2. tinjauan pustaka 2.1 film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja,...

26
11 Universitas Kristen Petra 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film Film dianggap lebih sebagai media hiburan daripada media pembujuk. Namun yang jelas, film sebenarnya punya kekuatan bujukan atau persuasi yang besar. Kritik publik dan adanya lembaga sensor juga menunjukkan bahwa sebenarnya film sangat berpengaruh (Rivers, 2004). Menikmati cerita dari film berlainan dari buku. Film memberikan tanggapan terhadap yang menjadi perilaku dalam cerita yang dipertunjukkan itu dengan jelas tingkah lakunya, dan dapat mendengarkan suara para pelaku itu beserta suara-suara lainnya yang bersangkutan dengan cerita yang dihidangkan. Apa yang dilihatnya pada layar bioskop seolah-olah kejadian yang nyata, yang terjadi di hadapan matanya. Penonton film pasif saja karena disajikan cerita yang sudah masak hingga penonton tinggal menikmati (Effendy, 2003, p.207). Sehubungan dalam ukuran, film dibedakan pula menurut sifatnya yang umum (Effendy, 2003, p.210-216) : 1. Film cerita (story film) Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagangan dan diperuntukkan semua publik semua publik di mana saja. Film cerita adalah film yang menyajikan kepada publik sebuah cerita. Sebagai cerita harus mengandung unsur-unsur yang dapat menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang dapat disajikan kepada publik dalam bentuk gambar yang dapat dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan yang merupakan suatu hidangan yang sudah masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur tadi.

Upload: others

Post on 27-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

11 Universitas Kristen Petra

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Film

Film dianggap lebih sebagai media hiburan daripada media pembujuk. Namun

yang jelas, film sebenarnya punya kekuatan bujukan atau persuasi yang besar. Kritik

publik dan adanya lembaga sensor juga menunjukkan bahwa sebenarnya film sangat

berpengaruh (Rivers, 2004).

Menikmati cerita dari film berlainan dari buku. Film memberikan tanggapan

terhadap yang menjadi perilaku dalam cerita yang dipertunjukkan itu dengan jelas

tingkah lakunya, dan dapat mendengarkan suara para pelaku itu beserta suara-suara

lainnya yang bersangkutan dengan cerita yang dihidangkan. Apa yang dilihatnya pada

layar bioskop seolah-olah kejadian yang nyata, yang terjadi di hadapan matanya.

Penonton film pasif saja karena disajikan cerita yang sudah masak hingga penonton

tinggal menikmati (Effendy, 2003, p.207).

Sehubungan dalam ukuran, film dibedakan pula menurut sifatnya yang umum

(Effendy, 2003, p.210-216) :

1. Film cerita (story film)

Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang

lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya

yang tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagangan dan

diperuntukkan semua publik semua publik di mana saja.

Film cerita adalah film yang menyajikan kepada publik sebuah cerita.

Sebagai cerita harus mengandung unsur-unsur yang dapat menyentuh rasa

manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang dapat disajikan kepada publik

dalam bentuk gambar yang dapat dilihat dengan suara yang dapat didengar,

dan yang merupakan suatu hidangan yang sudah masak untuk dinikmati,

sungguh merupakan suatu medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur

tadi.

Page 2: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

12 Universitas Kristen Petra

2. Film Berita (newsreel)

Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang

benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada

publik harus mengandung nilai berita (newsvalue). Sebenarnya kalau

dibandingkan dengan media lainnya seperti surat kabar dan radio sifat

“newsfact” nya film berita tidak ada. Sebab sesuatu berita harus aktual, sedang

berita yang dihidangkan di film berita tidak pernah aktual. Ini disebabkan

proses pembuatannya dan penyajiannya kepada publik yang memerlukan

waktu yang cukup lama. Akan tetapi dengan adanya TV yang juga sifatnya

auditif visual seperti film, maka berita yang difilmkan dapat dihidangkan

kepada dihidangkan kepada kepada publik melalui TV lebih cepat daripada

kalau dipertunjukkan juga di gedung-gedung bioskop mengawali film utama

yang sudah tentu film cerita.

3. Film dokumenter (documentary film)

Istilah “documentary” mula mula dipergunakan oleh seorang sutradara

Inggris, John Grierson, untuk menggambarkan suatu jenis khusus film yang

dipelopor oleh seorang Amerika bernama Robert Flaherly termasuk salah

seorang seniman besar dalam bidang film. Film dokumenternya itu

didefinisikan Grierson sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan”. Berbeda

dengan film berita yang merupakan interpretasi yang puitis yang bersifat

pribadi dari kenyataan-kenyataan. Filmnya yang pertama dan sangat terkenal

adalah Nanook of the North (1922), yang menggambarkan perjuangan sehari-

hari dari sebuah keluarga Eskimo untuk mempertahankan hidupnya di Kutub

Utara.

Titik berat film dokumenter adalah fakta atau peristiwa yang terjadi.

Bedanya dengan film berita adalah bahwa film berita harus mengenai sesuatu

yang mempunyai nilai berita untuk dihidangkan kepada penonton apa adanya

dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Film berita sering dibuat dalam

waktu yang tergesa-gesa karena itu mutunya sering tidak memuaskan. Sedang

untuk membuat film dokumenter dapat dibuat dengan pemikiran dan

Page 3: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

13 Universitas Kristen Petra

perencanaan yang matang. Berbeda pula dengan film cerita yang dapat diolah

dengan unsur kejahatan dan seks, film dokumenter tidak demikian. Karena

itu film dokumenter sering menjemukan akal untuk mengolahnya sehingga

dapat mempersona publik terbatas sekali. Tetapi meskipun demikian usaha ke

arah itu harus dilakukan, tetapi tidak boleh dipaksakan sehingga apa yang

dipertunjukkan menjadi tidak logis.

4. Film Kartun (cartoon film)

Pada tahun 1908 seorang Perancis bernama Emile Cohl telah membuat

film kartun Phantasmagora. Pada tahun 1909 seorang Amerika, Winsor

McCay, menciptakan film kartun yang mengisahkan seekor dinosaurus yang

diberi nama Gertie, dan pada tahun 1913 Ladislas Starevitch dari Uni Soviet

memperkenalkan film kartun berjudul si Belang dan si Semut.

Timbulnya gagasan untuk menciptakan film kartun ini adalah dari para

seniman pelukis. Ditemukannya sinematografi telah menimbulkan gagasan

kepada mereka untuk menghidupkan gambar-gambar yang mereka lukis.

Lukisan-lukisan itu bisa menimbulkan hal-hal yang lucu dan menarik karena

dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan

manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi ajaib.

Titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis. Setiap lukisan

memerlukan ketelitian. Satu per satu dilukis dengan seksama untuk kemudian

dipotret satu persatu pula. Apabila rangkaian lukisan yang 16 buah itu setiap

detiknya diputar dalam proyektor film, maka lukisan itu menjadi hidup.

Sebuah film kartun tidaklah dilukis oleh satu orang, tetapi oleh pelukis-

pelukis dalam jumlah yang banyak.

2.2 Desakralisasi Pada Agama

Desakralisasi adalah proses sosial untuk melepaskan status religius dari isu

dan konflik keagamaan, desakralisasi sebenarnya berbeda dari kasus yang satu

dengan kasus yang lain (Svensson, 2013, p.161). Desakralisasi menurut Svensson

adalah suatu upaya untuk menurunkan sifat religiositas dan mengedepankan

Page 4: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

14 Universitas Kristen Petra

rasionalitas dalam menghadapi suatu konflik. Agama sebagai sesuatu yang mudah

untuk dianggap sakral, namun hal ini dapat membuat suatu konflik karena berbicara

tentang kesakralan berbicara juga sesuatu yang sensitif. Desakralisasi adalah suatu

cara untuk melepaskan pengaruh agama yang berlebihan dan mengedepankan

rasionalitas untuk menghindari konflik. Terdapat kesamaan dan pola yang umum

pada setiap kasus yang berbeda untuk tiap desakralisasi. Maka itu perlu memahami

bagaimana pola dan teori untuk menganalisis desakralisasi. Dalam hal ini

desakralisasi dipakai dalam sebuah pesan. Pesan yang terkandung dalam sebuah film

untuk memberikan pesan bagi masyrakat. Beberapa konteks desakralisasi dipakai

umumnya untuk menjadi solusi bagi masyarakat dengan tingkat religiositas tinggi.

Konsep desakralisasi menurut Paola Partenza ketika ia menyorot tulisan-

tulisan sastra yang sudah dikalahkan oleh zaman. Desakralisasi menurutnya adalah

titik awal atau solusi untuk membuat pemikiran manusia yang penuh khayalan

menjadi pemikiran kritis bagi dunia ini. Caranya dimulai dari beberapa tulisan sastra

yang harus dikembangkan namun tujuannya adalah untuk mengubah pemikiran

masyarakat. Dengan kata lain sastra digunakan untuk menjelaskan perubahan

pemikiran masyarakat yang lebih kritis dan revolusioner (Partenza, 2015).

Konsep desakralisasi menurut Abraham Maslow adalah untuk menurunkan

sifat masyarakat agar lebih punya pemikiran yang lebih terbuka dan tidak takut akan

hal-hal yang dianggap sakral tapi tidak manusiawi. Contohnya adalah saat dokter

melakukan operasi maka ia harus melepaskan segala sesuatu yang bersikap sakral

untuk menyelamatkan nyawa seseorang misalnya saat melakukan operasi payudara.

Desakralisasi inilah yang diperlukan untuk membuka pikiran masyarakat akan hal-hal

yang harus dilakukan daripada menjaga sifat sakral (Maslow, 1966).

Desakralisasi menurut Golpayegani adalah salah satu karakter dari

sekularisme. Desakralisasi dimaksudkan untuk melawan semua sifat manusia yang

mempercayai takhyul. Kepercayaan manusia dalam takhyul adalah penyimpangan

dan kesalahan dan banyak dilakukan karena pengenalan banyak bakal-bakal hal-hal

yang suci. Akar dan tanda-tanda dari sekularisme melahirkan desakralisasi pada

Page 5: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

15 Universitas Kristen Petra

beberapa aspek dari kehidupan manusia termasuk pemisahan hal-hal yang dianggap

suci dari takhyul dan ilusi (Tamimi, 2000).

Secara keseluruhan konsep desakralisasi tidak bisa dilepaskan dari sifat

aslinya yaitu sakral. Sifat sakral berada dalam hampir setiap aspek kehidupan

manusia mulai dari sastra hingga politik. Desakralisasi adalah suatu proses untuk

melepaskan hal-hal yang dianggap suci atau sakral tersebut menjadi lebih masuk akal

untuk dicerna. Pada hal ini peneliti akan memakai konsep desakralisasi dari Svensson

karena konsepnya secara jelas mengacu pada agama seperti dalam film yang ingin

diteliti, yaitu film tentang tokoh agama Katolik. Svensson menjelaskan bahwa

desakralisasi tidak bisa terlepas dari sifat sakral yang dilahirkan dari agama. Untuk itu

perlu untuk menjelaskan secara singkat konsep tentang sakral pada agama.

Durkheim salah satu pengamat sosiologi mengamati pada agama memisahkan

sesuatu dengan hal lain yaitu yang duniawi dan sakral dan menciptakan suatu

kepercayaan atau agama. Pada agama mempunyai 2 ciri yang membuat ia sakral dan

membedakan dengan hal yang duniawi yaitu sifat sakral itu sendiri yang ditunjukkan

sebagai penghargaan pada agama, dan juga praktik-praktik ritual yang dilakukan.

Sifat sakral lahir berdasarkan keadaan manusia yang banyak mengalami kejadian-

kejadian yang bergejolak pada masyarakat sendiri (keadaan kolektif) hingga

masyarakat menciptakan sesuatu yang dianggap kudus seperti adanya istilah tuhan

atau roh seperti sebuah batu, pohon, potongan kayu, rumah, kata-kata, yang

semuanya dapat disakralkan. Ini berdasarkan penelitian terhadap Totemisme yang

dianggap Durkheim sebagai agama tertua. Setiap agama mempunyai 2 unsur yang

membuat ia disebut agama yaitu (Giddens, 1986) :

- Sifat Sakral : yaitu sifat yang dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan, larangan-

larangan, dan batasan-batasan pada suatu obyek.

- Praktek-Praktek ritual : suatu kegiatan yang berfungsi melahirkan kembali

kesadaran masyarakat terhadap yang sakral tersebut. Ritual keagamaan

mempunyai 2 unsur yaitu:

Ritual yang positif : yaitu ritual itu sendiri atau tata cara yang

dilakukan dalam ritual tersebut. Dalam hal ini ritual yang dilakukan

Page 6: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

16 Universitas Kristen Petra

tokoh agama Katolik adalah ibadah Minggu dan hari raya, lalu juga

pelayanan sakramen, maupun ibadah di luar gedung gereja.

Ritual yang negatif : larangan-larangan atau batasan-batasan dalam

ritual positif atau disebut juga dengan pantangan yang harus dilakukan

untuk mempersiapkan diri agar sakral dalam melakukan ritual tersebut.

Dalam hal ini tokoh agama Katolik mempunyai ritual negatif yaitu

dengan menggunakan pakaian hitam atau putih saat ibadah, berada di

mimbar, tidak melakukan kegiatan apapun saat ritual tersebut, dan

sebagainya.

Katolik sebagai sebuah agama memiliki tokoh agama Katolik yang dianggap

sakral karena mewakili sebagai pemuka agama yang berdiri paling depan dan

dianggap sakral. Masyarakat menganggap tokoh agama Katolik ini sakral

dikarenakan ritual positif dan negatif yang mereka lakukan serta sikap kebaikan-

kebaikan yang mereka tunjukkan menjadi nilai tambah yang dapat membuat mereka

menjadi tokoh sakral panutan umat Katolik maupun masyarakat dunia. Kebaikan-

kebaikan yang mereka tunjukkan juga dipertontonkan dalam film-film mempertegas

nilai sakral disertai ritual-ritual yang mereka lakukan dalam film.

2.3 Tokoh Agama Katolik dalam Film

Katolik sudah menjadi bagian dari sejarah media khususnya dalam film.

Katolik banyak mempengaruhi tempat-tempat yang ikonik, cerita yang menarik, dan

tentunya karakter-karakter berkarisma dari tokoh-tokoh Katolik seperti tokoh agama

menjadi alasan mengapa Katolik sangat menginspirasi film-film dunia. Karakter

Katolik, tempat-tempat, dan ritual-ritual telah menjadi inspirasi film sejak era film

bisu. Tokoh agama Katolik seperti pastor dan biarawati sudah banyak memerankan

dalam film sejak film bisu. Sebuah visual yang intens dari agama dengan sistem ritual

dan otoritas. Katolik dan tokoh agama katolik menyatu dengan drama yang menjadi

ikon dalam film. Para pecinta film sudah terbiasa melihat visioner Katolik

berhubungan dengan supranaturalis, pastor lain, dan berkonsiliasi dengan tokoh

politik, begitu juga dengan uskup yang ikut memerangi kejahatan dalam lingkungan

Page 7: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

17 Universitas Kristen Petra

sosial. Para tokoh agama yang menjadi karakter dalam film juga mewakilkan sisi luar

layaknya cara hidup orang Amerika. (McDannell, 2008, p.14). Sebagai contohnya,

anggota-anggota gereja Katolik terwakilkan dalam film Going My Way (1944), lalu

juga kriminal Irlandia dan Italia yang pada era emas adalah perwakilan dari tokoh

kriminalitas saat itu dengan karakter Katolik yang menyatu seperti yang diceritakan

dalam film Angels with Dirty Faces (1938). Tidak hanya itu, ritual Katolik juga

terwakilkan melalui trilogy film Godfather (1972, 1974, 1990) yang menjelaskan

tentang kekuatan ritual tersebut untuk orang yang menghindari lingkungan jahatnya.

Karakter Katolik diwakilkan khususnya pada film yang menggunakan tokoh agama

Katolik digambarkan dengan sangat kuat. Sebelum sensor film secara resmi berakhir

pada tahun 1960-an, penggambaran pendeta-pendeta Katolik, suster-suster, ritual-

ritual dan objek khas Katolik diperhatikan dengan seksama untuk meyakinkan bahwa

film tersebut tidak menyerang gereja. Perjalanan Katolik dalam sebuah film yang

dikuatkan dengan tempat-tempat dan karakter-karakter khas Katolik masih

diabadikan dalam film-film hingga saat ini. Penggambarannya yg terwakilkan dalam

scene pun tidak mengalami perubahan baik dari sisi kostum seperti Pendeta Katolik

mengenakan jubah atau jas hitam yang menggambarkan penyatuan antara kesahannya

dan kemurniannya dengan kekuasaan dunia, serta ada juga pakaian suster dengan

Rosario di luar serta bersikap introvert dan eksklusif. (McDannell, 2008)

Saat Elia Kazan di Film On the Waterfront (1955) ia menyerukan tradisi

sinematik tokoh agama Katolik yang merakyat menggambarkan kekuatan mereka dari

orang-orang yang mereka layani. Seperti film The Cardinal (1963). (McDannel,

2008, p.21). Para tokoh agama Katolik mencapai pengaruh aslinya bukan dari

pengakuan dari orang-orang tetapi dari koneksi mereka dan dari hirarki otoritas

Roma. Protagonis dalam The Cardinal berubah dari seorang pemuda pembantu

pendeta yang diubah oleh pastor jahat di pedesaan Amerika menjadi orang haus

kekuasaan dengan pengalaman spiritual dan politiknya. Pada awal 1960 ini karakter

Katolik meningkat mewakili tokoh-tokoh kenegaraan yang mempunyai kekuasaan

yang bukan terwakilkan sebagai karakter korupsi tapi lebih sebagai tokoh dengan

pengakuan dan berlandaskan komitmen layaknya pendeta-pendeta Katolik. Film-film

Page 8: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

18 Universitas Kristen Petra

tersebut, beserta dengan berbagai macam negara, telah terperangkap dalam kharisma

tokoh Katolik dalam politik.

Katolik mempunyai segalanya dalam sejarah film untuk dipertontonkan

seperti pemusatan dan disiplin strukturnya serta kepatuhan dari tokoh pemuka Katolik

yang dicerminkan dalam film, lalu seksualitas yang dapat dikontrol yang dihasilkan

oleh pekerja bujang seumur hidup seperti Pastor dan Biarawati dan umat yang

produktif, dan sebuah set ritual yang menyatukan rasa candu spiritual dan solidaritas

umat menjadikan budaya Katolik dan tokohnya pas untuk dinikmati dalam sajian

film. Para pembuat film kala itu sangat tereksploitasi sensual yang berlebih, visual,

dan karakter dari cerita Katolik. Mereka mewakili Kardinal dan Paus dalam jubah dan

tali yang tidak pernah mengorbankan kekuatan maskulinitas untuk kemegahan yang

berlebihan. Pendeta-pendeta Katolik mempunyai pertemanan yang intens dengan

semua pria, tetapi hubungan mereka tidak menodai orientasi heterosexual mereka.

Begitu juga dengan hal nya perempuan di Katolik. Pemimpin Katolik seperti Paus

dan Pastor terwakilkan pengaruh mereka diantara politik dunia pria. The Shoes of the

Fisherman (1968), contohnya seperti scene hampir 3 jam pemilihan dan penyematan

Paus Rusia pertama. Pada akhir film, Paus tersebut sukses mencegah Perang Dunia

ke-3. Katolik, pakaiannya, ritualnya, tradisi, nilai-nilai dan struktur otoritas yang

sangat dipakai oleh film Katolik dipakai untuk memerangi kejahatan.

Pada era perang dingin, Perempuan, bagaimanapun juga, adalah hal yang

berbeda. Tahun-tahun perang dingin adalah tahun film biarawati yang didalamnya

terdapat seperti Ingrid Bergman dalam The Bells of St. Mary’s (1945), lalu Audrey

Hepburn dalam Nun’s Story (1959), lalu film terakhir Elvis Presley, dan tentu saja

Change of Habit (1969). Angka menunjukkan bahwa suster-suster Katolik di

Amerika pada tahun 1965 sangat banyak, adalah sebuah gambaran yang ditunjukkan

Amerika. Perempuan-perempuan ini menjadi pegawai di sekolah Katolik,

menjalankan rumah sakit, melayani di misionari luar negeri, berdoa di biara dan

bernegosiasi dengan tokoh agama Katolik yang lain. bekerja di luar rumah

memberikan banyak perasaan personal, spiritual, dan kepuasan professional bagi

suster-suster tersebut. Perempuan-perempuan ini tidak akan memiliki suami dan anak

Page 9: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

19 Universitas Kristen Petra

untuk mengekspresikan komitmen religius mereka dengan berdoa dan bekerja

diantara komunitas Katolik.

Dalam film, biarawati mempunyai peran yang menentukan yang

memantapkan independen mereka dan kemandirian mereka. Dalam tahun 1960

perbedaan pria dan perempuan dalam Katolik adalah saat seorang pria menjadi

pendeta Katolik, pakaian legitimasi dan pemurnian menjadi sebuah kegagahannya.

Saat perempuan bersikap baik dan memakai Rosario, pekerjaan mereka menjadi

terbatas dan introvert. Bagi perempuan, perang dingin tergambarkan untuk

memantapkan semangat independen, dan film bertajuk biarawati mendukungnya

Pengaruh yang digunakan oleh biarawati diwakilkan dalam sifat terbaiknya yaitu

tegas dan memimpin, lalu dalam terburuknya sebagai diktator dan terkadang

menyerang. Dalam beberapa film misalnya seperti The Trouble with Angels (1966),

seorang ibu biarawati menghabiskan waktunya untuk mengejar biarawati yang tidak

bisa diatur Mary Clancy. Dalam Change of Habit, suster Michelle melepaskan

kebiasaannya dan menggunakan rok untuk bekerja di klinik dengan dokter John

Carpenter. Pada akhirnya kita dibiarkan menebak pilihan apa yang ia ambil apakah

kembali pada komitmennya atau pergi bersama dokter tersebut.. Setelah itu hubungan

yang baru yang terbayangkan oleh orang-orang Amerika dimanfaatkan biarawati

untuk mengeksplor perubahan yang terjadi antara ras dan gender. (McDannel, 2008,

p.21-24)

Penggambaran tokoh agama Katolik seperti suster, pastor, uskup, kardinal,

dan pastor dalam film sudah sangat dekat dengan karakter-karakter yang memiliki

kharisma dalam perannya. Kharisma sendiri menurut Max Webber, adalah

pembawaan khusus seseorang yang dapat mengundang ketertarikan orang lain pada

mereka. Kharisma dapat dimiliki oleh tokoh agama dengan cara melakukan tugasnya

sebagai petugas agama dan berbuat kebaikan dalam pelayanannya yang sakral (Potts,

dalam Webber, A History of Charisma, 2009, p.121-122).

Tokoh agama Katolik memiliki 2 karakter dan kebiasaan yang biasanya

terlihat pada mereka dalam menjalankan tugas dan pelayanan sakral, sebagai berikut

(Olahan Penulis, 2016):

Page 10: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

20 Universitas Kristen Petra

1. Ritual

Ritual menjadi aspek yang paling penting dalam tokoh agama Katolik juga

sebagai identitas film tersebut. Film-film pada era tersebut selalu berhasil

dalam ritual mereka seperti doa dan ritual yang terjawab sesuai keinginan

mereka.

2. Sikap

Tokoh agama Katolik saat itu sangat digambarkan mempunyai sifat yang khas

seperti menyatu dengan masyarakat (dalam beberapa film dengan penjahat

sekalipun), punya kharisma dan kekuatan untuk mempersuasi, dapat

memimpin dengan tegas, dan dapat bekerja rajin dimana saja. Sikap yang

sakral juga berlawanan dengan profanisme dan duniawi. Menurut Durkheim

sikap profan yaitu sikap yang berlawanan dengan sifat sakral. Sikap profan

seperti mengutuk, gegabah, bersikap tidak adil, bersumpah yang tidak pantas,

dan sumpah yang jahat (Stapleton, 1913).

Berhasil dalam ritualnya dan bersikap baik membuat mereka menjadi sakral

bagi masyarakat, ditambah pengaruh film yang mencerminkan sikap dari tokoh

agama Katolik (apapun sebutannya). Namun ritual dan sikap dari tokoh agama

Katolik dalam film era saat ini berbeda dengan tahun 1960an dimana film-film yang

masih bernuansa Katolik yang diwakilkan melalui pemuka-pemuka agamanya banyak

ditampilkan. Fenomena ini dapat tergambar melalui representasi tokoh agama Katolik

dalam film saat ini yang dapat dilihat dari sikap, bahasa yang digunakan, pakaian

serta ritual-ritual yang dijalani.

2.4 Representasi

Representasi merupakan konsep yang memiliki beberapa pengertian. Konsep

ini berasal dari proses sosial dari “representing”. Representasi diartikan juga sebagai

proses konsep ideologi yang abstrak dan berubah dalam bentuk yang pasti. Dapat

diartikan cara kita memandang teman terdekat dan yang hanya teman biasa kita akan

lebih mudah jika kita memberikan kejutan ulangtahun pada teman dekat dan teman

biasa. Begitu pula dengan pandangan hidup kita mengenai cinta, perang, dan

Page 11: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

21 Universitas Kristen Petra

sebagainya akan tampak dari hal-hal yang praktis. Representasi adalah konsep yang

dipakai dalam proses pemaknaan sosial melalui penandaan seperti: dialog, tulisan,

video, film, fotografi, dan sebagainya (Hall, 1997, p.15).

Menurut Stuart Hall representasi adalah proses penting yang dipakai untuk

membentuk sebuah kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu konsep yang

menyangkut pengalaman pribadi yang sangat luas. Apabila semua orang dapat

membagi pengalaman yang ama dan berbicara dengan bahasa yang sama, serta dapat

membagi konsep-konsep yang sama maka kebudayaan orang-orang tersebut adalah

sama. (Hall, 1997, p.15).

Menurut Hall terdapat tiga pendekatan dalam representasi di antaranya

(Juliastuti, 2000, p.24) :

1. Pendekatan Reflektif :

Pendekatan ini melihat bahasa memiliki fungsi sebagai cermin yang

merefleksikan makna sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Sebuah

makna bergantung pada sebuah objek baik itu orang, ide, atau peristiwa di dunia

nyata, bahasa berfungsi sebagai cermin yang memantulkan arti sebenarnya.

Contoh pendekatan reflektif adalah kita menyebut bunga mawar adalah bunga

mawar. Tetapi tanda visual membawa sebuah hubungan kepada bentuk dan tekstur

dari objek yang dipresentasikan. Begitu banyak kata-kata, suara, dan gambar yang

harus dimengerti dengan jelas sehingga pemikiran fantasi yang dipikirkan akan

menunjuk ke dunia yang diimajinasikan. Kita dapat menggunakan kata bunga mawar

dalam pengertian sebenarnya, tanaman yang tumbuh di taman tetapi karena kita

mengetahui kode yang terhubung dengan konsep khusus dari sebuah kata atau

gambar.

2. Pendekatan Intensional :

Pendekatan ini melihat bahwa manusia menggunakan bahasa untuk

mengkomunikasikan sesuatu, sesuai dengan cara pandang setiap individu terhadap

sesuatu. Pendekatan intensional mengatakan sang pembicara atau penulis siapapun

Page 12: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

22 Universitas Kristen Petra

yang mengungkapkan pengertiannya yang unik ke dalam dunia dengan memakai

bahasa.

3. Pendekatan Konstruktivis :

Pendekatan ini dipakai untuk mengenali publik dan karakter sosial dari

bahasa. Bahwa tidak terdapat sesuatu yang terdapat dalam diri mereka sendiri

termasuk pengguna bahasa secara individu dapat memastikan makna dalam bahasa.

Sesuatu disini tidak berarti kita dapat mengkonstruksi makna, menggunakan sistem

representasional konsep dan tanda.

Pendekatan konstruktivis tidak menolak keberadaan materi dunia yang

meliputi dimana benda-benda dan orang-orang berada serta simbol praktis dan proses

yang melalui representasi makna dan bahasa dioperasikan. Pendekatan ini melihat

bahwa bukan materi di dunia yang memberikan suatu makna melainkan makna

terbetuk melalui sistem bahasa atau sistem apapun yang kita pakai untuk

mempresentasikan konsep kita. Representasi adalah sebuah praktek kerja yang

memakai objek material dan efek tetapi makna tidak hanya bergantung pada kualitas

material tanda tetapi kepada fungsi simbolik.

Representasi dapat dilihat dari sebuah teks yang di dalamnya berisi tentang

semua bentuk bahasa, tidak hanya kata-kata yang terdapat pada lembaran kertas tetapi

juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan

lain-lain (Sobur, 2006, p.56). Dapat disimpulkan bahwa representasi adalah proses

pemaknaan suatu tanda melalui bahasa.

2.5 Semiotika

Secara etimologis, semiotik berasal dari bahasa Yunani “semion” yang

diartikan sebagai “tanda”. Tanda adalah suatu atas dasar yang dikonvensikan oleh

sosial yang terbangun sebelumnya (Sobur, 2006, p.95). Secara terminologis, semiotik

adalah ilmu yang mempelajari objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan

sebagai tanda. Menurut Umberto Uco, tanda adalah suatu kebohongan, sebab di

dalam tanda pasti tersembunyi sesuatu dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu

sendiri (Sobur, 2006, p.87). Sementara itu, John Fiske mengatakan bahwa semiotik

Page 13: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

23 Universitas Kristen Petra

merupakan studi tentang tanda-tanda dan caranya itu bekerja. Menurut Fiske, terdapat

tiga studi utama yang mempelajari semiotika (Fiske, 2007, p.60) :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang

berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan

cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakan. Tanda adalah

dikonstruksikan oleh manusia yang hanya bisa dipahami oleh manusia

tersebut.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara

berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat

atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk

mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Studi ini bergantung pada

penggunaan kode-kode dan tanda-tanda untuk keberadaan dan bentuknya

sendiri Teori semiotika merupakan teori yang dapat berkembang sesuai

dengan pergantian zaman. Dengan munculnya teori semiotika baru, maka

akan diikuti juga pendapat-pendapat dari tokoh semiotika. Salah satunya

adalah Charles Sanders Peirce (1931-1958), Peirce berpendapat bahwa ia

mengidentifikasi relasi segitiga antara tanda, pengguna, dan realitas eksternal

sebagai model untuk mengkaji makna. Peirce yang dipandang sebagai pendiri

semiotika Amerika, menjelaskan pendapatnya melalui model di bawah ini

(Fiske, 2007, p. 63) :

“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam

beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni

menciptakan dibenak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali

suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya diberi nama

interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu yakni

objeknya” (dalam Zeman, 1977).

Page 14: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

24 Universitas Kristen Petra

Tanda

Interpretant Objek

Gambar 2.1 Unsur Makna dari Pierce

Sumber Fiske, 2007, p.63

Kemudian Pierce menjelaskan bahwa panah dua arah menekankan masing-

masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Tanda

mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri yaitu objek. Ini dapat dipahami oleh

seseorang dan memiliki efek di benak penggunanya yaitu interpretant. Interpretant

bukanlah pengguna tanda melainkan “efek pertandaan yang tepat” yaitu konsep

mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman pengguna terhadap

objek.

2.6 Kode Televisi John Fiske

Menurut John Fiske di dalam bukunya yang berjudul “Television Culture”

bahwa realitas adalah produk pokok yang dibuat oleh manusia. Berdasarkan

pandangannya tersebut ia mengatakan apa yang ditampilkan di layar kaca termasuk

film menunjukan suatu realitas sosial. Dalam buku ini, Fiske membagi tiga level

pengkodean yang berlaku pada film diantaranya :

1. Level Reality

Pada level ini tercakup beberapa kode yaitu tata rias, kostum, penampilan,

lingkungan, perilaku, ucapan, gerakan, ekspresi, suara, dan sebagainya. Selain itu,

John Fiske menambahkan di dalam level ini juga terdapat kode yang berfungsi

menyampaikan informasi tentang sesuatu yang tak ada dan melibatkan penciptaan

pesan atau teks yang terlepas dari komunikator serta situasi, kode ini meliputi

orientasi, anggukan kepala, gestur, postur, gerak mata, dan aspek non verbal

percakapan (Fiske, 2007, p 95).

Page 15: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

25 Universitas Kristen Petra

a) Kostum, tata rias, dan penampilan :

Kostum adalah segala hal yang dipakai oleh pemain beserta seluruh

aksesorisnya. Dalam sebuah film, kostum tidak hanya dipakai untuk menutupi tubuh

melainkan dapat memiliki fungsi sesuai dengan jalan ceritanya. Biasanya kostum

yang dipakai oleh pemain akan disesuaikan dengan setting periode (waktu) dan

wilayah (ruang). Penggunaan kostum dan aksesoris dapat memberikan gambaran

umum tentang karakter dari setiap pemain.

Tata rias di dalam sebuah film memiliki dua fungsi yaitu untuk menunjukan

faktor usia serta untuk menggambarkan wajah bukan manusia (wujud makhluk

halus). Di dalam suatu film tata rias wajib digunakan sebagai pembeda apabila

seorang pemain melakukan dua peran yang berbeda pada satu film

b) Tingkah laku, cara bicara, sikap tubuh, dan ekspresi :

Penampilan seorang pemain film secara umum dibagi menjadi dua yaitu

secara visual dan audio. Secara visual menyangkut aspek fisik yang meliputi gerakan

tubuh dan ekspresi wajah. Ekspresi wajah pemain dapat terbentuk melalui jalan cerita

film, genre, gaya sinematik sineas, bentuk fisik, wilayah (ruang), periode, ras, dan

sebagainya. Penampilan seorang pemain dinilai dengan cara memahami fungsi dan

motivasi karakter sesuai dengan cerita film melalui konteks naratif serta genre.

Selain penampilan, faktor cara bicara juga perlu diperhatikan oleh seorang

pemain. Cara bicara disini meliputi aspek komunikasi bahasa verbal yang akan

dipakai dalam film tersebut. Bahasa bicara biasanya akan disesuaikan dengan wilayah

dan waktu yang akan dipakai. Dalam hal ini bahasa bicara tidak terlepas dari aksen

atau gaya bicara di masing-masing negara.

c) Suara :

Suara dalam sebuah film dapat kita ketahui sebagai keseluruhan suara yang

keluar pada gambar, meliputi dialog, musik, dan efek suara. Bagian ini secara khusus

akan menjelaskan tentang efek suara, efek suara adalah keseluruhan suara yang

dihasilkan oleh semua obyek yang terdapat di dalam maupun di luar cerita film. Peran

penting penggunaan efek suara adalah sebagai pengisi suara latar.

Page 16: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

26 Universitas Kristen Petra

Beberapa elemen pokok suara yaitu loudness, pitch, dan timbre. Loudness

atau lebih dikenal dengan sebutan volume dapat menunjukan kuat lemahnya suara.

Pitch ditentukan oleh frekuensi suara, apabila frekuensi suara besar maka pitch yang

dipakai akan semakin tinggi dan berlaku sebaliknya. Timbre atau warna suara yaitu

volume dan frekuensi yang sama setiap sumber warna memiliki warna suara berbeda.

d) Orientasi (Fiske, 2004, p.96-98):

Bagaimana posisi kita terhadap orang lain adalah cara lain untuk mengirimkan

pesan tentang relasi. Misalnya : menghadap langsung pada wajah seseorang dapat

menunjukan keakraban, bila posisi menghadap 90 derajat pada orang lain

menunjukan sikap kooperatif dan seterusnya.

e) Anggukan kepala :

Sikap ini dipakai dalam manajemen interaksi, khususnya dalam mengambil

giliran berbicara. Misalnya : satu anggukan berarti mengizinkan orang lain untuk

berbicara, anggukan cepat menunjukan keinginan untuk berbicara.

f) Gestur :

Lengan dan tangan adalah transmiter utama gestur, meski gestur kaki dan

kepala juga penting. Semuanya terkoordinasi erat dengan pembicaraan dan pelengkap

komunikasi verbal. Hal ini menunjukan munculnya emosi umum atau kondisi

tertentu.

g) Postur :

Cara kita duduk, berdiri, atau berselonjor bisa mengkomunikasikan secara

terbatas tetapi bisa menarik makna. Postur sering terkait dengan sikap interpersonal :

bersahabat, bermusuhan, superioritas, atau inferioritas yang semuanya bisa ditunjukan

lewat postur. Postur dapat pula menunjukan kondisi emosi, khususnya tingkat

ketegangan atau kesantaian.

h) Gerak mata :

Menunjuk seseorang adalah tantangan sederhana terhadap dominasi,

melakukan kontak mata sejak awal pada permulaan pernyataan verbal menunjukan

hasrat untuk mendominasi pendengar, membuat mereka memberi perhatian, kontak

Page 17: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

27 Universitas Kristen Petra

mata pada akhir atau setelah pernyataan verbal menunjukan relasi yang lebih afiliatif,

hasrat untuk memperoleh umpan balik, atau untuk melihat reaksi pendengar.

i) Aspek non verbal percakapan :

Aspek ini dibagi menjadi dua kategori yaitu :

Kode prosodic yang mempengaruhi pemaknaan kata-kata yang digunakan.

Nada suara dan penekanan menjadi kode utama dalam hal ini.

Kode paralinguistik yang mengkomunikasikan informasi tentang pembicara

yang meliputi irama, volume, aksen, salah ucap, kecepatan bicara

menunjukan kondisi emosi, kepribadian kelas, status sosial, cara

memandang pendengar, dan sebagainya.

2. Level Representation

Pada level ini kode-kode yang termasuk di dalamnya berupa kode teknik.

Kode tersebut meliputi : sutradara (director), kamera (camera), pencahayaan

(lighting), editing, artistik (setting), musik (music), suara (sound), serta pemeran

(actrees). Level ini mentransmisikan representasi ke dalam kode-kode konvensional

(Sumarno, 1996, p. 34-84) :

a) Sutradara (director)

Sutradara menduduki posisi tertinggi dari segi artistik. Ia memimpin

pembuatan film tentang “bagaimana yang harus tampak” oleh penonton. Sutradara

bertanggung jawab meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis,

dari sebuah produksi film. Selain bertugas mengatur kamera dan mengarahkan akting

serta dialog, sutradara juga mengontrol posisi kamera beserta gerak kamera, suara,

pencahayaan, di samping hal-hal lain yang menyumbang kepada hasil akhir sebuah

film.

b) Kamera (camera) (Sumarno, 1996, p.50-58)

Berawal dari kata mise-en-scene, kata yang berasal dari bahasa Perancis

tersebut memiliki arti bebas menata-dalam-adegan atau pengadeganan yang berkaitan

dengan fungsi kamera. Tugas ini berurusan dengan penciptaan ruang-ruang film yang

Page 18: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

28 Universitas Kristen Petra

berupa jenis shot. Shot adalah dipotretnya sebuah subyek, saat tombol kamera ditekan

dan dilepaskan sesuai dengan kebutuhan skenario.

Setiap shot berhubungan erat dengan masalah pembingkaian yang berarti

sedikit banyaknya subyek dimasukan ke dalam bingkai. Dengan bingkai ini pembuat

film memberikan batas antara dunia subyek yang ditampilkan dan dunia nyata.

Tujuannya dipakai untuk memberi makna harfiah dan makna simbolik tentang apa,

siapa, dan bagaimana maksud cerita yang disampaikan. Setiap shot yang dihasilkan

dari sudut pandang kamera (camera angle) terhadap aksi-aksi yang direkam. Terdapat

tiga faktor yang menentukan sudut pandang kamera yaitu :

a. Besar kecil subyek besar kecil subyek hasil tangkapan kamera merupakan

jenis-jenis shot yang mengambil sosok tubuh manusia sebagai referensi. Berikut ini

istilah yang dipakai dalam besar kecil subyek dalam perfilman :

- Extreme long shot : shot yang diambil dari jarak yang sangat jauh, kira-

kira diambil dari jarak 200 meter sampai dengan jarak yang lebih jauh

lagi. Jenis shot ini merupakan shot diluar ruangan dan tujuan pengambilan

shot ini untuk memperlihatkan situasi geografi.

- Long shot : shot jarak jauh yang kepentingannya untuk memperlihatkan

hubungan antara subyek dan latar belakang.

- Medium shot : shot yang diambil lebih dekat pada subyeknya

dibandingkan long shot. Dalam kaitannya dengan subyek manusia, shot

yang menampilkan dari pinggang ke atas. Memiliki fungsi untuk

memotret adegan pengenalan, terutama sebagai transisi dari long shot ke

close shot.

- Closer shot : istilah bebas untuk menyebut jarak dekat pemotretan yaitu

lebih dekat dari sebuah medium shot, tetapi belum sedekat close up.

- Close up : pengambilan gambar dari kamera pada jarak yang sangat dekat

dan memperlihatkan hanya bagian kecil subyek. Close up cenderung

mengungkapkan pentingnya obyek dan sering memiliki arti simbol.

- Extreme close up : sebuah close up yang sangat besar, yang

memperlihatkan bagian yang diperbesar dari sebuah benda atau bagian

Page 19: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

29 Universitas Kristen Petra

manusia. Misalnya : hanya hidung, mata, atau telingan manusia.

Tujuannya untuk mengungkapkan detail reaksi manusia, keberadaan

benda-benda kecil tetapi sangat vital dalam rangkaian cerita, dan lain-lain.

b. Sudut subyek

Dalam kenyataan, semua benda memiliki tiga dimensi. Namun, semua subyek

ini akan direkam dan ditayangkan ke layar putih dengan permukaan dua dimensi.

Untuk mendapatkan kesan kedalaman atau tiga dimensi, terdapat berbagai cara untuk

mendapatkan efek dimensi kedalaman dalam pembuatan film. Solusinya adalah

dengan meletakan kamera sedemikian rupa terhadap subyek sehingga efek-efek

kedalaman dapat direkam.

c. Ketinggian kamera terhadap subyek Kamera bisa menangkap subyek

dengan sudut pengambilan normal (eye level), sudut pandang mendongak (low

angle), dan sudut pandang dari atas (high angle). Tinggi rendah pengambilan kamera

membawa dampak dramatis dan psikologis tertentu. Seorang tokoh diambil secara

low angle akan tampak lebih gagah dan berwibawa. Jika diambil secara high angle

akan mengesankan sebaliknya. Sementara itu, sudut pengambilan normal lebih

bersifat netral. Bagaimana penonton dapat merasakan jenis-jenis shot? Berkaitan

dengan keberadaan penonton, apakah jenis-jenis shot yang dihasilkan dapat memiliki

sikap obyektif, subyektif, atau merupakan sudut pandang tokoh dalam film? Jenis

shot bersifat obyektif jika yang tampil di layar film sebagai penglihatan obyektif

penonton terhadap subyek. Penonton diajak menyaksikan subyek dengan sikap yang

murni. Jenis shot bersifat subyektif jika penonton diajak berpartisipasi melihat segala

sesuatu yang disaksikan dan dirasakan oleh tokoh film. Sedangkan, sudut penglihatan

tokoh film berarti jika shot itu menunjukan bagaimana seorang tokoh melihat tokoh

lain dalam film

c) Pencahayaan (lighting) (Sumarno, 1996, p.52-53)

Unsur pencahayaan biasanya dilakukan oleh penata fotografi. Tugas dari

penata fotografi adalah menata posisi subyek dan perimbangan kontras, baik kontras

gelap terang, dan kontras warna. Komposisi ke kontrasan cahaya ini harus dipikirkan

dengan seksama, supaya penonton tidak kehilangan pusat perhatian. Tata cahaya

Page 20: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

30 Universitas Kristen Petra

sangat diperlukan secara keseluruhan untuk menunjang jiwa maupun mood film.

Penempatan tata cahaya harus memiliki keterkaitan karena setiap shot tidak dapat

berdiri sendiri (terdapat hubungan antara shot sebelum dan sesudah). Untuk film

bernuansa riang (film komedi dan film musikal) akan memunculkan tata cahaya yang

dominan cerah dan terang. Untuk film bertema sedih dan bernuansa tragedi, dapat

didominasi oleh tata cahaya yang muram. Sedangkan untuk film horor menuntut tata

cahaya yang dominan gelap dan berkesan misterius.

d) Penyunting (editing) (Sumarno, 1996, p.59-65)

Hasil syuting yang telah selesai pembuatannya akan memasuki tahap editing.

Kegiatan editing ini akan dilakukan oleh seorang editor yang bertugas menyusun

hasil syuting hingga membentuk sebuah cerita yang tersusun rapi. Dalam proses

editing, shot diartikan sebagai komponen terkecil atau unsur dasar konstruksi film.

Satu unit shot disebut adegan, dan satu unit adegan disebut satu babak. Terdapat tiga

tahapan dasar dari proses editing yang harus dimengerti antara lain :

- Perpaduan arah pandang, menyangkut perakitan gambar yang melahirkan kesan

orang yang saling berhadap-hadapan.

- Perpaduan gerak, menyangkut persambungan shot yang menunjukan pertalian

gerak antar tokoh atau subyek.

- Perpaduan posisi, menyangkut posisi seorang tokoh atau subyek dalam satu shot

hendaknya terletak dalam posisi yang sama bila disambung dengan shot berikutnya

untuk memberikan kejelasan geografis kepada penonton.

e) Artistik (setting) (Sumarno, 1996, p.66-70)

Tata artistik adalah penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita

film yang menyangkut tentang tempat dan waktu berlangsungnya cerita film. Tujuan

penggunaan setting adalah untuk menunjukan tentang waktu atau masa

berlangsungnya cerita serta setting digunakan untuk menunjukan tempat terjadinya

peristiwa. Tugas seorang penata artistik adalah untuk menerjemahkan konsep visual

sutradara kepada pengertianpengertian visual : segala hal yang mengelilingi aksi di

depan kamera, di latar depan sebagaimana di latar belakang

Page 21: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

31 Universitas Kristen Petra

Penciptaan setting berarti penciptaan konsep visual secara keseluruhan yang

menyangkut pakaian-pakaian yang harus dikenakan pada tokoh film, bagaimana tata

riasnya, dan properti apa yang harus tersedia. Penata artistik dalam menjalankan

tugasnya akan dibantu oleh penata kostum, bagian make up pemeran, tim properti,

dan jika diperlukan akan memakai tenaga pembuat efek-efek khusus.

f) Musik (music) (Sumarno, 1996, p.75-78)

Dalam sebuah film diperlukan penata musik yang berfungsi sebagai penata

paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh

cerita film. Menurut Muir Mathieson dalam bukunya “the techinique of film music”,

musik yang punya bentuk dalam dirinya punya peluang-peluang untuk dinilai sebagai

musik semata maupun dinilai sebagai bagian dari keseluruhan film. Musik film harus

diterima tidak sebagai dekorasi atau seperti pengisi rongga dari celah-celah, tetapi

sebagai bagian dari sebuah arsitektur.” Terdapat delapan kegunaan musik dalam

sebuah film :

- Membantu merangkaikan adegan. Sejumlah shot dirangkai dan diberi suatu

musik akan berkesan terikat dalam suatu kesatuan.

- Menutupi kelemahan atau cacat dalam film. Kelemahan dalam akting dan

pengucapan dialog dapat ditutupi dengan musik sehingga akting yang lemah atau

dialog yang dangkal akan menjadi lebih dramatik dari yang sebenarnya.

- Menunjukan suasana batin tokoh utama. Hal ini semakin dimungkinkan jika

sang tokoh diambil dalam shot yang panjang, sendirian dalam suatu ruangan, maka

musik yang diperdengarkan seolah-olah menunjukan suasana batin.

- Menunjukan suasana waktu dan tempat. Sebagian besar alat musik dapat

menunjukan secara konkret konotasi geografi. Musik dan alat musik yang tepat akan

mensugestikan suasana waktu

- Mengiringi kemunculan susunan kerabat kerja atau namanama pendukung

produksi (credit title).

- Mengiringi adegan dengan ritme cepat. Setelah diberi musik, adegan

beritme cepat akan benar-benar jadi seru.

Page 22: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

32 Universitas Kristen Petra

- Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk ketegangan dramatik.

Musik diperdengarkan mendahului adegan, seakan-akan musik akan memberikan

aba-aba.

- Menegaskan karakter lewat musik.

g) Suara (sound)

Proses pengolahan suara dalam film memiliki arti proses memadukan unsur-

unsur suara yang terdiri dari atas dialog, narasi, musik, serta efek-efek suara. Tata

suara dikerjakan di studio suara dan yang bertugas untuk pengolahan suara ini disebut

penata suara yang dalam tugasnya akan dibantu tenaga pendamping seperti perekam

suara di lapangan maupun di studio. Fungsi suara yang terpenting adalah memberi

informasi lewat dialog dan narasi. Selain itu, suara berfungsi menjaga kesinambungan

gambar sehingga sejumlah shot dapat dirangkai dan diberi suara seperti musik,

dialog, dan efek suara akan terikat dalam satu kesatuan.

h) Pemeran (Sumarno, 1996, p.79-84)

Setiap orang dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya berperan sebagai

pemeran dan psikolog yaitu membawakan diri sendiri, sekaligus mengamati tingkah

laku orang lain. Jika ia pandai membawakan diri sendiri dan pandai pula

membawakan tingkah laku orang lain, ia berbakat menjadi pemeran. Proses

penokohan akan menggerakan seorang pemeran menyajikan penampilan yang tepat

(tanpa melupakan bantuan make up dan kostum), seperti cara bertingkah laku,

ekspresi emosi dengan mimik dan gerak-gerik, cara berdialog, untuk tokoh cerita

yang dibawakan.

3. Level Ideologi

Level ini merupakan perpaduan antara level reality dan level representation

yang terorganisir pada hubungan penerimaan dan hubungan sosial oleh kode ideologi

yang meliputi konteks digunakan untuk menyebut gagasan yang meyakini adanya

kaitan kausal antara ciri-ciri jasmaniah seseorang, kepribadian, intelektualitas,

kebudayaan, atau gabungan dari semuanya.

Page 23: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

33 Universitas Kristen Petra

2.7 Bagan Kode Televisi John Fiske

Level pertama:

“REALITAS”

Penampilan, kostum pemain, riasan, lingkungan, perilaku, ucapan, gerakan, ekspresi,

suara

ini dikodekan secara elektronik dari kode teknik seperti:

Level kedua:

“REPRESENTASI”

Kerja kamera, pecahayaan, perevisian, musik, suara

Mengirim tentang

Kode representasi menurut kode konvensi yang berlaku, menjadi potongan dari

representasi, contoh:

Narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, latar, pemeran, dll.

Level ketiga:

“IDEOLOGI”

Di mana dikategorisasikan melalui hubungan dan entintas sosial yang dapat diterima

oleh kode ideologi.

Sumber : Fiske (1987, p.5)

Page 24: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

34 Universitas Kristen Petra

2.8 Nisbah Antar Konsep

Representasi merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan

dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasi. Representasi dapat

dilihat dari sebuah teks yang di dalamnya berisi tentang semua bentuk bahasa, tidak

hanya kata-kata yang terdapat pada lembaran kertas tetapi juga semua jenis ekspresi

komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan lain-lain.

Film merupakan salah satu jenis media yang dipakai untuk merepresentasikan

pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat. Film adalah karya seni yang lahir

dari suatu kreativitas orang-orang yang terlibat dalam proses penciptaan film. Sebagai

karya seni, film terbukti mempunyai kemapuan kreatif. Film sanggup untuk

menciptakan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas

imajiner itu dapat menawarkan rasa keindahan, renungan, atau sekedar hiburan.

Film “Vatican Tapes” merupakan film yang mengandung pesan tentang tokoh

agama yang memiliki peran penting dalam hal-hal yang berbau agama seperti

pengusiran setan. Film ini memperlihatkan bahwa tokoh agama Katolik adalah

simbol yang dianggap suci, sakti, dan memiliki nilai yang lebih. Hollywood dalam

membuat film yang bertemakan agama selalu memperlihatkan tokoh agama sebagai

tokoh pentingnya. “Desakralisasi” adalah sebuah proses penurunan nilai sakral yang

disematkan pada sesuatu atau seseorang yang dianggap suci dan mempunyai nilai

yang lebih di mata masyarakat. Inilah hal yang dicoba sampaikan dalam film Vatican

Tapes.

Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,

peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Umberto Uco, tanda

adalah suatu kebohongan, sebab di dalam tanda pasti tersembunyi sesuatu dibaliknya

dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut Saussure, semiotika merupakan

objek fisik dengan sebuah makna atau ia memakai istilah sebuah tanda terdiri dari

penanda (citra tanda yang seperti dipersepsikan) dan petanda (konsep mental yang

diacukan petanda).

Untuk mempermudah melihat unsur semiotik yang terdapat dalam film

“Vatican Tapes”, peneliti akan menggunakan kode-kode televisi John Fiske sebagai

Page 25: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

35 Universitas Kristen Petra

panduan. Dikarenakan kode-kode ini dapat menampilkan suatu realitas sosial yang

terdapat dalam film. Kode-kode yang akan dipakai meliputi level reality, level

representation, dan level ideology.

Page 26: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi

36 Universitas Kristen Petra

2.9 Kerangka Pemikiran

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran

Sumber : Olahan Penulis (2016)

Penurunan nilai pandangan tokoh agama

Katolik dalam film Hollywood

Representasi yaitu pemaknaan melalui bahasa pada desakralisasi

tokoh agama Katolik

Semiotika adalah metode tanda dan lambang

Kode-Kode Televisi John Fiske

Level

reality:

a) Kostum,

tata rias, dan

penampilan

b) Tingkah

laku, cara

bicara, sikap

tubuh, dan

ekspresi

c) Suara

d) Orientasi

e) Gestur

f) Aspek non

verbal

percakapan

Level

representation:

a) Sutradara

b) Kamera

c) Pencahayaan

d) Artistik

e) Musik

f) Pemeran

(g) Narasi

Level ideology

Representasi Desakralisasi Tokoh Agama

Katolik Dalam Film “Vatican Tapes”