agus sunaryo, msi

136

Upload: others

Post on 27-Apr-2022

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agus Sunaryo, MSI
Page 2: Agus Sunaryo, MSI
Page 3: Agus Sunaryo, MSI

CV. Pustaka Ilmu Group

Agus Sunaryo, MSI.

Page 4: Agus Sunaryo, MSI

iv Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

USHUL FIQH DAN PERUBAHAN SOSIALTelaah Kritis Epistemologi Fiqh Kontemporer© Agus Sunaryo

Copyright © Pustaka Ilmu, 2018viii+ 128 halaman; 14x21 cm1. Ushulfiqh2.Perubahansosial3. epistemologi4.fiqhkontemporer

ISBN: 978-602-6835-56-7

Editor:AhmadZayyadiPemeriksaAksara:SarmoHidayatPerancangSampul:NurAfandiPewajahIsi:TimPustakaIlmu

Penerbit Pustaka IlmuJl.WonosariKM.6.5No.243KalanganYogyakartaTelp/Faks:(0274)4435538E-mail:[email protected]:https://www.pustakailmu.co.idLayanansms:081578797497

AnggotaIKAPI

CetakanI,Januari2018

PenerbitdanAgencyCV. Pustaka Ilmu Group Yogyakarta Jl.WonosariKM.6.5No.243KalanganYogyakartaTelp/Faks:(0274)4435538Email: [email protected]:www.pustakailmu.co.id

©HakCiptadilindungiUndang-undangAll Rights Reserved

DilarangmemperbanyaksebagianatauseluruhisibukuinidalambentukapapuntanpaizintertulisdariPenerbitPustakaIlmuYogyakarta

Page 5: Agus Sunaryo, MSI

vAgus Sunaryo, MSI.

PENGANTAR PENULIS

Segala puji hanya milik Allah Swt, karena atas Ma’unah-Nya, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan pada waktunya.

Selanjutnya, salam dan sholawat semoga tercurah atas junjungan kita, Rasulullah Muhammad S.A.W sang maha guru pencetus peradaban dunia. Untuk mewarisi jejak langkahnya, maka dengan segenap jiwa dan raga semoga kita mampu ber ‘ittiba’ dijalan-Nya, aamiin.

Keterbatasan teks-teks agama dalam memberi kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang selalu muncul seiring dengan pesatnya perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyara kat, membuat para ulama berusaha keras untuk menyusun perangkat metodologis yang bisa digunakan untuk merumuskan ketentuan hukum. Di antara perangkat metodologis tersebut adalah qawaid fiqhiyyah, yang merupakan pengembangan dari pendekatan usul Fiqh. Pendekatan usul Fiqh sendiri sudah sangat lama mendominasi konstruksi pemikiran hukum Islam. Namun karena penggunaannya sangat rumit dan butuh keahlian mumpuni, maka ia lebih banyak digunakan oleh orang yang benar-benar ahli dalam berbagai disiplin keilmuan Islam. Sementara qawaid fiqhiyyah, karena sifatnya yang sederhana dan memiliki daya cakup yang luas, lebih banyak digunakan oleh umat Islam. Hal ini semakin tampak di era kontemporer, di mana banyak sekali persoalan baru yang muncul dan segara membutuhkan kepastian hukum.

Cara pandang keagamaan seorang muslim, sangat ditentukan oleh bagaimana mereka membangun keyakinan dan pemikirannya tentang kehendak Tuhan yang tertulis dalam teks-teks suci

Page 6: Agus Sunaryo, MSI

vi Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

keagamaan. Sifat teks-teks tersebut yang diam dan berjarak dengan para pembaca, telah melahirkan sikap keagamaan yang berbeda-beda antara satu muslim dengan muslim lainnya. Sehingga, di antara mereka ada yang memiliki cara pandang dan sikap keagamaan terbuka serta toleran, selain tentu saja ada yang memiliki sikap dan cara pandang keagamaan eksklusif-puritan. Masing-masing dari kelompok ini tampil ke permukaan menjadi penafsir dari teks-teks keagamaan dan sekaligus mempromosikan diri sebagai yang paling otoritatif dalam melakukan penafsiran. Buku ini akan membahas bagaimana dua kecenderungan ini bisa berkembang dan mewarnai diskursus studi fiqh dan ushul fiqh kontemporer.

Buku Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial: Telaah Kritis Epistemologi Fiqh Kontemporer ini ditulis untuk hal yang positif dengan membuat motivasi dan upaya menggairahkan semangat dalam dunia akademik khsusnya bagi para pemerhati kajian Fiqh, Ushul Fiqh, hukum Islam, masa’ilul fiqhiyah, dan terkait dengan problematika hukum Islam kontemporer. Besar harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan kontribusi akademik dan pemikiran, sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca yang budiman dalam merespon serta memberi solusi terhadap berbagai problematika yang dihadapi umat Islam saat ini.

Purwokerto, 20 Oktober 2017

Penulis

Page 7: Agus Sunaryo, MSI

viiAgus Sunaryo, MSI.

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS ........................................................ v

BAGIAN IPENDAHULUAN ................................................................... 1A. Latar dan Lingkup Kajian ................................................ 1B. Kerangka Penelitian Terdahulu ........................................ 9C. Teori dan Metodologi ...................................................... 132. Sistematika Buku ............................................................. 24

BAGIAN IIFIQH DAN PARADIGMA KEAGAMAAN ........................... 26A. Paradigma Pemikiran Dunia Islam .................................. 26B. Post Modernisme dan Perkembangan Paradigma Keagamaan Baru ........................................... 34

1. Pluralisme Islam dan Islam Inklusif ........................ 342. Ekslusifisme Islam ................................................... 51

BAGIAN IIITRILOGI EPISTEMOLOGI FIQH HEGEMONIK: FIQH INKLUSIF-MODERAT, INKLUSIF LIBERAL DAN EKSKLUSIF-PURITAN .......................................................... 59A. Fiqh dalam Bingkai Sejarah............................................. 59

1. Era Sahabat .............................................................. 592. Era Tabi’in (mazhab fiqh klasik) ............................. 643. Era empat Mazhab ................................................... 67

B. Epistemologi Fiqh Inklusif-Moderat ............................... 71

Page 8: Agus Sunaryo, MSI

viii Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

C. Epistemologi Fiqh Inklusif-Liberal ................................. 731. Fazlur Rahman ........................................................ 772. Abdullah Ahmed an-Na’im ..................................... 803. Muhammad Syahrur ................................................ 82

D. Epistemologi Fiqh Eksklusif-Puritan ............................... 851. Salafiyyah ................................................................ 872. Wahabiyyah ............................................................. 92

BAGIAN IVANALISIS KRITIS TERHADAP EPISTEMOLOGI FIQH HEGEMONIK ................................. 95A. Menyoal pergulatan Teks dan Konteks ............................ 95B. Fiqh Otoritatif vis a vis Otoritarianisme Fiqh.................. 98

1. Fiqh dan Kekuasaan ................................................ 982. Bersikap Adil terhadap Teks-teks Suci. ................... 102C. Perlukah Epistemologi Fiqh Alternatif? .................. 113

BAB VPENUTUP ................................................................................ 123A. Kesimpulan ...................................................................... 123B. Saran dan Harapan ........................................................... 125

TENTANG PENULIS.............................................................. 127

Page 9: Agus Sunaryo, MSI

1Agus Sunaryo, MSI.

BAGIAN I

PENDAHULUAN

A. Latar dan Lingkup KajianTidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan umat manusia

telah mengalami perubahan dan perkembangan yang luar biasa, khususnya dalam kurun 150 sampai 200 tahun terakhir. Perubahan ini meliputi hampir seluruh aspek kehidupan, yaitu: Ilmu pengetahuan, tatanan sosial politik, sosial-ekonomi, hukum, tata kota, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Menurut Abdullah Saeed, sebagaimana dikutip oleh Amin Abdullah,1 massivitas perubahan dan perkembangan tersebut memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi, migrasi penduduk, kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa, penemuan-penemuan arkeologis, evolusi dan genetika, pendidikan umum dan tingkat literasi. Yang lebih penting dari semua itu adalah bertambahnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya harkat dan martabat manusia (human dignity), perjumpaan yang lebih dekat antara umat beragama (greater inter-faith interaction), munculnya konsep negara-bangsa (nation state) yang berdampak

1 M. Amin Abdullah, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi”, dalam asy-Syir’ah, vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012, hlm. 316-317.

Page 10: Agus Sunaryo, MSI

2 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

pada kesetaraan dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara (equal citizenship), termasuk kesetaraan gender dan yang lainnya. Diakui atau tidak, perubahan dahsyat tersebut membawa pengaruh pada pola pikir dan cara pandang keagamaa n (religious worldview) baik di lingkungan umat Islam maupun di agama lain.2

Dalam Islam, persoalan cara pandang keagamaan telah melahirkan banyak sekali aliran berfikir (mazhab) yang secara ideal sering dipahami sebagai sebuah keniscayaan beragama dan bahkan menjadi salah satu bentuk kasih sayang Tuhan kepada hambaNya. Sebuah adagium yang banyak dinisbatkan kepada nabi menyebutkan bahwa Nabi pernah bersabda: perbedaan (pendapat) di kalangan umatku adalah rahmat.3 Meskipun hadis ini diragukan keasliannya dari Nabi, namun banyak ulama’ yang mengambil spirit keagamaan dari pernyataan tersebut, terutama ketika menyikapi persoalan perbedaan cara pandang dalam beragama. Imam al-Nasafi misalnya, dalam salah satu kitabnya pernah mengatakan: pendapat kami adalah benar namun mengandung kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain adalah salah (menurut kami), namun mengandung kemungkinan untuk benar.4 Sebelum imam al-Nasafi, para pemuka mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) juga telah memberikan teladan bagaimana sebuah perbedaan bisa disikapi secara arif dan bijaksana. Bahkan pada periode awal Islam, persoalan khila>fiyyah (perbedaan pendapat) sudah sering terjadi dikalangan komunitas

2 Teks asli dari pernyataan Abdullah Saeed adalah: “...The epoch making changes in the world over the past 150 years have effected muslim as well as non muslim and altered significantly how we see the world. These changes are enormous: globalization, migration, scientific and tecnological revolutions, space ezploration, archaeological discoveries, evo-lution and genetics, public education and literacy, increased understanding of the dignity of human person, greater interfaith interaction, the emergence of nation-state (and the con-cept of equal citizenship), and gender equality”. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Toward Contemporary Approach (New York: Routledge, 2006), hlm. 2.

3 Al-Mala> ‘Ali> al-Qa>ri, “Al-Asra>r al-Marfu>’ah fi al-Akhba>r al-Maudu>’ah”, dalam CD Pro-gram Jawa>mi’ al-Kalim, kata kunci “ummati> rahmatun”.

4 CD Maktabah Syamilah, kata kuncu “yahtamilu al-Shawab”.

Page 11: Agus Sunaryo, MSI

3Agus Sunaryo, MSI.

sahabat. Hanya saja persoalan yang muncul kala itu tidak sekompleks pada masa-masa sesudahnya.5

Perbedaan, dalam bentuk apapun, sebenarnya bukanlah persoalan yang perlu dikhawatirkan. Namun ketika perbedaan tersebut telah mengarah pada terbentuknya hegemoni wacana, klaim kebenaran atau keselamatan sepihak serta intoleransi dalam menyikapi kelompok yang berbeda, maka hal ini perlu mendapatkan perhatian serius. Sejarah Islam telah mencatat bahwa perbedaan cara pandang keagamaan tidak selamanya berjalan secara ideal. Artinya, kesan bahwa perbedaan tersebut adalah keniscayaan, kasih sayang atau konsekuensi logis dari kerja berfikir terkadang tidak tampak dalam kurun tertentu sejarah Islam. Adakalanya sejarah Islam menampakkan periode dimana perbedaan mampu disikapi secara arif dan bijaksana, namun di kala lain, terjadi peristiwa di mana perbedaan tersebut harus diakhiri dengan pertumpahan darah (perang).6

Sebagai diskursus yang secara etimologis (bahasa) dimaknai dengan “pemahaman” maka fiqh, menurut para ahli, menganggap bahwa perbedaan pendapat tidak lebih dari konsekuensi logis atas kerja berfikir manusia,7 khususnya ketika menelaah persoalan-persoalan yang dikategorikan sebagai furu>’iyyah-ijtiha>diyyah.

5 Lihat Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010).

6 Hal ini bisa dilihat misalnya pada krisis politik yang terjadi antara kelompok Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang kemudian melahirkan sekte-sekte teologi (ka-lam) Islam seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabbariyyah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan lain sebagainya. Tidak jarang dari semua sekte ini saling mengkafirkan satu sama lain dan menggunakan kekerasan dalam mempertahankan argumennya serta me-lemahkan argumen kelompok lain. Lihat harus Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 2009).

7 Lihat misalkan definisi dari epistemologi fiqh (usul fiqh) Ali> Hasaballa>h dalam Ali> Hasaballa>h, Us}u>l al-Tasyri>’ al-Isla>my (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), hlm. 3-5. Dari definisi yang dibuatnya dapat dipahami bahwa fiqh dihasilkan oleh seperangkat kaidah yang mam-pu menganalisis serta menggali muatan hukum dari dalil-dalil yang secara spesifik memuat aturan hukum tertentu. Mengingat bahwa proses analisis dan penarikan kesimpulan hukum ini menggunakan perangkat metodologis yang dirumuskan melalui kerja nalar, maka sudah barang tentu hasil yang dicapai tidak semua seragam.

Page 12: Agus Sunaryo, MSI

4 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Oleh karenanya sangat wajar jika dalam perkembangannya fiqh, dari dahulu hingga sekarang, selalu diwarnai dengan perbedaan pendapat dan lahirnya aliran-aliran (maza>hib). Di periode sahabat, muncul aliran yang disebut dengan ahl al-hadi>s dan ahl al-ra’y. Aliran ahl al-hadi>s berpusat di Madinah, sementara ahl al-ra’y berpusat di Kuffah. Secara metodologis aliran ahl al-hadi>s dikenal sangat “loyal” dalam menggunakan hadis dan selektif sekali ketika menggunakan akal. Sebaliknya, ahl al-ra’y lebih cenderung menggunakan akal fikiran dari pada hadis.8 Dari kedua aliran inilah kemudian berkembang mazhab-mazhab fiqh hingga era imam empat mazhab.

Diantara para fuqaha’ yang pendapatnya dikategorikan sebagai ahl al-hadi>s adalah mereka yang tergabung dalam fuqaha>’ sab’ah (tujuh orang ahli fiqh), yaitu: Sai>d ibn Musayyab, Urwah ibn Zubayr, Abu> Bakr ibn Abdurrah}ma>n, Ubaidilla>h ibn Abdulla>h ibn Utbah, Khari>jah ibn Zayd ibn Sa>bit, Qa>sim ibn Muh}ammad ibn Abu> Bakr dan Sulaima>n ibn Yasa>r. Ketujuh sahabat ini menduduki level (t}abaqah) pertama ulama’ Madinah, sedangkan pada level kedua ada nama-nama seperti: Abdulla>h ibn Abdulla>h ibn Umar, Sali>m ibn Abdulla>h ibn Umar, Aba>n ibn Usma>n ibn ‘Affa>n, Abi> Salamah ibn Abdurrah}ma>n ibn Auf, Ali> ibn Husein ibn Ali> ibn Abi> T}a>lib dan Na>fi’ Maula> ibn Umar.9

Adapun para sahabat yang tergabung dalam aliran ahli al-ra’y adalah para ulama Kuffah seperti: Ibn Mas’u>d, Abu> Musa> al-Asy’a>ri, Sa’ad ibn Abi> Waqas, Amr ibn Yasi>r, Khuzaifah ibn al-Yaman dan Anas ibn Ma>lik. Pendapat dari para sahabat ini kemudian dilanjutkan oleh para fuqaha’ yang menjadi murid mereka, seperti: Al-Qamah ibn Qais al-Nakha’i, al-Aswad ibn

8 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, 2003), hlm. 73-74.

9 Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh Tasyri>’ al-Isla>my (Riya>dh: Maktabatul Ma’a>rif, 1996), hlm. 289.

Page 13: Agus Sunaryo, MSI

5Agus Sunaryo, MSI.

Yazi>d al-Nakha’i, Abu Maisyarah al-Hamdani, Masdu>q ibn al-Ajda> hingga ulama generasi Imam Abu> Hani>fah.10

Di era empat mazhab, muncul karakter berfikir yang juga sangat berbeda antara mazhab Malikiyyah (Imam Ma>lik ibn Anas) dan Hanafiyyah (Abu> Hani>fah). Para ahli mengkategorikan Mazhab Malikiyyah sebagai penerus ahli al-hadi>s, sementara Hanafiyyah adalah penerus ahli al-ra’y pada masa sahabat. Adapun Imam as-Sya>fi’i dianggap telah menghadirkan pemikiran yang menjembatani kesenjangan antara Malikiyyah dan Hanafiyyah. Sehingga mazhab Syafi’iyyah secara metodologis mencoba menggabungkan antara penggunaan hadis disatu sisi dan pemanfaatan nalar di lain sisi. Kedua perangkat metodologis ini selalu digunakan secara proporsional dalam upaya menggali hukum Islam yang moderat.11

Sampai disini perbedaan pendapat dikalangan ulama’ fiqh masih berada dalam lingkup idealnya. Namun seiring perkembangan zaman, perbedaan yang terjadi kemudian melahirkan tiga paradigma besar dalam fiqh yang mendominasi perkembangan diskursus fiqh di zaman modern dan seringkali harus berebut kuasa dalam memahami makna ayat-ayat Tuhan. Tidak jarang satu paradigma menghegemoni yang lainnya atau bahkan mengkafirkannya. Penulis menyebut ketiganya dengan paradigma fiqh inklusif-moderat, fiqh inklusif liberal, dan fiqh eksklusif-puritan.

Paradigma yang pertama menawarkan cara pandang fiqh yang terbuka namun tidak keluar dari frame dominan ulama’ fiqh. Metodologi yang mereka kembangkan juga memiliki akar akademik yang kuat dengan ulama’ mayoritas yang hidup sebelum mereka. Diantara tokoh yang bisa dijadikan representasi dari

10 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek, jilid II (Jakarta: UI Press, 1979), hlm. 14-15.

11 Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisisme. Arabisme, alih bahasa Khairan Nahdhiyin (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 3-8.

Page 14: Agus Sunaryo, MSI

6 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

paradigma ini antara lain, Yu>suf al-Qard}a>wy, Wahbah az-Zuhayly, Ali> Jum’ah, Ali> As-S}a>bu>ny dan Sa’i>d Ramad}a>n al-Bu>t}y.

Adapun paradigma yang kedua (inklusif-liberal) lebih banyak dinisbatkan kepada tokoh-tokoh seperti hasan al-Turabi, Nasr Hamid Abu Zayd, Mahmud Muhammad Thaha, Abdullahi Ahmen an-Naim, Fazlurrahman, M. Syahrur, Fatimma Mernisi, Mohammed Arkoun, Hasan Hanafi, Abed al-Jabiri dan yang lainnya. Sedangkan paradigma yang terakhir (eksklusif-puritan) bisa direpresentasikan oleh pemikiran tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin (H}asan al-Banna>, Sayyid Muh}ammah Qutb dan Abu> al-A’la> al-Maudu>di),12 Muh}ammad ibn Abd al-Wahha>b, Syaikh Abdulla>h ibn Ba>z, Ibn Utsaimin, Nas}i>rudi>n al-Alba>ni dan Ibn Fauza>n.13

Di Indonesia, karakter fiqh yang berkembang nampaknya juga tidak bisa keluar dari pengaruh ketiga paradigma di atas. Secara mayoritas, umat Islam di Indonesia cenderung mengikuti paradigma fiqh inklusif-moderat. Hal ini bisa dibuktikan dari banyaknya kitab-kitab fiqh yang beradar serta fatwa-fatwa fiqh yang dihasilkan baik oleh lembaga resmi (pemerintah) maupun oleh “komunitas-komunitas” fiqh.14 Semua mengacu pada tradisi fiqh imam empat mazhab dengan metodologi yang standar dan berlaku umum.

Di luar kelompok mayoritas, ada komunitas yang mencoba menawarkan paradigma baru dengan mengusung perangkat metodologis yang dalam beberapa hal tidak memiliki akar geneologis dengan yang lama, meskipun dalam kasus-kasus tertentu mereka lebih merupakan model lain dari paradigma

12 Tentang kiprah ketiga tokoh ini bisa dilihat pada Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, alih-bahasa Harimurti dan Qomarudin SF (Jakarta: Serambi, t.th).

13 Lihat Syeikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi (Jogjakarta: Pustaka Pesantren, 2011).

14 Lembaga resmi yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia, sedangkan komunitas fiqh lebih ditujukan kepada lambaga Bahsul Masail NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, serta hasil ijtihad para akademisi Syari’ah, masyarakat pesantren dan yang lainnya.

Page 15: Agus Sunaryo, MSI

7Agus Sunaryo, MSI.

inklusif. Jaringan Islam Liberal (JIL) misalnya, dalam hal berfiqh mereka menawarkan cara pandang baru bagaimana fiqh dirumuskan dalam konteks zaman sekarang. Lahirnya buku fiqh lintas agama dan beberapa artikel yang ditulis oleh komunitas ini menunjukkan bahwa corak liberal, dengan mengembangkan fiqh yang tidak terjebak pada teks, begitu kuat.

Sementara paradigma eksklusif-puritan, lebih banyak diikuti oleh kelompok-kelompok yang secara geneologis mengikuti cara berfikir organisasi ikhwanul muslimin, wahabi atau organisasi-organisasi lain yang mengusung semangat anti Amerika, zionisme dan menawarkan konsep al-ruju>’ ila> al-kita>b wa al-sunnah dan terobsesi untuk mendirikan khila>fah isla>miyyah. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok salafi dan jaringan-jaringannya adalah representasi dari paradigma eksklusif-puritan. Ketika buku fiqh lintas agama diluncurkan misalnya, kelompok ini segera merespon dengan menerbitkan buku tandingan untuk membantahnya, ketika tokoh Ulil Abshar Abdallah mengeluarkan statement kontroversial tentang penyegaran kembali pemahaman Islam,15 mereka segera merespon dengan aksi boikot, pengkafiran dan bahkan menfatwakan halal darahnya.

Yang menarik dari munculnya ketiga paradigma di atas adalah bahwa masing-masing mengklaim sebagai yang paling otoritatif dalam menafsirkan pesan-pesan Tuhan. Setiap mereka, meskipun menghasilkan rumusan fiqh yang sangat berbeda, selalu menganggap telah mendapatkan legitimasi agama dalam perumusannya. Sehingga perbedaan yang terjadi, yang terkadang

15 Dalam pernyataannya, Ulil Mengatakan bahwa upaya penyegaran pemahaman Islam adalah sebuah keharusan. Upaya ini bisa dimulai dengan melakukan “desakralisasi teks”. artinya, al-Qur’an harus diposisikan secara proporsional sebagai teks yang meniscayakan adanya dialog dengan konteks. Terkait dengan hukum Islam, umat Islam harus lebih kritis memilah mana hukum yang benar-benar Islam (universal) dan mana hukum yang lebih bernuansa Arab (lokal-temporal). Pernyataan ulil ini selain pernah dimuat di Harian Kompas juga per-nah diseminarkan di Kelompok Studi Relief (Religious Issues Forum), Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Program Pascasarjana UGM tanggal 19.

Page 16: Agus Sunaryo, MSI

8 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

dilengkapi dengan kalimat kufr, d}all atau bid’ah, menjadi sulit untuk dicarikan titik temu.

Berdasarkan hal di atas, penulis memandang penting dilakukannya research mendalam tentang bagaimana ketiga paradigma di atas muncul dan berkembang di kalangan umat Islam. Walau bagaimana pun persoalan fiqh masih menjadi primadona bagi peminat kajian islamic studies.16 Selain itu, karena sifatnya yang ‘amaliyyah (praktis), maka fiqh berpotensi melahirkan sikap-sikap praktis keagamaan (tidak hanya perspektif) yang intoleran, hegemonik dan diskriminatif. Hal ini bisa terjadi jika sikap berfiqh tidak diimbangi dengan kearifan dalam menyikapi perbedaan.

Pada titik ini, persoalan epistemologi menjadi persoalan yang sangat signifikan untuk diteliti. Paling tidak, kajian mengenai epistemologi dari ketiga paradigma di atas akan menambah wawasan umat Islam tentang bagaimana sebuah paradigma itu dirumuskan dan dampaknya bagi kehidupan umat Islam, khususnya di zaman modern.17 Dengan mengetahui epistemologi masing-masing paradigma, maka perbedaan yang terjadi minimal bisa diakhiri dengan kalimat “kami berbeda dengan kalian” atau “kami tidak akan mengikuti cara pandang kalian” atau kalimat lain yang lebih santun, bukan kata-kata seperi “anda kafir”, “anda telah murtad”, “anda telah melakukan bid’ah dan masuk neraka” atau “karena si A mengeluarkan fatwa demikian, maka menumpahkan darahnya dalah halal”.

Berdasarkan hal di atas, penulis memiliki keyakinan akademik bahwa penelitian tentang epistemologi fiqh Inklusif-Moderat, Inklusif liberal dan Eksklusif-Puritan, masih relevan untuk dilanjutkan. Harapannya, penelitian ini bisa bermanfaat bagi pengembangan keilmuan hukum Islam, tidak hanya bagi penulis dan pemerhati fiqh, melainkan bagi umat Islam secara keseluruhan. 16 Lihat Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Jogjakarta: LkiS, 2003).17 Lihat Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).

Page 17: Agus Sunaryo, MSI

9Agus Sunaryo, MSI.

Kajian dalam buku ini memiliki spektrum yang sangat luas. Untuk itu penulis mempunyai kegelisahan akademik (sense of crisis) tentang gagaimana epistemologi fiqh yang dikembangkan oleh kelompok inklusif-moderat, inklusif liberal dan fiqh eksklusif-puritan. Apa relevansi dari kajian mengenai epistemologi fiqh inklusif-moderat, inklusif liberal dan eksklusif-puritan bagi pengembangan keilmuan fiqh yang mampu menjawab problem kekinian dan sebuah perubahan sosial. Sebagai sebuah upaya akademis-ilmiah, maka buku ini ditargetkan mampu mencapai beberapa tujuan, antara lain:

1. Mendeskripsikan epistemologi fiqh inklusif-moderat, inklusif liberal dan fiqh eksklusif-puritan.

2. Menguraikan relevansi mengenai epistemologi fiqh inklusif-moderat dan fiqh eksklusif-puritan dan kontribusinya bagi pengembangan keilmuan fiqh yang mampu menjawab problem kekinian.

Adapun dilihat dari signifikansinya, maka penelitan dalam buku ini memiliki dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasil dari penelitian akan melengkapi khazanah keilmuan Islam terutama yang berikaitan dengan persoalan fiqh vis a vis problem kekinian. Secara praktis penelitian ini menawarkan beberapa metodologi berfikir dalam fiqh yang bisa dikembangkan untuk menjawab persoalan di masyarakat modern. Hal ini tentunya akan sangat berguna bagi komunitas-komunitas fiqh, termasuk di fakultas-fakultas (jurusan) syari’ah di seluruh PTAI di Indonesia.

B. Kerangka Penelitian TerdahuluPersoalan mengenai epistemologi dalam Islam dan

perkembangan paradigma fiqh sebenarnya bukanlah hal baru dalam diskursus islamic studies. Namun demikian, ketika

Page 18: Agus Sunaryo, MSI

10 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

epistemologi diletakkan dalam konteks paradigma fiqh yang berkembang di era modern, nampaknya masih menyisakan “lahan kosong” untuk dikaji dan diteliti. Dalam telaah yang dilakukan, penulis menemukan beberapa penelitian yang secara substantif memiliki relevansi dengan persoalan yang penulis teliti. Di antaranya adalah buku karya Khaled Muhammad Abou el-Fadl, And God, Knows The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse18, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women19, The Great Theft: Wrestling Islam from The Extrimists20. Ketiga buku ini mencoba memetakan dua paradigma besar dalam fiqh, yaitu fiqh inklusif moderat (otoritatif) dan fiqh eksklusif-puritan (otoriter). Menurut Khaled, teks-teks agama yang pada mulanya bersifat otoritatif, di tangan beberapa orang, berubah menjadi doktrin yang otoriter. Oleh karenanya umat Islam harus cerdas memilih dan memilah mana yang termasuk keduanya (otoritatif versus otoriter).

Sri Lum’atus Sa’adah juga telah menulis sebuah buku tentang Peta Pemikiran Fiqh Progresif. Dalam bukunya, Sri menguraikan secara mendalam tentang geneologi pembaharuan hukum Islam (fiqh) mulai dari Najmuddi>n al-T}u>fi sampai Sa’i>d al-Asyma>wi.21 Dari hasil temuannya, jelas sekali penulis sedang memaparkan salah satu paradigma fiqh yang berkembang di era modern. Dalam hal ini apa yang disebut oleh Sri sebagai fiqh progressif adalah nama lain dari istilah yang penulis sebut dalam penelitian ini sebagai fiqh inklusif-liberal.

18 Buku ini sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kurniawan Abdullah den-gan Judul Melawan “Tentara Tuhan”. Lihat Khaled M. Abou el-Fadl, Melawan Tentara Tuhan, alihbahasa Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003).

19 Dalam bahasa Indonesia buku ini dialihbahasakan menjadi Atas Nama Tuhan: Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif. Lihat Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, alihbahasa R. Cecep Luqman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004).

20 Helmi Mustofa menterjemahkan buku ini menjadi Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Lihat Khaled M. Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2006).

21 Lihat Sri Lum’atus Sa’adah, Peta Pemikiran Fiqh Progresif (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012).

Page 19: Agus Sunaryo, MSI

11Agus Sunaryo, MSI.

Kajian mengenai corak fiqh inklusif-liberal, penulis temukan dalam buku yang disusun oleh Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama. Dalam buku ini para penulis, yang semuanya berasal dari Universitas Paramadina Jakarta, mencoba melakukan upaya rekonstruksi metodologis terhadap fiqh yang selama ini dipandang eksklusif dan diskriminatif terhadap komunitas non muslim. Upaya ini menghasilkan rumusan-rumusan baru (untuk tidak menyebut kontroversial) fiqh yang berbeda dengan sebelumnya. Sebagai contoh, mereka membolehkan nikah beda agama dalam konteks perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim. Hal ini tentunya baru mengingat dalam literatur-literatur fiqh, kebolehan menikah beda agama hanya dalam konteks laki-laki muslim menikah dengan wanita non muslimah.22

Persoalan inklusivitas Islam juga pernah ditulis oleh Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusif. Dalam buku ini Alwi menegaskan bahwa ajaran Islam sangat menjungjung tinggi keterbukaan untuk menjalin hubungan dengan komunitas agama lain. Menurutnya, kemungkinan mencari titik temu antara agama-agama di dunia, khususnya agama samawi, adalah sangat mungkin dilakukan. Oleh karenanya, upaya pencarian titik temu ini harus didahulukan dan diutamakan daripada memperbesar perbedaan.23

Sebelum Alwi Shihab, Nurcholish Madjid juga lebih dahulu menulis banyak buku tentang paradigma Islam yang inklusif-pluralis. Dari beberapa bukunya seperi, Islam Agama Kemanusiaan,24 Islam Doktrin dan Peradaban,25 dan yang lainnya, jelas sekali Nurcholish Madjid ingin mengembangkan sebuah paradigma keagamaan (Islam) yang terbuka dan bisa menghargai segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan. Menurutnya, semua agama samawi memiliki peluang besar untuk

22 Lihat Nurcholish Madjid dkk., Fiqh Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, Maret 2005).23 Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 2000).24 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2003)25 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000).

Page 20: Agus Sunaryo, MSI

12 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

mencapai suatu titik temu (kalimatun sawa). Sebab, konsep al-islam memiliki makna yang lebih luas dari sekedar organized religion. Ia bisa mencakup seluruh agama yang inti ajarannya mengandung pesan universal yaitu “sikap pasrah” kepada Tuhan.26

Mengenai epistemologi fiqh, penulis menemukan sebuah hasil penelitian yang berjudul, Mempertautkan Epistemologi Studi Hukum Islam Global, Nasional dan Lokal. Penelitian yang dilakukan oleh Waryani Fajar Riyanto ini mengurai peta epistemologi fiqh yang dikelompokkan ke dalam fiqh global, nasional dan Lokal. Dengan demikian Waryani lebih menitikberatkan analisisnya pada spektrum (daya jangkau) dari paradigma fiqh yang ditawarkan oleh beberapa komunitas (mazhab).27

Dalam bentuk trilogi buku, Syaikh Idahram juga membahas secara mendalam tentang ideologi keagamaan kaum salafi-wahabi (ekslusif-puritan). Ketiga buku tersebut adalah: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Ulama Sejagat Menggugat Salafi Wahabi dan Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik. Melalui ketiga bukunya Syaikh Idahram berusaha menjelaskan aliran Salafi Wahabi melalui tiga perpektif, historis, motodologis dan kritis. Ia menjelaskan bagaimana Salafi Wahabi berkembang dengan banyak menindas dan menumpahkan darah kelompok lain, model dan metode ekspansi ideologis yang ditempuh serta respon ulama terhadap gerakan Salafi Wahabi.

Selain literatur-literatur di atas, telaah pustaka juga penulis lakukan dengan menganalisis buku-buku atau kitab yang ditulis oleh beberapa tokoh yang merepresentasikan ketiga paradigma fiqh, baik inklusif-moderat, inklusif-liberal maupun eksklusif-puritan. Dari semua literatur yang penulis dapatkan, belum ada satupun hasil penelitian atau kajian yang secara khusus meneliti

26 Nurcholish Madjid, Islam Agama, hlm.x-xviii.27 Waryani Fajar Riyanto, Mempertautkan Epistemologi Studi Hukum Islam Global, Nasional

dan Lokal. Penelitian tidak diterbitkan.

Page 21: Agus Sunaryo, MSI

13Agus Sunaryo, MSI.

tentang epistemologi ketiga paradigma fiqh tersebut. Untuk alasan itulah penelitian ini dihadirkan guna mengisi ruang kosong khazanah keilmuan hukum Islam.

C. Teori dan MetodologiSatu hal yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun adalah

kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (khit}a>b al-Sya>ri’) selalu bertumpu pada teks (nas), sementara teks itu sendiri selalu dibantu oleh alat mediasi yaitu “bahasa”. Bahasa inilah yang kemudian menjadi sumber silang pendapat di kalangan banyak orang, karena keberadaannya yang tidak lain merupakan hasil kesepakatan sebuah komunitas dan rekayasa dari budaya manusia. Sebuah kata, kalimat, atau anak kalimat sangat bergantung pada suatu sistem simbol yang tentunya membutuhkan perangkat alat bantu dari asosiasi-asosiasi, gambaran-gambaran, juga emosi pendengar.

Semua perangkat di atas tidak mungkin bersifat statis dan seragam, melainkan bisa jadi berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, bahasa memiliki realitas objektif tersendiri di mana proses pemaknaannya tidak bisa ditentukan secara sepihak, baik oleh author (pengarang) maupun oleh pambaca (reader). Untuk itu, ketika seseorang atau sebuah komunitas menggunakan perantara bahasa, baik sebagai media komunikasi, dialog atau penyampai gagasan, maka secara otomatis mereka harus sadar akan keterbatasan yang melekat di dalamnya.

Mengingat kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh komunitas penentu makna, maka pemahaman terhadap teks tidak bisa dilakukan secara semena-mena oleh pihak manapun, baik oleh pihak pengarang (author) maupun oleh pembaca (reader). Pemahaman terhadap teks harus mewujud dalam sebuah interaksi hidup antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca

Page 22: Agus Sunaryo, MSI

14 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

(reader).28 Pola seperti inilah yang kemudian menurut para ahli melahirkan apa yang disebut dengan teori hermeneutik.

Menurut Khaled Abou el-Fadl, teori hermeneutik akan melahirkan sebuah pertanyaan akademis tentang apa atau siapa yang harus menentukan makna teks (kata) dalam sebuah penafsiran. Berdasarkan teori hermeneutik, ada tiga kemungkinan jawaban yang bisa diberikan. Pertama, ketentuan makna diberikan oleh pengarang (author) atau setidaknya oleh upaya pemahaman terhadap maksud pengarang. Secara sederhana kemungkinan ini dapat dipahami bahwa makna yang sebenarnya dari sebuah teks ditentukan oleh maksud (kehendak) pengarang menggunakan teks tersebut. Atau bisa jadi penentuan makna tersebut berasal dari upaya pambaca dalam memahami teks dari pengarang. Dengan demikian, dua sisi penentuan makna ini bisa jadi mengahasilkan pemahaman yang berbeda.29

Kemungkinan kedua berpusat pada peranan teks dalam menentukan makna dan pengakuan atas tingkat otonomi teks dalam menentukan makna. Artinya, teks diposisikan sebagai satu-satunya entitas yang paling berwenang dalam menentukan makna. Dalam kasus terjadinya perbedaan pemahaman antara “pengarang” dan “pembaca”, maka tugas pengarang adalah mampu menunjukkan dan menjelaskan detail bahasa yang digunakan dalam teks. Dengan demikian, pemahaman pembaca dan penyampaian maksud pengarang melalui sebuah teks tidak akan memberi sebuah kepastian. Hanya dengan melakukan pembacaan yang cermat dan teliti terhadap teks lah yang dapat menjembatani kesenjangan antara pemahaman pembaca dan maksud pengarang.30

Kemungkinan ketiga adalah memberikan penetapan makna kepada pembaca. Umumnya pembaca akan membawa serta sub-

28 Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan”, dalam Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama , hlm. XI-XII.

29 Ibid., hlm. 183.30 Ibid., hlm. 184.

Page 23: Agus Sunaryo, MSI

15Agus Sunaryo, MSI.

jektivitasnya dalam proses pembacaan yang diproyeksikan kepada kehendak pengarang dan teks. Ketika pembaca melakukan pembacaan terhadap sebuah teks, maka sangat sulit bagi dirinya untuk keluar dari pengaruh pengalaman mereka sendiri. Oleh karenanya, realitas sosial, historis, psikologis atau bahkan ideologis adalah pengalaman yang lazim melekat dalam diri pembaca dan membentuk subjektivitas bacaannya.31 Sedemikian kuat pengaruh “pengalaman” dalam membentuk subjektifitas seorang pembaca membuat pembaca yang lain harus mampu menilai dan menguji secara kritis dinamika kekuasaan (power) yang membentuk konstruksi pemahaman seseorang.

Jika teori hermeneutik ini ditarik dalam konteks analisis terhadap epistemologi paradigma fiqh yang berkembang dewasa ini maka akan muncul sebuah pola relasi yang unik antara pengarang (author), pembaca (reader) dan teks (text). Sebagai author Allah telah menuangkan kehendakNya dalam bentuk wahyu yang diverbalkan menjadi teks (nas) al-Qur’an. Semua diskursus keislaman, termasuk di dalamnya fiqh, selalu menjadikan al-Qur’an sebagai poros pijak kajiannya. Sebagai orang pertama yang melakukan interaksi dengan al-Qur’an, nabi Muhammad dipercaya sebagai pihak yang paling otoritatif dalam menentukan makna kata dalam teks-teks al-Qur’an. Hampir-hampir tidak ada jarak pemahaman antara nabi Muhammad sebagai pembaca (reader) dengan Allah sebagai pengarang (author). Sebagai pengarang, Allah senantiasa memantau hasil bacaan Muhammad dan memberikan koreksi jika ada pemahaman yang tidak sejalan dengan kehendakNya. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankanNya: dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).32

31 Ibid., hlm. 184-185.32 Q.S An-Najm (53): 3-4.

Page 24: Agus Sunaryo, MSI

16 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Setelah Muhammad, jarak antara pembaca, pengarang dan teks mulai tampak. Terlebih ketika pembaca hidup di masa di mana teks tersebut sudah lama berhenti proses penurunannya (tanzi>l). Semakin kebelakang periode hidup pembaca, maka akan semakin jauh pula jarak antara dia dengan pengarang dan juga teksNya. Dengan demikian, menjadi hal yang sangat wajar jika kemudian terjadi perbedaan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain dalam hal menentukan makna teks (al-Qur’an) yang dibacanya. Justeru akan menjadi tidak wajar apabila masing-masing pembaca kemudian memaksakan hasil bacaannya kepada orang lain dan mengklaim diri sebagai bacaan yang paling otoritatif. Sebab, walau bagaimanapun subjektifitas pembaca menjadi hal yang sulit dihindari, terlebih dalam konteks zaman dimana kompleksitas kehidupan semakin meningkat. Terkait dengan hal ini, Ibn Rusyd pernah mengingatkan bahwa persoalan (kasus) yang dihadapi umat manusia tidak pernah mengenal kata berhenti, sementara teks-teks keagamaan sudah paripurna. Oleh karenanya, mengatasi persoalan yang tidak pernah berhenti dengan sesuatu yang sudah paripurna menjadi hal yang tidak mudah dilakukan. Apalagi mencoba menyatukan semua pandangan untuk menghasilkan satu solusi yang sama.33 Secara sederhana, penggunaan hermeneutik sebagai pisau analisis dalam studi epistemologi paradigma fiqh yang berkembang dewasa ini dapat di ilustrasikan dalam skema gambar sebagai berikut:

33 Abu> al-Wali>d Muh}ammad ibn Rusyd al-Hafi>d, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtasid (Indonesia: Da>r Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, t.th), hlm. 2. Lihat juga Wael B. Hallaq, “Membaca Teori Batas Muhammad Syahrur”, dalam Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, alihabahasa Sahiron Syamsudin dan Burhanudin Dzikri (Jogjakarta: ELSAQ Press, 2007), hlm. 15.

Page 25: Agus Sunaryo, MSI

17Agus Sunaryo, MSI.

Persoalan munculnya paradigma fiqh yang beragam, nampaknya tidak bisa dipahami dengan hanya menggunakan perangkat teori hermenutik. Sebab, ketika sebuah hasil bacaan kemudian berkembang menjadi satu paradigma, maka ini tidak lagi merupakan problem interaksi antara author, reader dan text semata, malainkan sudah meluas ke persoalan diskursus (discourse). Untuk itu, apa yang dikembangkan oleh Michel Foucault menjadi layak untuk dipertimbangkan.

Dalam analisis diskursus (discourse analysis), Foucault menjelaskan bahwa kemunculan sebuah statement atau pendapat (mazhab) selalu barada dalam sebuah konteks, tempat dan juga keadaan di mana statement tersebut dikeluarkan. Dengan kata lain, analisis diskursus berusaha menunjukkan bagaimana ide-

Page 26: Agus Sunaryo, MSI

18 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

ide, obyek-obyek dan konsep-konsep dibangun. Tidak menutup kemungkinan bahwa analisis yang dilakukan memasuki ranah yang bersifat ideologi dan politis.34 Sebuah ranah yang tidak mungkin dimasuki oleh analisis teks.

Berdasarkan analisis diskursus, sebuah institusi, praktik atau konsep, kemunculannya sangat terkait dengan empat hal, yaitu: will (keinginan), power (kekuasaan), discipline (disiplin) dan regime (pemerintahan). Foucault menyebut keempat hal ini dengan formasi diskursif (discursive formation), yaitu formasi yang mendasari terbentuknya sebuah diskursus (wacana) atau bahkan paradigma.

Menurut Foucault, pengetahuan itu dikontrol, dibatasi dan tekadang dikucilkan. Oleh karenanya ia meyakini adanya the politic of all forms of knowledge, keyakinan bahwa pengetahuan apapun tidak bisa dilepaskan dari jerat politik. Dengan demikian, keberadaan fiqh yang bercorak inklusif-moderat, inklusif liberal dan eksklusif-puritas juga sangat mungkinkan terbentuk dari empat formasi di atas. Artinya, muatan ideologis-politis menjadi hal yang sulit untuk dipisahkan dari ketiganya. Untuk lebih jelasnya, analisis diskursus yang ditawarkan Foucault dalam penelitian mengenai epistemologi paradigma fiqh yang penulis teliti bisa dilihat pada gambar skematik berikut:

34 Jeremy R. Carrette, Foucault and Religion Sipiritual Corporality and Political Spiritually (London and New York: Rouledege, 2000), hlm. 11.

Page 27: Agus Sunaryo, MSI

19Agus Sunaryo, MSI.

Sebagai sebuah institusi, ide atau konsep, ketiga paradigma fiqh diatas tentunya memiliki keterkaitan erat dengan keinginan (will) atau motif perumusnya, kekuasaan (power) yang mengitarinya, disiplin (discilline) yang mengaturnya dan pemerintahan (regime) yang mengontrolnya. Oleh itu, subjektivitas ketiganya adalah hal yang niscaya. Sangat sulit untuk mengatakan bahwa satu paradigma adalah lebih otoritatif dan objektif dibanding yang lain atau sebaliknya. Atas dasar ini pulalah Khaled mansyaratkan adanya lima pondasi agar sebuah pemahaman dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan, yaitu:1. Kejujuran (honesty) Seorang konseptor, pemilik ide, pembaca atau penerima

mandat haruslah memiliki sikap jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak hanya dalam persoalan penafsiran, melainkan yang lebih penting adalah dalam hal memberikan penjelasan. Tidak boleh ada perintah Tuhan yang disembunyikan atau dengan sengaja diganti bunyi perintahnya. Termasuk sikap jujur adalah berterus terang dengan kadar ilmu dan kemampuannya memahami pesan (perintah) Tuhan.35

35 Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama, hlm. 100

Page 28: Agus Sunaryo, MSI

20 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

2. Kesungguhan Kesungguhan dapat dilihat dari upaya rasional konseptor

dalam memahami dan menemukan perintah-perintah yang relevan dengan persoalan tertentu. Untuk mengukur tingkat kesungguhan seseorang, dapat dilakukan dengan kemauannya merenungkan persoalan yang sedang dihadapi, memaksimalkan usahanya dalam menyelidiki, mengkaji dan menganalisis perintah-perintah Tuhan yang ada. Semua upaya ini tidak boleh didasarkan pada standar dan pesanan masyarakat, melainkan murni dari analisis rasionalnya terhadap pesan-pesan dan perintah Tuhan. Untuk itulah al-Qur’an mengingatkan dengan tegas larangan dan kecaman Allah terhadap mereka yang membuat klaim tentang Tuhan atau bertindak atas nama Tuhan tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan yang mencukupi, melainkan semata atas dasar nafsu, kesombongan, atau kepentingan pribadi.36

3. Kemenyeluruhan Setiap perintah tuhan harus dibaca dan dipahami secara

menyeluruh oleh seorang pembaca atau konseptor. Ia harus mertimbangkan semua perintah yang relevan, berusaha secara kontinu untuk menemukan perintah-perintah tersebut dan tidak melepas tanggungjawabnya untuk menyelidiki atau melakukan pembuktian atas apa yang ditemukan serta dinalisisnya.37

4. Rasionalitas Rasionalitas dalam konteks ini dimaknai sebagai sebuah

upaya dari pembaca atau konseptor untuk memahami perintah Tuhan secara rasional. Dalam hal ini seorang pembaca harus pandai-pandai mengenal, baik komunitas interpretasi maupun komunitas makna yang akan dihadapi. Formula yang

36 Ibid., hlm. 100-101. Lihat Q.S. Al-Baqarah (2): 80, 169, Q.S. Al-A’raf (7): 28, 33 dan Q.S. Yunus (10): 68.

37 Ibid., hlm. 101

Page 29: Agus Sunaryo, MSI

21Agus Sunaryo, MSI.

ia tawarkan juga harus mempertimbangkan daya pemahaman dari komunitas atau pembaca lain. Seorang konseptor atau pembaca yang baik idealnya memiliki kesadaran bahwa penelusuran makna yang ia lakukan bukanlah persoalan yang bersifat pribadi dan tunggal, melainkan sesuatu yang juga diformulasikan oleh komunitas lainnya. Untuk itu, tidak baik bagi seseorang melakukan “penafsiran berlebih” terhadap teks dengan cara memasukkan sebuah “teks fiktif” yang tidak konsisten ke dalam teks yang sedang ia tafsirkan.38 Artinya, ketika melakukan proses pembacaan, ia tidak boleh membacanya dengan cara sedemikian rupa sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa teks itu “terkesan” memberikan perintah-perintah seperti yang diinginkan oleh pembaca, bukan menampilkan perintah sebagaimana yang dikehendaki oleh teks itu sendiri.39

5. Pengendalian diri Syarat ini bisa dijadikan klaim epistemologis dan moral bagi

pembaca, dimana seorang pembaca seharusnya menunjukkan kerendah hatian dan kemampuan mengendalikan diri dalam memahami dan menjelaskan kehendak Tuhan. Dalam sebuah ungkapan sederhana, ulama’ seringkali mengenalkan kepada kita kalimat wa Alla>h a’lam (dan Allah yang paling tahu segalanya). Meskipun sederhana, kalimat ini memberikan teladan berharga kepada kita, khususnya para pembaca dan konseptor untuk selalu waspada dan menghindari setiap penyimpangan atau kemungkinan penyimpangan dari peran serta tugas yang diberikan Tuhan. Untuk itu, pengenalan terhadap batas diri atas peran dan tugas adalah mutlak harus dimiliki oleh setiap pembaca. Jika ia dihadapkan pada persoalan yang tidak memiliki cukup bukti atau tidak memiliki argumentasi yang kuat, maka sebaiknya ia menahan

38 Ibid., hlm. 101-102.39 Ibid., hlm. 102

Page 30: Agus Sunaryo, MSI

22 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

diri untuk tidak mengambil keputusan secara terburu-buru. Bahkan, pernyataan “saya tidak tahu” atau “saya belum tahu” adalah lebih bijak dan arif dari pada memaksakan keputusan yang tidak disertai bukti-bukti kuat.40

Berdasarkan kelima pondasi di atas, maka setiap pradigma fiqh yang berkembang bisa dilihat tingkat validitas dan keterpercayaannya dalam menentukan makna dari sebuah perintah Tuhan. Namun demikian, mengingat bahwa kelimanya lebih bersifat moral-individual (pribadi) sementara fiqh selalu berkembang mengiringi berbagai entitas di luarnya yang juga selalu berubah,41 maka pemahaman yang paling ideal adalah bersifat integratif. Artinya, kualitas moral pembaca atau konseptor, harus dilihat secara adil dengan mempertimbangkan aspek sosio-historis dan sosio-sosio politis yang melingkupinya.

A. Jenis dan Sifat PenelitianDilihat dari jenisnya, penelitian ini dapat dikategorikan

sebagai penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang fokus kajiannya terletak pada data-data kepustakaan. Data kepustakaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah informasi terkait dengan paradigma fiqh inklusif-moderat, inklusif liberal dan eksklusif puritan. Adapun sifat dari penelitian adalah deskriptif-analitis,42 komparatif-rekonstruktif. Deskriptif-analitis artinya bahwa penelitian ini akan menguraikan ketiga paradigma fiqh di atas dan menganalisis epistemologi yang menjadi rancang bangun keilmuan fiqh mereka. Komparatif, yaitu memperbandingkan karakter masing-masing paradigma untuk melihat titik persamaan dan perbedaannya. Adapun rekonstruktif dimaknai dengan usaha penulis untuk menemukan format ideal epistemologi fiqh dengan

40 Ibid., hlm. 102-103.41 Lihat NJ Coulson, Konflik dalam Jurisprudensi Islam, alihbahasa Fuad Zein (Jogjakarta:

Navila, 2001).42 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 6

Page 31: Agus Sunaryo, MSI

23Agus Sunaryo, MSI.

berpijak pada epistemologi ketiga paradigma fiqh di atas yang dengan ini diharapkan bisa memberi kontribusi bagi pengembangan keilmuan hukum Islam.1. Pendekatan

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis, sosiologis, dan metodologis. Pendekatan historis akan penyusun gunakan untuk memahami fakta sejarah terkait dengan munculnya paradigma fiqh Inklusif-Moderat, Inklusif liberal dan Eksklusif-Puritan. Pendekatan sosiologis lebih penulis gunakan untuk melihat dan menganalisis pengaruh ketiga paradigma tersebut bagi perkembangan fiqh. Sementara pendekatan metodologis akan penulis gunakan untuk menganalisis model istinbat hukum yang digunakan oleh masing-masing paradigma sehingga menghasilkan konsep fiqh seperti yang ada dan berkembang sekarang.

2. Sumber dan Metode Pengumpulan DataMengingat bahwa penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library research), maka data utama (primer) yang dipakai adalah literatur-literatur yang terkait dengan paradigma fiqh inklusif-moderat, inklusif liberal dan eksklusif-puritan, baik yang ditulis oleh tokohnya langsung maupun oleh orang lain.

Untuk melengkapi data yang dibutuhkan, penulis juga akan memanfaat data sekunder, yaitu literatur-literatur yang membahas tentang konsep fiqh secara umum, usul fiqh dan epistemologi. Selain untuk kelengkapan informasi, adanya data sekunder akan mempermudah penulis dalam melakukan analisis dan rekonstruksi epistemologi baru dalam pengembangan fiqh.

Selanjutnya, dalam mengumpulkan data, penulis akan menggunakan metode dokumentasi, yaitu merekam dan

Page 32: Agus Sunaryo, MSI

24 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

mendokumentasikan setiap data yang terdapat, baik pada data primer maupun sekunder, untuk kemudian dideskripsikan dan dianalisis.

3. Analisis DataSetelah data yang diperlukan dalam penelitian mencukupi, maka penulis akan menganalisisnya dengan dua model penalaran, yaitu: penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran deduktif akan penulis lakukan ketika memotret perkembangan paradigma hukum Islam secara umum dan menariknya dalam konteks ketiga paradigma fiqh yang diteliti.

Adapun upaya rekonstruksi epistemologis akan penyusun lakukan dengan menggunakan penalaran induktif, yaitu melakukan generalisasi terhadap ketiga paradigma fiqh tersebut sehingga menghasilkan pemahaman baru yang dapat dimanfaat bagi pengembangan fiqh di masa menadatang.

2. Sistematika BukuSebagai sebuah riset ilmiah (saintific-research), maka

penelitian ini akan disusun secara sistematis dengan mengacu pada beberapa bab, yaitu:

Bagian I berisi pendahuluan. Bagian ini merupakan pengantar metodologis untuk bisa memahami secara sistematis materi-materi dalam bab-bab berikutnya. Dalam bagian I akan dijelaskan mengenai Latar dan Lingkup Kajian, Rumusan Masalah, Peta Penelitian Terdahulu, Teori dan Metodologi dan Sistematika Buku.

Selanjutnya adalah Baigian II yang merupakan pengantar umum tentang paradigma fiqh dalam dunia Islam. Pada bagian II ini, penulis akan menguraikan tentang sejarah perkembangan fiqh dari masa ke masa sampai kemudian mengerucut pada tiga

Page 33: Agus Sunaryo, MSI

25Agus Sunaryo, MSI.

paradigma fiqh, yaitu paradigma inklusif-moderat, inklusif liberal dan eksklusif-puritan.

Adapun Bagian III akan mendeskripsikan paradigma fiqh inklusif-moderat, inklusif liberal dan eksklusif-puritan. Fokus kajian dalam bagian ini lebih diarahkan pada persoalan metodologi instinbat hukum dan setting sosial yang melingkupi perkembangan ketiganya di tengah perubahan social.

Setelah melakukan upaya deskriptif pada bagian II dan III, penelitian dilanjutkan dengan bagian IV yang merupakan analisis penulis terhadap data-data pada bagian-bagian sebelumnya. Dari proses analisis ini penulis akan mencoba merumuskan epistemologi baru yang layak dikembangkan dalam upaya pengembangan keilmuan hukum Islam sehingga tetap relevan dengan semangat zaman.

Penelitian akan diakhiri dengan Bagian V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi jawaban dari beberapa pokok persoalan dalam penelitian. Sementara saran sangat terkait dengan tawaran mengenai bagaimana membangun sebuah sinergi antara berbagai komunitas fiqh dalam mengembangkan sebuah diskursus yang tidak hanya relevan, tetapi mampu menjadi alternatif solusi atas berbagai problem hukum dan sosial yang di hadapi masyarakat modern.

Page 34: Agus Sunaryo, MSI

26 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

BAGIAN II

FIQH DAN PARADIGMA KEAGAMAAN

A. Paradigma Pemikiran Dunia IslamAgama adalah sebuah fenomena yang kaya sekaligus sangat

kompleks. Di dalamnya terkandung berbagai dimensi, baik ritual, doktrinal, etikal, sosial dan experiensial. Hal ini tidak terkecuali juga di terjadi dan alami oleh agama Islam. Sebagai agama yang memiliki pengikut terbesar kedua di dunia, Islam diyakini sebagai cara pandang hidup (way of life) yang tidak hanya menawarkan landasan moral, tetapi juga landasan etis, sosial dan legal demi memesahkan segala persoalan kehidupan. Atas dasar itulah Islam sering disebut sebagai ad-din (agama), ad-dunya (dunia) dan ad-daulah (negara/politik), Islam adalah sistem keyakinan dan sistem hukum (aqidah wa syariah) dan sekaligus sebagai agama yang sempurna yang didesain Tuhan sampai akhir zaman.

Hajriyanto Y. Tohari membahasakan realitas Islam yang kompleks di atas dengan risalah yang universal (untuk semua manusia), risalah yang dijamin selalu relevan bagi setiap perkembangan zaman dan tempat (shalih li-kulli zaman wa makan), mondial (untuk seantero dunia) dan eternal (sampai akhir

Page 35: Agus Sunaryo, MSI

27Agus Sunaryo, MSI.

zaman).43 Dalam perspektif yang lain, agama sering dianggap sebagai gejala sosial yang ada dan berkembang setua perkembangan masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat memiliki motif untuk beragama. Hal ini yang biasa disebut oleh C.G Jung dengan istilah nuturaliter religiosa, yaitu manifestasi dari fitrah manusia yang membutuhkan tuntunan dalam memecahkan problematikanya. Dengan beragama, manusia akan megakui keterbatasan dirinya dan dengan beragama pula masyarakat akan tunduk pada seperangkat nilai yang bersifat transedental.44 Dengan begitu, adalah wajar jika kemudian masyarakat selalu mengkorelasikan setiap momentum yang mereka alami dalam menjalani kehidupannya dengan agama.

Intensitas hubungan yang massif antara Islam dan dunia Barat, dalam perkembangannya telah memunculkan beragam pemikiran, khususnya terkait dengan bagaimana Islam memposisikan diri dan bersikap terhadap modernisme yang dipropagandakan dunia Barat. Adonis misalnya, ia mengidentifikasi adanya dua kecenderungan berfikir di dunia Islam (Arab), yaitu ats-tsa>bit dan al-mutah}awwil. Pemikiran yang pertama (ats-tsabit) lebih mengedepankan dan selalu bertumpu pada teks, sedangkan yang kedua (al-mutahawwil) memiliki dua perngertian, yaitu: a) sebagai pemikiran yang berdasarkan pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan, 2) sebagai pemikiran yang memandang teks tidak mengandung otoritas, sehingga pemikiran harus didasarkan pada ra’yu (akal).45

Bagi kelompok ats-tsabit pengetahuan tekstual tidak dapat disejajarkan dengan kriteria apapun di luar dirinya, tidak dapat dimajukan di luar pengetahuan dirinya, serta bahasa Arab (sebagai

43 Harjiyanto Y. Thohari, Islam dan Realitas Budaya (Jakarta: Media Cita, 2000), hlm. 301.

44 M. Deden Ridwan, Membangun Kerukunan Teologi; Kehampaan Spiritual Masyarakat Indonesia (Jakarta: Media Cita, 2000), hlm. 71.

45 Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, alihbahasa Khairon Nahdiyyin (Yogya-karta: LKIS, 2007), hlm. xxvii.

Page 36: Agus Sunaryo, MSI

28 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

bahasa al-Qur’an) dengan segala kreatifitasnya tidak dapat disejajarkan dengan kriteria apapun di luar dirinya. Hal ini tentunya bertentangan dengan pemikiran kelompok al-mutahawwil yang memiliki tiga prinsip, yaitu: kebebasan berkreasi tanpa batas, ketidakberhinggaan pengetahuan dan ketidakberhinggaan eksplorasi, perbedaan serta pluralitas.46

Berbeda dalam penyebutannya dengan Adonis, Charles Kurzman mengidentifikasikan pemikiran Islam ke dalam tiga kelompok tradisi. Pertama, Islam Adat (Customary Islam) yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di seluruh dunia Islam. Kedua, Islam Revivalis (Revivalist Islam) atau juga disebut Islam Fundamentalis yang mendefinisikan dirinya berbeda dengan Islam Adat dan menyerukan keutamaan Islam pada periode paling awal (al-salaf al-s}a>lih), menegaskan ketidak-absahan praktek-praktek keagamaan masa kini yang dianggap tidak islami dan keluar dari konteks yang diwahyukan, mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana pada masa jaya, menyerang interpretasi adat yang kurang memberi perhatian pada doktrin Islam dan membersihkan pusat-pusat strategis tradisi Islam adat. Ketiga, Islam Liberal (Liberal Islam) yang berpandangan sebagaimana Islam Revivalis terhadap Islam Adat namun dengan cara yang berbeda yaitu dengan menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas.47

Senada dengan Kurzman, Akbar S Ahmad mengidentifikasi peta pemikiran Islam kedalam segitiga Tradisionalis, Radikalis, dan Modernis. Kelompok Tradisionalis adalah mereka yang memandang perlunya dialog antara Islam dan Barat karena

46 Ibid,.xxxiv.47 Charles Kurzman, “Pengantar: Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam

Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, ed. Charles Kurzman, alihbahasa Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. xv-xvii.

Page 37: Agus Sunaryo, MSI

29Agus Sunaryo, MSI.

keduanya dianggap membawa universalime pesan Tuhan yang memungkinkan untuk dilakukannya dialog antar iman. Kelompok Modernis adalah mereka yang menganggap bahwa agama tidak lagi memiliki kekuatan untuk membimbing. Sedangkan kelompok Radikalis adalah mereka yang sudah kehilangan kesabaran terhadap Barat dan mengajak untuk segara dilakukan revolusi.48 Trilogi pemikiran ini, menurut Akbar, kemudian mengkristal dalam tiga tipologi pemikiran yang mendominasi peta pemikiran dunia Islam (Arab) kontemporer, yaitu:49

Pertama, tipologi transformatik yaitu para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional-ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dengan kecenderungan mistik dan tidak berdasarkan pada nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang, karenanya harus ditinggalkan.50

Kedua, tipologi reformistik yaitu para pemikir Arab yang melakukan reformasi dengan mengadakan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok ini mempunyai dua kecenderungan yaitu pertama, pemikir yang memakai metode rekonstruktif yaitu melihat tradisi (turath) dengan perspektif membangun kembali (rekonstruksi), yang berarti bahwa untuk bisa tetap hidup dan dapat diterima, maka tradisi harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka modern dan pra-syarat rasional. Kecenderungan kedua, yang menggunakan metode dekonstruktif yang merupakan fenomena

48 Akbar S Ahmed, Posmodernisme: Bahasa dan Harapan Bagi Islam, alihbasaha M. Sirozi, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 167 –176.

49 Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporery Arab Thougt (Albany: State University of New York Press, 1990), hlm. 3-4.

50 A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Jurnal Paramadina, volume I No. 1 edisi Juli-Desember 1998, hlm. 66-70.

Page 38: Agus Sunaryo, MSI

30 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

baru pemikir Arab. Para pemikir dekonstruktif dipengaruhi oleh sosiologi mazhab Prancis51 terutama gerakan Post-strukturalis dan Post-Modernisme.52

Ketiga, tipologi ideal-totalistik yaitu kelompok yang hendak menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-unsur asing dari Barat serta menyerukan kepada keaslian Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan para al-khulafa>’ al-ra>s}idi>n, dan kembali kepada sumber asli ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.53

Jika disederhanakan, maka perkembangan peta pemikiran Islam sebagaimana digambarkan oleh para islamolog di atas dapat dikelompokkan menjadi pemikiran Islam tradisionalis, modernis, dan fundamentalis. Sebuah kategori yang tentunya bisa diperdebatkan, namun yang pasti semuanya bemuara pada upaya mengagungkan dan membesarkan agama Islam.

Satu hal yang sulit dihindari adalah bahwa perkembangan ketiga kategori pemikiran tersebut sering kali diwarnai dengan ketegangan dan konflik. Di satu pihak ketegangan itu muncul oleh suatu keharusan mempertahankan aspek doktrinal dari norma agama dan situasi dunia yang selalu berubah, sementara di lain pihak ketegangan tersebut adalah konsekuensi logis dari sebuah proses sosiologis yang sulit dihindari. Meskipun demikian, dinamika yang seringkali harus diwarnai dengan ketegangan dan konflik ini pada akhirnya dapat memberi kesan bagi proses sosial dan historis agama Islam di masa-masa selanjutnya. 1. Pemikiran Islam Tradisional (tradisionalisme Islam)

51 Perkembangan sosiologi Prancis diawali dengan munculnya aliran filsafat positivistik yang dimotori –di antaranya oleh Claude Henri Saint-Simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1875), dan Emile Durkheim (1858-1917). Lihat George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosial Modern, cet. III (Jakarta: Kencana. 2005), hlm. 16-20.

52 A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi, hlm. 76-77.53 Ibid., hlm. 81.84.

Page 39: Agus Sunaryo, MSI

31Agus Sunaryo, MSI.

Tradisionelisme Islam adalah gerakan pemikiran Islam yang dinisbatkan pada pemikiran-pemikiran ulama fiqih, hadits, tasawuf dan tauhid, yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13.54 Salah satu karakter khas pemikiran tradisional adalah mampu mengakomodasi dan beradaptasi dengan tradisi-tradisi lokal, sehingga proses berkembanganya relatif lebih cepat meskipun di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kemajemukan budaya seperti di Indonesia sekalipun. Dalam gerakannya, tradisionalisme Islam telah memberi sumbangan yang berarti bagi proses awal Islamisasi masyarakat yang berjalan secara evolutif dan relatif tanpa kekerasan.

Beberapa ahli seringkali kali mengistilahkan lain tradisionalisme Islam dengan ahl as-sunnah wa al-jamaah. Sebuah istilah yang selalu merujuk pada pemikiran empat mazhab di bidang fiqh, imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi di bidang aqidah dan tauhid serta Abu Qasim Junaidi al-Baghdadi serta al-Ghazali di bidang Tasawuf.55 Berawal dari pemahaman yang bersifat teologis, tradisionalisme Islam mencoba mengejawantahkannya dalam setiap perilaku kehidupan baik yang bersifat politik, budaya, agama maupun sosial.

2. Modernisme Islam Modernisme Islam lahir sebagai a counter discourse atas hegemoni tradisionalisme Islam yang telah lebih dulu mengurat akar dalam pola pikir dan tingkah laku masyarakat. Kerangka ideologis dan teologis modernisme didapatkan dari pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha56. Dari keduanya lahir ide-ide pembaharuan dan pemurnian Islam yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Jamaluddin

54 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 1.55 A. Muhith Muzadi, NU dan Fiqh Kontekstual (Yogyakarta: LKPPSM, 1994), hlm. 29.56 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 58.

Page 40: Agus Sunaryo, MSI

32 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

al-Afghani Muhammad bin Abdul Wahhab, Hasan al-Banna serta yang lainnya. Ide sentral dari gerakan modernisme Islam adalah mengembalikan kejayaan Islam dengan penguatan lembaga pendidikan serta pemurnian aqidah Islam.

Bagi kaum modernis, umat Islam menjadi terbelakang karena tidak memiliki lembaga pendidikan yang baik dan, dalam banyak hal, praktik-praktik keagamaan mereka telah tercemari oleh unsur-unsur di luar Islam seperti takhayyul, khurafat dan bid’ah. Terkait dengan hal ini, kaum modernis menganggap bahwa kalangan tradisional bertanggungjawab atas terjadinya kemunduran Islam ini. Untuk itu cara pandang tradisional harus diganti dengan cara pandang baru yang diyakini mampu bersaing dengan modernitas dengan tetap menjaga kemurnian ajaran Islam. Hal lain yang harus dilakukan adalah dengan melapaskan umat Islam dari jeratan taqlid kepada imam atau mazhab tertentu dan membuka selebar-lebarnya kran untuk berijtihad.57

3. Fundamentalisme Islam Sulit mendefinisikan istilah fundamentalisme Islam, sebab tidak ada kata sepakat mengenai hal itu. Bahkan ada yang tidak setuju ketika fundamentalisme Islam dinisbatkan pada gerakan atau ideologi tertentu dalam Islam. Sebab dalam tradisi semantik Arab tidak ditemukan akar kata untuk mendefinisakan fundamentalisme. Menurut Jalaluddin Rahmat, fundamentalisme Islam selama ini merujuk pada empat hal, yaitu: gerakan pembaruan, reaksi terhadap kaum modernis, reaksi terhadap westernisasi dan keyakinan terhadap Islam sebagai ideologi alternatif.58 Dengan demikian, fundamentalisme Islam dapat juga dimaknai dengan gerakan

57 Lihat Olivier Roy, Gagalnya Politik Islam, alihbahasa Harimurti dan Qomaruddin SF (Ja-karta: Serambi, t.th), hlm. 39.

58 Jalaluddin Rahmat, ”Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas,” dalam Prisma, No. Eks-tra tahun 1984, hlm. 88.

Page 41: Agus Sunaryo, MSI

33Agus Sunaryo, MSI.

Islam yang secara politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara budaya menjadikan Barat atau mereka yang “terbaratkan” sebagai lawan (counterpart). Fundamentalisme Islam menolak segala bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi kontekstual, sebab bagi mereka, pemahaman model ini (rasional-kontekstual) tidak mampu memberikan kepastian dan akan mereduksi kesucian dan kemurnian agama. Padahal, modernisasi yang telah menimbulkan banyak kekacauan dalam Islam membutuhkan penyeimbang berupa penafsiran-penafsiran agama yang mampu mewujudkan kepastian. Untuk itu mereka menawarkan model penafsiran yang rigid dan literalis terhadap teks-teks agama.59

Dalam mencapai tujuan ideologisnya, fundamentalisme Islam menyusun platform gerakan yang mengacu pada empat karakter: pertama, melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama. Kedua, menolak pluralisme dan relativisme karena dianggap sebagai distorsi dari pemahaman ajaran agama. Ketiga, merumuskan tafsir agama yang tunggal. Kaum fundamentalis biasanya mengklaim bahwa mereka dan para ulamanya adalah pemegang otoritas penafsir agama yang paling sah dan benar. Keberadaan tafsir-tafsir lain yang tidak sejalan bisa dianggap sesat atau bahkan kafir. Keempat, gerakan fundamentalisme selalu memiliki korelasi dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme.60

Fundamentalisme Islam mengalami perkembangan yang signifikan pasca tahun 70-an menyusul kemenangan Revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini. Kemenganan ini sekaligus menjadi simbol kekuatan

59 M. Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 112.

60 Abdurrahman Kasdi, “Fundamentalisme Islam Timur Tengah,” dalam Tashwirul Afkar, edisi No. 13 tahun 2002, hlm. 21.

Page 42: Agus Sunaryo, MSI

34 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

fundamentalisme di dunia Islam. Di luar Iran, Ikhwanul Muslimin yang dikomandoi oleh Hasan al-Banna, Sayyid Qutb dan Abu al-A’la al-Maududi juga gencar menyerukan gerakan fundamentalisme Islam.

Dalam perkembangannya, pemikiran keislaman nampaknya tidak berhenti sampai disitu saja. Di era sekarang, muncul corak baru pemikiran keislaman yang berupaya memperbaiki kekurangan dan menutupi kelemahan pola pemikiran Islam yang telah berkembang lebih dahulu. Para ahli sering menyebut pola pemikiran ini dengan Neo-Modernisme, dimana agenda pembaharuannya tidak lagi soal ad hoc dan intern neo-modernisme keislaman, tetapi lebih kepada agenda-agenda kebangsaan termasuk problem aktual yang dihadapi.

Salaah satu karakter mendasar pemikiran ini adalah penolakan terhadap formalisme dan pemanfaatan agama untuk tujuan politik. Neo modernisme Islam ingin mengembalikan agama sebagai kekuatan etik dan moral bagi kesejahteraan masyarakat secara luas. Agama tidak lagi dijadikan kekuatan formal-ideologis untuk mengurung umat Islam pada imajinasi-imajinasi masa lalu, yang anti perubahan, pluralisme dan semua hal yang berbau Barat. Produk dari pemikiran neo modernisme Islam antara lain, pluralisme agama, teologi inklusif dan hukum Islam substantif.

B. Post Modernisme dan Perkembangan Paradigma Ke-agamaan Baru

1. Pluralisme Islam dan Islam InklusifSecara sederhana Postmodernisme atau Neo-Modernisme

dapat diartikan dengan “pemahaman modernisme baru”. Neo-Modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya

Page 43: Agus Sunaryo, MSI

35Agus Sunaryo, MSI.

sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Mudahnya, pola neo-modernisme berusaha menggabungkan dua faktor penting; modernisme dan tradisionalisme, dimana keduanya mempunyai sisi-sisi kelemahan dan kelebihan. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang tegar bahkan kaku. Sedangkan Tradisionelisme Islam, merasa cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justeru dengan kekayaan itu para pendukung pemikiran ini sangat berorientasi kepada masa lampau dan sangat selektif menerima gagasan-gagasan modernisasi.

Diskursus mengenai agama dalam konteks kehidupan kontemporer, nampaknya selalu mengacu pada dua cara pandang, yaitu: pertama, agama dikategorikan sebagai “holisme” atau satu ksesatuan. Hal ini disebabkan oleh adanya keyakinan universal bahwa dalam agama-agama ada aspek kebenaran yang sama, yang tidak hanya bersifat “lokal”, melainkan universal. Kedua, agama dilihat dalam kebenarannya yang bersifat “plural”, yaitu adanya realitas berbagai kebenaran agama-agama yang spesifik, bahkan mungkin saling bertentangan karena adanya semacam language games teologis yang berbeda-beda antara satu agama dengan agama yang lain.61

Dalam dunia pemikiran kontemporer, holisme dianggap mewakili sudut pandang modernisme yang organis, ekologis, keseluruhan proses, sistem-sistem dan sinergisme. Sedangkan postmodernisme mewakili cara pandang yang didominasi oleh konsep-konsep mengenai pluralisme, fragmentaris, heterogenitas, indeterminasi, skeptisisme, dekonstruksi, perbedaan-perbedaan, ambiguitas dan ketidakpastian dalam usaha mensitesakan berbagai pemikiran kontemporer.

Jika kedua kutub tersebut ditarik untuk memotret realitas agama, maka bagi mereka yang sadar akan makna perenial agama

61 Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 251

Page 44: Agus Sunaryo, MSI

36 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

akan mampu melihat secara langsung titik holisme dalam agama, yaitu keterikatannya dengan “pesan dari langit” atau bahwa agama itu berasal dari “alam langit” yang mampu menyatukan segala entitas di alam kosmis. Sementara bagi seorang posmodernis, agama hanya akan dilihat sebagai realitas psikologis, antropologis, sosiologis atau historis. Jika yang pertama melihat agama sebagai realitas surgawi, maka yang terakhir ini mereduksi agama hanya sebagai realitas duniawi.62

Dari kedua cara pandang di atas, pemikiran keagamaan kontemporer, secara umum telah melahirkan setidaknya empat paradigma pemikiran, yaitu:63 pertama, paradigma eksklusif. Dalam paradigma ini seseorang akan beranggapan bahwa orang lain tidak akan selamat kecuali mengikuti keimanan, kebenaran atau agama yang saya diyakini. Jika ditarik dalam konteks Islam, maka paradigma ini akan melahirkan cara pandang bahwa di luar agama Islam tidak ada pintu keselamatan. Untuk bisa selamat, seseorang harus masuk dan mengimani ajaran Islam.

Paradigma eksklusif dalam banyak hal sering berpandangan negatif (jelek) terhadap keberadaan agama atau keyakinan lain. Dalam konteks kehidupan yang plural paradigma ini akan sulit diterima. Sebab, ia akan menghambat terciptanya kerukunan dan keharmonisan antar pemeluk agama (keyakinan).

Kedua, paradigma inklusif. Paradigma ini memungkinkan adanya pintu keselamatan dalam keyakinan (agama) orang lain. Hanya saja faktor yang menjadikan orang lain selamat harus melalui unsur yang menentukan dalam suatu agama tertentu. Artinya, keselamatan komunitas keyakikan lain memungkinkan untuk terjadi jika ia memenuhi kualifikasi yang ditentukan oleh orang yang memiliki paradigma inklusif.

Meskipun paradigma inklusif sudah sedikit lebih terbuka

62 Ibid., hlm. 254.63 JB. Banawiratma, “Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain Perspektif Gereja, dalam Dia-

log: Kritik dan Identitas Agama (Jogjakarta: Interfidei, 2004), hlm. 16-19.

Page 45: Agus Sunaryo, MSI

37Agus Sunaryo, MSI.

daripada paradigma sebelumnya (eksklusif), namun kategori-kategori keselamatan yang diberikan kepada agama lain nampaknya masih bisa menghambat proses terciptanya kerukunan dan kehidupan yang harmonis di antara pemeluk agama. Cara pandang paradigma ini terhadap keyakinan lain masih bersifat apriori-normatif. Ia belum mampu menjangkau wilayah keyakinan lain sebagaimana yang dialami oleh penganutnya.

Ketiga, paradigma pluralis indeferen. Paradigma ini sebenarnya merupakan tahap lanjut dari paradigma inklusif. Menurut paradigma pluralis, semua agama dengan caranya masing-masing bisa mencapai kebenaran dan keselamatan. Mereka dapat menjangkau apa yang dikehendaki oleh Yang Mutlak, The Ultimate, Allah SWT dan berhak atas anugerah dari Nya.

Meskipun nampak lebih terbuka, paradigma inklusif indeferen masih menyisakan beberapa kelemahan. Diantaranya adalah tidak ditempatkannya ruang perbedaan atau pertentangan-pertentangan visi serta orientasi di antara kayakinan-keyakinan yang ada secara wajar. Pluralisme agama (keyakinan) memandang bahwa keberadaan beberapa kayakinan (agama) yang ada tidak lain hanyalah merupakan varian dari banyak ekskpresi yang berbeda mengenai kenyataan atau pengalaman yang sama.

Keempat, paradigma pluralis dialogal. Dalam paradigma ini seseorang meyakini bahwa agama dan keimanannya adalah yang paling dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karenanya ia anut dengan sepenuh hati. Paradigma ini mengakui setiap varian keimanan yang ada dan sekaligus memberi peluang untuk saling memperkaya diri dengan melakukan dialog keimanan. Berhadapan dengan keimanan lain, masing-masing seharusnya mampu mendengarkan dan membiarkan keimannya disapa oleh keimanan yang lain. Umat beragama hendaknya juga mampu menempatkan umat agama lain dari perspektif iman dan agamanya. Di samping itu, ia juga harus menghormati jati diri mereka tanpa harus mereduksinya dalam agama dan keimanannya.

Page 46: Agus Sunaryo, MSI

38 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Dalam ajaran Islam, beragama adalah suatu hak yang tidak boleh melibatkan unsur paksaan di dalamnya. Doktrin Islam mengajarkan bahwa tidak ada paksaan terhadap seseorang dalam memilih atau memeluk suatu agama. Ha ini sebagaimana difirmankan Allah:

ر ف

يك ن �ف

ي ــ�ف

ال من

د

ش الر ف

ب�يت

د

ق

ف �ي

ــد ال ي ف

� ــراه إك

ل

ل �قوث

ال عروة

ل �ب

استمسك د

قف

لل �ب من

ويؤ وت

اغ

لط �ب

64 يع عل�ي س ا والل فصام لان

Terhadap agama-agama lain Islam tidak menafikan begitu saja. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak ajarannya. Secara eksplisit al-Qur’an menegaskan bahwa orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan Shabi’in, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta melakukan amal kebaikan, mereka akan memperoleh ganjaran (pahala) dari Tuhan, bebas dari rasa takut dan kesedihan.65 Sikap menghormati kepercayaan orang lain sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah begitu kuat, termasuk larangan mencela berhala yang menjadi sesembahan orang lain. Di sini menarik, bahwa Islam, sembari menentang keras segala bentuk kemusyrikan atau kekafiran, ia tetap menekankan kepada umatnya agar senantiasa menjaga perasaan orang-orang musyrik atau kafir.66 Dalam sebuah riwatat, Rasulullan pernah bersabda, “barang siapa mengganggu kaum dzimmi (minoritas non muslim), maka berarti dia telah mengganggu aku.” Ucapan ini memperlihatkan betapa besar rasa tanggungjawab beliau terhadap keamanan dan keselamatan mereka yang bukan muslim yang hidup di bawah kekuasaan kaum mislimin.

64 Q.S. Al-Baqarah (2): 256.65 Q.S. Al-Baqarah (2): 62.66 Johan Efendi, “Kemusliman dan Kemajemukan, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama

(Jogjakarta: Interfidei, 2004), hlm. 62-63.

Page 47: Agus Sunaryo, MSI

39Agus Sunaryo, MSI.

Toleransi yang diajarkan Nabi di atas sudah berlangsung sejak beliau membangun nagara (masyarakat) Madinah. Dan memang masyarakat Madinah, sejak semula, tidak diproyeksikan untuk menjadi masyarakat yang eksklusif, melainkan masyarakat yang inklusif dan mampu menghargai segala bentuk pluralitas. Piagaman Madinah yang menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat di Madinah membuktikan bahwa Nabi tidak ingin menyingkirkan umat-umat agama lain. Piagam ini justeru menggambarkan semangat hidup berdampingan secara rukun yang diikat oleh kesediaan untuk bekerjasaman dan saling membela.67

Apa yang dilakukan Nabi melalui piagam dan masyarakat Madinah seharusnya bisa memberi inspirasi bagi kaum muslimin di manapun dan kapanpun dalam melakukan hubungan sosial-keagamaan dengan penganut agama lain, bahkan dengan kelompok yang tidak beragama sekalipun. Dalam hal ini dimensi historis ketauladanan hidup Nabi menjadi sangat penting untuk dijadikan acuan dalam penghayatan beragama. Tanpa didahului oleh polemik teologis-filosofis Nabi sama sekali tidak mau memaksakan truth claim atas nama diri dan agamanya, meskipun hal itu sangat mungkin untuk beliau lakukan. Nabi justeru memilih sikap agree and disagrement, tanpa harus memaksakan ajaran agama Islam agar bisa diterima oleh orang lain. Beliau lebih memilih agar Islam dianut atas dasar kesadaran, bukan karena unsur paksaan.68

Kondisi spiritual yang ramah dan terbuka sebagaimana dicontohkan Nabi di atas adalah pesan universal ajaran Islam. Ia bukanlah kondisi yang harus ada di suatu era tertentu (era Nabi), melainkan ia merupakan kebutuhan umat manusia sepanjang masa, terlebih masyarakat modern yang semakin komplek dan menunjukkan tingginya tingkat pluralitas.

67 Ibid., hlm. 65.68 Amin Abdullah, “Etika Dialog antar Agama Perspektif Islam,” dalam Dialog: Kritik dan

Identitas Agama (Jogjakarta: Interfidei, 2004), hlm. 129.

Page 48: Agus Sunaryo, MSI

40 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Dalam upaya mewujudkan keberagamaan yang inklusif dan toleran satu sama lain, diperlukan sebuah penegasan atas bahaya absolutisme dan sekaligus penegasan atas perlunya pandangan relativisme ketika berhadapan dengan komunitas agama lain. Karena, beragama adalah bagian dari Hak Asasi dan kebebasan manusia untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu atau tidak memeluknya. Ketika seseorang menyebut atau mengakui Masjid sebagai tempat ibadah keagamaan, maka orang itupun seharusnya bida menerima manakala ada orang lain yang menganggap bahwa Gereja, Sinagoge, Pura dan lainnya sebagai tempat ibadah.69

Selain upaya di atas, membangun keterbukaan dan toleransi antar keyakinan sebenarnya bisa dilakukan dengan dialog untuk mencari simpul-simpul persamaan diantara masing-masing pemeluk agama (keyakinan). Dengan dialog, masing-masing diharapkan bisa saling mengenal, menimba ilmu dan sadar akan kekurangan serta kelebihannya. Hal ini tentunya bisa dijadikan landasan guna menciptakan kehidupan yang rukun dan damai.

Kondisi dialog seperti ini adalah potret ideal yang diharapkan semua pihak. Namun demikian, dalam praktiknya masih sering dijumpai suasana dialog menemui jalan buntu, stagnan dan hanya menjadi semacam ceremonial kurang makna. Biasanya dialog yang demikian terjadi karena masing-masing komunitas tidak bisa menghilangkan sikap saling curiga, tidak toleran dan diskriminatif satu sama lain.70

Untuk menciptakan dialog yang kondusif, menurut Alwi Shihab, harus ada setidaknya dua komitmen dalam diri setiap peserta dialog, yaitu toleransi dan pluralisme. Sulit sekali mewujudkan dialog yang konstruktif tanpa komitmen untuk saling bersikap toleran. Dikap toleran bisa diartikan dengan upaya

69 Nur Khalik Ridwan, Detik-detik Pembongkaran Agama (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2003), hlm. 260.

70 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan antar Umat Beragama (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 350.

Page 49: Agus Sunaryo, MSI

41Agus Sunaryo, MSI.

menahan diri agar potensi konflik bisa ditekan sedemikian rupa.71 Dengan sikap ini seseorang akan sadar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda atau bahkan keliru. Seseorang yang toleran tidak akan serta merta membatalkan atau menyesatkan pernyataan-pernyataan yang sah dari keyakinan-keyakinan orang lain.

Toleransi tidak harus dimaknai dengan setuju terhadap keyakinan-keyakinan atau pendapat orang lain. Ia juga bukan berarti acuh terhadap kebenaran orang lain dan penuh dengan skeptisisme, melainkan lebih kepada sikap hormat terhadap martabat manusia dengan segala kebebasannya.72

Selain dilakukan dengan sikap toleran, dialog juga akan sulit untuk mencapai saling pengertian tanpa adanya sikap pluralistik. Dengan sikap pluralistik, dialog diharapkan bisa mencapai kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Adapun pluralisme yang diharapkan bisa terwujud dalam suasana dialog di antara memiliki pengertian:

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan, melainkan menuntut adanya keterlibatan aktif terhadap realitas majemuk tersebut. Seseorang baru bisa dikatakan sebagai pluralis jika ia dapat berinteraksi secara positif dengan realitas kemajemukan di sekitarnya. Dalam hal pluralisme agama ini bisa diartikan bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan agama lain, melainkan terlibat aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan demi terciptanya kehidupan beragama yang rukun dan damai.

Kedua, pluralisme bukanlah kosmopolitanisme. Kosmo-politanisme menunjuk pada suatu realitas di mana keaneka ragaman ras, agama dan bangsa hidup berdampingan di suatu

71 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41. 72 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000), hlm. 1111.

Page 50: Agus Sunaryo, MSI

42 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

tempat. Namun demikian, interaksi positif antar komunitas yang beragam tersebut tidak terbangun dengan baik atau tidak tampak.

Ketiga, pluralisme juga tidak bisa disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta cara berfikir seseorang atau masyarakatnya. Konsekuensi dari paham relativisme adalah bahwa semua doktrin agama harus diyakini kebenarannya. Atau dengan kata lain “semua agama adalah sama”. Oleh karenanya, kebenaran agama-agama walaupun berbeda satu sama lain tetap harus diterima. Untuk itu, seorang relativis tidak akan menerima suatu kebenaran yang bersifat universal dan berlaku untuk semua orang disetiap masa dan tempat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pluralisme memang terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran sebagai milik seseorang atau kelompok tertentu. Seorang pluralis tidak boleh memaksanakan kebenarannya kepada orang lain. Ia juga harus menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya di hadapan komunitas lain.

Keempat, pluralisme agama juga harus dibedakan dengan sinkretisme agama, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen dari ajaran beberapa agama yang kemudian diintegrasikan dalam satu agama baru.73

Tuntutan terhadap sikap keberaamaan yang menghargai pluralitas, menjadi semakin menguat seiring dengan perkembangan zaman. Dahulu, ketika kehidupan antar komunitas beragama masih tersekat oleh jarak dan kondisi geografis, tentunya wajar jika melahirkan cara pandang keagamaan yang sektoral dan terbatas. Kalau pun tidak demikian, hubungan antara komunitas beragama yang masih diwarnai dengan sikap saling curiga juga

73 Alwi Shihab, Islam, hlm. 41-42.

Page 51: Agus Sunaryo, MSI

43Agus Sunaryo, MSI.

menjadi faktor dominan mengapa cara pandang keagamaan belum seterbuka sekarang. Apalagi, masing-masing agama masih berlomba-lomba untuk memperluar wilayah pengikutnya dengan cara-cara kolonialis.

Perspektif yang demikian, tentunya menjadi berubah sering dengan sikap masing-masing komunitas beragama yang tidak lagi saling curiga dan berhenti melakukan ekspansi wilayahnya dengan pengerahan kekuatan militer. Setiap komunitas menjadi semakin sadar akan kebutuhannya terhadap komunitas lain, saling kenal dan pengetian juga menjadi hal yang tidak terelakkan di antara mereka. Sehingga, cara pandang yang lebih terbuka terhadap komunitas agama lain dengan sendirinya menjadi semacam kebutuhan bagi mereka.

Konsep keterbukaan dan pluralisme, sebenarnya bukan persoalan baru dalam diskursus keislaman. Paling tidak, konsep tersebut adalah merupakan konsekuensi dari prinsip universalisme dan kontekstualisasi dari ajaran Islam. Dengan kedua prinsip inilah ajaran Islam senantiasa mampu beradaptasi dengan dinamika zaman yang melingkupinya. 1. Universalisme Islam

Untuk dapat memahami konsep universalisme Islam, hal pertama yang harus dilakukan adalah memberi pemaknaan yang tepat terhadap konsep tersebut. Secara bahasa, universalisme Islam terdiri dari dua kata, yaitu universalisme dan Islam. Dalam Kamus Filsafat, universalisme memiliki keterkaitan dengan moralitas. Prinsip ini menyatakan bahwa kebenaran atau apa yang dianggap benar (baik dan tepat) bagi seorang individu harus juga dianggap benar oleh individu lainnya dalam situasi yang sama.74

Adapun universalisme, jika dihubungkan dengan Islam, maka ia tidak bisa dipisahkan dengan makna Islam

74 Loren Bagus, Kamus, hlm. 1141.

Page 52: Agus Sunaryo, MSI

44 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

itu sendiri. Dalam hal ini, mengutip apa yang ditulis oleh Nurcholish Madjid, konsep al-Islam memiliki dua pengertian, yaitu perngerian yang bersifat generik (al-ma’na al-‘am) dan perngertian yang bersifat khusus (al-ma’na al-khas) yaitu sebagai proper name (nama dari agama tertentu). Secara generik kata al-Islam mengandung pengertian sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap ini tidak saja merupakan perintah (ajaran) Tuhan kepada hambaNya, melainkan juga memiliki kerterkaitan dengan alam manusia itu sendiri. Adapun secara khusus, al-Islam berarti nama dari suatu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam pandangan Islam, yang terpenting bagi manusia adalah alam atau nature kemanusiaan itu sendiri. Alam ini tidak terpengaruh oleh zaman dan tempat, asal-usul rasial dan kebahasaan, melainkan tetap ada tanpa perubahan dan peralihan. Oleh karena Islam berhubungan dengan alam kemanusiaan, maka ia harus ada bersama manusia tanpa pembatas ruang dan waktu serta kualitas-kualitas lahiriah manusia.75 Dengan kata lain, sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan merupakan tuntutan alamiah manusia. Hal ini berarti pula bahwa “agama” yang secara harfiah antara lain berarti ketundukan, kepatuhan atau ketaatan, hanya diakui keabsahannya jika di tujukan kepada Allah (Tuhan). Karena itulah Islam tidak mengakui kebenaran suatu agama selain yang mengajarkan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah:

م......

سل إ

ال

الل

ف عند �ي

الد

إن

“sesungguhnya agama menurut Allah adalah al-Islam”76

75 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 426.76 Q.S. Ali Imran (3): 19.

Page 53: Agus Sunaryo, MSI

45Agus Sunaryo, MSI.

Meskipun sikap pasrah kepada Tuhan sudah menjadi tuntutan dan keharusan sejak saat-saat pertama diciptakannya manusia, bahkan merupakan nature manusia dan kelanjutan dari perjanjian primordialnya dengan Tuhan, manusia dari waktu ke waktu senantiasanya melupakannya. Dalam konteks inilah Allah mengutus para rasulNya untuk senantiasa mengingatkan manusia (yang lupa) akan perjanjian primordial mereka terhadap Tuhan.77

Kesadaran akan al-Islam menemukan puncaknya yang tertinggi pada saat Nabi Ibrahim as di utus Allah untuk menyampaikan risalahNya. Hal ini sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an:

ف 78 �ي عال

ت لرب ال سل

أ

ال

سل ق

ه أ ب ر ل

ال

ق

إذ

Melalui Nabi Ibrahim inilah kemudian agama yang inti ajarannya berupa kepasrahan dan ketundukan (al-Islam) diwasiatkan kepada beberapa keturunannya. Salah satu keturunan Ibrahim yang meneruskan konsep al-Islam adalah Nabi Ya’kub. Ajaran Nabi Ya’kub kemudian menjadi cikal bakal lahirnya agama Isra’il, yaitu Yahudi dan Nasrani. Selanjutnya, turunan Ibrahim yang lain adalah Nabi Muhammad SAW, yang kemudian membawa risalah berupa ajaran agam Islam.

Konsepsi mengenai al-Islam sebenarnya tidak dirumuskan atas dasar nama tempat atau tokoh pembangunnya. Meskipun ia sudah menjadi nama dari suatu agama tertentu (proper name), yaitu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW,79namun ia tidak terhenti hanya menjadi nama sebuah

77 Nurcholish Madjid, Islam, hlm. 432.78 Q.S. Al-Baqarah (2): 131.79 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid II (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 17.

Page 54: Agus Sunaryo, MSI

46 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

agama. Melainkan, al-Islam menjadi nama yang tumbuh berdasarkan hakikat dan inti ajarannya yaitu kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan.

Sebagai nama suatu agama, al-Islam juga memiliki prinsip-prinsip universal. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi al-Qur’an dan as-Sunnah serta realitas sejarah yang mengitarinya. Al-Qur’an tidak berfungsi sebagai petunjuk absolut yang mengatur secara detail segala urusan yang ada dalam kehidupan manusia, melainkan ia berfungsi sebagai wahyu yang memberi pengetahuan kepada manusia tentang cita-cita dan prinsip-prinsip Tuhan. Sementara itu, pemahaman Nabi Muhammad terhadap al-Qur’an dan teladan beliau dalam melaksanakannya kemudian membentuk apa yang disebut sunnah kenabian. Dengan kata lain, sunnah Nabi merupakan penjabaran atas al-Qur’an yang diimplementasikan dalam kehidupan. Ini berarti pula bahwa pemahaman terhadap sunnah Nabi tidak terlepas dari pemahaman terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena, sesungguhnya moral Nabi yang mulia adalah refleksi dari semangat al-Qur’an.80

Sunnah nabi, terutama segi-segi yang dinamis dan mendasar, banyak termuat dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, meskipun al-Qur’an mengkisahkannya dalam kaitan ruang dan waktu tertentu dari pengalaman khusus Nabi, sama sekali tidak diartikan bahwa kisah tersebut tanpa pesan moral yang bersifat dinamis yang memungkinkan untuk digeneralisir sehingga bernilai universal. Artinya, dari apa yang terekam oleh al-Qur’an mengenai sunnah-sunnah Nabi bisa diambil suatu pesan moral yang bisa diaplikasikan di setiap tempat dan waktu sebagai bentuk dari universalitas ajaran Islam.

80 Nurcholish Madjid, “Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam,” dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 210.

Page 55: Agus Sunaryo, MSI

47Agus Sunaryo, MSI.

Dalam khazanah hukum Islam (usul fiqh), dijumpai rumusan yang menyatakan tag}ayyur al-ah}ka>m bi tag}ayyur al-azma>n, la yunkiru tagayyur al-ah}ka>m bi tagayyur al-azma>n (perubahan hukum berkaitan erat dengan perubahan zaman, tidak dapat dipungkiri (adanya) perubahan hukum yang disebabkan oleh perubahan zaman).81

Untuk bisa menerapkan prinsip di atas, diperlukan kemampuan menangkap semangat zamat dengan baik agar suatu hukum dapat diaplikasikan secara efektif. Selain itu juga diperlukan kemampuan untuk membuat generalisasi dan abstraksi dari hukum-hukum yang ada sehingga menjadi prinsip-prinsip umum yang bisa diberlakukan di setiap masa dan tempat. Pemberlakuan prinsip untuk segala masa dan tempat akan memungkinkan prinsip itu bisa dilaksanakan secara teknis dan riil menurut tuntutan ruang dan waktu.

Mengingat bahwa ruang dan waktu selalu berubah, maka tuntutan spesifiknya sudah barang tentu juga akan berubah. Konsekuensinya, hukum dengan sendirinya akan ikut berubah. Dalam konteks ini yang perlu ditekankan adalah bahwa yang berubah dari hukum tersebut bukanlah substansi atau prinsip dari hukum itu, melainkan pelaksanaan teknis dan kongkret dari hukum itu dalam kehidupan masyarakat di masa tertentu. Hal ini sejalan dengan adagium fiqh yang menyebutkan bahwa hukum Islam salih li kulli zaman wa makan (hukum Islam itu senantiasa cocok untuk setiap masa dan tempat).82

2. Kontekstualisasi Ajaran IslamIslam datang tidak pada ruang yang kosong dan ia juga bukan

produk agama yang sekali jadi (instan). Al-Qur’an, meskupun 81 Ibid., hlm. 221.82 Uraian lebih lengkap mengenai elastisitas dan dinamisitas hukum Islam dapat dibaca pada

NJ Coulson, Konflik dalam Jurisprudensi Islam, alihbahasa Fuad Zein (Jogjakarta: Navila, 2001).

Page 56: Agus Sunaryo, MSI

48 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

diyakini sebagai firman Allah yang maha Transenden, kenyataanya telah memasuki wilayah historis. Hal ini bisa dibuktikan paling tidak dengan empat hal: pertama, Tuhan telah memilih bahasa manusia (bahas Arab) sebagai kode komunikasi dengan rasulNya (Muhammad SAW). Kedua, keterlibatan Muhammad sebagai penerima pesan di satu sisi dan sebagai penafsir di sisi lain, ikut menentukan proses sosial pengujaran dan tekstualisasi al-Qur’an. Ketiga, sejak masa turunnya, al-Qur’an telah berdialog dengan realitas. Keempat, firman Tuhan itu telah direkam dalam bentuk catatan atau naskah (teks).83

Jika menilik pada sejarah Islam, maka periode nabi Muhammad di Makkah dapat dikatakan sebagai potret universalitas ajaran Islam, dimana prinsip-prinsip moral dan etika menjadi ciri khasnya. Meskipun demikian, jika cermati secara seksama, periode Makkah sebenarnya menjadi cikal bakal lahirnya ketentuan-ketentuan Islam yang bersifat kehukuman (legalistik). Sejak di Makkah, nabi Muhammad sudah mengajarkan tentang prinsip-prinsip keadilan, penghormatan terhadap hak sesama dan prinsip kesetaraan serta kebebasan. Untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut, nabi tentunya membutuhkan perangkat yang mengaturnya. Perangkat inilah yang kemudian menjelma menjadi aturan-aturan yang bersifat legalistik. Di Makkah nabi sepertinya belum menemukan momentum yang tepat untuk melaksanakan aturan (legalistik) tersebut secara maksimal. Baru pada periode Madinah nabi memiliki keleluasaan untuk menerapkan prinsip-prinsip universal diatas dengan aturan-aturan yang bersifat legalistik. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa periode Madinah adalah kelanjutan dari misi Nabi untuk menanamkan prinsip universalitas Islam dalam bentuk aturan legal yang sebelumnya telah dirintis di Makkah.84

83 M. Imdadun Rahman, “Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia,” dalam Tashwirul Afkar, No. 14 tahun 2003, hlm. 15-16.

84 Nurcholish Madjid, Sejarah, hlm. 239.

Page 57: Agus Sunaryo, MSI

49Agus Sunaryo, MSI.

Seiring dengan berjalannya waktu, apa yang dilakukan nabi baik di Makkah maupun Madinah, telah melahirkan cara pandang umat Islam dalam memahami ajaran Islam. Dalam hal ini, umat Islam (khususnya para ulama’) mencoba menangkap pesan nabi tentang ajaran Islam di dua periode tersebut dengan merumuskan seperangkat aturan yang diharapkan dapat meneruskan risalah Nabi yang belum usai. Walau bagaimanapun, meninggalnya nabi berdampak serius terhadap perilaku keagamaan dan sosial umat Islam. Banyak sekali persoalan baru yang muncul, sementara nabi belum memberi penjelasan mengenai aturan hukumnya. Pada titik inilah para ulama bekerja keras menggali aturan hukum yang bisa mengakomodir semua permasalahan sehingga tidak keluar dari risalah Islam. Hasil dari kerja keras mereka kemudian menjelma menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikenal dengan ilmu fiqh.

Sebelum fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu yang mapan, para ulama sebenarnya telah memiliki cara tersendiri dalam menggali aturan hukum yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam kitab suci dan melakukan rujukan kepada tradisi nabi (sunnah) atau sahabat serta tradisi masyarakat yang hidup dekat dengan mereka, khususnya masyarakat Madinah. Dalam hal ini nampak sekali bahwa para ulama’ ingin menggali hukum Islam dengan tidak mengesampingkan konteks sosial masyarakat. Sebuah cara cerdas yang akhirnya mampu mengantar hukum Islam menjadi aturan yang lapang, fleksible dan luwes serta mampu menjawab setiap persoalan zaman.

Menurut Ali Yafie, sekalipun ajaran Islam dibangun atas fondasi-fondasi yang tertanam kokoh dan tetap merupakan hakikat kebenaran abadi, namun di dalamnya terdapat dinamika yang menjadikannya mampu membimbing kehidupan yang selalu bergerak dan berubah terus dari masa ke masa, serta berkembang dari suatu keadaan ke keadaan lain sepanjang sejarah.85

85 Alie Yafi, “Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia,” dalam Munawir Sadzali, Kontekstu-alisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 300.

Page 58: Agus Sunaryo, MSI

50 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Perspektif yang menempatkan hukum Islam sebagai sebuah aturan yang terikat oleh kondisi zaman dan tempat, juga terjadi dalam persoalan mengenai keterbukaan umat Islam terhadap komunitas lain. Jika mengacu pada sisi universalitas Islam, maka dapat dipastikan bahwa Islam mengajarkan cara hidup yang terbuka dan toleran. Hal ini bisa dilihat dari banyak ayat al-Qur’an yang mengajarkan tentang bagaimana umat Islam bersikap terhadap komunitas lain. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah:

من ف من آ ابئ�ي صارى والص ف هادوا والن ذ�ي

منوا وال

ف آ ذ�ي

ال

إن

ول م ر�ب

عند

جره

أ هم

لف ا صال

ل

خر وع

آ ال يوم

وال

لل �ب

86 ون

زن �ي

ه

م ول

�ي عل

وف

خ

Ayat ini menjelaskan betapa Islam memposisikan komunitas agama lain sebagai pihak yang sama-sama berhak atas keselamatan dan pahala dari Allah. Pemahaman seperi ini memiliki keterkaitan dengan kondisi sosial dan psikologis yang dihadapi oleh umat Islam, khususnya para penafsir al-Qur’an. Di saat hubungan antara umat Islam dengan non muslim menunjukkan keharmonisan, ayat ini selalu dipahami demikian. Namun di saat kondisi mereka tidak harmonis, biasanya ayat ini selalu diperhadapkan dengan ayat-ayat lain yang ditafsirkan sebagai menutup kemungkinan adanya pintu keselamatan di luar agama Islam. Ayat-ayat yang biasa dijadikan sandaran untuk hal ini antara lain:

كتاب وا ال

وت

ف أ ذ�ي

ال

ف

تل

م وما اخ

سل إ

ال

الل

ف عند �ي

الد

إن

ت الل �يآر �ب

ف

م ومن يك يا بي�ف

بغ عل

ال

من بعد ما جاءه

إل

ساب87

يع ال س الل

إنف

86 Q.S. Al-Qur’an-Baqarah (2): 62.87 Q.S. Ali Imran (3): 19.

Page 59: Agus Sunaryo, MSI

51Agus Sunaryo, MSI.

Ayat lain yang juga sering dirujuk adalah:

خرة من آ ي ال

ف منه وهو �

بل

ن يق

لم دينا ف

سل إ

ال �ي

ومن يبتغ غ88 ف �ي اس ف

ال

Dalam beberapa literatur Islam, baik yang klasik maupun modern, tidak ditemukan kata sepakat mengenai bagaimana kedua ayat diatas ditafsirkan bersanding dengan ayat 19 surat al-Baqarah sebelumnya. Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan besar yang pada gilirannya menghambat harmonisasi hubungan antara Islam dan non Islam. Beberapa ahli, seperti Alwi Shihab, mencoba menafsirkan ketiga ayat diatas secara lebih arif dengan mengembalikan sepenuhnya haka atas pemberian keselamatan dan pahala kepada Allah. Menurutnya, persoalan mengenai seseorang akan selamat atau tidak akan lebih baik jika dikembalikan dalam konteks rahmat (kasih sayang) Allah. Dalam hal ini tidak pantas bagi seseorang (mufassir) untuk membatasi cakupan kasih sayang Allah yang teramat luas.89

2. Ekslusifisme IslamSensitifitas keberagamaan yang sering memunculkan

prilaku emosional penganutnya ditengarai muncul karena adanya doktrin-doktrin keagamaan yang ditafsirkan secara tidak tepat. Hal ini tentunya tidak menafikan adanya sebab-sebab lain seperti setting sosial, stabilitas ekonomi dan kondisi politik. Dalam konteks Islam, corak penafsiran terhadap dogma agama biasanya membawa pengaruh terhadap perilaku keberagamaan umat Islam. Corak penafsiran yang eksklusif akan berdampak pada lahirnya perilaku keberagamaan yang eksklusif, sementara penafsiran yang

88 Q.S. Ali Imran (3): 85.89 Alwi Shihab, Islam, hlm. 81.

Page 60: Agus Sunaryo, MSI

52 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

inklusif dan toleran juga akan memunculkan sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran pula.

Ketika paradigma pluralis-inklusif mengemuka sebagai bentuk penafsiran keagamaan, maka seiring itu pula paradigma eksklusif juga berkembang mewarnai diskursus keagamaan kontemporer. Keduanya seorang berebut kuasa untuk menjadi wakil Tuhan dalam mengenalkan kebenaran kepada hamba-Nya.

Dalam paradigma eksklusif, segala hal yang berasal dari modernisme Barat harus diwaspadai, termasuk di dalamnya peradaban dan pemikiran. Islam, sebagai sebuah agama harus diyakini mampu menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. Kesempurnaan Islam adalah final, dan keselamatan yang ada di dalamnya tidak boleh diragukan. Untuk itu, setiap usaha untuk membuka pintu keselamatan melalui celah agama lain harus ditolak.90

Berdasarkan cara pandang di atas, paradigma keagamaan eksklusif cenderung melahirkan praktik keberagamaan yang keras dan intoleran. Untuk memahami hal ini, setidaknya ada beberapa penjelasan yang bisa diberikan. Pertama, pada tingkat doktrin, agama dan sistem kepercayaan lainnya memiliki potensi untuk memunculkan apa yang disebut “kelompok fundamentalis-eksklusif”. Kelompok yang hampir ada disemua agama ini, sering berprilaku ekstrim, intoleran dan cenderung keras dalam menyampaikan pandangannya. Dalam konteks Islam, ada beberapa doktrin agama yang dapat berpotensi memunculkan sikap beragama intoleran bagi pemeluknya. Doktrin “Jihad” misalnya, apabila pemaknaan atau tafsiran yang diberikan bersifat “semena-mena”, maka akan mampu menjadi “amunisi” atau idiologi untuk melakukan tindakan intoleran (kekerasan) pada kelompok lain yang dianggap tidak sejalan (berlawanan) dengan doktrin atau ideologi mereka. Selain doktrin jihad, ada beberapa

90 JB. Banawiratma, “Bersama Saudara-Saudari, hlm. 16.

Page 61: Agus Sunaryo, MSI

53Agus Sunaryo, MSI.

konsep lain dalam Islam yang jika ditafsirkan secara tidak bijak akan berpotensi melahirkan cara pandang fundamentalis-intoleran, antara lain: konsep kafir, murtad, musyrik, ahl al-kitab dan bid’ah.91

Kedua, pasca modernisme. Di era ini agama dan sistem kepercayaan lainnya menampilkan apa yang disebut dengan “kekerasan spiritual” yang kemudian menjelma dalam bentuk “kekerasan sosial”. Hal ini disebabkan oleh kegagalan modernisme dalam memenuhi janjinya untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang plural, bebas dan egaliter. Sebaliknya modernisme justeru dianggap telah memunculkan banyak keraguan, ketidak jelasan dan ambiguitas. Pada kondisi seperti ini, pasca modernisme yang dianggap mampu melumpuhkan dominasi rasionalisme-modern justeru menawarkan solusi berupa lari dari kebebasan (escape from freedom) untuk memasuki dunia (kehidupan) serba pasti yang lebih “menentramkan”. Upaya yang dilakukan untuk menuju dunia tersebut adalah dengan menyerahkan diri, tanpa reserve, kepada sebuah “otoritas transendental” yang diyakini mampu memberikan ketenangan eskatologis (surgawi). Lebih jauh, kepasrahan ini kemudian sering menjelma dalam bentuk sekte-sekte eksklusif dan gerakan fundamentalisme kegamaan lain, yang sebenarnya merupakan bentuk perlawanan atau pertahanan diri (self defense) terhadap ambiguitas dan anomali yang ditawarkan oleh dunia modern.92

Ketiga, respons atas hegemoni dan sekulerisme Barat yang dianggap mengancam umat Islam. Ancaman paling serius adalah ketika sekulerisme tersebut telah menjelma menjadi ideologi kapitalisme yang mampu membuat umat Islam “pongah” ketika dihadapkan pada kekuatan ekonomi Barat. Ketergantungan yang semakin akut terhadap Barat, bagi sebagian umat Islam dianggap sangat merugikan dan harus segera dihentikan dengan 91 Rumadi, Renungan Santri (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 13.92 Ibid., hlm. 14.

Page 62: Agus Sunaryo, MSI

54 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

berbagai upaya. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan menghancurkan simbol-simbol kekuatan mereka seperti yang terjadi dalam tragedi 11 September.93

Jika dalam diskursus keagamaan dikatakan bahwa eksklusifisme dan fundamentalisme agama itu bisa terjadi di semua agama, maka pertanyaannya kemudian adalah mengapa Islam menjadi agama yang paling banyak disoroti dan benarkah Islam mengajarkan intoleransi serta mentolerir aksi-aksi kekerasan? Menjawab pertanyaan ini bukanlah persoalan yang mudah, paling tidak hingga saat ini kajian yang memposisikan Islam sebagai agama yang eksklusif- ekstrem tetap saja ada, meskipun wacana yang menjanjikan bahwa Islam adalah agama yang inklusif-toleran juga dikembangkan sedemikian rupa.

Bagi sebagian kalangan, Islam diyakini sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Ajarannya bersifat terbuka, toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Dalam perkembangannya, ajaran mulia tersebut seringkali dihadapkan pada realitas munculnya perilaku eksklusif-intoleran yang dilakukan oleh sebagian umat Islam. Yang menarik adalah bahwa tindakan mereka “sepertinya” mendapat legitimasi dari doktrin keagamaan. Dalam kasus pengeboman gedung WTC misalnya, doktrin jihad dimaknai sedemikian rupa sehingga terkesan mendukung aksi mereka.

Terkait dengan hal di atas, anggapan bahwa Islam sama sekali tidak ada hubungannya terhadap munculnya aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh pemeluknya nampaknya sulit untuk bisa diterima. Paling tidak, keterkaitan atau hubungan antara keduanya (islam-kekerasan sebagian pemeluknya) terletak pada adanya beberapa doktrin “abu-abu” yang memungkinkan untuk ditafsirkan secara berbeda. Konsep jihad misalnya, sebagian besar ulama (moderat) memaknainya dengan upaya maksimal yang dilakukan manusia untuk mewujudkan kehendak (tujuan) Tuhan

93 Ibid., hlm. 14-15.

Page 63: Agus Sunaryo, MSI

55Agus Sunaryo, MSI.

di muka bumi. Dalam banyak hal jihad juga dimaknai dengan etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam.94 Hal ini bisa dilihat dari derivasi kata jihad yang memiliki akar kata sama dengan ijtiha>d dan muja>hadah. Jika ijtiha>d perangkat yang dimaksimalkan adalah nalar, maka mujahadah lebih memaksimalkan perangkat hati. Proses memaksimalkan keduanya inilah yang disebut jihad. Dengan demikian, jihad tidak terbatas hanya pada upaya fisik, apalagi untuk memerangi atau memusuhi pihak lain.

Dalam al-Qur’an, terminologi yang dipakai untuk jihad dalam pengertian perang adalah qita>l. Makna jihad bersifat mutlak dan tak terbatas, sementara qita>l terbatas pada makna perang. Jihad berkonotasi positif, sementara qita>l seringkali berkonotasi negatif. Kalaupun qita>l harus dimaknai dalam konteks jihad, maka Islam telah menentukan rambu-rambu yang ketat seperti tidak menyerang anak-anak, perempuan, tempat-tempat ibadah dan lainnya. Selain itu, Islam secara prinsipil juga menekankan sikap tidak melampaui batas ketika berperang, suka memaafkan dan mengusahakan perdamaian.95

Selain cara pandang di atas, beberapa kalangan menilai bahwa apa yang mereka lakukan dengan melakukan beberapa aksi pengeboman adalah bentuk Jihad yang harus dilakukan. Amerika dengan simbol-simbolnya adalah simbol dari kezaliman dan kekufuran. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk memeranginya, termasuk dengan melakukan aksi pengeboman jika perlu.

Selain doktrin jihad, terminologi kafir juka sering kali memunculkan pemahaman yang bisa mendorong seseorang untuk memerangi atau bahkan membunuh orang atau pihak lain. Sejarah

94 Khaled Abou el Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 265. Uraian lebih lengkap mengenai jihad bisa dibaca pada Rohimin, Jihad: Makna dan Hikmah (Jakarta: Erlangga, 2006).

95 Ibid., hlm.

Page 64: Agus Sunaryo, MSI

56 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Islam telah mencatat bagaimana perkembangan politik Islam telah diwarnai oleh saling serang antara sesama umat Islam dimana masing-masing merasa “direstui” oleh agama karena membela agama Allah dari orang-orang kafir. Kaum khawarij misalnya, dengan mendasarkan pendapatnya pada firman Allah: “barang siapa yang menghukumi (sesuatu) tidak dengan apa yang telah Allah turunkan (al-Qur’an), maka mereka termasuk orang-orang yang kufr”96 mereka menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Ali ibn Abi> T}a>lib dengan melakukan arbitrase (perjanjian damai) adalah menyimpang dari ketentuan Allah dan dihukumi sebagai tindakan kufr97. Atas dasar ini, memerangi Ali dan Muawiyah adalah sebuah tindakan sah karena mereka termasuk kelompok yang halal darahnya (kafir).

Di era modern, kelompok Wahabi98 sering dianggap sebagai pihak yang mudah memberikan vonis kafir kepada pihak lain. Tidak hanya terhadap pemeluk agama lain, vonis kafir juga sering diberikan kepada ulama` terkemuka yang pendapatnya berseberangan dengan ajaran Wahabi. Bahkan, mereka juga seringkali membuat daftar amaliah (perbuatan) yang dinilai sebagai bid’ah dan pelakukanya dihukumi sebagai kafir yang halal darahnya.99

Konsep ahli kitab dalam banyak hal juga memunculkan keragaman penafsiran. Disatu sisi, konsep ini bisa dimaknai sebagai titik temu antara agama-agama wahyu (devine religion) turunan dari nabi Ibrahim (Abrahamic religion),100 namun disisi lain, muncul penafsiran yang justeru memisahkan agama-agama

96 Q.S. Al-Ma>idah (5): 44.97 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 2009), hlm. 898 Kelompok ini dinisbatkan pada seorang fanatik muslim abad ke-18 Muhammad ibn Abd

al-Wahab (w.1206). Lihat Khaled Abou el Fadl, Selamatkan, hlm. 61. 99 Ibid., hlm. 65.100 Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2003). Lihat

juga Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab pun Masuk Surga (Jogjakarta: Safira Insania Press, 2005).

Page 65: Agus Sunaryo, MSI

57Agus Sunaryo, MSI.

tersebut dan memposisikan agama yang satu lebih baik (selamat) daripada yang lain, apalagi jika komunitas ahli kitab dipahami sebagai komunitas yang hanya ada pada masa nabi Muhammad SAW. Sehingga, kaum Yahudi dan Nasrani yang sekarang ada tidak lagi termasuk kelompok ahli kitab, melainkan kelompok “kafir-musyrik” yang harus dimusuhi.101

Masih banyak terminologi agama lainnya yang memunculkan dua pemahaman dalam beragama. Satu pemahaman melahirkan kelompok muslim moderat (inklusif-toleran), sementara pemahaman yang lain memunculkan kelompok muslim puritan (fundamentalis) yang bercorak eksklusif-intoleran.

Terkait dengan hal tersebut, penafsiran terhadap dogma fiqh mau tidak mau ikut memberi kontribusi atas terjadinya harmoni-disharmoni, toleran-intoleran atau inklusif-eksklusif102 kehidupan beragama umat Islam baik antar sesama mereka maupun dengan pemeluk agama lain. Sebab, disiplin fiqh, di samping memiliki intensitas kajian yang tinggi menyangkut interaksi umat manusia,103 juga sering dijadikan tolok ukur kesalihan seseorang dalam menjalani aktifitas kehidupan. Kesalihan inilah yang nantinya akan menentukan keselamatan seseorang di kehidupan kelak.

Di antara problem fiqh yang paling serius adalah ketika berhubungan dengan persoalan yang melibatkan komunitas di luar Islam (baca: non muslim), apapun agama dan aliran kepercayaannya. Seringkali fiqh terkesan pongah ketika harus menentukan sikap terhadap relasi antara seorang muslim dengan non muslim. Kalaupun fiqh memberi respon, maka yang diberikannya cenderung bersifat diskriminatif dan sarat dengan kecurigaan

101 Pendapat ini sering didasarkan pada Q.S. Al-Bayyinah (98): 1, dimana Allah berfirman: “orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik mengatakan bahwa (mereka) tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”.

102 Silvita IS, Kamus Populer (Surabaya: Jaya Agung, 1989), hlm. 99 dan 127.103 Lihat definisi fiqh dalam Abdul Wahha>b Khalla>f, Ilm Us}u>l Fiqh (Beirut: Da>r al-Kutub al-

Ilmiyyah, 2008), hlm. 11.

Page 66: Agus Sunaryo, MSI

58 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

(untuk tidak menyebut kebencian).104 Fenomena yang demikian sudah tentu mengalami pasang surut. Artinya, kecenderungan fiqh yang diskriminatif dan sarat kecurigaan tersebut tidak terjadi selamanya. Adakalanya sejarah fiqh menunjukkah fenomena yang sebaliknya, dimana Islam menawarkan sikap yanga benar-benar toleran dan terbuka terhadap umat non muslim.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa persoalan inklusif dan ekslusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran (gagasan) neo-modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada bidang teologi.105 Bahkan, akar historis dari dua kecenderungan ini bisa dirunut hingga masa awal Islam khususnya ketika terjadi sengketa khilafah antara Ali bin Abi Thalib di satu pihak, dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dipihak lain. Islam yang semula tampil dengan wajah yang ramah, terbuka dan toleran, harus terbelah dengan bertambahnya wajah Islam yang garang, mudah marah, tidak toleran dan eksklusif. Kelompok Khawarij disebut-sebut sebagai kelompok yang mewakili wajah baru Islam (eksklusif-intoleran), mereka tidak segan-segan mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham, bahkan memerangi dan membunuhnya.106

104 Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 63-64.

105 Norcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 70.106 Stephen Sulaiman Schwartz, Dua Wajah Islam, alihbahasa Qodri Eriev (Jakarta: Blantika,

2007), hlm. Xi

Page 67: Agus Sunaryo, MSI

59Agus Sunaryo, MSI.

BAGIAN III

TRILOGI EPISTEMOLOGI FIQH HEGEMONIK: FIQH

INKLUSIF-MODERAT, INKLUSIF LIBERAL DAN

EKSKLUSIF-PURITAN

A. Fiqh dalam Bingkai Sejarah1. Era Sahabat

Memperbincangkan fiqh pada era sahabat (fiqh sahaby) adalah sebuah keniscayaan untuk memotret perkembangan fiqh pada masa-masa selanjutnya agar tidak kehilangan akar genealogisnya. Hal ini paling tidak didasarkan pada: pertama, sahabat, sebagaimana didefinisikan oleh ulama (khususnya ahli hadis)107 adalah orang yang berjumpa dengan rasulullah dan meninggal dunia sebagai orang Islam. Rasulullah sendiri adalah satu-satunya orang yang paling otoritatif untuk menafsirkan titah Tuhan, termasuk yang berkaitan dengan persoalan fiqh. Dari para

107 Lihat Aja>j al-Khati>b, Us}u>l al-Hadi>s (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 389.

Page 68: Agus Sunaryo, MSI

60 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

sahabat inilah kita mengenal rasulullah, dan dari mereka pulalah kita mewarisi ikhtilaf di hampir semua aspek kehidupan beragama.

Kedua, zaman sahabat merupakah fase awal dimana era tasyri’ sudah berakhir yang sekaligus menandai fase lahirnya ilmu fiqh. Bila pada zaman tasyri’ orang memferifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri mereka sendiri. Problem wilayah Islam yang semakin luas dan kompleksitas masyarakatnya yang beragam, mau tidak mau memunculkan persoalan hukum baru yang harus direspon. Pada titik inilah upaya merumuskan hukum dengan mendasarkan pada pemahaman mereka terhadap sumber-sumber hukum yang ada (ijtihad) menjadi sebuah keharusan. Di antara mereka ada yang melakukan ijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah serta tidak melewatinya, dan adapula yang berijtihad dengan ra’yu bila tidak dijumpai nash hukum terhada suatu peristiwa.108

Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti. Menurut al-Syatibi, Sunnah sahabat adalah sunnah yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan.109 Oleh karenanya keberadaan ucapan dan perilaku beliau (mazhab sabahat) seringkali dijadikan sumber hukum oleh ulama disamping istihsan, istislah, istishab dan sebagainya.

Keempat, ahl as-Sunnah sepakat bahwa seluruh sahabat adalah baik (kulluhum ‘udul). Mereka tidak boleh dikritik, dipersalahkan atau dinilai sebagaimana perawi hadis lain. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim al-Razi:110

108 Abu> Zahrah, Tari>kh al-Madza>hib al-Isla>miyyah (Beirut: Da>r al-Fikir, t.th), hlm. 250.109 Abu> Isha>q al-Sya>t}iby, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari’ah (t.tp: Mat}ba’ah al-Maktabah at-

Tija>riyyah, t.th), IV: 74.110 Abu> H}a>tim al-Ra>zi, Taqdimah al-Ma’rifah li Kita>b al-Jarh} wa at-Ta’di>l (Heiderabad: tp,

1371), hlm. 7-9.

Page 69: Agus Sunaryo, MSI

61Agus Sunaryo, MSI.

“adapun sahabat rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dan ta’wil, yang dipilih Allah untuk menemani nabi-Nya, untuk menolongnya, menegakkan agama-Nya memenangkan kebenara-Nya...Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya, membersihkan mereka dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan, kesombongan dan celaan. Allah menamai mereka sebagai ‘udul al-ummah (umat yang paling bersih)...mereka pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama, pembawa al-Qur’an dan al-Sunnah.

Dalam memahami konsep “keadilan sahabat” ulama sunni (ahlu al-sunnah wa al-jamaah) lebih mengutamakan sahabat dalam kelompok al-khulafa’ ar-rasyidun di banding yang lain. Artinya, jika ada perbedaan antara kelompok sahabat ini dengan sahabat yang lain, maka pendapat al-khulafa’ ar-rasyidun yang akan dipilih.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa meskipun secara zaman, geografis dan psikologis para sahabat adalah yang paling dekat dengan sumber otoritatif ajaran Islam (rasulullah), namun tidak jarang di antara mereka terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam memutuskan suatu persoalan hukum. Hal ini wajar, sebab mereka dihadapkan pada banyak peristiwa yang belum dijumpai pada zaman nabi dan tentunya belum memiliki ketentuan hukum. Biasanya, perbedaan pendapat dikalangan mereka disebabkan pada prosedur dan cara pandang terhadap siapa yang memiliki otoritas memutuskan atau menentuan hukum.

Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur’an setelah rasulullah wafat adalah milik ahl al-bait (keluarga dan keturunan rasul). Hanya merekalah, menurut kelompok ini, yang telah mendapatkan mandat untuk dijadikan rujukan dalam menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum Tuhan. Alasanya, ahl al-bait dipandang sebagai orang-orang yang paling

Page 70: Agus Sunaryo, MSI

62 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

dekat dengan nabi dan memiliki intensitas perjumpaan dengan nabi lebih banyak dibanding sahabat yang lain. Sehingga, pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi bisa dipastikan lebih terpelihara dan bisa dipertanggungjawabkan.

Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasulullah untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Tuhan. Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum berkenaan dengan problem kehidupan yang muncul di masyarakat. Kelompok ini, karena tidak memiliki kedekatan dengan Nabi seperti ahl al-bait, tidak mudah mengambil keputusan hukum dari nas (al-Qur’an dan as-Sunnah) sehingga mereka mengembangkan metode ijtihad seperti qiyas dan istihsan.

Selain Ali bin Abi Thalib, semua sahabat al-khulafa>’ ar-ra>syidu>n termasuk dalam kelompok kedua. Kelompok kedua ini dalam perkembangannya dikenal lebih banyak menggunakan ra’yu (akal) dalam memutuskan suatu hukum dan kelompok pertama (termasuk Ali bin Abi Thalib) lebih mengedepankan nash dalam memutuskan perkara. Sebagai contoh misalnya, Umar bin Khattab pernah melarang haji tamattu’, padahal al-Qur’an dan as-Sunnah secara tegas menetapkannya. Ketika Usman bin Affan juga melarangnya, Ali bin Abi Thalib secara demostratif justeru melakukannya (tamattu’) di hadapan Usman. Dalam sebuah dialog Usman berkata kepada Ali, “Aku melarang manusia melakukan tamattu’, dan engkau sendiri justeru melakukannya.” Ali menjawab,” Aku tidak akan meninggalkan sunnah Rasulullah hanya karena pendapat seseorang.”111

Tidak hanya disebabkan oleh persoalan cara pandang mengenai otoritas penafsir nash, perbedaan pendapat di kalangan sahabat biasanya juga disebabkan oleh hal-hal lain, di antaranya:

1. Perbedaan dalam memahami suatu nas. Hal ini biasanya

111 Lihat Abi> Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri, S}ah}i>h} al-Bukha>ri, jilid III (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), hlm. 369.

Page 71: Agus Sunaryo, MSI

63Agus Sunaryo, MSI.

terjadi ketika mereka dihadapkan pada redaksi nash yang bersifat z}anni> atau musytarak (mencakup lebih dari satu makna). Umar dan Abdullah bin Mas’ud misalnya, keduanya memaknai kata quru>’ dalam ayat iddah dengan haid, sementara Zaid bin Tsabit memaknainya dengan suci. Pemahaman ini tentunya berimplikasi pada lama-pendeknya masa iddah bagi seorang perempuan yang di talaq.112

2. Perbedaan pengetahuan di antara para sahabat, khususnya menyangkut nash hukum terkait dengan suatu peristiwa. Sebagian sahabat bisa saja mengetahui nash hukum tertentu tentang suatu peristiwa, namun sebagian yang lain bisa jadi tidak mengetahui nash tersebut.

3. Adanya perbedaan pemahaman dalam menilai kauten-tikan sebuah nash hukum.113

Dalam melakukan proses istinbat hukum, para sahabat biasanya berijtihad melalui tiga tahap, yaitu: a) merujuk langsung kepada sumber primer hukum Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah), b) menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas, apabila tidak dijumpai nash hukum yang mengatur, dan c) mencapai kesepakatan lewat proses pekembangan opini publik secara alamiah.

Pada tahap pertama, para sahabat (al-khulafa>’ ar-ra>syidu>n selain Ali) sepertinya lebih memusatkan perhatiannya pada ayat-ayat al-Qur’an saja dan cenderung mengabaikan as-Sunnah. Hal ini bisa dilihat pada larangan Abu Bakar dan Umar bin Khattab terhadap upaya penulisan as-Sunnah bahkan diteruskan hingga masa tabi’in. Alasan kedua khalifah ini melarang penulisan atau periwayatan as-Sunnah adalah karena mereka merasa cukup 112 Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Ta>ri>kh at-Tasyri>’ al-Isla>my (Riyad}: Makatabah al-Ma’a>rif, 1996),

hlm. 218.113 Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Pub-

lishing, 2010), hlm. 98.

Page 72: Agus Sunaryo, MSI

64 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

dengan al-Qur’an dan khawatir jika as-Sunnah ditulis atau diriwayatkan, umat Islam akan mengabaikan al-Qur’an.114

Pada tahap kedua, bila tidak dijumpai adanya nash hukum terkait, maka mereka akan menggunakan qiyas atau pertimbangan kepentingan (maslahat) umum untuk menentukan suatu hukum. Dalam beberapa kasus, bahkan pertimbangan kemaslahatan umum didahulukan dari pada nash, walaupun ada nash sharih (jelas dan tegas) yang bertentangan dengannya.115 Contoh dalam hal ini adalah peristiwa dimana Umar menghapus muallaf dari deretan delapan kelompok yang berhak menerima zakat, dan talaq tiga dalam satu majelis yang dihitung satu. Penghapusan muallaf dari penerima zakat jelas bertentangan dengan al-Qur’an, sementara talaq tiga dalam satu majelis yang dihitung satu bertentangan dengan as-Sunnah dan Ijma’.

Tahap ketiga dalam proses ijtihad para sahabat adalah berkenaan dengan pemikiran mereka terhadap as-Sunnah yang di zaman mereka ditafsirkan secara bebas. Proses free market of ideas ini kemudian berkembang menjadi opini generalis, lalu kemudian menjadi publik dan berakhir pada sebuah konsensus (ijma’). Oleh kerenanya wajar jika Imam Malik memaknai as-Sunnah dengan al-amr al-mujtama’ ‘alaih.116

2. Era Tabi’in (mazhab fiqh klasik)Secara sederhana, tabi’iin adalah mereka yang menerima

pengetahuan Islam dari generasi sebelumnya (sahabat). Yang menarik disini adalah bahwa sahabat khulafa’ ar-rasyidun relatif sedikit dalam meriwayatkan hadis. Justeru sahabat Abu Hurairah dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan 114 Jalaluddin Rahmat,” Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh”, dalam Budhy Munawar-Rahman

(ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 258-259.

115 Ibid., hlm. 259116 Ibid., hlm. 261. Lihat juga Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka,

1983), hlm. 26.

Page 73: Agus Sunaryo, MSI

65Agus Sunaryo, MSI.

hadis. Bahkan jika hadis yang diriwayatkan Abu Bakar (142 hadis), Umar (537 hadis), Usman (146 hadis) dan Ali (586 hadis) dijumlahkan, hasilnya hanya 27 % dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (5374 hadis). Dengan demikian, mereka yang tergolong tabi’in umumnya tidak berguru kepada sahabat khulafa’ ar-rasyidun.117 Mereka umunya adalah para mawali (non Arab) yang berguru kepada beberapa sahabat yang tidak termasuk senior kecuali beberapa seperti: Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan beberapa yang lain.

Dalam hal perkembangan hukum, tidak ada perbedaan yang berarti antara era sahabat dan tabi’in. Para tabi’in mengumpulkan hadis-hadis nabi dari sahabat dan jika tidak ditemukan hadis, maka mereka berijtihad sendiri menurut metode yang dilakukan sahabat. Namun demikian, ada beberapa tabi’in yang karena kesungguhannya dalam berijtihad, mereka mampu mencapai tingkat pemahaman (faqih) tertinggi sehingga beberapa sahabat bahkan berguru kepada mereka.

Berbeda dengan era sahabat yang setiap pemikiran dan ketentuan fiqh selalu dinisbatkan pada rasulullah dan sahabat tertentu, era tabi’in mengawali proses mazhabisasi fiqh. Hanya saya mazhab fiqh yang berkembang tidak dinisbatkan pada sosok tertentu dari kalangan sahabat atau tabi’in, melainkan pada daerah-daerah yang banyak menghasilkan pakar di bidang fiqh.

Di madinah misalnya, ada setidaknya tujuh faqih tabi’in yang terkenal dengan sebutan al-fuqaha>’ as-sab’ah, yaitu: Sa’i>d ibn al-Musayyab (w 93 H), ‘Urwah bin az-Zubair (w 94 H), Abu> Bakar bin ‘Abid (w 94 H), al-Qasim bin Muh}ammad bin Abu> Bakar (w 108 H), Abidulla>h bin Abdilla>h (w 99 H), Sulaima>n bin Yasa>r (w 100 H) dan Khari>jah bin Zaid bin Tsa>bit (w. 99 H).118

117 Jalaluddin Rahmat,” Tinjauan, hlm. 263118 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 29.

Page 74: Agus Sunaryo, MSI

66 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Adapun di Makkah tidak banyak pakar fiqh yang mengembangkan fiqhnya dan populer seperti di tempat-tempat lain. Para ahli umunya hanya mencatat nama tokoh seperti: ‘At}a>’ bin Abi> Rabah (w. 114 H) dan ‘Amr bin Dina>r (w. 126).119

Di Basrah, beberapa fuqaha’ yang mengembangkan pemikiran fiqhnya antara lain: Muslim bin Yasa>r (w. 108 H), al-H}asan bin Yasa>r (w. 110 H) dan Muh}ammad bin Sirri>n (w. 110 H).120

Sementara di Kuffah, hampir sama dengan Madinah, banyak sekali lahir fuqaha’ ternama, seperti: ‘Alqamah bin Qays (w. 62 H), Masru>q bin Ajda>’ (w. 63 H), al-Aswa>d bin Yazi>d (w. 75 H), Syuraih bin Ha>ris (w. 78 H), Ibra>him an-Nakha’i (w. 96 H), al-Sya’bi (w. 103 H), Hamma>d bin Abi> Sulaima>n al-Asy’ari (w. 120 H) dan lain-lain.121

Sebagai salah satu pusat perkembangan fiqh, Syiria juga memiliki mazhab fiqh sendiri dengan melahirkan beberapa ahli fiqh ternama seperti: Qabi>sah bin Zuwaib (w. 86 H), Umar bin Abdul Azi>z (w. 101 H), Makhu>l (w. 113H) dan lain-lain.122

Dalam memutuskan hukum, para fuqaha’ di atas biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para sahabat yang tinggal di daerah mereka masing-masing. Fuqaha’ di Madinah cenderung banyak mengambil pendapat dari Umar bin Khattab, ‘Aisyah dan Ibn ‘Umar, yang banyak menggunakan Maslahah. Sementara itu, fuqaha’ di Kuffah banyak dipengaruhi oleh pemikiran sahabat Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud, yang dalam ijtihadnya banyak menggunakan qiyas. Disamping kecenderungan umum ini para fuqaha’ tabi’in ini biasanya juga mengutip pendapat sejumlah sahabat lain untuk mendukung ijtihad mereka.

119 Ibid., hlm. 30. Lihat juga Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, cet. III (Jakarta: Logos, 2003, hlm. 31.

120 Ibid. 121 Ibid.122 Ibid.

Page 75: Agus Sunaryo, MSI

67Agus Sunaryo, MSI.

3. Era empat MazhabDalam sejarah fiqh sering kali disebutkan bahwa pemahaman

para sahabat dan tabi’in tidak lain merupakan internalisasi dan sosialisasi terhadap bimbingan rasulullah SAW yang sebelumnya tidak tertata dan tersistematisasi dengan baik. Para ulama lah yang kemudian melakukan upaya penataan dan sistematisasi pemahaman tersebut yang kemudian terkristal menjadi mazhab-mazhab fiqh.123

Mazhab dianggap sebagai sistematisasi dari pendapat-pendapat yang berkembang atau dikembangkan oleh para sahabat dan bahkan dalam batas tertentu “mereduksinya” agar sesuai dengan pola atau sistematisasi yang mereka inginkan. Dengan kata lain, para ulama mazhab cenderung memilih-milih pendapat sahabat mana yang sesuai dengan kerangka yang mereka buat dan mensortir pendapat dari sahabat yang tidak sesuai.

Secara bahasa, mazhab dapat diartikan pendapat, kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham atau aliran. Dari sini dapat dipahami bahwa eksistensi hukum Islam bermula dari pendapat seseorang yang merupakan hasil pemahamannya terhadap nash atau pendapat yang merupakan hasil usaha maksimalnya (ijtihad) untuk menemukan hukum atas suatu kejadian. Pendapat perseorangan ini kemudian diikuti oleh beberapa orang yang akhirnya membentuk satu pemahaman baku.124 Pembakuan pendapat ini biasa terjadi di suatu daerah tertentu dan disebut sebagai mazhab resmi daerah tersebut. Oleh karenanya, di era ini banyak sekali bermunculan mazhab fiqh kedaerahan seperi, mazhab hijazi, mazhab Iraqi dan mazhab Syami. Semua mazhab ini memiliki pendukung setia di daerah masing-masing hingga kemudian muncul sosok As-Syafi’i yang menandai masa peralihan dari mazhab kedaerahan menjadi mazhab perseorangan kembali.

123 Al-Yasa’ Abu Bakar, “Fatwa Sahabat sebagai Paradigma Fiqh Mazhab”, dalam Mencari Paradigma Fiqh Modern, Makalah Lokakarya PPs. IAIN ar-Raniry, Banda Aceh 28 Agustus 2002.

124 A. Qodri Azizy, Reformasi, hlm. 16-17.

Page 76: Agus Sunaryo, MSI

68 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Setelah As-Syafi’i merumuskan metodologi untuk menggali hukum Islam, mazhab fiqh tidak lagi didominasi oleh unsur kedaerahan. Perbedaan pendapat dikalangan ahli saat itu selalu akan dikerucutkan pada seseorang yang memiliki prosedur dan metode tertentu dalam merumuskan hukum Islam. Dari sinilah kemudian berkembang apa yang dikenal dengan mazhab empat, yaitu: 1) Mazhab Hanafi, yang dinisbatkan pada sosok Abu Hanifah an-Nu’man bin Sabit (w. 150 H), 2) Mazhab Maliki, yang dinisbatkan pada Imam Malik bin Anas (w. 179 H), 3) Mazhab as-Syafi’i, yang dinisbatkan pada Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H) dan 4) Mazhab Hanbali, yang dinisbatkan pada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Keempat mazhab inilah yang kemudian mendominasi wacana fiqh di kemudian hari, bahkan hingga sekarang ini. Hampir-hampir setiap persoalan fiqh yang berkembang dibelahan bumi ini di dominasi oleh cara pandang keempat mazhab tersebut.

Sebenarnya, selain keempat mazhab di atas, mazhab fiqh perseorangan memiliki banyak sekali imam. Namun dikalangan pengikut ahlu as-sunnah wa al-jamaah keempat mazhab itu lah yang populer dan diakui. Persoalan loyalitas pengikut dan kebijakan penguasa nampaknya juga berpengaruh mengapa satu mazhab bisa tetap eksis dan mazhab lain tidak berkembang atau bahkan musnah. Dalam sejarah Islam, selain keempat mazhab di atas, terpadat juga mazhab fiqh seperti:125

a. Mazhab Imam Abu> Sa’i>d al-Hasan bin Yassa>r al-Bashry (w. 110 H).

b. Mazhab Imam Auza’iy Abu> Amr Abd ar-Rahma>n bin ‘Amr bin Muh}ammad (w. 157).

c. Mazhab Imam Sufya>n bin Sa’i>d bin Masru>q al-Tsaury (w. 160 H)

d. Mazhab Imam al-Lays bin Sa’ad (w. 175 H).

125 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar, hlm. 73.

Page 77: Agus Sunaryo, MSI

69Agus Sunaryo, MSI.

e. Mazhab Imam Sufya>n bin Uyainah (w. 198 H).f. Mazhab Imam Abu> Sulaima>n Da>ud bin Ali> bin Khalla>f

al-Ashbahany (lahir 202 H)g. Mazhab Imam Abu> Ja’far bin Jari>r at-Thabary (w. 320

H).Selain itu dari kalangan Syi’ah ada juga nama imam mujtahid

seperti Imam Ja’far bin Muhammad as-Shiddiq dan Imam Zaid bin Ali yang sangat populer di kalangan pengikut Syi’ah. Bahkan karena pendapatnya yang tidak banyak berbeda dengan imam mujtahid kalangan sunni. Beberapa pemikirannya sering dikutip oleh para pengikut imam mazhab empat.126

Sebagai mazhab fiqh dominan, fiqh empat mazhab dibangun atas dasar metodologi dan epistemologi fiqh yang dipandang cukup akomodatif terhadap segala persoalan zaman. Paling tidak, sebelum keempatnya dibakukan dan disakralkan sedemikian rupa hingga menutup kemungkinan terjadinya ijtihad baru, fiqh empat mazhab senantiasa mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Sifatnya yang semula elastis, dinamis dan terbuka untuk perubahan seketika berubah menjadi stagnan, kaku dan tertutup untuk perubahan setelah munculnya wacana penutupan pintu ijtihad.

Karakter fiqh empat mazhab yang elastis, dinamis dan terbuka untuk perubahan bisa kita lacak dari rancang bangun metode istidlal dan istinbat hukum para imam mazhabnya. Imam Abu Hanifah misalnya, ia mendasarkan setiap ketentuan hukumnya pada empat pilar utama, yaitu al-Qur’an, al-Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dalam hal ini, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Mustafa al-Maraghi, ia mengatakan:127

126 Lihat Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1997), hlm. 383-438.

127 Abdullah Mustafa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alihbahasa Husein Mu-hammad (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm. 74.

Page 78: Agus Sunaryo, MSI

70 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

“saya akan mengambil dari Kitabullah jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya jumpai dari al-Qur’an akan saya ambil dari Sunnah Rasulullah yang disampaikan secara sahih dan populer dikalangan orang-orang terpercaya. Jika dari keduanya tidak saya jumpai, saya akan mengambil fatwa para sahabat sesuka saya dan membiarkan fatwa lain. Setelah itu saya tidak akan keluar dari fatwa selain mereka. Dan apabila urusan itu telah sampai kepada Ibrahim al-Sya’by, Hasan bin Sirin dan Sa’id bin Musayyab, maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”

Dalam hal menyikapi hadis Rasulullah, Abu Hanifah dikenal sebagai tokoh yang mengedepankan ra’yu. Bahkan ia sering disebut sebagai yang paling menonjol dalam menggunakan ra’yu untuk menentukan suatu hukum. Misalnya, ketika terjadi pertentangan (ta’arud) antara dua buah hadis atau lebih, Abu Hanifah lebih memilih untuk menentukan hukum dengan jalan qiyas atau istihsan. Dalam banyak hal ia juga lebih mengutamakan ra’yu dari pada hadis ahad.128

Adapun Imam Malik, berbeda dengan Abu Hanifah, ia dikenal ketat dalam menggunakan hadis nabi untuk memutuskan suatu hukum. secara lebih rinci, setiap rumusan hukum yang dihasilkan imam Malik selalu bersumber pada: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma>’ ahl Madi>nah, Fatwa> S}ah}a>bat, Khabar A>had dan Qiya>s, Istih}sa>n, Mas}lah}ah Mursalah, Sadd adz-Dzara>i’, Istis}h}ab dan Syar’u man Qabla>na>.129

Imam as-Syafi’i dikenal sebagai sosok yang mencoba menjembatani kesenjangan antara mazhab ahl ra’yi (Imam Abu Hanifah) dan mazhab ahl al-hadis (Imam Malik bin Anas). Oleh karenanya, pandangannya dikenal lebih moderat dari pada kedua imam tersebut. Di satu sisi as-Syafi’i tidak meninnggalkan ra’yu, namun disisi lain, hadis ditempatkan sedemikian rupa sehingga

128 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar, hlm. 98.129 Lihat ibid., hlm. 106-112.

Page 79: Agus Sunaryo, MSI

71Agus Sunaryo, MSI.

keduanya tidak saling menafikan.130 Secara lengkap fiqh as-Syafi’i digali dari sumber-sumber, yaitu: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.131

Dari beberapa metodologi diatas, bisa dipastikan bahwa produk fiqh yang dihasilkan oleh Imam empat Mazhab sangat beragam. Namun demikian nuansa keterbukaan dan toleransi dalam menghargai perbedaan pendapat sangat kelihatan di antara mereka. Sebagai contoh misalnya, Imam as-Syafi’i pernah berujar kepada murid-muridnya, “apabila argumen-argumenku kurang tepat menurut kalian, maka kalian tidak perlu menerima dan mengikutinya. Sebab, akal pikiran tidak pernah bisa dipaksa untuk menerima kebenaran.132

B. Epistemologi Fiqh Inklusif-ModeratModernisme dalam banyak hal telah mempengaruhi hampir

seluruh sendi kehidupan umat manusia, tidak terkecuali kehidupan umat Islam. Dalam hal pemikiran, modernisme telah menyadarkan umat Islam akan dampak dari model berfikir taqlid, penutupan pintu ijtihad dan mengisolasi diri dari modernitas. Dinamika kehidupan modern juga menyadarkan umat Islam untuk tidak hanya bertumpu pada masa lalu tetapi sanggup bersinergi dengan masa sekarang dan yang akan datang.

Hukum Islam, sebagai bagian dari ajaran Islam yang mengatur relasi antara manusia dengan entitas di luarnya, mau tidak mau harus dilihat tidak lagi dengan kacama jumud, taqlid dan kaku. Hal ini agar karakter elastis dan dinamis yang selalu ada 130 Moderatisme as-Syafi’i salah satunya disebabkan oleh pengalaman pendidikan dan pen-

guasaan metodelogi fiqhnya yang lengkap. Berawal dari ia berguru kepada Imam Malik di Hijaz, Imam as-Syafi’i kemudian melanjutkan rihlah ilmiyyahnya ke daerah Iraq dan berguru kepada salah seorang murid kepercayaan Abu Hanifah yaitu Muhammad bin Hasan as-Syaibani. Lihat ibid., hlm. 123.

131 Ibid., hlm. 126. Uraian mengenai metodologi fiqh Imam Ahmad bin Hanbal akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya mengenai aliran salafi.

132 Abdullah Mustafa al-Maraghi, Pakar, hlm. 96.

Page 80: Agus Sunaryo, MSI

72 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

dalam hukum Islam bisa tetap terjaga, meskipun harus berhadapan dengan badai modernitas. Hukum Islam harus dilihat sebagai tata aturan yang progressif dan dinamis yang bergerak mengikuti laju zaman. Untuk itu, diperlukan cara pandang yang lebih terbuka, berani dan tetap tidak kehilangan akar epistemologinya. Dalam konteks ini ijtihad dan pembacaan ulang terhadap fiqh era pra-modern dianggap oleh sebagian kalangan adalah merupakan keniscayaan zaman.

Dialektika antara fiqh dengan modernitas telah melahirkan banyak tokoh yang hasil ijtihadnya dianggap mewakili semangat zaman (modern). Di antara mereka ada Muhammad Abduh (w. 1323 H), Jamal ad-Din al-Afghani (w. 1314 H) dan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H). Ketiga tokoh ini, meskipun lebih dikenal sebagai mufassir dan pendidik (bukan fuqaha’), namun pemikirannya telah mampu mendobrak kebekuan yang sebelumnya menyelimuti alam pikir umat Islam. Melalui konsep-konsep mereka, segregasi antara Islam dan modernitas mulai sedikit terurai.

Beralihnya fase modern menjadi post modern, nampaknya juga melahirkan perspektif baru dalam diskursus keislaman. Abduh dan tokoh-tokoh yang seangkatan dengannya dianggap mewakili rasionalisme dan modernisme Islam. Mereka telah berhasil membangun paradigma baru diskursus keislaman dari yang sebelumnya kering, eksklusif, jumud dan tekstual, menjadi lebih hidup, berani, terbuka (inklusif) dan rasional. Namun demikian, modernisme dengan karakter “holisme” nya dianggap kurang berhasil menjawab problem pluralitas masyarakat modern, bahkan pluralitas dalam diskursus keislaman.

Berbekal disiplin keilmuan fiqh yang mumpuni, tokoh-tokoh seperti Abdul Wahhab Khallaf, Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawy, Sa’id Ramadhan al-Buthy, Ali Jumah, Ali as-Shabuni dan Wahbah az-Zuhayly, muncul kepermukaan seolah ingin bersaing dengan para tokoh lainnya dalam membangun paradigma fiqh baru. Berbeda dengan Abduh dan kawan-kawan, tokoh-tokoh

Page 81: Agus Sunaryo, MSI

73Agus Sunaryo, MSI.

ini mencoba menawarkan perspektif Islam yang lebih terbuka, elastis dan dinamis melalui jendela fiqh. Fiqh yang sebelumnya terkunci dalam mazhab-mazhab baku (mazhab empat), terurai dengan model penalaran serta penyajian muqaran (komparasi). Kajian dan pembahasan fiqh tidak lagi terkurung dalam satu mazhab tertentu melainkan diperkaya dengan uraian lintas mazhab. Dari sini pembaca didewasakan dan dicerahkan alam pikirnya dengan kemungkinan untuk memilih satu diantara mazhab-mazhab fiqh yang dikaji. Model fiqh manhaji (metodologis) juga dikembangkan sedemikian rupa untuk menutup kekurangan yang ada dalam model fiqh qauly. Buktinya, pada era mereka kitab-kitab usul fiqh seolah menemukan momentum kematangannya. Banyak sekali kitab usul fiqh yang lahir sebagai imbangan dari kitab-kitab fiqh yang mereka susun, baik yang mengikuti sistematika ulama-ulama sebelumnya atau kajian-kajian yang lebih tematik.133

C. Epistemologi Fiqh Inklusif-LiberalBerawal dari kegelisahan menjawab pertanyaan zaman

tentang bagaimanakah teks suci (nash) dapat dipahami dan ajarannya dijalankan dalam konteks kehidupan modern, muncul beberapa pemikiran dari beberapa tokoh seperti Muhammadi Iqbal134, Muhamad Taha,135 Abdullahi Ahmed an-Naim,136 133 Beberapa karya usul fiqh era ini yang berhasil penulis lacak antara lain: Us}u>l fiqh karya

Abdul Wahha>b Khalla>f, Us}u>l fiqh al-Isla>my karya Wahbah az-Zuhaily, Us}u>l at-Tasyri>’ al-Isla>my karya Ali> Hasaballa>h, D}awa>bit al-Mas}lah}ah karya Sa’i>d Ramad}a>n al-Bu>thy dan ma-sih banyak lagi lainnya. Adapun kitab-kitab fiqh yang bisa disebutkan antara lain: al-Isla>m: Aqi>dah wa as-Syari>’ah karya Mahmu>d Syalt}u>t, al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuhu karya wah-bah az-Zuhaily, Fiqh al-Mar’ah dan Fiqh az-Zakah karya al-Qardhawy dan lain-lain.

134 Pemikirannya tentang fiqh dan metodologinya bisa dibaca pada M. Iqbal, The Reconstruc-tion of Religious Thought in Islam (Lahore: Ashraf Press, 1971.

135 Salah satu kotribusi Muhammad Taha dibidang hukum Islam adalah teorinya tentang naskh-mansukh model baru. Lihat Abdullah Ahmed an-Naim, The Second Message of Islam (Syiracuse: Syiracuse University Press, 1987).

136 Pemikiran an-Na’im adalah pengembangan dari apa yang pernah dirumuskan oleh gurunya Muhammad Thaha. Lihat Abdullah Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right and International Law (Syiracuse: Syiracuse University Press, 1990).

Page 82: Agus Sunaryo, MSI

74 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Muhammad Said Asmawi,137 Fazlurrahman dan Muhammad Syahrur.138

Salah satu problem fiqh dalam konteks kehidupan modern adalah adanya doktrin fiqh yang dianggap masih membawa memori lama terkait dengan disharmoni antara Islam dan komunitas non Islam. Beberapa teks keagamaan dalam banyak hal belum mampu menjawab tantangan zaman di mana segregasi antara umat Islam dengan komunitas di luarnya hampir tidak lagi ditemukan. Umat Islam dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa mereka harus melakukan interaksi dengan umat agama lain. Tidak hanya itu, interaksi yang dibangun juga harus mencerminkan sikap yang terbuka dan toleran. Sebab tanpa keterbukaan dan toleransi, dialog atau hubungan harmonis tentu akan sulit untuk terwujud. Atas dasar inilah sekelompok pemikir mencoba mengembangkan apa yang disebut pembacaan ulang (rethingking) terhadap fiqh. Menurut mereka diperlukan perspektif baru mengenai fiqh, yaitu dengan meletakkannya kembali sebagai produk budaya yang hadir pada zaman tertentu dan berlaku untuk komunitas tertentu. Mengapa harus fiqh? Sebab, fiqhlah satu-satunya ajaran Islam yang bersinggungan langsung dengan interaksi antar sesama manusia (h}abl min an-na>s), termasuk interaksi antara umat Islam dengan non muslim. Hal ini tentunya tanpa menafikan bahwa fiqh juga menyinggung persoalan bagaimana manusia berinteraksi dengan Tuhannya (h}abl min alla>h).

Dalam kaitannya dengan persoalan hubungan antara umat muslim dengan umat beragama lain, menarik untuk disimak apa yang dikatakan oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im bahwa segala bentuk perlakuan diskriminatif atas agama dan gender dengan mengatasnamakan syariat (fiqh) adalah sebuah bentuk pelanggaran

137 Pemikiran Asmawi yang lengkap di bidang hukum Islam bida dibaca pada Muhammad Sai>d Asma>wi, Us}u>l as-Syari>’ah (Beirut: Dar Iqra’ 1983).

138 Lihat karya Syahru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>sirah (Damaskus: al-Ahab li at-Thibaah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1992).

Page 83: Agus Sunaryo, MSI

75Agus Sunaryo, MSI.

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Diskriminasi semacam ini tertolak secara moral dan tidak dapat diterima secara politik pada kehidupan sekarang. Ia merupakan titik sulut terjadinya konflik dan ketegangan antara syariah dan HAM universal.139

Merumuskan fiqh yang toleran dan inklusif terhadap komunitas non muslim memang bukan persoalan mudah. Dalam hal ini, diperlukan perspektif baru yang mampu meletakkan fiqh benar-benar sebagai produk budaya atau hasil dari dari sebuah dialektika dinamis antara teks dan konteks. Dalam hal ini, menarik untuk dicermati apa yang ditawarkan oleh Yu>su>f al-Qard}a>wi> mengenai perlunya melakukan reformasi fiqh. Al-Qard}a>wi> mengusulkan agar fiqh dapat diperbaharui menjadi fiqh realitas (fiqh al-wa>qi’) dan fiqh prioritas (fiqh al-awla>wiya>t). Dengan keduanya, fiqh diharapkan mampu menjadi pedoman baru bagi problem-problem kemanusiaan yang muncul di tengah masyarakat. Tidak hanya persoalan yang berdimensi vertikal (ta’abbudi), melainkan juga persoalan kemanusiaan seperti isu kesetaraan gender (fiqh al-mar’ah), ketatanegaraan (fiqh ad-dawlah), kewarganegaraan (fiqh al-muwa>t}anah) dan lain sebagainya.140

Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa ulama kontemporer mengusung sebuah paradigma baru fiqh, yaitu fiqh sebagai sumber kemaslahatan. Kemaslahatan dalam konteks ini tentunya bukan hanya milik penguasa ataupun Tuhan, melainkan kemaslahatan yang bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Paradigma fiqh sebagai sumber kemaslahatan (biasa juga disebut fiqh al-maqa>sid) sebenarnya bukan hal baru dalam diskursus keislaman. Namun demikian, paradigma ini seperti menemukan momentumnya di masa sekarang, khusunya ketika fiqh dihadapkan pada serangkaian persoalan yang sama sekali baru dan membutuhkan ijtihad kreatif dari para ahli fiqh. 139 Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah (Jogjakarta: LKiS, 2003), hlm. 339.140 Ibid., hlm. 8.

Page 84: Agus Sunaryo, MSI

76 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Sebelum fiqh al-maqa>sid dikembangkan, paradigma fiqh sebelumnya didominasi oleh cara pandang literalistik baik dari kalangan mutakallimin (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Mu’tazilan) atau dari kalangan Hanafiyyah. Kelompok mutakallimin yang lebih bercorak teologis-deduktif dan kelompok Hanafiyyah yang bercorak induktif-analitis, sama-sama manjadikan teks sebagai poros pijak kajiannya. Meminjam istilah Abed al-Jabiri, corak pemikiran inilah yang kemudian disebut dengan epistemologi burhani.141 Sebuah epistemologi yang memusatkan kajian dan analisisnya pada teks-teks keagamaan.

Dominasi epistemologi burhani berlangsung kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H hingga abad ke-7 H), sampai kemudian muncul tokoh as-Syatibi (w. 790 H/ 1388 M) yang mengembangkan kajian di balik teks (ma haula an-nas}s}). Bagi as-Syatibi, kajian hukum Islam akan menemukan jatidirinya yang selaras dengan semangat dan tuntutan zaman apabila tidak melulu dipenjara pada teks-teks agama, melainkan ia bisa digali dari pesan (maksud) Tuhan yang paling mendasar sebagai Syari’ atau yang biasa di kenal dengan maqa>sid as-syari>’ah. Sampai pada titik ini, as-Syatibi sebenarnya belum melakukan apa yang disebut oleh Thomas Kuhn sebagai pergeseran paradigma (paradigm shift).142 Ia tidak lebih hanya melengkapi dari apa yang kurang dari paradigma literalistik dan belum melakukan perubahan yang revolusioner.

Beberapa abad setelah era as-Syatibi, muncul para pembaharu yang mencoba merevitalisasi teori maqa>sid as-syari>’ah. Sebut saja misalnya Muhammad Abduh (w. 1905 M), Rasyid Rida (w. 1935 M), Abdul Wahhab Khallaf (w. 1956 M), ‘Allal al-Fasi (w. 1973 M) atau Hasan Turabi. Menurut Wael b. Hallaq mereka ini dikenal dengan pengusung aliran utilitarianisme keagamaan, dimana

141 Lihat Amin Abdullah, “Al-Ta’wil al-‘Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” dalam Al-Jami’ah, Vol.39, 2001, hlm. 359-391.

142 Uraian lebih lanjut mengenai pergeseran paradigma ini bisa dibaca pada Thomas Kuhn, The Stucture of Scientific Revolutions (Chicago: The University of Chicago Press, 1970).

Page 85: Agus Sunaryo, MSI

77Agus Sunaryo, MSI.

pemikiran keagamaannya menitik beratkan pada teori bahwa maksud Tuhan menetapkan syariat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan.143

Apa yang dilakukan oleh kelompok utilitarianis, karena tidak mampu melahirkan teori baru yang revolusioner, dianggap belum berhasil menjawab persoalan teks vis a vis kompleksitas dunia modern. Hal inilah yang kemudian memantik gairah akademik Muhammad Iqbal dan beberapa tokoh yang telah disebutkan sebelumnya untuk melakukan perubahan paradigma terkait dengan pengembangan kajian keislaman, khsusnya hukum Islam. Atas dasar inilah Wael b. Hallaq mengkategorikan Iqbal dan kawan-kawan sebagai pengusung aliran liberalisme keagamaan (religious liberalism). Karakter liberal dari kelompok ini nampak dari tawaran-tawaran metodologisnya yang cenderung keluar dari frame epistemologi fiqh sebelumnya144, baik yang literalistik maupun yang utilitarianistik. Untuk melihat bagaimana epistemologi liberal ini dibangun, berikut akan diuraikan pemikiran dari tiga tokoh pengusung aliran liberalisme keagamaan, yaitu Fazlurrahman, an-Na’im dan Muhammad Syahrur.

1. Fazlur RahmanBerbicara tentang alur pemikiran Rahman ada dua istilah

metodik yang sering disebutkan dalam buku-bukunya yakni historico-critical method (metode kritik sejarah) dan hermeunetic method (metode hermeunetik). Kedua istilah tersebut merupakan kata kunci untuk menelusuri metode-metode dalam pemikirannya.145

143 Lihat Wael b. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1987).

144 Ibid., hlm. 214.145 Amin Abdullah, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan dam-

paknya pada Fiqh Kontemporer”, dalam Madzhab Jogja., hlm. 118-123

Page 86: Agus Sunaryo, MSI

78 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Dalam memahami dan menafsirkan sumber utama Islam, dalam hal ini al-Qur’an, Rahman menggunakan teori doble movement (gerak ganda). Hubungan yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam alqur’an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profane disisi yang lain. Dua Unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman.

Permasalahannya ada pada bagaiman cara mendialogkan antara dua sisi tersebut agar nilai-nilai kewahyuan bisa selalu sejalan dengan sejarah umat manusia. Gerak pertama pada teori Rahman menghendaki adanya memahami makna al-Quran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Dari sini bisa diambil pemahaman yang utuh tentang konteks normatif dan historisnya suatu ayat yang kemudian memunculkan istilah legal specific (praktis temporal) dan moral idea (normatif universal). Kemudian, gerak kedua yang dilaklukan adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks terhadap suatu permasalahan. Disini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan menurutnya perlunya penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.146

146 Rahman telah menyadari kemungkinan bahaya subyektifitas penafsir, untuk menghindarkan atau setidaknya untuk meminimalkan bahaya subyektifitas tersebut rahman mengajukan sebuah metodologi tafsir yang terdiri dari tiga pendekatan: Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pendekatan kontekstual untuk menemukan sasaran dan tujuan yang terkandung dalam ungkapan legal spesifik dan ketiga, pendekatan latar be-lakang sosiologis untuk menguatkan hasil temuan penedekatan kontekstual atau untuk menemukan sasaran dan tujuan yang tidak dapat diungkapkan oleh pendekatan kontekstual. Lihat ibid., hlm. 134-135.

Page 87: Agus Sunaryo, MSI

79Agus Sunaryo, MSI.

Konstruksi bangunan pemikiran Rahman tentang hermeneutika al-Qur’an dengan teori double movement nya adalah merupakan respons terhadap model penafsiran dan pemahaman al-Qur’an yang bersifat “atomistik” dan sepotong-potong dalam memahami teks al-Qur’an sebagaimana dikembangkan oleh mufassir abad pertengahan dan beberapa mufassir tradisional era kontemporer.147 Pendekatan model ini jelas mengecilkan koherensi dan kesatuan yang selalu di garisbawahi oleh pesan-pesan wahyu dan menghalang-halangi upaya perumusan pandangan hidup al-Qur’an (Qur’anic Weltanschauung) secara menyeluruh dengan menggunakan kosa kata al-Qur’an itu sendiri.

Menurut Rahman, tanpa memahami pandangan hidup al-Qur’an, para penafsir modern tidak akan mampu membedakan konteks sosial, tatacara, norma dan adat istiadat masa lalu yang dicangkokkan dan dilengketkan sedemikian rupa oleh penafsir pada karya-karya tafsir mereka terhadap wahyu yang asli. Atas dasar inilah Hermeneutika Rahman selalu konsern pada pemahaman tentang fakta-fakta sejarah dari wahyu berikut nilai-nilai yang melingkupinya. Ide pokok dari hermenutika ini adalah keinginan Rahman untuk melakukan interpretasi terhadap nilai (value). Menurutnya, nilai, yang benar-benar layak disebut moral, juga memiliki aspek-aspek ekstra historis, “trancendental being”, dan penerapan atau pelaksanaanya pada penggal sejarah tertentu (klasik, tengah, modern atau pasca modern) tidak dapat menuntaskan penerapan secara utuh maknanya yang terdalam.148 Dengan demikian, kebutuhan untuk menerapkan wahyu pada konteks masyarakat kenabian adalah hal yang tidak bisa ditawar.

Dalam upaya menjelaskan bagaimana cara tradisi intelektual muncul kepermukaan dan berkembang dalam sejarah, Rahman

147 Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad, alihbahasa Anas Mahyyudin (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 278-279.

148 Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 5.

Page 88: Agus Sunaryo, MSI

80 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

menjelaskan bahwa hubungan antara tradisi (kebenaran yang diwahyukan) dan sejarah tetap merupakan tantangan terhadap pemahaman kita mengenai tradisi intelektual. Ada kebutuhan mendesak untuk menjelaskan gerak tradisi, yakni hukum gerak yang berlangsung di dalamnya dan bagian-bagian dinamisnya. Terkait dengan hal ini Rahman menegaskan perlunya mengembangkan, memperbaiki dan menyempurnakan ilmu pengetetahuan keislaman (Islamic studies) kita seperti teologi, fiqh, filsafat dan sufisme. Urgensi dari ilmu-ilmu ini tidak lain adalah untuk menjelaskan ada tidaknya kesinambungan dari tradisi itu sendiri. Dengan kajian sejarah memungkinkan kita untuk memahami bagaimana ide-ide atau buah pikiran tersebut bermula dan peran apa yang dimainkan dalam proses pembentukan tradisi intelektual. Secara sederhana Rahman membuat ilustrasi dengan mengatakan bahwa sebagai tradisi keagamaan, Islam telah dibangun oleh generasi terdahulu. Untuk itu, Rahman menolak keras orang-orang muslim yang menjadikan dan mempertahankan masa lalu seolah-oleh manjadi Tuhan bagi masa dan generasi sesudahnya. Ia juga tidak sependapat dengan anggapan bahwa ulama generasi terdahulu tidak mungkin ditandingi oleh ulama atau pemikir generasi sekarang dalam semua aspeknya.

2. Abdullah Ahmed an-Na’imAn-Naim Menawarkan metodologi alternatif dalam menguak

pandangan Islam terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Sejak awal an-Na’im memang memiliki concern terhadap hukum Islam dalam kaitannya dengan isu-isu internasional modern seperti HAM, konstitusionalisme modern, dan hukum pidana modern. Menurutnya hukum Islam pada saat ini membutuhkan reformasi yang dalam terminologinya disebut “dekontruksi”.

Metode pembaharuan hukum Islam An- Na’im sebenarnya berangkat dari metodologi yang diintroduksi dari gurunya sendiri, Mahmoud Muhammad Thaha yakni teori evolusi yang memuat

Page 89: Agus Sunaryo, MSI

81Agus Sunaryo, MSI.

teori naskh (sebagaimana dikenal dalam usul fiqh) namun substansi dalam penerapannya berbeda. Dalam pandangan Thaha, teori Naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat (juga hadis) Madaniyah menghapus ayat (juga hadis) Makkiyah, harus dibalik, yakni ayat makkiyah lah yang justru menghapus ayat madaniyyah. Keyakinan Thaha bahwa pada abad modern ini ayat-ayat makiyah justru menasakh ayat-ayat madaniyah, karena ayat-ayat makkiyah bersifat lebih universal dan abadi. Ia menganjurkan kebebasan, persamaan derajat da tidak berprilaku diskriminatif, baik atas alasan jender, agama maupun kepercayaan.149

Dari kerangka berpikir sang guru inilah an-Na’im memformulasikan buah pikirannya terhadap isu-isu global yang menjadi minat kajiannya. Menurut an-Na’im pilihan Thaha terhadap abad ke-20 sebagai abad yang tepat untuk pemberlakuan kembali ayat-ayat Makiyah memang subjektif, meski dikemukakan secara rasional. Namun, bagaimanapun menurut an-Na’im kita tidak memiliki alternatif ide yang lain untuk menggantikan pemikiran Thaha itu. Dengan kata lain, an-Na’im ingin mnyatakan bahwa metodologi Thaha merupakan keniscayaan zaman. Umat Islam dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak relevan khususnya dalam bidang hukum publik. Pertama, tetap menggunakan piranti hukum klasik dengan berbagai macam kekurangan dan kerancuan terminologisnya, dan yang kedua, menggunakan hukum barat yang disebarkan melalui kolonialisme yang mau tidak mau harus diterima karena tidak ada alternatif yang memadai.150

Meskipun piranti metodologis An-Naim lebih diproyeksikan pada bidang hukum publik namun secara paradigmatik bisa saja diterapkan dalam bidang hukum privat pada umumnya dan hukum

149 Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam (Yog-yakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 164.

150 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan, Hubungan Internasional, alihbahasa Ahmad Suaedy dan Amirud-din ar-Rany ( Yogyakarta: LKiS, 1990).

Page 90: Agus Sunaryo, MSI

82 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

keluarga pada khususnya. Hal ini mengingat bahwa kegelisahan hukum Islam adalah sama yaitu bagaimana keberadaannya tetap relevan dalam perkembangan zaman.

3. Muhammad SyahrurSecara umum pemikiran Syahrur tertuang dalam beberapa

karya, di antaranya yang paling monomental adalah al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>s}irah.151 Kitab tersebut merupakan hasil perjalanan panjang intelektualnya selama kurang lebih 20 tahun. Dalam buku ini Syahrur melakukan pembacaan ulang terhadap Islam yang kemudian mampu menghasilkan pemahaman dan kesan kuat tentang akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam al-Kitab (al-Qur’an).

Secara umum, Syahrur merumuskan metode berfikirnya ke dalam beberapa poin, yaitu: pertama, permasalahan mendasar dalam filsafat adalah persoalan hubungan antara kesadaran akal (ide) dan materi (wujud kongkret). Menurutnya sumber pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar diri manusia. Ini berarti pengetahuan yang sesungguhnya bukanlah semata-mata bentuk pikiran, melainkan sesuatu yang terdapat padanannya di alam realitas-empiris. Kedua, bertolak dari pandangan bahwa pengetahuan manusia berasal dari luar dirinya tersebut, ia menawarkan filsafat Islam modern yang didasarkan atas pengetahuan akal yang bertolak dari hal-hal yang kongkrit yang dapat dicapai oleh indera manusia terutama pendengaran dan penglihatan untuk mencapai pengetahuan teoritis yang murni (benar). Ia juga menyerukan penolakan terhadap pengetahuan yang di dasarkan pada ilham (al-isyraqiyyah al-ilahiyyah) yang hanya dimiliki oleh ahli mukasyafah (sufi).152

151 M. In’am Esha, “Muhammad Syahrur: Teori Batas,” dalam Khudlori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 296

152 Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, cet.2 (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990), hlm. 42-43.

Page 91: Agus Sunaryo, MSI

83Agus Sunaryo, MSI.

Ketiga, pemikiran manusia mula-mula berupa pemikiran yang terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh pendengaran dan penglihatan saja, kemudian meningkat hingga mencapai pemikiran murni yang bersifat umum. Oleh karenanya, alam nyata merupakan permulaan bagi alam materi yang dapat dikenal oleh indera manusia. Pengetahuan manusia akan terus berkembang hingga mencapai hal-hal yang hanya dapat ditangkap oleh akal. Manurut Syahrur, alam nyata dan alam ghaib sama-sama merupakan materi. Perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini baru mampu menggapai alam kongkrit dan nyata, pada waktunya nanti ia akan terus berkembang sehingga mampu mencapai hal-hal yang ghaib. Keempat, ia berpendapat bahwa alam diciptakan dari materi, bukan dari ketiadaan. Hanya saja sifat materi tersebut berbeda dengan yang ada sekarang. Suatu saat nanti ia juga akan diganti dengan materi yang berbeda pula, yakni alam lain yang disebut dengan akhirat. Kelima, tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan.153

Dengan pembacaan ulangnya ini ia juga berhasil merumuskan sebuah terori yang cukup tekenal yaitu “teori batas” (naz}ariyyah al-h}udu>d). Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang terdapat dalam al-Qur’an yang mutlak harus dimengerti untuk bisa memahami keistimewaan agama Islam, yakni h}ani>fiyyah dan istiqa>mah. Kedua sifat ini selalu bertentangan tetapi saling melengkapi. Berdasarkan sejumlah ayat Syahrur menyimpulkan bahwa makna hanafiyah adalah penyimpangan dari sebuah garis lurus, sedangkan istiqamah merupakan sifat atau kualitas dari garis lurus itu sendiri atau yang mengikutinya. Hanifiyyah adalah sifat alam yang juga terdapat dalam sifat alamiah manusia.

Syahrur berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang selalu bergerak dalam bentuk garis lurus. Seluruh

153 Ibid.

Page 92: Agus Sunaryo, MSI

84 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat.

Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharuasan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia Tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat.154

Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas. Pertama, ketentuan hukum yang memiliki batas bawah. Ini terjadi dalam hal macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi. Kedua, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas. Ini terjadi pada tindak pidana pencurian. Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah, seperti hukum waris dan poligami. Keempat, ketentuan hukum yang mana batas bawah dan atas berada pada satu titik (garis lurus) tidak boleh lebih dan kurang, ini terjadi pada hukuman zina yaitu 100 kali jilid. Kelima, ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh, karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh

154 Secara umum, teori batas (Nazariyyah al-H}udu>d) barangkali dapat digambar-kan bahwa terdapat ketentuan Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah yang mentapkan batas bawah yang merupakan batas minimal ayng dituntut oleh hukum dan batas atas merupakan batas maksimal bagi seluruh perbuatan manusia. Yang jika melanggar batas minimal dan maksimal terse-but dianggap perbuatan yang dilarang (haram)dengan kata lain manusia bisa melakukan gerak dinamis dalam batas-batas yang telah ditentukan. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif., hlm. 134-135

Page 93: Agus Sunaryo, MSI

85Agus Sunaryo, MSI.

pada larangan Tuhan, hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan Keenam, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah dimana batas atasnya tidak boleh dilampaui dan batas bawahnya boleh dilampaui. Batas atas terjadi pada riba dan batas bawah adalah pinjaman tanpa bunga (al-qard} al-h}asan).155

D. Epistemologi Fiqh Eksklusif-PuritanSejak abad ke-7 M, fiqh telah berada pada puncak kesakralan.

Orientasi umat selalu merujuk kepada fiqh sebagai justifikasi keselamatan dan kesesatan. Sebagai sebuah rujukan hukum, fiqh tampak subjektif: hitam-putih, benar-salah, dan halal-haram.156 Bahkan, di tangan beberapa orang, fiqh dapat berubah menjadi tata aturan yang otoriter, tidak ramah dan kebal pembaruan. Dengan kalimat lain, fiqh selalu menampilkan dua wajah, moderatisme di satu sisi dan puritanisme di lain sisi.157

Gerakan menjaga otoritas fiqh yang cukup massif, misalnya

155 Metodologi yang digunakan syahrur adalah filsafat dengan titik berat pada fil-safat materialisme. Hal ini terlihat pada pandangannya bahwa sumber penge-tahuan yang hakiki adalah alam materi diluar diri manusia. Adapun pendeka-tan yang digunakan adalah pendekatan hermeunetik dengan penekanan pada asfek filologi dan ini tercermin jelas pada seluruh bagian pembahasannya. Adapun kerangka teoritik yang menjadi acuan Syahrur dalam memformu-lasikan ide-idenya dalam ajaran islam membedakan antara yang berdimensi nubuwah yang merupakan kumpulan informasi kesejarahan yang dengan itu dapat dibedakan antara benar dan salah dalam relitas empirisnya dan risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi oleh manusia yang berupa iba-dah, muamalah, akhlak dan hukum halal-haram. Ibid., hlm. 136-138.

156 Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan Feminisme, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. viii. Lihat juga Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 135; Zuhairi Misrawi dkk, Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm. 282-300.

157 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Hilmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 139.

Page 94: Agus Sunaryo, MSI

86 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

dengan memunculkan “kampanye” tertutupnya pintu ijtihad, jelas mengorientasikan umat untuk senantiasa tunduk kepada produk pemahaman keagamaan puluhan abad silam dan menisbikan hentakan gelombang zaman.158 Jika di era yang lalu teks-teks hukum produk ulama (al-kutub al-fiqhiyyah) yang sebenarnya hanyalah hasil interpretasi mereka atas sebuah teks yang lebih otoritatif (al-Qur’an dan al-Sunnah), telah ditempatkan sedemikian rupa sehingga menyamai kedudukan teks-teks otoritatif tersebut,159 Maka di zaman modern fenoma yang terjadi tidak jauh berbeda dengan era sebelumnya, bahkan lebih problematis. Beberapa pemikir zaman ini menggunakan al-Qur’an hanya sebagai “simbol” otoritas. “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” digunakan sebagai jargon yang mengukuhkan kebenaran Tuhan. Doktrin tersebut menjadi “korpus tertutup” yang tidak bisa diutak-atik dan segala hal yang bertentangan dengan doktrin tersebut dianggap bid‘ah, tidak sesuai dengan ajaran Tuhan atau bahkan bila perlu dikafirkan.160 Beberapa ahli ada yang menyebut mereka ini dengan istilah fundamentalis-Islam, ekstrimis-Islam atau puritan-Islam. Dalam penelitian ini istilah puritan Islam akan dipilih untuk menggambarkan bagaimana hukum Islam telah direkayasa sedemikian rupa sehingga kehilangan sifat karakternya yang luwes, elastis, egaliter dan inklusif.

Menurut Khaled Abou el-Fadl, istilah puritan-Islam didasarkan pada cara pandang dan keyakinan kelompok ini yang absolutis dan tidak kenal kompromi. Dalam banyak hal, orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang (perspektif) yang berkompetisi serta menganggap realitas pluralis hanyalah sebagai bentuk pencemaran atas kebenaran sejati.161 Di antara kelompok Islam 158 Ibid.159 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 21.160 Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama..., hlm. 133.161 Khaled Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, alihbahasa Helmi Mustofa

(Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 29

Page 95: Agus Sunaryo, MSI

87Agus Sunaryo, MSI.

yang bisa dikategorikan sebagai penganut puritanisme adalah aliran wahabiyyah dan salafiyyah. Cara berfikir kelompok ini nampak sekali ikut meramaikan diskursus keislaman modern, tentunya dengan paradigma dan epistemologi keilmuan khas kelompok puritan.

1. SalafiyyahKelompok ini didirikan oleh para pembaharu Islam abad

ke-19 seperti Muhammad Abduh (w. 1323 H), Jamal ad-Din al-Afghani (w. 1314 H), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H) dan beberapa tokoh lainnya. Beberapa pemikir bahkan menisbatkan aliran ini pada sosok Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H). Istilah salaf secara bahasa berarti pendahulu, yang dalam konteks Islam merujuk pada periode Nabi, sahabat dan tabi’in. Dalam perkembangannya, salafi (pengikut aliran salaf) memiliki arti yang lebih fleksibel dan lentur, mencakup aspek autentisitas dan keabsahan. Sebagai sebuah terminologi, salafi dimanfaatkan oleh setiap gerakan yang ingin mengklaim bahwa gerakan tersebut brakar pada autentisitas dan keabsahan Islam. Bahkan, istilah yang semula digunakan oleh kaum reformis liberal abad ke-20, juga diklaim oleh kelompok Wahhabi yang juga menyebut diri mereka sebagai kaum salafi.

Selain menisbatkan salafi pada orang atau generasi tertentu umat Islam, salafi juga bisa di lihat dari aspek metodologi berfikir yang menurut Mustafa Hilmi meliputi tiga kriteria, yaitu:162

a. Memandang agama Islam sebagai satu kesatuanb. Pemikiran salafi adalah kemajuan beragamac. Memiliki jati diri dan bukan penjiplak.

Untuk mencapai ketiga kriteria di atas, seorang salafi dalam menjaga akidahnya, harus mendasarkan pemikirannya pada beberapa metode berfikir, antara lain:162 Must}afa> Hilmi>, Qawa>id al-Manhaj as-Salafi, cet. II (Iskandariah: Da>r ad-Da’wah, 1991),

hlm. 209.

Page 96: Agus Sunaryo, MSI

88 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

a. Memprioritaskan nas dalam memahami masalah-masalah akidah

b. Menghindari ta’wil tafsilyc. Mengikuti alur pemaparan al-Qur’an dalam berakidah.

Dengan metodologi berfikir ini seorang salafi akan mampu menjaga kemurnian Islam dari hal-hal yang berbau syirik atau hal-hal yang termasuk bid’ah. Untuk itu, mereka harus memegang teguh beberapa prinsip kemurnian akidah Islam, yaitu:

a. Bagi yang sudah menyatakan beriman, maka ia harus mengembalikan segala persoalan umat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama yang salih.

b. Umat Islam harus berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah.

c. Mengembalikan segala urusan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bentuk ittiba’ kepada sahabat dan tabi’in.

d. Umat Islam tidak boleh bertaklid kepada siapapun, melainkan harus menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam kehidupan.163

Adapun jika dilihat dari segi karakter berfikir, kelompok salafi ini kemudian terbagi menjadi dua, yaitu:1. Salafi Literalis

Ahmad bin Hanbal adalah tokoh yang sering disebut sebagai pemuka aliran ini. Dalam pandangannya, dunia pengetahuan yang telah berkembang sedemikian rupa, terlebih filsafat, sedikit banyak telah berpengaruh pada sikap beragama umat Islam. Menurut Ibn Hanbal, pola keberagamaan umat Islam telah banyak yang menyimpang dari tata aturan yang

163 Abu> Usa>mah Isma>’i>l bin Abdurrah}ma>n as-Sa>buny, Aqidah as-Salaf (Kairo: Al-Kurdy, 1325 H), hlm. 236.

Page 97: Agus Sunaryo, MSI

89Agus Sunaryo, MSI.

sebenarnya sebagaimana diajarkan Nabi dan para sahabat. Pola berfikir salaf (manhaj salafi) sedikit banyak telah ditinggalkan dan diganti dengan ta’wil yang begitu luas dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Akibatnya, banyak sekali bermunculan tafsir-tafsir yang tidak sejalan dengan ruh Islam.164

Sebagai tindaklanjut dari kegelisahannya, Ibn Hanbal kemudian merumuskan beberapa pedoman berfikir yang ia sebut sebagai manhaj al-fikr as-salafi. Pedoman berfikir tersebut antara lain:165

1. Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa berkurang dan bertambah, sesuai dengan kemurnian akidah dan praktik beragama dalam kehidupan sehari-hari.

2. Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan makhluk tetapi juga bukan sekutuNya.

3. Sifat-sifat Allah diyakini sebagaimana dipaparkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh dita’wilkan berdasarkan pemikiran belaka.

4. Alam ghaib tidak perlu dibahas secara detail tetapi hakikatnya dikembalikan kepada Allah.

5. Keimanan seseorang tidak sempurna kecuali beriman kepada qada’ dan qadar Tuhan.

Dalam bidang fiqh, Ahmad ibn Hanbal mendasarkan pemikirannya pada lima pilar, yaitu:1. Jika dalam suatu kasus didapatkan nash hukum yang

mengatur, maka nash hukum harus didahulukan dari apapun, termasuk dari fatwa sahabat.

2. Fatwa sahabat yang menjadi kesepakatan atau tidak ada yang menyalahinya.

164 Andi Aderus, Karakteristik Pemikiran Salafi (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2011), hlm. 114.

165 Hasbie as-Shiddieqy, Pokok-pokok, hlm. 533

Page 98: Agus Sunaryo, MSI

90 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

3. Pendapat salah seorang sahabat yang dianggapnya lebih dekat pada maksud al-Qur’an atau as-Sunnah.

4. Apabila tidak ditemukan hadis yang sahih, maka hadis mursal dan hadis dha’if dapat digunakan.

5. Dalan kondisi dimana keempat pilar hukum di atas tidak didapati maka, ibn Hanbal akan menggunakan qiyas. Artinya, penggunaan qiyas sangat terbatas hanya pada situasi darurat.166

Berdasarkan metode dan pilar berfikir ibn Hanbal di atas, beberapa ahli kemudian menyimpulkan bahwa kegigihannya mempertahankan aqidah Islam sebagaimana dipraktikkan generasi salaf memunculkan klaim bahwa penyebutan istilah salafi atau salafiyyah senantiasa dikembalikan kepada ibn Hanbal. Sisi leteralis-puritanistik ibn Hanbal belum begitu tampak dalam persoalan fiqh, tidak seperti dalam persoalan aqidah. Namun demikian, jika dibandingkan dengan pemuka-pemuka fiqh lainnya, pola pemikiran ibn Hanbal memang lebih literalis. Dalam hal penggunaan qiyas, maslahah atau dzari’ah misalnya, semua perangkat metodologi ini hanya bisa digunakan dalam kondisi darurat dan tidak boleh menyimpang dari kehendak nash.

Beberapa pengikut ibn Hanbal, nampaknya semakin memperkuat kesan literalis-puritasnistik pemikiran salafi. Hal ini tampak setelah munculnya mazhab zahiriyyah yang dipelopori oleh Daud bin Ali al-Isfahani (w. 270 H). Mazhab inilah yang kemudian mengembangkan model pemikiran literalis (bahkan cenderung ekstrim) dalam memahami teks-teks keagamaan. Pemikiran mazhab Zahiriyyah ini kemudian dimatangkan dan dipertajam lagi oleh salah seorang tokohnya yaitu Muhammad ibn Hazm az-Zahiry (w. 456 H).

166 Ibid., hlm. 274-275.

Page 99: Agus Sunaryo, MSI

91Agus Sunaryo, MSI.

2. Salafi Rasionalis-ReformisAbad keenam hijriyyah adalah titik klimaks kehancuran dunia Islam. Hal ini ditandai dengan runtuhnya wilayah teritorial Islam dan munculnya kerajaan-kerajaan kecil, baik di belahan timur maupun barat. Kondisi semakin parah terjadi saat kerajaan Mongol mampu menghancurkan Baghdad yang saat itu menjadi pusat peradaban Islam dibagian Timur. Para ulama saat itu banyak yang dibunuh dan perpustakaan-perpustakaan besar dengan puluhan bahkan mungkin ratusan ribu manuskrip berharga dibakar dan dimusnahkan.

Akibat dari kehancuran tersebut, umat Islam banyak yang awam terhadap agamanya, sehingga penyelewengan dan penyimpangan terjadi di mana-mana. Adalah sosok Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) yang tidak rela melihat kondisi tersebut dan berjuang untuk mengembalikan semangat umat Islam guna menggapai kembali kejayaan dan kemurniannya. Salah satu cara yang dilakukan Ibn Taymiyyah adalah dengan mengembalikan pemahaman agama umat Islam kepada pemahaman para as-salaf as-shalih.

Untuk mencapai usahanya tersebut Ibn Taymiyyah menyusun beberapa kerangka dasar berfikir yang diyakini sebagai kerangka teori salaf dalam beragama di kemudian hari, yaitu:a. Al-Qur’an adalah sumber naqli dan aqli.b. Mengikuti salam dalam menafsirkan nasc. Keimanan terhadap hal-hal yang metafisika, terbatas

pada penjelasan wahyu, apa yang telah ditetapkan wahyu yang sahih maka itulah hyang wajib diyakini dan diikuti.

d. Masalah nama-nama dan sifat Tuhan mesti diyakini sebagaimana informasi wahyu, tanpa harus mengkaji lebih jauh bagaimana bentuk dan modelnya.

Page 100: Agus Sunaryo, MSI

92 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

e. Dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, maka kaidah yang berlaku adalah mengumpulkan dua hal, yaitu antara keyakinan terhadap informasi wahyu tentang sifat dan nama Tuhan dengan keyakinan bahwa sifat-sifat tersebut tidak serupa dengan makhlukNya.

Jika melihat kerangka berfikir di atas, maka nampak bahwa Ibn Taymiyyah adalah sosok salafi. Namun demikian, pemberian porsi seimbang antara wahyu dan akal menjadikan pemikiran salafi yang dibawanya menjadi lebih baru dan rasional, sehingga tidak berlebihan jika Ibn Taymiyyah sering disebut sebagai pembaharu pemikiran salafi.

2. WahabiyyahPemikiran salafi nampaknya terus berdinamika mengikuti

perkembangan arus zaman. Saat dimana modernitas menggerus hampir semua sendi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali masyarakat muslim, salami muncul kepermukaan dalam bentuk kelompok yang disebut dengan salafiyyah atau Wahhabiyyah. Kelompok ini, selain tetap mengedepankan karakter khas salafi, cenderung lebih ekstrim dan ekslusif jika dibanding dengan salafi era sebelumnya. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika sejarah Islam eksklusif-puritan sering disebut bermula pada era dimana Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H/ 1792 Masyarakat) mempropagandakan gagasan-gagasannya yang sedikit banyak mempengaruhi peta pemikiran umat Islam, khususnya abad modern. Bahkan tragedi 11 September 2001 telah menyadarkan dunia bahwa dampak pemikiran wahabisme (aliran pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) begitu dahsyatnya mempengaruhi pemikiran Islam modern.

Gagasan utama Muhammad bin Abdul Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan besar dengan menyimpang

Page 101: Agus Sunaryo, MSI

93Agus Sunaryo, MSI.

dari jalan Islam yang lurus, dan hanya dengan kembali kepada satu-satunya agama yang benar mereka akan diterima dan mendapat ridha dari Allah. Dengan dalih pemurnian ajaran Islam Abdul Wahhab bersama pengikutnya hendak melakukan pembebasan Islam dari segala unsur yang merusak dan menggerogoti kemurnian ajaran Islam seperti, tasawuf, doktrin tawassul, rasionalisme serta beberapa praktik keagamaan yang dinilai bid’ah.167

Dalam perkembangannya, Wahhabisme memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisisme dan sektarianisme dalam Islam. Menurut mereka, semua hal tersebut adalah bentuk inovasi menyimpang yang telah masuk ke dalam ajaran Islam. Ada pihak-pihak di luar Islam yang dengan sengaja memasukkan unsur tersebut sehingga mengaburkan ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh karenanya, mereka selalu mencurigai segala sesuatu yang berasal dari luar Arab karena dianggap memasukkan unsur-unsur non Islam ke dalam ajaran Islam, khususnya segala hal yang datang dari daerah Persia, Turki dan Yunani. Menurut kelompok Wahhabi, Persia bertanggungjawab atas masuknya mistisisme ke dalam Islam, sementara Turki dianggap telah menyebarkan ajaran tawassul dan pemujaan terhadap makam-makam suci. Adapun Yunani dicurigai sebagai tempat dimana rasionalisme dan segala aktifitas kefilsafatan bermuara.168

Untuk memurnikan Islam dari ajaran yang dapat merusaknya Wahhabi menyerukan agar umat Islam kembali mengimplementasikan perintah dan contoh (tauladan) Nabi secara literal khususnya terkait dengan praktik-praktik peribadatan. Ini adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan bantuan dan dukungan Tuhan serta mengembalikan umat Islam dari segala keterbelakangan dan keterhinaan. Di antara yang menyebabkan umat Islam terbelakang adalah munculnya beragam mazhab 167 Ibid., hlm. 61.168 Ibid., hlm. 63.

Page 102: Agus Sunaryo, MSI

94 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

pemikiran. Menurut mereka, kemunculan mazhab-mazhab tersebut telah memecah belah umat Islam dan memperlemah ukhuwwah Islamiyyah. Untuk itu, segala bentuk pemikiran atas nama mazhab tertentu harus dilebur dalam satu agenda besar yaitu untuk memurnikan ajaran Islam. Bahkan, tidak jarang Abdul Wahhab dan para pengikutnya menyebut para ahli hukum (fuqaha’) abad pertengahan maupun kontemporer sebagai pengumbar bid’an dan halal darahnya. Dalam konteks ini menarik untuk dicermati bahwa Wahhabi tidak konsisten dalam mengecam para fuqaha’. Terbukti bahwa mereka dengan senang hati mengikuti pemikiran Ibnu Taymiyyah dan beberapa ulama yang sejalan dengannya.169

169 Ibid., hlm. 63.

Page 103: Agus Sunaryo, MSI

95Agus Sunaryo, MSI.

BAGIAN IV

ANALISIS KRITIS TERHADAP EPISTEMOLOGI

FIQH HEGEMONIK

A. Menyoal pergulatan Teks dan KonteksPada tataran konsep, hukum Islam atau yang sering

disebut fiqh dimaknai oleh para ahli dengan “pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat praktis yang digali dari petunjuknya yang bersifat rinci”.170 Berdasarkan pengertian ini, bisa dipahami bahwa hukum Islam secara konseptual bersifat theosentris. Artinya, meskipun secara praktis ia tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur relasi antar manusia (muamalat), naman semua aturan yang dirumuskan selalu dibingkai dengan sebuah penisbatan hukum yaitu syar’iyyah171 (hukum yang berdasarkan wahyu Tuhan).172

170 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Jogjakarta: LKiS, 2003), hlm. xxix. Lihat juga Abdul Waha>b Khalla>f, Ilmu Us}ul Fiqh (Kuwait: Da>r al-Ilm, 1978), hlm. 11

171 Dalam konteks ini, syari’at tidak lain adalah penjelmaan kongkrit dari kehendak Allah (as-Sya>ri’) di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Lihat Ilyas Supena dan M. Fauzi, De-konstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam (Jogjakarta: Gama Media, 2002), hlm. 3

172 Hal ini tentunya berbeda dengan sistem hukum Eropa (civil law) atau anglo saxon (common

Page 104: Agus Sunaryo, MSI

96 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Menarik untuk diperhatikan, pernyataan Qodri Azizy yang menyebutkan bahwa fiqh atau Islamic Jurisprudence tidak selalu identik dengan law/ rules atau peraturan perundang-undangan. Hukum Islam yang mencakup al-ahka>m al-khamsah (halal, haram, sunnah, makruh dan mubah) menegaskan bahwa fiqh tidak bisa dipisahkan dengan apa yang disebut sebagai “etika agama” (religious ethics). Ciri utama dari keterpautan ini adalah adanya konsekuensi yang harus diterima dari “nilai ibadah” seseorang, baik itu berupa pahala (tsawa>b) ataupun siksaan (‘iqa>b). Lebih jauh lagi, konsekuensi tersebut akan terus berlanjut hingga di kehidupan mendatang (akhirat). Melihat fenomena ini, Qodri Azizy membuat kesimpulan bahwa fiqh atau hukum Islam secara umum dapat diartikan dengan ilmu tentang perilaku manusia yang landasan utamanya adalah nas (wahyu).173

Dilihat dari aspek tujuannya, hukum Islam tidak memiliki perbedaan berarti dengan sistem hukum yang lain. Hukum Islam hadir untuk mengintegrasikan dan mengakomodir beragam kepentingan yang pada kondisi tertentu dapat saling bertubrukan dan tidak menutup kemungkinan dapat memunculkan chaos di tengah-tengah masyarakat.174 Menurut para juris Islam (fuqa>ha>’), tujuan akhir dari penerapan hukum Islam adalah terwujudnya kemaslahatan bagi masyarakat. Dan mengingat bahwa kemaslahatan yang dimaksud sangat terikat dengan konteks zaman (tempus) dan tempat (locus), maka hukum Islam pun selalu bergerak menyesuaikan diri dengan dinamika zaman tersebut.

law), di mana keduanya lebih bersifat antroposentris dengan menjadikan manusia sebagai pusat kegiatan hukum.

173 Qodri Azizy, Hukum Nasional; Eklektisismen Hukum Islam dengan Hukum Umum (Jakar-ta: Teraju, 2004), hlm. 30-31

174 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 56

Page 105: Agus Sunaryo, MSI

97Agus Sunaryo, MSI.

Seluruh umat Islam harus meyakini bahwa ajaran Islam adalah syariat terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya. Sebagai syariat terakhir, Islam dituntut untuk bisa diterapkan pada setiap saat dan tempat, pada setiap kondisi dan situasi sesuai dengan perkembangan dan perubahan kemaslahatan umat.175

Proses penyesuaian diri atau perubahan dalam hukum Islam (taghayyur al-ahka>m) bukanlah hal baru dalam sejarah legislasi Islam. Terbukti, banyak para ulama yang berbeda pendapat dalam menentukan hukum atas satu masalah dan ada pula beberapa ulama yang merevisi pendapatnya karena pertimbangan sosio-cultur masyarakat yang dihadapi. Hal ini pulalah yang membuat aturan hukum Islam selalu dapat bertahan dan applicable sepanjang zaman.176

Sebagai sebuah produk pemikiran yang diharapkan mampu menjawab segala persoalan kehidupan, hukum Islam tentu tidak harus bersikap arogan dengan mengesampingkan begitu saja norma masyarakat atau sistem hukum yang telah ada. Atas dasar itulah, seorang juris Islam terkenal Imam as-Syafi’i, membuat keputusan bijak untuk merevisi beberapa fatwa yang dirumuskannya ketika berada di Iraq (al-qaul al-qadi>m) dan menggantinya dengan fatwa-fatwa baru (al-qaul al-jadi>d) saat berada di Mesir.177

Demikianlah, bahwa dalam upaya mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia, hukum Islam benar-benar mampu berdialektika secara positif dengan dunia di sekitarnya. Ia tidak hanya dituntut untuk beradaptasi dengan tradisi, norma atau aturan hukum yang ada, melainkan juga harus mampu memfungsikan diri 175 Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial (Bandung: Pustaka Setia, 2010),

hlm. 29.176 Uraian lebih lengkap mengenai elastisitas dan dinamisitas hukum Islam dapat dibaca pada

NJ Coulson, Konflik dalam Jurisprudensi Islam, alihbahasa Fuad Zein (Jogjakarta: Navila, 2001).

177 A>li> Hasaballa>h, Us}u>l at-Tasyri>’ al-Isla>my (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.t.), hlm. 311

Page 106: Agus Sunaryo, MSI

98 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

sebagai a tool of social engineering yang ampuh dalam rangka menata kehidupan umat manusia menjadi lebih baik. Hanya dengan cara tersebut, keyakinan umat Islam bahwa hukum Islam adalah sa>lihun likulli zama>nin wa maka>nin (sesuai untuk segala masa dan tempat) dapat dibuktikan.

Memodifikasi hukum lama agar selaras dengan situasi kekinian tidak harus diartikan dengan mengeksploitasi secara teoritis, baik al-quran maupun as-Sunnah, melainkan mencari maksud terdalam pesan dari keduanya dalam konteks kekinian. Ketika pesan terdalam dari teks-teks suci adalah untuk mewujudkan kemaslahatan, sementara kemaslahatan itu senantiasa berkembang dan berubah, maka fiqh sebagai bentuk penterjemahan seorang mujtahid atas kehendak Tuhan, harus mempertimbangkan konteks kemaslahatan yang sedang berkembang dizamannya.

B. Fiqh Otoritatif vis a vis Otoritarianisme Fiqh1. Fiqh dan Kekuasaan

Ketika al-Mansur baru saja diangkat menjadi khalifah, ia mengundang Malik bin Anas, Ibnu Saman dan Ibnu Abi Su’aib. Ia dikawal para prajurit dengan pedang-pedang terhunus. Setelah berbicara panjang, khalifah bertanya: “bagaimana pendapat kalian tentang diriku? Apakah aku pemimpin adil atau dzalim?”. Malik bin Anas berkata: “Ya Amiral mu’minin, aku tawassul kepadamu dengan Allah SWT dan aku meminta tolong padamu dengan Muhammad SAW dan dengan kekeluargaanmu padanya, maafkan aku untuk tidak berbicara.” “aku maafkan anda”, kata al-Mansur. Kemudian ia meilirik kepada Ibnu Salman: “bagaimana pendapat kamu?” kata Ibnu Salman: ”anda, demi Allah, orang yang paling baik. Demi Allah, ya amiral mu’minin, anda berhaji ke baitullah; anda perang musuh; anda berikan keamanan di jalan; anda lindungi orang yang lemah supaya tidak dimakan yang kuat. Anda lah tonggak agama, orang terbaik, dan umat teradil.”

Page 107: Agus Sunaryo, MSI

99Agus Sunaryo, MSI.

Kemudian al-Mansur melirik Ibnu Abi su’aib. “atas nama Allah bagaimana pendapatmu tentang diriku? “yang ditanya menjawab,”menurut pendapatku, anda adalah manusia terjahat, demi Allah. Anda merampas harta Allah, RasulNya, dan bagian keluarga Rasul, anak yatim, dan orang miskin. Anda hancurkan yang lemah, anda persulit orang yang kuat. Anda tahan harta mereka. Apa alasanmu di hadapan Allah nanti?”

Celaka kamu, tidakkah kamu lihat apa yang ada dihadapanmu?” benar, aku lihat pedang dan itu berarti kematian. Bagiku sama saja apakah mati itu dipercepat atau diperlambat.”

Peristiwa di atas, yang dikisahkan oleh Ibnu Qutaibah menunjukkan posisi Malik bin Anas dibandingkan dengan ulama’ yang sezaman dengannya. Ibnu Abi Su’aib nama lengkapnya adalah Abu al-Harit Muhammad bin Abdurrahman bin al-Mughirah bin Ibnu Su’aib al-Amiri, adalah seorang ‘alim yang terkenal fakih dan wara’. Menurut ad-Dahlawy, disamping Malik, Ibnu Su’aib adalah orang yang membukukan Hadis di Madinah. Tapi, namanya hampir tidak pernah disebut dalam buku-buku tarikh. Ia lebih berani dan boleh jadi lebih fakih dari Malik bin Anas. Namun sekarang hampir tidak ada orang yang mengenalnya.

Sejarah memang hanya memihak yang menang. Fame bestows no favors upon the lossers. Malik bin Anas kelak dikenal sebagai pendiri mazhab Maliki dengan para pengikut yang tersebar di berbagai bagian dunia Islam. Ibnu Su’aib tentu saja tidak dikenal. Imam Malik menjadi terkemuka setelah al-Mansur memberikan segala kehormatan kepadanya. Ketika naik haji, al-Mansur berkata kepada Malik: “saya punya rencana untuk memperbanyak kitab yang kau susun ini, yaitu saya salin, dan kepada setiap wilayah kaum muslim saya kirim satu naskah, serta saya instruksikan agar mereka mengamalkan isinya sehingga mereka tidak mengambil yang lain.” Begitu pula ketika Harus as-Rasyid berkuasa, ia bermusyawarah dengan Malik untuk menggantungkan al-Muwatta’ pada Ka’bah dan memerintahkan orang untuk beramal

Page 108: Agus Sunaryo, MSI

100 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

menurut kitab itu. Walau Malik menolak rencana kedua khalifah itu, kita tahu bahwa Malik di dukung para penguasa.178

Selain cerita di atas, sejarah Islam juga mencatat bahwa mazhab Hanafi pada masa dinasti Abbasiyyah telah menjadi mazhab yang banyak dianut oleh Umat Islam. Bahkan pada masa dinasti Usmani, mazhab ini dijadikan mazhab resmi penguasa kala itu.179 Dalam konteks Wahabi, dukungan karajaan Saudi terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dipastikan menjadi faktor dominan berkembangnya mazhab tersebut di dunia Islam.180

Dalam perspektif analisis diskursus, dipahami bahwa kemunculan sebuah institusi, praktik, konsep atau bahkan mazhab tertentu, sangat terkait dengan empat hal, yaitu: will (keinginan), power (kekuasaan), discipline (disiplin) dan regime (pemerintahan). Dengan empat piranti, yang biasa disebut discursive formations ini, sebuah analisis akan menghasilkan kesadaran bahwa pengetahuan itu dikontrol, dibatasi atau bahkan terkadang dikucilkan. Eksistensi beragam pemikiran atau mazhab dalam hukum Islam sebagaimana digambarkan di atas, sangat mungkin dianalisis dengan menggunakan empat formasi diskursus di atas. Eksistensi mazhab inklusif misalnya, ia tentunya sangat berkaitan dengan keinginan (will) dari para pihak yang mengkonstruksinya. Dalam hal ini tentunya para fuqaha’ yang berpandangan terbuka dan moderat serta situasi pemikiran yang berkembang. Kekuasaan (power) yang mengitarinya, juga akan menentukan apakah mazhab tersebut akan mampu bertahan dan berkembang atau justeru akan hilang dan musnah. Mazhab Maliki dan Hanafi di atas bisa dijadikan justifikasi atas analisis ini. Dukungan dari khalifah yang sedemikian rupa terhadap kedua mazhab tersebut, membuat keduanya mampu bertahan dan

178 Jalaluddin Rahmat, “Tinjauan Kritis, hlm. 267-268.179 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar, hlm. 102.180 Lihat Robert Dreyfuss, Devil’s Game: Orchestra Iblis, alihbasaha Asyhabuddin dan Tim

SR-Ins Publishing (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2007).

Page 109: Agus Sunaryo, MSI

101Agus Sunaryo, MSI.

berkembang hingga sekarang. Dalam konteks mazhab inklusif, berlaku kondisi yang serupa. Artinya, dimana penguasa memiliki kecenderungan terbuka dan moderat, dipastikan mazhab tersebut akan mampu bertahan dan bahkan berkembang. Selain keinginan dan kekuasaan, disiplin dan rezim yang mengatur juga berpengaruh terhadap keberlangsungan suatu mazhab tertentu.181

Dalam sejarah Islam kita juga mengenal adanya beberapa mazhab fiqh yang punah. Salah satu penyebab hilangnya mazhab-mazhab tersebut adalah karena tidak adanya dukungan dari negara atau penguasa. Mazhab fiqh yang mampu bersimbiosis dengan negara secara baik, maka dia akan mampu bertahan dan berkembang. Namun sebaliknya ketika mazhab fiqh memisahkan diri atau mengambil posisi opposant bagi pemerintahan, umumnya ia akan sulit atau bahkan tidak mampu berkembang dan akhirnya harus hilang dari panggung pemikiran hukum Islam.182

Terlepas dari itu semua, fiqh seharusnya dipahami sebagai manifesto kerja maksimal pemikiran manusia dibidang hukum Islam. Oleh karenanya, tidak tepat ketika fiqh diposisikan sedemikian rupa seolah menjadi kehendak mutlak Tuhan yang final, kaku dan terbebas dari dimensi epistemologis keilmuan tertentu. Hal ini untuk menghindari munculnya fiqh yang berorientasi kekuasaan, eksklusif, puritan dan sewenang-wenang.183 Sudah saatnya, fiqh yang berbasis rezim-otoriter dirubah menjadi fiqh yang berwawasan civil society,yaitu fiqh yang mampu menjadi alat transformasi soaial dalam pemberdayaan umat, fiqh yang egaliter, terbuka dan toleran terhadap segala bentuk penafsiran serta perbedaan. 184

181 Syafiq Hasyim, “Fundamentalisme Islam: Perebutan dan Pergeseran Makna,” dalam Jurnal Tashwilur Afkar, edisi No. 13 tahun 2002, hlm. 7.

182 Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 23-32.

183 Khaled M. Abou El-Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”: Yang Berwenang dan Sewenang-wenang dalam Wacana Islam (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 25-34.

184 Misrawi dkk, Islam Negara..., hlm. 281.

Page 110: Agus Sunaryo, MSI

102 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

2. Bersikap Adil terhadap Teks-teks Suci.Perbincangan mengenai teks-teks suci keagamaan selalu

menarik untuk dikaji. Dalam konteks fiqh misalnya, keberadaan jumlah teks hukum yang terbatas dan problematika yang harus dipayunginya yang seolah tanpa batas, senantiasa memunculkan ijtihad-ijtihad baru yang tidak pernah berhenti.185 Demikian pula rentang waktu antara sejarah teks-teks tersebut turun atau diriwayatkan dengan era dimana para penafsir (mujtahid) hidup dengan segala kompleksitas zamannya juga senantiasa menghasilkan pemikiran yang beragam.

Di era sekarang, perbincangan mengenai teks-teks keagamaan dan produk hukum yang dihasilkanya telah memunculkan diskursus baru dalam kajian keislaman. Nashr Hamid Abu Zayd misalnya, ia mengatakan bahwa adanya kecenderungan ideologis-individualis dalam menginterpretasi teks-teks fiqh (kitab klasik) dapat mengakibatkan despotisme dan bahkan diskriminasi interpetasi. Dengan alasan ini, Abu Zayd kemudian menyimpulkan bahwa al-Qur’an sebenarnya adalah “produk budaya” (cultural product, al-muntaj ats-tsaqafi).186 Artinya, al-Qur’an harus dijadikan sebagai wacana dan makna agama harus dikembalikan kepada masyarakat atau aktor kemanusiaan (to return the meaning of religion to the people, to the human actors).187 Dalam hal ini, Abu Zayd kemudian

185 Lihat Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtasid (Indonesia: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-Arabiyyah, t.th), hlm. 2.

186 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm. 99. Bdk. Fakhruddin Faiz, Herneneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 41-49. Faiz mengutip pemikiran to-koh-tokoh hermeneut muslim seperti Fazlur Rahman, Arkoun, dan Nashr Hamid Abu Zayd. Tokoh-tokoh tersebut, menurutnya, mengolah Al-Qur’an dengan hermeneutika dan kajian-nya dengan berangkat dari analisis bahasa yang kemudian melangkah pada analisis historis dan sosiologis: bagaimana teks-teks Al-Qur’an hadir di masyarakat lalu dipahami, ditafsir-kan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial. Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani..., hlm. 47.

187 Nashr Hamid Abu Zayd (wawancara dengan Zuhairi Misrawi), “Otoritas Tak Berhak Men-garahkan Makna Agama”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 18 Tahun 2004, hlm. 143. Lihat juga, Nashr Hamid Abu Zayd, Rethinking Qur’an: Toword A Humanistic Herme-neutics, (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), hlm. 9-12.

Page 111: Agus Sunaryo, MSI

103Agus Sunaryo, MSI.

menganalisis fenomena kontemporer dengan mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan di balik teks yang cenderung ideologis, fundamentalis, normatif, subjektif, puritanistik bahkan despotik. Padahal dengan sisi kemanusiaan yang lebih humanistis dan inklusif, teks-teks tersebut bisa dimaknai secara lebih adil, mencerahkan dan tidak kehilangan otoritasnya.

Dalam konteks hermeneutis, teks mempunyai sifat yang otonom,188 atau, meminjam istilah Paul Ricoeur, teks adalah sesuatu yang pasti (fixed), atau yang dikenal dengan istilah qath‘i dalam Islam. Otonomi teks di atas tentu mempunyai konsekuensi radikal bagi siapa pun yang bergulat dengan penafsiran teks, termasuk teks-teks kitab suci. Otonomi teks, menurut Ricoeur, merupakan ciri konstitutif tekstualitas suatu teks yang membuka setiap penafsiran dan menihilkan upaya menunggalkan tafsir.189

Berbicara mengenai problem “otoritas” teks dalam kajian keislaman, tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Nasr Hamid dan Paul Riceour. Dalam pemikiran hermeneutis Paul Riceour, setiap teks dianggap memiliki makna tersendiri yang selalu menghindar dari maksud pengarang (author). Hal ini berarti, bahwa teks dapat di-dekontekstualisasi dalam situasi yang baru, oleh pembaca yang baru pula.

Terminologi “otoritas” atau dalam bahasa Arab as-sultah, sebenarnya termasuk kajian yang belum populer dalam diskursus keislaman. Umumnya, ketika orang menyebut istilah “otoritas”, yang terbayang adalah “otoritas politik”, “otoritas keagamaan” atau “otoritas legislatif-eksekutif”. Namun demikian, munculnya banyak penafsir agama yang dianggap semena-mena dalam

188 Terdapat tiga objek pembahasan tentang “otoritas teks”. Pertama, intensi atau maksud pengarang (author); kedua, situasi kultural dan kodisi sosial pengadaan teks atau konteks historis teks; ketiga, untuk siapa teks tersebut dimaksud; dalam arti lain, teks mempunyai objek sehingga teks akan tampak berfungsi dan berguna bagi pembacanya, karena “otoritas teks” tanpa hadirnya pembaca (reader) tidak akan berfungsi sehingga teks tampak rigid dan kaku. Baca, Imam Chanafie Al-Jauhari, Hermeneutika Islam, hlm. 38-39.

189 Mutamakkin Billa, Teori Hermeneutika Khaled M. Abou El-Fadl…, hlm. 12.

Page 112: Agus Sunaryo, MSI

104 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

menggali pesan-pesan Tuhan melalui teks-teks suci-Nya, mambuat banyak kalangan mempersoalkan otoritas teks di hadapan penafsir. Hal ini dilakukan dengan memunculkan beberapa pertanyaan kritis, seperti: apakah teks-teks itu berbicara sendiri? Bagaimana kita memahami kehendak Tuhan dan Nabi melalui perantara teks-teks tersebut? Bukankah teks-teks fiqh itu membutuhkan penafsirnya? Siapakah yang berhak atau mempunyai otoritas dalam menafsirkan suatu teks? Jawaban dari beberapa pertanyaan inilah yang akan menggiring seorang mujtahid atau penafsir untuk menghasilkan pemahaman yang cenderung eklusif atau inklusif.

Dalam menyelesaikan problematika ini, “otoritas” harus dikembalikan kepada “otentisitas teks” dan “otoritas teks”. “Otentisitas” adalah bagaimana kita mengetahui bahwa perintah tesebut benar-benar datang dari Tuhan dan Nabi-Nya. Teks-teks yang memiliki otentisitas dinilai sebagai teks-teks yang otoritatif, sedangkan teks-teks yang tidak memiliki otentitas tidak memiliki otoritas mewakili suara Tuhan dan Nabi. Penggunaan teks-teks yang tidak otoritatif akan menjerumuskan pada otoritarianisme atau penganugerahan otoritas kepada yang tidak otoritatif.190

Sunnah merupakan otoritas kedua setelah al-Qur’an yang menunjukkan bahwa suara dan pemahaman Nabi bersifat otoritatif dan mewakili kehendak Tuhan. Nabi adalah penerima wahyu Tuhan, sehingga secara efektif berperan sebagai pemegang otoritas dalam masyarakat Muslim paling awal.191 Nabi mempunyai otoritas untuk menafsirkan teks-teks wahyu yang diterimanya dari Allah dalam bentuk al-Qur’an, dan kemudian menjelaskannya ke dalam Sunnah.

Persoalan sebenarnya, terkait dengan Sunnah, bukanlah terletak pada “keotentikann” atau “keaslian” nya, tetapi pada “otoritas” pembaca pasca Nabi untuk menafsirkan dan memahami Sunnah tersebut. Bisa jadi teks-teks yang autektik, berubah 190 M. Guntur Romli, “Membongkar Otoritarianisme …”, hlm. 41.191 Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan..., hlm. 26; Speaking In God’s Name..., hlm. 12.

Page 113: Agus Sunaryo, MSI

105Agus Sunaryo, MSI.

menjadi sesuatu yang otoriter ketika berada dalam penafsiran dan pemahaman orang-orang yang tidak memiliki otoritas atau bisa juga teks tersebut dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan ideologis-politis tertentu oleh panafsirnya.

Menurut Abu Zayd, teks pada dasarnya tidak memiliki otoritas, wewenang, dan kuasa apa pun, kecuali wewenang yang bersifat epistemologis (as-sulthah al-ma‘rifiyyah), yaitu wewenang setiap teks dalam posisinya hanya sebagai teks, untuk diaplikasikan pada tataran epistemologis tertentu. Menurut Hilman Latif, dalam komentarnya atas pandangan Abu Zayd ini:

”Seluruh teks berusaha memunculkan otoritas epistemologisnya secara baru dengan asumsi bahwa ia memperbaharui teks-teks yang memperbaharuinya. Akan tetapi otoritas “tekstual” tersebut tidak akan bermetamorfosis menjadi wewenang kultural-sosiologis, kecuali melalui kelompok yang mengadopsi teks dan mengubahnya menjadi kerangka ideologi …”192

Karena itu, Abu Zayd menyerukan upaya pembebasan dari kekuatan teks (tahrir min sulthah an-nusus), karena sebenarnya eksistensi teks sendiri tidak bebas dari otoritas mutlak dan otoritas hegemonik yang mempraktekkan pemaksaan dan penguasaan. Untuk itu Abu Zayd menyerukan agar teks itu dipahami, dianalisis, diinterpretasi secara otoritatif. Artinya, interpretasi yang dilakukan harus didasarkan pada standar-standar ilmiah dalam bentuk analisis kebahasaan, tanpa terjebak pada interpretasi yang mengarah pada “otoritarianisme teks”193 atau penafsiran otoriter (interpretative despotism).

192 Hilman Latif, Nashr Hamid Abu Zayd..., hlm. 99.193 Pembahasan tentang “otoritarianisme teks”, baca Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i:

Moderatisme Eklektisisme Arabisme, (Yogyakarta: LKiS, cet. ke-2, 2001), hlm. 118. Mu-nurut Abu Zayd, “kekuasaan” dan “hegemoni” teks merupakan dua hal yang tidak dapat di-pisahkan; konsep ini sudah diformalisasikan sepanjang fase-fase sejarah yang berujung pada ideologi Abu al-A’la al-Mawdudi yang meneriakkan “otoritarianisme teks” dan kemudian istilah ini dipinjam oleh Sayyid Quthb. Baca juga Nashr Hamid Abu Zayd, Kritik Wacana Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 65.

Page 114: Agus Sunaryo, MSI

106 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Menurut Abu Zayd, “penafsiran otoriter” adalah pembacaan tendensius (al-qira’ah al-mughridhah) atau ideologisasi yang mengandung muatan politis. Dalam pembacaan ini, manusialah, dalam konteks penentuan makna (itsbât al-ma’nâ), yang mendominasi makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak berbicara, atau dalam istilah Abou El-Fadl, manusia “berbicara atas nama Tuhan” (speaking in God’s name).

Abu Zayd mengutip pendapat Sayyid Quthb tentang hakimiyyah. Quthb mengatakan bahwa Allah mempunyai hak legislasi mutlak atau hak memberikan tasyri’ kepada hambanya yang harus diikuti. Seperti dikatakan Sayyid Qutb:

… mengumumkan bahwa hanyalah Allah semata yang memiliki hak ketuhanan atas alam berarti revolusi total atas otoritas manusia dalam segala bentuknya, sistem, dan kondisinya; pemberontakan atas seluruh kondisi di penjuru dunia manusia dalam satu atau lain bentuk yang memiliki otoritas; dengan kata lain: hak ketuhanan di sini dimiliki oleh manusia dalam satu atau lain bentuk. Sebab, apabila manusia yang dijadikan sebagai rujukan dalam menyelesaikan perkara, dan kepentingan manusia yang dijadikan sebagai sumber otoritas, maka itu berarti menuhankan manusia; sebagian manusia menjadikan sebagai yang lain sebagai Tuhan selain Allah.194

Oleh karena itu, dengan mengutip pernyataan Quthb di atas, Abu Zayd menyerukan kepada penafsir untuk menjaga kredibilitasnya sebagai “wakil suara” baik bagi teks primer dan sekunder (al-Qur’an dan Hadis), dengan mengkaji terlebih dahulu segala aspek yang terkandung di dalamnya, seperti aspek historis, otoritas teks dan juga aspek sosio-historis dari teks yang dikaji. Ketiganya dalam rangka menjaga otentisitas penafsiran sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dijadikan landasan, khususnya dalam persoalan yang menyangkut hukum Islam. Menurut Abu Zayd:

194 Nashr Hamid Abu Zayd, Kritik Wacana Agama..., hlm. 65.

Page 115: Agus Sunaryo, MSI

107Agus Sunaryo, MSI.

… wacana agama, dalam mentahbiskan kehambaan manusia, mendasarkan pada otoritas teks-teks agama, tanpa memahami bahwa seluruh teks (termasuk teks-teks agama) memiliki historisitasnya sendiri tanpa harus dipertimbangkan dengan keimanan bahwa teks-teks tersebut memiliki sumber ilahiah. Wahyu, sebagaimana yang telah disinggung, merupakan realitas historis. Tidak ada alasan untuk mencopot bahasa wahyu dari konteks sosialnya.195

Selain Abu Zayd, pemikir kontemporer lainnya yang banyak memperbincangkan persoalan teks dan perlakuan penafsir terhadapnya adalah Khaled Abou el Fadl. Beberapa kalangan menilai bahwa sosok Khaled adalah seorang pemikir pembaru Islam yang berpandangan progresif. Keilmuannya tergolong lengkap, karena memadukan unsur keilmuan Barat yang sekular dan keilmuan Timur yang Islam (turats Islam).196 Menurutnya, al-Qur’an merupakan teks yang melawan otoritarianisme, kekuasaan yang tidak adil, dan membela mereka yang lemah. Al-Qur’an adalah teks suci yang dapat ditafsirkan secara terbuka yang selama ini, lebih-lebih di Abad Pertengahan, seringkali ditafsirkan secara otoriter oleh institusi yang berkuasa sehingga umat Islam tidak dapat melakukan langkah-langkah hermeneutis.197

Melihat realitas yang ada, Abou El-Fadl kemudian me-nawarkan pendekatan hermeneutika otoritatif untuk menjawab

195 Ibid., hlm. 67.196 Ghanim, Kritik Ortodoksi..., hlm. viii.197 Langkah-langkah hermeneutis menawarkan pembacaan dan penafsiran yang “otoritatif”,

bukan penafsiran yang “otoriter”. Penafsiran “otoritatif” terhadap teks-teks hukum Al-Qur’an dan Sunnah adalah langkah awal menuju inklusivisme, sehingga kesetaraan dan keadilan dalam menafsirkan suatu teks akan terpelihara tanpa terjebak pada otoritarianisme interpretasi. Abou El-Fadl memberikan tawaran metodologis hermeneutika otoritatifnya, berkaitan dengan “otoritas” kompetensi dan penetapan sumber-sumber keislaman melalui analisis teks hukum Islam. Ia mengaplikasikan hal itu pada persoalan mengenai otoritas mujtahid, keberwenangan sumber dan wakil-wakilnya, sampai isu “despotisme intelektual” (istibdad ar-ra’y). Baca Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 142. Bdk. Khaled M. Abou El-Fadl, Speak-ing In God’s Name: Islamic Law, Authority And Women, (Oxford: Oneworld, 2001), hlm. 96.

Page 116: Agus Sunaryo, MSI

108 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

persoalan-persoalan hukum Islam yang berkembang selama ini, yang dianggap masih diskriminatif.198 Menurut Khaled, hingga saat ini masih banyak dijumpai adanya kecenderungan untuk mengambil alih begitu saja kekuasaan (otoritas) Pengarang (Author), dalam hal ini otoritas Ketuhanan, untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang yang absolut (despotism) yang dilakukan oleh pembaca (reader) teks-teks atau nas-nas keagamaan. Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan paling benar hanyalah “keinginan Pengarang”, maka dengan mudah para pembaca menggantikan posisi Pengarang dan menempatkan dirinya atau institusinya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran. Dari sini kemudian terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya “pembaca” dan “Pengarang”. Artinya, pembaca dengan tanpa peduli atas segala kekurangan dan keterbatasan dirinya dan institusi (mazhab) nya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas.199

Berbicara mengenai otoritas, Khaled membaginya ke dalam dua sifat, yaitu: otoritas yang bersifat koersif (coercive authority) dan otoritas yang bersifat persuasif (persuasive authority). Yang pertama (coercive authority) merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Sementara itu, otoritas yang kedua (persuasive authority) melibatkan kekuasaan yang bersifat onrmatif. Ia merupakan kemampuan mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan.200

198 Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang, dan Pembaca”, pengantar buku Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan..., hlm. xvii.

199 Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan,” dalam Khaled Abou el Fadl, Atas Nama, hlm. x-xi.

200 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama, hlm. 37.

Page 117: Agus Sunaryo, MSI

109Agus Sunaryo, MSI.

Berdasarkan klasifikasi di atas, Khaled kemudian mem-bedakan antara “memangku otoritas” (being in authority) dan “memegang otoritas” (being an authority). Memangku otoritas artinya menduduki jabatan resmi atau struktural yang memberinya kekuasaan untuk mengeluarkan perintah dan arahan. Jabatan atau kedudukan inilah yang dijadikan simbol otoritas bagi pemangkunya untuk memberitahu orang lain bahwa ia berhak memberikan perintah dan arahan. Adapun memegang otoritas cenderung mengesankan bahwa seseorang meninggalkan pendapat pribadinya karena tunduk pada pemegang otoritas, yaitu orang yang dipandang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan atau pemahaman yang lebih baik. Ketundukan orang pada pemegang otoritas ini sering didasari oleh apa yang disebut “praduga epistemologis” (epistemological presupposition). Dalam konteks inilah seorang ahli hukum Islam (faqih) mewakili mereka yang disebut pemegang otoritas.201 Mereka dengan kemampuan yang dimiliki mencoba mengarahkan seseorang untuk mengikuti saran dan arahan yang diberikannya. Biasanya, orang yang memiliki kesamaan epistemologis dengannya cenderung akan mengikuti saran dan arahan tersebut.

Menurut Khaled, ada beberapa syarat khusus yang harus dimiliki oleh seorang pemegang otoritas agar ia bisa diikuti perintah dan arahannya, yaitu:202 pertama, kejujuran. Di sini, kecenderungan orang mengikuti pendapat atau arahan orang lain karena ia yakin bahwa orang yang diikutinya berperilaku jujur dan dapat dipercaya untuk menjadi wakil dalam memahami perintah Tuhan. Ia dipercaya tidak akan menyembunyikan, dengan sengaja, sebagian perintah Tuhan atau sengaja mengganti bunyi perintah-Nya.

201 Ibid., hlm. 38. Lihat juga Supani, Kontroversi Bid’ah (Purwokerto: STAIN Press, 2013), hlm. 308.

202 Ibid., hlm. 100-103.

Page 118: Agus Sunaryo, MSI

110 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Kedua, kesungguhan. Seorang pemegang otoritas diasumsikan telah mengerahkan segenap upaya rasional dalam menemukan dan memahami perintah-perintah yang relevan berkaitan dengan persoalan tertentu.

Ketiga, kemenyeluruhan. Seorang pemegang otoritas diasumsikan telah mencoba menyelidiki perntah Tuhan secara menyeluruh, mempertimbangkan semua perintah yang relevan dan bertanggungjawab untuk menjelaskannya dengan didasari bukti-bukti pendukung.

Keempat, rasionalitas. Seseorang diyakini sebagai pemegang otoritas apabila ia telah melakukan penafsiran dan analisis terhadap perintah-perintah Tuhan secara rasional. Rasionalitas disini bisa dimaknai bahwa tafsiran dan analisis yang diberikannya bisa mencapatkan pembenaran secara komunal (umum).

Kelima, pengendalian diri. Seorang pemegang otoritas hendaknya tidak bersikap sombong. Ia harus bersikap rendah hati dan memiliki pengendalian diri yang baik dalam menjelaskan kehendak Tuhan. Kata-kata “wa Allah a’lam bi as-sawab” jauh lebih bijak dari pada ia dengan gegabah memastikan bahwa kehendak Tuhan adalah seperti ini, demikian dan seterusnya.

Kelima prasyarat di atas, diharapkan benar-benar ada dalam diri seorang pemegang otoritas untuk bisa menjadi wakil Tuhan. Dengan kelima prasyarat ini, ia akan mampu menghindarkan dari dari melakukan penafsiran yang bersifat otoriter. Sebab, masing-masing, baik teks, pembaca maupun pengarang, memiliki otoritas sendiri-sendiri yang tidak bisa saling memaksa.

Dalam hal menetapkan apa yang dititahkan Tuhan, otoritas seorang pembaca pasti akan berhadapan dengan otoritas teks sebagai media Tuhan untuk menyampaikan Titah. Sebuah Teks, menurut Khaled, selalu bersandar pada media bahasa yang terdiri dari huruf, kata, frase dan kalimat. Unsur-unsur ini bergantung pada sebuah sistem simbol yang dapat melahirkan ide, gagasan

Page 119: Agus Sunaryo, MSI

111Agus Sunaryo, MSI.

dan emosi dalam diri seorang pembaca. Pada batas tertentu, bahasa memiliki realitas objektif, dimana maknanya ditentukan secara bersama oleh pengarang dan pembaca. Namun, karena bahasa memiliki banyak keterbatasan, maka terkadang kehendak pengarang tidak bisa tertangkap dengan baik oleh pembaca, atau bisa jadi dari teks yang sama, muncul dua pemahaman yang diklaim sebagai kehendak Tuhan.203

Dalam konteks al-Qur’an, bahasa dan maksud pengarang menempati kedudukan yang sangat penting. Sebab, kaum muslimin meyakini bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan yang disampaikan secara harfiah, sehingga maksud Tuhan dan teks pengujarnya adalah dua hal yang tidak bisa diabaikan. Tuhan diyakini menyelipkan maksud dan alasan tertentu dari setiap kata yang diujarkan-Nya. Hanya saja, karena Tuhan telah memilih sarana komunikasi yang terikat dengan penggunaan manusia (bahasa), maka legitimasi atas penetapan seorang pembaca tidak hanya ditentukan oleh integritas maksud pengarang (Tuhan) dan teks semata, melainkan juga oleh manusia sebagai pembaca. Dengan kata lain, untuk menyampaikan maksud-Nya Tuhan telah menggunakan dua sarana, teks dan manusia. Teks yang digunakan Tuhan diharapkan mampu membentuk sikap dan perilaku manusia, tetapi dalam waktu bersamaan, manusia juga berperan dalam membentuk makna teks.204 Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang Tuhan harapkan dari proses penetapan yang dilakukan manusia? Apakah Tuhan mengharapkan bahwa proses penetapan manusia itu harus tepat?

Menjawab pertanyaan di atas bukanlah perkara yang mudah. Namun demikian, dalam sebuah hadis Rasulullah pernah mengatakan,”semua mujtahid itu benar.” Hadis ini kemudian melahirkan dua cara pandang dominan di kalangan umat Islam. Mazhab pertama menyatakan bahwa setiap persoalan pasti 203 Ibid., hlm. 134.204 Ibid., hlm. 135.

Page 120: Agus Sunaryo, MSI

112 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

memiliki sebuah jawaban yang benar. Namun demikian, dalam kehidupan ini tidak mungkin ada orang yang mampu menjamin bahwa pendapat “A” pasti benar dan pendapat “B” pasti salah, khususnya terkait dengan persoalan furu’iyyah agama. Yang mungkin dapat dilakukan oleh seseorang adalah berusaha maksimal dan melakukan yang terbaik untuk mencari dan menemukan ketetapan yang tepat. Jika usaha yang dilakukan ternyata menghasilkan ketetapan yang benar, maka di akhirat dia berhak mendapatkan pahala penuh (dua). Sebaliknya, jika ternyata ketetapan yang dihasilkannya ternyata salah, maka ia tetap mendapatkan pahala, meskipun tidak penuh (satu). 205

Mazhab kedua menyatakan bahwa dalam persoalan furu’iyyah agama, tidak ada istilah ketentuan yang tepat. Yang dikehendaki Tuhan hanyalah upaya pencarian. Oleh karenanya, apapun yang diyakini secara tulus dan sungguh-sungguh oleh seseorang sebagai kehendak Tuhan, maka itulah sebenarnya kehendak Tuhan. Selama seseorang tekun dan cermat dalam mencari dan menemukan hukum (kehendak) Tuhan, dan semua bukti yang relevan telah diteliti, maka hukum Tuhan akan selaras dengan keyakinannya.206

Berdasarkan paparan di atas, jelaslah bahwa munculnya beragam pemikiran keislaman bersumbu pada persoalan teks yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan maksud dan kehendak-Nya. Karena ada jarak antara Tuhan sebagai pengarang, manusia sebagai pembaca dan teks itu sendiri, maka sangat wajar jika kemudian muncul berbagai penafsiran dan pemahaman yang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun yang jelas, berlaku adil dalam memperlakukan teks harus selalu dilakukan agar tidak terjadi pemaksaan terhadap kehendak Tuhan melalui pemahaman sekelompok pembaca yang mengaku sebagai wakil-wakil-Nya.

205 Ibid., hlm. 135-136.206 Ibid., hlm. 136.

Page 121: Agus Sunaryo, MSI

113Agus Sunaryo, MSI.

C. Perlukah Epistemologi Fiqh Alternatif?Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara

langsung atau tidak, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita. Cara kerja usul fiqh yang mencakup proses, tujuan dan aneka istilah, membuat ilmu ini sering disebut sebagai epistemologi fiqh.207

Dengan usul fiqh, segala persoalan baru yang muncul akan dapat ditentukan hukumnya. Sebab, banyak sekali metode yang bisa digunakan sebagai sumber untuk merumuskan aturan hukum agar tidak keluar dari ketentuan syari’at. Secara umum sumber hukum ini terbagi menjadi dua, yaitu: yang disepakati penggunaannya dan yang diperselisihkan penggunaanya. Yang pertama merujuk pada al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas (ijtihad). Adapun yang kedua meliputi, istihsan, istishab, maslahah mursalah, sadd adz-dzari’ah, al-‘urf, syar’u man qablana dan maqasidh as-syari’ah.208

Begitu kaya usul fiqh menawarkan cara agar hukum Islam menyangkut berbagai persoalan bisa digali. Hal ini pulalah yang menyebabkan hukum Islam selalu mampu beradabtasi dengan perubahan zaman dan kondisi. Hukum Islam juga selalu kaya akan ragam, namun masing-masing memiliki dasar pembenaran ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Cara pandang seperti di atas nampaknya mendominasi peta pemikiran Islam untuk kurun waktu yang sangat lama, hingga kemudian muncul sekelompok orang yang mulai ragu akan kemampuan usul fiqh dalam merespon persoalan-persoalan kontemporer. Usul fiqh, dengan model yang lama, dianggap kaku dan gagap ketika menghadapi peradaban kekinian. Hal ini terlihat 207 Ainurrifiq, “Menawarkan Epistemologi Jama’i sebagai Epistemologi Usul Fiqh,” dalam

Mazhab Jogja (Jogjakarta: ar-Ruzz, 2002), hlm. 32.208 Lihat misalnya, Abdul Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Qalam, 1978).

Lihat juga Wahbah az-Zuhayly, Us}u>l Fiqh al-Isla>my (Beirut: Da>r al-Fikr, 2005).

Page 122: Agus Sunaryo, MSI

114 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

jelas dalam pemikiran tokoh-tokoh seperti Muhammad Syahrur, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Muhammad Iqbal, Mahmud Muhammad Thaha, Abdullahi Ahmed an-Na’im dan lain-lain. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai pemikir liberal Islam.

Berbeda dengan mereka yang berpikiran liberal, tokoh-tokoh seperti Wahbah az-Zuhayli, Sa’id Ramadhan al-Buthy, Yusuf al-Qardhawy dan yang sejalan dengan mereka, masih berkeyakinan bahwa usul fiqh yang dirumuskan oleh ulama’ terdahulu tidak akan kehilangan relevansinya meskipun zaman dan kondisi setiap saat berubah.

Selain kedua kelompok di atas, ada juga kalangan yang berkeyakinan bahwa menyandarkan ketentuan Allah pada selain al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat orang-orang “salaf” adalah dilarang olah Allah. Dengan demikian, usul fiqh dan segala perangkat metodologinya tidak diperlukan dalam proses menentukan hukum Tuhan. Umat Islam zaman sekarang hanya perlu merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an as-Sunnah dan perkataan atau perilaku para salaf as-Salih ketika menemukan suatu masalah. Usul fiqh hanya akan menjauhkan umat Islam dari sumber-sumber ajaran Islam yang sebenarnya. Karena, proses istinbat hukum dengan usul fiqh melibatkan banyak kerja ra’yu, yang oleh mereka, harus dihindari.

Kelompok liberal Islam, melihat kondisi usul fiqh yang dianggap tidak lagi mampu mengakomodasi persoalan-persoalan kontemporer, mencoba menawarkan perspektif dan pendekatan baru dalam kajian usul fiqh dan hukum Islam. Persoalannya kemudian adalah bahwa perspektif baru yang mereka tawarkan tidak memiliki akar genealogis yang kuat dalam khazanah keilmuan usul fiqh. Dengan bahasa lain, mereka telah melakukan upaya revolutif bahkan dekonstruktif dalam kajian-kajian keislaman, bukan evolutif sebagaimana dilakukan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Hal ini lah yang membuat tawaran-tawaran mereka senantiasa mengundang kontroversi. Muhammad Syahrur

Page 123: Agus Sunaryo, MSI

115Agus Sunaryo, MSI.

misalnya, dalam kajiannya mengenai al-Qur’an, ia menggunakan pendekatan yang sama sekali baru, yaitu filsafat. Dalam hal ini, warna materialisme sangat tampak dalam setiap alur berfikir yang ia sampaikan. Misalnya, ketika ia berbicara mengenai sumber-sumber pengetahuan, menurutnya sumber pengetahuan yang hakiki adalah alam materi di luar diri manusia, bukan sekedar bentuk-bentuk pemikiran abstrak. Penolakannya terhadap pengetahuan yang bersumber dari intuisi (ilham) dan menganggap serba materi terhadap keadaan sebelum dan sesudah penciptaan alam semakin memperkuat unsur materialisme filsafatnya. Bahkan, dalam memperbincangkan perkembangan sain dan teknologi pemikiran Syahrur juga tidak bisa dilepaskan dari cara berfikir positivisme. Hal ini nampaknya berkaitan erat dengan background pendidikannya yang berasal dari disiplin ilmu teknik, sehingga metodologi bernuansa sains menjadi hal yang biasa dan akrab baginya.

Dalam hampir setiap pembahasannya, Syahrur memang sulit untuk keluar dari pola pikir serba materi, hal ini terlihat ketika ia memperbincangkan elastisitas hukum Islam. Kata hanifiyyah misalnya, selain sebagai salah satu keyword bagi teori batasnya, kata ini juga dimaknai sedemikian rupa sehingga sesuai dengan sifat (hukum) alam materi (langit, bumi dan sebagainya). Demikian pula ketika ia mengkritis qiyas sebagaimana yang umum dipahami selama ini. Menurutnya pemahaman tersebut keliru, karena menganalogikan sesuatu yang nyata (kongkrit) dengan sesuatu yang ghaib, yakni masyarakat masa kini di analogikan dengan masyarakat masa lampau (zaman nabi). Penekanannya pada filsafat materialisme ini membuat sebagian pengamat berkesimpulan bahwa sumber pemikiran Syahrur adalah filsafat Marxisme. Hal ini juga diperkuat dengan keberadaanya yang pernah melakukan studi di Moskow.209

209 Amin Abdullah, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fikih dan Dampaknya pada Fikih Kontemporer”, dalam Mencari Paradigma Fikih Modern, Makalah Lokakarya PPs. IAIN ar-Raniry, Banda Aceh 28 Agustus 2002.

Page 124: Agus Sunaryo, MSI

116 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Sama halnya dengan Syahrur, an-Na’im juga memperkenalkan model pendekatan yang tidak lazim dalam diskursus keislaman. Dengan menggunakan konsep nasikh-mansukh, an-Na’im mencoba melakukan pemahaman terbalik terhadap konsep tersebut. Jiia lazimnya ayat yang turun belakangan (madaniyyah) menaskh ayat yang turun terdahulu (makiyyah), maka an-Na’im justeru memberlakukannya secara terbalik, yaitu ayat-ayat makiyyah menaskh ayat-ayat madaniyyah. Sebab, menurutnya, ayat-ayat makiyyah lebih cocok untuk diterapkan dalam konteks kehidupan kontemporer. Ayat-ayat yang menjelaskan egalitarianisme, penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, pengharagaan terhadap komunitas agama lain, lebih relevan diterapkan dari pada ayat-ayat tentang peperangan, hukum yang mengandung unsur bias serta ayat-ayat yang bisa ditafsirkan sebagai legitimasi atas perilaku diskriminatif.

Selain menawarkan persepektif baru, beberapa pemuka kelompok liberal juga melakukan kritik terhadap pola interpretasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, bahkan terhadap pola yang sudah dianggap mapan oleh sebagian bersar ulama. Hal ini bisa dilihat dari kritik Abu Zayd terhadap pola interpretasi yang dilakukan oleh Imam as-Syafi’i.

Kritk Abu Zayd terhadap Imam asy-Syafi’i210 tidak bisa dilepaskan dari konsepnya mengenai otoritas. Dalam teks-teks asy-Syafi’i, Abu Zayd menangkap adanya jaring-jaring epistemologis yang dilontarkan oleh asy-Syafi’i dalam ilmu fiqh. Jaring-jaring itu kemudian menjelma dalam sebuah proses pembakuan model pemaknaan Al-Qur’an sebagai teks berbahasa Arab, teoretisasi as-Sunnah sebagai sumber tasyri’ yang otoritatif, perluasan arti as-Sunnah hingga mencakup ijma’, dan upaya “membonsai” qiyas agar aktivitasnya tidak keluar dari nashsh.

210 Nash Hamid Abu Zayd, Al-Ima>m asy-Sya>fi’i> wa Ta’si>s al-Idu>lujiyyah al-Wasat}iyyah, (Cai-ro:1992), sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Imam Syafi’ie: Moderatisme Eklektisisme Arabisme, (Yogyakarta: LKiS, hlm. 134-138.

Page 125: Agus Sunaryo, MSI

117Agus Sunaryo, MSI.

Akibatnya, terjadi percampuran yang ruwet di antara teks-teks keagamaan. Tidak bisa dipilah lagi mana teks yang primer dan mana yang sekunder. Ini menunjukkan bahwa “watak moderat” Imam Syafi’i bersifat “semu”, karena alur argumentasinya yang eklektik, terkesan seperti dipaksakan seperti ketika asy-Syafi’i mempertahankan “Quraisy-sentrisme” di dalam sejarah Islam.211

Apa yang dilakukan oleh Abu Zayd dalam kritiknya terhadap Imam Syafi’i sebenarnya merupakan ijtihadnya untuk meluruskan model penafsiran yang bersifat ideologis menjadi penafsiran otoritatif-demokratis. Hal ini dilakukan dengan tetap menghormati jasa-jasa pemikiran as-Syafi’i serta tanpa meragukan kontribusi akademik yang luar biasa darinya terhadap pengembangan metodologi hukum Islam.

Menurut Abu Zayd, moderatisme yang ditawarkan asy-Syafi’i mempunyai beberapa kelemahan. Yang paling utama adalah bahwa konsep tersebut, secara metodologis, telah menyebabkan tergantinya teks pertama (primer/al-Qur’an) oleh teks-teks sekunder (Sunnah Nabi dan interpretasi-interpretasi ulama).212

Dengan demikian, kritik ideologi yang dilakukan oleh Abu Zayd pada intinya berusaha mengangkat unsur-unsur ideologis dari interpretasi atas al-Qur’an, seperti ideologi Arabisme yang cenderung mengedepankan kearaban. Mengutip pernyataan Hilman Latif:

… penegasan Syafi’i mengenai sifat kearaban Al-Qur’an membawa implikasi dalam pendapat-pendapatnya mengenai masalah-masalah fiqh kurang rinci, seperti ketika ia bersikukuh bahwa membaca surat pertama dari al-Qur’an merupakan syarat yang niscaya bagi sahnya shalat. Ia tidak peduli terhadap kaum muslimin non-Arab yang belum mempelajari bahasa Arab ...213

211 Jadul Maula dalam pengantar Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i..., hlm. viii.212 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan..., hlm. 22.213 Ibid., hlm. 137.

Page 126: Agus Sunaryo, MSI

118 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

Melihat kecenderungan di atas, menurut Abu Zayd, asy-Syafi’i dapat mempengaruhi munculnya interpretasi yang bercorak ideologis-rasial. Hasilnya, penetapan pola-pola makna yang disimpulkan oleh asy-Syafi’i dan mempunyai kecenderungan subjektif, terutama ideologi ke-Arab-an.

Selain secara khusus mengkritik Imam al-Syafi’i, Abu Zayd juga mengkritik metode tafsir kelompok Sunni secara umum. Menurutnya pola tafsir kelompok sunni memiliki setidaknya dua kesalahan, pertama, bahwa tafsir yang benar menurut Sunni, dulu dan sekarang adalah tafsir yang didasarkan pada otoritas ulama terdahulu. Kedua, kekeliruan yang mendasar pada sikap Sunni, dulu dan sekarang, adalah usaha mereka mengaitkan makna teks dan dalalah-nya dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kesalahan ini bukanlah kesalahan “pemahaman”, tetapi lebih merupakan sikap ekspresi ideologis terhadap realitas yang akhirnya membentuk pola pemikiran terbelakang dan dan anti-progresivitas. Abu Zayd berkesimpulan bahwa kaum Sunni menyusun sumber-sumber interpretasi terhadap al-Qur’an hanya bersandar pada empat hal, yaitu penjelasan Rasulullah, Sahabat, tabi’in, dan tafsir lughawi (bahasa).214

Selain mazhab pemikiran yang bersifat inklusif, khazanah Islam juga diwarnai oleh corak pemikiran yang bersifat eksklusif. Berawal dari munculnya kelompok khawarij di masa sahabat, kelompok yang terkenal eksklusif, kaku dan cenderung intoleran ini terus mengalami pasang surut hingga akhirnya menemukan momentum kebangkitannya kembali di era Muhammad bin Abdul Wahhab. Dalam diskursus keislaman, pemikiran Abdul Wahhab, yang semula mengusung ide-ide kaum modernis yaitu pemurnian 214 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhu>m an-Nas}s>., hlm. 221-223. Bandingkan dengan Adian Hu-

saini dan Henri Salahudin, “Studi Komparatif …”, hlm. 36.

Page 127: Agus Sunaryo, MSI

119Agus Sunaryo, MSI.

ajaran Islam dengan semboyan “kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, pada akhirnya berkembang menjadi pemikiran yang radikal, bahkan cenderung ekstrim.

Pemikiran Abdul Wahhab (Wahhabi), sebenarnya tidak lebih dari respons terhadap gejala modernitas yang melanda kehidupan manusia di hampir seluruh belahan bumi. Modernitas telah sedemikian rupa menguasai kehidupan umat manusia. Bahkan ia mampu merevolusi konsepsi manusia mengenai realitas yang ada di dunia dengan memperkenalkan konsep yang mampu mengguncang kesadaran mereka, yaitu konsep relativitas dan subjektifitas semua pengetahuan manusia. Modernitas juga mampu memperkenalkan apa yang disebut sebagai empirisme ilmiah. Sebuah konsep yang menekankan uji empiris terhadap semua hal yang disebut ilmiah.

Dalam banyak hal modernisme membawa dampak positif bagi negara-negara maju, namun bagi masyarakat tradisional yang sedang merangkat berkembang, gejala modernisme membawa mereka pada suatu kondisi keterasingan terhadap kehidupan sosial yang sedang terjadi. Gejala inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “alienasi” sosial.

Di dunia Islam, ada banyak cara yang dilakukan untuk merespons gelombang modernisasi. Di Turki misalnya, pemerintah (Mustafa Kemal) lebih memilih untuk menjadi modern dengan mengembangkan pola hidup dan pola pikir masyarakat Barat (westernisasi) dan sebisa mungkin menjauh dari Islam. Di tempat lain, masyarakat Islam mencoba mempertemukan Islam dengan semangat modernisme (bukan modernisasi Barat) dengan menekankan bahwa pemikrian ilmiah dan rasional sepenuhnya sejalan dengan etika Islam. Sementara kelompok Wahhabi, dalam merespons modernisme, nampaknya lebih memilih untuk mencari tempat perlindungan. Dalam hal ini tempat perlindungan itu diperoleh dengan melekatkan diri pada teks-teks Islam

Page 128: Agus Sunaryo, MSI

120 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

tertentu untuk mendapatkan rasa kepastian dan kenyamanan dari kekacauan dan sergapan modernisme. Dalam konteks ini, Wahhabi seringkali memaksa teks-teks keagamaan tertentu untuk menyediakan jawaban-jawaban definitif yang menutuf diri dari perdebatan dan uji validitas terkait dengan persoalan-persoalan individu maupun sosial.215

Tidak hanya merasa asing dengan fenomena modernisme, Wahhabi nampaknya juga mengalami keterasingan yang akut terhadap warisan tradisi Islam. Mereka menganggap bahwa apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu adalah salah satu penyebab munculnya ketimpangan dan ketidakmurnian ajaran Islam. Umat Islam menjadi terhalang dari kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah karena keberadaan pemikiran ulama’. Wahhabi menentang keras segala bentuk pengajaran Islam, selain merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahkan mengikuti salah satu mazhab populer dalam Islam dianggap sebagai bid’ah yang harus di hindari.216 Sebuah pemikiran yang oleh para ahli dianggap kontradiksi, sebab, di satu sisi Wahhabi menentang pola beragama secara bermazhab, namun disisi lain mereka secara sadar telah membangun mazhab sendiri. Di satu sisi, Wahhabi mengucilkan warisan tradisi Islam yang telah dibangun oleh ulama terdahulu, namun di lain sisi mereka dengan sadar mengikuti tradisi beberapa ulama yang pemikirannya dianggap sejalan dengan ideologi Wahhabi.

Dalam konteks kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, Wahhabi membangun karakter pemikiran yang khas kaum puritan, yaitu memperbesar peran teks sedemikian rupa dan memperkecil ruang gerak akal sampai pada titik yang nyaris tidak tampak. Orientasi mereka dalam menggunakan teks-teks

215 Khaled Abou el-Fadl, Selamatkan, hlm. 62216 Lihat Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mazhab tanpa Mazhab, alihbahasa Imam Sulaiman (Ja-

karta: Pustaka al-Kautsar, 2001).

Page 129: Agus Sunaryo, MSI

121Agus Sunaryo, MSI.

keagamaan (al-Qur’an dan as-Sunnah) sepertinya sebagai perisai dari segala bentuk kritik atau sebagai bentuk pelarian diri dari berbagai tantangan yang menuntut penggunaan nalar (akal). Jika demikian, maka Wahhabi sebenarnya telah melakukan apa yang disebut sebagai “pelecehan” terhadap teks-teks keagamaan dan tidak menghargai integritas teks sama sekali. Teks-teks tersebut dibelokkan dan dipelintir sedemikian rupa untuk melegitimasi segala tindakan mereka yang tidak lebih dari rasa frustasi serta keminderan sosial-politik. Misalnya, ketika membenci negara-negara Barat, Wahhabi akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an atau teks-teks Hadis sehingga mengesankan bahwa ayat-ayat atau hadis tersebut memang membenarkan sikap dan tindakan mereka.

Dalam paradigma Wahhabi, atau tepatnya kelompok puritan Islam, Tuhan direpresentasikan dalam kehidupan di dunia ini melalui paket hukum di mana manusia tidak punya pilihan lain selain tunduk dan patuh terhadapnya. Tidak ada pertimbangan moral apapun yang dapat ditemukan di luar aturan hukum yang bersifat teknis dan rinci, sebab hanya mekanisme dan detail-detail hukum Islam lah yang mampu menentukan moralitas. Mekanisme teknis-legalistik ini dianggap lebih unggul dari yang lain. Bahkan, siapapun yang keluar dari koridor mekanisme ini serta memilih jalan yang lain, akan dianggap kafir, munafik atau fasiq.

Adapun mengenai diskursus usul fiqh di kangan Wahhabi, dapat dipahami dari sikap mereka terhadap warisan tradisi Islam dan teks-teks keagamaan. Sikap anti mereka terhadap warisan tradisi Islam, dalam banyak hal berpengaruh kepada pola mereka dalam berfiqh. Umumnya kelompok puritan, fiqh digali langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Artinya, model-model penalaran hukum seperti qiyas, istihsan dan lain sebagainya dianggap tidak perlu dalam menentukan hukum. Jika metode seperti ini ditarik pada era ulama mazhab, maka Wahhabi secara tidak langsung menemukan akar metodologisnya pada apa yang dikembangkan

Page 130: Agus Sunaryo, MSI

122 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

oleh mazhab zahiriyyah. Namun jika dilihat dari umumnya kelompok puritan-Islam, maka kecenderung metodologi hukum yang dikembangkan mengarah pada mazhab Hanbali, yang telah dimodifikasi dan di sesuaikan di sana-sini.

Page 131: Agus Sunaryo, MSI

123Agus Sunaryo, MSI.

BAB V

PENUTUP

A. KesimpulanPerkembangan diskursus keislaman, khususnya fiqh, telah

melahirkan banyak sekali mazhab atau aliran pemikiran. Dalam konteks sekarang, wajah pemikiran Islam setidaknya terbagi kedalam dua corak: inklusif dan eksklusif atau moderat dan puritan. Kelompok inklusif dalam perkembangannya juga bermetamorfosa menjadi inklusif-moderat dan inklusif-liberal. Sementara kelompok puritan pada akhirnya juga berkembang menjadi salafi dan wahhabi. Karena pertimbangan bahwa perbedeaan antara kelompok salafi-wahabi tidak begitu signifikan, maka secara umum peta pemikiran Islam (fiqh) kontemporer didominasi oleh mazhab inklusif-moderat (mayoritas), inklusif liberal dan eksklusif-puritan.

Secara epistemologis, rancang bangun pemikiran ketiga mazhab tersebut memiliki banyak perbedaan. Epistemologi mazhab inklusif-moderat dibangun atas pilar-pilar metodologi keilmuan yang sudah mapan sebelumnya. Dengan kata lain, mazhab ini hanya mengembangkan epistemologi yang dikembangkan oleh ulama’ populer era keemasan fiqh, khususnya bagaimana agar fiqh

Page 132: Agus Sunaryo, MSI

124 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

mampu menjamin kemaslahatan umat Islam di kehidupan modern. Atas dasar itu pula, kelompok ini kemudian mengembangkan teori maslahah dan maqasid as-syari’ah sedemikian rupa agar mampu menjawab persoalan kekinian umat Islam.

Apa yang dilakukan oleh mazhab inklusif-moderat, oleh kelompok inklusif-liberal dianggap belum cukup untuk mengatasi problem kekinian umat Islam. Hal ini lebih terasa ketika umat Islam harus berhadapan dengan fenomena modernitas yang melanda hampir seluruh aspek dalam kehidupan manusia. Dalam kondisi seperti ini, mereka beranggapan bahwa hukum Islam yang dikembangkan melalui metode usul fiqh yang sudah ada terlihat pongah dan gagap ketika harus berhadapan dengan laju peradaban modern.

Meskipun sama-sama mengedepankan inklusivitas, kelompok liberal lebih berani keluar dari metodologi mainstrem yang dikembangkan oleh ulama’. Bahkan mereka juga menawarkan dan mengembangkan metodologi baru dalam diskursus hukum Islam, yang dalam banyak hal, tidak memiliki pijakan sama sekali dalam tradisi pemikiran hukum Islam.

Adapun kelompok eksklusif-puritan, mengembangkan apa yang mereka sebut dengan “semangan pemurnian Islam.” Dalam konteks ini, tidak ada epistemologi apapun yang bisa dikembangkan untuk membangun Islam, kecuali hanya kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Artinya, mazhab ini mengembangkan sebuah epistemologi tekstual dan mengesampingkan segala bentuk pemahaman kontekstual yang banyak bertumpu pada penggunaan nalar.

Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat dipahami bahwa modernisme atau postmodernisme membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam. Paling tidak, munculnya tiga mazhab fiqh di atas menegaskan bahwa antara hukum Islam dengan realitas sosial tidak pernah

Page 133: Agus Sunaryo, MSI

125Agus Sunaryo, MSI.

berhenti untuk saling berdialektika. Poin inilah yang sebenarnya harus digarisbawahi dalam upaya membangun sikap terbuka dan toleran dalam beragama, khususnya di era dimana keragaman sudah menjadi hal yang tidak terelakkan lagi.

Bagi pengembangan diskursus fiqh, pemetaan epistemologi ketiga mazhab di atas menemukan relevansinya terutama dalam dua hal: pertama, epistemologi merupakan persoalan krusial dalam melihat sejauh mana rancang bangun sebuah keilmuan di bangun. Dalam konteks pemikiran fiqh, kajian epistemologi akan membantu seseorang melihat bagaimana sebuah ketentuan hukum digali, konteks sosio-historis sebuah mazhab lahir, bagaimana mana sebuah mazhab bisa menjadi inklusif atau eksklusif dan persoalan lain yang dapat menyingkap secara jujur keberadaan serta perkembangan sebuah ide, pemikiran atau mazhab tertentu.

Kedua, fiqh adalah disiplin keislaman yang paling subur dan selalu berkembang. Keterbatasan teks-teks keagamaan dan kompleksitas serta dinamika masyarakat yang selalu mengalami perubahan, selalu membuka ruang bagi fiqh untuk meneguhkan prinsip-prinsipnya sebagai aturan yang bersifat elastis dan dinamis. Oleh karenanya, setiap usaha pengembangan dan pembaruan fiqh sudah semestinya terus dilakukan tanpa harus disikapi secara penuh curiga. Corak apapun yang kemudian lahir dari proses pengembangan dan pembaruan ini adalah sah, mengingat konsep dasar dari fiqh itu sendiri yang tidak lain hanyalah sebagai bentuk interpretasi dari kehendak Tuhan yang disampaikan melalui teks-teks suci-Nya. Persoalan pemikiran siapa mendominasi siapa adalah realitas sosiologis yang sepenuhnya akan mengalami seleksi alamiah dan sekaligus ilmiah.

B. Saran dan HarapanPenelitian dalam buku ini adalah langkah awal untuk

memasuki diskursus fiqh di era kontemporer. Sebagai langkah

Page 134: Agus Sunaryo, MSI

126 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

awal tentunya ia masih perlu tahap-tahap selanjutnya sebagai jalan menuju yang lebih baik. Untuk itu, sebagai peneliti, ada beberapa saran atau harapan yang mungkin bisa dijadikan bahan bagi kesempurnaan penelitian ini di masa mendatang:1. Persoalan tentang hukum Islam masih terlalu luas untuk

dikaji dan di teliti. Untuk itu, penulis berharap akan muncul penelitian-penelitian lain yang bisa semakin memperkaya khazanah fiqh di masa mendatang.

2. Dalam konteks mazhab-mazhab fiqh dominan di era kontemporer, penulis meyakini bahwa apa dihasilkan dari penelitian ini tidak lebih dari sebutir pasir di tepi laut. Kajian sejenis dengan angel penelitian yang berbeda, sudah pasti akan memperkuat pemahaman umat tentang potret dinamika fiqh di era kontemporer.

3. Sebagai peneliti pemula, penulis sadar akan segala keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini. Oleh karenanya kritik dan saran perbaikan terhadap hasil penelitian ini adalah hal yang sudah sepatutnya penulis apresiasi dengan baik. Semoga hasil dari penelitian ini bisa didialogkan dengan penelitian-penelitian lain baik yang sudah atau yang akan muncul di kemudian hari.

Page 135: Agus Sunaryo, MSI

127Agus Sunaryo, MSI.

TENTANG PENULIS

AGUS SUNARYO, M.S.I lahir di Jember pada 29 April 1979. Pendidikan yang di dtempuh dimulai dari SDN No.2 Pujodadi Lampung, MTs Nurul Iman Wargomulyo Lampung, MAN PK (Program Khusus) Bandar Lampung. Kemudian jenjang sarjana (S1) ditempuh di IAIN Sunan Kalijaga dan S2 di perguruan tinggi yang sama. Pendidikan non formal di Pondok Pesantren Salafiyah Riyadhotut Thalibin Sidomukti Lampung.

Pengalaman mengajar menjadi Dosen LB Pendidikan PAI Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dosen LB Bahasa Arab di Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, Dosen Tetap Jurusan Syariah STAIN Purwokerto hingga sekarang. Pengalaman Organisasi pernah menjadi aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (2001-2003), Ikatan Sarjana NU Banyumas (2009-sekarang), Lakpesdam NU Banyumas (2014 – sekarang).

Pengalaman dalam menulis ada beberapa tulisan yang telah di jurnal ilmiah, yaitu Pembaharuan Teori Hukum Islam dalam Jurnal al-Manahij STAIN Purwokerto, Teropong Sosiologis Hukum Islam dalam Jurnal al-Manahij STAIN Purwokerto, Teologi Inklusif Nurcholis Madjid Dan Problematika Fikih Lintas Agama Di Indonesia dalam Jurnal al-Manahij STAIN Purwokerto, Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam Yang Toleran

Page 136: Agus Sunaryo, MSI

128 Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial

dalam Jurnal Akademia STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, Peran Keluarga dalam Penanaman Nilai-nilai Moralitas Terhadap Anak Perpektif Islam dalam Jurnal an-Nida INISNU Jepara, Poligami di Indonesia: Sebuah Analisis Normatif Sosiologis dalam Jurnal Yin-Yang STAIN Purwokerto, Fundamentalisme Islam dan Konspirasi Politik Islam dalam Jurnal al-Mustawa UII Yogyakarta, Masjid dan Ideologisasi Radikaslisme Islam: Menyoal Peran Masjid sebagai Media Transformasi Ideologi dalam Jurnal Akademia IAIN Metro Lampung 2017, Pesantren dan Wacana Fiqh Kontemporer: Studi atas Perspektif para Kyai Pesantren di Kabupaten Banyumas, Penelitian DIPA STAIN Purwokerto 2010, Tracer Studi Melacak Jejak Alumni Prodi Muamalah Jurusan Syariah STAIN Purwokerto (Penelitian DIPA STAIN Purwokerto 2011, Paradigma Agama dan Sains Kontemporer: Telaah Atas Pemikiran Ismail Al-Faruqi, Naquib Al-Attas, Imam Suprayogo Dan Amin Abdullah, Penelitian DIPA STAIN Purwokerto 2012, Mengurai Epistemologi Fikih, Penelitian DIPA STAIN Purwokerto 2013, Politik Pendidikan Ekonomi Islam di Indonesia (Penilitian Kemenag/ Diktis tahun 2012, Pemberdayaan Masjid sebagai Media Center Penanganan Bencana Gunung Slamet, Kemenag Pusat/ Diktis tahun 2014, Islamisasi Jawa Tengah bagian Barat Selatan, Penelitian Kerjasama antara IAIN Purwokerto dengan Puslitbang Lektur Keagamaan Kemenag RI, Identitas Pesantren vis a vis Perubahan Sosial (Kajian atas Derivasi Makna dan Konsep Pesantren dalam Program Pesantrenisasi Mahasiswa dan Pesantren Mitra IAIN Purwokerto, Penelitian DIPA IAIN Purwokerto 2015, Pergulatan Wacana Fikih: Antara Bermazhab atau Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, Penelitian DIPA IAIN Purwokerto 2016.

Penulis beralamatkan di Jl. Ks. Tubun Gg. Belimbing No. 10 Rejasari Purwokerto Barat dengan Telepon 081228859058. Saat ini penulis menjabat sebagai Ketu Pusat (KAPUS) Pengabdian Pada Masyarakat LPPM IAIN Purwokerto. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected].