tamadun awal islam di sulawesi selatan

24
0 PROPOSAL TESIS TAMADUN AWAL ISLAM DI SULAWESI SELATAN, INDONESIA, KAJIAN PERSPEKTIF ARKEOLOGI Oleh: ROSMAWATI (P-ARD0006/11(R) UNIVERSITI SAINS MALAYSIA, PULAU PINANG 2011

Upload: vudang

Post on 08-Dec-2016

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: tamadun awal islam di sulawesi selatan

0

PROPOSAL TESIS

TAMADUN AWAL ISLAM DI SULAWESI SELATAN, INDONESIA, KAJIAN PERSPEKTIF ARKEOLOGI

Oleh:

ROSMAWATI (P-ARD0006/11(R)

UNIVERSITI SAINS MALAYSIA, PULAU PINANG

2011

Page 2: tamadun awal islam di sulawesi selatan

PROPOSAL TESIS

TAMADUN AWAL ISLAM DI SULAWESI SELATAN, INDONESIA,KAJIAN PERSPEKTIF ARKEOLOGI

Oleh:

ROSMAWATI (P-ARD0006/11(R)

Penyelia

Prof. Dr. Stephen Chia Ming Soon

Page 3: tamadun awal islam di sulawesi selatan

Abstrak

Rosmawati (P-ARD0006/11(R))

Tamadun Awal Islam di Sulawesi Selatan, Indonesia,Kajian Dari Perspektif Arkeologi

Salah satu tinggalan arkeologi pada masa awal Islam yang banyak ditemukan di

Sulawesi Selatan adalah makam para raja-raja, pemuka agama dan adipati (penguasa

daerah) yang pada umumnya makam ini merupakan suatu kompleks pemakaman yang di

dalamnya terdapat keluarga atau kerabat, para aparat atau pembesar kerajaan dan hamba

sahaya yang terdekat. Kompleks makam semacam ini tersebar luas di beberapa Kabupaten

di Sulawesi Selatan (wilayah-wilayah bekas kerajaan yang pernah ada di masa lalu),

seperti Kompleks Makam Raja-Raja Gowa di Kabupaten Gowa, Kompleks Makam Raja-

Raja Tallo di Kota Makassar, Kompleks Makam Raja-Raja Binamu di Kabupaten

Jeneponto, Kompleks Makam Jera Lompoe di Kabupaten Soppeng, Kompleks Makam

Raja-Raja Luwu di Lokkoe-Kota Palopo, Kompleks Makam Raja-Raja Latenriruwa di

Kabupaten Bantaeng, Kompleks Makam Dea Dg Lita di Kabupaten Bulukumba,

Kompleks Makam Tosora di Kabupaten Wajo, Kompleks Makam Kassi Bumbung di

Kabupaten Takalar, Kompleks Makam Laiya di Kabupaten Enrekang, Kompleks Makam

Allakkuang di Kabupaten Sidrap, kompleks-kompleks makam di Barru dan beberapa

kompleks makam di Kabupaten Majene, Sulbar. Penyelidikan pada makam dan bagian-

bagiannya, pada kenyataannya kita tidak perlu lagi melakukan penafsiran fungsi

(interpretasi fungsional), karena terlihat jelas tentang fungsi makam sejak masa pra-sejarah

hingga kini. Namun permasalahan yang relevan dari nisan makam sebagai salah satu objek

arkeologis adalah mengenai bentuk, pengerjaan, bahan, dan persebaran bentuk-bentuk di

berbagai wilayah, baik di pesisir maupun di pedalaman.

Page 4: tamadun awal islam di sulawesi selatan

1

1. Pendahuluan

Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan menarik untuk dibicarakan karena:

(1) masuknya Islam di Sulawesi Selatan agak terlambat jika dibandingkan dengan

kawasan sekitarnya: Maluku, Kalimantan Selatan, dan Pesisir Utara Jawa. Namun,

sekarang Islam justru telah menjadi identitas dua etnik besar di Sulawesi Selatan iaitu

Bugis dan Makassar (Fadilla, 1999: 99; lihat juga Mappangara dan Abbas, 2003: 48).

(2) Dalam proses penyebaran Islam di Sulawesi Selatan bukan hanya doktrin tentang

agama Islam yang disebarkan, akan tetapi banyak aspek termuat di dalamnya. Aspek-

aspek tersebut bisa saja berupa ide tentang pola kemasyarakatan, perdagangan,

arsitektur, dan pemakaman. Untuk memahami bagaimana proses Islamisasi1 di suatu

kawasan berlangsung, tentu harus ditelusuri peninggalan-peninggalannya, di samping

ide-ide yang masih dipakai hingga sekarang.

Salah satu ide yang sampai sekarang dapat kita jumpai iaitu, sistem

pemakaman, dimana aspek utama dalam kegiatan tersebut iaitu, aspek gagasan, berupa

rumusan nilai dan simbol yang berlaku dalam suatu masyarakat (Nurhadi, 1990: 141;

Fatmawati, 1996: 46; Supratman, 2003: 5). Secara konseptual pemakaman dilakukan

sebagai bentuk ritus kepercayaan, dalam totalitas tamadun sebenarnya mengacu kepada

seluruh aspek tamadun tidak hanya menyangkut gagasan supra natural saja, melainkan

pemakaman harus pula diperhitungkan aspek sosial karena kegiatan tersebut

melibatkan banyak individu baik dalam bentuk teransaksi barang, energi dan simbol

(Nurhadi, 1990: 142; Ishak, 1998: 6).

Makam sebagai salah satu aspek dalam sub-sistem religi dalam totalitas suatu

tamadun, maka jika dikaji secara mendalam dapat memberikan signifikasi kesejarahan

yang cukup valid (Ambary,1991: 20). Bahkan makam jika dihubungkan dengan kajian

Page 5: tamadun awal islam di sulawesi selatan

2

proses Islamisasi di setiap kawasan, maka makam merupakan data yang sangat penting.

Ini disebabkan karena makam sebagai salah satu perilaku ritual sekaligus perilaku

sosial akan mudah dimengerti bahwa penguburan serta medianya merupakan salah satu

fenomena yang harus ada di kehidupan manusia.

Dengan demikian makam merupakan salah satu artefak yang dapat menjadi

indikator adanya perubahan yang terjadi secara bertahap dari konsepsi kepercayaan

masa pra-Islam ke masa perkembangan Islam. Hal ini dapat diketahui melalui

perbandingan bentuk dan ragam hias makam pada setiap kawasan baik pesisir maupun

pedalaman. Selain itu melalui bentuk-bentuk makam tersebut kita bisa mendapatkan

data mengenai beberapa faktor sosial ataupun faktor politik dalam komunitas

pendukung tapak tersebut. Makam adalah suatu sistem penguburan bagi orang muslim

dimana pada bagian atasnya diberi tanda dengan arah utara selatan dan berbentuk segi

empat panjang.

Salah satu tinggalan arkeologi pada masa Islam (arkeologi Islam) yang banyak

ditemukan di Sulawesi Selatan adalah makam para raja-raja, pemuka agama dan adipati

(penguasa kawasan) yang pada umumnya makam ini merupakan suatu kompleks

pemakaman yang di dalamnya terdapat keluarga atau kerabat, para aparat atau

pembesar kerajaan dan hamba sahaya yang terdekat. Kompleks makam semacam ini

tersebar luas di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan (kawasan-kawasan bekas

kerajaan yang pernah ada di masa lalu), seperti Kompleks Makam Raja-Raja Gowa di

Kabupaten Gowa, Kompleks Makam Raja-Raja Tallo di Kota Makassar, Kompleks

Makam Raja-Raja Binamu di Kabupaten Jeneponto, Kompleks Makam Jera Lompoe di

Kabupaten Soppeng, Kompleks Makam Raja-Raja Luwu di Kota Palopo, Kompleks

Makam Raja-Raja Lateriruwa di Kabupaten Bantaeng, Kompleks Makam Dea Dg Lita

Page 6: tamadun awal islam di sulawesi selatan

3

di Kabupaten Bulukumba, Kompleks Makam Tosora di Kabupaten Wajo, Kompleks

Makam Kassi Bumbung di Kabupaten Takalar, Kompleks Makam Laiya di Kabupaten

Enrekang, dan Kompleks Makam Allakkuang di Kabupaten Sidrap.

Penyelidikan pada nisan makam, pada kenyataannya kita tidak perlu lagi

melakukan penafsiran fungsi (interpretasi fungsional), karena terlihat jelas tentang

fungsi nisan makam sejak masa pra-sejarah hingga kini. Namun permasalahan yang

relevan dari nisan makam sebagai salah satu objek arkeologis adalah mengenai bentuk,

pengerjaan, bahan, dan persebaran bentuk-bentuk di berbagai kawasan, baik di pesisir

maupun di pedalaman. Namun sering kali nisan makam ini dapat uraian-uraian tentang

pola hias, bahkan tidak luput pula tinjauan segi filsafat pola hias (Santosa, 1980; 486,

lihat juga Marioga, 1995: 41).

Salah satu kelengkapan yang penting artinya dalam arsitektur Islam adalah

adanya segi-segi dekoratif dan ornamentik sebagai polesan terakhir dalam pembuatan

bangunan-bangunan Islam, yang kemudian menentukan mutu dan nilai dari

penampilannya. Pada kenyataannya kedua unsur kelangkapan tadi terdiri dari berbagai

hal yang menentukan arah untuk tercapainya segi keindahan dari bangunan. Namun

untuk peninggalan arkeologi, ornamentasi atau motif hias dapat diterapkan pada

beberapa hasil pahatan, misalnya di arca, gerabah, keramik, senjata, genta, dan lainya,

yang meliputi benda-benda yang sakral maupun sekuler, juga dapat diterapkan pada

bangunan seperti pada makam dan yang lebih khasnya pada nisan makam.

Penyelidikan yang bertemakan Arkeologi Islam bukan hal baru di Indonesia, hal

ini dapat dibuktikan dengan adanya penyelidikan pertama kali yang dilakukan pada

tahun 1907 di kawasan Pesisir Utara Aceh, hingga saat ini masih tetap berlangsung,

bahkan Uka Tjandrasasmita (2000) telah mempublikasikan beberapa penyelidikan yang

Page 7: tamadun awal islam di sulawesi selatan

4

pernah dilakukan dalam sebuah buku dengan judul “Penyelidikan Arkeologi Islam di

Indonesia Dari Masa Kemasa”. Ini berarti kematangan penyelidikan Arkeologi Islam

semakin hari semakin berkembang, dan hal inipulalah mengilhami gagasan penulis

tertarik untuk melakukan penyelidikan yang bertemakan sama.

2. Rumusam Masalah

Berlandaskan pada uraian di atas, maka penulis kemudian mencoba

menguraikan permasalahan ke dalam tiga wujud pertanyaan penyelidikan sebagai

berikut:

a. Bagaimana bentuk dan ragam hias makam-makam kuno pada awal masuknya

agama Islam di kawasan Sulawesi Selatan dan Majene?

b. Sejak kapan masa awal masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan dan Majene?

c. Bagaimana corak perkembangan tamadum Islam pada masa awal masuknya agama

Islam di kawasan Sulawesi Selatan dan Majene?

d. Bagaimana hubungan antara Kerajaan Islam di Sulawesi dengan kerajaan-kerajaan

lainnya di kawasan Nusantara?

3. Tujuan Penyelidikan

Dari permasalahan penyelidikan yang telah diajukan di atas, keberhasilan

penyelidikan ini bertumpu pada kenyataan bahwa kawasan penyelidikan memiliki

tapak arkeologi berupa makam yang potensial, sehingga tujuan yang ingin dicapai

dalam penyelidikan ini, meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya

adalah terkait dengan tiga tujuan arkeologi, terutama untuk merekontruksi sejarah

tamadun. Sementara tujuan secara khusus, adalah berkaitan dengan pertanyaan

penyelidikan yang telah diajukan di atas, iaitu :

Page 8: tamadun awal islam di sulawesi selatan

5

1. Untuk mengetahui bentuk dan ragam hias makam-makam Islam yang terdapat pada

kawasan Sulawesi Selatan.

2. Untuk mengetahui sejak kapan masa awal masuknya agama Islam di kawasan

Sulawesi Selatan dan Mandar.

3. Untuk menegetahui bagaimana corak perkembangan tamadun Islam pada awal

masuknya di kawasan Sulawesi Selatan.

4. Untuk memberikan gambaran bagaimana hubungan-hubungan dan peranan

kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi Selatan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di

kawasan Nusantara.

4. Kaedah Penyelidikan

Lokasi penyelidikan ini dijalankan pada beberapa kawasan di Sulawesi Selatan

dan Majene. Pilihan lokasi ini didasari pertimbangan bahwa di setiap kawasan di

Sulawesi Selatan dan Majene memiliki seberan temuan khususnya berupa kompleks

makam Islam yang hampir dijumpai di setiap kota atau kabupaten, selain itu kerajaan

yang bercorak Islam pertama kali di daratan Sulawesi adalah di semenanjung Sulawesi

Selatan (Poesponegoro, 1993:39-40) dan yang pertama kali menerimanya adalah

kerajaan Gowa-Tallo, kemudian menyebarkan agama tersebut di beberapa kerajaan-

kerajaan di Sulawesi Selatan (Sewang, 2005: 7-8).

Untuk keperluan data penyelidikan, maka jenis data yang dikumpulkan adalah

jenis data primer dan data sekunder. Jenis data primer diperoleh dari data sumber utama

iaitu sejumlah bekas makam Islam dari segi bentuk dan ragam hias nisan, mesjid tua

dan istana kesultanan sebagai objek penyelidikan, data ini diperoleh dengan deskripsi

melalui survei dan temu bual di lokasi penyelidikan, manakala data sekunder diperoleh

melalui data pustaka.

Page 9: tamadun awal islam di sulawesi selatan

6

Guna mendapatkan data-data yang baik dan akurat menyangkut objek yang

diteliti maka, teknik pengumpulan dan pengolahan data yang digunakan dalam

penyelidikan ini secara garis besar terbagi empat bagian, iaitu: pengumpulan data

pustaka, pengumpulan data lapangan, pengolahan data dan penafsiran data

a. Pengumpulan data pustak, iaitu penulis mengunakannya sebagai kerangka dasar

berupa gagasan-gagasan, teori ataupun konsep umum dari berbagai disiplin ilmu

yang berkaitan baik secara langsung maupun secara tidak langsung berhubungan

dengan bidang kajian. Pengumpulan data pustaka ini digunakan pula sebagai

petunjuk di dalam mencari dan memahami data lapangan, terutamanya untuk

mengetahui tapak-tapak yang akan disurveiagar pada saat penyelidikan lapangan

sehingga tidak dijumpai kesalahan dan kesulitan. Metode pustaka ini juga

digunakan pada tahap selanjutnya dimana teori, hipotesa, serta pendapat para ahli

akan dipakai untuk memperkuat alasan-alasan agar hasil penafsiran data yang

dihasilkan dapat lebih maksimal.

b. Pada pengumpulan data lapangan, dalam hal ini mengunakan metode survey

permukaan untuk memperoleh kepastian bentuk, ukuran dan jenis ragam hias, serta

keletakan makam, dengan tujuan untuk mengetahui bentuk dan ragam hias makam

yang ada di kawasan Sulawesi Selatan dan Majene. Pelaksanan teknis kerja ini,

penulis mengadakan pendeskripsian pada bagian-bagian makam, setelah itu

diadakan penggambaran bentuk dan ragam hias. Selain itu, untuk mengabadikan

objek penyelidikan diadakan pemotretan dan ploting lokasi tapak. Setelah itu,

kemudian pencatatan dilakukan untuk mendeskripsikan setiap makam dan bagian-

bagiannya.

c. Pengolahan data, iaitu suatu kegiatan yang lebih fokus pada pemilihan makam,

bentuk nisan dan ragam hias dalam kategori-kategori klasifikasi, yang terdiri dari

Page 10: tamadun awal islam di sulawesi selatan

7

klasifikasi bentuk makam, bentuk nisan dan ragam hias, geografi, hubungan-

hubungan dan kecendrungan.

d. Tahap analisis dan penafsiran data, iaitu analisis morfologi, perekembangan, masa

dan konteks keruangan atau geografi tamadun. Selanjutnya interpretasi dilakukan

dengan mengintegrasikan semua data, baik data arkeologi, sejarah maupun data

etnografi, dengan bantuan konsep atau teori-teori yang rapat kaitannya dengan

persolaan dalam topik pembahasan.

5. Landasan Teori

5.1. Proses Kedatangan Islam

Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa beberapa kawasan tertentu seperti

Samudera Pasai atau Leran di Jawa Timur telah memeluk agama Islam sedikitnya sejak

akhir abad ke-13, atau mungkin pada abad ke-12 atau bahkan pada abad ke-11. Hal Ini

karena di masing-masing tempat tadi ditemukan batu nisan yang bertulis Arab yang

bertahun 1297 (di Pasai) dan 1102 (di Leran). Selain itu, Marco Polo yang

mengunjungi wilaya Samudera Pasai pada tahun 1292 menyebut bahwa Perlak sudah

memeluk agama Islam, sementara “Samara” (Samudera?) masih menyembah berhalah.

Demikian pula, pengembara Muslim Marokko, Ibn Battuta, yang mengunjungi Pasai di

tahun 1345 menyetakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Dari tempat-

tempat inilah Islam kemudian menyebar ke seluruh Nusantara.

Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada tiga

teori besar. Pertama adalah teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari

Arab, atau tetapnya Hadramaut. Teori ini pertama kali di kemukakan Crawfurd (1820),

Keyzer (1859), Niyeman (1861), de Hollander (1861), dan veth (1878). Crawfurd

menyatakan, bahwa Islam datang langsun dari Arab, meskipun ia menyebut tentang

adanya hubungan dengan orang-orang “Mohammedan” di India Timur. Kayzer, dalam

Page 11: tamadun awal islam di sulawesi selatan

8

pada itu beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Shafi’i, sama

seperti yang dianut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori tentang mazhab ini

juga di pegang oleh Niyeman dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hatdamaut,

bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebad Muslim Hadramaut adalah

pengikut Mazhab Shafi’i seperti juga kamu Muslimin Nusantara. Sedangkan Veth

hanya menyebut dibawa “orang-orang Arab” tanpa menunjuk tempat asal mereka

Timur Tengah maupun kaitanya (kalau ada) dengan Hadrmaut, Mesir atau India. Teori

semacam ini juga diajukan Hamka dalam Seminar Sejara Masuknya Islam ke Indonesia

tahun 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsun dari Arab, bukan melalui

India dan bukan pula dalam abad ke-11, melainkan pada abad pertama Hijri/7 M (sic).

Teori bahwa Islam di Nusantara yang datang dari India pertamakali di

kemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan

perjalanan Sulaiman, Marco Polo dan Ibn Battuta, ia menyimpulkan orang-orang Arab

yang bermazhab Shafi’i, dari Gujarap dan Malabar di India membawa Islam ke Asia

Tenggara. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa melalui perdagangan

amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah

lagi dengan istilah-istilah Persia yang dibawah dari India, digunakan dari bahasa

masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut di kembangkan oleh

Snouck Hurgronya yang melihat pula bahwa para pedagang kota pelabuhan Dakka di

India selatan sebagai pembawa-pembawa Islam ke wilayah baru Islam ini :

“…para penduduk Dakka, yang berdiam dalam jumlah besar di kota-kota pelabuhan di pulau ini (Sumartera) menjadi perantara dalam perdagangan antara Negara-negara Mesir (yakni Asia Barat) dan Hindia Timur (East Indies-Indonesia), seolah-olah menjadi sifat segala sesuatu yang di takdirkan untuk menyebarkan benih-benih pertama agama baru ini. Orang-orang arab, khususnya mereka yang datang sebagai anak cucu Nabi…sayyid atau sharif, mendapatkan kesempatan baik untuk menunjukkan kemampuan organisasi mereka. Sebagai pendeta-pendeta (priests) pangeran pendeta (priests-princes) dan sebagai sultan-

Page 12: tamadun awal islam di sulawesi selatan

9

sultan mereka sering melakukan sentuhan terakhir bagi pembentukan wilayah baru Islam.

Teori Snuock ini lebih lanjut di kembangkan oleh Morrizon pada tahun 1951 dengan

menujuk tempat yang pasti di India, dari sana Islam datang ke Nusantara. Iya menunjuk

pantai Koromandal sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedaganng Muslim

dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.

Teori yang ketiga di kembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari

Benggali (kini Banglhades). Dia mengutip keterangan Tomepires yang mengungkapkan

bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan

mereka. Sementara Islam muncul pertama kali di di semenanjung Malayah adalah dari

arah pantai timur, bukannya dari Barat (malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton,

Phanrang (Vietnam), Lerang dan Trenggani. Iya beralasan bahwa secara dokrin, Islam

di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, sementara elemen-elemen

prasasti yang di temukan di Trengganu juga lebih mirip degan prasasti yang di temukan

di Leran. Drewes yang mempertahankan teori Snouck menyatakan , bahwa teori Fatimi

ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada di nilai

merupakan “perkiraan liar belaka” lagi pula, mazhab yang dominan di Benggala adalah

mazhab Hanafi bukan mazhab Shafi’i seperti di Semenanjung dan Nusantara secara

keseluruhan.

5.2. Perkembangan Islam di Nusantara

Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara

pasti,dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh

suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak

daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing,

mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam daripada

Page 13: tamadun awal islam di sulawesi selatan

10

daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan secara pasti kapan agama Islam

masuk di Nusantara secara keseluruhan. Dengan demikian rangkaian berbagai macam

data, baik arkeologis maupun data lain berperan menunjukkan keberadaan orang Islam

di daerah bersangkutan.

Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita China dari Dinasti T’ang,

Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII M.

Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk

menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di Ho-

ling sangat kuat. Groeneveldt mengidentifikasikan Ta-shih sebagai orang-orang Arab,

dan Ho-ling diidentifikasikan sebagai Kalingga, serta Si-mo sebagai Sima. Akan tetapi,

berita tersebut belum dapat dibuktikan secara arkeologis, yakni dari sudut peninggalan

budaya material. Dengan kata lain, belum ditemukan bukti-bukti artefaktual tentang

keberadaan orang-orang Islam di Indonesia pada abad VII-VIII M. Pada sisi lain

diketahui bahwa masa itu sampai abad XIV M di Indonesia kerajaan-kerajaan Hindu-

Budha beserta institusi-institusi keagamaannya masih berkembang dengan baik.

Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam belum menjejakkan kakinya

di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum terbentuk komunitas Muslim

yang cukup signifikan. Kegiatan pelayaran-perdagangan yang dilakukan oleh kaum

Muslim dari Arab dan Persia pada waktu itu memang sudah menjangkau kawasan Asia

Tenggara dan Cina. Hal itu dapat diketahui dari sumber-sumber Muslim sendiri, seperti

Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh (903), dan Al Biruni (1030). Mereka menyebutkan

kunjungan mereka ke beberapa tempat seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur

(Barus). Pengertian Jawa di sini tentunya mencakup pelabuhan-pelabuhan kuno di

pesisir utara pulau Jawa, seperti Tuban, Sedayu dan Gresik.

Page 14: tamadun awal islam di sulawesi selatan

11

Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad XI M di Indonesia,

khususnya di Jawa , sudah ada penganut agama Islam yang bermukim di kota

pelabuhan. Bukti arkeologis itu berupa batu nisan bertulis dari pemakaman kuno Leran,

di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti

Maimun bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H.

bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan

Kadiri. Jika dilihat dari namanya tampak bahwa dua generasi di atas Fatimah (ayah dan

kakeknya) sudah memeluk agama Islam. Namun, tidak jelas betul apakah mereka

bumiputera yang memeluk agama Islam, ataukah pendatang yang menetap di

pelabuhan terdekat. Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak

seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan.

Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa.

Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih

solid di kerajaan Kadiri.

Setelah tahun 1082 M data tentang keberadaan orang Islam di Nusantara baru

muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti huruf Arab di

kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra Utara). Prasasti itu

memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang

bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga si mati adalah seorang

wanita bumiputra yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang

anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan

kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang

belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus

sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh

Masehi.

Page 15: tamadun awal islam di sulawesi selatan

12

5.3. Terbentuknya Institusi Politik

Pada tahapan berikutnya, terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam. Di

Indonesia kerajaan Islam yang tertua adalah Samudra-Pasai yang terletak di pantai

timur Aceh sekarang. Di tempat itu sekarang masih ada kampong bernama Samudra

dan Pasai, yang terletak di pantai Selat Malaka. Di situs tersebut ditemukan

pemakaman kuno, yang nisan-nisannya memuat prasasti dengan bahasa dan huruf

Arab. Pada salah satu nisan tersebut tercantum prasasti yang memuat nama al-sultan al

Malik al Saleh yang wafat pada tahun 696 H (bertepatan dengan tahun 1297 M).

Pencantuman sebutan al-sultan itulah yang menjadi dasar interpretasi keberadaan suatu

institusi politik Islam di kawasan tersebut. Tentunya sebelum terbentuk institusi politik

Islam, terlebih dahulu sudah terjadi penyebaran agama Islam secara luas di kalangan

masyarakat. Hal itu tersirat di dalam sumber-sumber tertulis yang terkait dengan

kawasan tersebut. Marcopolo yang pada tahun 1292 berkunjung ke beberapa pelabuhan

di kawasan itu, seperti Ferlec (= Perlak), mengatakan bahwa penduduk kota beragama

Islam, sedang penduduk pedalaman masih kafir. Di sisi yang lain sumber tertulis lokal

seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu hanya mengkisahkan bahwa

Meurah Silu, pemimpin di Samudra-Pasai, di-Islam-kan oleh Fakir Muhammad yang

datang dari atas angin, setelah itu namanya diganti menjadi Malik al-Saleh.

Di Jawa institusi politik Islam yaitu kesultanan Demak baru lahir pada abad

XV, bersamaan dengan mundurnya Kerajaan Majapahit. Pergantian pemegang

kekuasaan politik dari Majapahit ke Demak pada tahun 1519 hakekatnya adalah usaha

perebutan tahta di antara anggota keluarga raja. Dalam hal ini penguasa Demak yang

juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa berhak pula atas kendali kekuasaan

kerajaan Majapahit. Sekalipun demikian tidak dapat pula diabaikan bahwa perbedaan

pandangan keagamaan juga memberikan kemungkinan kepada Demak untuk

Page 16: tamadun awal islam di sulawesi selatan

13

menaklukkan Majapahit. Harus dicatat pula bahwa sudah sejak masa kejayaan

Majapahit sudah ada orang-orang Islam yang tinggal di kota kerajaan, sebagaimana

tampak dari kubur-kubur Islam kuno di Tralaya. Nisan-nisan kuno tersebut memuat

angka tahun tertua: 1290 Ç = 1368 M, dan angka tahun termuda 1533 Ç = 1611 M,

tetapi tidak memuat nama sama sekali. Data itu menggambarkan bahwa pada tahun

1368 M , yang masih dalam masa keemasan Majapahit, sudah ada orang Muslim yang

tinggal di kota kerajaan, sebab situs Tralaya diduga berada di selatan kraton Majapahit.

Beberapa nisan di situs tersebut memuat relief surya majapahit yang diyakini

merupakan lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang

dikuburkan di tempat tersebut adalah keluarga dekat raja, dan beragama Islam.

5.4. Penyebaran Agama Islam

Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah

dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun caracara

penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat,

dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu, beberapa di

antaranya tergolong dalam Wali Sanga, mendirikan pesantren-pesantren yang muridnya

datang dari berbagai penjuru, dan kemudian terbentuklah komunitas-komunitas Muslim

di banyak tempat di Jawa. Sementara itu penyebaran Islam juga ditujukan ke pulau-

pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut

dipelopori oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan

politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya

di Kalimantan Selatan.Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur

perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara

oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII

– XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara,

Page 17: tamadun awal islam di sulawesi selatan

14

serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada

pihak lain merupakan kewajiban bagi semua orang. Peran serta kaum pedagang dalam

penyebaran Islam di Nusantara tergambar dalam Babad atau Hikayat di banyak daerah.

Para pedagang asing, termasuk pedagang-pedagang Muslim, biasanya tinggal di

pelabuhan-pelabuhan Nusantara dalam waktu yang cukup lama, karena selain

melaksanakan kegiatan jual-beli mereka juga menunggu angin untuk berlayar pulang ke

negerinya. Mereka biasanya tidak membawa keluarga, karena situasi pelayaran masa

itu keras dan berat. Oleh karena itu mereka biasanya membentuk keluarga dengan

menikahi wanita bumiputra, yang terlebih dahulu diislamkan. Dengan demikian,

keturunan mereka sudah menjadi generasi pertama bumiputra yang beragama Islam.

Hal semacam ini lebih menguntungkan lagi apabila wanita bumiputera itu adalah anak

keluarga terkemuka, karena status sosialnya ikut mempercepat penyebaran Islam di

tempat tersebut. Cara penyebaran Islam semacam itu sering tersirat dalam sumber-

sumber tertulis setempat.

Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara

adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= ulama ahli tasawuf)

mengandung persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang

berkembang di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam

diterima oleh masyarakat Nusantara. Kecuali melalui perdagangan, pernikahan, dan

tasawuf, penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan. Dalam hal ini

pendidikan yang diselenggarakan oleh ulama-ulama di pesantren atau pondok.

Lembaga pendidikan tersebut tidak sukar diterima oleh masyarakat Nusantara waktu

itu, karena sistemnya tidak jauh berbeda dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh

para rsi pada masa sebelumnya. Pesantren-pesantren itu banyak menarik perhatian

masyarakat, termasuk yang belum memeluk agama Islam, karena para ulama pemimpin

Page 18: tamadun awal islam di sulawesi selatan

15

pesantren dipandang sebagai orang-orang terpelajar, santun, dan suka menolong. Cara

penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra, seni pertunjukan,

seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang

yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara

disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno.

Selain itu, para pujangga waktu itu juga menggubah ceritera baru untuk dipergelarkan,

seperti cerita Menak. Demikian pula lirik dalam tembang untuk mengiringi pergelaran

tersebut, juga dipakai untuk mengungkapkan ajaran agama yang baru. Seni bangunan

juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu

contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam membangun mesjid. Sebagaimana

diketahui gaya arsitektur mesjid kuno yang disebut gaya Nusantara dikembangkan dari

arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya, namun disesuaikan dengan kebutuhan

peribadatan agama Islam. Dengan demikian para Muslim baru tidak merasa gamang

datang ke tempat peribadatan baru (mesjid) yang bentuk dan suasananya sudah akrab

bagi mereka.

Berbicara mengenai masuknya Islam di Nusantara, selain menyangkut waktu

dan cara, juga tidak lepas dari pembawanya dalam tahap pertama. Dalam hal ini yang

dimaksud adalah etnik pembawa Islam dari luar Nusantara. Sebab meskipun agama

Islam diturunkan di jazirah Arab, tetapi penyebarannya ke Nusantara diduga tidak

sepenuhnya dan tidak langsung dilakukan oleh etnik Arab. Etnik lain juga berperan

dalam hal itu, misalnya: Persia, India, bahkan mungkin juga China. Interpretasi tersebut

didasarkan antara lain pada: adanya beberapa jirat dan nisan kubur yang didatangkan

dari Gujarat (pantai barat India); adanya episode yang mengisahkan peranan orang

Arab dan India dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, antara lain dalam

Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu dan Babad Tanah Jawi; berita yang ditulis

Page 19: tamadun awal islam di sulawesi selatan

16

Ma-huan (sekretaris Laksamana Cheng-ho yang berkunjung ke Majapahit pada tahun

1415) tentang keberadaan etnik China yang beragama Islam di Jawa.

Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal sudah

dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di

Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku

Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat

dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat,

dan mendirikan pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah. Banyak

legenda yang mengisahkan kelebihan para wali, terutama tentang kealiman dan

kekuatan supranatural mereka. Di Jawa mereka disebutkan berjumlah sembilan,

sehingga mereka lazim disebut Wali Sanga, meskipun nama-nama anggotanya tidak

selalu sama. Nama yang sering disebut dalam sumber-sumber tertulis setempat adalah:

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,

Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan (Te)mBayat. Kadang-kadang

disebutkan pula Sunan Bejagung, Sunan Geseng, Syeh Siti Jenar, dan Sunan Sendang.

Tentang para wali tersebut ada beberapa hal yang secara historis belum pasti, namun

makam-makam mereka sampai sekarang masih ramai diziarahi orang.

Page 20: tamadun awal islam di sulawesi selatan

Daftar Pustaka

Anonim, 1999. “Metodologi Penelitian Arkeologi”. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaaan Republik Indonesia. Jakarta.

Anonim, 2007. “Sulawesi Selatan Dalam Angka 2007”. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.

Anonim. 2004, “Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905”. Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar

Andaya, Leonard Y. 2004. “Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17”. (Diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok). Makassar: Ininnawa.

Ambary, Hasan Muarif. 1986. “Unsur Tradisi Pra Islam Pada Sistem Pemakaman Islam di Indonesia”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Puslit Arkenas, Jakarta.

Amabary, Hasan Muarif. 1998. “Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis Dan Historis Islam Indonesia”. Logos Wacana Ilmu. Jakarta.

Ambary, Hasan Muarif, 1987. ”Pengamatan Beberapa Konsepsi Estetis dan Simbol Pada Bangunan Sakral dan Sekuler Masa Islam Di Indonesia, dalam Estetika dalam Arkeologi Indonesia, Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) II, Jakarta

Ambary, Hasan Muarif, 1991, “Sejarah Perkembangan Pesantren di Pulau Jawa: Dimensi dan Prespektifnya,“ Proceeding Seminar Pesantren Dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Abdullah, Taufik. 1986. “Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi” (Cet.III). Jakarta: LP3ES.

Dewi, Purnama, Sri Wahyuningsi. 1991. “Kompleks Makam Bonto Biraeng”. SkripsiJurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Endaswara, Suwardi, 2006. “Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan; Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi”. Pustaka Widyatama. Yogyakarta.

Fadillah. Ali, 1989. “Simbol Genetalia Pada Makam Bugis Makasar dan Persamaannya di Asia Tenggara Suatu Kajian Tipologi Nisan Kubur “, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Fadila. Ali, 1999. “Warisan Budaya Bugis Di Pesisir Selatan Denpasar Nuansa Sejarah Islam Di Bali”. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta.

Ferdinandus, Pieter Ej. 1991. “Situs Batu Kalda di Pengandaran. Dalam Monumen. Edisi Khusus FS-UI, Depok, Jakarta.

Page 21: tamadun awal islam di sulawesi selatan

Faizaliskandiar, Mindra, 1989. “Irvin Rouse: Klasifikasi Analitik Dan Taksonomi Data Arkeologi”. Dalam Paradigma Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.

Fagan, Brian M. 1991. “Archaeologi: A Brief Introduction”, California: Harper Collins Publisher.

Fatmawati, 1996. “Kompleks Makam Mara’Di’A Pamboang Kabupaten Majene” SkripsiJurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Fatmawati, Umar, Andi. 1999. “Industri Makam Islam di Allekuang, Sidenreng Rappang, Kasus Teknologi Kubur”. Dalam Walannae, Balai Kajian Arkeologi (BALAR). Makssar.

Hoop, A.N.J. van Der, 1949. “Indonsiche Siermolieven”. Koniklik Bataviaasch Genootscap Van Kunstan En Wetenschappen.

Hadimuljono. 1977. “Laporan Pemugaran Kepurbakalaan Makam Kuna Raja-Raja Lamuru di Daerah Kabupaten Bone”. Ujung Pandang. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.

Ishak, Muhammad. 1998. “Kompleks Makam Kuno Tabbaka Desa Arung Keke Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto”. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Koentjaraningrat, 1997. “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan”. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Krisyantono, Rachmat. 2006. “Teknik Praktis Riset Komunikasi”. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Komaruddin. Ed. 2006, “Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah”. Bumi Aksara. Jakarta.

K a m i j a. 2003, “Ekosistem Pantai “. Makalah Jurusan ilmu lingkungan Program Studi Antar Bidang Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kasmar, 2007. “Kompleks Makam Punaga (Kassi Bumbung) Kecamatan Manggara Bombang Kabupaten Takalar”. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Makassar.

Limbugau, Daud. 1989, “Perjalanan Sejarah Kota Maritim Makassar Abad 19-20” dalam Mukhlis. Ed, 1989, “Persepsi Sejarah Kawasan Pantai”, Proyek Pengkajian Dan Pengembangan Masyarakat Pantai (P3MP) – UNHAS –YIIS – Toyota Fundation, Ujung Pandang.

Mappangara, Suriadi dan Abbas, Irwan. 2003. “Sejarah Islam di Sulawesi Selatan”.Lamacca Press. Makassar

Page 22: tamadun awal islam di sulawesi selatan

Murray, L. Tania. Ed. 2002. “Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia”. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Makkulasse, Haruna Andi. 1983. “Bentuk dan Ragam Hias pada Situs Makam Kuna Bataliung di Jeneponto”. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Marioga. Nurwahidah. 1995. “Makam Raja-Raja Kutai Kertanegara di Tenggarong Kabupaten Kutai Propinsi Kalimantan Timur”. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.

Muliani, Andi. 1991. “Kompleks Makam Addatuang Sawitto di Kecamatan Watang Sawitto”. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Mahmud, M. Irfan. Ed, 2007. “Bantaeng Masa Prasejarah ke Masa Islam”. Masagena press. Makassar.

Matullada, 1975, “Latoa : Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi-Poloitik Orang Bugis”. Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta.

Matullada, 1976. “Agama Islam Di Sulawesi Selatan”. Laporan Proyek Penelitian Peranan Ulama Dan Pengajaran Agama Islam di Sulawesi Selatan. Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Mattulada. Ed, 1976/1977. “Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan”. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah

Mattulada, 1978. “Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah”. Dep. Ilmu-Ilmu Sosial FIUBD Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.

Mattulada. 1982. “Menyusuri Jejak-Jejak Kehadiran Makassar Dalam Lintas Sejarah”. Bhakti Baru. Ujung Pandang.

Mattulada. 1983. “Islam di Sulawesi Selatan”. Dalam Taufik Abdullah (Ed.), Agama dan Perubahan Sosial. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta.

Mattulada. 1996. “Islam di Sulawesi Selatan”. Dalam Taufik Abdullah (Ed.), Agama dan Perubahan Sosial. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta.

Montana, Suwedi. 1983. “Mode Hiasan Matahari Pada Pemakaman Islam Kuno di Beberapa Tempat di Jawa dan Madura”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.

Makmur, 1993. “Ragam Hias Kompleks Jera Palette di Takalar” Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Page 23: tamadun awal islam di sulawesi selatan

Montana, Suwedi. 1990. “Tradisi Kematian Setelah Agama Islam di Indonesia”. Dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.

Makin, H. Nurul, 1995. “Kapita Selekta Kaligrafi Islam”. PT. Pustaka Panjimas. Jakarta.

Mundarjito, 1989. “Beberapa Konsep Penyebarluasan Informasi Kebudayaan Masa Lampau”. Dalam Paradigma Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.

Muhaeminah. 1997, “Bentuk-bentuk Nisan Makam Kuna Islam Seputar Pantai Di Wilayah Sulawesi Selatan”. Dalam Tomanurung, Buletin Arkeologi. Balai Arkeologi Ujungpandang. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Ujungpandang.

Muhaeminah. 2005. “Tinggalan Masa Islam Di Pulau Barang Lompo Makassar Analisis Survei Arkeologi”. Dalam Walannae, Balai Kajian Arkeologi (BALAR). Makssar.

Noorduyn. J. 1972. “Islamisasi Makassar”. (Dierjemahkan oleh S. Gunawan). Bhratara Djakarta.

Nurhadi. 1990. “Arkeologi Kubur Islam di Indonesia”. Dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.

Nurhakim, Lukman. 1990. “Tinjauan Tipologi Nisan Pada Makam Islam Kuno Di Indonesia”, dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.

Paeni, Mukhlis. Ed (peny). 1995. “Sejarah Kebudayaan Sulawesi”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Poesponegoro, Marwati Djoened dkk, 1993. “Sejarah Nasional Indonesia III”. Balai Pustaka, Jakarta: Depdikbud.

Poelinggomang, Edward L. 2002. “Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim” Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Perret, Daniel. 2002. “Batu Aceh: Empat Negara Asia Tenggara Satu Kesenian”. Dalam 25 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi dan E’cole Francaise d’Extreme-Orient. Jakarta.

Raharjo, W. Wanny. 1989. “Beberapa Konsep Dasar Analisis Artefak Dalam Arkeologi”. Dalam Paradigma Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.

Reid, Anthony. 2004. “Sejarah Modern Awal Asia Tenggara” (diterjemahkan oleh Sori Siregar dkk). Jakarta: LP3ES.

Page 24: tamadun awal islam di sulawesi selatan

Rosmawati. 2008. “Pemaknaan Inskripsi Pada Kompleks Makam Islam Kuno Katangka Di Kabupaten Gowa”. Tesis Konsentrasi Ilmu Sejarah Program Studi Antropologi Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar

Rosalina. 1995. “Kompleks Makam Turungan Kabupaten Sinjai”. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Sewang, M. Ahmad. 2005. “Islamisasi Kerajaan Gowa”, (Abad XVI Sampai Abad XVII). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Santosa, Halina Budi. 1980. “Catatan Tentang Perbandingan Nisan Dari Beberapa daerah di Indonesia”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) I. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.

Satari, Soejatmi Sri. 1987. “Seni Hias Ragam dan Fungsinya: Pembahasan Singkat Tentang Seni Hias dan Hiasan Kuno”, dalam Estetika dalam Arkeologi Indonesia, Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) II, Jakarta.

Subarna, Abay D. 1987. “Unsur Estetika dan Simbol pada bangunan Islam“. Dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi II. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta.

Soekmono, R. 1991. “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III”. Kanisius. Yogyakarta.

----------------- 1973. “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III”. Kanisius. Jakarta.

Salam, Abdul. 1992. “Menhir Sebagai Nisan Pada Makam Kuna Tompo Lemoe Kabupaten Barru”. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Sadri, Muhammad. 1992. “Kompleks Makam La Tenri Ruwa di Bantaeng”. SkripsiJurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Supratman, 2003. “Kompleks Makam Kuno Petta Pallase-Lase’e Desa Lalabata Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru”. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Tjandrasasmita, Uka. 1992. “Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam di Indonesia”. Dalam 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.

Tjandrasasmita, Uka. 2000. “Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia Dari Masa ke Masa”. Menara Kudus. Jakarta.