6 artikel jurnal sri fajar m.teori perkembangan kognitif dan teori
DESCRIPTION
ini adalah pembelajaran masa kini bagaimana seharusnya menjadi seorang guru yang benar-benar konsistenTRANSCRIPT
1
Reviu Teori:
Teori Perkembangan Kognitif dan Teori Perkembangan Moral: Implikasinya bagi
Pembelajaran
Oleh: Sri Fajar Martono, S.Psi
Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang Kemdiknas
Abstraksi
Tujuan dari artikel ini adalah mengulas dua teori perkembangan yang dikenal masuk ke
dalam teori pentahapan, yaitu teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean
Piaget dan teori perkembangan moral oleh Lawrence Kohlberg. Teori perkembangan
kognitif menunjukkan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui empat tahap
kategorisasi usia, yaitu tahap sensori-motorik (usia 0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7
tahun), tahap operasional konkret (7-11 tahun), dan tahap operasional formal (11 tahun
keatas). Pada tahap sensori-motorik, kontruksi kecerdasan mulai dibentuk, dikenal dengan
skema, kecerdasan awal berupa perilaku-perilaku yang bersifat inderawi dan refleks. Pada
tahap praoperasional kecerdasan diperkuat dengan pembentukan simbol-simbol bahasa dan
permainan yang bersifat pura-pura. Pada tahap operasional konkret, anak mulai
mengembangkan pemikiran yang didasarkan pada aturan logis, dan diterapkan pada
masalah-masalah konkret. Pada tahap operasional formal, pemikiran mulai berkembang
kearah teoretis formal yang didasarkan pada hipotesis dan pemikiran mulai bersifat
abstrak, yaitu tidak mengharuskan bendanya ada. Teori perkembangan moral menunjukkan
bahwa perkembangan moral terjadi dalam tiga tahap. yaitu tahap prakonvensional, tahap
konvensional, dan tahap pascakonvensional. Pada tahap prakonvensional ukuran benar
atau salahnya suatu perbuatan didasarkan pada objek diluar individu. Pada tahap
konvensional ukuran benar-salah didasarkan pada faktor peraturan sosial yang terdapat di
dalam masyarakat. Pada tahap pascakonvensional, individu melihat bahwa aturan sosial
yang ada didalam masyarakat tidak bersifat dan dapat berubah jika memang
masyarakatnya menginginkan. Kedua teori itu menunjukkan bahwa berbagai keterampilan
yang dimiliki individu diperoleh dalam beberapa tahap yang saling berkaitan dan
berkelanjutan. Tahap perkembangan yang pertama kali menjadi dasar bagi tahap
perkembangan yang kedua, dan tahap perkembangan yang kedua menjadi dasar
perkembangan yang ketiga dan seterusnya. Penting bagi para orangtua untuk lebih
memperhatikan tahap-tahap perkembangan yang sedang dijalani anaknya agar para
2
orangtua dapat memberikan bantuan kepada anak agar tidak mengalami hambatan
perkembangan.
Kata kunci: teori perkembangan, perkembangan kognitif, perkembangan moral
Abstract
The aim of this article is to review two theories of development, that are theory of
cognitive developmental of Jean Piaget and theory of morality development of Lawrence
Kohlberg. The theory of cognitive developmental shows that human intelligences formed
in four stages: the sensory-motorical stage (age of 0-2 years), preoperational stage (age of
2-7 years), concrete operational stage (age of 7-11 years), and formal operational stage
(age 11 and above). In the sensory-motorical stage the schemas of intelligence are formed
through reflective behaviors. At the preoperational stage intelligence are strengthen
through linguistic symbolization and play activities. At the concrete operational,
intelligence are strengthen by logical thinking that applied on the concrete problem at
everyday life of children. Finally, at formal operational stage, children learn to abstract
thinking without the presence of the object. The theory of morality development show that
morality formed at three stages, pre-conventional stage, conventional stage, and post-
conventional stage. At the pre-conventional stage, morality is depending on external
object, reward and punishment. At the conventional stage morality is due to the social
regulation. At the post-conventional stage people see that social regulation can be changed
if the peoples see that it was not useful anymore. All the theories show that many skills and
knowledge of individual are acquired through many steps of development that runs
continuously. The first stage of development serves as milestone of the next
developmental stage, the second stage serve as basic for the third, an etc. It is very
important for the parent and educator to understand the two developmental theories so they
can help facilitating the development of children to their fullest potential.
Keywords: developmental theory, cognitive development, morality development
3
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak adalah masa depan bangsa dan negara. Satu kalimat tersebut sangat sering
kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Namun sayang, kita jarang untuk mengambil
makna dari kalimat tersebut, kita terkesan mengiyakan kalimat tersebut tanpa lebih jauh
untuk mencari implikasi lebih jauh dari kalimat tersebut.
Pada dasarnya setiap anak memiliki hak-hak dasar yang dijamin oleh hukum.
Jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak di dunia diatur oleh Konvensi PBB tentang
Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) tahun 1989, konvensi ini telah
diratifikasi lebih dari 190 negara. Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi konvensi ini
dengan Kepres Nomor 36 th 1990, sehingga Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut
telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Adapun hak-hak anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak tersebut dapat
dikelompokan menjadi: Hak atas Kelangsungan Hidup (Survival Rights), Hak atas
Perlindungan (Protection Rights), Hak untuk Tumbuh dan Berkembang (Developmental
Rights), dan Hak untuk Berpartisipasi (Participation Rights).
Salah satu hak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak adalah hak untuk tumbuh
dan berkembang, salah satu media utama untuk memenuhi terwujudnya hak ini adalah
pendidikan. Saat ini pendidikan merupakan hak bagi semua orang, tidak
mempertimbangkan asal-usul, jenis kelamin, kedudukan sosial, taraf penghidupan, dan
sebagainya. Semua orang berhak memperoleh pendidikan, tanpa terkecuali. Hal ini tidak
seperti pada masa dahulu, pada masa penjajahan, dimana pendidikan hanya dapat diakses
oleh golongan-golongan tertentu pada masa itu yang memiliki kedudukan tinggi.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Setiap individu adalah unik, meminjam istilah psikologi adalah individual
differences. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain.
Perbedaan tersebut termanifestasi dalam bermacam-macam segi, mulai dari perbedaan ciri
4
dan kondisi fisik, pola berpikir, dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru.
Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam
menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenal
berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-
negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat
dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.
Sistem pendidikan kita saat ini dikritik oleh banyak kalangan, seperti praktisi
pendidikan, pemerhati masalah sosial, dan para ahli psikologi perkembangan, sebagai
pendidikan yang tidak menghargai potensi pertumbuhan individual. Hal ini terlihat dari
pola pendidikan kita yang dianggap berorientasi pada hasil akhir, terlalu banyak
mengandung materi hafalan, dan terlalu menekankan pada penguasaan materi
akademis(Pikiran Rakyat, 25 Mei 2011). Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003, tersirat
bahwa tujuan pendidikan lebih menekankan pada tata nilai, etika, dan moralitas peserta
didik. Presiden RI bahkan mengingatkan para pendidik formal dan nonformal bahwa
sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran, kecerdasan, dan ilmu pengetahuan, tetapi juga
moral, budi pekerti, dan watak. Selain itu juga nilai, perilaku mental, dan kepribadian
yang tangguh, unggul, dan mulia (Kedaulatan Rakyat, 21 Mei 2011).
Pendidikan yang baik harusnya mengakomodasi proses tumbuh kembang anak dan
perbedaan potensi setiap individu. Sehingga dapat memfasilitasi setiap anak didik untuk
merealisasikan potensi yang dimilikinya. Tumbuh kembang anak terjadi dalam tahap-
tahap yang berurutan dan berkelanjutan. Penting bagi para orangtua dan pendidik untuk
mengerti tahap-tahap perkembangan tersebut, sehingga dapat membantu memfasilitasi dan
memberi bantuan stimulasi bagi anak dalam menjalani masa perkembangan tersebut.
Tahap-tahap perkembangan juga memberi kesempatan bagi tumbuhnya
keterampilan-keterampilan hidup anak, hal ini tentu saja memudahkan para orangtua dan
pendidik dalam menanamkan atau menyampaikan materi pendidikan yang sesuai dengan
tahap perkembangan yang sedang dilalui anak.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan reviu teori ini adalah mengingatkan kembali kepada masyarakat
pada umumnya dan para orangtua dan para pendidik pada khususnya, mengenai
pentingnya memahami proses tumbuh kembang anak, karena dengan memahami
5
perkembangan anak maka akan membuka kesempatan membantu memfasilitasi anak
dalam memperoleh keterampilan-keterampilan yang sejalan dengan fungsi dan tujuan
pendidikan yaitu merealisasikan potensi individu sepenuhnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tugas Perkembangan
Dalam proses pertumbuhannya setiap anak secara umum akan mengalami proses-
proses pertumbuhan yang mengakibatkan pemerolehan keterampilan-keterampilan diri.
Hal ini yang sering disebut dengan tugas perkembangan, akan dialami oleh setiap individu,
namun belum tentu dalam rentang waktu yang sama, ada yang lebih awal, namun ada pula
yang lebih lambat.
Tugas perkembangan (Havighurst dalam Hurlock, 2002) adalah tugas yang muncul
pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika individu
tersebut berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah keberhasilan
dalam tugas-tugas perkembangan berikutnya. Sebaliknya jika gagal melaksanakan tugas
perkembangan, akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam melaksanakan
tugas-tugas perkembangan selanjutnya.
Beberapa tugas perkembangan muncul sebagai akibat dari proses kematangan fisik,
misalnya tumbuhnya keterampilan fisik dalaam olahraga. Ada juga yang berkembang
sebagai jawaban atas tuntutan sosial budaya masyarakat, misalnya internalisasi nilai dan
norma. Tugas perkembangan bisa juga bisa juga muncul sebagai nilai-nilai aspirasi
individual sepert urusan pemilihan bidan pekerjaan yang ditekuni. Tugas-tugas
perkembangan terbagi dalam ranah-ranah perkembangan individual, yaitu:
a. Ranah yang berkaitan dengan kemampuan jasmani atau fisik,
b. Ranah yang berkaitan dengan aspek kognitif atau kecerdasan,
c. Ranah yang berkaitan dengan aspek tata nilai dan moralitas,
d. Ranah yang berkaitan dengan aspek kehidupan emosional dan sosial.
6
Untuk dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik, setiap individu harus
melakukan penyesuaian diri dalam tumbuh kembangnya. Penyesuaian diri ini secara garis
besar terbagi menjadi dua macam, yaitu penyesuaian diri personal dan penyesuaiam diri
sosial. Penyesuaian diri personal mencakup: penyesuaian fisik, penyesuaian emosi, dan
penyesuaian moralitas.
Penyesuaian fisik, dengan kondisi tubuh yang sedang berkembang anak perlu
melakukan penyesuaian agar dapat beraktivitas dengsn sehat. Kondisi tubuh yang sehat
adalah tujuan utama, hal ini dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi,
cukup istirahat, dan dukungan aktivitas gerak olahraga.
Penyesuaian emosi, seiring bertambahnya usia anak dituntut untuk mampu
mengenali, memahami, dan mengelola emosi. Penyesuaian emosi ini mencakup pada tiga
hal, yaitu adekuasi emosi, kematangan emosi, dan kemampuan kontrol emosi.
Penyesuaian moral, yaitu penyesuaian terhadap aturan-aturan yang ada di dalam
masyarakat yang bertujuan untuk membimbing perilakunya di dalam kehidupan. Peraturan
tersebut dapat berupa nilai dan norma yang dibentuk oleh masyarakat maupun berupa
ajaran agama yang bersumber pada keyakinan manusia tentang Tuhan.
2.2 Beberapa Perspektif Perkembangan
2.2. 1. Perkembangan Kognitif
Teori tentang perkembangan kognitif sebagai aliran utama dikemukakan oleh Jean
Piaget. Ia mengemukakan bahwa perkembangan kognitif yang dialami oleh anak melalui
tahap-tahap tertentu yang kurang lebih sama pada semua anak. Adapun tahap-tahap
perkembangan kognitif terbagi dalam empat tahap, yaitu tahap sensori-motorik (usia 0-2
tahun), tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun),
dan tahap operasional formal (usia 11 tahun keatas) (Suparno, 2001).
a. Tahap Sensori-Motorik
Pada tahap ini inteligensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak
terhadap lingkungannya seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau,
dan sebagainya. Pada tahap ini perilaku-perilaku anak masih berupa reflek-reflek
7
terhadap lingkungannya. Anak belum memiliki bahasa simbol untuk
mengungkapkan sesuatu.
b. Tahap Praoperasional
Pada tahap ini ditandai utama dengan pembentukan simbol bahasa untuk
merepresentasikan benda-benda yang ada di lingkungannya. Selain itu muncul
permainan yang bersifat pura-pura, misalnya permainan menjadi dokter yang
mengobati pasiennya pada anak perempuan, atau pada anak laki-laki adalah
permainan perang-perangan dengan peran tentara atau jagoan.
c. Tahap Operasional Konkret
Pada tahap ini dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan
pada aturan-aturan tertentu yang logis. Seorang anak sudah menguasai proses
perubahan atau transformasi yang bersifat reversibel dan kekal. Dengan hal ini
anak telah mengembangkan pemikiran logis yang dapat diterapkan dalam
memecahkan persoalan-persoalan konkret yang dihadapi.
d. Tahap Operasional Formal
Pada tahap ini anak sudah sudah dapat berpikir logis, berpikir berdasar teoretis
formal berdasarkan proposisi dan hipotesis dan dapat mengambil kesimpulan lepas
dari apa yang diamati saat itu. Perkembangan pemikiran pada tahap ini sudah sama
dengan orang dewasa secara kualitatif, perbedaannya dengan orang dewasa adalah
dalam hal kuantitas, yaitu banyaknya skema pada orang dewasa.
Seperti yang telah dikemukan di depan bahwa semua individu adalah unik,
memiliki kombinasi profil psikologis yang berbeda satu sama lain, hal ini juga terjadi pada
kecerdasan. Pandangan psikologi positivistik terbaru menyatakan bahwa semua anak itu
cerdas atau berbakat, hanya saja pola pendidikan yang ada sering tidak mengakomodasi
keberbakatan sang anak. Salah satu penganut aliran ini Howard Gardner menyebutkan
bahwa pada dasarnya kecerdasan itu bervariasi atau majemuk, ada sembilan jenis
kecerdasan yang dikemukakannya (Amstrong, 2009).
1. Kecerdasan visual-spasial, kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih
mendalam hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki
8
kemampuan, misalnya, untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau
kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi.
2. Kecerdasan linguistik, kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-
kata, baik secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk
mengekspresikan gagasan-gagasannya.
3. Kecerdasan logis-matematis, kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif
dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola
angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan
berpikir.
4. Kecerdasan kinestetik, kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan
bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan
berbagai masalah.
5. Kecerdasan musikal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara
nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan
irama.
6. Kecerdasan interpersonal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan
orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain
sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan.
7. Kecerdasan intrapersonal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan
dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun
kelemahan yang ada pada dirinya sendiri.
8. Kecerdasan naturalis, kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam,
misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung,
cagar alam, atau hutan.
9. Kecerdasan eksistensial, kemampuan seseorang untuk memikirkan dan memahami
suatu fenomena secara holistik dan mendalam.
2.2.2. Perkembangan Moral
Perkembangan moral mengacu perkembangan anak dalam mengakuisisi nilai-nilai
dan moralitas dalam kehidupannya, yaitu nilai tentang apa yang baik dan benar, atau
9
pantas dan tidak pantas di dalam kehidupannya. Moral pada dasarnya dipandang sebagai
penyelesaian antara kepentingan diri dan kelompok, antara hak dan kewajiban. Moral juga
dapat diartikan bagaimana orang harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain.
Perilaku tersebut muncul bersamaan dengan peralihan eksternal ke internal yang disertai
perasaan tanggung jawab pribadi atas setiap tindakan seperti adanya pertimbangan
kesejahteraankelompok diatas kepentingan pribadi (Coles, 2000)
Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Kohlberg membagi
perkembangan moralitas kedalam tiga tingkatan yang masing-masing tingkatan terbagi
kedalam dua stadium, sehingga keseluruhan ada enam stadium (Mőnks, Knoers, &
Haditono, 2002).
Tingkatan pertama adalah penalaran moral secara prakonvensional, pada tingkatan
ini seorang anak mendasarkan pada objek di luar diri individu sebagai ukuran benar atau
salah. Pada stadium pertama orientasinya adalah patuh dan takut hukuman, suatu tingkah
laku dinilai benar bila tidak dihukum dan salah bila perlu dihukum. Seseorang harus pada
otoritas karena otoritas tersebut memegang kuasa, dalam hal ini adalah orangtua. Pada
stadium dua penalaran moral didasarkan pada orientasi hedonisme instrumental. Penalaran
moral masih mendasarkan pada objek diluar dirinya, namun sudah memperhatikan alasan
perbuatannya, misalnya mencuri adalah perbuatan salah, tetapi masih bisa dimaafkan bila
alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenanginya.
Tingkatan kedua adalah penalaran moral konvensional, yaitu mendasarkan pada
pengharapan sosial, yaitu suatu perbuatan dinilai benar bila sesuai dengan peraturan yang
ada dalam masyarakat. Stadium ketiga orientasi pribadi yang baik, anak menilai suatu
perbuatan itu baik bila hal itu dapat menyenangkan orang lain, yaitu apabila ia dapat
berbuat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain atau oleh masyarakat. Stadium
keempat, orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial, anak melihat aturan-aturan sosial
yang ada sebagai sesuatu yang penting yang harus dijaga dan dilestarikan.
Tingkatan ketiga, penalaran moral yang pascakonvensional, memandang aturan-
aturan yang ada di dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif, dapat diganti dengan
yang lain atau baru. Stadium lima, orientasi kontrol legalistis, memahami bahwa peraturan
yang ada di dalam masyarakat merupakan perjanjian antara diri orang dengan masyarakat.
Individu harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya lingkungan juga
menjamin kesejahteraan masing-masing individu. Stadium enam, orientasi yang
10
mendasarkan atas prinsip dan hati nurani sendiri, individu mengembangkan penilaian
benar salah berdasarkan suara hatinya tentang makna kebenaran, mencoba untuk tidak
mengkaitkannya dengan keharusan peraturan sosial yang ada.
2.2.3 Pembahasan
Salah satu pilar dalam peningkatan kualitas pendidikan adalah kualitas proses
pembelajaran, pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mendasarkan dan
memperhatikan dan mengutamakan aspek-aspek anak didik, menempatkan mereka sebagai
pusat atau subjek pembelajaran. Anak didik adalah pihak yang aktif membangun
konstruksi pengetahuan, bukan sekedar sebagai pihak yang pasif hanya menerima dan
menyimpan pengetahuan dalam bentuk jadi saja.
Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan anak terjadi dalam tahap-tahap yang
kontinu satu sama lain. Sebuah tahap yang terjadi akan menjadi bahan materi bagi tahap
perkembangan selanjutnya. Seringkali kita melihat bahwa orangtua memaksakan anak
memperoleh keterampilan yang belum tepat masanya, sehingga justru malah membebani
sang anak. Misalnya, orangtua memaksa anaknya yang baru masuk taman kanak-kanak
untuk menguasai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Orangtua akan merasa
bangga jika pada usia semuda mungkin sang anak menguasai pengetahuan atau
keterampilan yang lazimnya dimiliki oleh anak-anak usia diatasnya.
Perilaku orangtua yang memaksakan suatu kemampuan tertentu pada anaknya,
justru bisa menimbulkan hambatan perkembangan. Hal ini terjadi karena orangtua
mengabaikan tahap perkembangan yang sedang terjadi dan memilih kepada perkembangan
yang seharusnya diatasnya. Pengabaian ini dapat terjadi karena ketidaktahuan orangtua
tentang tahap-tahap perkembangan ataupun karena memang tidak peduli dengan
perkembangan anak. Jika hal ini terjadi, kemungkinan masa-masa kritis perkembangan
yang seharusnya sangat diperhatikan justru terlewatkan begitu saja. Ini merupakan
kerugian besar karena masa-masa kritis di dalam tahap perkembangan tidak terjadi
berulang.
Dari beberapa teori yang telah dipaparkan diatas terlihat bahwa individu anak
memperoleh atau mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan melalui tahap-tahap,
bukan sesuatu yang datang sendiri dan tiba-tiba tanpa perjuangan dari anak tersebut.
Individu harus mengalami proses yang menyentuh keseluruhan aspek diri, yaitu aspek
11
fisik, psikologis, moral, dan sosial. Individu adalah mahluk yang berkembang dan dalam
perkembangan ini mereka membutuhkan fasilitasi dan stimulasi. Apa yang terjadi di
lingkungan mereka dan apa yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya secara langsung
dan tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan diri.
Dalam melihat proses belajar Piaget lebih menekankan individu anak didik sebagai
aspek utama, anak didik aktif memperoleh dan memproses pengetahuan, anak didik jangan
diposisikan pasif yang tinggal disuapi pengetahuan. Proses belajar harus membantu dan
memungkinkan murid aktif mengkonstruksi pengetahuan dengan caranya sendiri. Biarkan
anak didik melakukan perubahan-perubahan skema dasar yang telah dibentuknya.
Penekanan lebih kepada anak didik yang aktif bukan para pendidik yang dominan
menentukan pembelajaran anak.
Dalam konsep belajar aktif ini adalah kegiatan belajar dimana anak didik secara
kognitif terlibat secara menyeluruh dalam proses. Intinya adalah belajar melalui interaksi
langsung dengan lingkungannya dan anak didik diposisikan sebagai subjek utama dalam
kontruksi pengetahuan maupun keterampilan. Belajar disini juga berorientasi pada
pemecahan masalah sehingga anak didik memperoleh pola-pola pemikiran yang lebih
aplikatif. Anak didik dihadapkan pada permasalahan-permasalahan dan diberikan
kebebasan dalam memilih alternatif solusi, disini secara tidak langsung dikembangkan pula
pola pikir kreatif, pola pikir yang berbeda. Mereka harus didorong untuk mencari
pengalaman-pengalaman baru dan melakukan percobaan-percobaan yang memungkinkan
mereka mengkonstruksi konsep baru kedalam skema kognitif yang mereka kembangkan.
Apa yang dikemukakan oleh Kohlberg mengenai perkembangan moral dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam tema besar saat ini yaitu pendidikan karakter.
Moralitas adalah salah satu aspek dari karakter yang menjadi sasaran pendidikan saat ini.
Moralitas berkaitan dengan perilaku benar-salah, baik-buruk, dan pantas-tidak pantas.
Moralitas saat ini menjadi keprihatinan yang besar mengingat besarnya arus pengaruh
nilai-nilai yang masuk dari luar, tidak sedikit nilai-nilai tersebut yang bertentangan dengan
nilai-nilai dasar yang telah kita miliki dan junjung tinggi. Nilai-nilai dasar yang kita miliki
yang sangat kita junjung tinggi,seperti kegotongroyongan, sopan-santun, keramahtamahan,
dan sebagainya kadang kalah bersaing dengan nilai-nilai yang datang dari luar, nilai-nilai
tersebut kadang dianggap kuno dan sudah ketinggalan jaman.
12
Untuk menjadi manusia yang unggul, tidak sekedar memiliki pengetahuan tinggi
dan keterampilan yang bagus semata, namun juga didukung oleh moralitas yang baik pula,
tanpa didukung moralitas ini kehidupan akan kacau. Seperti apa yang sedang terjadi di
negara kita saat ini, moralitas yang rendah yang menyebabkan korupsi merajalela. Sasaran
pendidikan bukan hanya kecerdasan dan ilmu pengetahuan, tetapi juga moral, budi pekerti,
dan watak manusia. Pendidikan yang seperti ini akan menciptakan manusia yang tangguh,
unggul, dan mulia.
Para pendidik diharapkan melaksanakan tanggung jawab untuk menciptakan
kehidupan belajar mengajar yang mampu mempengaruhi pola pikir peserta didik kearah
perubahan perilaku positif. Dalam memberikan pengaruh yang baik, para pendidik harus
menjaga perilaku dan tutur kata, karena pelajaran moralitas harus ditunjukkan dengan
perilaku nyata dan peran model. Permasalahan moralitas yang saat ini banyak terjadi bisa
juga terjadi karena hilangnya sosok model perilaku bagi anak. Misalnya dalam keluarga
karena kesibukan kedua orangtuanya maka anak kehilangan keempatan untuk belajar nilai
melalui imitasi dan identifikasi terhadap perilaku orangtua. Anak akhirnya malah belajar
nilai dari televisi atau media lainnya yang berakibat buruk, mengingat anak belum
memiliki kemampuan untuk menyaringnya.
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam teori perkembangan, suatu konstruksi pengetahuan ataupun keterampilan
seseorang tidaklah muncul dengan tiba-tiba. Ada tahap-tahap yang harus dilalui agar
pengetahuan dan keterampilan tersebut terbentuk dengan baik. Teori pentahapan
menyebutkan bahwa perkembangan bersifat hierarkhis, tahap yang pertama kali akan
menjadi pondasi utama suatu keterampilan, tahap tersebut menjadi dasar bagi
perkembangan bagi tahap yang kedua, sedangkan tahap yang kedua akan menjadi dasar
bagi tahap yang ketiga dan seterusnya saling berkaitan dan berkelanjutan.
Perumpamaan sederhana dari hal ini adalah anak yang sedang belajar naik sepeda.
Pertama kali anak akan belajar mengayuh memegangi stang, kemudian belajar mengayuh
pedal dan mengerem dengan kondisi sepeda masih diam, kemudian belajar
mempertahankan keseimbangan sepeda. Setelah keterampilan-keterampilan dasar
bersepeda tersebut dimiliki barulah anak akan belajar naik sepeda di halaman. Akan terasa
13
aneh jika belajar naik sepeda itu dibalik urutannya. Anak belajar mengendarai sepeda di
halaman dulu baru, baru belajar keseimbangan, kemudian belajar mengayuh pedal, dan
baru akhirnya belajar memegang stang sepeda.
Kognitif berkaitan dengan proses mental berpikir, yaitu setiap kegiatan yang
melibatkan proses mental berpikir untuk mencari pemecahan masalah, beradaptasi dengan
situasi kognitif baru, dan fungsi kecerdasan. Perkembangan setiap individu pada dasarnya
terjadi dalam empat tahap, hal ini dikemukakan oleh Jean Piaget berdasarkan penelitian
mendalam tentang tumbuh kembang anak-anaknya. Jean Piaget mengemukakan bahwa
perkembangan kognitif melalui empat tahap, yaitu tahap sensori-motorik (usia 0-2 tahun),
tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-11 tahun), dan tahap
operasional formal (11 tahun keatas). Pada tahap sensori-motorik, kontruksi kecerdasan
mulai dibentuk, dikenal dengan skema, kecerdasan awal berupa perilaku-perilaku yang
bersifat inderawi dan refleks. Pada tahap praoperasional kecerdasan diperkuat dengan
pembentukan simbol-simbol bahasa dan permainan yang bersifat pura-pura. Pada tahap
operasional konkret, anak mulai mengembangkan pemikiran yang didasarkan pada aturan
logis, dan diterapkan pada masalah-masalah konkret. Pada tahap operasional formal,
pemikiran mulai berkembang kearah teoretis formal yang didasarkan pada hipotesis dan
pemikiran mulai bersifat abstrak, yaitu tidak mengharuskan bendanya ada.
Moralitas adalah pedoman tentang salah atau benar tentang perilaku seseorang
berdasarkan masyarakat, moralitas ini sangat penting sebagai dasar mengatur hubungan
antarmanusia. Moral pada dasarnya dipandang sebagai penyelesaian antara kepentingan
diri dan kelompok, antara hak dan kewajiban. Maksudnya moral diidentifikasikan dengan
penyelesaian antara kepentingan diri dan kepentingan lingkungan yang merupakan hasil
timbang menimbang antara dua hal tersebut.
Bayangkan jika moralitas tidak menjadi dasar panduan dalam hidup bemasyarakat,
tentu semua orang akan memaksakan kepentingannya sendiri. Jika hal ini terjadi maka
kekerasan akan menjadi salah satu hal yang dianggap legitimate untuk dilakukan dan ini
akan membawa kehancuran pada suatu masyarakat. Begitu pentingnya tata aturan nilai ini
sehingga moralitas terdapat dalam seluruh budaya di dunia, seprimitif apapun masyarakat
pasti ada aturan tentang moralitas. Karena aturan moralitas inilah salah satu pemelihara
kelangsungan suatu masyarakat
14
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa
perkembangan moral terjadi dalam tiga tahap. yaitu tahap prakonvensional, tahap
konvensional, dan tahap pascakonvensional. Pada tahap prakonvensional ukuran benar
atau salahnya suatu perbuatan didasarkan pada objek diluar individu. Pada tahap
konvensional ukuran benar-salah didasarkan pada faktor peraturan sosial yang terdapat di
dalam masyarakat. Pada tahap pascakonvensional, individu melihat bahwa aturan sosial
yang ada didalam masyarakat tidak bersifat dan dapat berubah jika memang
masyarakatnya menginginkan.
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengantarkan peserta didik menuju
proses kedewasaan, pencapaian nyata terhadap potensi yang dimilikinya. Pendidikan juga
harus menanamkan tata nilai moralitas, sehingga output dari pendidikan tidak hanya
individu yang memiliki kecerdasan tinggi dan menguasai kemampuan yang diperlukan
bagi masa depannya, namun juga pribadi yang tangguh, unggul, dan memegang tata nilai
moralitas sebagai pegangan dalam kehidupannya.
Ki Hajar Dewantoro, Bapak Pendidikan Republik Indonesia, pernah
mengemukakan tiga prinsip pendidikan dengan melihat dari sudut pandang apa yang harus
dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik dan proses belajar. Filsafat tersebut berbunyi:
“Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani.” Ketiga kalimat
berbahasa Jawa, tersebut memiliki makna yang sangat mendalam. Filsafat pertama “Ing
ngarso sung tulodho” berarti bahwa seorang pendidik harus senantiasa memberi teladan,
model positif yang menjadi panutan anak didiknya. Seorang pendidik tidak sekedar
mengajarkan hal-hal yang baik tetapi harus mencontohkan bagaimana menerapkan hal-hal
baik itu dalam kehidupan nyata, bukan sekedar ilmu yang kalau sudah dipahami ya sudah.
Filsafat kedua “Ing madyo mangun karso”, hal ini berarti bahwa seorang pendidik harus
mampu membangkitkan, mengobarkan, dan memelihara semangat anak didiknya. Hal ini
membutuhkan interaksi yang lebih mendalam antara pendidik dengan anak didiknya.
Filsafat yang ketiga “Tut wuri handayani” memiliki arti bahwa setiap pendidik memiliki
tanggung jawab untuk mengawal proses pendidikan yang dijalankan agar berjalan dengan
lancar dan dapat mencapai tujuan yang digariskan.
3.2 Saran
1. Masyarakat umum secara perlahan harus mengubah pandangan umum tentang
pendidikan, anak bukanlah mesin belajar yang kapan saja siap untuk mempelajari
15
sesuatu. Pandangan harus beralih kepada pendapat yang menyatakan bahwa anak
harus diberi kesempatan berkembang secara alamiah, biarkan kecerdasan terbentuk
secara natural sesuai dengan tahap perkembangan yang sedang dilalui.
2. Para orangtua harus hadir, mendampingi anak dalam masa tumbuh kembangnya,
orangtua harus mau mengerti tentang tahap-tahap perkembangan yang dilalui anak-
anaknya. Dalam tahap perkembangan ini ada yang disebut dengan masa-masa kritis,
masa ini adalah waktu yang terbaik untuk melatih keterampilan tertentu. Akan sangat
rugi kalau masa kritis ini sampai berlalu begitu saja, karena masa-masa penting ini
tidak akan datang dua kali atau berulang.
3. Para guru harus memahami perbedaan individual, dan sebisa mungkin mengakomodasi
perbedaan tersebut dalam memberikan pelajaran, hal ini berarti menuntut seorang
pendidik untuk bertindak fleksibel dan kreatif dalam membawakan materi pelajaran.
4. Dalam sistem pembelajaran, anak harus didorong untuk aktif mencari dan memproses
informasi, pengetahuan, dan keterampilan. Sifat dasar keterampilan hidup adalah
natural. Meskipun begitu para orangtua dan para pendidik tetap memiliki peran yang
penting, yaitu memfasilitasi dan memberi stimulasi terhadap keterampilan-
keterampilan yang sedang dipelajari.
16
Daftar Pustaka
Amstrong, T. 2009. Multiple Intelligences in The Classroom. Virginia: ASCD.
Coles, R. 2000. Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak. Alih Bahasa: T Hermaya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hurlock, E. 2002. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Alih Bahasa: Tim Erlangga. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kedaulatan Rakyat. 21 Mei 2011. Puncak Peringatan Hardiknas dan Harkitnas 2011.
Mőnks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. 2002. Psikologi Perkembangan. Pengantar
dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pikiran Rakyat. 25 Mei 2011. Forum Guru.
Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius