document2eprints.ung.ac.id/257/3/2013-2-87201-231409016-bab2-09012014011546.pdf · memberi respon...

26
1 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Transformasi Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan. Laseau 1980 yang dikutip oleh Sembiring 2006 memberikan kategori Transformasi sebagai berikut: 1. Transformasi bersifat Tipologikal (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama. 2. Transformasi bersifat gramatikal hiyasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser, memutar, mencerminkan, menjungkirbalikkan, melipat dll. 3. Transformasi bersifat refersal (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek yang akan ditransformasi dimana citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya. 4. Transformasi bersifat distortion (merancukan) kebebasan perancang dalam beraktifitas. Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar. itb.ac.id/wdp/ diakses pada tanggal 11 November 2013). menguraikan faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi yaitu sebagai berikut:

Upload: dokien

Post on 09-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Transformasi

Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur

sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara

memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan

mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui

proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan.

Laseau 1980 yang dikutip oleh Sembiring 2006 memberikan kategori

Transformasi sebagai berikut:

1. Transformasi bersifat Tipologikal (geometri) bentuk geometri yang berubah

dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama.

2. Transformasi bersifat gramatikal hiyasan (ornamental) dilakukan dengan

menggeser, memutar, mencerminkan, menjungkirbalikkan, melipat dll.

3. Transformasi bersifat refersal (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek

yang akan ditransformasi dimana citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya.

4. Transformasi bersifat distortion (merancukan) kebebasan perancang dalam

beraktifitas.

Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar.

itb.ac.id/wdp/ diakses pada tanggal 11 November 2013). menguraikan faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi yaitu sebagai berikut:

2

1. Kebutuhan identitas diri (identification) pada dasarnya orang ingin dikenal

dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan.

2. Perubahan gaya hidup (Life Style) perubahan struktur dalam masyarakat,

pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan

baru mengenai manusia dan lingkuangannya.

3. Pengaruh teknologi baru timbulnya perasaan ikut mode, dimana bagian yang

masih dapat dipakai secara teknis (belum mencapai umur teknis dipaksa untuk

diganti demi mengikuti mode.

Bermula dari kedatangan etnis Jawa atas program pemerintah

(transmigrasi) di desa Koli dapat memberikan peluang besar bagi masyarakat

setempat untuk mengenal sitem mata pencaharian, sikap hidup etnis Jawa dan

kebudayan Jawa lebih terlihat adalah etos kerja etnis Jawa begitu pula sebaliknya.

Melihat kenyataan seperti ini tentu perubahan merupakan sebuah kepastian antara

kedua etnis. Dalam hal transformasi etos kerja tentu akan dipengaruhi oleh faktor

lain eksternal dan internal.

1.1.1 Proses Transformasi

Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar.

itb.ac.id/wdp/ diakses pada tanggal 11 November 2013) menguraikan proses

transformasi yaitu sebagai berikut:

1. Perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit

2. Tidak dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses itu akan

berakhir tergantung dari faktor yang mempengaruhinya

3. Komprehensif dan berkesinambungan

3

4. Perubahan yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional (sistem

nilai) yang ada dalam masyarakat.

Proses transformasi mengandung dimensi waktu dan perubahan sosial

budaya masyarakat yang menempati yang muncul melalui proses yang panjang

yang selalu terkait dengan aktifitas-aktifitas yang terjadi pada saat itu. Telah

dijelaskan sebelumnya bahwa trasformasi tidak dapat diduga kapan dimulai dan

kapan akan berakhir begitu juga pada transformasi etos kerja yang nota benenya

dikaji pada ruang yang satu dan pada waktu yang panjang. Pada pengertian

transmigrasi jelas bahwa transmigran memiliki kebebasan pilihan untuk

menentukan pilihan dengan lingkungan barunya.

Bagan 1. Proses Transformasi

Dilihat bagan diatas dapat dijelaskan bahwa transformasi adalah suatu

perubahan dari satu kondisi (bentuk awal) ke kondisi yang lain (bentuk akhir) dan

dapat terjadi secara terus menerus atau berulangkali yang dipengaruhi oleh

dimensi waktu yang dapat terjadi secara cepat atau lambat, tidak berhubungan

dengan perubahan fisik tetapi juga menyangkut perubahan sosial budaya ekonomi

TOPOLOGIKAL

GRAMATIKAL

REVERSAL

DISTORTION

TRANSFORMASI

SOSIAL

BUDAYA

EKONOMI

POLITIK

BENTUK AWAL

BENTUK SAAT INI PROSES

KORIDOR

FASADE

4

politik masyarakat karena tidak dapat lepas dari proses perubahan baik lingkungan

(fisik) maupun manusia (non fisik).

2.2 Pengertian Etos Kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap,

kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja

dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos

dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang

diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir

mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik

buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat

yang amat kuat untuk menyempurnakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan

bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.

Menurut Toto Tasmara, (dalam http://jurnal-sdm.blogspot.com diakses

pada tanggal 16 juli 2013) Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta

caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada

sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal

sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia

dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Etos kerja berhubungan

dengan beberapa hal penting seperti:

a. Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik

waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.

b. Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat

penting guna efesien dan efektivitas bekerja.

5

c. Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan

merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan

kesungguhan.

d. Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros,

sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.

e. Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan

tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.

Uraian diatas menjadi cerminan bahwa potret sukses transmigran baik

lokal maupun nasional. Etnis Jawa dan etnis Makian mampu keluar dari himpitan

ekonomi dan menjadi sebuah perubahan ekonomi yang signifikan kenapa tidak

diawal beradaptasi dengan lingkuangan yang baru dapat dikatakan semuanya

berangkat dari awal baik sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan.

Etos kerja menurut Jansen Sinamo (dalam http://www.tokohindonesia.com

diakses pada Rabu, 19 November 2008) adalah seperangkat perilaku kerja, yang

berakar pada kesadaran yang kuat, keyakinan yang jelas dan mantap serta

komitmen yang teguh pada prinsip, paradigma, dan wawasan kerja yang khas dan

spesifik. Sedangkan pengertian etos kerja berdasarkan Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang

atau sesuatu kelompok.

Abu Hamid 1991 memberikan pengertian bahwa etos adalah sifat,

karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetika serta suasana hati seseorang

masyarakat. Kemudian mengatakan bahwa etos berada pada lingkaran etika dan

logika yang bertumpuk pada nilai-nilai dalam hubungannya pola-pola tingkah

6

laku dan rencana-rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap

alternatif pilihan kerja, apakah suatu pekerjaan itu dianggap baik, mulia,

terpandang, salah dan tidak dibanggakan.

Dengan menggunakan kata etos dalam arti yang luas, yaitu pertama

sebagaimana sistem tata nilai mental, tanggung jawab dan kewajiban. Akan tetapi

perlu dicatat bahwa sikap moral berbeda dengan etos kerja, karena konsep

pertama menekankan kewajiban untuk berorientasi pada norma sebagai patokan

yang harus diikuti. Sedangkan etos ditekankan pada kehendak otonom atas

kesadaran sendiri, walaupun keduanya berhubungan erat dan merupakan sikap

mental terhadap sesuatu.

Pengertian etos tersebut, menunjukan bahwa antara satu dengan yang

lainnya memberikan pengertian yang berbeda namun pada prinsipnya mempunyai

tujuan yang sama yakni terkonsentrasi pada sikap dasar manusia, sebagai sesuatu

yang lahir dari dalam dirinya yang dipancarkan kedalam hidup dan kehidupannya.

Sebagai contoh, peradaban barat dalam perjalanan sejarahnya telah

mengalami proses modernisasi serata transformasi sejak awal abad 16, yaitu

zaman Rrenaissance dan Humanisme. Suatu periode permulaan proses

pembentukan kebudayaan baru dengan pandangan hidup yang lebih kemasa kini

dan pandangan dunia yang antroposentris. Keduanya menciptakan lingkungan

sosio kultural dengan rasionalisme, individualisme, ekspansionisme,

komersialisme dan kapitalisme. Pada saat itulah berbagai gejala intelektual yang

membentuk transformasi peradaban barat dari zaman pertengahan ke zaman

modern. Muncul dan berkembang. Kekuatan penggerak yang mendasari proses

7

dasyat itu adalah etos yang mengutamakan sifat-sifat manusia yang lazim disebut

Vertue, suatu konsep model manusia yang autentik, otonom, penuh semangat

kewiraswastaan, ada kemauan untuk berperstasi yang sebaik-baiknya dan

semaksimal mungkin, maka disinilah manusia dianggap telah menemukan diri

sendiri.

Etos kerja yang tinggi biasanya muncul karena berbagai tantangan,

harapan-harapan dan kemungkinan-kemungkinan yang menarik. Jadi dengan

situasi dimana manusia itu bekerja dengan rajin, teliti, berdedikasi serta tanggung

jawab yang besar. Kemunculan etos kerja bagi suatu masyarakat dengan

sendirinya merupakan suatu karakter yang menjadi watak masyarakat itu. Etos

kerja suatu masyarakat lahir dan berkembang berdasarkan standar norma-norma

yang dijadikan orientasi masyarakatnya. Etos kerja suatu masyarakat memang

merupakan suatu sikap yang dikehendakinya dengan bebas tumbuh dari suatu

kesadaran untuk selalu bekerja dengan tekun.

Data menunjukkan bahwa kurang lebih 41 % penduduk Indonesia adalah

etnis Jawa. Sehingga mengharuskan untuk bersaing antar sesama maupun etnis

lain. Dengan angka demikian sudah menjadi barang tentu etnis Jawa banyak yang

hidup diperantauan dengan tetap memegang norma-norma yang berlaku pada

etnis Jawa umumnya. Dalam konteks perantauan tentunya penyesuain diri dengan

lingkungan menjadi penting yang akan membawa pada sebuah perubahan. Hal

yang sama pun akan terjadi pada siapa pun dan kelompok manapun demikian juga

etnis Makian. Norma-norma etnis Makian mengacu pada ajaran agama islam dan

filosofis (mpe te de monte) “siapa yang tidak bekerja maka tidak makan”.

8

Secara umum tolak ukur atau indikator dari perilaku yang mencerminkan

etos kerja adalah yaitu Efisiensi, Kerajinan, Ketrampilan, Sikap, tekun, Tepat

waktu, kesederhanaan, kejujuran, sikap mengakui rasio dalam mengambil

keputusan dan tindakan, kesedian untuk berubah, sikap bekerja secara energis,

sikap bersandar pada kekuatan sendiri, percaya diri, sikap mau bekerja sama, dan

kesediaan mau memandang jauh kemas depan.

Kerja secara etimologi diartikan (1) sebagai kegiatan melakukan seseuatu,

(2) sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Etos kerja menurut Abdullah,

adalah “alat dalam pemilihan”. Definisi yang dikemukakan tersebut lebih

meletakkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai keistimewaan

tersendiri, diantaranya adalah kemampuan untuk bekerja dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidupnya. Hal ini terkandung pula makna bahwa manusia adalah

makhluk yang mempunyai keharusan untuk bekerja dan merupakan hal yang

istimewa yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Kerja adalah suatu aktivitas yang

menghasilkan suatu karya. Karya yang dimaksud, berupa segala yang dihasilkan

untuk memenuhi kebutuhan, dan selalu berusaha menciptakan karya-karya

lainnya. Mencermati pengertian tersebut, apabila kedua kata itu yakni etos dan

kerja, digabungkan menjadi satu yaitu etos kerja, akan memberikan pengertian

lain. Menurut Abu Hamid, etos kerja adalah sebagai sikap kehendak yang

diperlukan untuk kegiatan tertentu.

Etos kerja merupakan; (1) dasar motivasi yang terdapat dalam budaya

suatu masyarakat, yang menjadi penggerak batin anggota masyarakat pendukung

budaya untuk melakukan suatu kerja. (2) nilai-nilai tertinggi dalam gagasan

9

budaya masyarakat terhadap kerja yang menjadi penggerak bathin masyarakat

melakukan kerja. (3) pandangan hidup yang khas dari sesuatu masyarakat

terhadap kerja yang dapat mendorong keinginan untuk melakukan pekerjaan.

Etos kerja atau semangat kerja yang merupakan karakteristik pribadi atau

kelompok masyarakat, yang dipengaruhi oleh orientasi nilai-nilai budaya mereka.

Antar etos kerja dan nilai budaya masyarakat sangat sulit dipisahkan. Nilai budaya

antara etnis Jawa dengan etnis Makian dalam prespektif etos kerja sama-sama

dengan visi yang maju ke masa depan yang labih baik dari hari ini.

Etos merupakan kehendak otonomi sebagai ciri khas sikap moral, dalam

kaitan kerja, etos berarti sikap kehendak yang dituntut dalam setiap kegiatan

tertentu. Jadi etos kerja adalah cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa

bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya,

tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh dan oleh karenanya

mempunyai nilai ibadah yang luhur. Untuk menggali makna atau mengetahui

definisi dari etos kerja, alangkah baiknya jika kita pun mengkaji makna kata

perkata dari etos kerja itu sendiri, guna mendapatkan pemahanan yang lebih

mendalam mengenai definisi dari etos kerja.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Em Zul Fazri dan Ratu Aprilia Senja)

etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial, sedangkan

menurut Clifford Geertz etos menunjukkan pada sifat, watak dan kualitas

kehidupan bangsa, moral dan gaya estetis. Etos adalah sikap mendasar terhadap

diri bangsa itu dan terhadap dunia yang direfleksikan dalam kehidupan.

10

David C. Mac Clelland mengartikan etos kerja dengan Need of

Achierement (N. Ach) yakni virus mental yang mendorong untuk meraih hasil

atau prestasi hidup yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, atau dengan kata

lain: sebuah semangat dan sikap mental yang selalu berpandangan bahwa

kehidupan hari ini harus lebih baik dari kehidupan kemarin, dan hari esok harus

lebih baik dari hari ini (http://www.psychologymania.com Senin, 06 Mei 2013).

Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap,

maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek

evaluatif yang dimiliki oleh individu (kelompok) dalam memberikan penilaian

terhadap kegiatan kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos

kerja, adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif.

Bertolak dari uraian itu, maka suatu individu atau kelompok masyarakat

dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda

sebagai berikut:

1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.

2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur

bagi eksistensi manusia.

3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan

manusia.

4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan

sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,

11

5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Manusia adalah mahluk yang unik dibandingkan dengan mahluk lain,

manusia memiliki akal untuk berfikir dan memiliki nafsu untuk berubah. tentu

dengan melakukan sesuatu untuk masa depan yang cerah merupakan harap bagi

semua orang tanpa melupakan syarat-syaratnya yaitu dengan bekerja secara halal,

atau sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam dalam diri dan kelompoknya.

Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat, yang dimiliki etos

kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu;

1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,

2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan,

4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan

menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi

kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan

dijadikan sebagai prasyaraat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam

kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada

manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh,

sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap

12

mutu atau kualitas yang semestinya (http://www.psychologymania.com di akses

pada tanggal 16 juli 2013).

Kata kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan

melakukan sesuatu, yang dilakukan atau yang sedang diperbuat. Definisi lain

menyebutkan bahwa kerja adalah melakukan kegiatan yang direncanakan dengan

pemikiran khusus demi pembangunan dunia dan hidup manusia. Kerja merupakan

hak istimewa manusia oleh karena itu merupakan keharusan bagi manusia untuk

melakukan.

Pendefinisian etos kerja kata perkata, dapat kita simpulkan bahwa etos kerja

adalah suatu pandangan hidup yang khas yang menggambarkan kualitas hidup

suatu golongan atau bangsa dalam upaya khusus guna membangun hidup

manusia. Namun tentu pengertian ini belum dapat menjelaskan secara jelas

definisi dari etos kerja, maka kiranya kita pun perlu menelaah definisi etos kerja

dari berbagai ahli.

Etos kerja adalah alat dalam pemilihan. Sehingga dalam pengertian ini maka

etos kerja dapat dilihat dari dua segi. Pertama, menyangkut kedudukan kerja

dalam hirarki nilai, apakah kerja dianggap sebagai sesuatu yang dilakukan secara

terpaksa sebagai pilihan utama atau ibadah. Atau bekerja dianggap sebagai

kegiatan rutin yang harus dijalani manusia. Kedua, apakah dalam hirarki itu ada

perbedaan dasar memilih dari berbagai jenis pekerjaan yang tersedia. Apakah ada

derajat penilaian bahwa pekerjaan yang satu lebih penting dari pekerjaan yang

lain.

13

Uraian diatas dalam presepsi etnis Makian dalam konteks transmigrasi

berbeda dengan etnis Jawa. Ini dibuktikan dengan anggapan dan kemampuan

untuk etnis makian berinovasi dalam mengelolah sesuatu yang kecil dan tidak di

anggap manjadi sesatu yang basar. Berbeda dengan etnis Jawa dengan

kemampuan berinovasi mampu melahirkan sesuatu yang besar untuk masa depan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapa dijelaskan bahwa etos kerja

merupakan suatu watak, sifat, keyakinan maupun pandangan yang positif yang

dimiliki oleh sekelompok orang atau golongan dalam melakukan suatu pekerjaan

atau pembangunan yang disertai dengan semangat, rasa optimis, serta keuletan

untuk mencapai satu tujuan atau meraih kesuksesan melaui usaha yang gigih,

yakin, dan tidak mudah berputus asa.

2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja

Etos (etika) kerja tidak lahir atas kesadaran individual namun dipengaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Agama

Dasar pengkajian kembali makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah

pikiran Max Weber.Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu

rasionalitas (rationality) menurut Weber (2006) lahir dari etika Protestan. Pada

dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan

mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir,

bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang

14

dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan

demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu

pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya

pembangunan atau modernisasi.

Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme

mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun

sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan-namun

hemat dan bersahaja (asketik), dan suka menabung serta berinvestasi, yang

akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern.

Pandangan Weber memang pada spesifikasi protestan namun pada hakikatnya

dalam mempertahankan hidup hampir semua orang dalam mempertahankan

hidupnya berada pada konsep yang sama.

Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of

Capitalism (1958), berbagai studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak

dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi

positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dengan kemajuan ekonomi,

kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005).

Kalau Weber menjelaskan etos kerja pada prespektif agama Kristen

protestan. Tentu pada agama yang dianut oleh etnis Jawa dan etnis Makian pun

demikian sebagai penganut agama islam. Islam mengajarkan umatnya untuk

bekerja dan mencari sesuatu yang halal demi kelangsungan hidupnya. Sehingga

nilai-nilai keislaman pun harus tetap tertanam dalam diri setiap etnis.

15

2. Faktor Budaya

Luthans (2006) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan

semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos

budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja

ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja

yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang

konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak

memiliki etos kerja.

Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu

yang tampak. Watak khas itu dalam ilmu antropologi disebut ethos, sering tampak

pada gaya tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran mereka, dan

berbagai benda budaya hasil karya mereka. Berdasarkan konsep itu, maka seorang

Batak misalnya, yang mengamati kebudayaan Jawa, sebagai orang asing yang

tidak mengenal kebudayaan orang Jawa dari dalam, dapat mengatakan bahwa

watak khas kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan

berlebih-lebihan, sehingga sering menjadi kelambanan (dalam Koentjaraningrat

2009 : 177).

3. Faktor Sosial politik

Tinggi atau rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh

ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja

16

keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh, dalam Siagian

(1995). Perubahan ini terjadi akibat dari regulasi yang memberikan tekanan secara

emosional soal politik tentu lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan

kelompok dengan demikian maka lahir gerakan baru untuk kelompok lain

membuktikan diri.

4. Faktor Kondisi lingkungan (geografis)

Siagian (1995) juga menemukan adanya indikasi bahwa etos kerja dapat

muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung

mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat

mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang

untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.

Keadaan geografis yang sesuai dengan sistem mata pencaharian suatu

etnis akan mendorong etos kerja etnis tersebut. Dalam hal ini etnis Jawa dan etnis

Makian yang mayorotas petani dan trasmigarasi yang menempatkan tranmigran

pada lokasi potensi pertanian seperti di Unit Pemukiman Transmigrasi desa Koli.

Dengan keadaan alam seperti ini memberikan peluang besar untuk usaha

pertanian bagi etnis Jawa dan etnis Makian. Wilayah dengan dataran rendah dan

potensial maka tinggal bagaimana setiap individu mampu mengelolah dan

berinovasi sesuai dengan kemampuannya.

17

5. Faktor Pendidikan

Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia.

Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos

kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada

pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan

pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula

aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Bertens, 1994).

Pendidikan menjadi jargon segala sendi kehidupan. Sehingga masyarakat

harus memiliki penguasaan dalam bidang teknologi informasi dalam hal ini harus

mampu membaca perkembangan global. Kemampuan untuk membuat satu tahap

tentu ia tapi, pada tahap lainnya belum tentu bisa. Baik etnis Makian maupun etnis

Jawa secara umum memiliki peranan yang sama di bangsa ini, namun belum tentu

bagi individunya yang lain.

6. Faktor Motivasi intrinsik individu

Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu memiliki etos kerja yang

tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu

pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini

seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi juga

etos kerja seseorang.

Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya

bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam (terinternalisasi) dalam diri

18

sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor

pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor

hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene merupakan faktor dalam kerja yang

hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan.

Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak

menyebabkan munculnya motivasi. Faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang

termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja,

kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika

sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi, tentunya organisasi

tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak menjadi

penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi ekstrinsik.

Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana

ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa

puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam pekerjaan

yang meliputi pencapaian sukses (achievement), pengakuan (recognition),

kemungkinan untuk meningkat dalam karier (advancement), tanggungjawab

(responsibility), kemungkinan berkembang (growth possibilities), dan pekerjaan

itu sendiri (the work itself). Hal-hal ini sangat diperlukan dalam meningkatkan

performa kerja dan menggerakkan petani etnis Jawa dan etnis Makian hingga

mencapai performa yang tertinggi.

Pada dasarnya ada beberapa penyebab etos kerja masyarakat Indonesia

masih sangat rendah, diantaranya banyaknya pekerja yang hanya lulusan SD,

19

SMP dan SLTA yang mutunya kurang dari standar, faktor budaya dan sejarah

bangsa Indonesia, serta pemerintah dan kebijakan yang diambil dalam melayani

kebutuhan masyarakat masih jauh dari optimum. Selain faktor-faktor tersebut,

kondisi alam Indonesia yang sangat subur juga mempengaruhi etos kerja bangsa

Indonesia, sehingga apapun yang dibutuhkan tersedia. Masyarakat Indonesia

menjadi terbiasa untuk menempatkan segala sesuatunya dengan mudah tanpa

banyak usaha. Manusia pribumi dimasa lalu tidak perlu bekerja keras untuk

mendapatkan bahan makanan sebab alam menyediakannya sepanjang

tahun.Merupakan suatu kenyataan yang pahit bila melihat kenyataan etos kerja

pribumi tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia. Jika kita melihat ke belakang

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki prestasi cukup baik. Namun

sangat disayangkan, di era globalisasi ini justru etos kerja masyarakat Indonesia

jauh dari apa yang diharapkan.

2.4 Pengertian Etnis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etnis adalah kelompok sosial

dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan

tertentu karena keturunan, adat, agama, dan bahasa.

Sementara Menurut Anthony Smith, (dalam http://iskandar berkasta-

sudra.blogspot.com akses pada hari sabtu 19 Januari 2013) komunitas etnis

adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia

yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama dan beberapa

20

elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat

tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama.

Pengertian diatas bisa diartikan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia

yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah

yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu

menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya.

2.5 Transformasi Budaya

Transformasi budaya secara teoritis diartikan sebagai suatu proses dialog

yang terus menerus antara kebudayaan lokal dengan kebudayaan “donor” sampai

pada tahap tertentu membentuk proses sintesa dengan berbagai wujud yang akan

melahirkan format akhir budaya yang mantap. Dalam proses dialog, sintesa dan

pembentukan format akhir tersebut didahului oleh inkulturasi dan akulturasi

Sachari (dalam Esti Ismawati 2012 : 100). Transformasi budaya di Indonesia telah

berlangsung atas 3 tahap, (1) dari budaya primitif kearah terbentuknya format

terbentuk format kebudayaan Jawa Hindu-Budha, (2) dari kebudayaan Jawa

Hindu-Budha kearah format terbentuknya kebudayaan Jawa hindu-Islam

(kebudayaan lokal), (3) bertemunya kebudayaan lokal dengan kebudayaan

colonial (Portugis, Inggris, Belanda) mengalami schock culture karena berbeda

karakteristiknya. Konteks sekarang tentu denganberbagai program pemerintah dan

kontalasi polotik yang ada maka tidak mungkin kemudian tidak terjadi hal yang

sama dengan tiga poin diatas, antara etnis Jawa dengan etnis Makian dan etnis lain

pun serupa.

21

Menurut Soedjamiko (dalam Esti Ismawati 2012 : 102) persoalan utama

bagi kita bukanlah menggalakkan pertumbuhan ekonomi melainkan transformasi

sosial seluruh masyarakat, yang membawa serta transformasi dalam semua sektor

kehidupan masyarakat. Termasuk dalam hal etos kerja tentu menjadi suatu

perubahan yang wajar untuk terjadi. Gejala sosial di masyarakat sering terlihat

demikian antara persaingan individu yang satu dengan individu yang lain

dilingkungan yang sama pun terdapat kesamaan (tiruan).

Semantara itu, menurut Umar Khayam (dalam Esti Ismawati 2012 : 103)

transformasi budaya kita menyangkut dua jalur transformasi besar yang saling

berkaitan, yaitu (1) transformasi budaya Indonesia yang menarik budaya etnis ke

tataran budaya negara kebangsaan, (2) transformasi status Indonesia yang

menggeser ekonomi terbelakang ke tataran budaya industri modern. Poin (1)

adalah konsekuensi dari komitmen bangsa Indonesia untuk bersedia bernaung

dibawah NKRI. Pada transformasi budaya etnis menjadi budaya kebangsaan

tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan kondisi yang sehat dan

menguntungkan bagi terciptanya budaya antar nilai-nilai etnis dengan nilai-nilai

negara kebangsaan.

Nilai-nilai etnis adalah nilai-nilai tradisional yang diwarisi oleh

lingkungan etnis dari pemantapan struktur masyarakat yang mendahului mereka.

Sementara itu nilai-nilai negara kebangsaan adalah nilai-nilai kontemporer yangn

diletakkan oleh persyaratan minimal untuk membangun sosok struktur negara

kebangsaan tersebut.

22

2.6 Ekologi budaya

Menurut Setiadi (dalam Sujarwa 2010 : 367) menyebutkan, ekologi terdiri

dari dua suku kata yunani oicos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti

ilmu. Jadi secara harafiah, kata ekologi berarti ilmu kerumahtanggan. Pengertian

ini tentu dalam pengertian yang luas, bahwa rumah tangga sangat membutuhkan

perhatian akan lingkungan. Orang tidak sadar membangun rumah tangga secara

fisik tetapi juga aspek sosial, geografis, demografis, ekonomi, dan sebagainya.

Manusia umumnya lebih suka tinggal di lingkungan yang baik, apakah itu

lingkungan sosial, fisik maupun alamnya.

Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan

lingkungan hidup dalam perpektif budaya. Atau sebaliknya, bagaimana

memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ulang-alik antara

lingkungan hidup (ekologi) dan budaya itulah yang menjadi bidang garap Ekologi

Budaya, atau disingkat Elbud. Ekologi budaya muncul sebagai hasil kerja Carl

Sauer pada geografi dan pemikiran dalam antropologi. Ekologi budaya

mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan alamnya.

Suatu ciri dalam ekologi budaya adalah perhatian mengenai adaptasi pada

dua tataran: pertama sehubungan dengan cara system budaya berdaptasi terhadap

lingkungan totalnya, dan kedua sebagai konsep adaptasi sistemik, perhatian

terhadap cara institusi-institusi dalam suatu budaya baradaptasi dan saling

menyesuaikan diri. Ekolog budaya menyatakan bahwa diperlukannya proses-

23

proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan, pemeliharaan

dan transformasi sebagai konfigurasi budaya.

Unit adaptasi makhluk manusia meliputi organisme dan lingkungan yang

merupakan suatu ekosistem; yaitu system atau kesatuan yang berfungsi, dan

terdiri atas lingkungan fisik berikut berbagai organisme yang hidup di dalamnya.

Proses adaptasi telah menghasilkan keseimbangan yang dinamis karena manusia

sebagai bagian dari salah satu organisme hidup dalam lingkungan fisik tertentu.

Melalui kebudayaan yang dimilikinya ia mampu mengembangkan seperangkat

system gagasannya, dengan kata lain manusia sebagai salah satu bentuk

organisme, melalui system gagasan yang dikembangkan dan dimilikinya, mampu

menyesuaikan diri dengan bagian dari ekosistem.

Dalam berdaptasi dengan lingkungan, menurut Steward (dalam

http://awan80.blogspot.com di akses pada rabu 03 Juli 2013). Manusia memiliki

corak yang khas dan unik, salah satunya adalah, proses perkembangan

kebudayaan. Proses perkembangannya di berbagai belahan bumi tidak terlepas

antara satu dan lainnya; dan bahkan ada beberapa diantaranya yang tampak sejajar

terutama pada system mata pencaharian hidup, system kemasyarakatan dan

system religi. Hal ini dikarenakan perkembangan yang sejajar di daerah tertentu.

Misalnya pada masyarakat berburu; ada kecenderungan mereka hidup di

lingkungan alam yang sulit dengan binatang buruan yang hidup terpencar. Agar ia

mendapat binatang buruan, mereka harus benar-benar mengenal lingkungan alam

tempat mereka berburu. Untuk itu mereka harus hidup berklompok. Karenanya

24

kalau mereka harus mengambil wanita untuk dikawini, mereka harus membawa

gadis itu ke dalam kelompoknya.

Apabila dalam suatu lingkungan tertentu jumlah binatang buruan terbatas,

ia harus hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Sebaliknya jika daerahnya luas

dan jumlah binatang hidup dalam kawanan yang besar dan berpidah-pindah

berulang menurut musim, maka jumlah anggota kelompok berburu juga besar.

Untuk itu mereka harus mengembangkan pola-pola hubungan dengan kerabat

wanita isterinya baik berkaitan dengan pola menetap sesudah nikah maupun adat

perkawinannya, ataukah sesama anggota ataukah dengan gadis lain di luar

kelompoknya.

Demikian halnya pada kalangan masyarakat yang telah mengenal system

pertanian. Tatkala jumlah penduduk sedikit dan tanah masih sangat luas, mereka

harus hidup terpencar dalam desa-desa kecil. Apabila jumlah penduduk semakin

banyak maka akan terjadi kekurangan tanah sehingga orang tidak lagi dapat begitu

saja meninggalkan ladang mereka yang sudah tidak subur. Orang akan terpaksa

mengerjakan bidang tanah untuk kurun waktu yang lama. Dan ini hanya mungkin

dilakukan jika ada irigasi dan pemupukan.

Pertanian irigasi telah menimbulkan pengelompokan manusia dalam desa-

desa kecil yang saling berpencar dan semakin lama desa itu menjadi semakin

besar. Pertanian menetap membuat orang menolah tanahnya secara intensif karena

itu munculah teknologi-teknologi seperti bajak dan pemanfaatan binatang sebagai

pengganti tenaga manusia. Akibatnya terbentuklah struktur masyrakat pada

25

bentuk baru, dan akhirnya berkembang pula irigasi untuk mengolah tanah yang

tidak subur. Timbullah system irigasi dengan organisasi dan orang-orang

mengatur irigasi dan muncul pula pelapisan masyarakat. Mereka yang mengatur

irigasi menjadi yang berkuasa sehingga muncullah adapt yang mengatur antara

orang yang berkuasa dengan anggota masyarakat.

Pada perkembangannya kemudian, semakin lama kehidupan mereka

semakin kompleks. Sementara itu di kalangan masyarakat juga terjadi atau

muncul berbagai ejnis pekerjaan, demikian dan seterusnya. Untuk itu diperlukan

aturan yang mengatur hubungan diantara masyarakat. Demikian ekologi budaya

membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu

dan membahas cara manusia membentuk ekosistem itu sendiri.

2.6 Kerja sama (cooperation)

Menurut Esti Ismawati (2012 : 30) kerja sama merupakan bentuk interaksi

sosial yang pokok. Benntuk ini dapat di jumpai pada semua kelompok manusia,

dimulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Kerja sama timbul karena orietasi

orang perseorangan terhhadap kelompoknya (in Group) atau kelompok lainnya

(out group). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada ancaman atau bahaya dari

luar. Kerja sama ada yang bersifat spontan (spontaneous cooperation), keraja

sama langsung (directed cooperation), kerja sama kontrak (contractual

cooperation), dan kerja sama tradisional (traditional coorperation). Yang pertama

adalah kerja sama yang serta merta, yang kedua merupakan hasil dari perintah

atasan atau penguasa, yang ketiga merupakan kerja sama atas dasar tertentu, dan

26

yang keempat merupakan bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsur dari sistem

sosial, berikut beberapa bentuk kerja sama, yakni sebagai berikut:

1. Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong.

2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa

antara dua organisasi atau lebih.

3. Kooptasi (cooptation) proses penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan

atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi untuk menghindari terjadinya

kegoncangan dalam stabilitas organisasi tersebut.

4. Koalisi (coalition), yakni kombinasi dari dua organisasi atau lebih yang

mempunyai tujuan sama; dan

5. Join-venture yakni kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.

Berdasarkan uraian diatas maka dengan bekerja sama akan melahirkan

satu kombinasi baru antar etnis Jawa dengan Enis Makian karena keduanya akan

terkoptasi dengan pengaruh antara satu dengan yang lainnya, lewat berbagai cara

misalnya gotong royong, tolong menolong dll.