agus lahmudin_d2006.pdf

54
PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN PENGERING SEMPROT SKRIPSI AGUS LAHMUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Upload: duongkhuong

Post on 12-Jan-2017

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN PENGERING SEMPROT

SKRIPSI

AGUS LAHMUDIN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Page 2: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN PENGERING SEMPROT

AGUS LAHMUDIN

D14201019

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Page 3: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN PENGERING SEMPROT

Oleh

AGUS LAHMUDIN

D14201019

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Oktober 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu HS, M.S. NIP. 132 206 246 NIP. 131 415 133

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc. NIP. 131 624 188

Page 4: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

RINGKASAN

AGUS LAHMUDIN. D14201019. 2006. Proses Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Pengering Semprot. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Zakiah Wulandari, S.TP., M. Si. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., M.S.

Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat ovomucin dalam sejumlah larutan protein globular. Putih telur mempunyai kadar protein yang tinggi dan merupakan bahan makanan yang mudah rusak. Pengawetan dengan cara pengeringan semprot merupakan salah satu cara yang dapat diaplikasikan untuk mempertahankan kualitas. Hasil pengeringan dengan spray drying berupa tepung. Keuntungan bentuk tepung tersebut diantaranya adalah lebih awet dan volume lebih kecil sehingga menghemat ruang penyimpanan dan transportasi.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik pada proses pembutan tepung putih telur dan mengetahui sifat fisik serta sifat fungsional tepung putih telur pada perlakuan. Perlakuan penelitian meliputi putih telur murni, putih telur + 0,3% ragi roti dan putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari berat putih telur. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) persiapan bahan baku, (2) penentuan suhu pengering semprot dan (3) proses pembuatan tepung putih telur.

Pengeringan putih telur pada penelitian ini dengan menggunakan alat spray dryer merk Buchi Tipe-190 dan suhu pengeringan yang digunakan adalah inlet 160 0C, 170 0C dan 180 0C. Secara deskriptif diperoleh hasil bahwa suhu pengeringan yang baik adalah suhu inlet 180 0C dan suhu outlet 86-96 0C, karena menghasilkan produk tepung yang kering dan tekstur yang halus.

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) pada peubah yang diamati seperti rendemen total, rendemen halus, rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan, sedangkan pH setelah pengeringan, kadar air, kelarutan tepung, nilai kecerahan (nilai L), daya busa dan stabilitas busa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan tepung putih telur terbaik diperoleh dari perlakuan: (putih telur dengan penambahan 0,3% ragi roti) dan (putih telur dengan penambahan 0,3% ragi roti dan 4% maltodekstrin dari berat putih telur).

Kata-kata kunci: Pengering semprot, fermentasi, maltodekstrin, tepung putih telur

Page 5: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

ABSTRACT

The Making of Albumen Powder with Spray Dryer

Lahmudin, A., Z. Wulandari, I. Rahayu

Albumen is a protein system which consist of ovomucin fibre in a number of globular protein solution. Albumen have a high protein rate and as a perishable food. The preservative with spray drying is a method could be applicated to maintain the quality. Drying result by spray drying is a powder. The advantage of powder form are more preservative and less volume so that economically save the storage room and transfortation. Research objective is to determine the best treatment of making albumen powder and to know physical and functional of albumen at the treatment. Research treatment include pure albumen, albumen + 0.3% yeast and albumen + 0.3% yeast + 0.4% maltodextrin from albumen weight. Research was divided to tree stage: (1) material preparation, (2) spray drying temperature determination and (3) the making of albumen powder. Albumen drying at this research using spray dryer Buchi Tipe-190 and drying temperature are inlet 160 0C, 170 0C and 180 0C. Descriptively, from this research a good drying temperature were inlet 180 0C and outlet temperature 86-96 0C, because producing dry powder and soft texture. According to variance analysis, the treatment value show a significant difference (P<0.05) to the examine indicator such as total rendemen, soft rendemen, rough rendemen and pH before drying, while, pH after drying, water rate, powder solution, lighness (L value), foam capacity and foam stability treatment didn’t gave a significant value (P>0.05). According to research result, the best making of albumen powder got from treatment: (albumen with 0.3% yeast) and (albumen with 0.3% yeast and 4% maltodextrin from albumen weight).

Keywords : spray dryer, fermentation, maltodextrin, albumen powder

Page 6: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1982 di Sukabumi, Jawa Barat.

Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Asep Saepudin,

S.Pd. dan Ibu Nanih.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SDN

Gunung Geulis. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan

penulis di SLTPN 1 Cisolok pada tahun 1998 dan pendidikan SMU diselesaikan

penulis pada tahun 2001 di SMUN 1 Pelabuhan Ratu. Tahun 2001, penulis mendapat

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Teknologi Hasil Ternak

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan.

Selama mengikuti pendidikan Penulis, aktif sebagai pengurus di berbagai

organisasi intern kampus seperti : UKM Koperasi Mahasiswa IPB tahun 2003-2006

dan LISES Gentra Kaheman IPB tahun 2003-2006. Penulis juga pernah bekerja

sebagai manajer di KOPMA IPB tahun 2005-2006 dan menjadi asisten mata kuliah

Dasar-dasar Teknologi Hasil Ternak.

Page 7: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas

segala nikmat yang telah dikcurahkan sehingga Penulis memperoleh kemudahan

dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Proses

Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Spray Drying” dibimbing oleh

Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., MS.

Skripsi ini membahas mengenai penentuan perlakuan terbaik pada proses

pembuatan tepung putih telur dan proses pembuatan tepung putih telur pada putih

telur murni, putih telur ditambah ragi roti dan putih telur dengan penambahan ragi

roti dan maltodekstrin dengan metode spray drying. Penggunaan ragi roti pada

proses pembuatan tepung putih telur bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi

Maillard (pencoklatan) pada saat proses pengeringan dan penggunaan maltodekstrin

juga bertujuan sebagai bahan pengisi dan membantu mengurangi proses pencoklatan.

Penulis berharap, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan nilai tambah khususnya

bagi Penulis dan para pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2006

Penulis

Page 8: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN i

ABSTRACT ii

RIWAYAT HIDUP iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Tujuan 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Telur Ayam 3 Putih Telur 5 Sifat Fisiko Kimia Putih Telur 6

Dispersi Protein 7 Daya Busa 7 Koagulasi 9

Fermentasi Putih Telur 10 Pengeringan 11

Spray Drying 12 Pengeringan Telur Ayam 13

Maltodekstrin 14

METODE 16

Lokasi dan Waktu 16 Materi 16 Rancangan 16

Perlakuan 16 Model 17 Peubah 17 Analisis Data 19

Prosedur 19 Persiapan Bahan Baku 19 Penelitian Pendahuluan 20 Penelitian Utama 22

Page 9: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Penelitian Pendahuluan 24 Penentuan Suhu Pengering Semprot 24

Penelitian Utama 24 Proses Pembutan Tepung Putih Telur 24

Rendemen 25 pH 26 Kadar Air 27 Kelarutan Tepung 28 Nilai Kecerahan 29 Daya Busa 29 Stabilitas Busa 30

Penentuan Perlakuan Terbaik 31

KESIMPULAN DAN SARAN 32

Kesimpulan 32 Saran 32

UCAPAN TERIMA KASIH 33

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 38

Page 10: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan) 3

2. Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur 6

3. Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung Kuning Telur (nilai dalam %) 14

4. Karakteristik Maltodekstrin 15

5. Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida 15

6. Macam Suhu Inlet dan Outlet pada Pengering Semprot 21

7. Formulasi Perlakuan Pembutan Tepung Putih Telur (dalam 100 g berat putih telur) 21

8. Penentuan Nilai Skoring Berdasarkan Standar Produk Tepung Putih Telur 23

9. Keadaan Bubuk Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet 24

10. Rendemen Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet 24

11. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fisik Tepung Putih Telur 25

12. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fungsional Tepung Putih Telur 29

13. Rekapitulasi Hasil Analisis dan Nilai Skoring 32

Page 11: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Susunan Telur Ayam dilihat dari Samping Memanjang 4

2. Poses Pembentukan Busa 8

3. Alat Pengering Semprot 21

4. Bagan Proses Pembuatan Tepung Putih Telur 22

5. Histogram Hubungan antara Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur dengan pH sebelum Pengeringan 27

Page 12: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Rendemen Total 39

2. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Rendemen Halus 39

3. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Rendemen Kasar 39

4. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap pH sebelum Pengeringan 40

5. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap pH setelah Pengeringan 40

6. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Kadar Air 40

7. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Kelarutan Bubuk 41

8. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Nilai Kecerahan (L) 41

9. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Daya Busa 41

10. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Stabilitas Busa 41

11. Pengering Semprot (Spray Dryer) Tipe Buchi 190 41

12. Tepung Putih Telur Perlakuan A 42

13. Tepung Putih Telur Perlakuan B 42

14. Tepung Putih Telur Perlakuan C 42

Page 13: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi

tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh

manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi. Telur

dibagi menjadi tiga bagian yaitu : putih telur, kuning telur dan kerabang telur. Putih

telur merupakan bagian yang bersifat cair kental dan tidak berwarna pada telur segar,

yang juga merupakan sistem protein yang terdiri dari serat-serat ovomucin didalam

sejumlah larutan protein globular. kuning telur merupakan bagian telur yang

berfungsi untuk perkembangan embrio karena mengandung zat gizi tinggi.

Telur dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat sebagai bahan pangan

karena kandungan gizinya yang tinggi, selain itu juga telur dikonsumsi sebagai bahan

non pangan. Sebagai bahan non pangan penggunaan telur dalam berbagai bidang

kehidupan, diantaranya bidang biologi (kultur media dan inseminasi buatan); bidang

industri (industri penyamakan kulit dan kosmetik); bidang pertanian (fertilizer) dan

bidang peternakan (pakan). Pada industri makanan, telur merupakan ingredient alami

yang penting pada proses pengolahan suatu produk karena telur mempunyai

beberapa sifat fungsional seperti daya busa, daya koagulasi, daya emulsi, kontrol

kristalisasi serta memberikan efek terhadap warna. Pada proses pengolahan pangan,

putih telur umumnya digunakan untuk membuat produk-produk yang mementingkan

sifat koagulasi protein dan sifat pembentukan buih.

Mengingat kebutuhan akan putih telur dan kuning telur yang jumlahnya

sangat banyak, maka dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut terhadap telur tersebut

misalnya dengan cara pengeringan sehingga dihasilkan produk kering berupa tepung

putih telur, tepung kuning telur maupun tepung campuran antara putih telur dengan

kuning telur. Pembuatan tepung putih telur termasuk cara pengawetan telur. Tepung

putih telur tidak memungkinkan mikroba untuk tumbuh karena kadar airnya sangat

rendah.

Tepung putih telur dibuat berdasarkan proses pengeringan yang bertujuan

mengubah bentuk fisik putih telur dari bentuk cair menjadi bentuk padat. Tepung

putih telur sebagai salah satu bentuk olahan telur kering dapat memberikan beberapa

keuntungan, yaitu dapat memenuhi kebutuhan bahan pengganti putih telur segar

Page 14: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

untuk keperluan industri pangan, militer maupun keperluan rumah tangga.

Disamping itu putih telur mempunyai daya awet yang lebih lama, mengurangi ruang

dan biaya penyimpanan, mengurangi biaya transportasi, mempermudah komposisi

bahan dan persediaan bahan baku bagi industri pangan. Upaya untuk

mempertahankan sifat fisik dan sifat fungsional putih telur pada saat dikeringkan,

maka perlu ditambahkan fermipan untuk fermentasi yang dapat mencegah reaksi

pencoklatan pada produk akhir dan penambahan maltodekstrin sebagai bahan pengisi

dan melindungi produk akhir dari kerusakan.

Pemanfaatan tepung putih telur salah satunya dalam pembuatan produk

makanan yang membutuhkan daya buih tinggi contohnya adalah angel food cake.

Angel food cake merupakan cake yang dibuat tanpa menggunakan lemak dan hanya

menggunakan putih telur serta memiliki tekstur yang lebih kental dibandingkan

dengan roti. Pemanfaatan tepung putih telur dalam pembuatan angel food cake

merupakan salah satu alternatif mengganti penggunaan putih telur segar. Tepung

putih telur diharapkan mempunyai sifat daya dan stabilitas buih yang tidak jauh

berbeda dengan putih telur segar.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1) Menentukan perlakuan terbaik pada proses pembuatan tepung putih telur;

2) Mengetahui perubahan sifat fisik dan sifat fungsional tepung putih telur akibat

adanya penambahan ragi roti untuk fermentasi dan maltodekstrin sebagai bahan

pengisi.

2

Page 15: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

TINJAUAN PUSTAKA

Telur Ayam

Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi

tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh

manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi.

Komposisi kimia telur ayam menurut Romanoff dan Romanoff (1963), terdiri dari air

(73,6%), protein (12,8%), lemak (11,8%), karbohidrat (1,0%) dan komponen lain

(0,8%). Komposisi kimia telur ayam ras dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)

Komposisi Kimia Telur Ayam Segar

Telur Utuh Putih Telur Kuning Telur

Kalori (Kal) 159,0 52,0 332,0

Air (g) 72,9 86,7 52,0

Protein (g) 13,2 10,9 14,8

Lemak (g) 11,1 0,4 29,5

Karbohidrat (g) 1,5 1,3 1,9

Kalsium (mg) 56,0 10,0 133,0

Fosfor (mg) 200,0 14,0 482,0

Vitamin A (SI) 327,0 0,0 630,0

Sumber : ASEANFOOD (2000)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen kimia telur terbesar

adalah air diikuti protein, lemak, abu dan karbohidrat. Komposisi antara putih telur

dan kuning telur terlihat jauh berbeda, terutama pada kandungan lemaknya. Selain

lemak, kuning telur mengandung banyak vitamin-vitamin yang larut lemak dan

phospolipid, termasuk lesitin yaitu zat pengemulsi. Pada putih telur air membentuk

dispersi koloidal bersama protein telur, sedangkan pada kuning telur air membentuk

emulsi bersama lemak (Panda 1996).

Telur ayam terdiri dari tiga bagian utama yaitu kerabang telur ± 11%, putih

telur (albumen) ± 57% dan kuning telur ± 32% (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Bagian-bagian tersebut masih dibagi lagi dalam beberapa lapisan telur (Gambar 1 ).

Page 16: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Lapisan luar albumen

Inti “pander”

Membrana vitelina

Blastoderm

Lapisan kental albumen Lapisan dalam albumen

Lapisan khalaziferous

Ligamentum albumen

Khalaza

Lapisan kuning dari Kuning telur

Lapisan putih dari Kuning telur

Kutikula

Gambar 1. Susunan Telur Ayam dilihat dari Samping Memanjang (Romanoff dan Romanoff, 1963)

Kulit telur

khalaza

Ligamentum albumen

Rongga udara

Membrana kulit telur

Selaput membrana

latebra

Penghubung latebra

4

Page 17: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Menurut Stadelman dan Cotterill (1977), kerabang telur terdiri dari empat

lapisan yaitu kutikula, spongiosa (bunga karang), mamilaris dan membran kerabang

telur. Kerabang telur terdiri dari dua bahan yang berbeda yaitu matriks organik dan

garam-garam anorganik dengan perbandingan 1:5. Matriks organik adalah serabut-

serabut protein yang terjalin membentuk jala, sedangkan bahan-bahan anorganik

yang berbentuk kristal diikat didalam jala-jala tersebut. Lapisan membran juga terdiri

dari serabut-serabut protein yang terjalin membentuk jala (Romanoff dan Romanoff,

1963).

Menurut Powrie (1973), putih telur merupakan bagian yang bersifat cair

kental dan tidak berwarna pada telur segar, putih telur terdiri empat lapisan yaitu

lapisan encer bagian luar (23,3%), lapisan kental (57,3%), lapisan encer dalam

(16,8%) dan kalaza (2,7%). Bagian putih telur diikat dengan bagian kuning telur oleh

kalaza, yaitu serabut-serabut protein berbentuk spiral yang disebut mucin.

Kuning telur merupakan bagian telur yang mengandung zat gizi tinggi

karena berfungsi sebagai makanan untuk perkembangan embrio (Stevenson dan

Miler, 1986). Kuning telur terletak dibagian tengah telur dan dibungkus oleh suatu

lapisan tipis yaitu membran vitelin yang terdiri dari keratin (Romanoff dan

Romanoff, 1963).

Putih Telur

Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat

ovomucin didalam sejumlah larutan protein globular. Komposisi protein pada setiap

lapisan putih telur berbeda pada kandungan ovomucinnya (Forsythe dan Foster,

1949). Di dalam putih telur, protein merupakan salah satu komponen yang terdapat

dalam jumlah besar. Beberapa jenis protein yang dikenal antara lain adalah

ovalbumin, conalbumin, globulin (G1, G2 dan G3), ovomucoid, falvoprotein,

ovoglikoprotein, ovomakroglobulin, ovoinhibitor dan avidin. Jenis-jenis protein

putih telur, sifat dan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Powrie dan

Nakai (1985), karbohidrat terdapat dalam bentuk kompleks dengan protein maupun

dalam keadaan bebas, sekitar 98% karbohidrat bebas pada putih telur adalah glukosa,

sedangkan pada kuning telur terkandung karbohidrat sebanyak 1,0%. Romanoff dan

Romanoff (1963) juga menyatakan bahwa karbohidrat yang terdapat dalam putih

5

Page 18: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

telur dapat dalam bentuk bebas maupun berikatan dengan protein membentuk

glikoprotein.

Tabel 2. Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur*

Jenis Jumlah (%) Titik Isoelektrik

Berat Molekul Karakteristik

Ovalbumin 54,0 4,6 45.000 Phospoglikoprotein

Conalbumin 13,0 6,6 80.000 mengikat Fe (logam lain)

Ovomucoid 11,0 3,9-4,3 28.000 menghambat Tripsin

Lysozym (G1-globulin)

3,5 10,7 14.600 menguraikan bakteri

G2-globulin 4,0 5,5 30.000-45.000 -

G3-globulin 4,0 5,8 - -

Ovomucin 1,5 - - Sialoprotein

Flavoprotein 0,8 4,1 35.000 mengikat

Riboflavin

Ovoglikoprotein 0,5 3,9 24.000 Sialoprotein

Ovomakroglobulin 0,5 4,5-4,7 760.000-900.000

menghambat beberapa protease

Avidin 0,05 9,5 53.000 mengikat Biotin

Sumber :*Powrie (1973)

Sejumlah karbohidrat umumnya terdapat sebagai glukosa sebanyak 0,4% dari

total putih telur dan 0,5% dari putih telur terdapat dalam bentuk glikoprotein yang

mengandung unit-unit galaktosa dan manosa. Sedangkan kuning telur mengandung

karbohidrat bebas sebanyak 70% dan yang berkombinasi dengan protein sebanyak

0,3%. Jenis karbohidrat yang berikatan dengan protein pada kuning telur adalah

manosa glukosamin polysakarida (Powrie dan Nakai, 1985).

Sifat Fisikokimia Putih Telur

Putih telur mempunyai sifat fisikokimia yang berguna dalam pengolahan

pangan. Sifat-sifat tersebut meliputi dispersi protein, daya busa dan koagulasi.

6

Page 19: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Dispersi Protein

Putih telur mengandung protein ovalbumin, ovoconalbumin, ovoglobulin,

ovomucin dan ovomucoid (Romanoff dan Romanoff, 1963). Molekul-molekul

protein tersebut ada yang termasuk protein globular yang larut dalam air atau media

cair, beberapa dalam air murni dan sebagian lagi dalam larutan elektrolit. Dispersi

yang terbentuk adalah dispersi koloid. Protein globular mempunyai konfigurasi

berupa alfha heliks. Cara untuk mengurangi kontak antara gugus protein dengan air,

maka heliks dari rantai-rantai polipeptida tersebut berlipat dan berkelok-kelok lebih

lanjut dalam bebagai cara sehingga rantai samping hidrokarbonnya terlipat ke dalam

menjauhi molekul air. Rantai samping yang bersifat lebih polar mengarah keluar

(Nur et. al.,1983)

Daya Busa

Pembentukan busa putih telur dilakukan dengan pengocokan. Pengocokan

tersebut akan menyebabkan ikatan- ikatan dalam molekul protein putih telur terbuka

sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Selanjutnya udara masuk diantara

molekul-molekul protein yang terbuka rantainya dan ditahan serta membentuk

gelembung busa sehingga volume bertambah dan sifat elastisitasnya berkurang.

Warna gelembung mula-mula hijau kemudian berubah menjadi kekuning-kuningan,

jernih dan akhirnya putih kabur (Cherry, 1981). Proses pembentukan busa, disajikan

pada Gambar 2.

Busa putih telur berbentuk polihidron dengan diameter 0,02 cm dan berat

jenis 0,137. Bila pengocokan diperpanjang maka berat jenis dan diameternya akan

berkurang, setelah 6 menit pengocokan berat jenis akan menjadi 0,088 dan diameter

0,01 cm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Setiap protein putih telur memiliki

kemampuan membentuk busa yang berbeda-beda. Protein-protein putih telur yang

berperan dalam pembentukan busa adalah ovalbumin, ovomucin dan ovoglobulin.

Ovalbumin dapat membentuk buih yang kuat, ovomucin berfungsi menstabilkan

busa sedangkan ovoglobulin dapat meningkatkan viskositas, memperkuat pengikatan

gelembung udara dan melembutkan tekstur busa yang dihasilkan (Baldwin, 1973).

Volume dan stabilitas busa putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

lamanya telur disimpan, suhu putih telur, pH putih telur, lama pengocokan, perlakuan

pendahuluan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator.

7

Page 20: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Gambar 2. Mekanisme Pembentukan Busa Sumber : Cherry dan McWaters ,1981

Protein

Protein Terdenaturasi

Pembentukan Lapisan Tipis

Pembentukan Busa

Perbaikan Pembentukan Busa

KOAGULASI DISTRUPSI

udara udara

udara

udara

udara

udara

8

Page 21: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Daya busa tepung putih telur juga dipengaruhi oleh keadaan pengeringannya

(Romanoff dan Romanoff, 1963; Baldwin, 1973). Pasteurisasi cairan putih telur pada

suhu 51,1-570 C selama 5 menit dan penyimpanan tepung telur pada suhu 43,3-600 C

selama 1-7 hari tidak mempengaruhi waktu pengocokan dan volume pada pembuatan

angel food cake (Brown dan Zabik, 1967). Pengocokan putih telur pada suhu 10-250

C tidak mempengaruhi pembentukan busa. Volume dan stabilitas busa yang terbaik

dihasilkan dari pengocokan pada suhu 46,110 C (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Menurut Lowe (1963), pengocokan putih telur segar yang encer

menghasilkan busa dengan volume yang lebih besar daripada putih telur kental.

Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa putih telur yang baru keluar dari

tubuh induknya mempunyai volume busa 350% dari volume awal putih telur,

sedangkan yang sudah disimpan dua minggu pada suhu kamar mempunyai volume

busa 425% dari volume awal putih telur. Perubahan volume busa ini terjadi

bersamaan dengan kenaikan pH putih telur. Bila telur disimpan telah lama maka

kestabilan busa berkurang.

Putih telur yang telah disimpan pada suhu beku (-30 C) dan kemudian

dicairkan kembali tidak mempengaruhi sifat busa. Pemanasan putih telur pada suhu

500 C selama 30 menit juga tidak mempengaruhi volume dan stabilitas busa yang

dihasilkan (Baldwin, 1973; Romanoff dan Romanoff, 1963).

Ovalbumin dapat membentuk buih paling baik pada pH sekitar 3,7-4,0,

sedangkan protein yang lain dapat membentuk busa paling baik pada pH sekitar 6,5-

9,5. Kenaikan pH putih telur dari 5,5 menjadi 11 akan meningkatkan volume busa

dari 688% menjadi 982% (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Bertambahnya waktu pengocokan menjadikan gelembung-gelembung busa

semakin kecil. Busa yang stabil dicapai setelah 2 menit pengocokan, berarti bahwa

kestabilan diperoleh sebelum busa mencapai volume maksimum (Romanoff dan

Romanoff, 1963).

Koagulasi

Koagulasi merupakan proses perubahan struktur molekul protein telur yang

mengakibatkan pengentalan dan hilangnya kelarutan atau berubah bentuk dari cair

(sol) menjadi bentuk padat atau semi padat (gel). Perubahan ini dapat disebabkan

oleh panas, pengocokan, penambahan asam, basa atau pereaksi lain (Baldwin, 1973).

9

Page 22: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Koagulasi oleh panas terjadi akibat reaksi antara protein dan air yang diikuti

penggumpalan protein. Putih telur akan terkoagulasi pada suhu 60-62 0C, sedangkan

kuning telur terkoagulasi pada suhu 65-70 0C (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Menurut Lehningher (1982), mekanisme terjadinya koagulasi diawali dengan

terjadinya proses denaturasi yaitu perubahan struktur molekul protein tanpa

memutuskan ikatan kovalen. Menurut Belitz dan Grosch (1999), denaturasi

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu panas, pH, tekanan, pelarut orgaik, garam dan

urea. Tahapan selanjutnya adalah agregasi yaitu terjadinya interaksi antara protein

dengan protein dengan berat molekul yang tinggi. Tahapan selanjutnya adalah

koagulasi yaitu agregasi yang tidak beraturan yang terjadi karena adanya interaksi

antara protein beserta interaksi antara protein dengan pelarutnya. Menurut Gosset et

al,. (1984), tahapan terbentuknya gel dapat dijelaskan sebagai berikut :

Native protein Denatured protein aggregated (associated network) (long chain)

Menurut Bergquist (1964), secara umum pengeringan telur tidak akan

menyebabkan sifat koagulasi produk terhadap panas. Pegeringan telur dengan suhu

tinggi atau penyimpanan pada kondisi yang tidak cocok menyebabkan produk

kehilangan daya larutnya.

Fermentasi Putih Telur

Putih telur yang akan dikeringkan perlu difermentasi terlebih dahulu agar

tidak terjadi reaksi pencoklatan non enzimatik yang dikenal dengan reaksi Maillard.

Putih telur kering tanpa fermentasi memberikan warna coklat kemerah-merahan dan

sukar dilakukan rekonstitusi. Fermentasi juga sangat membantu mempertahankan

daya buih putih telur serta menurunkan viskositasnya sehingga mempermudah

penanganan (Hill dan Sebring, 1973).

Reaksi Maillard tersebut terjadi antara gugus karbonil (aldosa dan ketosa)

dari gula pereduksi dengan gugus alpha-amino dari asam amino atau protein yang

dikenal dengan reaksi karbonilamino dan menghasilkan basa Schriff yang berada

dalam keseimbangan dengan senyawa glikosail amin substitusi-N. Selanjutnya

terjadi Amadori rearrangement membentuk 1-amino-1-deoksi-2-ketosa menjadi

aldimin dan ketimin yang kemudian berpolimerisasi membentuk melanoidin yang

berwarna coklat (Meyer, 1976).

10

Page 23: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Untuk fermentasi putih telur dapat digunakan khamir maupun bakteri yaitu

Saccharomyces cereviceace, Enterobacter aerogenes, Escherichia frundii dan

Streptococcus lactis. Di samping itu juga dapat dilakukan fermentasi dengan enzim

glukosa oksidase (Hill dan Sebring, 1973; Romanoff dan Romanoff, 1963).

Fermentasi putih telur biasanya dilakukan pada suhu 200 C selama 36-60 jam

atau pada suhu 23,9-29,40 C selama 12 jam. Tergantung dari suhunya, lama

fermentasi dapat bervariasi tetapi tidak lebih dari 72 jam. Selama fermentasi akan

terjadi pemisahan dalam putih telur sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan yang

tipis di bagian bawah merupakan endapan, sedangkan lapisan tebal dibagian atas

mengandung senyawa ovomucin dan glikoprotein. Lapisan atas bersifat gelatinous

dan akan berubah menjadi berair bila fermentasi lebih dari 72 jam (Hill dan Sebring,

1973).

Menurut Hill dan Sebring (1973), untuk menghilangkan glukosa dari putih

telur dapat dilakukan melalui fermentasi dengan khamir dengan konsentrasi 0,05-

0,50% dan diinkubasi selama 3 jam pada suhu 370 C. penggunaan khamir dengan

konsentrasi lebih tinggi yaitu 1% dapat menyebabkan timbulnya yeast flavor pada

produk akhir. Penggunaan Saccharomyces cereviceae pada konsentrasi yang relatif

rendah (0,1%) tidak dapat mengkonversi gula menjadi asam glukonat secara

sempurna. Fermentasi putih telur menggunakan S. cereviceae pada konsentrasi 0,2-

0,4% dari berat putih telur segar dan diinkubasi pada suhu 22-230 C selama 2-4 jam

dapat mengkonversi gula pereduksi secara sempurna serta dihasilkan produk akhir

yang bebas dari yeast flavor. Fermentasi putih telur dengan khamir dan bakteri dapat

mencegah perubahan warna, flavor dan penampakan yang kurang disukai akibat

reaksi Maillard. Penyimpanan tepung putih telur pada suhu 220 C dan 400 C tidak

mempengaruhi volume kue yang yang dibuat dari putih telur yang mengalami

fermentasi, tetapi kue yang dibuat dari putih telur tanpa fermentasi mengalami

penurunan volume sebesar 7-26% (Hill dan Sebring, 1973).

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan

sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air dengan energi panas.

Pengeringan selain untuk mengawetkan juga mempunyai beberapa keuntungan

antara lain akan mengurangi kesulitan dalam pengemasan, pengangkutan dan

11

Page 24: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

penyimpanan. Pengeringan membuat bahan menjadi padat dan kering sehingga lebih

memudahkan dalam pengangkutan, pengemasan maupun penyimpanan

(Wirakartakusuma et al., 1992). Disamping keuntungan tersebut, pengeringan juga

mempunyai beberapa kerugian yaitu sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat

berubah seperti bentuk, sifat fisik dan kimia, penurunan mutu dan lain- lain (Winarno

et al., 1982).

Proses pengeringan suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu suhu, kelembapan udara (RH), sirkulasi udara dan waktu pengeringan. Kontrol

yang teliti terhadap keempat faktor tersebut perlu dilakukan agar diperoleh suatu

hasil yang baik.

Menurut Buckle et al. (1985), kerugian yang ditimbulkan akibat proses

pengeringan adalah berubahnya sifat fisik seperti pemucatan pigmen, perubahan

struktur (pengerutan) dan hilangnya aroma. Kondisi pengeringan yang tidak

terkendali dapat menimbulkan bau gosong. Menurut Wirakartakusuma et al. (1992),

beberapa parameter yang mempengaruhi kecepatan pengeringan meliputi sifat bahan,

ukuran bahan, volume bahan, suhu udara dan kecepatan aliran udara.

Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai metode.

Pemilihan metode pengeringan ditentukan oleh jenis komoditi yang akan

dikeringkan, bentuk akhir yang diinginkan, faktor ekonomi dan kondisi operasinya

(Desrosier, 1988). Menurut Wirakartakusuma et al. (1992), terdapat dua metode

pengeringan berdasarkan bentuk atau jenis komoditi yang akan dikeringkan, yaitu

metode untuk bahan padat dan bahan cair. Metode yang sering digunakan untuk

pembuatan produk berbentuk bubuk atau tepung adalah metode pengering semprot

atau spray drying.

Spray Drying

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan

sebagian air suatu bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Spray drying

merupakan proses perubahan bahan dari bentuk cair menjadi partikel-partikel kering

oleh suatu proses penyemprotan bahan kedalam medium kering yang panas

(Dziezak, 1980). Master (1979) menyatakan, bahwa spray drying merupakan suatu

proses berkesinambungan yang merubah bentuk suatu produk dari cairan, pure atau

pasta ke bentuk kering berupa tepung atau butiran. Menurut Heldman et al., (1981),

12

Page 25: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

ciri khas dari spray drying adalah siklus pengeringan yang cepat, retensi produk

dalam ruang pengering singkat dan produk akhir yang dihasilkan siap dikemas ketika

proses pengeringan selesai.

Menurut Sutejo (1998), keuntungan spray drying antara lain adalah kelarutan

bahan kering yang dihasilkan sangat baik karena partikelnya yang halus, mudah

terdispersi dalam air, kontak dengan panas sangat singkat dan mudah untuk

mengoperasikannya. Menurut Spicer (1974), spray drying mempunyai beberapa

kelebihan dibandingkan dengan beberapa jenis alat pengering yang lain, diantaranya

: (1) produk akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas;

(2) suhu produk rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup

tinggi; (3) penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu

yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja dan (4) produk akhir

berbentuk bubuk yang memudahkan penanganan dan transportasi.

Spray drying terdiri atas empat proses yaitu (1) atomisasi bahan sehingga

dapat membentuk semprotan yang halus, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi

dengan udara pengering, (3) penguapan air dan bahan, (4) pemisahan bubuk kering

dengan aliran udara yang membawanya (Master, 1979). Master (1979) juga

menyebutkan bahwa tingkat atomisasi bahan tergantung pada beberapa faktor yaitu

bentuk atomizer, kecepatan putaran, kecepatan aliran bahan dan sifat bahan.

Penurunan ukuran droplet terjadi jika kecepatan putarannya ditingkatkan, sedangkan

peningkatan viskositas dan tegangan permukaan justru akan meningkatkan ukuran

droplet. Perubahan ukuran droplet sangat dipengarhi oleh jenis atomizernya. Fungsi

atomizer yaitu memecah bahan menjadi partikel yang lebih kecil sehingga

menghasilkan luas permukaan yang lebih besar dan proses penguapan yang lebih

cepat (Heldman dan Singh, 1981).

Pengeringan Telur Ayam

Pengeringan telur pada prinsipnya adalah mengurangi kandungan air dalam

bahan sampai pada batas agar mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Pengeringan telur

mempunyai beberapa keuntungan yaitu : (1) mempermudah dan mengurangi ruang

penyimpanan, (2) menghemat biaya transportasi, (3) memperpanjang masa simpan

dan (4) mempermudah penggunaannya (Romanoff dan Romanoff, 1963).

13

Page 26: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Menurut Matz dan Matz (1978), metode pengeringan yang dapat digunakan

untuk membuat tepung telur ada empat macam yaitu : foaming drying, pengeringan

secara lapis (pan drying), pengeringan semprot dan pengeringan beku. Putih telur

dapat dibuat menjadi suatu produk yang berumur panjang dan cocok setelah

pengeringan. Tepung putih telur dapat digunakan untuk membuat berbagai produk

candy (nougat creams, french nougats, chewy nougats, almond nougats, summer

nougats dan sebagainya), angel food cake, sponge cake dan produk makanan lain

yang membutuhkan daya busa tinggi (Sukarno, 1984). Komposisi tepung telur,

tepung putih telur dan tepung kuning telur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung Kuning Telur (nilai dalam %)

Tepung Telur Tepung

Putih Telur Tepung Kuning

Telur Komposisi -------------------- (%) --------------------

Kadar Air 5,0 8,0 5,0

Lemak 40,0 - 57,0

Protein 45,0 80,0 30,0

Abu 3,7 5,7 3,4

Sumber : Food and Drugs Administration (1966), Gorman (1973)

Maltodekstrin

Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati (polimer sakarida

tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10 unit/molekul glukosa.

Maltodekstrin secara teori diproduksi dengan menggunakan hidrolisis terkontrol

melalui enzim (a-amilase) atau asam (Kennedy et al., 1995). Maltodekstrin memiliki

DE (Dextrose Equivalent) kurang dari 20. DE menunjukkan persentase dari dextrose

murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Maltodekstrin memiliki

derajat polimerisasi 3-20. Derajat polimerasi (DP) dinyatakan dengan kesetaraan

dextrosa (DE). Derajat polimerisasi didefinisikan sebagai jumlah gula pereduksi total

yang dinyatakan sebagai dextrosa dan dihitung sebagai persentase dari berat kering

total (Biliaderis dan Eskin, 1992). Maltodekstrin memiliki komposisi sakarida paling

banyak pada DP 3-9, yang termasuk dalam golongan oligosakarida dengan rantai

linier pendek (Winarno, 1997).

14

Page 27: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Maltodekstrin merupakan bahan tambahan pangan yang aman dikonsumsi

karena termasuk dalam GRAS (Generally Recognized As Safe). Larutan

maltodekstrin memiliki karakteristik flavor lembut, rasa dimulut yang halus (smooth

mouthfeel), dapat mengurangi lemak sebagian atau keseluruhan dalam berbagai

formula dan dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan (Burdock,

1997). Karakteristik maltodekstrin dapat dilihat pada Tabel 4 dan jenis karbohidrat

dalam oligosakarida dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Karakteristik Maltodekstrin Komersial

Karakteristik Nilai (%)

Komposisi Sakarida

DP 1-2 16,07

DP 3-9 78,66

DP > 9 5,27

Derajat Putih 92,51

Tingkat Kemanisan (dibandingkan dengan Tingkat kemanisan sukrosa 100 %) 6,25-7,25

Sumber : Hidayat dan Ahza (2003)

Menurut Pratiwi (2005), total nilai skoring sifat fisik dan kimia pada proses

pembuatan susu kambing bubuk dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak 4%

memiliki nilai tertinggi. Tujuan penggunaan maltodekstrin menurut Kennedy et al.

(1995) adalah :

1) untuk menurunkan biaya produksi dari material dengan harga tinggi;

2) untuk mengurangi kehilangan volume selama penyimpanan atau pemindahan;

3) untuk menyerap minyak atau lemak dan membantu penyebaran;

4) memberikan rasa lembut dan meningkatkan kelarutan.

Tabel 5. Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida

Derajat Polimerisasi Jenis Karbohidrat Rumus Kimia

2 maltosa (C6H10O5)2H2O

3 maltotriosa (C6H10O5)3H2O

4 maltotetrosa (C6H10O5)4H2O

5 maltopentosa (C6H10O5)5H2O

6-10 maltoheksosa (C6H10O5)6H2O

Sumber : Winarno (1997)

15

Page 28: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas

Peternakan untuk pengujian sifat fungsional tepung putih telur dan Laboratorium

Pilot Plant SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor untuk pembuatan tepung putih

dan analisis fisik dari bulan Juli sampai Agustus 2006.

Materi

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ayam ras berumur 1-

2 hari yang diperoleh dari peternakan ayam di daerah Cibeureum Kecamatan

Darmaga Bogor. Bahan pembantu yang digunakan untuk fermentasi adalah fermipan

atau ragi roti.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray dryer tipe

Buchii-190, homogenizer, waterbath, egg tray, pengaduk, hand mixer, timbangan

merk O-hous (ketelitian 0,1 gram), candler, gelas ukur, oven, corong bugner, labu

isap, vacum pump, kertas whatman no. 41, karton, desikator, magnetick stirrer,

penyaring dan baskom. Alat untuk analisis fisik adalah kadar air, pH meter, pengukur

nilai kecerahan (Cromameter Minolta CR-310) dan oven vakum.

Rancangan

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan putih telur ayam ras yang berumur 1-2 hari yang

diberi perlakuan sebagai berikut : (1) putih telur murni, (2) putih telur + 0,3% ragi

roti dari berat putih telur dan (3) putih telur + 0,3% ragi roti dari berat putih telur +

4% maltodekstrin dari berat putih telur.

Putih telur pada perlakuan tersebut akan dijadikan sebagai salah satu bahan

utama dalam pembuatan tepung putih telur. Perlakuan 2 dan 3 pada putih telur

tersebut sebelum dilakukan pengeringan terlebih dahulu dihomogenkan ± 30 detik

menggunakan alat homogenizer. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan

fermipan atau ragi roti dengan komposisi 0,3 % dari berat putih telur selama tiga jam

pada suhu kamar (30 0C).

Page 29: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Model

Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak

lengkap pola searah dengan tiga ulangan. Model matematisnya (Steel and Torrie,

1995) adalah sebagai berikut :

Yij = p + a i + eij

Keterangan:

Yij = nilai dari pengamatan perlakuan ke-I dengan ulangan ke-j

p = rataan umum

a i = pengaruh perlakuan (putih telur murni, putih telur + fermipan 0,3 %

dari berat putih telur, putih telur + fermipan 0,3 % dari berat putih

telur + 4% maltodekstrin dari berat putih telur)

eij = pengaruh galat percobaan

Jika hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata (a = 0.05) maka akan diuji

dengan uji lanjut Duncan (Steel and Torrie, 1995).

Peubah

Peubah yang diukur dalam penelitian ini meliputi uji sifat fisik dan sifat

fungsional dari tepung putih telur. Sifat fisik yang diamati meliputi; rendemen, pH,

warna, kadar air, kelarutan bubuk, sedangkan untuk sifat fungsional yang diamati

adalah daya busa dan stabilitas busa.

Rendemen (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Perhitungan

rendemen tepung putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur

yang dihasilkan dari setiap perlakuan.

Berat tepung putih telur (gram)

Rendemen (%) = X 100 %

Berat putih telur awal (gram)

Analisis pH (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Pengukuran pH

dilakukan sebelum dan sesudah pengeringan dan dilakukan dengan menggunakan pH

meter. Tepung putih telur yang akan diukur pH-nya, terlebih dahulu dilarutkan dalam

air destilat (rekonstitusi) dengan satu bagian tepung putih telur dan satu bagian air.

17

Page 30: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Kadar Air (Association of Official Analytical Chemist, 1995). Pengukuran kadar

air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cawan kosong dikeringkan

didalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan dalam cawan aluminium yang telah diketahui

beratnya, kemudian dikeringkan dalam oven 105 0C selama 24 jam hingga beratnya

konstan. Cawan dan sampel yang telah dioven dipindahkan ke desikator, didinginkan

dan kemudian ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Bobot sampel awal – bobot sampel akhir

Kadar air (%) = X 100 %

Bobot sampel awal

Kelarutan Tepung (Fardiaz et al., 1992). Sampel ditimbang kurang lebih 0,75

gram, dilarutkan dalam 100 ml aqua destilata kemudian disaring dengan kertas saring

Whatman no. 42 dengan menggunakan pompa vakum. Sebelum digunakan, kertas

saring dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 1050C, kemudian

ditimbang (a). Setelah proses penyaringan, kertas saring beserta residu dikeringkan

dalam oven pada suhu 1050C selama 3 jam kemudian didinginkan dalam desikator

selama 15 menit lalu timbang (b).

(b-a) Kelarutan = 1 - x 100%

(100% - c) x 0,75 100

Keterangan :

a = berat kertas saring yang digunakan (a)

b = berat kertas saring dan residu (b)

c = kadar air contoh yang digunakan (c)

Nilai Kecerahan (Pomeranz, 1978). Nilai kecerahan (nilai L) diukur dengan

menggunakan Cromameter Minolta CR-310. Nilai L menunjukan parameter

kecerahan yang bernilai 0-100 untuk warna hitam sampai putih.

Daya dan Stabilitas Busa (Stadelmen dan Cotteril, 1995). Sebanyak 3 g sampel

dilarutkan dengan air destilat atau aquades dengan perbandingan 1:10. kemudian

dilakukan rehidrasi dengan cara dikocok dengan hand mixer dengan kecepatan 1

sampai larut kurang lebih 45-47 detik. Setelah direhidrasi, kemudian dikocok dengan

18

Page 31: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

kecepatan 2 selama 1,5 menit dan dilanjutkan dikocok dengan kecepatan 3 selama

1,5 menit. Setelah itu dihitung daya busanya dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

Volume Busa

Daya Busa (%) = x 100 %

Volume Awal

Pengukuran stabilitas busa dilakukan dengan menghitung terlebih dahulu

persentase tirisan. Setelah dihitung daya busa kemudian volume busa didiamkan

selam 1 jam kemudian dicatat besar volume tirisan.

Volume Tirisan

Tirisan Busa (%) = x 100 %

Volume Busa

Stabilitas busa dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Stabilitas Busa (%) : 100 - L, dengan L : Persentase tirisan busa (%)

Analisis Data

Peubah yang diamati pada penelitian ini dianalisis dengan tiga cara yaitu

analisis secara deskripsi dan analisis ragam serta uji lanjut Duncan. Analisis

deskripsi dilakukan terhadap peubah suhu dan analisis ragam (ANOVA) dilakukan

pada peubah yang diamati seperti rendemen, pH, warna, kadar air, kelarutan bubuk,

daya busa dan stabilitas busa dan jika berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan

uji lanjut Duncan (Steel and Torrie, 1995).

Prosedur

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan

acak lengkap (RAL) pola searah dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan.

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu (1) persiapan bahan baku, (2)

penelitian pendahuluan dan (3) penelitian utama.

Persiapan Bahan Baku

Telur yang digunakan dalam penelitian ini berupa telur ayam ras yang segar

yang berumur 1-2 hari, dengan tujuan agar mudah dipisahkan antara putih telur

dengan kuningnya. Putih telur yang digunakan dalam pene litian berdasarkan standar

USDA termasuk dalam kelompok AA sampai A yang mempunyai ciri-ciri yaitu

19

Page 32: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

warnanya putih bening, kental dan bersih dan bebas dari noda (bercak darah dan

bercak daging). Tahap ini dimulai dengan menyeleksi telur segar dengan

menggunakan candler, telur yang retak, bercak darah tidak digunakan untuk tahap

selanjutnya.

Tahap berikutnya adalah pencucian kulit telur. Pencucian kulit telur

dilakukan dengan air hangat yang mengalir, tujuannya adalah untuk menghindari

terjadinya kontaminasi mikroba pada isi telur. Tahap selanjutnya adalah memecah

telur dan memisahkan bagian putih telur dengan kuningnya dengan menggunakan

penyaring atau egg separator.

Penelitian Pendahuluan

Penentuan Suhu Pengering Semprot. Penentuan suhu pengering spray drying

bertujuan untuk menentukan kondisi optimal pembuatan tepung putih telur. Kondisi

yang dipelajari adalah suhu pengeringan yang dapat menghasilkan tepung putih telur

sesuai kriteria mutu.

Penentuan suhu dan lama pengeringan dilakukan pada kisaran suhu dan lama

pengeringan yang tercantum pada Tabel 6, yang merupakan modifikasi dari Sofiana

(2004). Modifikasi dilakukan pada suhu inlet 1800 C dan 170 0C serta suhu inlet 1600

C dan outlet 74-76 0C. Penilaian dilakukan dengan melihat penampakan dan tekstur

secara visual bagian yang halus dan bagian yang kasar tepung putih telur yang

dihasilkan dari masing-masing suhu. Penentuan suhu pengering spray drying

optimum berdasakan karakteristik produk yang dihasilkan, yaitu teksturnya halus,

kering dan tidak menggumpal.

Cara pengoperasian Spray Dryer adalah sebagai berikut: Kompresor

dihidupkan dan dipertahankan tekanannya pada 6 Kgf/cm2 serta pemeriksaan secara

cermat terhadap pompa perilstaltik untuk pengumpan. Langkah selanjutnya adalah

selang pada pompa pengumpan dihubungkan dengan air destilasi dan satu lagi pada

atomizer. Suspensi bahan yang akan dikeringkan disiapkan. Langkah berikutnya

yaitu memeriksa sambungan pipa produk dan udara. Gelas penampung yang bersih

untuk menampung produk dipasang dibawah siklon dan motor aspirator dinyalakan,

serta diatur laju aliran udara dan suhu udara pemanas. Langkah berikutnya adalah

mengumpankan air ke atomizer disertai pengaturan kecepatan mengumpan. Tepung

kering yang dihasilkan ditampung dalam gelas, kemudian kecepatan dari pengumpan

20

Page 33: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

dikurangi. Langkah berikutnya adalah penghentian pengumpanan air disertai

pematian pemanas. Atomizer lalu diangkat dan dibersihkan. Sambungan pipa

penghubung ruang pengering dengan pengumpul produk dibuka lalu dibersihkan

secara hati-hati.

Gambar 3. Spray Dryer Tipe Buchii-190

Tabel 6. Macam Suhu Inlet dan Outlet pada spray drying

No Suhu Pengering Semprot (0C) Suhu Inlet Suhu Outlet

1. 180 86-89

2. 170 78-80

3. 160 74-76

Sumber : Sofiana (2004)

Tabel 7. Formulasi Perlakuan Pembutan Tepung Putih Telur (dalam 100 g Berat Putih Telur)

Perlakuan Putih Telur

(g) Fermipan/ Kristal Khamir

(g) Maltodekstrin

(g) A 100 - - B 100 0.3 - C 100 0.3 4

Keterangan : A. putih telur murni, B. putih telur + 0,3% fermipan dari berat putih telur C. putih telur + 0,3% fermipan dari berat putih telur + 4% maltodekstrin dari berat putih telur.

Keterangan Gambar:

1.Nozzle 2.Drying Chamber 3.Flow Controller 4.Switch and Controller for Feed Pump 5.Selang Pemasukan Bahan 6.Bahan 7.Switch, Display and Controller for Heating System 8.Switch and Controller for Aspirator 9.Digital Display of Inlet Temperature 10.Digital Display of Outlet Temperature 11.Connection Socket Laboratory Recorder 12.Cyclone 13.Receiving Vessel for the Final Product

21

Page 34: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Pengeringan

Tepung Putih Telur

Putih Telur

Penelitian Utama

Proses Pembuatan Tepung Putih Telur. Proses pembuatan tepung putih telur yang

digunakan pada penelitian ini merupakan modifikasi dari Sukarno (1984). Modifikasi

dilakukan pada suhu pasteurisasi dan lama pengocokan serta proses homogenisasi.

Proses pembuatan tepung putih telur diantaranya sebagai berikut : putih telur yang

sudah dipisahkan dengan kuningnya, kemudian dipasteurisasi menggunakan

waterbath pada suhu 57 0C selama ± 5 menit. Setelah itu didinginkan pada suhu

ruang, perlakuan A langsung dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer

selama ± 30 detik dan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Pada

perlakuan B, putih telur yang sudah didinginkan setelah dipasteurisasi lalu

ditambahkan fermipan atau kristal khamir sebanyak 0,3% berat putih telur awal

dihomogenkan kemudian difermentasi selama 3 jam dan dikeringkan dengan

menggunakan spray dryer. Pada perlakuan C, putih telur yang sudah didinginkan

setelah dipasteurisasi lalu ditambahkan fermipan atau kristal khamir sebanyak 0,3%

berat putih telur awal dihomogenkan kemudian difermentasi selama 3 jam dan

ditambahkan maltodekstrin sebanyak 4% berat putih telur awal dihomogenkan dan

dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Proses pembuatan tepung putih telur

juga dapat dilihat pada Gambar 4.

Pasteurisasi (menggunakan waterbath 57 0C ± 5 menit)

Pendinginan pada suhu kamar

Homogenkan (menggunakan homogenizer ± 30 detik)

Gambar 4. Bagan Proses Pembuatan Tepung Putih Telur (Sukarno, 1984 )

Perlakuan

22

Page 35: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Penentuan Perlakuan pada Pembuatan Tepung Putih Telur Terbaik. Penentuan

perlakuan tepung putih telur terbaik dilakukan dengan pemberian nilai (skoring)

terhadap peubah yang diamati. Pemberian nilai ditentukan berdasarkan standar

produk yang ada (Puspitasari, 2003). Penentuan nilai skoring berdasarkan standar

produk tepung putih telur diberikan pada Tabel 8. Nilai yang diberikan pada

rendemen, daya busa dan stabilitas busa berdasarkan hasil terbaik yang diperoleh,

karena standar untuk tepung putih telur belum ada. Hasil tertinggi diberikan nilai 3

dan hasil terendah diberikan nilai 1.

Pemberian nilai kadar air berdasarkan pada standar kadar air tepung putih

telur yang ada. Jika diperoleh hasil yang berada dalam kisaran standar, maka diberi

nilai 3. Apabila hasil yang diperoleh tidak berada pada kisaran standar, maka

pemberian nilai berdasarkan peringkat hasil terbaik, nilai 2 untuk kadar air yang

sedang dan nilai 1 untuk kadar air yang paling tinggi.

Tabel 8. Penentuan Nilai Skoring Berdasarkan Standar Produk Tepung Putih Telur

Kriteria Produk Standar Produk Penentuan Nilai

Rendemen (%w/w) Belum ada 3 = Hasil Tertinggi

Stabilitas Busa (%) Belum ada 1 = Hasil Terendah

Kadar Air (%b/b)a Maksimal 8%

Sumber : a) Food and Drugs Administration (1966)

1. Berada dalam kisaran standar diberi nilai 3

2. Jika tidak berada dalam kisaran standar diberi peringkat berdasarkan hasil terbaik, nilai 2 untuk kadar air yang sedang dan nilai 1 untuk kadar air paling tinggi

23

Page 36: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Penentuan Suhu Pengering Semprot

Hasil Pengeringan pada suhu inlet dan outlet dapat dilihat pada Tabel 9 dan

Tabel 10. Berdasarkan penilaian terhadap hasil pengeringan dapat disimpulkan

bahwa suhu pengeringan terbaik adalah suhu inlet 180 0C dan suhu outlet 86-96 0C,

karena menghasilkan tepung putih telur yang halus dan kering pada dry chamber dan

cyclon pada pengering semprot serta menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Suhu

inlet dan outlet pengering semprot tersebut selanjutnya akan digunakan untuk

penelitian utama pada proses pembuatan tepung putih telur.

Tabel 9. Keadaan Bubuk Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet Pengering Semprot

Suhu Pengering Keadaan Bubuk pada Semprot (0C) Pengering Semprot Inlet Outlet Dry Chamber Cyclon

180 86-96 Halus dan Kering Halus dan Kering

170 78-80 Lengket, basah dan tekstur menggumpal Halus dan Kering

160 74-76 Lengket, basah dan tekstur menggumpal Halus dan Kering

Tabel 10. Rendemen Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet Pengering Semprot

Suhu Pengering Rendemen (%) Semprot (0C) Inlet Outlet Rendemen Total Rendemen Halus Rendemen Kasar

180 86-96 6,1 3,2 2,9

170 78-80 4.2 2,9 1,3

160 74-76 2,5 2,5 -

Penelitian Utama

Proses Pembuatan Tepung Putih Telur

Tujuan dari penelitian utama adalah untuk menge tahui perubahan fisik dan

sifat fungsional tepung putih telur akibat adanya penambahan fermipan atau ragi roti

dan penambahan maltodekstrin. Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan

Page 37: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap rendemen total, rendemen ha lus,

rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan. Hasil analisis ragam juga

menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) pada

peubah yang diamati seperti pH setelah pengeringan, kadar air, kelarutan tepung,

nilai kecerahan (nilai L), daya busa dan stabilitas busa.

Tabel 11. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fisik Tepung Putih Telur

Perlakuan Peubah Sifat Fisik A B C

Rendemen Total (%) 4,62±0,70b 5,97±0,23b 13,57±2,69a Rendemen Halus (%) 2,88±0,55b 3,31±0,27b 4,90±1,06a Rendemen Kasar (%) 1,74±0,25b 2,66±0,13b 8,67±2,39a

pH Sebelum Pengeringan 8,13±0,10b 7,13±0,37b 6,69±0,48a

pH Setelah Pengeringan 9,89±0,16 9,91±0,21 9,76±0,06 Kadar Air (%) 5,71±1,98 4,50±0,70 3,54±1,05 Kelarutan Tepung (%) 95,45±1,78 92,14±2,28 92,57±1,51 Nilai Kecerahan(nilai L) 67,82±0,41 67,83±0,07 67,89±0,19 Keterangan :

Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0.3% ragi roti dari putih telur

Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0.3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih telur Superskrip huruf kecil pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Rendemen

Salah satu parameter penting yang diamati dalam proses produksi tepung

putih telur adalah rendemen. Nilai rendemen merupakan peubah yang menentukan

efektif dan efisien tidaknya proses pengeringan. Semakin besar nilai rendemen tiap

perlakuan menunjukkan makin efektif dan efisien proses yang dilakukan terhadap

bahan baku. Rendemen tepung putih telur dihitung berdasarkan perbandingan bobot

tepung putih telur dengan bobot telur utuh segar dan dinyatakan dalam persen. Hasil

analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perlakuan pembuatan tepung putih

telur memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rendemen total.

Berdasarkan hasil uji Duncan perlakuan C mempunyai rendemen yang paling

tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B, hal ini karena adanya

penambahan maltodekstrin 4% akan membantu peningkatan rendemen. Hal ini

disebabkan maltodekstrin merupakan bahan pengisi yang mempunyai kadar air lebih

kecil (9,6%) dibandingkan dengan kadar air putih telur murni (86,7%). Walaupun

berat molekul maltodekstrin kecil jika ditambahkan dalam konsentrasi tinggi

25

Page 38: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

sebelum proses pengeringan, maka akan menghasilkan rendemen yang tinggi pada

produk akhir. Pengeringan putih telur menghasilkan dua macam rendemen yaitu

rendemen halus dan rendemen kasar. Rendemen halus merupakan rendemen yang

dihasilkan pada cyclon, sedangkan rendemen kasar dihasilkan pada drying chamber.

Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 2 dan 3) menunjukkan bahwa perlakuan

memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rendemen halus dan rendemen

kasar.

Nilai pH

Nilai pH merupakan sifat fisik yang menentukan kadar keasaman dari suatu

produk. Semakin rendah pH menunjukkan tingginya keasaman dari suatu produk.

Nilai pH dari suatu produk tergantung dari zat-zat yang terkandung didalamnya,

selain itu juga konsentrasi zat dapat mempengaruhi nilai pH. Nilai pH akan turun

apabila zat-zat yang terkandung dari suatu produk bersifat asam.

Nilai pH Sebelum Pengeringan. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 4)

menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH sebelum

pengeringan. Gambar 5 menunjukkan rataan nilai pH pada ketiga perlakuan. Nilai

pH semakin turun dari perlakuan A sampai perlakuan C. Penurunan pH tersebut

disebabkan oleh adanya penambahan 0,3% fermipan yang akan memfermentasikan

gula pereduksi menjadi asam glukonat dan penambahan 4% maltodekstrin akan

meningkatkan keasaman produk karena maltodekstrin akan dirubah menjadi glukosa

oleh enzim maltase yang dihasilkan oleh sel-sel khamir yang kemudian akan

difermentasi menjadi etanol dan karbondioksida sehingga produk yang dihasilkan

menjadi asam (Buckle, et. al., 1987). Grafik hubungan antara perlakuan pembuatan

tepung putih telur dengan pH sebelum pengeringan dijelaskan pada Gambar 5.

Nilai pH Setelah Pengeringan. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5)

menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai pH setelah

pengeringan. Rata-rata nilai pH putih telur setelah pengeringan yaitu antara 9,76

sampai 9,91. Kenaikan pH tersebut disebabkan oleh proses pengeringan, karena

pengeringan akan mengakibatkan rusaknya ikatan peptida asam amino alkalin pada

putih telur (Wong, et. al., 1996) dan hilangnya CO2 dan H2O yang terdapat pada

putih telur serta hilangnya CO2 yang dihasilkan dari hasil fermentasi maltodekstrin

26

Page 39: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

8,137,13

6,69

0,001,002,003,004,005,006,007,008,009,00

PerlakuanA B C

Nila

i pH

Seb

elum

Pen

geri

ngan

Putih Telur Murni

Putih Telur + 0.3% Fermipan dariPutih Telur

Putih Telur + 0.3% Fermipan + 4%Maltodekstrin dari Putih Telur

yang ditambahkan. Hilangnya CO2 dan H2O akan menyebabkan peningkatan pH,

karena apabila CO2 dan H2O terdapat dalam suatu larutan maka akan larut

membentuk asam karbonat yang akan menguraikan ion H+ dalam larutan sehingga

menyebabkan keasaman pada larutan (Kusnadhi, 2003). Oleh karena itu hilangnya

CO2 dan H2O pada asam karbonat dalam larutan tidak akan menguraikan ion H+,

sehingga terjadi peningkatan pH.

Gambar 5. Histogram Hubungan antara Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur

dengan pH sebelum Pengeringan

Kadar Air

Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terkandung persatuan bahan dan

merupakan kriteria mutu yang penting untuk produk pangan kering seperti tepung

putih telur. Kadar air tepung putih telur dipengaruhi oleh suhu penyimpanan,

perpindahan udara, kelembaban nisbi (RH), lingkungan sekitar dan permeabilitas

wadah (pengemas) (Stadelman dan Cotterill, 1973).

Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan tidak

berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar air. Kadar air tepung putih telur dalam

penelitian ini mempunyai rataan berkisar antara 3,54% sampai 5,71%, nilai kadar air

tersebut masih dalam kriteria mutu karena nilai standar tepung putih telur maksimum

8% (Gorman, 1973). Kadar air yang rendah pada perlakuan disebabkan oleh

pengeringan yang dilakukan menggunakan spray dryer dengan suhu yang relatif

tinggi yaitu suhu inlet 180 0C dan suhu outlet 86-96 0C, sehingga proses evaporasi

berlangsung lebih cepat. Kecepatan evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan,

terutama kandungan total padatan. Semakin tinggi total padatan bahan, maka proses

evaporasi akan berlangsung cepat.

27

Page 40: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan C mempunyai kadar air lebih

kecil dibandingkan perlakuan A dan perlakuan B, karena dengan penambahan 4%

maltodekstrin akan meningkatkan total padatan bahan yang akan dikeringkan

sehingga proses evaporasi dapat berlangsung lebih cepat. Beberapa faktor yang

mempengaruhi proses pengeringan bahan pangan menggunakan spray drying antara

lain suhu pengeringan (suhu inlet/outlet), laju aliran bahan, laju aliran udara dan

tekanan udara pengering (Master, 1991).

Kelarutan Tepung

Pengukuran kelarutan tepung bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan

fermipan dan maltodekstrin terhadap kelarutan tepung putih telur yang dihasilkan.

Daya kelarutan tepung putih telur menentukan daya terima tepung putih telur. Hasil

analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan

pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kelarutan tepung. Hal ini disebabkan putih

telur atau albumin telur merupakan jenis protein globular yang mudah larut dalam air

dan Penambahan maltodekstrin akan membantu meningkatkan kelarutan, karena

maltodekstrin merupakan turunan pati yang memiliki kandungan oligosakarida yang

tinggi. Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan

biasanya larut dalam air. Oligosakarida juga merupakan sakarida berantai pendek,

semakin tingginya kandungan oligosakarida berarti semakin banyak atom O bebas

pada gugus –OH glikosidik yang dapat terikat oleh molekul air. Molekul air

membentuk hidrat dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom O.

Kandungan oligosakarida ini menyebabkan maltodekstrin memiliki karakteristik

mudah larut dalam air (Winarno, 1997).

Penambahan maltodekstrin juga mungkin dapat menurunkan kelarutan

tepung, apabila maltodekstrin yang ditambahkan tidak larut secara sempurna. Oleh

karena pada proses pengeringan bahan, maltodekstrin yang tidak larut akan langsung

dikeringkan dan bercampur dengan produk akhir pengeringan dan akan

meningkatkan total padatan waktu penyaringan pada pengukuran kelarutan tepung.

Rataan kelarutan tepung pada perlakuan mempunyai kisaran nilai antara 92,14%

sampai 95,45%, yang menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan mempunyai

kelarutan tepung yang tinggi.

28

Page 41: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Nilai Kecerahan (L)

Pada penelitian ini, untuk menentukan kecerahan tepung putih telur dapat

menggunakan alat cromameter minolta (tipe CR-310). Kecerahan warna merupakan

salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk mengkonsumsi produk

yang dihasilkan. Nilai L ini mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Hasil

analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan pembuatan tepung putih

telur tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai kecerahan (L)

tepung putih telur. Nilai kecerahan tepung putih telur pada semua perlakuan

mempunyai rataan berkisar antara 67,82 sampai 67,89. Kisaran 0-100 untuk nilai L

maka tepung putih telur yang dihasilkan mempunyai tingkat kecerahan yang tinggi.

Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai L karena

perlakuan yang diberikan seperti penambahan ragi roti akan membantu

meningkatkan kecerahan tepung putih telur dengan mencegah terjadinya proses

Maillard pada saat pengeringan putih telur dan penambahan maltodekstrin yang

mempunyai tingkat kecerahan yang tinggi juga dapat meningkatkan kecerahan dari

sutu produk. Menurut Mcdonald (1984), maltodekstrin bersifat kurang higroskopis,

kurang manis, memiliki kelarutan tinggi dan cenderung tidak membentuk zat warna

pada reaksi browning. Tingkat kecerahan suatu produk pangan akan mempengaruhi

perilaku konsumen untuk mengkonsumsinya, biasanya produk yang cerah lebih

disukai konsumen.

Tabel 12. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fungsional Tepung Putih Telur

Perlakuan Peubah Sifat Fungsional A B C

Daya Busa (%) 333,33±0,00 361,11±48,11 366,67±44,09 Stabilitas Busa (%) 76,67±1,44 79,10±1,39 78,06±0,96 Keterangan :

Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0.3% ragi roti dari putih telur

Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0.3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih telur

Daya Busa

Daya busa merupakan peubah yang menunjukkan banyak busa atau buih

yang dihasilkan setelah dilakukan pengocokan. Berdasarkan hasil analisis ragam

(Lampiran 9) pada perlakuan pembuatan tepung putih telur tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap daya busa. Rataan nilai daya busa dari perlakuan

29

Page 42: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

berkisar antara 333,33% sampai 366,67%. Nilai daya busa tersebut tidak jauh

berbeda dengan nilai daya busa pada putih telur segar sekitar 350% (Romanoff dan

Romanoff , 1963). Hal ini menunjukkan perlakuan dengan atau tanpa penambahan

fermipan dan maltodekstrin tidak memberikan pengaruh terhadap nilai daya busa,

karena fermipan yang ditambahkan untuk fermentasi akan membantu

mempertahankan daya busa (Hill dan Sebring, 1973) dan begitu juga dengan

penambahan maltodekstrin selain untuk meningkatkan rendemen dan kelarutan juga

mampu membantu mempertahankan daya busa.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya busa antara lain umur, suhu, mutu

putih telur, pH, lama pengocokan, perlakuan pendahuluan dan adanya bahan-bahan

lain didalam putih telur (bahan kimia, putih telur dan sebagainya) serta stabilizer

(Romanoff dan Romanoff, 1963). Kenaikan volume busa putih telur dipengaruhi

oleh kenaikan pH putih telur. Peningkatan daya busa terjadi karena adanya

penambahan 0,3% ragi roti yang menyebabkan putih telur menjadi lebih encer

sehingga meningkatkan volume busa pada saat pengocokan dan penambahan 4%

maltodekstrin mampu mempertahankan ovomucin dan ovalbumin dari kerusakan

akibat pengeringan. Penurunan daya busa terjadi karena ovomucin yang

menstabilkan struktur buih dan ovalbumin yang membentuk buih telah mengalami

kerusakan akibat proses pengeringan dan penyimpanan.

Stabilitas Busa

Stabilitas busa merupakan kemampuan mempertahankan agar busa stabil

(busa tidak mencair). Stabilitas busa mempunyai peranan dan pengaruh yang besar

terhadap mutu produk yang membutuhkan kestabilan busa yang tinggi. Pengukur

stabilitas busa terlebih dahulu harus mengetahui banyaknya tirisan yang dihasilkan

setelah dilakukan pengocokan dan disimpan. Stabilitas busa mempunyai

kecenderungan nilai yang terbalik dengan nilai tirisan. Hasil analisis ragam

(Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata

(P>0,05) terhadap stabilitas busa. Rataan nilai stabilitas busa pada perlakuan berkisar

antara 76,67% sampai 79,10%. Nilai stabilitas busa 0 sampai 100% maka nilai

stabilitas busa tiap-tiap perlakuan mempunyai stabilitas busa yang cukup tinggi.

Stabilitas busa putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lamanya

telur disimpan, suhu putih telur, pH putih telur, lama pengocokan, perlakuan

30

Page 43: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

pendahuluan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator (Romanoff dan

Romanoff, 1963; Baldwin, 1973). Kestabilan lebih besar pada putih telur dengan pH

rendah daripada dengan pH tinggi. Berdasarkan hasil analisis ragam pada perlakuan

B mempunyai stabilitas busa yang lebih besar daripada perlakuan A dan perlakuan C,

yang mempunyai pH yang lebih rendah setelah pengeringan. Perlakuan panas pada

putih telur dapat menyebabkan denaturasi terhadap kompleks ovomucin- lysozym

sehingga dengan adanya kerusakan ovomucin ini kestabilan busa putih telur menurun

(Berquist, 1973).

Penentuan Perlakuan Terbaik

Tepung putih telur dapat dimanfaatkan untuk produk yang membutuhkan

daya dan kestabilan busa yang tinggi seperti anggel food cake, pemberian nilai

(skoring) dapat dilakukan pada peubah yang diamati meliputi sifat fisik dan sifat

fungsionalnya. Nilai yang diberikan terhadap hasil analisis rendemen total, rendemen

halus, kadar air, kelarutan bubuk dan nilai kecerahan yaitu berdasarkan pada rataan

hasil analisis statistik tiap perlakuan. Rataan paling tinggi diberi nilai 3, sedangkan

rataan paling rendah diberi nilai 1. Pada penelitian nilai kecerahan semua perlakuan

hampir sama maka diberi nilai 3, karena menunjukkan nilai yang cukup tinggi pada

kisaran nilai warna 0 sampai 100 yaitu nilai kecerahan yang tinggi.

Standar nilai kadar air tepung putih telur berdasarkan Food and Drugs

Administration (1966) maksimal 8%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air

yang diperoleh masih dalam kisaran standar tepung putih telur yang ada, maka

pemberian nilai berdasarkan peringkat hasil terbaik (nilainya 3). Nilai yang diberikan

terhadap daya busa dan stabilitas busa berdasarkan hasil urutan yang terendah

(diberikan nilai 1) sampai tertinggi (diberikan nilai 3). Penentuan perlakuan tepung

putih telur terbaik merupakan hasil analisis statistik terhadap nilai skoring dan hasil

penjumlahan semua nilai skoring yang ada. Rekapitulasi hasil analisis dan pemberian

nilai pada tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 13.

Berdasarkan Tabel 13 dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan tepung putih

telur untuk produk dari perlakuan tersebut yang terbaik adalah B dan C. Pemilihan

perlakuan B (putih telur + 0,3% ragi roti) dan C (putih telur + 0,3% ragi roti + 4%

maltodekstrin dari berat putih telur) dikarenakan menghasilkan total nilai skoring

31

Page 44: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

yang hampir sama dan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (Putih telur

murni).

Tabel 13. Rekapitulasi Hasil Analisis dan Nilai Skoring

Perlakuan Peubah yang Diamati A B C

Rendemen Total %w/w) 6,42 (1) 5,97 (2) 13,57 (3) Rendemen Halus (%w/w) 2,87 (1) 3,31 (2) 4,90 (3) Kadar Air (%b/b) 5,70 (3) 4,50 (3) 3,54 (3) Kelarutan Tepung (%) 95,45 (3) 92,14 (2) 92,57 (2) Nilai kecerahan (L) 67,82 (3) 67,83 (3) 67,89 (3) Daya Busa (%) 333,33 (2) 361,11 (3) 366,67 (3) Stabilitas Busa (%) 76,67 (1) 79,10 (3) 78,06 (2) Total Nilai Skoring 14 18* 19* Keterangan : (....) = Angka dalam tanda kurung menunjukkan nilai urutan skoring (nilai 1 = nilai

terendah dan nilai 3 = nilai tertinggi) * = Perlakuan tepung putih telur terbaik

Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0,3% ragi roti dari putih telur Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih telur

32

Page 45: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil rendemen yang tinggi, diperoleh dari pengeringan putih telur pada suhu

inlet 180 0C dan suhu outlet 86-96 0C. Perlakuan pembuatan tepung putih telur pada

putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin memberikan pengaruh berbeda nyata

(P<0,05) terhadap peubah yang diamati seperti rendemen total, rendemen halus,

rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan, sedangkan terhadap pH setelah

pengeringan, warna, kadar air, kelarutan bubuk, daya busa dan stabilitas busa analisis

ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk menghasilkan sifat fisik

dan sifat fungsional dari tepung putih telur yang baik, sebelum pengeringan

hendaknya dilakukan fermentasi dengan menggunakan fermipan sebanyak 0,3% dari

putih telur dan penambahan maltodekstrin sebanyak 4% dari putih telur.

Page 46: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan limpahan

rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga serta hanya dengan ridho dan

pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima

kasih kepada Ayahanda dan Ibunda terutama Ayahanda H. Abdul Fatah, Kakak,

Adik, Kakek dan Nenek serta Saudara-saudaraku yang tercinta yang banyak

membantu baik materi, doa, motivasi serta kasih sayang yang selalu diberikan

dengan tanpa henti.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Zakiah Wulandari,

S.TP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., MS yang telah membimbing,

mengarahkan, meluangkan waktu, materi dan membantu mulai dari penyusunan

proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Terima kasih kepada Tuti Suryati,

S.Pt, M.Si dan Ir. Dwi Joko Setyono, M.Si sebagai penguji dan Ir. Afton Atabani,

M.Si sebagai panitia sidang. Selain itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr.

Muladno sebagai pembimbing akademik atas nasehat dan motivasinya selama

perkuliahan serta Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur., Sc, Ir. Purwanro dan

keluarga atas motivasi dan bantuannya. Kepada CHK Karyadinata, S.Pt, Fahrial

Amri, S.Pt, Tria Triana, S.Pt, Wisnu Hadi Saputra, S.Pt, Hendria Firdaus, S.Pt, Enca

Hatta, S.Pt, Nurcahyo,Nanda, Nana, Heidy, Cahyana Supriadi, S.TP, Dandan Diana,

S.Pi, Edi Iskandar, SP, Aswab, Dadang, Teguh, yang sudah membantu dalam

penelitian ini, serta rekan-rekan THT 38, THT 39, UKM KOPMA IPB,LISES Gentra

Kaheman IPB dan Pondok Yasmin Crew.

Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Yayasan Super Semar dan

DIKTI yang telah memberikan bantuan pendidikan. Kepada seluruh staf teknisi

Laboratorium Teknologi Hasil Ternak (Iom dan Nap) dan Pilot Plant SEAFAST

Center IPB (Nurwanto dan Rubiah) yang banyak memberikan bantuan dalam

penelitian ini. Terakhir Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada civitas

akademika Institut Pertanian Bogor khususnya Fakultas Peternakan IPB. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, November 2006

Penulis

Page 47: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16th Edit. Assosiation of Official

Analitical Chemist Int., Washington D. C.

ASEANFOOD. 2000. ASEAN Food Composition Tables. Institut of Nutrition, Mahidol University, Thailand.

Baldwin, R. E. 1973. Functional properties in foods. Dalam : W. J. Stadelman dan O. J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.241. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.

Belitz, H. D. and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Spinger Verlag Berlin Heidelberg, New York.

Biliaderis, C. G. dan N. A. M. Eskin. 1992. Carbohydrates. Dalam: Y. H. Hui. (Editor). Encyclopedia of Science and Technologi. Volume 1. John Wiley and Sons, Inc., New York.

Brown, S. L. dan M. E. Zabik. 1967. Effect of heat treatments on the physical and fungtion properties of liquid and spray dried egg albumen. Food Technol. 21(1) : 87.

Buckle, H., M. B. E. Heath and K. South. 1985. Flavor Technology. The AVI Publishing Co., Westport, Connecticut.

Burdock, G. A. 1997. Encyclopedia of Food and Color Adhesive. Volume 3. CRC Press, Inc., New York.

Cherry, J. P. and McWaters. 1981. Protein Functionality in Foods. American Chemical Soviety, Washington.

Desroiser, N. W. 1963. The Technology of Food Preservation. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.

Dziezak. 1980. Microencapsulation and capsulation ingredients. Food Technology. 18 (4) : 138.

Forsythe, R. H. dan J. F. Foster. 1949. Note on the electrophoretic composition of egg white. Poultry Sci. 28(1) : 302.

Gorman, J. M. 1973. Quality control and product spesification. In: W. J Stadelman and Cotterill, O. J. 1977. Egg Science and Technology. The AVI Publishing Co Inc., Westport, Connecticut.

Heldman, R. Dennis and R. P Singh. 1981. Food Process Technology. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.

Hill, W. M. dan M. Sebring. 1973. Desugarization. Di dalam W. J. Stadelman dan O. J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.179. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.

Kennedy, J. F., C. J. Knill dan D. W. Taylor. 1995. Maltodextrins. Dalam : M. W. Keasley dan S. Z. Dziedzic. (Editor). Hand Book of Hydrolysis Product and Their Derivates. Blakie Academic and Profesional, London.

Page 48: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Kjaergard, O. G. 1974. Effect of the lates depelopments on design and practice of spray drying. In : Advance In Preconcentration and Dehydration of Foods. Spicer. Applied Science Publ. Ltd. Essex, New England.

Kusnadhi, F.F. 2003. Formulasi produk minuman instant lingzhi-jahe effervescent. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lehningher, . L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan : Maggy T. W. Erlangga, Jakarta.

Lowe, B. 1963. Experimental Cookery. John Wiley and Sons, Inc., New York.

Maltz, S. A. and T. D. Maltz. 1978. Cookie and Cracker Technology, 2nd ed. The AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut.

Master, K. 1979. Spray Dring Handbook. John Willey and Sons, New York.

. 1991. Spray Dring Handbook. Ed ke-5. London : Longman Group Ltd. Hal 74-107.

Mcdonald, M. 1984. Uses of Glucose Syrups In The Food Industry. Dalam : Dziedzic, S. Z dan M. W. J. Kearsley (eds). Glucose Syrup : Science and Technology. Elsevier Applied Science Publisher, London, New York.

Meyer, L. H. 1976. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation, New York.

Nur, M. A. , M. Syachri dan K. Iskandarsyah. 1983. Kimia Dasar II. Bagian Kimia, IPB, Bogor.

Pomeranz and Meloan. 1978. Food Analysis. The AVI Publ. Co. Inc., West Port, Connecticut.

Panda, P. C. 1996. Text Book on Egg and Poultry Technology. Vikas Publishing House. Publ., Ltd., Hisar.

Potter, N. N. 1980. Food Science. The AVI Publishing Co., Inc, Westport, Connecticut.

Powrie, W. D. 1973. Chemistry of egg and egg products. Di dalam W. J. Stadelman dan O. J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.61. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.

Powrie, W. D. and S. Nakai. 1985. Characteristics of edible fluids of animal origin ; eggs. In : O. R. Fenema. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York Basel.

Pratiwi, K. 2005. Optimasi proses pembuatan susu kambing bubuk dengan penambahan maltodekstrin sebagai bahan pengisi. Skripsi. Departemen Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Wiley and Sons, Inc., New York.

Spicer, A. 1974. Advances in Preconcentration and Dehydration of Food. Applied Science Publ., Ltd, London.

36

Page 49: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Stadelman, W. J and Cotterill, O. J. 1977. Egg Science and Technology. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.

.1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York

Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Stevenson, G. T and Miller. 1986. Introduction to Foods and Nutrition. John Wiley and Sons, Inc., London.

Sukarno, 1984. Mempelajari sifat-sifat fisiko kimia tepung albumen telur ayam leghorn putih selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sutejo. 1999. Pembuatan kecap manis bubuk dengan pengering semprot. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Winarno, F. G., S. Fardiaz. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.

.1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Utama, Jakarta.

Wirakartakusumah, A., A. Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wong, Y. C., T. J. Herald and K. A. Hachmeister. 1996. Comparation between irradiated and thermal pasteurized liquid egg white on fungtional, physical, and microbiological properties. Poultry Sci. 75 : 803-808.

37

Page 50: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

LAMPIRAN

Page 51: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Lampiran 1. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Rendemen Total

a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Total

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 139,77385 69,88692 26,89 0,0010*

Error 6 15,59447 2,59908 Corrected Total 8 155,36381 Keteranagan : * berbeda nyata

b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Total

Model Mean Duncan Grouping

C 13,57 A

B 5,97 B

A 4,62 B

Lampiran 2. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Rendemen Halus

a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Halus

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 6,83112 3,41556 6,84 0,0283* Error 6 2,99576 0,49929 Corrected Total 8 9,82688 Keteranagan : * berbeda nyata

b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Halus

Model Mean Duncan Grouping C 4,90 A B 3,31 B A 2,87 B

Lampiran 3. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Rendemen Kasar

a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Kasar

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 4564,87042 2282,43521 18,02 0,0052* Error 6 633,33833 126,66767 Corrected Total 7 5198,20875 Keteranagan : * berbeda nyata

39

Page 52: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Kasar

Model Mean Duncan Grouping C 66,63 A

B 19,63 B A 14,25 B

Lampiran 4. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap pH sebelum Pengeringan

a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap pH sebelum Pengeringan

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 3,24222 1,62111 12,87 0,0068* Error 6 0,75667 0,12594

Corrected Total 8 3,99789 Keteranagan : * berbeda nyata

b. Hasil Uji Duncan terhadap pH sebelum Pengeringan

Model Mean Duncan Grouping A 8,13 A B 7,13 B C 6,69 B

Lampiran 5. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap pH setelah Pengeringan

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0,03909 0,01954 0,80 0,4918 Error 6 0,14647 0,02441

Corrected Total 8 0,18556

Lampiran 6. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Kadar Air

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 2 7,06789 3,53395 1,92 0,2268 Error 6 11,04664 1,84111

Corrected Total 8 18,11454

40

Page 53: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Lampiran 7. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Kelarutan Bubuk

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 19,50396 9,75198 2,75 0,1419 Error 6 21,26714 3,54453

Corrected Total 8 40,77113

Lampiran 8. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Nilai Kecerahan (L)

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0,00860 0,00430 0,06 0,9424 Error 6 0,43040 0,07173

Corrected Total 8 0,43900

Lampiran 9. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Daya Busa

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 2 1.913,58383 956,79191 0,67 0,5445 Error 6 8.518,53148 1419,75525

Corrected Total 8 10.432,11531

Lampiran 10. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih

Telur terhadap Stabilitas Busa

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 8,95887 4,47943 2,72 0,1444 Error 6 9,88941 1,64824

Corrected Total 8 18,84827

Lampiran 11. Pengering Semprot (Spray Drayer) Tipe Buchi 190

41

Page 54: AGUS LAHMUDIN_D2006.pdf

Lampiran 12. Tepung Putih Telur Perlakuan A

Lampiran 13. Tepung Putih Telur Perlakuan B

Lampiran 14. Tepung Putih Telur Perlakuan C

42