa dan dunia.
Selain sebagai negara Eropa pertama yang bergabung dalam Islamic Financial Service
Board (IFSB) pada November 2009 lalu, Luxembourg juga menjadi negara Eropa pertama
yang bursanya melakukan listing sukuk sejak 2002. Saat ini, Luxembourg telah memasuki
tahap penting dalam peletakan fondasi pengembangan pasar uang Islam di Eropa. Nota
-
13
kesepahaman mulai dirintis bersama negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) seperti
Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Bahrain.
Frieden menegaskan, pemerintah Luxembourg berkomitmen untuk menghilangkan
hambatan dan ketidakpastian bagi investor yang ingin masuk ke negara tersebut.
Pemerintah setempat telah memberlakukan reformasi pajak bagi seluruh produk keuangan
Islam, utamanya untuk produk sukuk dan reksadana syariah, guna memfasilitasi masuknya
investasi berbasis syariah Islam dalam jumlah besar. Akuisisi sejumlah bank di Luxembourg
oleh institusi keuangan Islam Qatar tampaknya memang juga menjadi landasan untuk
pengembangan lebih lanjut bagi ceruk bisnis keuangan Islam di Luxembourg.
Tidak bisa dipungkiri, krisis finansial Amerika Serikat (AS) dan Eropa menjadi
momentum bagi pasar keuangan Islam untuk kian mengukuhkan keberadaannya. Semakin
banyaknya penerimaan dari negara-negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim
mengindikasikan bahwa pasar keuangan Islam dapat diterima secara universal lintas
agama, suku, dan bangsa. Sebagai salah satu negara nonmuslim di kawasan Eropa,
Luxembourg terus menunjukkan progres dari itikatnya untuk menjadi pusat keuangan
Islam Eropa dan dunia. Partisipasinya sebagai first mover dalam pencatatan surat berharga
Islam internasional menjadikan Luxembourg percaya diri untuk ambil bagian dalam
globalisasi keuangan Islam. Wallahualam bish showab.
2. STUDI KASUS
2.1 Kasus Investasi Emas Berlabel Syariah8
Emas memang selalu memikat. Nilainya yang terus meningkat dalam jangka waktu menengah dan
panjang menjadi alasan utama untuk menjadikannya sebagai instrumen investasi. Tak heran jika
terus bermunculan perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasa investasi emas. Termasuk pula
salah satunya perusahaan berlabel syariah yang memberi penawaran imbalan hasil yang
menggiurkan bagi investor (www.kontan.co.id, 18 Juni 2012).
Harga emas tercatat mengalami kenaikan cukup tinggi mulai tahun 2001 dengan rata-
rata kenaikan sekitar 17%. Sebelumnya, kenaikan harga hanya di kisaran 6%. Banyak pihak
yang meyakini bahwa emas tengah mengalami bubble. Hal ini didasari oleh kian maraknya
emas menjadi komoditas dan semakin kuatnya keyakinan masyarakat bahwa emas akan
mengalami kenaikan harga secara permanen melampaui tingkat inflasi.
Dapat dipahami jika investasi emas menjadi tampak menarik karena apresiasinya jauh
lebih besar daripada deposito atau sejenisnya. Gaung emas pun merambah industri jasa
keuangan Islam. Kegiatan rahn dan qardh untuk emas di perbankan syariah menjadi motor
penggeraknya. Hampir semua Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia kini telah
mempunyai layanan gadai emas.
Emas dalam sejarah ekonomi Islam memang mendapat perhatian besar. Wacana mata
uang dinar yang banyak digaungkan para pelaku ekonomi Islam sebagai alat transaksi tidak
lepas dari keunggulan nilai emas yang relatif stabil. Namun, stabil bukan berarti tidak
mengalami inflasi. Nilai emas yang di-back up oleh intrisiknyalah yang menjadi dasar
argumen emas lebih baik daripada fiat money.
8 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Kontan, 22 Juni 2012. Artikel tersebut ditulis sebagai respon atas
pemberitaan di Harian Kontan berjudul Waspada, investasi emas berimbal hasil selangit! tentang investigasi
Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang merupakan perusahaan investasi emas pertama yang memperoleh
predikat syariah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
-
14
Namun demikian, keberadaan emas sebagai alat transaksi atau sebagai instrumen
hedging harus dipisahkan dengan kinerja emas dalam konteks kekinian. Bubble emas yang
tengah berlangsung saat ini terjadi karena adanya spekulan. Pengalaman 2008
menunjukkan perilaku investor dalam mengantisipasi krisis kredit yang menyebabkan
pasar saham anjlok adalah dengan memborong emas. Yang terkini, aksi George Soros yang
menambah portofolio logam mulianya hingga 273,96% pada Mei lalu. Aksi Soros
mengundang pertanyaan mengingat harga emas saat itu sudah jatuh 8,1% per Maret dan
tercatat sebagai penurunan terbesar sejak 2004.
Fluktuasi Emas
Jika sebuah perusahaan investasi emas berlabel syariah berani menawarkan imbal
hasil fixed rate yang cukup tinggi dalam jangka waktu pendek, maka pertanyaan yang
mengemuka adalah benarkah mekanisme yang ada sudah memenuhi prinsip syariah?
Logika ekonomi tentu akan berbicara bahwa investasi emas akan memberi
keuntungan jika harga emas mengalami kenaikan. Jika harga emas turun, maka investor
akan mengalami kerugian. Dalam jangka menengah dan panjang, pengalaman di masa lalu
mungkin dapat menjadi argumen untuk mengatakan harga emas ke depan memiliki tren
kenaikan. Namun, dalam jangka waktu pendek yang kurang dari setahun, pengalaman
menunjukkan bahwa emas juga mengalami fluktuasi yang mengikuti up and down
perekonomian.
Mungkin tak banyak yang mengingat bagaimana volatilitas harga emas bulanan dan
tahunan selama 10 tahun terakhir. Secara bulanan, penurunan harga emas tertinggi pernah
terjadi sebesar 16% di bulan September 2008 ke Oktober 2008. Secara tahunan, penurunan
harga emas tertinggi pernah terjadi hingga 41,5% di tahun 2008 ke 2009. Mei 2012 lalu,
kontrak emas berjangka untuk pengantaran Juni merosot 0,6%. Nilai ini adalah posisi
terendah dalam empat bulan terakhir seiring dengan kekacauan politik yang kian
memburuk di Yunani yang memberi sentimen positif terhadap US Dollar sebagai aset
lindung nilai.
Secara keseluruhan, bukti empirik ini menunjukkan bahwa fluktuasi emas cukup
tajam dalam jangka waktu pendek. Kinerja emas saat ini bukanlah berbasis sektor riil murni
yang dapat dipertanggungjawabkan kealamiahan penawaran-permintaannya. Emas sebagai
komoditas dan faktor spekulan adalah salah satu variabel laten utama yang mempengaruhi
emas menjadi bubble. Pertanyaannya kemudian, jika yang terjadi ke depan adalah
penurunan harga emas secara signifikan, lalu bagaimana perusahaan jasa investasi emas
berlabel syariah itu dapat memenuhi janjinya untuk memberi bonus hingga 30% untuk
kontrak setahun?
Perspektif Islam
Dalam peta industri jasa keuangan Islam, bisnis investasi emas boleh jadi termasuk
dalam komponen pasar modal syariah. Jika dipetakan, industri jasa keuangan Islam
meliputi tiga komponen utama, yaitu perbankan Islam, pasar modal Islam, dan takaful yang
masing-masing di dalamnya terdiri dari beberapa subkomponen. Kecilnya pasar jasa
keuangan Islam boleh jadi tidak memberi pengaruh signifikan bagi perekonomian. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri, pertumbuhannya yang pesat mendorong banyak sektor
untuk turut menyandang label syariah demi mengakses pasar yang masih sangat besar.
Sebuah kajian tentang dampak pergerakan harga emas kepada Capital Adequacy Ratio
(CAR) individual bank Islam memberikan pesan penting. Skenario penurunan harga emas
-
15
sebesar 25% dan 50% ternyata berpotensi menurunkan CAR sejumlah bank Islam hingga di
bawah 8%. Kajian ini mengindikasikan bahwa industri jasa keuangan Islam pun rentan
terhadap fluktuasi harga emas.
Oleh karena itu, dapat dipahami jika iming-iming imbal hasil yang menggiurkan dari
perusahaan investasi emas berlabel syariah menimbulkan dugaan adanya kegiatan
spekulasi yang mengarah pada unsur maysir. Di kalangan ekonom Islam, memang masih
terdapat perdebatan tentang praktek spekulasi berbasis maysir ini. Sebagian berpendapat
bahwa maysir bermakna pengambilan risiko yang tidak mampu ditanggung. Sebagian lain
berpendapat bahwa maysir adalah spekulasi yang tidak meningkatkan agregat pasokan
barang dan jasa. Apapun itu, janji imbal hasil yang cukup tinggi dalam jangka waktu
pendek memberi ruang besar untuk mempertanyakan keabsahan Islamic compliance dalam
mekanisme investasi dan pemberian imbal hasil. Kalau sudah begitu, semoga saja Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dapat segera merespon kegiatan
investasi tersebut melalui fatwanya untuk memperjelas keabsahannya.
2.2 Distorsi Sukuk Negara9
Sukuk negara semula dimaksudkan untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan. Regulasi sudah
menyiratkan peruntukkannya untuk membiayai proyek pembangunan. Sayang, agresif pemerintah
dalam menerbitkan sukuk negara belakangan ini belum mampu diimbangi dengan pemanfaatan yang
optimal. Jika himpunan dana sukuk negara tak berwujud kongkret, maka yang terjadi adalah sebuah
distorsi bagi instrumen ini.
Sukuk saat ini menjadi fenomena global. Sukuk menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari sistem keuangan dunia. Sebagai sebuah instrumen pembiayaan pembangunan berbasis
syariah, sukuk secara universal diterima lintas agama, budaya, dan bangsa. Satu-persatu
negara muslim dan nonmuslim kini mengadopsi dan turut menerbitkannya.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia termasuk
cukup terlambat menerapkan sukuk. Regulasi sukuk baru disahkan pada 2008. Hingga
akhir 2009, dana sukuk yang dihimpun pemerintah Indonesia baru sekitar Rp 20 triliun.
Agresif pemerintah mulai terlihat pada 2010. Sepanjang Triwulan I 2010, pemerintah
sedikitnya telah melakukan 4 kali penawaran sukuk dengan dana terhimpun hampir
menyentuh Rp 13 triliun. Memasuki Triwulan II, pada bulan April, pemerintah melakukan
2 kali penawaran dengan dana terhimpun Rp 1,125 triliun. Sedangkan di bulan Mei, dengan
2 kali penawaran, dana yang terhimpun Rp 5 triliun.
Harus diakui, salah satu konsekuensi nyata dari pembayaran imbalan atas sukuk
negara yang diterbitkan pemerintah adalah tambahan beban pada sisi pengeluaran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditambah lagi dengan kewajiban atas
berbagai pengeluaran rutin lainnya, keseluruhan ini dapat berdampak pada reduksitas
kemampuan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek dan program pembangunan
menjadi berkurang.
Sukuk negara sebenarnya menawarkan jalan keluar atas persoalan ini. Regulasi pun
menyiratkan hal demikian. Namun pada tataran implementasi, aplikasi yang ada belum
9 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 12 Juni 2010.
-
16
mampu mencapai ranah tersebut. Kondisi inilah yang jika tak diperbaiki dapat mendistorsi
keberadaan sukuk negara.
Instrumen Investasi
Sejak tahun 2005, Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen utama pembiayaan
APBN. Sumber pembiayaan non-utang pada masa awal pascakrisis ekonomi memberi
kontribusi besar dalam membiayai defisit. Namun dalam perkembangannya, terjadi
pergeseran yang tajam dari sumber pembiayaan non-utang menjadi sumber pembiayaan
utang. Adapun sumber utama pembiayaan utang yang dulu bersumber dari pinjaman
dalam negeri dan luar negeri, kini bersumber dari penerbitan SBN.
Sejauh ini, ada 2 jenis instrumen yang digunakan pemerintah dalam sumber
pembiayaan utang yang berasal dari SBN. Melalui UU Nomor 24 Tahun 2002, pemerintah
diberi wewenang untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) sebagai sumber
pembiayaan dalam mengatasi defisit anggaran atau menutup kekurangan kas jangka
pendek atau mengelola portofolio utang negara. Berikutnya, untuk mendiversifikasi
instrumen pembiayaan defisit anggaran dengan meningkatkan basis investor, maka
pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2008 diberi landasan hukum untuk
melakukan transaksi pengadaan pembiayaan dan pengelolaan portofolio berbasis syariah
melalui penerbitan sukuk.
Berbeda dengan SUN, tujuan utama penerbitan sukuk selain untuk pembiayaan
APBN, juga untuk pembiayaan kegiatan proyek pemerintah, terutama pembangunan
infrastruktur. Hadirnya regulasi SUN dan sukuk menjadi standing appropriation bagi
penerbitan instrumen utang Indonesia dalam bentuk SBN.
Untuk 2010, pemerintah masih akan menjadikan SBN sebagai sumber pembiayaan
APBN. Pemerintah akan menaikkan target indikatif untuk mencapai penerimaan negara
dari penerbitan SBN sebesar Rp 176,86 triliun dalam Rancangan APBN Perubahan 2010 dari
sebelumnya Rp 175,061 triliun dalam APBN 2010. Untuk memenuhi penambahan biaya
tersebut, pemerintah diantaranya akan meningkatkan penerbitan SBN sebesar Rp 1,849
triliun.
Yang Mendistorsi
Tidak bisa dipungkiri, penerbitan sukuk sebagai salah satu bentuk SBN dinilai efektif
untuk membantu mengurangi defisit APBN. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang
perlu diwaspadai dalam implementasinya yang berpotensi mendistorsi.
Pertama, sukuk negara seyogyanya menjadi instrumen transisi yang ke depan akan
menjadikan Indonesia lebih mandiri dan bebas utang. Sejumlah studi empirik menunjukkan
bahwa utang berbunga telah menyandera APBN Indonesia. Kelak diharapkan Indonesia
mampu melahirkan kebijakan zero deficit. Dalam konteks inilah, sukuk dapat menjadi
jembatannya.
Kedua, meski sukuk secara substansi tampak mirip dengan surat utang, namun
sesungguhnya sukuk adalah surat berharga investasi. Pemahaman pasar yang keliru telah
menempatkan sukuk bersanding dengan SUN. Ditambah lagi pemerintah yang
mengamininya dengan memasukkan instrumen ini pada kelompok sumber pembiayaan
utang. Padahal, pada sukuk, investor berserikat dalam laba dan rugi dari aset. Sedangkan
pada SUN, yang ada adalah kewajiban utang atas pihak yang menerima utang tanpa ada
kaitannya dengan aset tertentu ataupun pemanfaatannya.
-
17
Ketiga, aplikasi kebanyakan sukuk negara di Indonesia cenderung diarahkan untuk
menghasilkan uang dan bukan barang. Padahal, agar memberi manfaat yang lebih besar
bagi sektor riil, maka dibutuhkan pemanfaatan yang kongkret berupa pembangunan fisik.
Keempat, amanat UU memberi ruang toleransi yang besar terhadap pemanfaatan
sukuk untuk menambal defisit anggaran. Padahal, esensi dari sukuk bukan untuk
menambal keuangan negara, melainkan untuk membiayai proyek pembangunan dimana
pembangunan infrastruktur adalah salah satunya.
Kelima, transmisi sukuk negara terhadap sektor riil selama ini belum terlihat
keberadaannya. Underlying asset yang harusnya dapat berproduksi menghasilan income bagi
pemerintah, masih belum terealisasi. Sejatinya, underlying asset harus diberdayakan dan
bukan sekedar menjadi agunan yang tak bermakna.
2.3 Rentannya Gadai Emas Bank Syariah10
Memasuki awal 2012, banyak ahli ekonomi dunia memprediksi harga emas akan kembali meningkat.
Harga emas yang selama 10 tahun berturut-turut mengalami kenaikan, diyakini akan melanjutkan
tren bullish. Sejumlah bank sentral di dunia, termasuk pula miliarder George Soros, beberapa kali
diberitakan memborong emas dalam jumlah besar. Tak pelak lagi, emas kini menjadi primadona.
Termasuk pula pada industri perbankan syariah di Indonesia.
Sejak satu dekade terakhir, harga emas cenderung menunjukkan tren peningkatan.
Hal ini mendorong minat investor untuk menanamkan dana dalam bentuk emas dan gadai
emas. Gaung emas juga merambah industri perbankan syariah. Kegiatan qardh dan rahn
menjadi motor penggeraknya.
Secara teknis, proses gadai emas di bank syariah dimulai ketika nasabah datang ke
bank syariah untuk menggadaikan emas. Dengan asumsi emas yang akan digadaikan
tersebut bernilai (X), bank syariah akan melakukan penilaian (p) atau dikenal dengan istilah
loan to value ratio (LTV) sebelum memberikan qardh senilai (pX) di luar biaya lain-lain.
Berdampingan dengan akad gadai emas tersebut, nasabah juga melakukan akad sewa-
menyewa (ijarah) untuk membayar sewa layanan penyimpanan emas gadai yang disediakan
bank syariah.
Hampir semua Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia kini mempunyai layanan
gadai emas. Semenjak tren harga emas meningkat dan peminat gadai emas kian meluas,
pendapatan bank syariah dari aktifitas gadai emas semakin meningkat. Di antara sejumlah
model akad bank syariah, pertumbuhan akad qardh terbilang cukup tinggi. Sepanjang 2005-
2010, pertumbuhan rasio pembiayaan qardh terhadap total financing perbankan syariah
mencapai rata-rata 100%. Kenaikan berlanjut di tahun 2011 dan mulai terlihat gejala
penurunan di tahun 2012.
Persoalan mengemuka ketika harga emas mengalami fluktuasi. Maraknya emas
menjadi komoditas dan kuatnya keyakinan masyarakat bahwa emas akan mengalami
kenaikan harga secara permanen melampaui tingkat inflasi menimbulkan dugaan bahwa
emas tengah mengalami bubble. Dan pertanyaannya, bagaimana dampak volatilitas harga
emas terhadap bank syariah?
10 Artikel pribadi yang ditulis bersama Rifki Ismal, Peneliti Senior Bank Indonesia, yang dimuat di Harian
Bisnis Indonesia, 16 Juli 2012.
-
18
Imbas Volatilitas Emas Dunia
Rentannya bank syariah atas volatilitas harga emas didasari oleh tiga argumen.
Pertama, adanya fenomena transaksi gadai emas yang berubah wujud menjadi investasi
emas dengan aksi spekulasi emas melalui jalan berkebun emas oleh nasabah. Hal ini patut
dicermati karena aktifitas bisnis bank syariah dituntut untuk prudent, bermotif sosial dan
bebas dari aksi spekulasi. Kedua, ketika harga emas berfluktuasi, aktifitas gadai emas yang
berlebihan berpotensi mengganggu prudential banking operation. Hal ini kian pelik ketika
dana nasabah digunakan bank syariah untuk membiayai gadai emas. Ketiga, ketika harga
emas turun, nasabah gadai emas berpotensi menunda atau bahkan tidak menebus emasnya
kembali. Pada tataran inilah bank syariah rentan mengalami kerugian.
Selama 13 tahun terakhir, volatilitas harga emas pernah terjadi dalam jangka pendek.
Secara bulanan, penurunan harga emas tertinggi pernah terjadi sebesar 16,81% di bulan
September ke Oktober 2008 dan kenaikan emas tertinggi pernah mencapai 16,85% antara
bulan Agustus ke September 1999. Secara tahunan, penurunan harga emas tertinggi pernah
mencapai 41,5% di tahun 2008 ke 2009. Hal ini seluruhnya mengindikasikan bahwa pasar
investasi emas cukup beresiko tinggi, apalagi untuk aktifitas spekulasi emas.
Sebuah simulasi fluktuasi harga emas dengan tiga skenario penurunan harga emas
bulanan sebesar 10%, 25%, dan 50% menunjukkan adanya potensi dampak volatilitas
penurunan harga emas terhadap penurunan ketahanan individu maupun industri
perbankan syariah. Ketahanan bank syariah yang antara lain dicerminkan oleh capital to
adequacy ratio (CAR) dapat turun hingga di bawah 8% apabila harga emas turun hingga 50%.
Secara matematis, penurunan CAR terjadi karena turunnya harga emas (P) yang
melebihi batas harga gadai emas (pX). Selisih penurunan harga ini dikurangi pendapatan
sewa emas dapat menggerus keuntungan bank syariah dan akhirnya menurunkan porsi
modal dan CAR individu bank syariah. Meski masih bergantung pada jumlah BUS yang
memiliki fasilitas gadai emas, jumlah nasabah yang melakukan transaksi gadai emas,
variabel ijarah rate yang dikenakan BUS, dan nilai gadai yang ditetapkan BUS kepada
penggadai emas, situasi pada individu bank syariah ini pada gilirannya akan berimbas pada
industri perbankan syariah keseluruhan.
Rahn Emas
Turbulensi harga emas dunia patut diwaspadai bank syariah yang produk gadai
emasnya banyak diminati masyarakat. Emas saat ini tidak sepenuhnya mencerminkan
kinerja penawaran-permintaan alamiah. Emas kini menjadi komoditas yang sarat dengan
spekulasi. Penurunan harga emas seperti yang diilustrasikan sebelumnya, dapat
menurunkan CAR individu bank syariah dan industri perbankan syariah. Pada gilirannya,
hal ini akan berdampak terhadap penurunan rasio financing to deposit ratio yang menjadi
cermin fungsi intermediasi perbankan syariah.
Sejatinya untuk mengimplementasikan fungsi ekonomi syariah dan mengeminir
risiko, bank syariah hendaknya mempertimbangkan untuk memberlakukan kebijakan
switching gadai emas menjadi productive financing dengan rahn emas. Berdasarkan evaluasi
terhadap qardh gadai emas, meningkatnya kegiatan ini ternyata berpotensi menurunkan
financing non qardh to deposit ratio. Semakin besar porsi qardh, maka semakin berkurang porsi
dana untuk pembiayaan akad investasi di sektor riil. Ditambah lagi, dana qardh dari gadai
emas cenderung bukan merupakan dana produktif di sektor riil melainkan dana konsumtif.
Ke depan, aktifitas gadai emas diharapkan dapat ditujukan bagi kepentingan sosial
dan tidak menjadi aktifitas utama bank syariah. Aktifitas beberapa investor yang cenderung
-
19
memanfaatkan fluktuasi harga emas dengan menggunakan transaksi gadai emas di bank
syariah untuk melakukan spekulasi emas, tentunya tidak dapat diterima. Selain merugikan
nasabah dan bank syariah, perekonomian nasional juga dirugikan disamping tentunya tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
2.4 Investasi ala Ustadz YM dan Mendesaknya Literasi Keuangan11
Bisnis investasi dengan konsep patungan usaha ala Ustadz Yusuf Mansyur (YM)
menuai kontroversi. Meski saat ini gerakan tersebut dihentikan sementara sembari
memperbaiki legalitas, polemik yang muncul di masyarakat masih belum surut. Sejumlah
pihak meragukan kapabilitas bisnis investasi Ustadz YM. Tudingan bahwa bisnis ini bak
investasi bodong, money game atau multi level marketing (MLM) membuat Ustadz YM seolah
dipojokkan.
Jika disimak, isu penting yang harusnya dihadirkan adalah perihal mobilisasi dana
masyarakat, yaitu bagaimana memberi perlindungan kepada dana publik tersebut. Di
sinilah isu governance muncul, yaitu bagaimana mengelola benturan kepentingan antara
pengelola dana dengan masyarakat yang menyerahkan dananya. Prinsip yang lazim
digunakan adalah TARIF (Trasparency, Accountability, Responsibility, Integrity, dan Fairness).
Dengan tetap mengapresiasi itikat baik yang melatarbelakangi penggalangan dana
yang dilakukan Ustadz YM, tidak bisa dipungkiri, minimnya literasi keuangan bukan saja
menjadi kelemahan Ustadz YM, tetapi juga bagi kebanyakan masyarakat yang berpolemik
tanpa dasar sehingga isu yang mengemuka bak bola liar. Jelas, menyoal kasus ini, literasi
keuangan (financial literacy) yang digaungkan bersama dengan program inklusi keuangan
(financial inclusion) sudah mendesak untuk disosialisasikan secara masif.
Literasi Keuangan
Ilmu keuangan merupakan ilmu dinamis. Prakteknya menjadi keseharian bagi setiap
orang. Literasi keuangan menjadi keniscayaan bagi setiap orang untuk dapat membuat
keputusan keuangan serta mengoptimalkan instrumen dan produk keuangan yang tersedia.
Secara sederhana, literasi keuangan adalah pengetahuan mengenai konsep-konsep dasar
keuangan. Literasi keuangan mencakup beberapa aspek dalam keuangan, yaitu
pengetahuan dasar mengenai keuangan pribadi (basic personal finance), manajemen uang
(money management), manajemen kredit dan utang (credit and debt management), tabungan
dan investasi (saving and investment), serta manajemen risiko (risk management).
Literasi keuangan dibutuhkan agar setiap orang memiliki pengetahuan untuk
mengelola sumber daya keuangan secara efektif demi kesejahteraan hidupnya. Kebutuhan
individu dan produk keuangan yang semakin kompleks menuntut masyarakat untuk
memiliki literasi yang memadai. Minimnya literasi keuangan dapat mengakibatkan
rendahnya akses terhadap lembaga keuangan. Minimnya literasi keuangan juga dapat
mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian keuangan karena tidak memahami resiko
yang membayang dari produk atau instrumen keuangan yang dipilih. Ditambah lagi jika
pada saat yang sama terjadi penurunan kondisi perekonomian. Perilaku masyarakat yang
konsumtif juga menambah daya boros dari sistem ekonomi dan keuangan yang ada saat ini.
Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menaungi kegiatan investasi di
Indonesia juga menjadi peta baru bagi masyarakat awam. Literasi keuangan terhadap
11 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 25 Juli 2013.
-
20
produk dan regulasi di sektor keuangan tak semuanya dapat dipahami. Sosialisasi yang
dilakukan OJK nyatanya masih belum cukup untuk mengedukasi masyarakat luas. Hal ini
tercermin pula dengan Ustadz YM yang tidak mengetahui bahwa setiap penarikan dana
masyarakat dengan memberikan imbal hasil adalah bentuk investasi. Sesuai aturan,
investasi yang beranggotakan 50 orang ke atas wajib meminta izin OJK. Bila OJK belum
mengeluarkan izin, maka sudah dapat dipastikan kegiatan investasi tersebut dilarang.
Edukasi Keuangan
Edukasi keuangan (financial education) menjadi tantangan terbesar untuk
meningkatkan literasi masyarakat dalam rangka inklusi keuangan. Edukasi adalah proses
panjang yang mendorong setiap orang untuk memiliki rencana keuangan di masa depan
demi mendapatkan kesejahteraan yang ingin dicapai. Era konsumsi dewasa ini cenderung
membuat masyarakat menjadi kian tidak rasional dalam memenuhi keinginannya yang
bukan menjadi kebutuhan.
Melalui edukasi keuangan, diharapkan dapat terbangun perilaku keuangan (financial
behaviour). Perilaku keuangan berhubungan dengan bagaimana seseorang memperlakukan,
mengelola, menggunakan, dan memaknai sumber daya keuangan yang ada padanya.
Individu yang memiliki perilaku keuangan akan cenderung untuk memanfaatkan uang atau
aset secara efektif, mulai dari membuat anggaran, menghemat uang, mengendalikan
belanja, berinvestasi, serta membayar kewajiban tepat waktu untuk semua tingkat
penghasilan.
Lebih jauh, edukasi keuangan akan menghasilkan outcome berupa literasi keuangan
yang baik. Tepat kiranya bila OJK memutuskan untuk menjatuhkan sanksi berupa edukasi
aturan pengelolaan dana kepada Ustadz YM atas kegiatan pengelolaan dananya, termasuk
menjanjikan pendampingan dalam hal mengurus legalitas.
Tidak bisa dipungkiri, literasi keuangan adalah hal mendesak dalam melindungi dana
masyarakat. Sistem keuangan yang rentan akan munculnya mobilisasi dana manipulatif
atau spekulatif yang beresiko tinggi menuntut masyarakat untuk paham akan karakter
produk keuangan yang ditawarkan. Beragam jenis produk di pasar keuangan yang sarat
moral hazard serta kerap menghadirkan asymmetric information menuntut literasi keuangan
bagi masyarakat. Yang terpenting, urgensi literasi keuangan adalah sebagai pengetahuan
bagi masyarakat dalam hal menyiasati keterbatasan sumber daya yang dimilikinya untuk
dialokasikan pada berbagai kebutuhan secara efektif untuk memperoleh kesejahteraan yang
diharapkan.
==============================
top related