2 tinjauan pustaka terjadi perbedaan pemanasan antara benua asia di belahan bumi utara (bbu) dan...

64
9 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muson Muson atau disebut pula Monsun (Monsoon) atau jika berkaitan dengan fase basah (hujan) dan kering (kemarau) umumnya disebut pula sebagai musim dan untuk selanjutnya disebut sebagai Muson atau musim merupakan salah satu proses dinamika atmosfer yang telah lama dikenal dan merupakan faktor penting dari dinamika iklim pada daerah tropis dan sekitarnya di dunia (Ramage, 1971; Fein dan Stephens, 1987; Webster, 1987; Yang et al., 1992; Douglas et al., 1993; Hastenrath, 1994; McBride et al., 1995; Tomas dan Webster, 1997; Webster et al., 1998). Faktor penyebab utama dinamika Muson adalah pergerakan semu matahari ke arah utara-selatan sebesar 23.5°, parameter Coriolis, topografi dan perbedaan paparan dan karakter antara daratan dan lautan di bumi dalam menerima bahang dari matahari. Pergerakan semu matahari mengakibatkan pada waktu-waktu tertentu terjadi perbedaan pemanasan antara Benua Asia di belahan bumi utara (BBU) dan Benua Australia di belahan bumi selatan (BBS) dan perbedaan karakter penerimaan bahang antara daratan dan lautan dalam menyimpan bahang pada belahan bumi yang sama. Perbedaan inilah yang menyebabkan parameter suhu udara merupakan faktor penting dalam menentukan proses dinamika muson. Parameter atmosfer lainnya yang terlibat meliputi tekanan udara, angin, kandungan uap air dan curah hujan. Pada bulan Juni matahari berada 23.5° di BBU, sehingga suhu udara di BBU lebih tinggi daripada di BBS. Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan tekanan udara menjadi rendah begitu pula sebaliknya, sehingga tekanan udara di BBU lebih rendah daripada di BBS. Perbedaan tekanan udara ini akan menyebabkan massa udara akan bergerak sebagai angin dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, sehingga pada bulan Juni angin secara umum akan bergerak dari BBS menuju BBU. Gerakan angin tidak secara tegas dari arah selatan ke utara bergerak tegak lurus terhadap ekuator, tetapi parameter Coriolis berperan dalam pembelokan gerakan angin di sekitar ekuatorial, sehingga angin akan bergerak dari tenggara ke arah barat laut di BBS dan ketika mencapai ekuator berbelok dari

Upload: lenhi

Post on 19-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Muson

Muson atau disebut pula Monsun (Monsoon) atau jika berkaitan dengan fase

basah (hujan) dan kering (kemarau) umumnya disebut pula sebagai musim dan

untuk selanjutnya disebut sebagai Muson atau musim merupakan salah satu proses

dinamika atmosfer yang telah lama dikenal dan merupakan faktor penting dari

dinamika iklim pada daerah tropis dan sekitarnya di dunia (Ramage, 1971; Fein

dan Stephens, 1987; Webster, 1987; Yang et al., 1992; Douglas et al., 1993;

Hastenrath, 1994; McBride et al., 1995; Tomas dan Webster, 1997; Webster et al.,

1998). Faktor penyebab utama dinamika Muson adalah pergerakan semu matahari

ke arah utara-selatan sebesar 23.5°, parameter Coriolis, topografi dan perbedaan

paparan dan karakter antara daratan dan lautan di bumi dalam menerima bahang

dari matahari. Pergerakan semu matahari mengakibatkan pada waktu-waktu

tertentu terjadi perbedaan pemanasan antara Benua Asia di belahan bumi utara

(BBU) dan Benua Australia di belahan bumi selatan (BBS) dan perbedaan

karakter penerimaan bahang antara daratan dan lautan dalam menyimpan bahang

pada belahan bumi yang sama. Perbedaan inilah yang menyebabkan parameter

suhu udara merupakan faktor penting dalam menentukan proses dinamika muson.

Parameter atmosfer lainnya yang terlibat meliputi tekanan udara, angin,

kandungan uap air dan curah hujan.

Pada bulan Juni matahari berada 23.5° di BBU, sehingga suhu udara di

BBU lebih tinggi daripada di BBS. Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan

tekanan udara menjadi rendah begitu pula sebaliknya, sehingga tekanan udara di

BBU lebih rendah daripada di BBS. Perbedaan tekanan udara ini akan

menyebabkan massa udara akan bergerak sebagai angin dari tekanan tinggi ke

tekanan rendah, sehingga pada bulan Juni angin secara umum akan bergerak dari

BBS menuju BBU. Gerakan angin tidak secara tegas dari arah selatan ke utara

bergerak tegak lurus terhadap ekuator, tetapi parameter Coriolis berperan dalam

pembelokan gerakan angin di sekitar ekuatorial, sehingga angin akan bergerak

dari tenggara ke arah barat laut di BBS dan ketika mencapai ekuator berbelok dari

10

barat daya ke arah timur laut di BBU. Kondisi ini akan terjadi sebaliknya pada

bulan Desember dimana matahari berada 23.5° di BBS (Webster, 1987).

Perbedaan paparan dan karakter penerimaan bahang dari matahari antara

daratan dan lautan dalam skala regional maupun lokal juga berpengaruh pada

perubahan arah pergerakan angin dari BBS ke utara. Daratan mempunyai karakter

lebih cepat menerima bahang dari matahari dan lebih cepat pula melepaskan

bahang, sedangkan lautan lebih lambat menerima bahang dan lebih lama

menyimpan bahang. Perbedaan luasan paparan antara daratan dan lautan berperan

dalam menentukan total bahang masing-masing dari daratan dan lautan.

Kandungan bahang yang besar akan memiliki suhu yang tinggi dan tekanan udara

yang rendah, begitu pula kondisi sebaliknya (Webster et al., 1998). Oleh karena

itu, jika daratan memiliki bahang yang besar, sedangkan lautan memiliki bahang

yang kecil maka arah pergerakan angin akan bergerak dari lautan menuju daratan.

Gerakan angin ini pula dipengaruhi oleh parameter Coriolis dimana angin akan

dibelokkan ke arah kiri di BBS dan ke arah kanan di BBU.

Angin kering dari selatan akan mendorong udara basah dengan kandungan

uap air yang tinggi lebih ke arah utara lagi sampai di lintang sedang, sehingga

kandungan uap air di daerah ekuatorial, lintang rendah dan di BBS akan menjadi

lebih kering. Konveksi angin di BBS karena adanya pertemuan angin

menyebabkan tekanan udara di permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan

lapisan atmosfer di atasnya akan membawa massa udara basah sampai pada

ketinggian tertentu. Lambat laun udara basah tersebut kandungan uap airnya akan

terus bertambah membentuk kumpulan awan dan akhirnya pada ketinggian

tertentu akan mengalami proses kondensasi sehingga terjadi hujan (Chang, 2005).

Faktor topografi daratan juga mempengaruhi pengangkatan massa udara. Profil

topografi yang berbeda pada suatu dataran dengan dataran yang lainnya akan

menentukan seberapa cepat pengangkatan massa udara dengan kandungan uap

airnya sampai mengalami proses kondensasi pada ketinggian tertentu dan turun

hujan. Tipe konveksi ini disebut pula sebagai hujan yang terjadi karena proses

orografis. Analogi sebaliknya terjadi, baik pada bulan Desember maupun jika luas

paparan lautan lebih besar daripada daratan di BBS dibandingkan dengan di BBU

(Fein dan Stephens, 1987).

11

Muson umumnya memiliki siklus tahunan mengikuti siklus pergerakan

semu matahari. Pola muson yang dapat diamati dari suhu udara, SPL, tekanan

udara, outgoing longwave radiation (OLR) maupun curah hujan dipengaruhi oleh

posisi lintang, paparan daratan dan lautan dan profil topografi. Variasi yang terjadi

dari siklus muson seperti awal musim, panjang musim dan total curah hujan

tahunan dipengaruhi oleh siklus dari fenomena lain seperti faktor lokal pada skala

sinoptik dan diurnal (Yang dan Slingo, 2001; Kikuchi dan Wang, 2008; Mori et

al., 2004; Sakurai et al., 2005), MISO/Monsoon Intraseasonal Oscillation dengan

siklus 10-20 harian (Waliser, 2006), MJO dengan siklus 30-50 hari (Wang dan

Xu, 1997; Lawrence dan Webster, 2002), DM dengan siklus antar tahunan

(Kulkarni et al., 2007; Zhang dan Li, 2008; Ding et al., 2010; Zuluaga et al.,

2010; Yang et al., 2010; Rao et al., 2010) dan ENSO dengan siklus antar tahunan

(Kitoh et al., 1999; Susanto et al., 2001; Kawamura et al., 2003; Terray et al.,

2004; Drumond dan Ambrizzi, 2006; Li et al., 2007; Bracco et al., 2007;

Annamalai et al., 2007; Xie et al., 2009b; Yadav et al., 2009; Chang et al., 2009;

Shaman dan Tziperman, 2010; Wu et al., 2010; Li et al., 2010; Qian et al., 2010;

Yun et al., 2010; Yoon dan Yen, 2010; Kim et al., 2011). Siklus Muson regional

sangat besar pula mempengaruhi kekuatan sirkulasi Hadley arah meridional,

sehingga dinamika Muson berperan luas terhadap dinamika atmosfer dalam skala

global (Webster, 2004).

Dominan siklus tahunan Muson berada pada daerah tropis dan subtropis

karena adanya pengaruh dari gerakan semu matahari, tetapi tidak semua di

wilayah ini memiliki sifat Muson karena adanya perbedaan paparan daratan dan

lautan. Ramage (1971), Webster (1987) dan Neelin (2007) telah mendefinisikan

bahwa regim Muson adalah daerah yang terdapat perubahan dengan siklus

tahunan dari parameter angin, kandungan uap air dan curah hujan. Chang (2005)

membagi regim Muson menjadi delapan Muson regional meliputi South Asian

Monsoon, East Asian Monsoon, Southeast Asia Monsoon, Western North Pacific

Monsoon, Australian Monsoon, North American Monsoon, South American

Monsoon dan West African Monsoon, sedangkan Saha (2010) membaginya dalam

Muson regional yaitu South Asian Monsoon (Region I), East Asian Monsoon

(Region II), Southeast Asia Monsoon (Region III), Australian Monsoon (Region

12

IV), African Monsoon (Region V), South American Monsoon (Region VI), Central

American Monsoon (Region VII) dan North American Monsoon (Region VIII).

Perbedaan wilayah Muson ini adalah pembagian menurut Chang (2005) terdapat

daerah Western North Pacific Monsoon sedangkan menurut Saha (2010) daerah

ini tidak didefinisikan sebagai wilayah Muson regional. Sebaliknya, Saha (2010)

memiliki daerah Central American Monsoon, sementara itu menurut Chang

(2005) wilayah ini tidak didefinisikan sebagai daerah Muson regional.

Berdasarkan pendapat dari Chang (2005) maupun Saha (2010) yang terpenting

adalah keduanya telah mendifinisikan bahwa wilayah Indonesia telah disebutkan

masuk kedalam daerah Muson regional yaitu Southeast Asia Monsoon (Muson

Asia Tenggara), sedangkan dari hasil penelitian sebelumnya sangat jarang wilayah

Indonesia disebutkan dengan tegas sebagai salah satu bagian dari Muson regional.

Wilayah Asia Tenggara mempunyai karakteristik yang unik, sangat berbeda

dengan ciri wilayah Muson lainnya di dunia. Perbedaan tersebut meliputi pertama,

berada tepat di ekuator sehingga sebagian wilayahnya berada di BBU dan

sebagian lainnya berada di selatan, sehingga wilayah Asia Tenggara merupakan

zona pembelokan arah angin tepat di ekuator akibat dari parameter Coriolis

selama siklus tahunan Muson (Chang, 2005). Kedua, wilayah Asia Tenggara

berada pada jalur pergerakan meridional Intertropical Convergence Zone (ITCZ)

dan di sebelah timur Indonesia merupakan pertemuan antara ITCZ dengan South

Pacific Convergence Zone (SPCZ) membuat wilayah Asia Tenggara dan

sekitarnya menjadi daerah konvergen aktif (Webster, 1987). Ketiga, wilayah Asia

Tenggara dan sekitarnya merupakan hasil dari resultan angin Muson dengan

siklus tahunan dan Angin Pasat Tenggara dan Pasat Timur laut dari Samudera

Pasifik yang berhembus sepanjang tahun (Fein dan Stephens, 1987). Keempat,

pada lapisan atas atmosfer wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya merupakan zona

konveksi dari simpul pertemuan antara sirkulasi Walker arah zonal dan sirkulasi

Hadley arah meridional (Neelin, 2007). Kelima, menurut Chang (2005), wilayah

Asia Tenggara dan sekitarnya merupakan paparan benua meskipun tidak

berbentuk daratan luas karena terdiri atas ribuan pulau yang dihubungkan oleh

lautan dan selat serta pada sisi luarnya diapit oleh dua benua Asia-Australia dan

dua Samudera Pasifik-Hindia mengakibatkan regim Muson di wilayah ini terjadi

13

interaksi antara darat, laut, udara dan samudera yang sangat kompleks, tidak

teratur (random), ekstrim dan kadang kala bersifat chaos (kacau). Keenam, kontur

topografi di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki kekhasan tersendiri

yang akan mempengaruhi pola sirkulasi angin lokal dan regional yang berfungsi

sebagai penghalang dengan tekanan gesekan angin (wind shear stress) besar yang

berpotensi terjadinya penaikan massa udara, gangguan keseimbangan bahang di

atmosfer dan menimbulkan hujan orografis di balik penghalangnya (Mori et al.,

2004).

Berdasarkan enam keunikan wilayah Asia Tenggara ini, sebagai responnya

maka proses dinamika Muson memiliki sifat yang kompleks dan keunikan

tersendiri dengan variabilitas laut-atmosfer yang tinggi. Variabilitas tinggi ini

diiringi pula oleh proses interaksi antar berbagai fenomena, baik skala harian

sampai dekadal maupun fenomena lokal sampai global. Fenomena laut-atmosfer

yang paling berperan jika dikaitkan dengan keunikan wilayah perairan Asia

Tenggara adalah DM dan ENSO. Interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat

berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap dinamika dan variabilitas kondisi

laut-atmofer di wilayah Asia Tenggara dan Sekitarnya. Dinamika dan variabilitas

dari hasil interaksi ini bahkan memiliki dampak yang sangat besar baik secara

regional maupun global.

2.2 Indian Ocean Dipole Mode

Fenomena DM pertama kali dikemukan secara bersamaan oleh Saji et al.

(1999) dan Webster et al. (1999) adalah merupakan fenomena perpindahan kolam

air hangat arah zonal di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia yang mirip dengan

fenomena ENSO di Samudera Pasifik. Siklus yang dimiliki oleh DM hampir sama

dengan siklus ENSO yaitu siklus antar tahunan sebesar 2-5 tahun (Saji et al.,

1999). Fenomena ini ditemukan dari hasil analisis EOF dan analisis komposit di

Samudera Hindia dengan menggunakan data SPL selama 40 tahun. Hasil dari

analisis EOF didapat mode dominan pertama sebesar 30% dan kedua sebesar 12%

dari total keragamannya. Mode kedua inilah oleh Saji et at. (1999) dinamakan

kejadian Dipole Mode (Dipole Mode Event) karena pada Mode kedua dominan ini

terdapat perbedaan secara spasial dimana SPL di sebelah barat ekuatorial

14

Samudera Hindia tinggi, sedangkan di perairan timur Samudera Hindia tepatnya

di sebelah selatan perairan barat Sumatera ditemukan SPL yang rendah.

Pola ini sesuai dengan pola angin yang bergerak dari arah tenggara menuju

barat laut di perairan timur Samudera Hindia, kemudian ketika sampai di ekuator

angin tersebut berbelok ke arah barat. Angin tersebut mendorong massa air hangat

ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia sampai ke perairan sebelah timur benua

Afrika. Pada kondisi normal kolam air hangat ini berada di sebelah timur

Samudera Hindia, akibat adanya anomali angin timur mendorong massa air hangat

ini ke arah barat seiring dengan peningkatan zona konveksi dengan membawa uap

air di atasnya yang berpotensi terjadinya hujan selama bergeraknya massa air

hangat tersebut (Gambar 2).

Gambar 2 Evolusi DM dari hasil analisis komposit SPL di Samudera Hindia

(Saji et al., 1999). (a), (b), (c) dan (d) berturut-turut komposit SPL

(°C) pada bulan Mei-Juni, Juli-Augustus, September-Oktober dan

November-Desember.

Pola spasial dari hasil analisis EOF dengan menggunakan data SPL sangat

jelas berbeda di perairan barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia, sehingga

Saji et al. (1999) dengan mudah mendefinisikan sebuah indeks dari selisih

anomali SPL di perairan barat Samudera Hindia (50°BT-70°BT, 10°LS-10°LU)

dengan anomali SPL di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia (90°BT-

15

110°BT, 10°LS-ekuator). Indeks ini akan bernilai positif jika massa air hangat

bergerak ke arah barat Samudera Hindia dan fase ini dinamakan fase positif

dimana sedang berlangsung DM, sedangkan apabila indeks ini bernilai negatif jika

massa air hangat terdorong ke arah tenggara Samudera Hindia dan fase ini

dinamakan fase negatif DM. Indeks ini kemudian diberi nama Dipole Mode Index

(DMI).

Gambar 3 Pola perambatan anomali (a) SPL (°C) pada 5°LU-5°LS, (b) angin

zonal (m/s) pada 5°LU-5°LS dan (c) TML (cm) pada 1°LU-1°LS

dari bulan Januari 1997-Juli 1998 (Webster et al., 1999).

Pada media publikasi yang sama, Webster et al. (1999) mengemukakan

bahwa terjadi anomali pada dinamika laut di Samudera Hindia yang mirip dengan

ENSO di Samudera Pasifik. Kesimpulan ini didapat dari hasil penelitian dengan

menggunakan data SPL, tinggi muka laut (TML), curah hujan dan angin. Webster

et al. (1999) memperlihatkan pergerakan rambatan SPL, TML dan angin zonal

dari perairan timur Samudera Hindia sampai ke perairan barat Samudera Hindia

(Gambar 3). Pola rambatan SPL ini terlihat dengan jelas selaras dengan angin

zonal dan TML yang menunjukkan bahwa dinamika di Samudera Hindia ini

merupakan suatu fenomena tersendiri yang berinteraksi antara laut dan atmosfer.

Ketika massa air hangat ini mencapai perairan di sebelah barat Samudera Hindia,

terlihat pola SPL, OLR, angin zonal dan TML yang sama seperti yang ditemukan

oleh Saji et al. (1999) sehingga memperkuat bahwa dinamika ini merupakan suatu

fenomena tersendiri yang mirip dengan ENSO di Samudera Pasifik (Gambar 4).

16

Gambar 4 Pola sebaran horizontal (a) anomali SPL (°C), (b) anomali OLR (W

m-2

), (c) anomali angin zonal (m/s) dan (d) anomali TML (cm)

pada bulan November 1997 (Webster et al., 1999).

Proses dinamika interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia dari fenomena

ini menurut Webster et al. (1999) dimulai dengan adanya anomali angin di atas

perairan sebelah tenggara Samudera Hindia yang mendorong massa air hangat ke

perairan sebelah barat Samudera Hindia sehingga mengakibatkan terjadi anomali

upwelling di perairan barat Sumatera dan downwelling di perairan timur Afrika.

Sirkulasi Walker terjadi anomali dimana pada lapisan bawah angin bergerak ke

arah barat dan pada lapisan atas atmosfer angin bergerak ke arah timur. Proses ini

diikuti pula dengan meningkatkan zona konveksi yang memicu terjadinya

penguapan dari massa air hangat yang dapat meningkatkan curah hujan di perairan

sebelah barat Samudera Hindia. Sementara itu di perairan pantai barat Sumatera,

terjadi zona divergen dengan udara kering di atasnya akibat dari bergeraknya

massa air hangat ke arah barat Samudera Hindia.

Webster et al. (1999) menyampaikan bahwa anomali angin timur ini terus

mendorong massa air hangat sehingga kedalaman lapisan termoklin mendalam di

perairan sebelah barat Samudera Hindia dan mendangkal di pantai barat Sumatera.

Pola angin ini mengakibatkan terjadinya formasi Ekman di tengah Samudera

Hindia yang bergerak menuju ekuator diikuti dengan terjadinya downwelling

Gelombang Rossby. Seiring dengan aktifitas Muson panas, massa air hangat ini

kembali ke arah timur ekuatorial Samudera Hindia oleh dorongan transpor Ekman

yang dibangkitkan oleh angin di sepanjang pesisir timur benua Afrika. Ketika

17

massa air hangat ini sampai di perairan sebelah timur Samudera Hindia, terjadi

downwelling Gelombang Kelvin dan diikuti dengan perubahan sirkulasi Walker,

peningkatan SPL dan kedalaman lapisan termoklin, downwelling di sepanjang

pantai barat Sumatera dan peningkatan zona konveksi, penguapan dan curah

hujan. Secara skematis proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia ini

dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia pada tahun

1997, diadaptasi dari Webster et al. (1999). (a) sampai (d) berturut-

turut adalah peralihan antar musim. Keterangan secara rinci

terdapat di dalam tulisan.

Fenomena di Samudera Hindia yang dikemukan secara bersamaan oleh Saji

et al. (1999) dan Webster et al. (1999) oleh peneliti lain selanjutnya disebut

Dipole Mode (DM), sesuai dengan penamaan yang diberikan oleh Saji et al.

(1999). Fenomena ini kemudian mulai dikaji lebih lanjut oleh peneliti lainnya

berkaitan dengan mekanisme proses dinamika DM, dampak DM terhadap cuaca

dan iklim, pemicu terjadinya DM, variabilitas siklus DM, peranan Tropical

18

Biennial Oscillation (TBO) terhadap DM dan interaksinya dengan Muson dan

ENSO. Sampai dengan saat ini, pemicu terjadinya DM masih menjadi perdebatan

diantara para peneliti. Pemicu dan mekanisme kerja proses dinamika DM belum

seutuhnya terungkap dengan jelas dan dapat diterima oleh para peneliti.

Fischer et al. (2005) mengemukakan bahwa pada musim semi terdapat dua

pemicu DM yang berbeda. Pertama adalah anomali sirkulasi Hadley di atas

perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan Asia

Tenggara dimana Angin Pasat Tenggara masuk dari BBS sebelum waktunya.

Kondisi ini mengakibatkan penurunan SPL dengan cepat di perairan sebelah

tenggara Samudera Hindia dan menyebabkan keterlambatan datangnya angin

musim panas Australia. Pemicu kedua adalah pergeseran zona konveksi arah

zonal dari sirkulasi Walker pada saat terjadi El Nino. Pemicu pertama terjadi pada

fase positif DM tahun 1994, dimana tidak terjadi El Nino di Samudera Pasifik.

Pemicu pertama terjadi tanpa melibatkan ENSO dan pemicu kedua merupakan

fase DM yang berinteraksi dengan ENSO di Samudera Hindia. Hasil penelitian ini

diperoleh dari analisis luaran model gabungan iklim yang dijalankan untuk

mensimulasikan kondisi Samudera Hindia dan Pasifik selama 200 tahun untuk

mengetahui interelasi antara DM dan ENSO.

Sedikit berbeda dengan Fischer et al. (2005), Francis et al. (2007)

menemukan bahwa pemicu terjadinya DM karena adanya siklon kecil di Teluk

Bengal antara bulan April-Mei. Semua fase positif DM selama periode 1958-

2003, minimal terdapat satu siklon kecil di Teluk Bengal. Siklon ini akan

memperkuat gradien tekanan meridional di sebelah timur Samudera Hindia,

sehingga angin dari tenggara Samudera Hindia berhembus ke arah Teluk Bengal

seiring dengan peningkatan upwelling di sepanjang pesisir barat Sumatera. Angin

di Teluk Bengal kemudian naik ke lapisan atas dan bergerak kembali menuju

pantai barat Sumatera dan turun menekan zona konveksi dan uap air menjadi

daerah divergen di atas permukaan laut. Francis et al. (2007) berpendapat bahwa

kondisi ini mengakibatkan suhu udara dan SPL di pesisir barat Sumatera menjadi

turun dengan cepat dan semakin turun akibat dari hembusan angin dingin dari

tenggara Samudera Hindia, sehingga daerah ini memiliki tekanan udara tinggi.

Tekanan udara tinggi ini mengakibatkan angin berhembus ke arah barat di

19

sepanjang ekuator Samudera Hindia dan mengakibatkan angin baratan dari Afrika

melemah. Kekuatan angin timur semakin meningkat dan mendorong massa air

hangat di sepanjang ekuator bergerak ke arah barat. Massa air hangat ini

kemudian menumpuk di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia dan

membentuk daerah convergen kuat dan memicu terjadinya zona konveksi yang

meningkatkan kandungan uap air di atasnya, sehingga anomali curah hujan terjadi

di sepanjang pantai timur Afrika.

Penelitian mengenai pemicu terjadinya DM, sampai dengan saat ini masih

terus dilakukan. Masih terdapat perdebatan mengenai teori pemicu DM dan proses

dinamika interaksi laut-atmosfer yang menyertainya. Jika dikelompokan, teori

pemicu DM yang berkembang dibagi menjadi dua yaitu pertama, DM dipicu dari

anomali yang berada di Samudera Hindia dan yang kedua, pemicunya berasal dari

sistem di luar Samudera Hindia seperti ENSO, MJO dan TBO. Wilayah Asia

Tenggara memiliki keunikan tersendiri (Webster, 1987; Fein dan Stephens, 1987;

Mori et al., 2004; Chang, 2005; Neelin, 2007), dimana interaksi yang terjadi tidak

hanya laut-atmosfer saja, tapi perlu mempertimbangkan interaksi antara darat, laut

dan atmosfer. Karakter daratan yang lebih mudah menyerap bahang dan melepas

bahang berinteraksi dengan karakter lautan yang lambat menyerap bahang dan

lama menyimpan bahang, memiliki dinamika tersendiri jika berinteraksi dengan

atmosfer di atasnya (Chang, 2005). Variabilitas keseimbangan bahang antara

darat-laut-atmosfer yang besar akan berakibat pola sirkulasi udara horizontal

maupun vertikal pada arah zonal maupun meridional di atas perairan Asia

Tenggara menjadi lebih kompleks. Daerah konvergen dan divergen maupun

konveksi di perairan Asia Tenggara selalu berubah setiap saat akibat dari

perbedaan pemanasan di lautan yang dikelilingi oleh pulau-pulau maupun

perbedaan pemanasan antara lautan dan daratan dengan pola topografi yang

beragam (Mori et al., 2004). Seperti halnya Muson di wilayah Asia Tenggara

yang berada di ekuator dimana Indonesia menjadi zona transisi pembelokan arah

angin dan pemicu DM yang dimulai dengan adanya anomali angin timur di

perairan sebelah selatan pantai barat Sumatera (Webster et al., 1999), maka sangat

memungkinkan sekali pemicu awal terjadinya DM bersumber dari perairan

Indonesia yang memiliki dinamika darat-laut-atmosfer yang besar dan kuat

20

(Chang, 2005). Begitu pula ENSO, dimana diketahui sebelumnya bahwa terdapat

anomali angin baratan di atas perairan sebelah timur perairan Indonesia sebelum

terjadinya ENSO (Philander, 1990) membuka kemungkinan bahwa pemicu ENSO

juga bersumber dari dinamika darat-laut-atmosfer di wilayah Asia Tenggara dan

sekitarnya.

2.3 El Nino Southern Oscillation

Penelitian mengenai ENSO telah lama dilakukan dan meningkat dengan

pesat seiring dengan berkembangnya teknologi observasi laut-atmosfer. Sarana

pengamatan laut-atmosfer di Samudera Pasifik melalui kerjasama internasional

semakin bertambah dengan banyaknya hasil penelitian mengenai ENSO dan

dinamikanya. Proses mekanisme kerjanya sudah mulai teridentifikasi secara

mendetail seiring dengan berkembangnya teknologi pemodelan. Pada saat ini,

fenomena ENSO tidak saja hanya dikenal sebagai salah satu fenomena di

Samudera Pasifik dimana kolam air hangat yang biasanya berada di sebelah barat

ekuatorial Samudera Pasifik, karena Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut

mengalami anomali kemudian bergerak ke arah timur di sepanjang ekuatorial

Samudera Pasifik dan menimbulkan dampak iklim yang luas (McPhaden et al.,

1998; Neelin et al., 1998; Wallace et al., 1998).

Penelitian untuk memprediksi ENSO sampai saat ini masih terus dilakukan,

tetapi misteri penyebab terjadinya El Nino masih belum seutuhnya terungkap.

Pengamatan melalui observasi laut-atmosfer dengan menggunakan buoy

TOGA/TAO (Tropical Ocean-Global Atmopheric/Tropical Atmosphere-Ocean)

dari Pacific Marine Environmental Laboratory (PMEL) NOAA dan buoy

TRITON (Triangle Trans-Ocean Buoy Network) dari Japan Marine and Earth

Science Tecnology Center (JAMSTEC) di sepanjang equatorial Samudera Pasifik

masih berjalan secara intensif, bahkan pemasangan buoy TRITON di sebelah barat

Samudera Pasifik telah mencapai perairan utara Papua Barat. Tujuan pemasangan

tersebut adalah memperluas sarana observasi laut-atmosfer untuk mengkaji lebih

mendalam pemicu terjadinya El Nino (Kuroda, 2001).

Hasil dari beberapa penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa ada

keterkaitan antara terjadinya gangguan angin baratan (westerly wind bursts) di

21

perairan barat dan tengah ekuatorial sebelah Samudera Pasifik sebelum datangnya

El Nino (Latif et al., 1988; Perigaud dan Cassou, 2000; Lengaigne et al., 2004).

Kecepatan angin tersebut melebihi 7 m/s dengan durasi antara 5-20 hari (Harison

dan Vecchi, 1997) dan terjadi rata-rata sekitar 3 kali pada tahun-tahun terjadinya

El Nino (Verbickas, 1998). Gangguan angin baratan ini juga berkaitan dengan

fenomena atmosfer termasuk terjadinya siklon tropis dan siklon tropis kembar

(Keen, 1982). Gangguan angin baratan ini telah diamati dengan menggunakan

data observasi selama 50 tahun dan hasilnya secara signifikan berasosiasi dengan

awal kedatangan El Nino (McPhaden, 2004).

Sampai dengan tahap penelitian ini, pemicu terjadinya El Nino masih

diyakini berasal dari faktor luar yaitu adanya gangguan angin baratan yang

memperkuat dan menekan (downwelling) rambatan Gelombang Kelvin ke arah

timur di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dimana angin baratan ini

merupakan hasil dari interaksi laut-atmosfer yang secara detail belum diketahui

penyebab kemunculannya. Eisenman et al. (2005) merubah paradigma

sebelumnya teori mengenai pemicu terjadinya El Nino dengan mengemukakan

bahwa gangguan angin baratan ini bukan sebagai pemicu terjadinya El Nino,

tetapi merupakan hasil interaksi laut-atmosfer yang dimodulasi dari proses

dinamika El Nino itu sendiri. Faktor eksternal adanya gangguan angin baratan

bukan dari proses laut-atmosfer lainnya tetapi merupakan bagian dari proses

dinamika El Nino itu sendiri yang memperkuat proses awal El Nino sampai

dengan terjadi El Nino kuat. Kesimpulan ini didapat dari penelitiannya

menggunakan data observasi, citra satelit dan model gabungan (coupled model)

laut-atmosfer Cane-Zebiak dengan menerapkan skenario model dengan dan tanpa

adanya gangguan angin baratan.

Sampai dengan akhir 2010, teori mengenai pemicu datangnya El Nino

masih bertahan pada kedua teori tersebut yaitu adanya gangguan angin baratan

dan hasil proses internal dari dinamika El Nino itu sendiri berupa modulasi kolam

air hangat yang mempengaruhi proses dinamika laut-atmosfer. Proses dinamika

ENSO itu sendiri yang berkembang pada saat ini adalah beberapa teori yaitu

ENSO Oscillator dimulai oleh Bjerknes (1969) dengan hipotesa adanya interaksi

laut-atmosfer berupa positive feedback yang mengakibatkan terjadinya anomali

22

SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada saat terjadi El Nino.

Anomali SPL ini mengharuskan kembali ke kondisi normal oleh adanya negative

feedback dengan beberapa teori yaitu pertama, delayed oscillator (Suarez dan

Schopf, 1988) berupa terbentuknya Gelombang Rossby dari pemantulan

Gelombang Kelvin di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Kedua, recharge

oscillator (Jin, 1997) dengan adanya penambahan transpor Sverdrup pada fase

negative feedback. Ketiga, western Pacific oscillator (Weisberg dan Wang, 1997)

berupa proses interaksi laut-atmosfer dengan terbentuknya siklon di utara dan

selatan ekuator sebelah barat Samudera Pasifik bersamaan dengan terbentuknya

angin baratan di tengah Samudera Pasifik pada fase positive feedback dan

terbentuknya anti siklon memicu terjadinya angin timuran yang melemahkan

energi Gelombang Kelvin ke arah timur pada fase negative feedback. Keempat,

advective-reflective oscillator (Picaut et al., 1997) yaitu terdapat zona konvergen

arus ke arah timur (barat) di tepian sebelah timur (barat) dari kolom air hangat

pada fase positive (negative) feedback yang berasosiasi dengan Southern

Oscillation Index (SOI). Teori terakhir dari ENSO oscillator adalah unified

oscillator (Picaut et al., 2002) merupakan gabungan mekanisme dari keempat

teori tersebut di atas.

Wang dan Picaut (2004) kemudian mengklasifikasikan hasil penelti lain

mengenai teori dinamika ENSO kedalam beberapa kelompok yaitu pertama, Slow

(Sea Surface Temperature/STT) Mode dimana dari hasil interaksi laut-atmosfer

terjadi ketidakstabilan yang mengakibatkan gerakan perlahan massa air hangat ke

arah timur (barat) pada saat terjadi El Nino (La Nina) tanpa melibatkan dinamika

gelombang Samudera. Kedua, a stable mode triggered by stochastic forcing yaitu

massa air hangat di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik berada dalam

kondisi stabil kemudian muncul gangguan dari luar sistem yang memicu

terjadinya El Nino pada fase positive feedback. Fase negative feedback dibutuhkan

untuk mengembalikan posisi kolam air hangat ke tempat semula sampai mencapai

kondisi stabil dengan menyertakan kemungkinan salah satu atau beberapa proses

dari teori delayed oscillator, recharge oscillator, western Pacific oscillator dan

advective-reflective oscillator. Teori ini berperan dalam menjawab ketidak-

teraturan siklus ENSO yang bervariasi dengan periode antara 4-7 tahun.

23

Penelitian terakhir telah teridentifikasi terdapat dua tipe yang berbeda dari

variabilitas antar tahunan SPL di ekuatorial Samudera Pasifik yang berkaitan

dengan fenomena ENSO (Larkin dan Harrison, 2005a; Yu dan Kao, 2007; Ashok

et al., 2007; Kao dan Yu, 2009; Kug et al., 2009). Salah satu diantaranya adalah

anomali kolam air hangat yang terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera

Pasifk dimana tipe ini adalah tipe El Nino tradisional/konvensional atau sering

pula disebut Canonical El Nino (Rasmusson dan Carpenter, 1982; Philander,

1990; Wallace et al., 1998; Sarachik dan Cane, 2010). Tipe yang kedua adalah

anomali kolam air hangat yang terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik

sedikit ke barat kurang lebih pada 180°BT atau 180°BB. Pemberian nama untuk

tipe El Nino kedua berbeda-beda karena secara terminologi belum terdapat

kesepakatan pemberian istilah untuk El Nino Tipe-2, tetapi secara definitif

memiliki arti yang sama yaitu anomali kolam air hangat yang berada di tengah

ekuatorial Samudera Pasifik.

Larkin dan Harrison (2005a) memberi nama tipe EL Nino kedua ini dengan

sebutan Dateline El Nino karena anomali maksimum SPL berada di dekat

International Dateline (180°BT atau 180°BB). Diberikan nama baru karena tipe

El Nino ini berbeda dengan El Nino konvensional dimana dampak yang dirasakan

di Amerika (Larkin dan Harrison, 2005a) dan di dunia berbeda (Larkin dan

Harrison, 2005b). Ketika kolam air hangat berada di sekitar internasional dateline,

terjadi dampak yang berbeda antara El Nino konvensional dengan El Nino

Dateline dimana pada bulan September-Oktober-November (SON) umumnya

terjadi peningkatan suhu diatas normal di BBU, sedangkan pada bulan Desember

sampai Februari (DJF) umumnya terjadi peningkatan suhu di sebelah utara Benua

Amerika dan penurunan suhu di sebelah utara Benua Asia dan Eropa

dibandingkan dengan El Nino konvensional (Gambar 6). Pendefinisian El Nino

dan La Nina (NOAA, 2003) oleh National Oceanic and Atmospheric

Administration (NOAA) dengan menggunakan indeks Nino3.4 (anomali SPL

pada petak 170°BB-120°BB, 5°LS-5°LU) yang telah diadopsi oleh World

Meteorological Organization wilayah IV (WMO region IV) dimana jika nilai

anomali positif (negatif) SPL pada Nino3.4 sebesar 0.5°C selama 3 bulan

berturut-turut disebut sebagai El Nino (La Nina), akan menjadi tidak efektif

24

dengan adanya El Nino Dateline. Oleh karena itu, Larkin dan Harrison (2005a)

agar dilakukan pendefinisian baru mengenai El Nino dan La Nina dengan

memperbaharui indeks-indeks El Nino di Samudera Pasifik untuk mendeteksi fase

El Nino Dateline.

Gambar 6 Komposit anomali suhu udara permukaan (°C), diadaptasi dari

Larkin dan Harrison (2005b). Kolom kiri adalah El Nino

konvensional dan kolom kanan adalah El Nino Dateline. Baris atas

pada bulan September-Oktober-November dan baris bawah pada

bulan Desember-Januari-Februari.Kotak-kotak memperlihatkan

rata-rata suhu udara grid dengan 80% diatas selang kepercayaan

dan garis diagonal dibawahnya. Jumlah data dibawah empat

dibiarkan kosong.

Ashok et al. (2007) menemukan pola spasial anomali SPL dengan siklus

antar tahunan melalui analisis EOF pada Mode kedua EOF dengan keragaman

sebesar 12% (Gambar 7b). Anomali positif SPL ditemukan terpusat di tengah

ekuatorial Samudera Pasifik dimana kolam air hangat berada. Tipe kedua El Nino

ini diberi nama El Nino “Modoki” atau disebut pula Pseudo El Nino yang artinya

El Nino semu. Setelah ditemukan tipe El Nino ini, Ashok et al. (2007)

membangun sebuah indeks baru untuk mendeteksi kedatangan tipe El Nino

Modoki dan diberi nama El Nino Modoki Index (EMI). Indeks ini dibangun dari

rata-rata anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (165°BT-140°BB,

10°LS-10°LU) dikurangi setengah dari anomali SPL di sebelah barat (125°BT-

145°BT, 10°LS-20°LU) dan di sebelah timur (110°BB-70°BB, 15°LS-5°LU)

25

ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 7b) dengan menggunakan data Hadley

Centre Global Sea Ice and Sea Surface Temperature (HadISST) antara tahun

1979-2004 hasil reanalisis dari Rayner et al. (2003).

Gambar 7 Pola spasial EOF dari empat mode terbesar SPL dengan

menggunakan data dari tahun 1979-2004, diadaptasi dari Ashok et

al. (2007). (a) sampai (d) berturut-turut adalah Mode kesatu sampai

Mode keempat EOF. (b) adalah tipe dua El Nino dimana kolam air

hangat terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan diberi

nama El Nino “Modoki” atau Pseudo El Nino.

Hasil dari perhitungan EMI didapati tujuh puncak EMI positif pada musim

panas di BBU antara bulan Juni sampai September (JJAS) yaitu tahun 1986, 1990,

1991, 1992, 1994, 2002 dan 2004, sedangkan pada musim dingin di BBU antara

bulan Desember sampai Januari (DJF) terdapat 8 puncak EMI positif yaitu pada

tahun 1979-80, 1986-87, 1990-91, 1991-92, 1992-93, 1994-95, 2002-2003 dan

2004-05. Analisis komposit anomali SPL (Gambar 8) pada periode tersebut

memperlihatkan kesesuaian dengan pola spasial SPL pada Mode kedua EOF

(Gambar 7b). Proses dinamika terjadinya El Nino Modoki melibatkan interaksi

antara laut-atmosfer (Ashok et al., 2007) yaitu terbentuknya anomali angin

baratan di sebelah barat dan anomali angin timuran di sebelah timur ekuatorial

Samudera Pasifik yang diikuti dengan anomali positif kedalaman lapisan

termoklin di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Penyebab anomali positif

26

kedalaman lapisan termoklin adalah downwelling gelombang ekuator Kelvin di

sebelah barat dan upwelling gelombang ekuator Rossby di sebelah timur

ekuatorial Samudera Pasifik. Salah satu periode waktu dari fase El Nino Modoki

dengan puncak positif EMI terjadi pada musim panas di BBU (JJAS) tahun 2004

(Gambar 9).

Gambar 8 Komposit anomali SPL (°C) pada musim panas (a) dan musim

dingin (b) di BBU yang memperlihatkan kesesuaian dengan pola

spasial EOF Mode kedua, diadaptasi dari Ashok et al. (2007).

Gambar 9 Komposit anomali SPL (°C) pada musim panas (JJAS) tahun 2004,

di BBU yang memperlihatkan puncak fase El Nino Modoki pada

tahun 2004, diadaptasi dari Ashok et al. (2007).

27

Gambar 10 Pola spasial EOF dari data asli anomali SPL. (a) adalah Mode

pertama terbesar dengan keragaman sebesar 55.7% dan (b) adalah

Mode kedua terbesar dengan keragaman sebesar 11.1%, diadaptasi

dari Kao dan Yu (2009).

Kao dan Yu (2009) dengan menggunakan basis data SPL yang sama dengan

Ashok et al. (2007) yaitu HadISST antara tahun 1950-2009, melakukan analisis

EOF dengan sebelumnya mengurangkan anomali SPL dari data yang digunakan

dengan indeks Nino1+2 (90°BB-80°BB, 10°LS-0°) dan Nino4 (160°BT-150°BB,

5°LS-5°LU). Hal ini dilakukan karena dengan menggunakan analisis EOF dari

data anomali SPL aslinya, hasil EOF pada Mode kesatu dan kedua terbesar tidak

ditemukan pola spasial anomali SPL yang memperlihatkan tipe pertama El Nino

(El Nino konvensional) maupun tipe kedua El Nino dimana anomali positif SPL

terbesar terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 10). Setelah

melakukan pengurangan data anomali SPL dengan indeks Nino1+2 dan Nino4

pada masing-masing Mode kesatu hasil analisis EOF ditemukan pola spasial

anomali positif SPL terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 11b)

untuk pengurangan dengan indeks Nino1+2 (tipe kedua El Nino) dan anomali

SPL terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 11a) untuk

pengurangan dengan indeks Nino4 (tipe pertama El Nino/El Nino konvensional).

Kao dan Yu (2009) memberi nama tipe pertama El Nino dengan sebutan EP-

ENSO (Eastern-Pasific ENSO) dan tipe kedua El Nino dengan sebutan CP-ENSO

(Central-Pasific ENSO). Mekanisme proses evolusi dari EP-ENSO berkaitan erat

28

dengan proses delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988), sedangkan CP-

ENSO diduga berkaitan dengan proses lokal interaksi laut-atmosfer karena tidak

melibatkan pergerakan lapisan termoklin.

Gambar 11 Pola spasial EOF dari data anomali SPL yang telah dikurangkan

dengan (a) indeks Nino4 untuk tipe El Nino EP-ENSO hasil EOF

Mode pertama terbesar dengan keragaman 36% dan (b) indeks

Nino1+2 untuk tipe El Nino CP-ENSO hasil EOF Mode pertama

terbesar dengan keragaman 38%, diadaptasi dari Kao dan Yu

(2009).

Kug et al. (2009) dengan menggunakan data SPL Extended Reconstructed

Sea Surface Temperature versi 2 (ERSST V2) hasil reanalisis dari Smith dan

Reynolds (2004), telah mengidentifikasikan terdapat dua tipe El Nino dari tiga

tipe El Nino yang ditemukannya antara tahun 1970-2005. Analisis yang

digunakan adalah dengan melakukan komposit pada bulan September sampai

Februari tahun berikutnya dari data SPL dimana indeks Nino3 memiliki nilai

diatas simpangan baku dan hal yang sama dilakukan untuk komposit dengan

indeks Nino4 dan Nino3.4. Hasil analisis tersebut didapatkan 12 periode

terjadinya El Nino dan dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu anomali SPL

yang terpusat di tengah Nino3, Nino4 dan Nino3.4.

Kelompok pertama terjadi anomali positif SPL yang kuat di perairan

sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yaitu pada tahun 1972-73, 1976-77,

1982-83 dan 1997-98 (Gambar 12 kolom tengah) dan tipe El Nino ini diberi nama

29

oleh Kug et al. (2009) yaitu tipe El Nino Cold Tongue El Nino (CT El Nino). Tipe

CT El Nino ini cenderung sama dengan pola anomali SPL dari El Nino

konvensional yang telah diteliti sebelumnya (McPhaden et al., 1998; Neelin et al.,

1998; Wallace et al., 1998). Kelompok kedua terjadi anomali positif SPL yang

terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dimana anomali SPL di sebelah

timur tetap memiliki anomali positif SPL dengan nilai yang tidak terlalu besar.

Tahun kejadiannya adalah 1977-78, 1990-91, 1994-95, 2002-03 dan 2004-05,

kemudian tipe El Nino ini diberi nama Warm Pool El Nino (WP El Nino).

Kelompok ketiga terjadi pada tahun 1986-87, 1987-88 dan 1991-92 dan Kug et al.

(2009) menyebutnya sebagai tipe El Nino campuran, sehingga tipe El Nino ini

tidak dikelompokan dan tidak termasuk dalam dua kelompok dari tipe CT El Nino

maupun WP El Nino. Hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa

terdapat perbedaan yang nyata pola sebaran anomali SPL antar tahunan di tengah

ekuatorial Samudera Pasifik dari pola El Nino konvensional (WP El Nino), tipe

WP El Nino pada pada beberapa dekade terakhir lebih sering terjadi dengan

variabilitas yang besar dan dampak yang ditimbulkan oleh WP El Nino baik

secara global maupun regional sangat berbeda dengan El Nino konvensional.

Kug et al. (2009) dengan menggunakan data reanalisis curah hujan, tekanan

udara, angin dan tinggi muka laut menelaah lebih jauh lagi perbedaan proses

dinamika interaksi laut-atmosfer antara WP El Nino dengan CT El Nino. Hasilnya

didapati bahwa terdapat perbedaan yang besar peranan angin zonal terhadap

anomali SPL dari proses terbentuknya CT El Nino dan WP El Nino. Anomali

angin timuran di sebelah timur dan angin baratan di sebelah barat ekuatorial

Samudera Pasifik berperan besar dalam pembentukan WP El Nino, sedangkan

anomali angin baratan sangat berperan dalam pembentukan CT El Nino. Respon

atmosfer di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada WP El Nino lebih besar

berpengaruh dalam menurunkan SPL melalui proses evaporasi, sedangkan pada

CT El Nino proses adveksi vertikal lebih berperan dalam perubahan SPL. Oleh

karena itu, dampak dari WP El Nino akan dirasakan secara global karena

melibatkan proses interaksi laut-atmosfer yang besar. Pengaruh perubahan tinggi

muka laut lebih berperan pada CT El Nino dibandingkan dengan WP El Nino,

sehingga mekanisme transpor bahang di lautan lebih dominan dipengaruhi oleh

30

CT El Nino dan dapat memicu terjadinya La Nina. Adveksi zonal SPL pada WP

El Nino yang diperankan oleh arus menjadi sangat penting pada saat WP El Nino

mulai melemah, selain respon atmosfer terhadap penurunan SPL melalui proses

evaporasi.

Gambar 12 Komposit anomali SPL (garis kontur putih) antara bulan September

sampai Februari tahun berikutnya selama tahun 1970-2005 dengan

interval 0.3 K. Biru sampai merah menunjukkan anomali SPL yang

telah dinormalkan. Kolom kiri memperlihatkan pola spasial tipe

WP El Nino, tengah tipe CT El Nino dan kanan tipe El Nino

campuran. Kotak hijau menunjukkan Nino4 (kiri), Nino3 (tengah)

dan Nino3.4 (kanan). Gambar diadaptasi dari Kug et al. (2009).

Kug et al. (2010) melanjutkan penelitiannya mengenai proses dinamika CT

El Nino dan WP El Nino dengan menggunakan luaran model GFDL CM2.1

(Delworth et al., 2006; Wittenberg et al., 2006) selama 500 tahun simulasi dan

mendefinisikan periode El Nino jika nilai dari indeks Nino3 dan Nino4 lebih besar

dari 0.5°C selama bulan November sampai Januari (NDJ). Berdasarkan kriteria

tersebut diperoleh 205 kejadian El Nino dan dipilah kembali untuk tipe WP El

Nino dengan syarat jika nilai indeks Nino4 lebih besar dari indeks Nino3 dan

sebaliknya jika nilai dari Nino3 lebih besar dari Nino4 didefinisikan sebagai tipe

CT El Nino. Hasil pengelompokan tersebut diperoleh 121 kejadian WP El Nino

31

dan 84 kejadian CT El Nino. Komposit dari kedua tipe El Nino tersebut sangat

berbeda baik dari posisi maupun besarnya anomali positif SPL (Gambar 13). Pada

CT El Nino anomali positif SPL terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera

Pasifik sebesar 2.5 K, sedangkan pada WP El Nino cenderung terpusat di

internasional date line (160°BT) sebesar 1.0 K dan menyebar sampai ke sebelah

timur dengan nilai yang lebih kecil.

Gambar 13 Komposit anomali SPL (°C) periode CT El Nino (a) dan WP El

Nino (b) pada bulan NDJ selama periode 500 tahun, diadaptasi dari

Kug et al. (2010).

Pada penelitiannya Kug et al. (2010) memperoleh kesimpulan yang sama

mengenai keberadaan dan besarnya nilai anomali SPL dari dua tipe CT El Nino

dan WP El Nino dengan menggunakan data luaran model GFDL CM2.1 dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukannya (Kug et al., 2009). Selain itu dengan

memperhitungkan perbandingan antara adveksi SPL zonal dan adveksi SPL

vertikal, diperoleh kesimpulan bahwa CT El Nino memiliki proses discharge yang

kuat sehingga secara dinamis ketika periode CT El Nino mulai melemah dapat

mengontrol mekanisme umpan balik dari fase panas ke fase dingin untuk

terbentuknya kejadian La Nina. Sementara itu, WP El Nino memiliki proses

discharge yang lemah karena pola distribusi anomali SPL yang menyebar merata

dengan nilai anomali positif yang kecil sehingga tidak memungkinkan untuk

terjadinya periode La Nina setelah selesainya periode WP El Nino. Kondisi ini

32

diperkuat dengan hasil dari perhitungan adveksi SPL zonal dari WP El Nino yang

cenderung terjadi secara perlahan karena adanya thermal damping process

(terhambatnya transpor bahang melalui mekanisme adveksi di lautan).

Kug et al. (2010) menyampaikan bahwa WP El Nino berperan besar dalam

menentukan perubahan kondisi normal SPL di Samudera Pasifik secara

klimatologi karena pada beberapa dekade terakhir WP El Nino sering terjadi

sehingga akan meningkatkan SPL dalam siklus jangka panjang. Korelasi antara

indeks Nino4 dengan anomali SPL pada tipe WP El Nino selama 500 tahun cukup

kuat sebesar 0.7 dimana telah diketahui sebelumnya bahwa indeks Nino4

memiliki kecenderungan peningkatan suhu dari kondisi normalnya pada siklus

dekadal dan antar dekadal. Kug et al. (2010) menyampaikan bahwa terdapat dua

kemungkinan yang terjadi dengan eratnya interelasi antara Nino4 dan tipe WP El

Nino yaitu pertama, WP El Nino mempengaruhi variabilitas siklus dekadal di

tropikal Samudera Pasifik melalui mekanisme efek penyesuaian ketidak-teraturan

(Nonlinier rectification effect) yang sebelumnya telah diteliti keberadaan pola

dekadal ENSO di Samudera Pasifik (Timmermann, 2003; Rodgers et al., 2004;

An et al., 2005; An, 2009). Kemungkinan kedua adalah peningkatan suhu di

Samudera Pasifik dalam jangka panjang menyebabkan tipe WP El Nino lebih

sering terjadi pada beberapa dekade terakhir karena peranan adveksi SPL zonal

sangat besar dalam proses pembentukan WP El Nino.

Harrison dan Chiodi (2009) dengan menggunakan data Optimum

Interpolation Sea Surface Temperature NOAA (OISST-NOAA) telah

mengidentifikasikan terdapat tiga tipe pola sebaran anomali SPL jika dikaitkan

dengan kejadian angin baratan (Westerly Wind Event/WWE) yang berasosiasi

dengan EL Nino pada lokasi yang berbeda di sepanjang ekuatorial Samudera

Pasifik. Lokasi kejadian WWE tersebut terdapat pada tiga petak yaitu petak

pertama pada 130°BT-155°BT, kedua pada 155°BT-180°BT dan ketiga pada

180°BT-150°BB dan masing-masing petak berada pada 5°LS-5°LU. Kriteria

komposit yang digunakan adalah selisih dari anomali SPL hari ke 60 dan ke 20

dimana pada tahun yang bersangkutan nilai indeks Nino3 mendekati normal

(Nino3 ≤ 0.75°C) dan terdapat kejadian WWE di masing-masing petak. Periode

33

data yang digunakan dikelompokan menjadi dua yaitu pada periode 1986-1998

dan 1999-2006 (Gambar 14).

Gambar 14 Komposit selisih anomali SPL (°C) antara hari ke 60 dengan hari

ke 20 pada saat kejadian angin baratan (Westerly Wind

Event/WWE) dimana nilai indeks Nino3 mendekati normal (Nino3

≤ 0.75°C) pada tiap petak (kotak hitam) (a) tipe W (barat/western)

pada 130°BT-155°BT, (c) tipe C (tengah/central) pada 155°BT-

180°BT dan (e) tipe E (timur/eastern) pada 180°BT-150°BB,

masing-masing pada 5°LS-5°LU periode tahun 1986-1998. (b), (d)

dan (f) sama seperti (a), (c) dan (e) pada periode tahun 1999-2006,

diadaptasi dari Harrison dan Chiodi (2009).

Harrison dan Chiodi (2009) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

terdapat perbedaan pola sebaran anomali SPL saat terjadi El Nino pada beberapa

dekade terakhir dan terdapat tiga tipe anomali SPL yang berasosiasi dengan El

Nino yaitu tipe W, C dan E dimana angin baratan terjadi di sebelah barat, tengah

dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Pada tipe W, C dan E antara periode tahun

1986-1998, anomali positif SPL dominan terpusat di sebelah timur ekuatorial

Samudera Pasifik, sedangkan antara periode 1999-2006 cenderung berada di

tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Pola anomali SPL yang terjadi sangat

berbeda, sedangkan keberadaan WWE sebagai gaya yang menyebabkan

perpindahan kolam air hangat tetap ada meskipun Harrison dan Chiodi (2009)

tidak mengelompokan WWE berdasarkan kekuatan anginnya, hanya keberadaan

kejadian WWE terhadap arah angin dari barat ke timur di sepanjang ekuatorial

34

Samudera Pasifik. Harrison dan Chiodi (2009) menduga penyebab terjadinya pola

anomali SPL antara periode 1999-2006 adalah menguatnya angin timuran di

sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada beberapa dekade terakhir. Pada

tipe W, C maupun E, baik sebelum tahun 1998 maupun sesudah tahun 1999,

periode El Nino yang terjadi tidak berkaitan erat dengan aktifitas MJO yang

memperkuat terjadinya WWE karena pada beberapa periode El Nino terdapat fase

MJO aktif dan beberapa periode lainnya juga ditemukan fase MJO yang tidak

aktif. Pada periode sebelum tahun 1998, WWE tipe W, C atau E memiliki

kecenderungan terjadinya tipe El Nino konvensional, sedangkan setelah tahun

1999 terjadi perubahan karakteristik El Nino antara tipe W, C dan E meskipun

anomali positif ketiga tipe tersebut berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik.

Tipe W memiliki anomali positif SPL berada di sebelah barat, tipe C menyebar

dari tengah sampai timur dan tipe E terpusat di tengah ekuatorial Samudera

Pasifik.

Weng et al. (2009) dengan menggunakan data HadISST (Rayner et al.,

2003), National Centre for Environmental Prediction/National Center for

Atmospheric Research (NCEP/NCAR) (Kalnay et al., 1996) dan Global

Precipitation Climatology Project (GPCP) versi 2 (Adler et al., 2003)

memperlihatkan terjadinya perbedaan anomali iklim secara global antara El Nino

konvensional dan El Nino Modoki (Ashok et al., 2007) dengan adanya pola

sebaran anomali positif dan negatif SPL yang berbentuk “bumerang” melintang

dari lintang sedang di BBU sampai BBS (Gambar 15d), sedangkan pada El Nino

konvensional hanya terjadi pola “bumerang” pada anomali negatif SPL saja

(Gambar 15a). Pola spasial anomali SPL yang berbeda akan mengakibatkan zona

konveksi pada saat terjadi El Nino dan El Nino Modoki akan berbeda pula.

Pergeseran ITCZ dan SPCZ pada saat El Nino Modoki berperan penting dalam

menentukan zona konveksi yang mengakibatkan terjadinya anomali curah hujan

(Gambar 15e), sedangkan ITCZ hanya berperan pada saat terjadi El Nino

konvensional (Gambar 15b). Anomali kelembaban spesifik, kecepatan potensial

dan pola sirkulasi Walker pada lapisan troposfer memperlihatkan perbedaan yang

besar antara El Nino konvensional (Gambar 15c) dengan dua kutub (dipole) dan

El Nino Modoki dengan tiga kutub (tripole) pada parameter kelembaban spesifik

35

(Gambar 15f). Zona konveksi pada El Nino konvensional berada di sebelah timur,

sedangkan pada El Nino Modoki terdapat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik

(180°BT). Pola iklim yang berbeda antara El Nino konvensional dan El Nino

Modoki akan memberikan pengaruh yang besar terhadap dampak yang

ditimbulkannya secara regional maupun global.

Gambar 15 Korelasi parsial antara Nino3 (baris atas) dan EMI (baris bawah)

dengan SPL (°C) (kolom kiri), curah hujan (mm/hari) (kolom

tengah) dan profil melintang ketinggian dan membujur dari

kelembaban spesifik (g/kg) pada 10°LS-10°LU (kolom kanan). (b)

dan (e) tumpang-tindih dengan vektor angin (streamline) dan (c)

dan (f) tumpang-tindih dengan kecepatan potensial dikalikan

dengan -50 untuk mempermudah analisis (kontur dengan interval 4

x 105m

2s

-1) dan vektor angin (streamline), diadaptasi dari Weng et

al. (2009).

Yu et al. (2010) mendefinisikan variabilitas SPL yang berada di sebelah

timur adalah variabilitas SPL Tipe-1 dan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik

adalah variabilitas SPL Tipe-2. Variabilitas SPL Tipe-1 berkaitan dengan

komponen variabilitas antar tahunan SPL yang erat kaitannya dengan El Nino

konvensional dan variabilitas SPL Tipe-2 berkaitan dengan komponen diluar

variabilitas SPL Tipe-1. Data yang digunakan oleh Yu et al. (2010) adalah data

asimilasi dari German Estimating the Circulation and Climate of the Ocean

project (GECCO) (Kohl et al., 2006) dengan mendefinisikan dua buah petak yang

mewakili varibilitas SPL di sebelah timur dan di tengah ekuatorial Samudera

Pasifik. Petak pertama berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik

(5°LS-5°LU, 120°BB-80°BB) yang mewakili variabilitas SPL berkaitan dengan

variabilitas antar tahunan El Nino konvensional disebut Tipe-1 dan petak kedua

36

berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (5°LS-5°LU, 180°BT-140°BB)

yang mewakili variabilitas SPL diluar Tipe-1 dan disebut Tipe-2 (Gambar 16).

Hasil korelasi linier sederhana dengan menggunakan beda waktu antara 12 bulan

sebelumnya sampai 12 bulan sesudahnya dengan interval 6 bulan antara anomali

SPL di Samudera Pasifik dengan petak pertama dan kedua memperlihatkan pola

evolusi anomali SPL untuk Tipe-1 (Gambar 16a-e) dan Tipe-2 (Gambar 16f-j).

Variabilitas Tipe-1 memiliki anomali positif SPL yang menyebar dari

tengah sampai timur ekuatorial Samudera Pasifik yang berasosiasi dengan Osilasi

Selatan (Southern Oscillation) dan memiliki siklus utama antar tahunan antara 4-5

tahun dan siklus lainnya biennial (dua tahunan) antara 2-2.5 tahunan dengan

mekanisme proses fisis yang bekerja dominan dipengaruhi variabilitas suhu pada

kolom laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Berbeda halnya dengan

Tipe-1, pada Tipe-2 dominan memiliki siklus dua tahunan yang berasosiasi

dengan interaksi lokal laut-atmosfer sehingga menghasilkan pola anomali positif

SPL yang terpusat di tengah dan menyebar melalui mekanisme adveksi SPL zonal

ke arah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Pada variabilitas SPL Tipe-2

ini memiliki keterkaitan yang erat dengan anomali SPL di daerah subtropis di

BBU dan BBS, terutama pada BBU dimana anomali SPL yang terbentuk di

perairan sebelah timur laut dan dari arah tenggara Samudera Pasifik di BBS

menyebar ke arah tengah ekuatorial Samudera Pasifik sehingga menimbulkan

anomali surface heat flux forcing (pembangkit fluks bahang permukaan) dan

berasosiasi dengan anomali angin permukaan laut (Gambar 16f-j).

Yu et al. (2010) berpendapat bahwa pembentukan variabilitas SPL Tipe-2

berkaitan erat dengan gaya pembangkit tekanan tinggi di subtropis dimana hasil

penelitian sebelumnya menyatakan bahwa variabilitas antar tahunan di ekuatorial

Pasifik berkaitan erat dengan variabilitas SPL yang berada di daerah subtropis

(Vimont et al., 2003; Anderson, 2003; Chang et al., 2007). Variabilitas SPL Tipe-

2 yang disampaikan oleh Yu et al. (2010) pada prinsipnya adalah merupakan

fenomena yang sama dimana terjadi anomali positif SPL di tengah ekuatorial

Samudera Pasifik dengan penamaan yang berbeda-beda karena belum ada

kesepakatan terminologi yang sama. Larkin dan Harrizon (2005a) menyebut Tipe-

2 ini dengan sebutan El Nino Dateline, Ashok et al. (2007) memberi nama El

37

Nino Modoki, Kao dan Yu (2009), Yeh et al. (2009), Yu dan Kim (2010), Lee dan

McPhaden (2010) dan Newman et al. (2011) menamakan CP-ENSO (Central

Pacific-ENSO), Kug et al. (2009) mendefinisikannya dengan nama WP El Nino

(Warm Pool El Nino), Harrison dan Chiodi (2009) dan Takahashi et al. (2011)

memberi nama Tipe C (Central) dan Kim et al. (2011) menamakan dengan CPW

(Central Pacific Warming).

Gambar 16 Korelasi linier sederhana dengan beda waktu (a)-(e) dan (f)-(j) dari

-12 bulan sampai 12 bulan dengan interval 6 bulan antara anomali

SPL (°C bulan-1

°C-1

) dengan rata-rata anomali SPL pada petak

sebelah timur (5°LS-5°LU, 120°BB-80°BB) untuk variabilitas SPL

Tipe-1 (kolom kiri) dan pada petak di tengah ekuatorial Samudera

Pasifik (5°LS-5°LU, 180°BT-140°BB) untuk variabilitas SPL

Tipe-2 (kolom kanan). Garis hitam pada (h) menunjukkan nilai

variabilitas lokal SPL maksimun pada 12°LS dan 18°LU,

diadaptasi dari Yu et al. (2010).

Yu dan Kim (2010) dari hasil penelitian berikutnya menyampaikan bahwa

terdapat tiga grup pola evolusi dari CP El Nino yaitu grup-1 yang disebut

prolonged-decaying pattern (pola CP El Nino yang berlangsung lama), grup-2

yang disebut abrupt-decaying pattern (Pola CP El Nino yang berlangsung cepat)

dan terakhir grup-3 yang disebut symmetric-decaying pattern (pola CP El Nino

yang simetris). Data SPL yang digunakan untuk membagi kedalam tiga grup pola

38

evolusi CP El Nino berasal dari ERSST V3 dan HadISST antara tahun 1958-2007.

Pada periode data tersebut diperoleh 12 fase CP El Nino (Gambar 17), kecuali

pada periode 1979/80, 1992/93 dan 1993/94 (Gambar 17d, 17h dan 17i) karena

pola sebaran anomali SPL CP El Nino yang terjadi cenderung menyebar ke arah

subtropis yang dikenal dengan sebut pola horseshoe-like (Kao dan Yu, 2009) dan

tidak diikutsertakan pada analisis komposit.

Gambar 17 Rata-rata anomali SPL pada bulan SONDJF (September sampai

Februari tahun berikutnya) pada tahun-tahun terjadinya fase CP El

Nino. (d), (h) dan (i) tidak diikutsertakan kedalam tiga grup yang

dikelompokan karena pola SPL yang terjadi cenderung menyebar

ke arah subtropis, diadaptasi dari Yu dan Kim (2010).

Grup-1 dari CP El Nino terjadi pada tahun 1968/69, 1990/91 dan 1991/92

(Gambar 18a-c) dan hasil komposit anomali SPL dengan menggunakan data

ERSST V3 (Gambar 18j) dan HadISST (Gambar 18m) memperlihatkan pola

evolusi CP El Nino yang sama. Pada grup ini, anomali SPL di tengah ekuatorial

Samudera Pasifik berlangsung lama dan setelah mencapai puncaknya akan diikuti

dengan fase El Nino konvensional dimana massa air hangat berkumpul di sebelah

timur ekuatorial Samudera Pasifik. Perubahan dari fase CP El Nino ke El Nino

39

konvensional mengikuti mekanisme proses recharge-discharge oscillator (Jin,

1997) dimana kedalaman lapisan termoklin berperan besar dalam proses

thermocline feedback sampai berkumpulnya massa air hangat di perairan timur

ekuatorial Samudera Pasifik (Yu dan Kim, 2010).

Berbeda halnya dengan grup-1 CP El Nino, pada grup-2 setelah fase puncak

CP El Nino terjadi, massa air hangat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik

dengan cepat mengalami penurunan SPL sampai mencapai anomali negatif SPL di

sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yang terjadi pada tahun 1963/64,

1977/78 dan 1987/88 (Gambar 18d-f). Hasil komposit anomali SPL pada periode

tahun-tahun CP El Nino grup-2 menunjukkan pola evolusi yang sama baik dengan

menggunakan data SPL dari ERSST V3 (Gambar 18k) maupun data SPL dari

HadISST (Gambar 18n). Setelah fase puncak CP El Nino grup-2 ini akan diikuti

oleh fase La Nina atau fase netral/normal. Yu dan Kim (2010) berpendapat bahwa

mekanisme proses perubahan dari fase puncak CP El Nino pada grup-2 ini ke fase

La Nina atau netral sama halnya dengan CP El Nino pada grup-1.

Gambar 18 Pola evolusi anomali SPL dari grafik melintang terhadap waktu di

sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik antara 5°LS-5°LU pada

tahun-tahun terjadinya CP El Nino dari grup-1 (a-c), grup-2 (d-f)

dan grup-3 (g-i) dari bulan Juli sampai Juni tahun berikutnya. (J),

(k) dan (l) hasil komposit anomali SPL pada masing-masing grup-

1, grup-2 dan grup-3 dengan menggunakan data SPL dari ERSST

V3 dan (m), (n) dan (o) dengan menggunakan data dari HadISST,

diadaptasi dari Yu dan Kim (2010).

40

Grup-3 CP El Nino yaitu pada tahun 1994/95, 2002/03 dan 2004/05

(Gambar 18g-i) dimulai dari kondisi normal SPL di sepanjang ekuatorial

Samudera Pasifik kemudian massa air mulai menghangat di tengah dan diikuti

dengan menurunnya SPL di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Ketika

mencapai puncaknya, CP El Nino grup-3 ini memiliki anomali positif SPL dari

tengah ekuatorial sampai ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik.

Setelah mencapai puncaknya massa air hangat ini akan kembali ke posisi

normalnya dimana massa air hangat berada di perairan timur ekuatorial Samudera

Pasifik. Sejak CP El Nino grup-3 mulai terbentuk sampai kembali ke kondisi

normalnya, pola evolusi anomali SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik

terjadi secara simetris. Hasil komposit anomali SPL dengan menggunakan data

SPL dari ERSST V3 (Gambar 18l) dan HadISST (Gambar 18o) juga

memperlihatkan pola evolusi yang sama. Yu dan Kim (2010) berpendapat bahwa

dinamika proses fisis yang berkerja selama proses terjadinya CP El Nino grup-3

ini melibatkan umpan balik dari interaksi laut-atmosfer yang besar.

Lee dan McPhaden (2010) memperkuat pendapat tentang keberadaan tipe El

Nino dengan anomali positif SPL yang berada di tengah ekuatorial Samudera

Pasifik dan meningkatnya intensitas kejadian CP El Nino pada kurun waktu 3

dekade terakhir. Terjadinya CP El Nino bukan disebabkan oleh berubahnya

kondisi normal SPL (background SPL) di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik,

tetapi CP El Nino terjadi secara alamiah dan cenderung perubahannya karena

adanya variabilitas alamiah peralihan dari siklus dekadal ke siklus multi dekadal

(McPhaden dan Zhang, 2002; Lee dan McPhaden, 2008) atau perubahan yang

terjadi karena faktor antropogenik dari peningkatan gas-gas rumah kaca selaras

dengan periode pemanasan global (Yeh et al., 2009). Kesimpulan tersebut diambil

oleh Lee dan McPhaden (2010) setelah melakukan analisis dengan menggunakan

data observasi in-situ dan satelit SPL dari Reynolds’s Group for High Resolution

SST (GHRSST) Level 4 AVHRR Optimal Interpolation (OI) yang telah

diasimilasi antara tahun 1982 sampai Februari 2010 (Reynolds et al., 2007).

Pola CP El Nino yang terakhir diamati pada tahun 2009/10 dari data citra

satelit AVHRR hasil komposit pada bulan Desember sampai Januari (DJF)

dengan jelas memperlihatkan pola CP El nino dengan anomali positif SPL yang

41

terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan berada pada area di Nino4

(Gambar 19a). Lee dan McPhaden (2010) dengan menggunakan data GHRSST

Level 4 telah menghitung anomali SPL dari data rata-rata harian antara tahun

1982-2010 kemudian dihaluskan dengan rata-rata bergerak tiga bulanan dan

dirata-ratakan pada bulan DJF pada tahun-tahun terjadinya El Nino dan La Nina

pada tiap petak di Nino4 dan Nino3.

Gambar 19 Anomali SPL (DJF) tahun 2009/10 pada saat terjadi CP El Nino

dari data citra satelit AVHRR (a). Garis pada petak menunjukkan

area Nino4 dan garis pada petak putus-putus menunjukkan area

Nino3 (a). Anomali SST pada Nino4 (b) dan Nino3 (c) pada saat

terjadi EP El Nino (merah), CP El Nino (merah jambu) dan La

Nina (biru) dari data GHRSST Level 4 OI. Garis putus-putus merah

dan biru menandakan trend perubahan anomali SPL pada saat El

Nino dan La Nina ((b) dan (c)), diadaptasi dari Lee dan McPhaden

(2010).

Hasil analisisnya memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan trend

anomali SPL pada Nino4 (Gambar 19b) dan terjadi penurunan trend anomali SPL

pada Nino3 (Gambar 19c) yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

intensitas anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan di

42

sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik terjadi penurunan intensitas anomali

SPL. Oleh karena itu, Lee dan McPhaden (2010) berpendapat bahwa CP El Nino

terjadi bukan karena adanya perubahan pola normal SPL di sepanjang ekuatorial

Samudera Pasifik, tetapi kerena seringnya terjadi anomali positif SPL yang

terpusat di Nino4 dengan nilai anomali positif SPL yang semakin bertambah

besar.

Pendapat senada diutarakan oleh Newman et al. (2011) bahwa CP El Nino

dan EP El Nino adalah merupakan fenomena dari variabilitas alamiah (natural)

yang terjadi secara acak (random) selaras dengan meningkatnya siklus multi

dekadal variabilitas SPL. Pendapat tersebut disimpulkan setelah melakukan

analisis kedalaman lapisan termoklin dan tekanan angin zonal dengan

menggunakan data SPL HadISST selama 42 tahun dengan metode “Patterns-

Based” Multivariate Red Noise melalui pendekatan Linear Inverse Modeling

(LIM). Newman et al. (2011) berhasil memilahkan antara CP El Nino dan EP El

Nino baik secara spasial maupun temporal dengan mempertimbangkan panjang

data yang digunakan dengan bias/gangguan (noise) yang mungkin dihasilkan dari

panjangnya data deret waktu yang digunakan. Gangguan tersebut meliputi white

noise yang sebenarnya merupakan bagian dari suatu fenomena didalam data deret

waktu dan red noise yang memang merupakan gangguan dari data deret waktu

dan bukan merupakan bagian dari suatu fenomena ekstrim di dalam data deret

waktu, tetapi karena kualitas data yang berkaitan dengan proses akuisisi data,

presisi data maupun dalam proses pengolahan data seperti reanalisis maupun

asimilasi data. Setelah membuang red noise dari data yang digunakan, Newman et

al. (2011) menyimpulkan bahwa CP El Nino dan EP El Nino baik secara spasial

maupun temporal merupakan proses dinamika yang alamiah. Oleh karena itu,

sering terjadinya CP El Nino pada beberapa dekade terakhir bukan disebabkan

oleh pola normal anomali SPL (background SST) di Samudera Pasifik yang telah

berubah tetapi CP EL Nino merupakan bagian dari variabilitas alamiah di

Samudera Pasifik yang kemungkinan terjadi karena pengaruh faktor antropogenik

maupun pergeseran siklus dekadal menuju siklus multi dekadal seiring dengan

terjadinya pemanasan global.

43

Kesimpulan dari Newman et al. (2011) memperkuat pendapat dari Yeh et

al. (2011) yang menyatakan bahwa tidak dapat diabaikan kemungkinan semakin

seringnya terjadi CP El Nino disebabkan oleh proses variabilitas di Samudera

Pasifik yang terjadi secara alamiah dengan bergesernya siklus dekadal menjadi

siklus multi dekadal. Pendapat ini disimpulkan setelah Yeh et al. (2011)

melakukan penelitian CP El Nino dan EP El Nino dengan menggunakan Kiel

Climate Model (KCM) yang merupakan model gabungan atmosfer-samudera-laut-

es (Park et al., 2010) selama 4200 tahun data luaran model. Model ini meliputi

model ECHAM5 AGCM (Roeckner et al., 2003) dan model NEMO samudera-

laut-es GCM (Madec, 2008) dan penggabungan kedua model tersebut dengan

OASIS3 (Valcke, 2003).

Gambar 20 Hasil luaran model baroklinik kering setelah hari ke-30 untuk

mengetahui pola pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik

(K/hari). (c) dan (d) pola sebaran pemanasan atmosfer pada

ketinggian 500 mb pada saat terjadi El Nino konvensional dan El

Nino Modoki setelah hari ke 30 (K/hari). (a) dan (b) pembangkit

pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik OLR (W/m2)

pada saat terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki. (e)

dan (f) sumber pendinginan atmosfer secara adiabatik pada saat

terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki (K/hari). Tanda

panah memperlihatkan pola sirkulasi angin pada ketinggian 500

mBar, diadaptasi dari Feng et al. (2010).

Feng et al. (2010) memperlihatkan perbedaan dampak yang disebabkan oleh

El Nino konvensional dan El Nino Modoki dengan menggunakan model

baroklinik kering dari core dynamic model GFDL Atmospheric Global Climate

Model (AGCM) (Held dan Suarez, 1994) untuk mengkaji sumber

pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik. Gaya pembangkit pemanasan

44

yang digunakan berasal dari hasil seleksi data dari regresi parsial antara anomali

OLR dengan indeks Nino3 untuk El Nino konvensional (Gambar 20a) dan dengan

EMI untuk El Nino Modoki (Gambar 20b). Luaran dari model memperlihatkan

dengan jelas terdapat peningkatan suhu udara di atas perairan timur ekuatorial

Samudera Pasifik dan penurunan suhu udara yang terpusat di atas perairan Asia

Tenggara dan sekitarnya pada model El Nino konvensional (Gambar 20c),

sedangkan pada model El Nino Modoki, terdapat penurunan suhu udara di atas

perairan Filipina dan Laut Cina Selatan di bagian barat Samudera Pasifik dan di

atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dan di tengah ekuatorial

Samudera Pasifik terdapat peningkatan suhu udara (Gambar 20d). Kondisi ini

akan mempengaruhi perubahan pola iklim baik secara regional maupun global

antara periode El Nino konvensional maupun El Nino Modoki, karena berikaitan

dengan perubahan sirkulasi atmosfer yang mengiringi keduanya.

Feng et al. (2010) dengan menggunakan skenario model kedua menguji

kemungkinan sumber pendinginan atmosfer secara adiabatik dengan

menggunakan pembangkit pendinginan di atas perairan Asia Tenggara (Gambar

20e) seperti pada waktu awal hasil pemodelan pada El Nino konvensional

(Gambar 20c) dan pada El Nino Modoki dengan pembangkit awal pada Gambar

20f seperti pada Gambar 20d. Hasil luaran model tersebut memperlihatkan pola

pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik hampir sama dengan luaran

pada Gambar 20c untuk El Nino konvensional dan (Gambar 20d) untuk El Nino

Modoki setalah hari ke 30. Feng et al. (2010) menduga bahwa terjadinya El Nino

konvensional dan El Nino Modoki berkaitan erat dengan proses interaksi antara

laut-atmosfer di atas perairan Asia Tenggara dan mempengaruhi pola sirkulasi

atmosfer secara regional maupun global.

Penelitian mengenai ENSO dan keterkaitannya dengan variabilitas dari hasil

interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik masih terus dilakukan karena besarnya

variabilitas itu sendiri dan banyaknya proses dinamika yang terlibat dalam skala

tahunan sampai multi dekadal. Pemicu utama terjadinya ENSO masih menjadi

bahan perdebatan diantara para peneliti sampai dengan saat ini. Berbagai hipotesa

pemicu terjadinya ENSO dengan argumen yang berbeda-beda, selain menambah

pengetahuan mengenai prilaku ENSO itu sendiri dan responnya terhadap laut-

45

atmosfer, juga mengakibatkan semakin sulit ditemukannya keterkaitan dan proses

dinamika pemicu ENSO karena masing-masing peneliti dalam mengkaji ENSO

tergantung cara pandang dan latar belakang pengetahuan dari masing-masing

peneliti itu sendiri. Dinamika ENSO melibatkan variabiltias laut-atmosfer di

Samudera Pasifik dan di sebelah barat melibatkan interaksi dengan daratan

dengan keberadaan ribuan pulau di wilayah Asia Tenggara dan juga berasosiasi

dengan MJO (Pohl dan Matthews, 2007; Tang dan Yu, 2008; Roundy et al.,

2010), TBO (Wu dan Kirtman, 2004; Li et al., 2006; Meehl dan Arblaster, 2011),

Muson (Bracco et al., 2007; Li et al., 2007; Annamalai et al., 2007; Park et al.,

2010; Qian et al., 2010) dan DM (Ashok et al., 2004; Shinoda et al., 2004; Hong

et al., 2008; Luo et al., 2010; izumo et al., 2010). Dinamika ENSO memiliki

kemungkinan untuk berinteraksi dengan dinamika PDO (Roy et al., 2003; Yoon

dan Yeh, 2010) di perairan subtropis di sebelah utara dan dinamika SPCZ (Singh

et al., 2011) di sebelah selatan Samudera Pasifik.

Pemicu terjadinya ENSO yang masih diyakini sampai dengan saat ini adalah

gangguan angin baratan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang terjadi

pada fase awal terbentuknya El Nino (Keen, 1982; Latif et al., 1988; Harison dan

Vecchi, 1997; Verbickas, 1998; Perigaud dan Cassou, 2000; Lengaigne et al.,

2004; McPhaden, 2004). Penyebab kemunculan gangguan angin baratan sebelum

terjadinya El Nino masih belum diketahui (McPhaden, 2004). Eisenman et al.

(2005) membantah bahwa gangguan angin baratan bukan sebagai pemicu awal

terjadinya El Nino, tetapi merupakan hasil interaksi laut-atmosfer yang

dimodulasi dari proses dinamika El Nino itu sendiri dan memperkuat proses awal

El Nino sampai dengan terjadi El Nino kuat. Penelitian mengenai pemicu El Nino

selanjutnya mulai melihat ketidakseimbangan/asimetris (asymmetric) dari pola

spasial (Chen et al., 2008; Cai et al., 2010; Wu et al., 2010), lamanya (Okumura

dan Deser, 2010; Okumura et al., 2011) dan besarnya (An dan Jin, 2004; Su et al.,

2010) anomali laut-atmosfer antara fase El Nino dan La Nina. Ketidakseimbangan

antara fase El Nino dan La Nina baik pola spasial, lamanya dan kekuatannya

diharapkan dapat menelusuri sumber dari pemicu terjadinya ENSO.

Chen et al. (2008) berpendapat bahwa terjadinya asimetris ENSO berkaitan

erat dengan perbedaan anomali SPL di sebelah timur Samudera Hindia dan di

46

sebelah barat Samudera Pasifik yang berdampak pada sirkulasi atmosfer global

dengan memperlihatkan pola spasial korelasi positif (El Nino) dan negatif (La

Nina). Cai et al. (2010) dengan menggunakan data curah hujan berpendapat

bahwa peningkatan curah hujan di Benua Australia berkaitan erat dengan fase La

Nina, sedangkan fase El Nino tidak berpengaruh besar terhadap penurunan curah

hujan. Setelah tahun 1980, fase La Nina tidak secara signifikan mempengaruhi

peningkatan curah hujan tetapi peningkatan curah hujan terjadi pada saat fase El

Nino Modoki dengan pola spasial yang sama sebelum tahun 1980. Wu et al.

(2010) berpendapat bahwa fluks bahang melalui evaporasi (latent heat)

permukaan berperan besar terhadap asimetris ENSO baik secara spasial maupun

temporal, sedangkan anomali curah hujan dan angin permukaan cenderung

simetris. Oleh karena itu, kemungkinan besar pemicu awal terjadinya EL Nino

berkaitan dengan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer.

Okumura dan Deser (2010) menyimpulkan bahwa terjadinya asimetris

ENSO berkaitan dengan daerah konveksi atmosfer yang kuat (atmospheric deep

convection) antara Samudera Pasifik dan Hindia. Daerah konveksi atmosfer yang

terjadi di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan dalam menentukan

lamanya fase El Nino. Okumura et al. (2011) melanjutkan penelitiannya dan

mengusulkan mekanisme lamanya fase El Nino dan La Nina berkaitan dengan

kekuatan anomali angin di atas perairan sebelah barat Samudera Pasifik dan di

sebelah timur Samudera Hindia yang dipicu oleh pemanasan (pendinginan)

lapisan troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia pada

saat terjadi El Nino (La Nina) akibat dari anomali daerah konveksi atmosfer. An

dan Jin (2004) menyimpulkan bahwa asimetris ENSO erat kaitannya dengan

ketidakteraturan dinamika pemanasan (nonlinier dynamic heating) pada lapisan

kedalaman tercampur antara fase El Nino dan La Nina sehingga mempengaruhi

pergerakan massa air ke arah timur (barat) pada saat terjadi El Nino (La Nina).

Ketidakteraturan ini terjadi pula pada arus yang mempengaruhi dinamika adveksi

anomali SPL pada permukaan dan kolom atas perairan. Beda fase yang sangat

bervariasi pada setiap periode El Nino dan La Nina dari hasil korelasi antara

anomali SPL dan arus memperkuat adanya ketidakteraturan dinamika pemanasan

di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik.

47

Su et al. (2010) memperkuat pendapat An dan Jin (2004) bahwa

ketidakteraturan kandungan bahang pada kedalaman lapisan tercampur

mengakibatkan terjadinya asimetris antara fase El Nino dan La Nina. Adveksi

suhu zonal dan meridional sangat berperan dalam ketidakteraturan dari mulai

sebelah barat sampai jauh ke arah sebelah timur perairan ekuatorial Samudera

Pasifik, sedangkan adveksi vertikal berperan sebaliknya untuk menyetabilkan

kandungan bahang di lapisan tercampur. Anomali arus zonal dominan terbentuk

dari arus geostrofik, sedangkan arus meridional terutama terbentuk dari arus

Ekman yang dibangkitkan oleh tekanan angin permukaan laut. Ketidakteraturan

adveksi zonal dan meridional suhu kolom laut berperan dalam memperkuat

(memperlemah) fase El Nino (La Nina).

Hasil dari beberapa penelitian terakhir mengenai pola spasial, lamanya dan

besarnya kondisi asimetris antara El Nino dan La Nina mulai melihat pentingnya

peranan dinamika anomali kandungan bahang di laut dan atmosfer yang mengarah

kepada pemicu terjadinya ENSO. Beberapa peneliti sebelumnya mengkaitkan

keseimbangan bahang di laut dan atmosfer pada saat fase transisi yang tertunda

dari El Nino ke normal (delayed negative feedback) antara ENSO dengan DM

(Annamalai et al., 2005; Kug dan Kang, 2006; Ohba dan Ueda, 2007; Yoo et al.,

2010). Kemungkinan keterkaitan PDO dengan ENSO dari dinamika bahang laut-

atmosfer baik dengan menggunakan data observasi (Chang et al., 2007) maupun

dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer (Alexander et al., 2010)

menjadi penting untuk dipertimbangkan.

2.4 Keseimbangan Bahang

Keseimbangan bahang di laut merupakan penjumlahan dari bahang yang

masuk ke laut dan bahang yang dilepaskan dari laut (QT). Oleh karena itu, untuk

mendapatkan keseimbangan bahang di laut nilai dari QT harus memiliki nilai nol,

karena jika tidak laut akan terus meningkat menjadi lebih panas atau terus

menurun menjadi lebih dingin. Persamaan keseimbangan bahang di laut (Stewart,

2008) adalah QT = QSW + QLW + QS + QL + QV, dimana QSW adalah fluks bahang

dari matahari yang masuk ke laut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, QLW

adalah fluks bahang dari laut ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang

48

panjang, QS adalah flusks bahang dari laut ke atmosfer yang dipindahkan melalui

proses konduksi, QL adalah fluks bahang dari laut ke atmosfer yang dipindahkan

bersamaan dengan proses evaporasi dalam bentuk bahang tersembunyi dan QV

adalah bahang di laut yang dipindahkan dari suatu perairan ke perairan lain

melalui proses adveksi horizontal. Komponen QS dan QL adalah komponen

bahang dari laut yang berperan penting dalam proses interaksi laut-atmosfer dan

memperngaruhi pola sirkulasi atmosfer (Stewart, 2008). Oleh karena itu,

variabilitas dari QS+QL sangat sensitif terhadap perubahan dinamika interaksi

laut-atmosfer terutama dalam kaitannya dengan Muson, DM dan ENSO.

Komponen QSW cenderung konstan karena perairan Asia Tenggara berada tepat di

ekuatorial, komponen QLW cenderung konstan karena di laut perairan Asia

Tenggara tidak mengalami fase es seperti halnya di lintang tinggi dan komponen

QV meskipun cukup penting tetapi tidak berperan dalam interaksi laut-atmsofer.

Nilai anomali QS+QL positif menunjukkan bahwa bahang dari komponen QS dan

QL masih tersimpan di laut, sedangkan negatif berarti telah dilepaskan ke atmosfer

(Stewart, 2008).

Penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak memfokuskan untuk melihat

keterkaitan kandungan bahang di laut dan atmosfer di perairan Asia Tenggara dan

sekitarnya dengan ENSO dan dinamika laut-atmosfer di antara Samudera Pasifik

dan Hindia. Gordon dan Susanto (2001) menyampaikan bahwa Laut Banda

berperan sebagai zona divergen di lapisan permukaan laut melalui mekanisme

Ekman pumping yang mempengaruhi variabilitas lapisan termoklin. Zona ini

memiliki peranan dalam dinamika kandungan bahang pada lapisan permukaan

sehingga Laut Banda disebut sebagai kapasitor bahang yang mengontrol transpor

massa air ke Samudera Hindia. Vranes et al. (2002) mengatakan bahwa di

perairan Indonesia merupakan pusat dari kandungan bahang antara Samudera

Pasifik dan Hindia melalui jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang

berperan dalam mengontrol transpor bahang di laut antara Samudera Pasifik dan

Hindia. Pada fase El Nino transpor bahang ke Samudera Hindia dibawah normal,

sedangkan pada saat La Nina diatas normal. Transpor bahang dari perairan

Indonesia dapat mencapai perairan di barat daya Samudera Hindia yang terbawa

melalui Arus Ekuatorial Selatan dan berasosiasi dengan Arus Agulhas.

49

Neale dan Slingo (2003) dengan menggunakan model iklim HadAM3 (Pope

et al., 2000) mendapatkan kesimpulan bahwa kandungan bahang di perairan

Indonesia berperan besar dalam mengatur keseimbangan bahang di laut dan

atmosfer dan menentukan dinamika sirkulasi atmosfer dalam skala global di

Samudera Pasifik dan Hindia. Neale dan Slingo (2003) menyatakan bahwa

dinamika iklim global sangat ditentukan oleh dinamika iklim skala sinoptik

seperti dinamika angin darat dan laut, dinamika hirologi dan sirkulasi laut dalam

skala lokal dan regional di perairan Indonesia dan sekitarnya karena wilayah ini

terdiri atas daratan dan lautan yang sangat kompleks. Pemanfaatan model laut-

atmosfer diperlukan ketelitian dan ketepatan yang berkaitan dengan

reparameterisasi model dan resolusi model di wilayah ini. McBride et al. (2003)

telah mengkaji hubungan antara sumber kandungan bahang di Asia Tenggara dan

sekitarnya dengan El Nino dengan menggunakan data OLR untuk menentukan

zona konveksi yang berkaitan dengan curah hujan dan data SPL yang berasal dari

Global Sea Ice and Sea Surface Temperature (GISST) dari Met. Office Inggris

(Parker et al., 1995). Hasilnya adalah terdapat keterkaitan yang erat antara OLR

dengan El Nino dari hasil analisis EOF OLR dengan pola spasial korelasi antara

SOI dengan SPL. Sumber bahang yang diterima atau dilepaskan di Asia Tenggara

dan sekitarnya bukan berasal dari siklus tahunan dari aktifitas Muson dari BBU

maupun BBS, tetapi berasal dari perairan Asia Tenggara yang terbawa bersama

dengan dinamika atmofer melalui Sirkulasi Walker.

Qu et al. (2005) memperlihatkan bahwa terdapat transpor dari fluks bahang

di laut selain melalui jalur Arlindo dari Samudera Pasifik melalui Selat Luzon,

Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan Laut Jawa sampai bertemu dengan jalur

Arlindo di Selat Makassar. Transpor bahang melalui jalur ini akan menentukan

dinamika Arlindo dalam memberikan masukan bahang dari Samudera Pasifik ke

Hindia dan kemungkinan memiliki keterkaitan dengan dinamika DM dengan

ditemukannya sinyal siklus antar tahunan selain ENSO dari Samudera Pasifik.

Kuat lemahnya Arlindo dalam mengatur sumber bahang di laut antara Samudera

Pasifik dan Hindia akan terpengaruh dengan adanya jalur baru dari transpor

bahang yang berasal dari Samudera Pasifik melalui Selat Luzon dan Laut Cina

Selatan. Gordon et al. (2003) sebelumnya telah menyampaikan bahwa

50

mendinginnya massa air permukaan di Selat Makassar akibat masuknya massa air

dengan salinitas rendah yang berasal dari Laut Jawa sehingga menghambat

masuknya massa air hangat dari ekuatorial Samudera Pasifik ke Hindia melalui

Arlindo akan mengakibatkan kandungan bahang di Samudera Hindia akan

menurun. Gordon et al. (2003) menyebut masuknya massa air dengan salinitas

rendah dari Laut Jawa ke Selat Makassar dengan istilah freshwater plug.

Qu et al. (2008) melanjutkan penelitiannya mengenai kandungan bahang di

Perairan Indonesia dengan menemukan indikasi terdapatnya rambatan Gelombang

Kelvin yang berasal dari ekuatorial Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan

Lombok sampai ke perairan dalam Indonesia. Sinyal tersebut diketahui dari fase

gerakan massa air ke atas dan gerakan energi massa air ke bawah hasil dari

konvergensi geostrofik melalui mekanisme divergen Ekman yang dibangkitkan

oleh angin. Masuknya Gelombang Kelvin dari ekuatorial Samudera Hindia

sampai ke perairan dalam Indonesia pada lapisan permukaan oleh Qu et al. (2008)

disebut efek buffering yang mengakibatkan terjadinya variabilitas dan dinamika

kandungan bahang di lapisan permukaan. Efek buffering ini terjadi dominan pada

siklus semi tahunan dan berperan besar pada fluks bahang ke atmosfer dan

cenderung tidak mempengaruhi perubahan kandungan bahang di perairan dalam

Indonesia. Fluks bahang yang masuk pada lapisan permukaan sampai dengan

kedalaman 200 m akan dilepaskan pada musim berikutnya seiring dengan gerakan

naik-turun dari efek buffering Gelombang Kelvin sehingga SPL pada periode ini

akan menurun dan mempengaruhi iklim regional dan dinamika iklim di sebelah

tenggara Samudera Hindia.

Qu et al. (2006) memperdalam hasil penelitian sebelumnya mengenai

adanya transpor bahang dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan (Qu et

al., 2005) atau disebut pula South China Sea Throughflow (SCSTF) dengan

menggunakan pemodelan dengan resolusi tinggi dari Ocean General Circulation

Model (OGCM) for the Earth Simulator (OFES) dari Sasaki et al. (2006) dengan

program inti yang berasal dari Modular Ocean Model V3 (MOM3). Hasil dari

penelitiannya menyimpulkan bahwa Laut Cina Selatan berperan sebagai pembawa

bahang dan massa air tawar di lautan (heat and freshwater conveyor) dari

Samudera Pasifik dengan suhu rendah ketika memasuki Selat Luzon pada

51

kedalaman di bawah 1500 m dengan mekanisme gradien tekanan yang

membangkitkan arus dan setelah melewati Selat Luzon massa air dengan suhu

rendah dan salinitas tinggi ini karena adanya kesetimbangan massa mengharuskan

massa air ini naik ke lapisan permukaan laut.

Proses naiknya massa air ini melalui mekanisme percampuran massa air

yang diakibatkan oleh pasang surut (tidal mixing) sehingga mengakibatkan suhu

menjadi meningkat dengan salinitas rendah karena adanya presipitasi dan

masukan air tawar dari daratan. Hasil luaran model memperlihatkan bahwa Laut

Cina Selatan juga berfungsi sebagai kapasitor bahang (heat capacitor), sehingga

Laut Cina Selatan sebagai heat and freshwater conveyor dan heat capacitor akan

memodulasi dinamika laut-atmosfer di perairan Indonesia. Peningkatan tidal

mixing akan mengakibatkan terjadinya penurunan suhu pada lapisan permukaan

telah diuji dengan menggunakan pemodelan di perairan Laut Cina Selatan, Laut

Jawa sampai Laut Banda dan memicu terjadinya DM dan El Nino (Jochum dan

Potemra, 2008; Koch et al., 2010; Brierley dan Fedorov, 2011). Pendapat yang

sama disampaikan oleh Qinyan et al. (2011) tetapi dengan mekanisme proses

penurunan suhu yang berbeda dimana dari hasil penelitiannya dengan

menggunakan data SODA memperlihatkan keterkaitan yang erat antara anomali

kandungan bahang di Laut Cina Selatan pada lapisan permukaan dengan ENSO

dan selaras dengan anomali tinggi muka laut. Anomali suhu pada lapisan

permukaan terjadi penurunan pada saat fase puncak El Nino bersamaan dengan

penurunan tinggi muka laut. Penurunan suhu ini terjadi akibat dari adveksi suhu

secara horizontal seiring dengan melemahnya SCSTF bukan karena proses dari

tidal mixing.

Proses pemanasan di laut dan atmosfer berperan penting dalam

keseimbangan bahang dan sirkulasi di laut dan atmosfer. Dayem et al. (2007) dari

hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pemanasan atmosfer yang berasal dari

bahang di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya melalui proses evaporasi dan

presipitasi akan menguatkan Sirkulasi Walker, sedangkan pemanasan di kolam air

hangat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik akan memperkuat

sirkulasi zonal permukaan laut di sebelah timur Sirkulasi Walker dan memperkuat

upwelling di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Meskipun kolam

52

air hangat yang berada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik merupakan

hasil dari akumulasi yang terbentuk dari Sirkulasi Walker, tetapi kolam air hangat

ini bukan sebagai penentu kuat lemahnya Sirkulasi Walker akan tetapi

pemanasan/pendinginan dari fluks bahang melalui evaporasi yang berasal dari

perairan Asia Tenggara dan sekitarnya yang berperan dalam mengontrol kuat

lemahnya Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik dan Hindia. Oleh karena itu,

semakin besar presipitasi di atas perairan Asia Tenggara akan menguatkan angin

timuran dan memperkuat zona konvergen dengan kandungan uap air yang tinggi

seiring dengan naiknya massa udara dengan fluks bahang melalui evaporasi yang

besar meningkatkan suhu udara di atmosfer dan pada lapisan atas troposfer udara

kering akan dibawa oleh angin baratan ke arah timur Samudera Pasifik bersamaan

dengan menguatnya Sirkulasi Walker. Dayem et al. (2007) mempunyai hipotesa

bahwa penyebab pemanasan/pendingin di atmosfer di atas perairan Asia Tenggara

dan sekitarnya sebagai regulator kuat/lemahnya Sirkulasi Walker dibandingkan

dengan peranan kolam air hangat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera

Pasifik adalah distribusi daratan dan lautan yang sangat beragam di perairan Asia

Tenggara dan sekitarnya. Kontribusi angin laut dan angin darat pada skala lokal

dan regional di perairan dalam Indonesia berkaitan dengan siklus hidrologi di

atmosfer sangat besar dalam mengatur keseimbangan bahang di atmosfer dan laut

di perairan dalam Indonesia.

Keseimbangan bahang di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera

Hindia dan kaitannya dengan dinamika bahang di Teluk Bengal juga memiliki

peranan penting. Montegut et al. (2007) dengan menggunakan Ocean Parallelise

(OPA) Model (Madec et al., 1999) yang dibangun oleh Laboratoire

d’Oceanographie et du Climat, Experimentation et Approches Numeriques

(LOCEAN) telah memodelkan dinamika bahang di laut dan atmosfer di perairan

Teluk Bengal. Siklus dominan bahang di laut dan atmosfer yang diperoleh adalah

dua tahunan semu (quasi biennial) dan antar tahunan, sedangkan siklus tahunan

sedikit berperan dalam variabilitas laut-atmosfer di Teluk Bengal. Mekanisme

proses siklus dua tahunan semu bahang di atmosfer dominan dipengaruhi oleh

angin, tutupan awan dan curah hujan, sedangkan di lautan diperankan oleh

percampuran vertikal dari lapisan kolom laut yang telah menerima bahang dari

53

matahari yang naik ke kolom permukaan di atasnya. Sementara itu, siklus antar

tahunan bahang di atmosfer dominan dipengaruhi oleh angin yang mengatur

variabilitas fluks bahang melalui evaporasi di atas perairan Teluk Bengal,

sedangkan percampuran vertikal berfungsi sebaliknya (negative feedback) dengan

bahang di atmosfer. Jika fluks bahang melalui evaporasi di atmosfer tinggi maka

kandungan bahang di lapisan permukaan akan rendah dan sebaliknya. Oleh karena

itu, perairan Teluk Bengal memiliki peranan penting dalam mengatur

keseimbangan bahang di laut dan atmosfer di perairan sebelah timur Samudera

Hindia yang didominasi oleh siklus dua tahunan semu.

Xie et al. (2009a) menguatkan pendapat dari Montegut et al. (2007) dengan

menggunakan data SPL dari HadISST (Rayner et al., 2006) dan data curah hujan

dari Center for Climate Prediction (CPC) Merged Analysis of Precipitation

(CMAP) NCEP/NCAR (Xie dan Arkin, 1996) yang menyatakan bahwa perairan

sebelah timur Samudera Hindia berfungsi sebagai efek kapasitor (capacitor effect)

bahang di lautan setelah melakukan analisis dengan menggunakan korelasi spasial

dan EOF antara perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan perairan

sebelah timur laut Samudera Hindia. Peranan efek kapasitor ini terlihat dari pola

presipitasi dan kecenderungan angin yang menentukan kandungan bahang melalui

evaporasi di atmosfer antara perairan sebelah timur laut Samudera Hindia dan

sebelah barat laut Pasifik memiliki siklus dua tahunan hasil dari respon ENSO

sebelum dan sesudah fase El Nino dan La Nina. Korelasi antara koefisien ekspansi

SPL Mode kedua EOF dan presipitasi Mode pertama pada bulan Juni sampai

Agustus (JJA) dengan indeks ENSO Nino3.4 pada bulan Desember sampai

Februari (DJF) memiliki koefisien korelasi yang besar memperkuat peranan

Samudera Hindia sebagai kapasitor bahang dengan bahang di laut yang akan

dilepas ke atmosfer 6 bulan sebelum puncak El Nino/La Nina.

Pemodelan dengan model gabungan yaitu model atmosfer dari GFDL

CM2.1 (Delworth et al., 2006; Wittenberg et al., 2006) dan model lautan dari

Regional Ocean Modeling System (ROMS) oleh Shchepetkin dan McWilliams

(2005), PacInd (Antonov et al., 2006; Locarnini et al., 2006) dan IndArc (Kida

dan Richards, 2009) dengan pembanding data observasi SPL dari OISST (Smith

dan Reynolds, 1994), HadISST (Rayner et al., 2003), presipitasi dari CMAP (Xie

54

dan Arkin, 1996), angin dari NCEP/NCAR dan kedalaman lapisan termoklin dari

Simple Ocean Data Assimilation (SODA) oleh Carton et al. (2000), telah

mendemontrasikan hasil pemodelan dinamika bahang di laut dan atmosfer antara

perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, perairan Indonesia dan

perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Annamalai et al., 2010).

Kesimpulan yang didapat bahwa SPL dalam skala regional dan anomali

pemanasan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di sebelah barat

ekuatorial Samudera Pasifik adalah bukan faktor utama penyebab terjadinya El

Nino kuat yang terjadi bersamaan dengan fase positif DM, tetapi penyebab

utamanya adalah anomali SPL (pendinginan) di perairan dalam Indonesia.

Gelombang Samudera yang dibangkitkan oleh angin di sepanjang ekuatorial

Samudera Pasifik yang masuk ke perairan dalam Indonesia adalah bukan

penyebab utama terjadinya anomali SPL di perairan dalam Indonesia, tetapi

penyebab utamanya adalah anomali angin pada skala lokal. Hasil dari luaran

model dan data observasi memiliki kecenderungan yang sama. Kesimpulan lain

yang dihasilkan oleh Annamalai et al. (2010) adalah tidak semua fase DM atau

DM kuat akan diikuti dengan fase El Nino kuat maupun meningkatnya kedalaman

lapisan termoklin di daerah sekitar dateline akan selalu diikuti dengan fase El

Nino kuat. Kesimpulan dari Annamalai et al. (2010) diperkuat dengan pendapat

dari Wittenberg et al. (2006) yang sebelumnya menyatakan untuk mensimulasikan

secara realistik anomali angin baratan yang berasosiasi dengan ENSO diperlukan

ketepatan SPL regional terutama di perairan Indonesia dan mempertimbangkan

siklus dalam musiman (intraseasonal) didalamnya.

2.5 Interaksi Muson, Dipole Mode dan ENSO

Keunikan wilayah Asia Tenggara berakibat variabilitas dan proses dinamika

laut-atmosfer menjadi sangat kompleks. Proses interaksi yang paling dominan di

wilayah ini adalah interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Interaksi antara

Muson dengan DM masih sedikit dipelajari oleh kalangan peneliti, meskipun

demikian terdapat beberapa hasil penelitian yang mengkaji interaksi antara DM

dengan South Asian Monsoon (SAM). Pada sebelah timur regim SAM mencakup

wilayah Indonesia barat, sehingga hasil kajian tersebut dapat dimanfaatkan pada

55

penelitian ini. Kulkarni et al. (2007) menemukan bahwa terdapat korelasi yang

kuat antara aktifitas SAM dengan DM dimana saat fase Muson panas yang sangat

kuat di bulan Juni-Agustus-September (JAS) akan membantu proses pembentukan

fase negatif DM dan pada fase sebaliknya akan membantu proses terbentuknya

fase positif DM. Hasil korelasi dengan menggunakan data dari 1871-2002 antara

curah hujan di regim SAM dengan anomali SPL dan pola sirkulasi Samudera

Hindia, memperlihatkan bahwa pengaruh SAM terhadap DM semakin melemah

setelah tahun 1960.

Fischer et al. (2005) dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer

berhasil menjelaskan bahwa proses dinamika datangnya DM dan ENSO tidak

selalu bersamaan. DM dan ENSO merupakan fenomena yang berdiri sendiri

dimana proses interaksinya terdapat di pertemuan antara sirkulasi Hadley dan

Walker. Terjadinya DM tanpa ENSO ternyata dipicu oleh adanya perubahan

aktifitas Muson di sebelah barat Sumatera dimana anomali angin tenggara dengan

kuat berhembus dari pantai utara Australia yang datang sebelum waktunya pada

saat mulai memasuki musim panas di BBU. Anamoli angin ini mengakibatkan

terjadinya upwelling dan pelemahan Gelombang Kelvin yang menyebabkan

naiknya lapisan termoklin, penurunan SPL dan menurunnya aktifitas konveksi di

sebelah barat Sumatera. Anomali angin ini terus menguat ke arah barat di

sepanjang ekuatorial Samudera Hindia. Perubahan pola Muson ini mengakibatkan

terjadinya anomali sirkulasi Hadley yang mulai bergeser ke arah utara dengan

cepat. Pada saat DM dan ENSO terjadi bersamaan, DM terjadi karena adanya

pergeseran sel sirkulasi Walker ketika ENSO mulai terbentuk yang

mengakibatkan DM terpicu untuk mulai aktif. Kondisi ini disebut fase terkunci

(phase locking) dari DM.

Ashok et al. (2004) sebelumnya telah mengkaji variabilitas curah hujan di

wilayah SAM dengan membandingkan antara kejadian DM dan ENSO yang

terjadi bersamaan maupun secara individual. Ketika DM dan ENSO terjadi

bersamaan akan mereduksi efek kekeringan dari ENSO yang terjadi di tengah dan

sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia. Pada saat ENSO terbentuk, sirkulasi

Walker termodulasi yang mengakibatkan terjadinya daerah divergen di sebelah

barat ekuatorial Samudera Pasifik dan munculnya anomali daerah konvergen di

56

ekuatorial Samudera Pasifik. Perairan Myanmar dan Cina selatan juga terpicu

terbentuknya anomali daerah konvergen. Daerah konvergen ini menyebabkan

terjadinya anomali zona subsidence dan penurunan curah hujan yang

menimbulkan daerah divergen di sebelah timur Samudera Hindia. Daerah

divergen ini kemudian bergerak ke arah barat di sepanjang ekuatorial Samudera

Hindia. Ketika ENSO mulai melemah, terjadi daerah divergen di tengah

Samudera Pasifik kemudian memicu munculnya daerah konvergen di daerah

SAM Samudera Hindia. Pengaruh ENSO terhadap zona subsidence dan

menurunnya curah hujan mulai berkurang. Seiring dengan bergeraknya daerah

konvergen dari tengah ekuatorial Samudera Hindia ke arah barat, kemudian

bergerak menuju utara ketika sampai di sebelah barat Samudera Hindia, daerah

konvergen ini menyebabkan peningkatan curah hujan di sebelah barat India dan

Pakistan. Peningkatan curah hujan ini meredam dampak kekeringan yang

ditimbulkan oleh ENSO di wilayah ini.

Zhang dan Li (2008) melalui analisis komposit dari angin, SPL dan curah

hujan antara fase ENSO dan non-ENSO di Samudera Hindia memperlihatkan

secara jelas perubahan proses dinamika pergerakan ketiga parameter tersebut

terhadap aktifitas South Asian Summer Monsoon dan North Australian Summer

Monsoon serta kaitannya dengan sirkulasi Hadley. Pada fase ENSO

mengakibatkan penurunan SPL di sebelah timur Samudera Hindia dan menyebar

merata sampai di tengah ekuatorial Samudera Hindia. Pada fase non-ENSO terjadi

peningkatan SPL di sebelah barat dan penurunan SPL di sebelah tenggara

ekuatorial Samudera Hindia pada musim panas di BBU. Kolam air hangat mulai

bergerak kembali ke arah timur melalui perairan sebelah utara Samudera Hindia

dan sampai pada perairan barat Sumatera di sekitar perairan utara Australia pada

musim dingin di BBU. Peningkatan SPL di sebelah utara perairan Australia pada

musim panas Australia (austral summer) dan perairan Filipina meningkatkan

aktifitas sirkulasi Hadley regional. Interaksi antara kembalinya fase positif ke

negatif DM memicu aktifitas gerakan arah meridional sirkulasi Hadley dan

berpengaruh terhadap kondisi normal Muson di wilayah BMI.

Berbeda dengan proses yang disampaikan oleh Zhang dan Li (2008), Terray

et al. (2007) dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer melakukan

57

analisis sensitifitas untuk menguji respon Samudera Hindia dengan meningkatkan

dan menurunkan SPL di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia tanpa

melibatkan fase ENSO. Perairan ini penting karena dari hasil penelitian

sebelumnya terdapat anomali SPL dari hasil interaksi antara Muson, DM dan

ENSO. Pada saat gangguan SPL di perairan ini ditingkatkan di akhir musim

dingin di BBU, hasil model memperlihatkan terjadi perambatan ke arah utara

selama musim ini yang meningkatkan curah hujan pada musim panas di India

(Indian Summer Monsoon/ISM) dan akhirnya memicu pola SPL seperti pada fase

negatif DM pada musim gugur di BBU. Model ini sesuai dengan hasil observasi

dari penelitian sebelumnya. Ketika SPL di perairan tenggara Samudera Hindia

diturunkan kondisi sebaliknya terjadi dimana terjadi peningkatan kecepatan angin

ke arah utara mendorong massa air hangat di sebelah barat Sumatera diikuti

dengan terjadinya upwelling, menaiknya lapisan termoklin dan meningkatnya

proses penguapan sepanjang pergerakan massa air hangat di ekuatorial sampai di

perairan sebelah barat Samudera Hindia sehingga terbentuk pola DM positif.

Komponen ENSO kemudian dimasukan kedalam model untuk menguji pengaruh

ENSO positif dan negatif. Proses interaksi antara Samudera Pasifik dan Hindia

melalui mekanisme jembatan atmosfer (Atmospheric Bridge) di atas wilayah

Indonesia (Alexander et al., 2002). Hasilnya memperlihatkan bias model yang

cukup besar dimana terjadi anomali SPL yang sangat tinggi di sebelah tenggara

Samudera Hindia sehingga mengakibatkan tingginya variabilitas pola SPL pada

fase positif maupun negatif DM. Kesimpulan terpenting yang dapat diambil

adalah bahwa fase negatif maupun positif DM dapat terjadi tanpa adanya ENSO.

Terray et al. (2007) menduga anomali SPL di perairan sebelah tenggara dipicu

oleh pengaruh Pulse of Mascarene High (getaran tinggi Mascarene). Getaran

tinggi Mascarene adalah daerah tekanan udara tinggi yang berada di sekitar pulau

di tengah lautan luas atau samudera (Goddard dan Graham, 1999; Feng et al.,

2003). Getaran tinggi Mascarene menjadi parameter penting untuk memprediksi

ISM dan DM beberapa bulan sebelumnya.

Hong et al. (2008) memperkuat pendapat bahwa antara DM dan ENSO

merupakan dua fenomena dengan mekanisme proses yang berbeda satu dengan

lainnya. Analisis komposit dari data SPL, angin dan kandungan bahang laut pada

58

saat fase positif dan negatif DM dibandingkan dengan aktif tidaknya El Nino

memperlihatkan perbedaan yang besar baik secara spasial maupun temporal.

Perbedaan ini membuktikan bahwa antara DM dan ENSO memiliki mekanisme

proses pemicu yang juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada saat fase

positif maupun negatif DM tanpa adanya El Nino, anomali angin ke arah barat di

sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan besar dalam anomali

pembentukan pola SPL yang bergerak dari arah timur menuju barat ekuatorial

Samudera Hindia, sedangkan proses kembalinya kolam air hangat dari perairan

sebelah barat menuju timur mengikuti mekanisme dinamika lautan sampai dalam

keadaan yang stabil.

Pada beberapa dekade terakhir, SPL di daerah tropis Samudera Hindia dan

Pasifik mengalami peningkatan suhu dari kondisi normalnya. Peningkatan suhu

ini akibat dari pemanasan global. Ding et al. (2010) telah melakukan analisis

interaksi antara East Asian Summer Monsoon (EASM) dengan DM dan ENSO

dengan menggunakan dua periode data SPL yang berbeda yaitu tahun 1953-1975

dan tahun 1978-2000. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan data

tahun 1978-2000 korelasi antara indeks EASM dengan SPL di Samudera Hindia

dan Pasifik semakin menguat dibandingkan dengan data tahun 1953-1975.

Peningkatan nilai korelasi ini menunjukkan bahwa proses DM dan ENSO semakin

aktif dan interaksi keduanya dengan aktifitas Muson semakin kuat.

Rao et al. (2010) memperkuat pendapat Ding et al. (2010) dengan

menemukan peningkatan liniear SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera

Hindia pada tahun 2008. Mekanisme yang bekerja dari peningkatan SPL ini akibat

dari pemanasan global disebabkan oleh downwelling Gelombang Rossby dan

adveksi bahang antara laut-atmosfer. Peningkatan SPL di sebelah selatan

ekuatorial Samudera Hindia akan menyebabkan terjadinya zona konveksi dan

terbentuknya anomali sirkulasi antisiklon di Teluk Bengal dan di tengah

Samudera Hindia. Rao et al. (2010) kemudian menguji mekanisme ini dengan

melakukan uji sensitifitas melalui model gabungan laut-atmosfer dengan

meningkatkan SPL dalam kaitannya dengan pemanasan global di sebelah selatan

ekuatorial Samudera Hindia. Hasilnya bahwa peningkatan SPL di sebelah selatan

ekuatorial Samudera Hindia akan bergeser ke tengah Samudera Hindia sampai di

59

ekuator, kemudian bergerak ke perairan sebelah timur Samudera Hindia dan

menuju Teluk Bengal.

Teluk Bengal dan perairan di selatan pantai barat Sumatera memiliki

anomali tersendiri berkaitan dengan interaksi antara Muson, DM dan ENSO.

Yang et al. (2010) telah menemukan interaksi antara Muson dan DM dengan

menghilangkan sinyal pengaruh dari ENSO. Pendekatan yang dilakukan adalah

dengan menggunakan metode EOF. Setelah sinyal ENSO dari data SPL

dihilangkan didapat mode dominan pertama adalah Indian Ocean Basin Mode

(IOBM) yang berinteraksi kuat dengan Muson musim panas di BBU dan mode

dominan kedua sama seperti halnya dengan pola pada fase positif DM dimana

perairan selatan pantai barat Sumatera memiliki variabilitas SPL besar yang

berinteraksi kuat dengan Muson musim dingin di BBU. IOBM ini berkaitan erat

dengan proses delayed relay sinyal ENSO dari Samudera Pasifik. Ketika sinyal

IOBM dihilangkan dari data SPL dan sinyal ENSO diikutsertakan, mode dominan

pertama sama seperti halnya dengan fase positif DM dan ditambah adanya

anomali di Teluk Bengal. Mode ini memperlihatkan keterlibatan ENSO di

Samudera Hindia dimana anomalinya terdapat di Teluk Bengal dan di selatan

perairan barat Sumatera.

Zuluaga et al. (2010) memperkuat pendapat Yang et al. (2010) bahwa Teluk

Bengal memiliki anomali yang berbeda dibandingkan dengan Samudera Hindia

umumnya. Zuluaga et al. (2010) menggunakan data Convective and Stratiform

Heating (CSH) level 3 dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM)

untuk mengkaji variabilitas dalam musiman sampai antar tahun bahang laten di

Samudera Hindia dan kaitannya dengan Muson Asia. SPL yang tinggi, perbedaan

paparan antara daratan dan lautan yang besar dan variasi topografi yang besar

akan menghasilkan pemanasan di atmosfer yang besar dan meningkatkan bahang

latennya. Variabilitas bahang laten yang besar dari siklus dalam musiman sampai

antar tahunan terjadi di atas Teluk Bengal, perairan Barat Sumatera dan perairan

di ekuatorial Samudera Hindia. Interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat

kuat di daerah ini.

Interaksi Muson dan ENSO berperan pula dalam dinamika laut-atmosfer di

perairan timur BMI. Kitoh et al. (1999) telah melakukan pemodelan gabungan

60

laut-atmosfer dengan menggunakan model Coupled General Circulation Model

(CGCM) untuk mengkaji interaksi antara Muson dan ENSO. Muson didefinisikan

dengan perubahan arah angin yang berlawanan. Model ini tidak berhasil

mensimulasikan dengan baik kondisi angin di sebelah barat ekuatorial Samudera

Pasifik dan variasi sinyal Muson tidak terlihat dengan baik dibandingkan dengan

hasil pengamatan data in-situ. Model ini baik untuk mensimulasikan ENSO dan

kaitannya dengan variabilitas antar tahunan. Model ini berhasil mensimulasi

interaksi antara Muson dan La Nina pada semua musim, tetapi kurang baik untuk

mensimulasikan kondisi angin pada saat El Nino.

Pada penelitian lainnya, berpendapat bahwa ketika ENSO mulai terbentuk,

sistem sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik mengalami anomali dari

satu regim sel di musim panas (Juni-Agustus) menjadi dua regim sel di musim

dingin (Desember-Januari). Kedua sel tersebut membentuk posisi simetris di

sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dan Hindia dan pada saat transisi

membentuk posisi asimetris. Kondisi simetris dan asimetris ini disebabkan oleh

TBO dengan siklus dua tahunan. Muson panas (Desember-Januari) berperan pada

saat mulai terjadi ENSO dan membantu terbentuknya posisi asimetris (Kawamura

et al., 2003).

Anomali angin timur dan gangguan sistem Muson di wilayah Indonesia juga

ditemukan oleh Susanto et al. (2001) dimana di perairan selatan Jawa dan perairan

barat Sumatera pada Muson tenggara angin berhembus dari tenggara ke arah barat

laut (Juni-Oktober). Kondisi ini mengakibatkan transpor massa air menjauhi

pantai karena adanya parameter Coriolis dan menimbulkan upwelling di

sepanjang pantai selatan Jawa dan barat Sumatera. Proses upweling ini akan

terhenti ketika arah angin berbalik pada Muson barat daya (November-Desember)

diiringi dengan menguatnya Gelombang Kelvin ekuatorial Samudera Hindia. Pada

saat El Nino, anomali angin timur terjadi pada musim ini diikuti dengan proses

upwelling yang lebih kuat di sepanjang pantai selatan Jawa dan pantai barat

Sumatera. Anomali angin timur ini kemungkinan berkaitan dengan dugaan Terray

et al. (2007) yang menyatakan bahwa fase positif DM dapat terjadi tanpa harus

bersamaan dengan El Nino dimana anomali angin timur ini dipicu oleh adanya

pengaruh getaran tinggi Mascarene. Penguatan Gelombang Kelvin di sepanjang

61

ekuatorial Samudera Pasifik yang disebutkan oleh Susanto et al. (2001) diduga

pada periode tersebut terjadi fase negatif DM.

Pola topografi ternyata sangat berperan dalam sirkulasi atmosfer, laut

bahkan samudera. Kitoh (2007) melakukan penelitian menggunakan uji

sensitifitas dengan model gabungan laut-atmosfer untuk mengetahui seberapa

besar pengaruh topografi terhadap dinamika ENSO di Samudera Pasifik. Ketika

ketinggian topografi daratan diturunkan lebih rendah dari keadaan sebenarnya

akan mengakibatkan melembahnya Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut di

sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Pergerakan Kolam air hangat dari tengah

Samudera Pasifik ke arah barat menuju perairan timur Indonesia melemah.

Kondisi El Nino menjadi lebih kuat, terjadi lebih lama dan siklus terjadinya lebih

cepat. Kondisi sebaliknya terjadi, apabila ketinggian topogarfi dinaikan maka

kembalinya massa air hangat ke perairan sebelah barat Samudera Pasifik ke

kondisi normal menjadi lebih cepat. Siklus El Nino menjadi jarang, terjadi lebih

cepat dan kekuatan dari El Nino melemah akibat menguatnya Angin Pasat

Tenggara dan Timur Laut. Pantulan Gelombang Rossby menjadi melemah

sehingga siklus El Nino jarang terjadi. Pola perubahan variabilitas SPL arah

meridional di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik menjadi lebih besar dan

lebar sehingga memungkinkan teori recharge oscillator (Jin, 1997) berfungsi baik

pada saat El Nino maupun kembalinya kolam air hangat ke sebelah timur perairan

BMI.

Interaksi darat-laut-atmosfer berkaitan erat dengan mekanisme proses

terjadinya DM dan ENSO yang memicu pergeseran fase TBO dari satu tahunan

atau lebih (Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001; Guan dan Yamagata, 2003;

Yuan et al. 2008), selain itu Loschnigg et al. (2003) dari hasil penelitiannya

menyimpulkan bahwa interaksi DM dan Muson merupakan bagian yang penting

dari proses dinamika TBO dengan kecenderungan memiliki siklus dua tahunan

yang berperan penting dalam mengatur pergerakan meridional transpor bahang di

sebelah timur Samudera Hindia dan berasosiasi dengan Monsun dan respon lautan

untuk bergerak ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia. Berbeda halnya dengan

pendapat dari Tamura et al. (2011), dimana hasil penelitiannya dengan

menggunakan analisis korelasi sederhana dan analisis komposit antara Muson

62

musim panas Asia, DM dan ENSO memperlihatkan kondisi sebaliknya bahwa

Muson memberikan sinyal yang kuat dengan siklus dua tahunan dan diduga

adalah siklus dari TBO. Selain itu, DM memberikan kontribusi kepada TBO

dengan memicu pergeseran fase dari ENSO pada musim dingin. Munculnya DM

bersamaan dengan ENSO akan memicu terjadinya ENSO pada satu tahun

berikutnya dengan pola TBO dari hasil pergeseran Muson menjadi siklus dua

tahunan. Kondisi sebaliknya terjadi, jika terjadi ENSO tanpa diiringi dengan DM

tidak mengakibatkan pergeseran siklus Muson menjadi dua tahunan dan tidak

ditemukan pola TBO pada 2 tahun berikutnya.

Peneliti sebelumnya mendefinisikan TBO adalah suatu fenomena dari hasil

interaksi antara laut dan atmosfer dalam skala luas dimana terdapat fase tinggi

SPL pada suatu musim yang mengakibatkan terjadinya konveksi yang besar

diiringi dengan angin kuat yang mengakibatkan terjadi proses penguapan yang

besar dan pada 2 tahun berikutnya terjadi fase dingin dari SPL pada musim yang

sama (Meehl, 1993; Goswami, 1995). Penelitian berikutnya menyimpulkan bahwa

TBO merupakan hasil interaksi antara darat-laut-atmosfer yang berinteraksi

dengan sistem Muson dan berperan dalam pergeseran fase variabilitas SPL di

ekuatorial Samudera Pasifik (Meehl, 1997; Ogasawara et al., 1999). Namun tidak

demikian menurut pendapat dari Tamura et al. (2011) yang menyatakan bahwa

TBO merupakan hasil pergeseran fase Muson dari tahunan menjadi dua tahunan.

Karakteristik darat-laut-atmosfer-samudera wilayah perairan Asia Tenggara

dan sekitarnya dengan enam keunikannya memberikan konstribusi yang besar

terhadap fenomena Muson, DM dan ENSO. Interaksi antara ketiga fenomena

tersebut dengan melihat keunikan wilayah perairan Asia Tenggara mengakibatkan

proses dinamika yang terjadi sangat rumit dan kompleks. Terlepas dari tingkat

variabilitas darat-laut-atmosfer yang besar di wilayah BMI, memberikan

kemungkinan yang besar bahwa pemicu DM dan ENSO serta interaksinya dengan

Muson berada di wilayah BMI. Penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan

hanya terfokus untuk mengkaji secara terpisah dari masing-masing fenomena.

Kajian yang mendalam mengenai interaksi diantara ketiganya sangat diperlukan

untuk mengungkap bagaimana dinamika proses yang berkerja dan indikator apa

63

saja yang dapat mengidentifikasikan kapan DM dan ENSO terjadi serta

bagaimana interaksinya dengan Muson.

2.6 Indikator Laut-Atmosfer

Beragam variabilitas iklim hasil interaksi antara laut dan atmosfer di

Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan perairan Asia Tenggara yang

memberikan dampak regional maupun global harus dapat diidentifikasikan

kedatangannya dengan segera, sehingga dapat dipersiapkan penanganan dampak

negatif yang ditimbulkannya. Fenomena DM di Samudera Hindia, ENSO di

Samudera Pasifik dan Muson di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya yang

memiliki dampak lokal, regional maupun global harus dapat diketahui indikasi

awal kedatangannya dengan mudah, cepat dan tepat. Semakin mudah proses

perhitugan untuk mengetahui awal kedatangannya maka akan semakin cepat

teridentifikasi kedatangnya. Semakin cepat diketahui awal kedatangnnya maka

akan semakin banyak waktu yang tersedia untuk mengantisipasi dampak positif

dan negatif yang ditimbulkannya. Proses perhitungan indikasi dan kecepatan

dalam menyimpulkan kedatangan fenomena tersebut harus pula didukung dengan

ketepatan bahwa memang benar fenomena tersebut akan datang.

Meskipun biasanya memberikan hasil yang lebih tepat, pemanfaatan

teknologi pemodelan biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama dalam

mengeluarkan hasil yang diharapkan tergantung dari kemampuan teknologi

komputasi yang ada. Selain itu, teknologi pemodelan sangat ditentukan oleh

berbagai faktor antara lain solusi numerik yang digunakan, parameterisasi,

diskretisasi, resolusi grid dan syarat batas yang tepat. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan hasil yang mudah, cepat dan tepat maka dikembangkan perhitungan

sederhana dengan parameter yang mudah diamati sebagai prediktor dari indikator

awal kedatangan fenomena yang bersangkutan, sehingga variabilitas terjadi dapat

segera terdeteksi. Pada saat ini terdapat berbagai indikator untuk mendeteksi

kedatangan fenomena yang berada di Samudera Hindia, Asia Tenggara dan

Samudera Pasifik. Indikator-indikator ini disebut sebagai indeks yang dapat

dengan mudah dan cepat untuk mengetahui adanya anomali laut-atmosfer sebagai

64

indikasi awal kedatangan berbagai fenomena yang berada di Samudera Hindia,

Asia Tenggara dan Samudera Pasifik.

Gambar 21 Indeks laut-atmosfer yang berada di BMI, Samudera Hindia dan

Pasifik sebagai indikator awal kedatangan berbagai fenomena laut

dan atmosfer diadaptasi dari berbagai sumber (Webster dan Yang,

1992; Wang dan Fan, 1999; Kajikawa et al., 2010; Saji et al., 1999;

Philander, 1990; Trenberth dan Stepaniak, 2001; Meinen dan

McPhaden, 2001; Ashok et al., 2007). Petak warna hijau (A-F)

menunjukkan rata-rata anomali kecepatan angin zonal pada tekanan

atmosfer 850 dBar (U850) dan 200 dBar (U200) sebagai indikator

Muson, petak warna biru (G-I) menunjukkan indikator rata-rata

anomali SPL (ASPL) pada petak di Samudera Hindia dengan

fenomena dominan DM dan petak warna merah dan ungu (J-P)

menunjukkan rata-rata anomali SPL dan (Q) rata-rata kedalaman

pada suhu 20°C pada petak di Samudera Pasifik dengan fenomena

dominan ENSO. Bulatan titik merah adalah anomali tekanan udara

permukaan yang telah di standarisasikan di Tahiti (p(THT)) dan

Darwin (p(DRW)). Keterangan secara rinci dari masing-masing

indeks terdapat di dalam tulisan.

2.6.1 Indikator Muson dan Variabilitas di BMI

Webster dan Yang (1992) pertama kali merintis untuk membangun indeks

Muson karena berbagai model atmosfer untuk mensimulasikasi ENSO mengalami

gangguan ketepatan dibandingkan dengan data hasil observasi. Gangguan tersebut

terjadi karena anomali Angin Pasat yang berasosiasi dengan zona regim Muson di

sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik meliputi wilayah selatan Asia yang

berinteraksi dengan kekuatan Sirkulasi Walker. Oleh karena itu model atmosfer

65

yang digunakan perlu mempertimbangkan variabilitas Muson yang berinteraksi

dengan siklus dari fenomena ENSO yang diindikasikan kedatangannya dengan

SOI. Webster dan Yang (1992) menganggap penting keterkaitan antara aktifitas

Muson selatan Asia dengan menguat dan melemahnya Sirkulasi Walker yang

berasosiasi dengan ENSO, sehingga mengusulkan untuk memantau aktifitas

Muson dengan menggunakan suatu indeks Muson yang melibatkan dinamika

Sirkulasi Walker. Indeks tersebut disebut Indeks Muson Webster dan Yang

(Webster and Yang Monsoon Index/WYI). WYI dihitung dari selisih rata-rata

anomali kecepatan angin zonal di ketinggian pada tekanan atmosfer 850 mb

dengan 250 mb pada wilayah yang berada di sebelah utara Samudera Hindia yaitu

pada petak E dengan koordinat antara 40°BT-110°BT dan ekuator-20°LU

(Gambar 21). Hasil dari analisis komposit OLR dengan menggunakan WYI

terlihat dengan jelas siklus tahunan dari Muson di wilayah selatan Asia dan

ekuatorial Samudera Hindia, sehingga indeks ini dapat secara independen dapat

mengetahui siklus dari Muson dengan sinyal satu tahunan dan terpisah dengan

SOI.

Wang dan Fan (1999) melihat perbedaan aktifitas Muson di wilayah selatan

Asia dengan di sekitar Filipina. Aktifitas Muson di India, sebelah barat Samudera

Hindia dan daerah tropis di sebelah utara Afrika kuat dipengaruhi oleh daerah

konveksi di Teluk Bengal dan India, sedangkan aktifitas konveksi di sekitar

Filipina kuat mempengaruhi pola Muson di Indocina, Laut Cina Selatan, Laut

Filipina dan wilayah Indonesia. Wang dan Fan (1999) telah memperlihatkan

bahwa OLR diantara kedua wilayah tersebut sangat kecil sekali korelasinya. Oleh

karena itu diperlukan indeks tersendiri untuk zona regim Muson di selatan Asia

yang dipengaruhi oleh aktifitas konveksi di Teluk Bengal dengan indeks yang

mewakili aktifitas konveksi di sekitar Filipina. Wang dan Fan (1999)

mengusulkan dua indeks yaitu Indeks Muson Panas Asia (Asian Summer

Monsoon Index/IMI) yang mewakili aktifitas Muson selatan Asia dan Indeks

Muson Barat Laut Pasifik (Western North Pacific Monsoon Index/WNPMI) yang

mewakili aktifitas Muson Asia Tenggara, Muson Asia Timur dan sebelah barat

ekuatorial Samudera Pasifik. IMI dihitung dari selisih rata-rata anomali kecepatan

angin zonal di ketinggian pada tekanan atmosfer 850 mb pada petak A (40°BT-

66

80°BT dan 5°LU-15°LU) dengan petak B (70°BT-90°BT, 20°LU-30°LU),

sedangkan WNPMI antara petak C (100°BT-130°BT, 5°LU-15°LU) dengan petak

D pada koordinat 110°BT-140°BT dan 20°LU-30°LU (Gambar 21). Kedua indeks

ini dapat memperlihatkan perbedaan dampak curah hujan yang dipengaruhi oleh

Muson Panas India dan Muson Asia Tenggara. Lebih lanjut, Wang dan Fan

(1999) memperlihatkan bahwa IMI memiliki korelasi yang kuat dengan anomali

angin di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang memiliki

siklus antar tahunan dibandingkan dengan WNPMI.

Indeks Muson yang telah dibangun tidak saja hanya terdapat sinyal dari

aktifitas Muson saja tetapi dari indeks tersebut tertangkap pula siklus di atas satu

tahunan (antar tahunan sampai dekadal) dan juga siklus di bawahnya (dalam

musiman sampai musiman). Kajikawa et al. (2010) telah mendefinisikan indeks

Muson untuk wilayah utara Australia dan selatan Indonesia untuk memantau

aktifitas Muson yang berbeda dengan Muson yang berada di BBU. Indeks ini

memiliki korelasi yang kuat dengan siklus antar tahunan dengan ENSO dan

perubahan musim dengan siklus dekadal curah hujan di wilayah Australia dan

selatan Indonesia dan juga memiliki korelasi yang kuat dengan awal masuknya

musim basah dan kering di wilayah Australia. Selain itu, indeks ini tidak memiliki

perbedaan awal masuknya musim pada saat fase kuat maupun fase lemah musim

panas di Australia. Kajikawa et al. (2010) menamakan indeks ini dengan sebutan

AUSMI (Australian Summer Monsoon Index) yang dihitung dari rata-rata anomali

kecepatan angin zonal pada ketinggian dengan tekanan atmosfer 850 mb di petak

F pada koordinat 110°BT-130°BT dan 15°LS-5°LS (Gambar 21).

2.6.2 Indikator DM dan Variabilitas di Samudera Hindia

Variablitas laut-atmosfer di Samudera Hindia tidak saja didominasi oleh

siklus tahunan Muson, tetapi terdapat pula variabilitas antar tahunan yang dikenali

pada akhir abad ke-20. Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) telah

menemukan fenomena di Samudera Hindia dengan siklus antar tahunan seperti

halnya fenomena ENSO yang terjadi di Samudera Pasifik. Mereka berpendapat

sama bahwa perpindahan massa air hangat dari perairan sebelah timur ke arah

barat ekuatorial Samudera Hindia merupakan fenomena tersendiri yang berbeda

67

dengan ENSO dan dimulai dengan terdapatnya anomali angin timuran dan massa

air dingin serta anomali curah hujan dibawah normal di perairan sebelah tenggara

Samudera Hindia di sekitar pantai barat Sumatera. Saji et al. (1999) dan Webster

et al. (1999) memberi nama fenomena tersebut Dipole Mode yang merupakan

fenomena tersendiri di Samudera Hindia dan memiliki proses internal yang

berbeda dengan ENSO. Saji et al. (1999) membangun sebuah indeks sebagai

indikator awal kedatangan DM dari hasil analisis EOF pada Mode kedua dengan

12% keragaman dan total keragaman anomali SPL di Samudera Hindia. Dua

kutub yang terbentuk dari pola spasial EOF menjadi dasar untuk menentukan

perhitungan dari indeks yang disebut Dipole Mode Index (DMI). DMI dihitung

dari selisih rata-rata anomali SPL di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia

pada petak H (50°BT-70°BT, 10°LS-10°LU) dan disebut western tropical Indian

Ocean (WTIO) dengan petak I (90°BT-110°BT, 10°LS-ekuator) yang disebut

southeastern tropical Indian Ocean (SETIO) di sebelah tenggara Samudera

Pasifik (Gambar 21). WTIO dan SETIO merupakan indeks tersendiri dari hasil

rata-rata petak anomali SPL, sehingga DMI dapat dihitung dari selisih antara

WTIO dengan SETIO.

Saji et al. (1999) menyatakan bahwa DM merupakan fenomena yang berdiri

sendiri tanpa melibatkan ENSO di Samudera Pasifik sama seperti halnya pendapat

Webster et al. (1999), meskipun terdapat puncak fase DM dan El Nino kuat yang

bersamaan seperti pada tahun 1972 dan 1997 tetapi terdapat pula puncak fase DM

yang tidak bersamaan dengan El Nino seperti pada tahun 1961, 1967 dan 1994.

Hasil dari korelasi antara DMI dengan Nino3 sangat lemah, sebesar 0.35

menunjukkan bahwa DM dengan ENSO merupakan fenomena yang berbeda.

DMI juga berkorelasi kuat dengan angin zonal di tengah dan sebelah timur

ekuatorial Samudera Hindia, sehingga DM merupakan fenomena yang berkaitan

dengan interaksi laut-atmosfer dengan dinamika proses tersendiri. Webster et al.

(1999) memperkuat pendapat tersebut dengan memperlihatkan hubungan yang

kuat antara DM dengan anomali tinggi muka laut dan curah hujan.

Selain DM terdapat pula fenomena dengan siklus antar tahunan curah hujan

yang terjadi di selatan Benua Afrika (Tyson, 1986; Mason dan Jury,1997) yang

terdeteksi karena adanya anomali SPL di sekitar Arus Agulhas dari sistem

68

Western Boundary Current di perairan barat daya Samudera Hindia sekitar Pulau

Madagaskar (Walker, 1990). Anomali SPL massa air hangat dipantau

menggunakan indeks yang dihitung dari rata-rata anomali SPL pada petak G

(31°BT-45°BT, 32°LS-25°LS) dan disebut indeks SWIO (Gambar 21). Pemicu

menghangatnya massa air di sekitar perairan ini diduga karena pengaruh dari

ENSO (Reason et al., 2000; Behera et al., 2000) yang berkorelasi SOI, meskipun

di perairan ini merupakan daerah upwelling di perairan terbuka yang mengontrol

variabilitas SPL (Xie et al., 2002) dan dipengaruhi oleh dinamika Gelombang

Rossby dari arah timur di bawah permukaan laut (Xie et al., 2002; Schouten et al.,

2002). Pendapat ini berbeda dengan Venzke et al. (2000) yang sebelumnya

menyampaikan bahwa pemicunya adalah adanya anomali angin timuran yang

berasosiasi dengan El Nino.

2.6.3 Indikator ENSO dan Variabilitas di Samudera Pasifik

Philander (1990) mengutarakan bahwa Southern Oscillation berkaitan erat

dengan ENSO sehingga salah satu indikator untuk memantau kedatangan ENSO

adalah dengan menggunakan SOI (Gambar 21). SOI dihitung dari selisih tekanan

udara permukaan antara Tahiti dengan Darwin yang mencerminkan kekuatan

Sirkulasi Walker dan berasosiasi dengan Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat

Timur Laut di atas permukaan laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik.

Melemahnya (menguatnya) Sirkulasi Walker menunjukkan fase awal terjadinya

El Nino (La Nina) seiring dengan melemahnya (menguatnya) Angin Pasat,

sehingga SOI sampai dengan saat ini masih digunakan untuk memantau aktifitas

ENSO.

Indikator ENSO lainnya yang telah lama digunakan adalah indeks klasik

dengan perhitungan sederhana dari anomali SPL pada Nino4 di petak J (170°BB-

120°BB, 5°LS-5°LU), Nino3.4 di petak K (160°BT-150°BB, 5°LS-5°LU), Nino3

di petak L (150°BB-90°BB, 5°LS-5°LU) dan Nino1.2 di petak M (90°BB-80°BB,

5°LS-ekuator) dengan tujuan untuk mengetahui awal kedatangan dan pola evolusi

dari ENSO (Gambar 21). Sebelumnya, NOAA (2003) mendifinisikan fase El Nino

(La Nina) terjadi jika selama 3 bulan berturut-turut rata-rata anomali positif

(negatif) SPL di Nino3.4 diatas 0.5°C dan telah diadopsi oleh WMO region IV

69

sebagai fase terjadinya El Nino (La Nina). Namun pada beberapa dekade terakhir

anomali positif semakin sering terjadi di Nino4 (Larkin dan Harrison, 2005a; Yu

dan Kao, 2007), berbeda dengan El Nino konvensional yang umumnya terjadi di

Nino3 dan Nino3.4 (Rasmusson dan Carpenter, 1982; Wallace et al., 1998). Oleh

karena itu dengan terdapatnya pola evolusi yang berbeda, memotivasi peneliti

untuk mendefinisikan indeks ENSO baru yang lebih mencerminkan pola

perubahan karakteristik evolusi ENSO.

Trenberth dan Stepaniak (2001) telah mengidentifikasikan sebelumnya

bahwa setiap pola evolusi El Nino pada setiap kejadian berbeda-beda, sehingga

indeks klasik El Nino pada Nino3 dan Nino4 tidak mencerminkan perbedaan

evolusi dari El Nino satu dengan yang lainnya karena indeks Nino3 dan Nino4

memiliki korelasi yang sangat besar. Oleh karena itu, Trenberth dan Stepaniak

(2001) mengusulkan indeks baru yang dapat membedakan antara satu kejadian El

Nino dengan kejadian El Nino yang lainnya. Indeks tersebut dinamakan Trans-

Nino Index (TNI) yang dihitung dari selisih rata-rata anomali SPL antara Nino1.2

dengan Nino4 (Gambar 21) dimana korelasi antara TNI dan Nino3.4 hampir tidak

ada keterkaitan sama sekali pada penyimpangan waktu nol, sehingga dengan

menggunakan TNI dapat diketahui pola evolusi El Nino yang berbeda.

Dinamika ENSO tidak hanya dapat diidentifikasikan pada permukaan laut

saja karena dinamika ENSO juga melibatkan lapisan kolom laut dibawahnya dari

proses perubahan lapisan termoklin. Lapisan ini sangat erat kaitannya dengan

perubahan kolam air hangat antara fase El Nino dan La Nina. Meinen dan

McPhaden (2001) mengusulkan sebuah indeks baru ENSO yang diberi nama

indeks Warm Water Volume (WWV) yaitu volume massa air di sepanjang

ekuatorial Samudera Pasifik (120°BT-80°BB, 5°LS-5°LU) pada petak Q dimana

massa air tersebut memiliki suhu diatas 20°C (Gambar 21). Indeks WWV ini

berkaitan erat dengan proses dinamika ENSO yang terjadi pada lapisan termoklin

yaitu paradigma recharge oscillator (Jin, 1997) yang melibatkan interaksi antara

angin zonal, Ekman pumping/suction (downwelling/upwelling) dan transpor

Sverdrup. Indeks ini mempunyai hubungan yang kuat dengan anomali SPL Nino3

pada 7-15 bulan sebelumnya dengan koefisien korelasi antara 0.57-0.7, sehingga

WWV mampu untuk memprediksi awal kedatangan ENSO.

70

Indeks WWV tidak dapat mengetahui perubahan pola evolusi ENSO, tetapi

baik digunakan untuk mengetahui kekuatan dari fase ENSO. Korelasi antara

indeks WWV dengan fase El Nino lebih besar daripada fase La Nina, sehingga

memperlihatkan bahwa terdapat kondisi asimetris antara massa air hangat El Nino

dan La Nina (Meinen dan McPhaden, 2001). Perbedaan ini secara tidak langsung

memperlihatkan adanya kemungkinan perubahan pola evolusi spasial antara fase

El Nino, kondisi normal dan fase La Nina pada periode sebelum dan setelahnya.

Ashok et al. (2007) dari hasil analisis EOF data SPL pada Mode ke-2 ditemukan

pola anomali positif SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik yang menyebar ke

arah BBU dan BBS sampai ke daerah subtropis memperlihatkan bahwa

mekanisme transpor Sverdrup bekerja pada fase El Nino ini yang disebut Ashok et

al. (2007) dengan nama El Nino Modoki.

Pola spasial El Nino Modoki ini sangat berbeda dengan El Nino

konvensional, sehingga didefinisikan sebagai El Nino “semu” yang mirip dengan

El Nino konvensional dengan proses dinamika laut-atmosfer yang berbeda. Oleh

karena itu, Ashok et al. (2007) mengusulkan sebuah indeks baru untuk

menidentifikasikan awal kedatangan jenis El Nino ini. Indeks tersebut diberi nama

El Nino Modoki Index (EMI) dihitung dari petak yang berada di sebelah barat

yaitu petak N (125°BT-145°BT, 10°LS-20°LU), tengah yaitu petak O (165°BT-

140°BB, 10°LS-10°LU) dan timur yaitu petak P (110°BT-70°BB, 15°LS-5°LU)

perairan ekuatorial Samudera Pasifik dengan rumus selisih rata-rata anomali SPL

petak O dengan setengah dari rata-rata anomali SPL petak N dan setengah petak

P (Gambar 21). Ketiga petak ini digunakan karena dari hasil analisis EOF data

SPL pada Mode ke-2 dengan keragaman sebesar 12% dari total keragaman SPL,

ditemukan tiga kutub dengan anomali positif SPL berada di tengah dan negatif

berada di sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik.

Ketiga petak yang digunakan untuk menghitung EMI terlalu luas sehingga

bias dari pengaruh variabilitas lain selain ENSO juga ikut terlibat dalam

perhitungan EMI, sehingga sulit membedakan antara El Nino Modoki dengan El

Nino konvensional dengan hanya memanfaatkan EMI. Atas dasar tersebut, Kao

dan Yu (2009) mengusulkan sebuah indeks yang cukup kompleks dalam

perhitungannya dengan menghilangkan pola linier anomali SPL di Nino1.2

71

dengan tujuan untuk melihat anomali SPL yang murni dari kontribusi ENSO.

Indeks tersebut dibangun dari hasil analisis EOF data SPL dengan koefisien

ekspansi yang dimodifikasi agar sesuai dengan Nino3.4, sehingga dapat

membedakan kekuatan dan lamanya CP El Nino dan La Nina serta EP El Nino

dan La Nina.

EMI masih memiliki korelasi yang kuat dengan Nino3 sehingga Takahashi

et al. (2011) berpendapat bahwa Mode kesatu dan kedua EOF dari Ashok et al.

(2007) bukan mencerminkan dua fenomena yang berbeda, tetapi hanya sekedar

pengaruh ketidak-teraturan dari pola evolusi ENSO. Hal ini dibuktikan oleh

Takahashi et al. (2011) dengan memproyeksikan indeks EMI, Nino3, Nino4,

Nino3.4, Nino1.2, TNI dan kedua indeks baru yang diusulkan kedalam koefisien

ekspansi Mode kesatu dan kedua (PC1 dan PC2), sehingga terlihat

pengelompokan kejadian CP dan EP El Nino yang terpisah dari kedua indeks

yang diusulkan, sedangkan EMI dan EP El Nino masih mengelompok menjadi

satu bagian. Takahashi et al. (2011) mengusulkan kedua indeks baru tersebut

digunakan untuk membedakan CP El Nino dan EP El Nino. Hasil proyeksi dari

PC1 dan PC2 didapat bahwa indeks CP sebanding dengan 1.7 kali Nino4

dikurangkan dengan 0.1 kali Nino1.2, sedangkan EP El Nino sebanding dengan

selisih antara Nino1.2 dengan setengah dari Nino4. Hasil korelasi spasial antara

kedua indeks tersebut dengan kombinasi PC1 dan PC2 sangat besar yaitu dengan

nilai R2 sebesar 0.98 untuk indeks CP El Nino dan 0.95 untuk indeks EP El Nino.

Selain ENSO, di sebelah utara Samudera Pasifik pada lintang tengah dan

subtropis (Gambar 21) terdapat pula fenomena lain dengan pola seperti ENSO

yaitu PDO yang diperkenalkan pertama kali oleh Mantua et al. (1997) dan

terdapat dugaan berinteraksi dengan ENSO (Roy et al., 2003; Chang et al., 2007;

Yoon dan Yeh, 2010, Alexander et al., 2010). PDO dipantau dengan

menggunakan indeks PDO dari koefisien ekspansi Mode kesatu (PC1) hasil

analisis EOF dengan menggunakan data SPL. Hasil korelasi spasial antara PDO

dengan SPL dan tinggi muka laut memperlihatkan pola yang sama dengan pola

spasial SPL dari hasil analisis EOF. Nilai positif (negatif) indeks PDO

menunjukkan di sebelah barat (timur) perairan utara Samudera Pasifik mengalami

72

fase dingin (hangat dan di sebelah timur (barat mengalami fase hangat (dingin)

dengan siklus antara 20-30 tahunan (Mantua et al., 1997).