bab i,ii & iii fix
Post on 10-Apr-2016
261 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah serangkaian kejadian
patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan setiap
komponen yang ada, mulai dari kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta
rujukan yang terlambat.1
Trauma kapitis merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif,
psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan
oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari
bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak.2 Secara global
insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan
penggunaan kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020
kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga
terbanyak di dunia.3
Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000
populasi.5 Insiden cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per
100.000 pasien per tahun.6 Langlois et al mendapatkan bahwa lebih dari 1,1 juta
orang di Amerika Serikat menderita cedera kepala setiap tahunnya.7 Gururaj et al
pada tahun 2004 mendapatkan bahwa insiden cedera kepala di India setiap
tahunnya adalah 160 per 100.000 populasi.2
1
Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai
cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera
kepala berat.
Trauma kapitis dikategorikan menjadi 3 berdasarkan nilai Glaslow Coma
Scale (GCS), yaitu cedera kepala ringan (CKR) apabila skor GCS 13-15, cedera
kepala sedang (CKS) dengan GCS 9-12, dan cedera kepala berat (CKB) dengan
GCS ≤ 8.4
Glasgow coma scale (GCS) merupakan salah satu komponen yang
digunakan sebagai acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis
umum untuk pasien cedera kepala.1 Cedera kepala dikelompokkan menjadi
ringan, sedang dan berat berdasarkan tingkat kesadaran menurut skor GCS, cedera
kepala ringan (CKR) jika GCS 14–15, cedera kepala sedang (CKS) jika GCS 9–
13, dan cedera kepala berat (CKB) jika GCS 3.3
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat.9
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Trauma Kapitis
Trauma kapitis adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik.5 Trauma secara langsung dan tidak langsung mengakibatkan luka di
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.6
2.2. Anatomi
1. Kulit Kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapis jaringan yang disingkat
sebagai SCALP, yaitu :
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika à jaringan ikat berhubungan
langsung dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar à Merupakan
tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikarnium dan merupakan tempat tertimbunnya darah
hematoma subgaleal.7 Galea aponeurotika suatu jaringan fibrosa
padat dapat digerakkan dengan bebas yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu
lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung
pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar
mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah
3
yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di
bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa
infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak.8
2. Tulang Tengkorak
Gambar 1. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Khusus di regio temporal, kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak sat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
4
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa, yaitu fosa anterior, fosa
media dan fosa posterior. Fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruan untuk
bagian bawah batang otak dan otak kecil (serebelum).7
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang
tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang terdiri dari dua
dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding
luar disebut tabula interna. Tabula interna mengandung alur-alur yang
berisikan arteria meningea anterior, media dan posterior. Apabila
terjadi fraktur tulang tengkorak menyebabkan terobeknya salah satu
dari arteria-arteria ini, perdarahan arterial.8
3. Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
1. Durameter
Dura adalah membran luar yang semitranslusen, dan tidak
elastis yang berfungsi untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus
vena yang terdiri atas dura mater, lapisan endotelial tanpa jaringan
vaskular, dan membentuk poriestum tabula interna. Dura melekat erat
dengan permukaan dalam tengkorak. Dura mempunyai suplai darah
yang kaya. Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea
media yang bercabang dari arteria vertebralis dan karotis interna dan
menyuplai fosa anterior. Arteria meningea posterior yaitu cabang dari
arteria oksipitalis, menyuplai darah ke fosa posterior.8
Durameter merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa
melekat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium namun
tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat
ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara
durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris
tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan serta
5
menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk
2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus
sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi
aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat menyebabkan
infark vena dan kenaikan tekanan intracranial. Arteri-arteri meningea
terletak pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat
menimbulkan perdarahan epidural.7
2. Arachnoid
Di dekat dura tetapi tidak menempel langsung adalah membran
halus, fibrosa, dan elastis yang dikenal sebagai araknoid. Membran ini
tidak melekat pada dura meter, tetapi ruangan antara dura dan
araknoid (ruang subdural) merupakan ruang yang potensial.8
3. Piameter
Piamater adalah suatu membran halus yang sangat kaya dengan
pembuluh darah halus. Pia mater merupakan satu-satunya lapisan
meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus
semua girus. Pada beberapa fisura dan sulkus disisi medial hemisfer
otak, pia mater membentuk sawar antar ventrikel dan sulkus atau
fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokonh dari pleksus
koroideus pada setiap ventrikel.8 Lapisan ini melekat pada permukaan
korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara arachnoid
dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat
pecahnya aneurysma intra cranial.7
4. Otak
1. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis
superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara yang bekerja dengan
6
tangan kanan. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut
dengan hemisfer dominan.
2. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam
fosa posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan
kedua hemisfer serebri.Serebelum bertanggungjawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior,
membentuk hubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan
akhirnya dengan kedua hemisfer serebri.
3. Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang
memanjang sampai medulla spinalis. Mesensefalon (midbrain) dan
pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik berada di
medulla oblongata. Lesi kecil yang terjadi pada batang otak sudah
dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. 7
Gambar 2. Anatomi Otak
5. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per
menit atau sekitar 500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh
oleh pleksus koroideus yang terdapat pada ventrikel lateralis dan
7
ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan ventrikel III pada
orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada
orang dewasa sekitar 120 mL. Cairan serebrospinal setelah diproduksi
oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian
melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III ,
kemudian masuk ke dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii,
setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1 foramen
Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid,
melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian
masuk ke aliran vena.
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan
serebrospinal melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila
terdapat produksi cairan serebrospinal yang berlebihan, peningkatan
hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus. Mekanisme
kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural
absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles.
Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal
horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus
callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan
dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga
fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction). 8
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
1. Supratentorial terdiri fosa kranii anterior dan media
2. Infratentorial berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan
batang otak (pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah
tentorium serebeli disebut insisura tentorial. Nervus okulomotorius
(NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau edema
otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk kontraksi
8
pupil mata berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini
disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan
berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah. Dilatasi
pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik
herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi
yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu.7
2.3. Fisiologi
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah,
dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume
tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar
50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan
normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-
hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh
lebih tinggi dari normal.Ruang intra kranial adalah suatu ruangan
kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak
dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75
ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu
dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat
meluas sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar,
dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi
volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intra
kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi
parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis
dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan
TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan
kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak
9
ke arah bawah (herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme
terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila
peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak
efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian
neuronal.7
2.4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan
cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup.
Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi
lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala
bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edemaotak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.8
2.5. Etiologi
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
10
2. Cedera akibat kekerasan.
3. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak.
4. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
5. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam
2.6. Klasifikasi Trauma Kapitis
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus.
Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus
disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu
membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan
berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada
penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan
sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka
penderita cedera otak dengan nilai GCS 9- 13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
11
Tabel 2.1. Glasglow Coma Scale
Jenis pemeriksaan Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, berorientasi
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tidak ada reaksi
5
4
3
2
1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi normal
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada reaksi
6
5
4
3
2
1
Tabel 2.2. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury
Ringan
(commotio cerebri)
Kehilangan kesadaran < 20 menit atau
sadar
Orientasi baik/transient
Defisit neurologis (-)/refleks patologis (-)
Gejala subjektif : cepalgia, nausea, vomitus
(+)
12
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13 – 15
Sedang
(conusio cerebri)
Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36
jam
Samnolen, dapat mengikuti perintah
sederhana
Defisit neurologis (+): refleks patologis
babynski (+)
Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan ≤ 7
hari
GCS = 9 - 12
Berat
(contusio cerebri)
Kehilangan kesadaran > 36 jam
Tidak bisa mengikuti perintah sederhana
Bicara kacau
Dapat melokalisir rangsang, kadang tidak
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3 – 8
3. Morfologi
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window”
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala
dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya
fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan
bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
13
2. Lesi Intra Kranial
a. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan
normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi,
penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang
berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena
syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi
segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering
menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan
batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal
istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan
trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian
secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson
dan terlihat pada manifestasi klinisnya.
b. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam
rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau
temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang
tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya
salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus
venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini
sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala
yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa
sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi
yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah
tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan
terjadi anisokori pupil.
14
c. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada
perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya
vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih
buruk dibandingkan perdarahan epidural.
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea.
Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan
(bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak
dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya
arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh
tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada
gangguan psikis, kesadaran penderita semakin menurun,
terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan
edema papil.
Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya
gejala klinis.
1. Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma.
Perdarahan dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar
luas.
2. Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah
trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsul disekitarnya.
3. Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan
setelah trauma. Kapsula jaringan ikat mengelilingi
15
hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah
yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh
darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam
kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat
mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.
d. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi
di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan
intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
a. Hemiplegi
b. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium
yang meningkat.
c. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan
dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran
cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.7
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma
kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka
pendek. menilai ada tidaknya perdarahan, edema serebri dan kelainan
morfologi lain (bila memungkinkan)
16
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan
sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Rontgen tengkorak 3 posisi untuk melihat ada tidaknya fraktur pada
tulang tengkorak
2.8. Diagnosa
1. Diagnosa trauma kapitis dapat dilihat berdasarkan ada atau tidaknya
riwayat trauma kapitis
2. Gejala-gejala klinis : Interval lucid, peningkatan TIK, gejala laterlisasi
3. Pemeriksaan penunjang.
2.9. Komplikasi
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya
nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya
tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang
memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran
menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada
sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan
akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah
tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
17
o Gejala lateralisasi → hemiparese
Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala
didapati hematoma subkutan
Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil
melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai
tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis,
refleks tendon meninggi dan refleks patologik positif.
CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
LCS : jernih
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi)
dan pengikatan pembuluh darah.
2. Hematom subdural
Letak : di bawah duramater
Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging
veins dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari
pertama
o Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
o Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
o Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna
dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak
dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)
o Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan
dalam otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom.
Penanganan subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-
dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri
kortikal, terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral
18
akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan
kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput
dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan
pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan
manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang
terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama
pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa
commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi
mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga
tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat
meninggi.
TIK meningkat
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII
dan gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese.
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi
berkurang, libido menurun, mudah tersinggung, sakit kepala,
kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya:
menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan
depresi.
2.10. Penatalaksanaan
1. Cedera Kepala Ringan
Perawatan selama 3-5 hari
Mobilisasi bertahap
19
Terapi simptomatik
Observasi tanda vital
2. Cedera Kepala Sedang
Perawatan selama 7-10 hari
Anti cerebral edem
Anti perdarahan
Simptomatik
Neurotropik
Operasi jika ada komplikasi
3. Cedera Kepala Berat
Seperti pada CKS
Primary Survey dan resusitasi
Antibiotik dosis tinggi
Konsultasi bedah saraf
Terapi Medikamentosa
1. Cairan Intravena
Diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan mempertahankan
normovolemia. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah cairan
ringer laktat atau garam fisiologis.
2. Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu
tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau
lebioh. Hiperventilasi dalam waktu singkat antara 25-30 mmHg.
3. Manitol
Digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang
meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi
20%. Dosis diberikan 0,25-1 g/KgBB. Manitol dalam dosis tinggi
20
jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol
merupaka diuretik osmotik yang potensial. Adanya perburukan yang
akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan
kesadaran merupakan indikasi kuat pemberian manitol dengan dosis
pemberian bolus manitol 1 g/KgBB yang diberikan secara cepat dalam
waktu 5 menit.
4. Furosemid
Digunakan untuk membuang cairan berlebih di dalam tubuh. Cairan
berlebih yang menumpuk di dalam tubuh dapat menyebabkan sesak
napas. Supportive measures pada edema otak. Mekanisme kerja
furosemida adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel
tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium,
klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal.
5. Steroid
Steroid diberikan untuk mengendalikan kenaikan TIK maupun
memperbaiki cedera otak berat.
6. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang sulit diturunkan oleh obat-
obat lain. Tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan keadaan
hipotensi atau hipovolemia.
7. Antikejang. 7
kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula
berikan diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai
3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin
15 mg/kgBB diberikan iv perlahan-lahan dengan kecepatan tidak
melebihi 50 mg/menit.
2.11. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat
trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :
21
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa
terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor
yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas,
memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa
terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan
beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain
merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna
menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway
menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa
kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan
mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena
aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan
nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan
penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing,
sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya
terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.
Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam
mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan
dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
22
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada
tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala
dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi
dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan
pemberian transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena
penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya
komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita
cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi
kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier
ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis
bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala
akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi
secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
2.12. Prognosis
Semua pasien harus mendapat terapi agresif sambil menunggu
konsultasi dengan ahli bedah saraf. Terutama sekali pada pasien anak-anak
yang memilikidaya pemulihan sangat baik walaupun cederanya terlihat
sangat berat.
BAB III
KESIMPULAN
1. Trauma kapitis adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
23
2. Trauma secara langsung dan tidak langsung mengakibatkan luka di kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.3. Trauma kapitis dikategorikan menjadi 3 berdasarkan nilai Glaslow Coma
Scale (GCS), yaitu cedera kepala ringan (CKR) apabila skor GCS 13-15,
cedera kepala sedang (CKS) dengan GCS 9-12, dan cedera kepala berat
(CKB) dengan GCS ≤ 8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price Sylvia A. Lorraine M. Wilson.2005. Patofiisologi Konsep Klinis Proses Penyakit. EGC. Jakarta, Indonesia, Jakarta.
2. Hendry Irawan, Felicia Setiawan, Dewi, dan Georgius Dewanto. 2010. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya, Jakarta.
24
3. Nurfaise, M. Zainuddin, dan Arif Wicaksono 2012. Hubungan Derajat Cidera Kepala dan Gambaran Ct-Scan pada Penderita Cedera Kepala di RSU Dr. Soedarso Periode Mei-Juli 2012. Medical School, Faculty of Medicine, Universitas Tanjungpura, Pontianak, West Kalimantan.
4. Andi Ebiet Krisandi, Wasisto Utomo, dan Ganis Indriati. 2013. Gambaran Status Kognitif Pada Pasien Cedera Kepala Yang Telah Diizinkan Pulang Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.(http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4764/JURNAL%20ANDI%20EBIET%20KRISANDI.pdf?sequence=1, Diakses 2 Desember 2015).
5. Langlois, Rutland-Brown, Thomas. 2003. Incidence of traumatic brain injury in the United States. US National Library of Medicine National Institutes of Health. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17122685, Diakses tanggal 1 Desember 2015).
6. Utama, Herry SY. 2012. Diagnosis and Treatment of Head Injury. (www.herryyudha.com/2012/07/cidera-kepala-diagnosis-dan.html, Diakses 2 Desember 2015).
7. American Collage of Surgeons. 2008. Advance Trauma Life Suport For Doctors. United States of America.
8. Hickey JV. 2003. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkin.
9. Nasution Syahrul Hamidi. 2014. Mild Head Injury. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Medula, vol 2 (4).
25
top related