04 tesis bab iiidigilib.uinsby.ac.id/1233/7/bab 3.pdf · objektif dari persoalan wakaf yang...

21
BAB III PENAFSIRAN UMMI> DALAM TAFSIR AL-MISBAH A. Tafsir Al-Mis} ba> h} : Sejarah, Metode, dan Corak Penafsirannya 1. Biografi Penulis Tafsir Al-Mis}ba>h Muhammad Quraish Shihab lahir pada 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab, dan ibunya bernama Asma Aburisah. Ayah M. Quraish Shihab adalah seorang ulama dan guru besar Tafsir di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut, UMI pada tahun 1959 – 1965 dan IAIN pada tahun 1972 – 1977. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga

Upload: doquynh

Post on 18-May-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB III

PENAFSIRAN UMMI> DALAM TAFSIR AL-MISBAH

A. Tafsir Al-Mis}ba>h}: Sejarah, Metode, dan Corak Penafsirannya

1. Biografi Penulis Tafsir Al-Mis}ba>h

Muhammad Quraish Shihab lahir pada 16 Februari 1944 di

Rappang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab, dan

ibunya bernama Asma Aburisah. Ayah M. Quraish Shihab adalah seorang

ulama dan guru besar Tafsir di IAIN Alauddin Ujung Pandang.

Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik

yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.

Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina

dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim

Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan

Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga

tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut,

UMI pada tahun 1959 – 1965 dan IAIN pada tahun 1972 – 1977. Sebagai

seorang yang berpikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan

adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang

demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu

Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan

pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga

74

ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di

Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian, dan Mesir. Banyak guru-

guru yang didatangkan ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad

Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika.1

Sebagai putra dari seorang Profesor Tafsir, sejak kecil pada diri

Quraish telah tumbuh benih kecintaan terhadap bidang Al-Qur’an,

khususnya tafsir. Ayahnya sering mengajak anak-anaknya duduk bersama

sambil bercengkrama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah

menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat Al-Qur’an.

Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Al-

Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian Al-Qur’an

yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca Al-

Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam Al-

Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai

tumbuh.2 Dalam pengantar bukunya “Membumikan Al-Qur’an: Fungsi

dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat”, M. Quraish Shihab

Menyatakan:3

Ayah kami, almarhum Abdurrahman Syihab (1905 – 1986) adalah guru besar dalam bidang tafsir. Di samping berwiraswasta, sejak muda beliau juga berdakwah dan mengajar. Selalu disisakan waktunya, pagi dan petang, untuk membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir. Seringkali beliau mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti

1 M. Sja’roni, Metode dan Corak Tafsir Al-Mis}ba>h} Karya M. Quraish Shihab, Disertasi (Surabaya, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2011), 104 – 105. 2 Howard M. Federspiel, Kajian al-Qura’an di Indoensia: Dari Mahmaud Yunus hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), 295 – 299. 3 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 14.

75

inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak dari petuah itu—yang kemudian saya ketahui sebagai ayat Al-Qur’an atau petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar Al-Qur’an—yang hingga detik ini masih terngiang di telinga saya. Dari sanalah benih kecintaan kepada studi Al-Qur’an mulai tersemai di jiwa saya. Maka, ketika belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, saya bersedia mengulang setahun untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan studi saya di jurusan tafsir, walaupun jurusan-jurusan lainnya pada fakultas lain sudah membuka pintu lebar-lebar untuk saya.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Ujung Pandang, M.

Quraish Shihab melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, Jawa

Timur, sambil nyantri di Pondok Pesantren Darul-Hadith Al-Faqihiyyah.

Pada tahun 1958, saat usianya baru 14 tahun, M. Quraish Shihab

berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah AL-

Azhar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas

Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis, Universitas Al-Azhar. Kemudian

dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969

berhasil meraih gelar MA dalam bidang Tafsir Al-Qur’an dengan tesis

berjudul Al-I’ja>z Al-Tashri’i> li Al-Qur’an< Al-Kari>m.4

Begitu kembali ke Makassar, M. Quraish Shihab dipercaya untuk

menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan di

IAIN Alauddin Makassar. Dia juga diberi tanggungjawab untuk menjabat

sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia

Bagian Timur). Sementara di luar kampus, M. Quraish Shihab juga

menjabat sebagai Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam

bidang pembinaan mental. Selain itu M. Quraish Shihab juga melakukan

4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 6.

76

beberapa penelitian, antara lain tentang “Penerapan Kerukunan hidup

Beragama di Indonesia Timur” pada tahun 1975, dan penelitian tentang

“Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” pada tahun 1978.5

Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir

untuk melanjutkan studi S3 di Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan

Tafsir dan hadis Universitas Al-Azhar. Dua tahun kemudian, pada 1982,

dengan disertasi berjudul “Naz}m al-Durar li al-Biqa>’i: Tah}qi>q wa

Dira>sah”, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an

dengan predikat Summa Cum Laude.6

Pendidikan Tinggi yang kebanyakan ditempuh oleh M. Quraish

Shihab di Timur Tengah, yaitu Universitas Al-Azhar, membuat Howard

M. Federspiel menganggapnya sebagai seorang yang unik bagi Indonesia

pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di

Barat. Mengenai hal ini ia mengatakan sebagai berikut:

Ketika meneliti biografinya, saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren, dan menerima pendidikan ting-ginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar, di mana ia menerima gelar M.A dan Ph.D-nya. Ini menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Quran dan, lebih dari itu, tingkat pendidikan tingginya di Timur Tengah seperti itu menjadikan ia unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Dia juga mempunyai karier mengajar yang penting di IAIN Ujung Pandang dan Jakarta dan kini, bahkan, ia menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta. Ini merupakan karier yang sangat menonjol.7

5 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 6. 6 ibid., 7 Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indoensia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, 299.

77

Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi M. Quraish

Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN

Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini dia aktif

mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2, dan S3

sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai

dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta

selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu dia dipercaya

menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua

bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta

Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara

Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan

di Kairo.8

Selain itu, M. Quraish Shihab juga dipercaya untuk menduduki

beberapa jabatan, antara lain; Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat

(sejak tahun 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen

Agama (sejak tahun 1989); dan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan

Nasional (sejak tahun 1989). M. Quraish Shihab juga terlibat dalam

beberapa organisasi professional, seperti: Pengurus Perhimpunan Ilmu-

Ilmu Syari’ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen

8 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Vol. 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 110 – 112.

78

Agama, Pendidikan, dam Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum ICMI

(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).9

2. Karya-Karya Ilmiah Penulis Tafsir Al-Mis}ba>h

M. Quraish Shihab merupakan tokoh muslim kontemporer yang

produktif, karya-karya M. Quraish Shihab yang berupa buku, artikel, dan

rubrik sangat banyak. Berikut beberapa karya M. Quraish Shihab:10

Peranan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur; Karya ini

merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1975 tentang

ilustrasi kerukunan hidup antara pemeluk agama-agama yang pluralis

yang terdapat di Indonesia Timur. Di dalam karya ini juga terdapat

solusi yang harus diwujudkan dalam rangka mencapai kehidupan yang

harmonis.

Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan; Karya ini merupakan laporan

penelitian yang dilakukan pada tahun 1978 tentang situasi dan kondisi

objektif dari persoalan wakaf yang terdapat di Sulawesi Selatan.

Tafsi>r al-Mana>r; Keistimewaan dan Kelemahannya; Karya ini

diterbitkan di Ujung Pandang pada tahun 1984, berisi pemaparan

tentang kekuatan dan kelemahan Tafsi>r al-Mana>r.

Filsafat Hukum Islam; Karya ini diterbitkan oleh Departemen Agama

pada tahun 1987, berisi gambaran tentang pemikiran filosofis hokum

Islam.

9 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 6. 10 M. Sja’roni, Metode dan Corak Tafsir Al-Mis}ba>h} Karya M. Quraish Shihab, Disertasi, 110 – 113.

79

Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat al-Fatihah); Karya ini

diterbitkan oleh Unitama Jakarta, berisi uraian tentang surat al-

Fatihah dengan memberikan nuansa dan pengetahuan baru yang tidak

terdapat pada karya tafsir sebelumnya.

Tafsir al-Ama>nah; Karya ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis

dalam rubrik tafsir pada majalah Amanah. Karya ini diterbitkan oleh

Pustaka Kasih pada tahun 1992, berisi penafsiran surat al-‘Alaq dan

surat al-Muddathir.

Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat; Karya ini merupakan kumpulan makalah, artikel, atau

bagian suatu buku yang diterbitkan selama rentang waktu antara

tahun 1976 sampai dengan 1992. Karya ini diterbitkan oleh Mizan

pada tahun 1992, berisi pemaparan tentang berbagai persoalan

kehidupan.

Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan; Karya ini merupakan

kumpulan artikel dalam rubrik Pelita Hati pada harian Pelita. Karya

ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1994.

Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maud}u’i> atas Pelbagai Persoalan Umat;

Karya ini merupakan kumpulan makalah M. Quraish Shihab sampai

tahun 1996 yang disajikan pada pengajian untuk para eksekutif yang

diadakan oleh Departemen Agama di Masjid Istiqlal. Karya ini

diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1996.

80

Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m; Karya ini diterbitkan oleh Pustaka

Hidayat pada tahun 1997, berisi penafsiran 24 surat pendek yang

didasarkan pada urutan turunnya.

Mukjizat Al-Qur’an; Karya ini diterbitkan oleh Mizan pada 1997,

berisi pemaparan tentang segi-segi keistimewaan Al-Qur’an dan unsur

kemukjizatannya.

Al-Asma>’ al-H}usna>; Karya ini berisi pembahasan tentang nama-nama

Tuhan yang berjumlah 99, sebagian isi dari karya ini disampaikan oleh

M. Quraish Shihab di salah satu stasiun televisi pada bulan

Ramadhan.

Tafsir Al-Mis}ba>h: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an; Karya ini

dianggap sebagai puncak produktifitas M. Quraish Shihab. Karya ini

diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2000, berisi uraian maksud

dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an secara lengkap, 30 Juz dan 114

Surat.

3. Penamaan Karya Tafsir dengan Al-Mis}ba>h}

Tafsir Al-Mis}ba>h{: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an bisa

dianggap sebagai karya terbesar M. Quraish Shihab. Karya ini terdiri dari

15 jilid, dan mulai diterbitkan pada tahun 2000 oleh penerbit Lentera

Hati. Menurut M. Sja’roni, setidaknya ada dua alasan terkait penamaan

karya tulis ini “Al-Mis}ba>h }”. Alasan pertama didasarkan fungsinya,

mis}bah} artinya lampu yang berguna untuk menerangi kegelapan. Jadi,

dengan pemilihan nama ini, penulis berharap agar karya tafsir tersebut

81

dapat dijadikan penerang bagi bagi mereka yang sedang berusaha mencari

petunjuk kebenaran dari wahyu Ila>hi> yang merupakan pedoman hidup

bagi siapa saja yang menginginkan kebahagian di dunia dan akhirat.11

Sementara alasan kedua didasarkan pada sejarah kegiatan tulis-

menulis yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab di Jakarta. Sebagaimana

diungkapkan oleh Hamdani Anwar, yang dikutip oleh M. Sja’roni, bahwa

M. Quraish Shihab telah aktif menulis sejak dia tinggal di Makassar,

namun momentum dari kegiatan tulis-menulis tersebut dimulai sejak M.

Quraish Shihab tingal di Jakarta. Pada tahun 1980-an, M. Quraish Shihab

diminta untuk menjadi pengasuh dari rubrik “Pelita Hati” pada harian

Pelita. Uraian-uraian yang disajikan oleh M. Quraish Shihab dalam rubric

tersebut rupanya menarik perhatian banyak pihak, karena dinilai mampu

memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan

menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan dari tulisannya tersebut

diterbitkan oleh penerbit Mizan dengan judul Lentera Hati, yang ternyata

menjadi best seller dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Dari sini

tampaknya pengambilan nama “Al-Mis}ba>h” tersebut berasal, terutama

jika dilihat dari segi maknanya. Karya tersebut merupakan

penyempurnaan dari kumpulan tulisan pada rubrik “Pelita Hati” yang

diterbitkan dengan judul Lentera Hati. Lentera merupakan padanan kata

dari pelita, yang arti dan fungsinya sama. Dalam bahasa Arab, lentera,

11 M. Sja’roni, Metode dan Corak Tafsir Al-Mis}ba>h} Karya M. Quraish Shihab, Disertasi, 114 – 115.

82

pelita, atau lampu disebut dengan al-mis}ba>h}. Sementara itu, penerbit dari

karya tafsir ini juga menggunakan nama yang serupa, yaitu Lenter Hati.12

4. Sistematika Penulisan Tafsir Al-Mis}ba>h}

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa Tafsir Al-Mis}ba>h}

terdiri dari 15 Jilid, tafsir ini berbahasa Indonesia, lengkap 30 Juz.

Sistematika penyusunan tafsir ini ialah mushafi, dalam arti disusun berdasarkan

urutan surat dan ayat dalam Mushaf Uthmani. Sistematika ini berbeda dengan

karya tafsir Shihab sebelumnya, yaitu Tafsir al-Amanah, yang disusun secara

Tanzili, dalam arti disusun berdasarkan urutan turunnya surat atau ayat.

Perbedaan ini dimungkinkan sangat terkait dengan proses penulisan kedua tafsir

tersebut. Secara kolektif Tafsir Al-Mis}ba>h} menghimpun tidak kurang dari

10.000 halaman dengan susunan sebagai berikut:13

- Jilid 1 terdiri dari 624 dan xxviii halaman, berisi tafsir surat al-

Fatehah sampai dengan surat al-Baqarah.

- Jilid 2 terdiri dari 659 dan vi halaman, berisi tafsir surat Ali-‘Imran

sampai dengan an-Nisa>’.

- Jilid 3 terdiri dari 257 dan v halaman, berisi tafsir surat al-Ma’idah.

- Jilid 4 terdiri dari 367 dan v halaman, berisi tafsir surat al-An’a>m.

- Jilid 5 terdiri dari 765 dan vi halaman, berisi tafsir surat al-A’ra>f

sampai dengan surat at-Taubah.

- Jilid 6 terdiri dari 613 dan vi halaman, berisi tafsir surat Yunus

12 M. Sja’roni, Metode dan Corak Tafsir Al-Mis}ba>h} Karya M. Quraish Shihab, Disertasi, 115. 13 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Vol. 1-15 (edisi Baru), (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2009)

83

sampai dengan surat Ar-Ra’d.

- Jilid 7 terdiri dari 585 dan vi halaman, berisi tafsir surat Ibrahim

sampai dengan surat Al-Isra’.

- Jilid 8 terdiri dari 524 dan vi halaman, berisi tafsir surat al-Kahf

sampai dengan surat al-Anbiya’.

- Jilid 9 terdiri dari 554 dan vi halaman, berisi tafsir surat al-Hajj

sampai dengan surat al-Furqa>n.

- Jilid 10 terdiri dari 547 dan vi halaman, berisi tafsir surat ash-Shu’ara>

sampai dengan surat al-‘Ankabu>t.

- Jilid 11 terdiri dari 582 dan vi halaman, berisi tafsir surat ar-Rum

sampai dengan surat Ya<sin.

- Jilid 12 terdiri dari 601 dan vi halaman, berisi tafsir surat as}-S}a>ffa>t

sampai dengan surat az-Zukhru>f.

- Jilid 13 terdiri dari 586 dan vii halaman, berisi tafsir surat ad-Dukha>n

sampai dengan al-Waqi’ah.

- Jilid 14 terdiri dari 695 dan vii halaman, berisi tafsir surat al-Hadi>d

sampai dengan surat al-Mursala>t.

- Jilid 15 terdiri dari 646 dan viii halaman, berisi tafsir surat-surat Juz

‘Amma.

84

Sementara M. Sja’roni menyatakan bahwa dalam penulisan

“Tafsir Al-Mis}ba>h}” M. Quraish Shihab menggunakan sistematika sebagai

berikut:14

a. Pertama-tama M. Quraish Shihab berusaha menampilkan penjelasan

global setiap surat yang dinamai tujuan surat atau tema pokok surat.

b. Penulisan ayat-ayat Al-Qur’a>n dikelompokkan dalam tema-tema

tertentu sesuai dengan urutan, tanpa ada batasan mengenai jumlah

ayat yang ditempatkan dalam suatu kelompok.

c. Pengelompokkan ayat-ayat tersebut dicantumkan dengan

menggunakan tulisan Arab, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia berdasarkan pemahaman M. Quraish Shihab sendiri.

d. Sebelum menjelaskan ayat demi ayat, M. Quraish Shihab terlebih

dahulu menjelaskan keserasian (munasabah) antara kelompok ayat

yang sedang dibahas. Kadang-kadang keserasian tersebut ditempatkan

di awal pembahasan kelompok ayat, terkadang ditempatkan di akhir

pembahasan kelompok ayat. Selain itu, M. Quraish Shihab juga

memaparkan keserasian antar ayat ketika menjelaskan ayat demi ayat.

e. M. Quraish Shihab menjelaskan ayat demi ayat secarat berurutan,

kemudian dia memisahkan terjemahan makna Al-Qur’an dengan

sisipan atau tafsir. Kadang dia juga menghadirkan penggalan teks

ayat, baik berupa kata atau frase (kelompok kata), kemudian

menjelaskan maknanya.

14 M. Sja’roni, Metode dan Corak Tafsir Al-Mis}ba>h} Karya M. Quraish Shihab, Disertasi, 118 – 122.

85

f. M. Quraish Shihab menguraikan penafsiran makna kosa kata yang

dipandang perlu saja, agar uraian tentang pengertian kosa kata dan

kaidah-kaidah yang disajikan tidak terkesan bertele-tele.

g. Ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. yang dijadikan

penguat atau bagian dalam penafsiran hanya ditulis terjemahannya

saja oleh M. Quraish Shihab.

5. Metode Penafsiran Tafsir Al-Mis}ba>h}

Untuk mengetahui metode tafsir yang digunakan dalam suatu

buku tafsir, maka perlu diperhatikan beberapa aspek yang terdiri dari

sumber penafsiran, cara penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an,

keluasan penjelasan tafsir, dan sasaran serta tertib ayat-ayat yang

ditafsirkan15.

Dilihat dari sumber penafsirannya, Tafsir al-Mis}ba>h} dapat

dikategorikan sebagai kitab tafsir dengan metode bi al-ra’yi. Hampir

semua tafsiran ayat bersumber dari ijtihad dan pemikiran sang mufassir

terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan kesusasteraannya, serta teori

ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tersebut.16

Walaupun banyak ditemukan ayat maupun hadis yang digunakan untuk

menafsirkan sebuah ayat, namun M. Quraish Shihab hanya

menjadikannya sebagai penguat dari pemikirannya, bahkan terjemahan

masing-masing ayat merupakan hasil dari pemikiran M. Quraish Shihab

15 Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur’an; Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin (Surabaya: Indra Media, 2003), 14 - 16 16 Ibid., 15

86

sendiri yang berbeda dengan terjemahan pada umumnya, seperti

terjemahan Departemen Agama.

Jika ditinjau dari cara M. Quraish Shihab menjelaskan tafsiran

ayat-ayat al-Qur’an, maka Tafsir al-Mis}ba>h} dapat digolongkan ke dalam

tafsir dengan manhāj bayāny (metode deskripsi). Ayat-ayat Al-Qur’an

oleh M. Quraish Shihab ditafsirkan dengan cara memberikan keterangan

secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat atau pendapat dan tanpa

menilai (tarjī ) antar sumber.

Sementara jika ditinjau dari segi keluasan penafsiran, maka Tafsir

al-Mis}ba>h} termasuk ke dalam tafsir yang menggunakan metode tafs}ili>,

yaitu setiap ayat Al-Qur’an ditafsirkan secara terperinci, mendalam dan

panjang lebar, per-kata atau per-frasa. M. Quraish Shihab juga

menjelaskan tentang munasabah antar ayat dan surat. Selain itu, M.

Quraish Shihab juga juga berusaha mengungkapkan hal-hal yang tersirat

dalam setiap ayat Al-Qur’an. Walaupun begitu, bahasa yang digunakan

dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam Tafsir al-Mis}ba>h} termasuk

mudah dimengerti dan dipahami. Di dalam “Kata Pengantar” Tafsir Al-

Mis}ba>h}, M. Quraish Shihab menyatakan:

Dalam konteks memperkenalkan Al-Qur’an dalam buku ini, penulis berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan setiap surat pada apa yang dinamai tujuan surat, atau tema pokok surat. Memang, menurut para pakar, setiap surat ada tema pokoknya.17

17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 1, ix.

87

Jika ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang

ditafsirkan, maka Tafsir al-Mis}ba>h} termasuk golongan tafsir yang

menggunakan metode tahlīly, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an

secara urut dan tertib sesuai dengan urutan ayat-ayat dan surat-surat

dalam mushaf, dari mulai surat al-Fatihah hinggal akhir surat al-Nas.

6. Corak Penafsiran Tafsir Al-Mis}ba>h}

Mengenai corak penafsiran, M. Quraish Shihab tampaknya

menjadikan rumusan Mahmud Syalthut dalam menafsirkan Al-Qur’an

sebagai pedoman dalam penyusunan tafsirnya. Mahmud Syalthut

menyatakan, agar dapat diperoleh pemahaman yang utuh dan menyeluruh

dari pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an seorang mufassir

harus menaruh perhatian dan pendalaman yang besar terhadap; 1) Alam

raya; 2) Perkembangan manusia; 3) Kisah-kisah nabi dan orang-orang

saleh terdahulu; dan 4) Janji dan ancaman duniawi maupun ukhrawi.

Bahkan selain empat hal di atas, M. Quraish Shihab juga menambahkan

pendekatan yang lain, yaitu; 1) Ketelitian dan keindahan redaksi al-

Quran; 2) Isyarat ilmiah; dan 3) Pemberitaan hal ghaib masa lalu dan

masa mendatang. Pendekatan-pendekatan tersebut sangat mewarnai dan

mempengaruhi corak penafsiran M. Quraish Shihab dalam karyanya

Tafsir Al-Mis}ba>h }.

Corak penafsiran yang cenderung digunakan dalam Tafsir Al-

Mis}ba>h ialah adabi> ijtima>’i> (sosial kemasyarakatan atau sosio-cultural).

Corak ini menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dari segi

88

ketelitian redaksionalnya, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat

tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan

perkembangan dunia. Namun, hal tersebut dilakukan tanpa menggunakan

istilah-istilah disiplin ilmu tertentu, kecuali dalam batas-batas yang

diperlukan.

Penggunaan corak adabi> ijtima>’i> oleh M. Quraish Shihab dalam

Tafsir Al-Mis}ba>h rupanya terinspirasi dari Tafsi>r Al-Mana>r karya

Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridlo. Abduh dikenal sebagai

peletak dasar-dasar corak adabi> ijtima>’i> dan kemudian dikembangkan oleh

muridnya, Rasyid Ridlo. Meski demikian, model M. Quraish Shihab

dalam menggunakan corak adabi> ijtima>’i> tidak mengadopsi model

Muhammad Abduh secara keseluruhan. M. Quraish Shihab melakukan

improvisasi dengan pendekatan-pendekatan yang lain. Bahkan, dia cukup

kritis dalam mengomentari Tafsi>r Al-Mana>r. Kajian kritisnya terhadap

pelopor tafsir modern tersebut kemudian ia bukukan dan diterbitkan

dengan judul Studi Kritis Tafsir al-Manar.18

Contoh pendekatan adabi> ijtima>’i> secara jelas terlihat pada tafsir

Surat Al-Ma’u>n. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa surat yang terdiri

dari 7 ayat pendek ini, berbicara tentang hakikat yang sangat penting

bahwa ajaran Islam sangat menekankan ibadah sosial. Menurutnya, surat

ini secara tegas dan jelas menyatakan bahwa ajaran Islam tidak

memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial. Bahkan esensi dan jiwa

18 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridlo, 1994, (Jakarta: Pustaka Hidayah), 25.

89

ibadah dalam pengertian yang sempit sekalipun juga mengandung dimensi

sosial, sehingga jika itu tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah tersebut

tidak banyak artinya.19

Disamping corak adabi> ijtima>’i>, sebagaimana telah diuraikan dan

dicontohkan di muka, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mis}ba>h}-nya

juga banyak menggunakan pendekatan bahasa. Bahkan analisis

kebahasaan sangat dominan menjadi pertimbangan utama dalam

penjelasan tafsirnya. Sehingga tidak berlebihan jika Tafsir Al-Mis}ba>h}

juga bisa digolongkan sebagai Tafsir Lughawi>. Dalam beberapa

pembahasan, M. Quraish Shuhab juga menyelipkan tinjauan sejarah yang

terkait dengan tema-tema tertentu. Beragamnya corak yang digunakan

dalam Tafsir Al-Mis}ba>h}, membuat karya tafsir tersebut menjadi penuh

warna, kaya informasi dan luas pembahasannya.

B. Ummi> Dalam Tafsir Al-Misbah

Dalam Tafsir Al-Mis}ba>h }, M. Quraish Shihab membahas tentang

definisi kata ummi> sebanyak 3 kali, yaitu dalam tafsir surat al-Baqarah ayat

78,20 surat al-A’ra>f ayat 157,21 dan surat al-Jumu’ah ayat 2.22 Secara umum,

M. Quraish Shihab mendefinisikan kata ummi> dengan “seseorang yang tidak

19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 15, 553. 20 ibid., Volume 1, 240. 21 ibid., Volume 5, 270. 22 ibid., Volume 14, 219.

90

pandai membaca dan menulis”.23 Sebagaimana telah dijelaskan oleh M.

Quraish Shihab bahwa kata ummi> terambil dari kata umm (ibu) untuk

menggambarkan kondisi seseorang yang seakan-akan keadaannya dari segi

pengetahuan atau pengetahuan membaca dan menulis sama dengan

keadaannya ketika baru dilahirkan oleh ibunya atau sama dengan keadaan

ibunya yang tidak pandai membaca.24

Selain itu, M. Quraish Shihab juga menyatakan dalam kitab tafsirnya

bahwa ada sebagian ulama yang berpendapat kalau kata ummi> terambil dari

kata ummah yang berarti kaum atau umat. Hal tersebut merujuk kepada

masyarakat ketika Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad

Saw. Pendapat ini diperkuat dengan hadis nabi yang berbunyi:

“Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi>, tidak pandai membaca dan

berhitung”.25

Kata ummi> dalam literatur tafsir tidak hanya memilki satu atau dua arti

sebagaimana telah disebutkan di muka. Ada beberapa ulama yang mendefinisikannya

secara berlainan. Al-Qasimi menafsirkan kata ummi> yin pada surat Ali Imran ayat 20

sebagai “kelompok yang tidak memiliki kitab suci” (la kita>ba lahum).

Sementara al-T}abari menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ummi ialah “orang

yang tidak cakap menulis”.26 Berbeda dengan pendapat kedua ulama di muka, Ibnu

Zaid mendefinisikan kata ummi> sebagai “orang yang tidak membaca al-

23 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 5, 270; dan Volume 14, 219. 24 ibid., 25 ibid., Volume 5, 270; dan Volume 14, 219. 26 Ibn Jarir al-T}abari, Jami>’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a<n, Jilid II (Beirut: Dar El-Fikr, 1988), 257.

91

kitab”. Ada riwayat lain yang berasal dari Ibnu ‘Abbas, beliau menjelaskan tentang

maksud kata ummi> dalam Al-Qur’an yang berbentuk jamak, yaitu “sekelompok orang

yang tidak membenarkan utusan Allah dan kitab yang dibawanya”.27

Jika dilihat dari konteks masing-masing ayat, M. Quraish Shihab

menafsirkan kata ummi> dengan segala derivasinya ke dalam dua kelompok.

Kelompok pertama ialah sebagian golongan ahli kitab, mereka disebut ummi>

karena ketidaktahuan mereka terhadap hakikat isi dan makna dari kitab suci

mereka sendiri. Golongan ini telah digambarkan secara jelas oleh Al-Qur’an

dalam surat al-Baqarah ayat 78. Sementara kelompok kedua yaitu orang-

orang di luar Ahli Kitab, mereka adalah kaum yang tidak pernah

mendapatkan kitab samawi yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum

Muhammad Saw. Secara spesifik, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa

mereka adalah orang-orang Arab, terutama orang-orang musyrik Mekkah.28

Dia menyatakan bahwa masyarakat Arab pada masa Jahiliah umumnya tidak

pandai membaca dan menulis, lebih-lebih kaum wanitanya, oleh karena itu

mereka disebut ummi>.29

Dari penjabaran mengenai ayat-ayat ummi> di bab kedua, dan

penjelasan M. Quraish Shihab mengenai definisi dari kata ummi> dalam Al-

Qur’an, maka dapat diketahui bahwa kata ummi>, dengan segala derivasinya,

dalam Al-Qur’an mencakup beberapa kelompok/golongan, antara lain:

27 Muhammad Husein Al-T}abat}aba’i>, al-Miza>n fi Tafsi>r al-Qur’a<n, Jilid I (Beirut: Muassasah al-A’la>m li al-Mat}ba’ah, t.th.). 28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an; Volume 3, 42 & 119; dan Volume 14, 219. 29 ibid., Volume 5, 270; dan Volume 14, 219.

92

a. Sebagian golongan Ahli Kitab, yaitu sebagian kaum Yahudi yang tidak

mampu memahami dan mengetahui isi dari kitab suci mereka, Taurat,

walaupun mereka mungkin telah membacanya. (Q.S. al-Baqarah: 78)

b. Orang-orang Arab jahiliyah, mereka disebut ummi> karena mereka bukan

dari golongan kaum yang mendapat kitab suci. Selain itu budaya tulis-

menulis bukanlah bagian dari tradisi mereka, bagi mereka menulis

merupakan aib. (Q.S. Ali Imran ayat 20 dan 75, dan Q.S. al-Jumu’ah ayat

2)

c. Nabi Muhammad Saw., beliau berasal dari suku Arab Quraish, maka,

menurut M. Quraish Shihab, beliau juga memiliki sifat ummi>, yaitu tidak

pandai membaca dan menulis, sebagaimana telah tercantum dalam kitab

Taurat dan Injil. Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ke-

ummi>-an Muhammad Saw. merupakan salah satu bukti kerasulan beliau,

sebagaimana Al-Qur’an telah menegaskan:30

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).31

Definisi M. Quraish Shihab mengenai ayat-ayat ummi> sebenarnya

tidak jauh berbeda dengan definisi yang diungkapkan oleh mayoritas ulama

tafsir lainnya. Hal tersebut terjadi karena, dalam kitab Tafsirnya Al-Mis}ba>h,

30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 5, 270. 31 Q.S. al-‘Ankabu>t: 48, Lihat Departemen Agama Republik Indonesia Jakarta, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 635.

93

M. Quraish Shihab banyak mengutip penafsiran para ulama tafsir besar,

seperti Fakhruddin ar-Ra>zi (606 H/1210 M), Abu Ishaq al-Shat}ibi> (w. 790

H/1388 M), Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i (809-885 H/1406-1480 M), dan

Badruddin Muhammad ibn Abdullah al-Zarkashi (w. 794 H).