laporan tutorial resusitasi neonatus
Post on 29-Nov-2015
125 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN KELOMPOK
BLOK PEDIATRI
RESUSITASI NEONATUS
Disusun Oleh:KELOMPOK 5
Achmad Faiz S. G0009003Anindhito Kurnia P. G0009015Annisa Rizkia Fitri G0009021Diwiasti F. Yasmin G0009063Elita Rahmi G0009071Maria Goretti Novianti G0009127Muhammad Abdulhamid G0009135
Muhammad Dzulfikar G0009137Nur Ismi Mustika F. G0009155Puji Astuti A. N. G0009173
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses kelahiran bayi merupakan suatu keajaiban. Dalam beberapa saat,
janin yang keriput dan basah, berubah menjadi bayi yang hidup bebas. Transisi
dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin merupakan hal yang vital
dan merupakan fase yang sangat penting, rentan, dan sensitif terhadap berbagai
keadaan. Selama proses kelahiran, janin harus dapat beradaptasi secara fisiologis
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya sehingga dapat terhindar
dari potensi kerusakan. Setelah kelahiran, bayi harus dapat beradaptasi untuk
menghindarkan diri dari bahaya lingkungan seperti hipotermia dan infeksi.
Periode intrapartum dan neonatal awal merupakan masa yang amat
berbahaya bagi bayi yang mengalami hipoksia atau malnutrisi, dan kelainan lain.
Hampir semua mortalitas dan morbiditas yang terjadi pada periode perinatal ini
dapat dicegah, maka periode perinatal merupakan kesempatan untuk menerapkan
pelayanan kesehatan seefektif mungkin.
B. Skenario
Rini, seorang dokter muda diminta membantu di ruang operasi. Di sana
ada seorang ibu 27 tahun dengan umur kehamilan 40 minggu yang sedang
menjalani sectio caesaria. Sectio caesaria itu dilakukan atas indikasi detak
jantung janin melemah.Setelah lahir, bayi tersebut tidak menangis, apneu, dan
berwarna kebiruan.Dokter segera membawa bayi ke meja resusitasi dan bayi
dikeringkan, distimulasi, diberi ventilasi tekanan positif, pijat jantung, dan injeksi
epinefrin.Setelah resusitasi didapatkan APGAR skor 6 pada menit ke 10,
kemudian bayi segera dipindahkan ke ruang NICU untuk perawatan lebih lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
A. Klarifikasi istilah
1. NICU: atau Neonatal Intensive Care Unit merupakan salah satu unit
perawatan di rumah sakit yang secara khusus merawat neonatus atau yang
lahir prematur, memiliki masalah persalinan, maupun berbagai masalah lain
yang mengharuskan neonatus tersebut mendapatkan perawatan intensif
(LPCH, 2011; Morissette, 2010).
2. Sectio caesaria: lahirnya janin, plasenta, dan selaput ketuban melalui irisan
yang dibuat pada dinding perut dan rahim.
3. APGAR score: suatu metode cepat untuk menilai kondisi kesehatan neonatus
pada menit pertama.
4. Resusitasi neonates: merupakan suatu prosedur yang diaplikasikan untuk
neonates yang gagal bernafas secara spontan. Resusitasi terbagi menjadi
tindakan umum dan tindakan khusus.
5. Apneu: henti napas lebih dari 20 detik
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana fisiologi sirkulasi neonatus?
2. Mengapa denyut jantung janin melemah?
3. Bagimana prosedur resusitasi neonatus?
4. Apa sajakah etiologi apneu pada neonatus?
5. Apakah yang menjadi indikasi sectio caesaria?
C. Pembahasan
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO₂) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh
yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama
oksigen. Cairan yang mengisi alveoliakan diserap ke dalam jaringan paru, dan
alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutupsehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.Keadaan
relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan
pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga
aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosusmenurun.
Oksigen yang diabsorbsidi alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan
darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri,
kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan
keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi
pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru
mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.Pada saat
lahir terjadi perubahan sirkulasi dari sirkulasi fetus ke sirkulasi normal.
Perubahan tersebut menyebabkan penutupan beberapa lubang, yang pada fetus
masih terbuka, yaitu:
1. Penutupan foramen ovale
Penutupan foramen ovale terjadi karena tekanan atrium kanan menjadi
rendah sedangkan tekanan atrium kiri menjadi tinggi.Hal ini menyebabkan
darah mencoba mengalir balik ke atrium kanan melalui foramen
ovale.Akibatnya, katup kecil di atas foramen ovale di sebelah kiri septum
atrium akan menutup ostium ini.
2. Penutupan duktus arteriosus
Penutupan duktus arteriosus karena peningkatan resistensi sistemik sehingga
terjadi peningkatan tekanan aorta sementara terjadi penurunan resistensi paru
sehingga menurunkan tekanan arteri pulmonalis.Akibatnya darah mengalir
balik dari aorta ke arteri pulmonalis.Akan tetapi, beberapa jam kemudian,
dinding otot duktus arteriosus mengalami konstriksi sehingga dalam waktu
1–8 jam aliran darah balik sudah berhenti.Setelah 1–4 bulan, duktus
arteriosus menutup secara anatomis karena pertumbuhan jaringan fibrosa
dalam lumen duktus.
3. Penutupan duktus venosus
Penutupan duktus venosus terjadi karena kontraksi yang kuat dari
duktus ini sehingga aliran darah akan mengalir ke vena porta kemudian
aliran darah ini akan masuk ke sinus–sinus di hati.
Pada saat fetus, sumber oksigen utama pada fetus berasal dari darah
maternal yang bersirkulasi dalam sirkulasi fetus, apabila terjadi sumbatan atau
gangguan oksigenasi pada sirkulasi fetus maka fetus akan merespon kekurangan
oksigen dengan jalan meningkatkan frekuensi denyut jantung. Namun karena
terdapat gangguan pada sirkulasi fetus dan adanya gangguan oksigenasi, maka
otot jantung janin akan melakukan glikolisis anaerob untuk memecah glikogen
yang terdapat pada otot jantung untuk mengkompensasi denyut jantung janin
yang meningkat. Karena jumlah glikogen pada otot jantung terbatas, maka
cadangan glikogen akan habis dan denyut jantung janin akan melemah, karena
gangguan pada sirkulasi janin.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu menjadi kemerahan.
Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau
setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama
persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta
atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan
nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke
dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia
akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu
kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan
mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan
aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus,
arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru sudah terisi
dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension Newborn,
disingkat menjadi PPHN).
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan
menyebabkanarteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah
arteri sistemik tidak mendapat oksigen.
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung
dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-
organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka
terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,
penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi
jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible,
kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan
akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk
karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan
karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung)
karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah
karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan
aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan;
takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan
sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah.
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda
vital pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen.Setelah
periode awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu
primer.Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan
menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus
berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan
kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan
kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan
untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.
Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder. Bayi dapat
berada pada fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang
membahayakan ini dimulai sebelum atau selama persalinan.Akibatnya saat lahir,
sulit untuk menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan.
Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder,
namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan
mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu.
Pada skenario dilakukan tindakan sectio caesaria pada ibu atas indikasi
denyut jantung janin melemah. Sectio caesaria adalah lahirnya janin, plasenta
dan selaput ketuban melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim.
Indikasi sectio caesaria adalah keadaan yang tidak memungkinkan janin
dilahirkan per vaginam dan keadaan gawat darurat yang memerlukan
pengakhiran kehamilan/persalinan segera, yang tidak mungkin menunggu
kemajuan persalinan per vaginam secara fisiologis.
1. Indikasi ibu: panggul sempit absolut, tumor-tumor jalan lahir yang
menimbulkan obstruksi, stenosis serviks/vagina, plasenta previa, disproporsi
sefalopelvik, ruptura uteri membakat, riwayat obstetri jelek, riwayat seksio
sesarea sebelumnya, dan permintaan pasien.
2. Indikasi janin: kelainan letak (malpresentasi dan malposisi), prolaps
talipusat, gawat janin.
Umumnya sectio cesarea tidak dilakukan pada keadaan janin mati, ibu
syok/anemia berat yang belum teratasi, atau pada janin dengan kelainan
kongenital mayor yang berat.
Penyebab utama gangguan terhadap bayi pasca sectio caesaria dengan
analgesia subaraknoid yaitu hipotensi yang menimbulkan berkurangnya arus
darah uterus dan hipoksia maternal. Besarnya efek tersebut terhadap bayi
tergantung pada beratdan lamanya hipotensi.
Efek hipotensi terhadap bayi berupa perubahan denyut jantung, keadaan
gas darah, skor Apgar dan sikap neurologi bayi. Gambaran deselerasi lambat
denyut jantung bayi terjadi bila tekanan sistolik mencapai 100 mmHg lebih dari 4
menit bradikardia selama 10 menit, atau tekanan sistolik mencapai 80 mmHg
lebih dari 4 menit. Pasien yang mengalami hipotensi karena analgesia
subaraknoid pada tindakan seksio cesaria, sering dijumpai bayi dengan skor
Apgar yang rendah serta interval mulai menangis yang panjang.Menurut Moya
skor Apgar yang rendah ditemukan pada ibu yang mengalami penurunan tekanan
sistolik, yang mencapai 90 - 100 mgHg selama 15 menit dan bayi yang baru
dilahirkan sedikit lebih asidotik pada pasien yang mengalami hipotensi. Faktor
lamanya hipotensi lebih besar pengaruhnya daripada besarnya hipotensi,
terutama pada pasien yang menderita diabetes.
Diagnosis banding dari skenario diatas meliputi:
1. Asfiksia neonatorum
a. Definisi
Bayi bernafas kurang 20x per menit atau bayi mengalami megap–
megap atau tidak bernafas secara spontan atau suatu keadaan bayi baru
lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir
(Huttchinson, 1967)
b. Epidemiologi
Merupakan penyebab kematian paling tinggi sekitar 25.2 % bayi
lahir menderita asfiksia di RS profinsi di Indoensia (Jawa Barat).Angka
kematian sekitar 41.94 % di RS rujukan propinsi.
c. Etiologi dan predisposisi
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi
karena gangguan pertukaran gas trsnsport O₂ dari ibu ke janin sehingga
terdapat gangguan dalam persediaan O₂ dan dalam menghilangkan
CO₂.Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi
atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena
hal–hal yang diderita ibu dalam persalinan.
Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang
buruk, penyakit menahun seperti anemia hipertensi, jantung dan lain-
lain. Faktor–faktor yang timbul dalam persalinan yang bersifat
mendadak yaitu faktor janin berupa gangguan darah dalam tali pusat
karena tekanan tali pusat, depresi pernafasan karena obat–obatan
anestesia/analgetika yang diberikan ke ibu, perdarahan intrakranial,
kelainan bawaan seperti hernia diafiagmatika, atresia saluran pernafasan
hipoplasia paru dll.Sedangkan faktor dari ibu adalah gangguan his
misalnya hipertonia dau tetani, hipotensi mendadak pada ibu karena
perdarahan, hipertensi pada eklamsia- gangguan mendadak pada
plasenta seperti solusio plasenta.
Tawel (1996) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan
pernafasan pada bayi terdiri dari :
1) Faktor Ibu
a. Hipoksia Ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat
analgetik atau antensi dalam, dan kondisi ini akan
menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
b. Gangguan aliran darah uterus
Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin,
kondisi ini saling diternukan pada gangguan kontraksi uterus,
hipotensi rnendadak pada ibu karena pendarahan, hipertensi
pada penyakit eklamsi, dsb.
2) Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengeruhi oleh luas dan
kondisi plasenta, asfiksia janin dapat terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta misalnya perdarahan plasenta, solusio
plasenta, dsb.
3) Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran
darah dalam pembuluh darah umbilftus dan rnengharnbatperrukaran
gas antara ibu dart janin. Gangguan aliran darah ini dapat
ditemukan dalarn keadaan tali pusat membumbung melilit leher,
kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin.dll
4) Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal yaitu pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada
ibu, traurna yang terjadi pada persalinan misalnya perdarahan
intrakranial, kelainan kongenitol pada bayi misalnya hernia
diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan, hipoplasia
pam, dsb.
d. Patofisiologi
Pernafasan spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin
pada masa hamil dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu
menimbullcan asfiksia ringan yang bersifat sementara. Proses ini sangat
perlu untuk merangsarg hemoreseptor pusat pernafasan untuk terjadinya
usaha pernafasan yang pertama yang kemudian akan berlanjut menjadi
pernafasan yang teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha pernafasan
ini tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu.Pada tingkat
ini disamping penurunan frekuensi denyut jantung (bradikardia)
ditemukan pula penuruanan tekanan darah dan bayi nampak lemas
(flasid). Pada asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan
tidak merugikan upaya bernapas secara spontan. Pada tingkat pertama
gangguan pertukaran gas/transports O₂ (menurunnya tekanan O₂ darah)
mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan
berlanjut maka akan terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi
sehingga terjadi asidosis metabolik, selanjutnya akan terjadi perubahan
kardiovaskuler. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler dalam tubuuh
berakibat buruk terhadap sel – sel otak, dimana kerusakan sel-sel otak
ini dapat rnenimbulkan kernatian atau gejala sisa (squele).
e. Klasifikasi
Ketika bayi lahir, maka diperlukan penilaian terhadap kondisi
kesehatan neonatus. Suatu metode cepat untuk menilai kondisi
kesehatan neonatus pada menit pertama adalah dengan menggunakan
skor APGAR. Kriteria yang dinilai berupa Apparience (warna kulit),
Pulse (denyut jantung), Grimace (tangisan), Activity (tonus otot),
Respiratory (pernafasan). Penilaian APGAR skor dilakukan saat menit
pertama kehidupan, menit kelima, kesepuluh dan kedua puluh. Skor
pada menit pertama menunjukkan respon bayi terhadap proses
kelahiran, dan menentukan tindakan lebih lanjut yang perlu dilakukan
terhadap bayi yang baru lahir. Sedangkan skor APGAR pada menit
selanjutnya menunjukkan respon bayi terhadap lingkungan, dan
menunjukkan respon terhadap tindakan yang dilakukan oleh perawat.
Cara penilaian APGAR adalah sebagai berikut:
Nilai 0 Nilai1 Nilai 2
Warna
kulit
Seluruhnya biru Warna kulit tubuh
normal merah,
sedangkan
ekstremitas
berwarna biru
Warna kulit
seluruhnya merah
muda
Denyut
jantung
Tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit
Respon
reflek
Tidak ada
respon
Menangis lemah
saat dirangsang
Menagis kuat
saat dirangsang
Tonus otot Lemah/tidak
ada
Sedikit gerakan Bergerak aktif
Pernafasa
n
Tidak ada Lemah/tidak
teratur
Pernafasan baik
dan teratur,
disertai menangis
Skor APGAR dinilai :
I : 1 menit setelah bayi lahir untuk menentukan beratnya dan tindakan
resusitasi
II : 5 menit setelah bayi lahir untuk menilai hasil resusitasi dan
prognosis
Asfiksia neonatorum diklasifikasikan sbb:
1)Vigorous baby
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan
tindakan istimewa.
2)Mild Moderate asphycsia/asfiksia sedang
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik aftan terlihat frekumsi
jantung lebih dari100/menit tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis, reflek iritabiilitas tidak ada.
3) Asfiksia berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuesi
jantung kurang dari 100x permenit tonus otot buruk. Sianosis berat,
dan kadang-kadang pucat, reflek iritabiliras tidak ada. Pada asfiksia
dengan henti jantung yaitu bunyi janntung fetus menghilang tidak
lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung
menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat.
f. Pemeriksaan penunjang
1) Analisa Gas darah
2) Elektrolit darah
3) Gula darah
4) Foto torax (RO dada}
5) USG, CT scan
g. Penatalaksanaan
Terapi suportif
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi
baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup
bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan
resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahap tahapan-tahapan yang dikenal
dengan ABC resusitasi :
1) Memastikan saluran nafas terbuka :
a) Meletakkan bayi pada posisi yang benar.
b) Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trakea
c) Bila perlu masukkan ET untuk memastikan pernafasan terbuka
2) Memulai pernapasan :
a) Lakukan rangsangan taktil
b) Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
3) Mempertahankan sirkulasi darah :
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi
dada atau bila perlu menggunakan obat-obatan.
4) Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah, elektrolit )
Apabila neonatus mengalami gagal nafas spontan, maka
diperlukan resusitasi neonatus. Resusitasi terbagi menjadi tindakan
umum dan tindakan khusus. Tindakan umum diberikan kepada setiap
bayi yang baru lahir. Tindakan umum resusitasi meliputi langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Pengawasan suhu
Pada langkah ini, bayi dijaga dari kehilangan panas tubuh
melalui empat cara yang meliputi konduksi, konveksi, evaporasi, dan
radiasi. Langkah pengawasan suhu yang dilakukan meliputi:
a) Menjaga suhu udara di kamar bersalin tidak kurang dari20oC
b) Menjaga agar tidak ada pintu dan jendela yang terbuka
c) Mengeringkan tubuh bayi dengan handuk hangat
d) Memberi selimut pada bayi
e) Memandikan bayi pada ruangan hangat atau di bawah pemanas
radian
2) Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion.
Pembersihan ini dilakukan terhadap mulut terlebih dahulu kemudian
hidung, dengan menggunakan bulb syringe, alat penghisap lendir,
atau kateter penghisap. Posisi kepala bayi harus lebih rendah dari
tubuh untuk mempermudah pembersihan jalan nafas.
3) Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Bayi yang tidak memperlihatkan usaha nafas 20 detik setelah lahir
dianggap mengalami depresi pusat pernafasan. Pengaliran O₂ cepat kedalam
mukosa hidung dapat dilakukan. Jika cara ini tidak berhasil, diberikan
rangsangan nyeri pada bayi dengan cara memukul kedua telapak kaki bayi,
menekan tendon achiles, atau memberikan suntikan vitamin K pada bayi
tertentu (Hassan, 1985; Rohsiswanto, 2008).
Apabila tindakan umum yang diberikan pada bayi tidak memberikan
tidak memberikan hasil memuaskan, maka dilakukan tindakan khusus. Cara
yang dikerjakan disesuaikan dengan beratnya asfiksia yang timbul pada bayi.
Berikut ini prosedur tindakan khusus resuisitasi bayi.
1) Tindakan khusus untuk bayi asfiksia berat (skor Apgar 0-3)
a) Memberikan O₂ dengan tekanan dan intermiten/ventilasi
tekananpositif (VTP). Ventilasi diawali dengan menggunakan balón
resusitasi dan sungkup, dengan frekuensi 40-60 kali per menit. Jika
bayi tidak berespon, dilakukanVTPdengan intubasi endotrakea
dengan tekanan O₂ tidak lebih dari 30 cm H20. SelainVTP,
dilakukan pula koreksi asidosis dengan memberikan
bikarbonasnatrikus 7,5% dengan dosis 2-4 mEq/kgBB. Di samping
itu diberikan pula glukosa 15-20% dengan dosis 2-4 ml/kgBB.
Kedua obat ini disuntikan secara intravena melalui vena
umbilikalis. Usaha pernafasan biasanya mulai timbul setelah
tekanan positif diberikan 1-3 kali. Bila tidak terjadi perbaikan
dilakukan langkah berikutnya, yaitu kompresi dada.
b) Kompresi dada / masase jantung eksternal. Masase jantung
eksternal dilakukan pada sternum di proksimal prosesus
xyphoideus. Kedua ibujari menekan sternum, sementara jari lain
mengelilingi dada. Sternum dikompresi sedalam sepertiga tebal
antero-posterior dada. Kompresi dada diselingi ventilasi secara
sinkron dengan rasio 1:3, yaitu setiap satu kali ventilasi tekanan
diikuti tiga kali kompresi dada. Setelah 30 detik, dilakukan evalasi
respon. Jika denyut jantung >60 denyut/menit, kompresi dada dapat
dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga denyut jantung mencapai
100 kali/menit. Bila tindakan ini tidak memberikan hasil, perlu
dilakukan penilaian kemungkinan gangguan keseimbangan asam-
basa yang belum terkoreksi optimal pada bayi.
c) Pemberian obat epinefrin harus diberikan jika denyut jantung
tetap<60 kali/menit setelah 30 detik VTP dan 30 detik lagi VTP dan
kompresi dada. Dosis epinefrin adalah 0,1-0,3 ml/kgBB (Hassan,
1985; Rohsiswanto, 2008).
2) Tindakan khusus untuk bayi asfiksia sedang (skor Apgar 4-6)
a) Stimulasi pernafasan
b) Pemberian frog breathing
Frog breathing diberikan jika dalam waktu 30-60 detik
setelah stimulasi pernafasan tidak timbul pernafasan spontan pada
bayi. Cara ini dilakukan dengan memasang kateter O₂ intranasal,
lalu dialirkan 1-2 liter O₂ per menit. Bayi juga diberi bantuan gerak
mulut, hidung, dan dagu disesuaikan dengan pergerakan dinding
dada ketika bernafas.
c) PemberianVTP tidak langsung
Langkah ini dilakukan apabila setelah 1-2 menit pemberian
frog breathing tidak didapatkan hasil. Ventilasi ini dapat dikerjakan
dengan dua cara, yaitu ventilasi mulut ke mulut atau ventilasi
kantong ke masker dengan frekuensi pemberian oksigen 20-30 kali
per menit. Apabila langkah ini tidak berhasil, dilakukan intubasi
endotrakeal dan bayi diperlakukan sebagai penderita asfiksia berat
(Hassan, 1985; Rohsiswanto, 2008).
Tindakan resusitasi yang dilakukan pada kasus ini sudah benar, yakni
mengeringkannya, menstimulasi, memberi ventilasi tekanan positif, pijat
jantung dan injeksi epinefrin. Apabila asfiksia yang dialami bayi sudah
tergolong dalam asfiksia berat, perlu juga dilakukan koreksi asidosis yang
mungkin terjadi. Dengan meningkatnya skor APGAR menjadi 6 maka
berarti neonates dapat diselamatkan walaupun belum dikatakan sehat
sempurna. Oleh karena itu, bayi tidak dapat dirawat gabung bersama ibunya,
melainkan harus dirawat di NICU (Neonatal Intinsive Care Unit) untuk
perawatan dan pengawasan lebih lanjut.
NICU merupakan salah satu unit perawatan di rumah sakit yang
secara khusus merawat neonatus yang sakit atau lahir prematur, memiliki
masalah selama persalinan, maupun berbagai masalah lain yang
mengharuskan neonatus tersebut mendapatkan perawatan secara intensif
(LPCH, 2011; Morissette, 2010).
Terdapat beberapa faktor risiko pada ibu maupun bayi yang
mengarah pada kebutuhan NICU (LPCH, 2011):
1. Faktoribu:
a. Usia kurang dari 16 tahun atau lebih dari 40 tahun
b. Penggunaan narkotika dan alkohol
c. Penderita diabetes mellitus
d. Penderita hipertensi
e. Riwayat perdarahan
f. Riwayat penyakit menular seksual
g. Riwayat melahirkan bayi kembar (kembar dua, tiga, dan seterusnya)
h. Oligohidramnion atau hidramnion
i. Ketuban pecah dini
2. Faktor persalinan:
a. Fetal distress/asfiksia neonatorum
b. Presentasi bokong atau presentasi abnormal lain
c. Terdapat mekonium pada cairan amnion
d. Leher bayi terlilit tali pusat (nuchal cord)
e. Persalinan menggunakan forceps atau section caesaria
3. Faktor bayi:
a. Lahir sebelum 37 minggu atau lebih dari 42 minggu
b. Berat lahir kurang dari 2.500 gram atau lebih dari 4.000 gram
c. Ukuran bayi tidak sesuai dengan usia kehamilan (lahir kecil)
d. Membutuhkan medikasi atau resusitasi selama dalam ruang
persalinan
e. Defeklahir
f. Respiratory distress, meliputibernafascepat, mendengkur, atauapnea
Terdapat berbagai tingkatan dalam NICU. Tingkatan ini
menunjukkan kelengkapan layanan dan kondisi neonatus yang dapat dirawat
(Morissette, 2010):
1. Tingkat I: Perawatan Dasar bagi Neonatus (Basic Newborn Care)
Pada tingkat ini dilakukan perawatan terhadap neonatus yang sehat dan
cukup bulan.
2. Tingkat II: Perawatan Khusus bagi Neonatus (Specialty Newborn Care)
Pada tingkat ini dilakukan perawatan terhadap neonatus yang lahir
setelah 32 minggu atau neonatus yang mengalami kondisi serius selama
persalinan. Pada tingkat kedua dibedakan lagi menjadi:
a. Tingkat IIA: perawatan pada tingkat ini tidak menyediakan
assisted ventilation
b. Tingkat IIB: perawatan pada tingkat ini menyediakan assisted
ventilation, serta continuous positive airway pressure (CPAP).
3. Tingkat III: Perawatan Sub Khusus bagiNeonatus (Subspecialty
Newborn Care)
Padatingkat ini dilakukan perawatan terhadap neonatus yang sangat
sakit dan memiliki kondisi yang paling parah, sehingga perawatan pada
tingkat ketiga paling lengkap dibandingkan yang lain. Pada tingkat
ketiga dibedakan lagi menjadi:
a. Tingkat IIIA: merawat bayi yang lahir setelah 28 minggu, terdapat
ventilasi mekanik dan dapat dilakukan prosedur bedah minor jika
diperlukan.
b. Tingkat IIIB: tingkat ini menyediakan beberapa jenis ventilasi
mekanik, dimungkinkan dilakukan beberapa prosedur bedah yang
membutuhkan anestesi.
c. Tingkat IIIC: pada tingkat ini terdapat prosedur perawatan paling
lengkap, tersedia berbagai jenis ventilasi (termasuk ECMO), dan
dimungkinkan dilakukan prosedur bedah yang cukup sulit,
termasuk bedah jantung neonatus untuk mengoreksi defek jantung
kongenital.
Terapi Medikamentosa
1) Epinefrin
a. Indikasi: denyut jantung bayi < 60x/menit setelah paling tidak 30 detik
dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada belum ada respon.
b. Dosis : 0,1-0,3 ml / kgBB dalam larutan 1:10.000 (0,1 mg – 0,03 mg /
kgBB). Cara : i.v atau endotakheal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu
2) Volume Ekspander
a) Indikasi: bayi baru lahir yang dilahirkan resusitasi rnengalami hipovolernia
dan tidak ada respon dengan resusitasi. Hipovolemi kemungkinan akibat
adanya perdarahan atau syok. Klinis, ditandai dangan adanya pucat perfusi
buruk, nadi kecil/lemah dan pada resusitasi tidak memberikan respons yang
adekuat.
b) Jenis Cairan:Larutan kristaloid isotonis (NaCL 0,9, Ringer Laktat). Dosis
awal 10 ml/kgBB iv pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai
menunjukkan respon klinis.
c) Transfusi darah gol O negatif jika diduga kehilangn darah banyak.
3) Bikarbonat
a) Indikasi: asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahiryang mendapatkan
resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
b) Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia
Harus disertai dengan pemerIksaan analisa gas darah dan kimia.
c) Dosis : 1-2 mEq/keBB atau 2 ml/kgBB (4,2%) atau 1 ml/kgBB (7,4%).
d) Cara: diencerkan dengan aqua bidest dan destrosa 5 % sama banyak
diberikan secara iv dengan kecepatan minimal 2 menit.
e) Efek sarnping : pada keadaan hiperosmolarita, dan kandungan CO2 dari
bikarbonat merusak furgsi miokardium dan otak.
4) Nalokson
Nalokson Hidroklorida adalah antagonis narkotik yang tidak rnenyebabkan
depresi pernapasan.
a) Indikasi: depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan
narkotik 4 jam sebelurn persalinan.
b) Sebelum diberikan nalokson, ventilasi harus adekuat dan stabil.
c) Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibrmya baru dicurigai sebagai
pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanpa with drawl tiba-tiba
pada sebagian bayi.
d) Dosis : 0,1 mg/kgBB ( 0,4 mg/ml atau lmg/ml)
e) Cara : iv endotrakheal atau bila perfusi baik diberikan im atau sc
Prognosis
1) Asfiksia sedang: tergantung pada kecepatan pernafasan
2) Asfiksia berat: dapat mengakibatkan kematian pada hari-hari pertama atau
kelainan nafas.
3) Asfiksia dengan pH 6.9 dapat menyebabkan kejang sampai koma dan kelainan
neurologis permanen, misalnya serebral palsi atau retardasi mental.
2. Penyakit membran hyalin
Penyakit membran hialin (PMH) sering ditemukan pada bayi prematur.
Terutama apabila bayi tersebut lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi
darah, uterus selama kehamilan misalnya ibu penderita diabetes, toksemia,
hipotensi, sectio cesarea atau perdarahan antepartum.
Tanda-tanda PMH biasanya tampak dalam beberapa menit kelahiran
yaitu: dispnea dan hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 x/menit.
Sianosis retraksi di daerah epigastrium, supra sentral, intercostal pada saat
inspirasi.
Pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini
baik dalam hal pencegahan, diagnosis dan penatalaksanaan penderita dapat
membantu menurunkan angka kematian penyakit.
c) Definisi
PMH disebut juga Respiratory Distress Syndrome (RDS), hal ini
adalah salah satu problem dari bayi prematur menyebabkan bayi
membutuhkan ekstra oksigen untuk membantu hidupnya.
Pada penyakit membran hialin dapat menyebabkan hipoksia yang
menimbulkan kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus
alveolus.Kerusakan ini menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam
alveolus dan terbentuk fibrin.Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel
yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.
d) Angka kejadian
Angka kejadian penyakit ini sebenarnya sulit ditentukan karena
diagnosa pasti hanya dapat ditegakkan dengan autopsi.Angka kejadian
penyakit mempunyai kaitan erat dengan riwayat kehamilan dan persalinan.
Kejadian penyakit akan meningkat pada bayi lahir kurang bulan (masa
gestasi kurang dari 34 minggu). Partus presipitatus yang menyertai
perdarahan ibu, asfiksia, ibu penderita diabetes.Disamping itu terdapat
beberapa faktor kehamilan yang dianggap dapat menurunkan kejadian
penyakit membran hialin dalam hal ini ibu yang mendapat pengobatan
steroid saat hamil.
PMH terutama terjadi pada bayi prematur.Insidensinya berbanding
terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya. PMH ini 60 – 80%
terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15 – 30%
pada bayi antara 32 dan 36 minggu, 5% pada bayi lebih dari 37 minggu dan
jarang pada bayi cukup bulan.
Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes,
kehamilan kembar, persalinan dengan seksio sesarea, persalinan cepat,
asfiksia, stress dingin, ada riwayat bayi sebelumnya terkena insiden tertinggi
pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih.
e) Etiologi
Kelainan dianggap terjadi karena faktor pertumbuhan atau
pematangan paru yang belum sempurna antara lain : bayi prematur, terutama
bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan,
misalnya ibu dengan:
1) Diabetes
2) Toxemia
3) Hipotensi
4) SC
5) Perdarahan antepartum
6) Sebelumnya melahirkan bayi dengan PMH.
Penyakit membran hialin diperberat dengan :
1) Asfiksia pada perinatal
2) Hipotensi
3) Infeksi
4) Bayi kembar
f) Patofisiologi
Sampai saat ini PMH dianggap terjadi karena defisiensi pembentukan
zat surfaktan pada paru bayi yang belum matang. Surfaktan adalah zat yang
berperan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang
terdiri dari dipalmitil fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidil gliserol, apoprotein,
kolesterol. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin yang mulai dibentuk
pada umur kehamilan 22 – 24 minggu dan berjumlah cukup untuk berfungsi
normal setelah minggu ke 35.
Agen aktif ini dilepaskan ke dalam alveolus untuk mengurangi
tegangan permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus
dengan jalan mencegah kolapsnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi.
Namun karena adanya imaturitas, jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan
mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan pasca lahir.
Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi sehingga untuk
pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih
besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat.
Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga
terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan : (1)
oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolisme anaerobik
dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel
kapiler dan epitel duktus alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya
fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu
lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga
menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian
pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan substansi surfaktan. Hal ini akan berlangsung
terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.
Surfaktan dihasilkan oleh sel epitel alveolus tipe II. Badan lamelar
spesifik, yaitu organel yang mengandung gulungan fosfolipid dan terikat
pada membran sel, dibentuk dalam sel-sel tersebut dan disekresikan ke
dalam lumen alveolus secara eksositosis. Tabung lipid yang disebut mielin
tubular dibentuk dari tonjolan badan, dan mielin tubular selanjutnya
membentuk lapisan fosfolipid.Sebagian kompleks protein-lipid di dalam
surfaktan diambil ke dalam sel alveolus tipe II secara endositosis dan didaru-
ulang.
Ukuran dan jumlah badan inklusi pada sel tipe II akan meningkat
oleh pengaruh hormon tiroid, dan RDS lebih sering dijumpai serta lebih
parah pada bayi dengan kadar hormon tiroid plasma yang rendah
dibandingkan pada bayi dengan kadar hormon plasma normal. Proses
pematangan surfaktan dalam paru juga dipercepat oleh hormon
glukokortikoid. Menjelang umur kehamilan cukup bulan didapatkan
peningkatan kadar kortisol fetal dan maternal, serta jaringan parunya kaya
akan reseptor glukokortikoid. Selain itu, insulin menghambat penumpukan
SP-A dalam kultur jaringan paru janin manusia, dan didapatkan
hiperinsulinisme pada janin dari ibu yang menderita diabetes. Hal ini dapat
menerangkan terjadinya peningkatan insidens RDS pada bayi yang lahir dari
ibu yang menderita diabetes.
g) Gejala klinis
Bayi penderita penyakit membran hialin biasanya bayi kurang bulan
yang lahir dengan berat badan antara 1200 – 2000 g dengan masa gestasi
antara 30 – 36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan
lebih dari 2500 g dan masa gestasi lebih dari 38 minggu. Gejala klinis
biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir terutama
pada umur 6 – 8 jam. Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 24 – 72
jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami
perbaikan. Apabila membaik gejala biasanya menghilang pada akhir minggu
pertama.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atalektasis
dan perforasi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan
keadaan klinis seperti:
1) Dispnea atau hiperpnea
2) Sianosis
3) Retraksi suprasternal, epigastrium, intercostal
4) Rintihan saat ekspirasi (grunting)
5) Takipnea (frekuensi pernafasan . 60 x/menit)
6) Melemahnya udara napas yang masuk ke dalam paru
7) Mungkin pula terdengar bising jantung yang menandakan adanya duktur
arteriosus yang paten yang disertai pula timbulnya
8) Kardiomegali.
9) Bradikardi (pada PMH berat)
10) Hipotensi
11) Tonus otot menurun
12) Edem
Gejala PMH biasanya mencapai puncaknya pada hari ke-3.
Sesudahnya terjadi perbaikan perlahan-lahan. Perbaikan sering ditunjukan
dengan diuresis spontan dan kemampuan oksigenasi bayi dengan kadar
oksigenasi bayi yang lebih rendah.
Kelemahan jarang pada hari pertama sakit biasanya terjadi antara hari
ke-2 dan ke-3 dan disertai dengan kebocoran udara alveolar (emfisema
interstisial, pneumotoraks), perdarahan paru atau interventrikuler.
h) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto rontgen paru memegang peranan yang sangat
penting dalam menentukan diagnosis yang tepat. Disamping itu pemeriksaan
juga bermanfaat guna menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang
mempunyai gejala serupa seperti hernia diafragma, pneumotoraks dan lain-
lain. Pada permulaan penyakit gambaran foto paru mungkin tidak khas, tetapi
dengan berlanjutnya penyakit maka akan terlihat gambaran klasik yang
karakteristik untuk penyakit tersebut. Pada foto roentgen akan terlihat bercak
difus berupa infiltrat retikulogranular disertai adanya tabung-tabung udara
bronkus (air bronhcogram). Gambaran retikulogranular ini merupakan
manifestasi adanya kolaps alveolus sehingga apabila penyakit semakin berat
gambaran ini akan semakin jelas.
i) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melaluin beberapa penemuan:
1) Gejala klinis:
a) Dispnea
b) Merintih (grunting)
c) Takipne
d) Retraksi dinding toraks
e) Sianosis
f) Brakikardi (PMH berat)
g) Hipotensi
h) Hipotermi
i) Tonus otot menurun
j) Edem dorsal tangan/kaki
2) Gambaran radiologi:
Ditemukan bercak difus berupa infiltrat retikulogranuler dan air
bronchogram.
3) Laboratorium
a) Meningkatnya asam laktat dan asam organik lain > 45 mg/dl
b)Merendahnya bikarbonat standar
c) pH darah dibawah 7,2
d)PaO2 menurun
e) PaCO2 meninggi.
j). Penatalaksanaan
Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam
suasana fisiologik yang sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan
perkembangan paru dan organ lain, sehingga ia dapat mengadakan adaptasi
sendiri terhadap sekitarnya. Tergantung dari ringannya penyakit maka tindakan
yang dapat dilakukan terdiri dari tindakan umum dan tindakan khusus.
Tindakan umum ini terutama dilakukan pada penderita ringan atau
sebagai tindakan penunjang pada penderita ringan atau sebagai tindakan
penunjang pada penderita berat. Termasuk dalam tindakan ini adalah mengurangi
manipulasi terhadap penderita dan mengusahakan agar penderita ada dalam
suasana lingkungan yang paling optimal. Suhu bayi dijaga agar tetap normal
(36,3 – 37°C) dengan meletakkan bayi dalam inkubator antara 70 – 80%.
Makanan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan
intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian
cairan ini bertujuan untuk memberikan kalori yang cukup, menjaga agar bayi
tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan pengeluaran cairan melalui ginjal
dan mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama
biasanya cairan yang diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah
100 ml/KgBB/hari. Dengan pemberian secara ini diharapkan kalori yang
dibutuhkan (40 kkal/KgBB/hari) untuk mencegah katabolisme tubuh dapat
dipenuhi. Tergantung ada tidaknya asidosis, maka cairan yang diberikan dapat
pula berupa campuran glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dengan
perbandingan 4 : 1. Untuk hal ini pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh
perlu dilakukan secara sempurna. Disamping itu pemeriksaan elektrolit perlu
diperhatikan pula.
Tindakan khusus meliputi:
1) Pemberian O₂
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir.
Pemberian O₂ yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak
diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (retrolental fibroplasta) dan
lain-lain. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O₂ sebaiknya
diikuti dengan pemeriksaan tekanan O₂ arterial (PaO₂) secara teratur. Konsentrasi
O₂ yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan tekanan
PaO2₂antara 80 – 100 mmHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas
arterial tidak ada, O₂ dapat diberikan sampai gejala sianosis menghilang.
Pada MHD. yang berat, kadang-kadang perlu dilakukan ventilasi dengan
respirator. Cara ini disebut Intermitten Positive Pressure Ventilation (I.P.P.V.).
I.P.P.V. ini baru dikerjakan apabila pada pemeriksaan O₂ dengan konsentrasi
tinggi (100%), bayi tidak memperlihatkan perbaikan dan tetap menunjukkan :
PaO₂ kurang dari 50 mmHg, PaCO₂ lebih dari 70 mmHg dan masih sering terjadi
asphyxial attact walaupun kemungkinan hipotermia, hipoglikemia dan acidosis
metabolik telah disingkirkan. Pemberian O₂ dengan ventilasi aktif ini dapat
dilakukan pula dengan bermacam cara, misalnya pemberian O₂ secara hiperbasik,
intermittent negative pressure ventilation, nasopharyngeal tube ventilation dan
lain-lain.
2) Pemberian Antibiotika
Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk menegah
terjadinya infeksi sekunder. Antibiotik diberikan adalah yang mempunyai
spektrum luas penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hari) atau ampicilin (100
mg/KgBB/hari) dengan gentamisin (3-5 mg/KgBB/hari). Antibiotik diberikan
selama bayi mendapatkan cairan intravena sampai gejala gangguan nafas tidak
ditemukan lagi.
3) Pemberian Surfaktan Buatan
Pengobatan lain yang membuka harapan baru berdasar atas penelitian
Fujiwara (1980) dan Morley (1981). Surfaktan artifisial yang dibuat dari
dipalmitoilfosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol dengan perbandingan 7:3 telah
dapat mengobati penderita penyakit tersebut. Bayi tersebut diberi surfaktan
artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke dalam trakea
penderita. Akhir-akhir ini telah dapat dibuat surfaktan endogen yang berasal dari
cairan amnion manusia. Surfaktan ini disemprotkan ke dalam trakea dengan dosis
60 mg/KgBB. Walaupun cara pengobatan ini masih dalam taraf penelitian, tetapi
hasilnya telah memberikan harapan baru.
k). Pencegahan
1) Tindakan pencegahan utama sebenarnya adalah menghindari terjadinya kelahiran
bayi prematur.
2) Mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan lesitin dan
sfengomielin dalam cairan amnion bila perbandingan antara lesitin dan
sfengomielin kurang dari 2 maka berarti jumlah surfaktan pada penderita masih
kurang.
3) Pemberian kortikosteroid yang dilakukan pada persalinan prematur yang dapat
ditunda selama 48 jam yang biasa dipakai berupa kortisol dengan dosis 12
mg/hari diberikan 2 hari berturut-turut.
4) Pemberian satu dosis surfaktan ke dalam trakea bayi prematur segera sesudah
lahir atau selama umur 24 jam.
l).. Komplikasi
Komplikasi PMH dan perawatan intensif. Komplikasi paling serius intubasi
trakea adalah asfiksia karena obstruksi pipa, henti jantung selama intubasi atau
pengisapan, dan perkembangan selanjutnya yaitu stenosis subglotis. Komplikasi
lain meliputi perdarahan dari trauma selama intubasi, pseudodivertikula faring
posterior, ekstubasi sukar shingga memerlukan trakeostomi, ulserasi lubang
hidung akibat tekanan pipa, penyempitan permanen pada lubang hidung karena
cedera jaringan dan parut akibat iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum,
penarikan plika vokalis, ulkus laring, papiloma plika vokalis dan serak persisten,
stridor atau edema.Komplikasi yang dapat terjadi akibat PMH adalah:
1) Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf pusat
terutama sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi yang kadang-
kadang disertai renjatan. Faktor tersebut dapat membuka nekrosis iskemik,
terutama pada pembuluh darah kapiler di daerah periventrikular dan dapat
juga di ganglia basalis dan jaringan otak.
2) Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apneu,
gerakan bola mata yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang
neonatus lainnya.
3) Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul pada
bayi yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2 dengan
tekanan yang tidak terkontrol baik, mungkin menyebabkan pecahnya alveolus
sehingga udara pernafasan yang memasuki rongga-ronga toraks atau rongga
mediastinum.
4) Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan keadaan
payah jantung yang sulit untuk ditanggulangi.
m). Prognosis
Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya
penyakit. Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3
atau ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna. Pada penderita
yang lanjut mortalitas diperkirakan 20-40 %. Dengan perawatan yang intensif
dan cara pengobatan terbaru mortalitas ini dapat menurun. Prognosis jangka
panjang sulit diramalkan. Kelainan yang timbul dikemudian hari lebih cenderung
disebabkan komplikasi pengobatan yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya
sendiri. Pada fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup
dari PMH, prognosisnya sangat baik.
Keseluruhan mortalitas bayi BBLR yang dirujuk ke pusat perawatan
intensif maupun secara mantap; sekitar 75% dari mereka yang berada di bawah
1.000 g bertahan hidup, dan mortalitas secara progresif menurun pada berat
badan yang lebih tinggi, dengan lebih dari 95% bayi sakit yang bertahan hidup
beratnya lebih dari 2.500 g. walaupun 85 - 90% dari semua bayi PMH, yang
bertahan hidup setelah mendapat dukungan ventilasi dengan respirator adalah
normal, harapan yang ada pada mereka yang beratnya diatas 1.500 g adalah jauh
lebih baik; sekitar 80% dari mereka yang beratnya dibawah 1.500 g tidak
mengalami sekuele neurologis atau mental. Prognosis jangka panjang untuk
tercapainya fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi PMH yang berahan
hidup adalah sangat baik. Namun bayi yang berhasil bertahan hidup dari
kegagalan pernapasan neonatus yang berat dapat mengalami gangguan paru dan
perkembangan saraf yang berarti.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Detak jantung lemah pada janin merupakan indikasi dari seksio sesarea.
2. Tes APGAR merupakan tes yang dilakukan untuk skrining bayi baru lahir
untuk memastikan kondisi neonatus baik atau memerlukan perawatan lebih
intensif.
3. Resusitasi dilakukan untuk meningkatkan skor APGAR, jika resusitasi gagal
maka neonatus dipindahkan ke ruang NICU.
B. Saran
1. Agar bayi yang dilahirkan sehat, perlu diperhatikan gizi ibu saat dan sebelum
hamil.
2. Kegawatdaruratan neonatus harus benar-benar diperhatikan tenaga medis
karena dapat berakibat kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Purwadianto : Kedaruratan bayi baru lahir, kedaruratan rnedis pedoman
penatalaksaan praktis, edisi revisi : 2000, hal. 223-228, 2000.
Arif Mansjoer, Suprahaito, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. Penyakit
Membran Hialin, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Edisi 3, Media
Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000, hal. 507-508
Asril Aminullah & Arwin Akib. Penyakit membran Hialin, dalam Markum
(editor), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
Dorland, W.A.Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Hardiono Dipusponegoro: Asfiksia neonatarum, standar pelayanan medls
kesahatan anak, edisi I : 212-276, IDAI 2004.
Hassan, Rusepno dan Husein Alatas (editor).2005.Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan
Anak.Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A (2010). Buku Ajar
Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Lowell A. Glasgow & James C.Over all JR. IRDS dalam Behrman & Vaughan
(editor), Nelson Textbook of Pediatric, 12th edition, EGC, Jakarta, 1988.
Lucile packard children’s Hospital at Stanford. High Risk Newborn Hyaline
membrane disease/Respiratory Distress Syndrome, USA.
Mansjoer A : Asfiksia neonatus, kapita selekta kedokteran edisi kedua, jilid 2:
502-503, penerbit Aesculapius FKUI, 2000.
M. Soleh Kosim: Manajemen asfiksia neonatorum: buku panduan manajemen
masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di RS, IDAI, 2003.
Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI : Asfiksia neonatorum : buku kuliah :
1072 – 1801, cetakan 2002.
Waldemar Carlo. Sindrom Distress Respirasi, dalam Klaus & Fanaroff (editor),
Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi, 4th Edition, EGC, Jakarta, 1998, hal.
286-289.
William F. Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17, editor M.
Djauhari Widjajakusumah, EGC, Jakarta, 1998.
top related